• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649 Pid.Sus 2015 Pn.Mdn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649 Pid.Sus 2015 Pn.Mdn"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemalsuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang disebut sebagai kejahatan yaitu sebagai suatu perbuatan yang sifatnya bertentangan dengan kepentingan hukum. Sebab dan akibat dari kejahatan itu menjadi perhatian utama dari berbagai pihak, dengan mengadakan penelitian-penelitian berdasarkan metode-metode ilmiah agar diperoleh suatu kepastian untuk menetapkan porsi dan klasifikasi dari kejahatan tersebut.

Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini adalah selalu igin cepat menyelesaikan sesuatu hal tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, padahal perbuatannya itu sudah jelas-jelas dilarang. Manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan pemuas diri dan bahkan keinginan untuk mempertahankan status diri hal itu banyak dilakukan tanpa berfikir secara matang yang dapat merugikan lingkungan dan diri sendiri.

Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan hukum (law enforcement).1

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. “Kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri, semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai

1

(2)

bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan”.2

Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat.

Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat.

3

Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran adalah perbuatan yang patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan atas kebenarannya dari objek-objek itu.

Pemalsuan surat mengancam kepentingan masyarakat berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum.

4

Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang banyak ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (selanjutya disebut KTP). KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana (dalam hal ini Dinas

2

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hlm.7 3

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3 4

(3)

Kependudukan dan Pencatatan Sipil) yang berlaku di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Indonesia.

Pelaku kejahatan pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) menurut Pasal 96A Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Contoh kasus pemalsuan KTP adalah dalam kasus putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dengan terdakwa Leonard Bangun Als Leo. Adapun modus operandi pemalsuan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara mengetik dan mencetak KTP atau dokumen palsu lainnya seperti Kartu Keluarga, Akta Kelahiran berdasaran pesanan dengan menggunakan komputer dan perlengkapan percetakan yang ada di tempat usahanya.

(4)

terdakwa mencetaknya dan menyerahkan kepada pemesan yang kemudian membubuhkan tanda tangan pejabat serta stempel yang telah dibuatnya.

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai perbuatan yang secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, membuat surat palsu atau memalsukan surat berupa KTP, KK serta akta kelahiran yang dapat menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

di masyarakat. Pemalsuan KTP tidak hanya perbuatan pidana sebagaimana kejahatan umumnya, tapi berdampak lebih luas semisal menimbulkan kerugian di bidang bisnis, politik, bahkan keamanan negara. Identitas yang dipalsukan akan menimbulkan persoalan lain semisal dalam dunia bisnis proses administrasi pinjaman atau kredit di bank dan jual beli akan rancu. Begitu juga di bidang politik, pendataan kependudukan dalam momentum pilkada bisa dimanfaatkan untuk penggelembungan suara apabila KTP bisa dipalsukan. Keamanan negara juga bisa dikacaukan apabila KTP palsu marak beredar, karena bisa digunakan siapa saja termasuk orang asing yang mungkin punya misi tertentu.

(5)

Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pemalsuan

Kartu Tanda Penduduk ?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana teerhadap pemalsuan Kartu Tanda Penduduk dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pemalsuan Kartu Tanda Penduduk.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana teerhadap pemalsuan Kartu Tanda Penduduk dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

E. Manfaat Penulisan

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan:

(6)

2. Secara Praktis :

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai kejahatan pemalsuan KTP.

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum dalam menyelesaikan masalah penggunaan KTP palsu.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata yang sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.

G. Tinjauan Kepustakaan.

1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan

Seperti diketahui bahwa istilah het strafbare feit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang artinya antara lain sebagai berikut :

a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum. b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan pidana d. Tindak pidana.5

5

(7)

Tentang apa yang diartikan dengan strafbaar feit (tindak pidana) para sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda.

Menurut M Hamdan merumuskan strafbaar feit adalah

Suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig)

dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur yaitu :

a. Unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan. b. Unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung

jawab.6

Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya Mulyatno menyebutkan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. 7

a. Harus ada suatu perbuatan manusia R. Tresna menyebutkan bahwa :

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Ia juga menyatakan bahwa supaya suatu perbuatan dapat disebut peristiwa pidana, perbuatan itu harus memenuhi beberapa syarat yaitu :

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan umum

c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat yaitu orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan.

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum

6

M. Hamdan., Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hlm.8

7

(8)

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam Undang-Undang.8

R. Soesilo menyebutkan bahwa :

Tindak pidana adalah sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman. Dalam hal ini tindak pidana itu juga terdiri dari dua unsur yaitu :

a. Unsur yang bersifat objektif yang meliputi :

1) Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana.

2) Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum. 3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa

jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.

4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.

b. Unsur yang bersifat subjektif yaitu unsur yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar. 9

Perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut : a. Melawan hukum

b. Merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan pidana

d. Pelakunya diancam dengan hukuman pidana.10

Perbuatan itu menjadi suatu tindak pidana adalah dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, sedangkan melawan hukum dan merugikan masyarakat menunjukkan sifat perbuatan tersebut. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan merugikan masyarakat belum tentu hal itu merupakan suatu tindak pidana sebelum dipastikan adanya larangan atau aturan

8

R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 2009, hlm.28 9

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 2008, hlm.26 10

(9)

pidananya (Pasal 1 KUHPidana) yang diancamkan terhadap pelakunya. Perbuatan yang bersifat melawan hukum dan yang merugikan masyarakat banyak sekali, tetapi baru masuk dalam lapangan hukum pidana apabila telah ada larangan oleh peraturan pidana dan pelakunya diancam dengan hukuman.

Sesuatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak, haruslah dilihat pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (hukum pidana positif). Di dalam KUH.Pidana yang berlaku sekarang ini, tindak pidana ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejahatan yang diatur dalam Buku Kedua dan pelanggaran yang diatur dalam Buku Ketiga. Apa kriteria yang dipergunakan untuk mengelompokkan dari dua bentuk tindak pidana ini, KUHPidana sendiri tidak ada memberikan penjelasan sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang berat, dan pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang ringan. Hal ini juga didasari bahwa pada kejahatan umumnya sanksi pidana yang diancamkan adalah lebih berat daripada ancaman pidana yang ada pada pelanggaran.

Ilmu Hukum Pidana mengengal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya adalah :

a. Tindak pidana formil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Jadi tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantum atau dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan (pidana). Misalnya Pasal 362 KUH.Pidana perbuatan yang dilarang tersebut adalah mengambil milik orang lain. b. Tindak pidana materil.

(10)

c. Tindak pidana comisionis

Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.

d. Tindak pidana omisionis.

Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Misalnya Pasal 522 KUH.Pidana, tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan.

e. Dolus dan culpa

Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau karena kealpaan.

f. Tindak pidana aduan (klachtdelict).

Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat dilakukan penuntutan, apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan, maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut. Misalnya Pasal 284 KUH.Pidana, tindak pidana perzinahan, dengan demikian delik aduan ini dapat diketahui langsung dari bunyi rumusan pasal.11

a. Perbuatan yang dilarang

Menurut Sudarto, bahwa secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal yaitu :

b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu

c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu.12

Mengenai kata perbuatan yang dilarang, dalam hukum pidana mempunyai banyak istilah yang berasal dari bahasa Belanda (Het Strafbare feit) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia antara lain :

a. Perbuatan yang dilarang hukum b. Perbuatan yang dapat dihukum c. Perbuatan pidana

d. Peristiwa pidana e. Tindak pidana.

f. Delik (berasal dari bahasa Latin delictum).13

11

R.Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHLM.Pidana Indonesia, Eresco,Bandung, 2002, hlm.106

12

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 2003, hlm.62

13

(11)

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu Undang-Undang. Pertanggung jawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar Undang-Undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun hukuman tambahan.

Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan.14 Pemalsuan dari bahasa Belanda yaitu Vervalsing

atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu.15

Pemalsuan yang artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak jujur, sumbang. Pemalsuan berarti proses, cara, perbuatan memalsukan. Dengan kata lain perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Sedangkan, surat (geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang mengandung/berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apapun.16

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur dalam masyarakat

14

WJS. Poerwadarmina, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2008, hlm.817

15

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 2007, hlm. 618 16

(12)

yang maju dan teratur tidak dapat berlangsung lama tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya. Karenanya perbuatan pemalsuan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.

Menurut Adami Chazawi mengemukakan bahwa suatu perbuatan pemalsuan dapat dihukum apabila terjadi perkosaan terhadap jaminan atau kepercayaan dalam hal :

a. Pelaku mempunyai niat atau maksud untuk mempergunakan sesuatu barang yang tidak benar dengan menggambarkan keadaan barang yang tidak benar itu seolah-olah benar atau mempergunakan sesuatu barang yang tidak asli seolah-olah asli, hingga orang lain percaya bahwa barang tersebut adalah benar dan asli dan karenanya orang lain terperdaya.

b. Unsur niat atau maksud tidak perlu mengikuti unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain (sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan penipuan).

c. Perbuatan tersebut harus menimbulkan suatu bahaya umum yang khusus dalam pemalsuan tulisan atau surat dan sebagainya dirumuskan dengan mensyaratkan kemungkinan kerugian dihubungkan dengan sifat daripada tulisan atau surat tersebut.17

Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. 18

a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:

17

Ibid, hlm.98 18

(13)

b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.19

Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut dilakukan dengan cara :

a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar.

b. Pemalsuan materiil :

1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain daripada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar.

2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang benarnya, tetapi bukan yang asli.20

Penggolongan kejahatan pemalsuan didasarkan atas objek dari pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6 (enam) objek kejahatan yang terdapat dalam KUHP yang antra lain adalah :

a.Keterangan di atas sumpah b.Mata uang

c.Uang kertas

19

HLM.A.K. Mochlm. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 128

20

(14)

d.Materai e.Merek. f. Surat.21

Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli, tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau tidak benar.

2. Pengertian Pertanggungjawaban

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana.

Pertanggungjawaban dalam konsep hukum pidana merupakan sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal dengan dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.22

Dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut

21

Ibid. hlm.6 22

(15)

melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:

a. Dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat atau kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat.

b. Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan.

c. Tidak ada dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban si pembuat atau tidak ada alasan penghapusan kesalahan.23

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya dan yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.

23

(16)

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.24

a. Kesalahan.

Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka harus diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak pidana yang dilakukannya, yang terdiri dari unsur :

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, sehingga meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.

Pemidanaan masih memerlukan adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Asasnya adalah tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). "Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat dengan adanya asas mens rea yaitu subjektif guilt yang melekat pada si pembuat,

subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si pembuat.25

1) Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberdasarkan adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.

Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat dijabarkan sebagai berikut:

2) Simons mengartikan kesalahan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kesalahan tersebut berupa keadaan pschisch dari si pembuat. Hubungannya terhadap pembuat itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychish

perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.

24

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 68

25

(17)

3) Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan pengertian psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.

4) Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal.

5) Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya biasanya sifat melawan hukum itu adalah perbuatannya yakni segi dalam yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan.26

Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan tersebut, meliputi:27

1) Kesengajaan.

Defenisi sengaja berdasarkan memorie van toelichting (memori penjelasan) adalah merupakan kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tersebut. Kata opzettelijk (dengan sengaja) yang tersebar di dalam beberapa Pasal KUHP adalah sama dengan willens en wetens, yaitu menghendaki dan mengetahui.28

2) Kelalaian (Culva).

Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kelalaian yakni: a) Culva Lata adalah kelalaian yang berat.

b) Culva Levissima adalah kelalaian yang ringan jadi culva ini belum cukup untuk menghukum seseorang karena melakukan suatu kejahatan karena

culva.29

26

Ibid, hlm.53 27

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T.Rienka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 103. 28

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 273. 29

(18)

3) Dapat dipertanggungjawabkan. Pompe mengatakan bahwa :

Dapat dipertanggungjawabkan maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu untuk menentukan kemauannya. Kemampuan berfikir terdapat pada orang-orang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggunjawabkan perbuatan pidana itu kepada pelaku apabila pelaku mempunyai kemampuan berfikir dan menginsyafi arti perbuatannya.30

b. Kemampuan Bertanggungjawab.

Berdasarkan pendapat di atas maka kesalahan mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan di sini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.

Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons mengatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psikis, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:31

1) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.

2) Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

3) Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

30

Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoensia, Paradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 32

31

(19)

c. Alasan penghapus pidana

Ketidakmampuan bertanggungjawab sebenarnya merupakan alasan penghapus kesalahan atau pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak mampu bertanggungjawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui metode berikut, yakni:

1) Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa seseorang, yang dilakukan oleh seorang psikiater.

2) Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan jiwa abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode ini adalah akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana. 3) Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan

keadaan jiwa dan kemudian keadaan jiwa itu dimulai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab.32

Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut perbuatan dan pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana (umum), yakni:

1) Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah pada:

a) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat (memaksa) yang memiliki syarat:

(1) Adanya serangan, tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat seketika, melawan hukum, sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan dan harta benda.

32

(20)

(2) Adanya pembelaan yang perlu diajukan terhadap serangan itu, dengan syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan, pembelaan harus menyangkut pembelaan pada badan, perikesopanan dan harta benda. b) Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu

perundang-undangan. Perundang-undangan di sini maksudnya adalah tiap peraturan yang dibuat oleh pemerintah, maka kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan acara perdata dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas atau wewenang yang diberikan pada pejabat/orang yang bertindak, untuk dapat membebaskan dari tuntutan. Syarat dari Pasal ini adalah tindakan tersebut dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal.

c) Pasal 51 ayat (1) yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah jabatan di sini haruslah perintah jabatan yang sah, sah maksudnya adalah bila perintah tersebut berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan pada suatu peraturan, dan anatar orang yang diperintah dengan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi, meskipun sifatnya sementara serta tindakan tersebut tidak boleh melampaui batas kepatutan.

2) Alasan Pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela, (menurut hukum) dengan kata lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Sehingga alasan pemaaf ini yang terdapat pada KUHP adalah pada:

(21)

composmentis atau is unable to account for his action or to govern them)

karena :

(1) Jiwanya cacat dalam pertumbuhan. (2) Jiwanya terganggu karena penyakit.33

Pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 44 KUHP bertolak pangkal pada anggapan bahwa setiap orang mampu bertanggungjawab, karena dianggap setiap orang mempunyai jiwa yang sehat. Itulah sebabnya mengapa justru yang dirumuskan Pasal 44 KUHP mengenal ketidakmampuan bertanggungjawab.34

b) Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya paksa dapat dibedakan dalam dua hal yakni:

Sebaliknya dari ketentuan tersebut dapat juga diambil suatu pengertian tentang kemampuan bertanggungjawab yaitu dengan menggunakan penafsiran secara membalik (redenering a contrario). Jika yang tidak mampu bertanggungjawab itu adalah seseorang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit maka seseorang yang mampu bertanggungjawab adalah yang tidak mempunyai keadaan-keadaan seperti ditentukan tersebut.

1) Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuatan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.

33

EY Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 257.

34

(22)

2) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalang paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan.

c) Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari syarat:

1) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan.

2) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari goncangan jiwa yang hebat.

3) Goncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus ada hubungan kausal antara keduanya.

d) Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.

2) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan.

Di Indonesia sarjana hukum membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya di kenal dengan satu kata atau istilah untuk keduanya yaitu straf.

(23)

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oleh negara.35

Menurut Simons, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.36

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

Berdasarkan rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa pidana itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno ialah sebagai berikut:

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.37

Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Muladi, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman yang dapat diartikan sebagai berikut: Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,

35

P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. hlm. 47 36

Ibid, hlm.48 37

(24)

maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.38

a. Teori Absolut (Teori Pembalasan)

Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:

Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori retributif), dianggap sebagai pandangan paling klasik mengenai konsepsi pemidanaan. Dalam pandangan ini, diandaikan bahwa setiap individu manusia itu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan sendirinya mengandung konsekuensi untuk mendapatkan respon positif atau negatif. Jika perbuatan itu bersifat sosial, maka ganjaran yang diperoleh pelakunya positif, seperti berupa penghargaan atau pujian dan sebagainya. Tetapi jika perbuatannya itu bersifat antisosial, maka ganjarannya bersifat negatif, misalnya dicela, dimusuhi, atau bahkan dihukum sebagai imbalan atau pembalasan terhadap perbuatannya yang antisosial.

Ciri khas dari ajaran-ajaran absolut, terutama Kant dan Hegel, adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk.39

38

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung, 2005, lm. 33.

39

(25)

terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya dikatakan oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada sikorban, maka harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Jadi penderitaan harus dibalas dengan penderitaan.40 Menurut teori retributif, setiap kejahatan harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan.41

Bagi penganut teori ini, maka pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Kant dalam bukunya Metapysische Anfangsgrunde der Rechtslehre dan Hegel dalam bukunya Grundlinien der Philosophic des Rechts sebagaimana disebutkan dalam Van Bemmelen, mempertahankan pembalasan sebagai dasar pemidanaan. Kant melihat dalam pidana sesuatu yang dinamakan imperatif katagoris, yang berarti: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia berbuat jahat. Pidana itu bukanlah sarana untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi pernyataan dari keadilan. Hegel berpendapat bahwa kejahatan akan diakhiri oleh pidana. Menurut Hegel, pidana ialah suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum, yang terletak dalam kejahatan itu sendiri.42

Berdasarkan uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung

40

Marlina, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 41 41

R. Wirjono Prodjokoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, hlm. 23.

42

(26)

unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut teori pembalasan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.

b. Teori Relatif (teori tujuan).

Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi. Pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat.43

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalanan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

Teori ini juga menyebutkan, bahwa memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J.Andreas, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Sedangkan menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut golongan reducers (penganut teori reduktif).

43

(27)

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccaetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).44

Inilah Makna ucapan yang terkenal dari Seneca, seorang filosof romawi: “Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” (artinya, tidak seorang normalpun yang dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat).45

1) Tujuan pemidanaan memberi efek penjeraan dan penangkalan (deterence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan,menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan untuk penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh itu dianggap bisa sangat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakut- nakuti orang, atau menurut perkara Philip Bean, “ maksud dibalik

Menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan.

Faktor terpenting bagi utilitaris ialah bahwa suatu pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif, apapun artinya: penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi, atau pendidikan moral. Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih mendalami utilitarian theory , yaitu:

44

Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 25 45

(28)

penjeraan ialah mengancam orang-orang lain” untuk kelak tidak melakukan kejahatan.

2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatri, conseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar. Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan bahwa efek preventif dalam proses rehabilitasi ini terpusat pada siterpidana.

3) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.46

c. Teori gabungan

Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu.sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Baru kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan tersebut dapat diterapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Sehingga jelas kebijaksanaan yang pertama-tama harus

46

(29)

dimasukkan dalam perencanaan strategi dibidang pemidanaan adalah menetapkan tujuan pidana dan pemidanaan.47

Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.48

1) Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya atau sulit menentukan bertanya hukuman.

Dalam teori gabungan (verinigning theorien) dasar hukuman adalah tertelatak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukum. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan maupun teori relatif dan tujuan dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak.

Keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) adalah:

2) Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan.

3) Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4) Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi

keputusan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana diadakan untuk kepentingan masyarakat. 49

Keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori relatif atau tujuan adalah:

1) Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan yaitu, baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan.

47

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 19 48

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hlm. 98

49

(30)

2) Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan, apabila ternyata bahwa kejahatannya ringan.

3) Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat.50

Teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan. Jadi pada hakikatnya, ketiga hal mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan damai.

4. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Putusan pengadilan pada dasarnya adalah untuk memberikan suatu keadilan demi terciptanya suatu kepastian hukum. Namun dalam kenyataan di lapangan dapat ditemukan sebaliknya, di mana masih adanya masyarakat yang tidak puas dengan adanya putusan pengadilan. Hal ini dirasanya kurang tepat, keliru dan bahkan kadang–kadang keputusan pengadilan tidak memberikan suatu rasa keadilan yang diharapkan sehingga menimbulkan kekaburan dalam suatu penegakan kepastian hukum.

Dilihat dari Pasal 1 butir 11 KUHAP mengenai pengertian putusan pengadilan yaitu : "Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau

50

(31)

lepas dari segala tuntutan hukum dalam segala hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini".51

a. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat 1 KUHAP)

Adapun macam-macam Putusan Hakim yang merupakan putusan akhir dapat berupa :

Putusan Bebas dapat dijatuhkan oleh hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP yang berbunyi : "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa diputus bebas".

Penjelasan Pasal 191 ayat 1 KUHAP menyebutkan yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan" adalah tidak cukup bukti menurut hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah. Dengan demikian putusan bebas adalah putusan yang dinilai oleh hakim sebagai berikut :

1) Putusan tersebut tidak memenuhi azas pembuktian menurut Undang-undang secara negatif (negatif wettelijke). Hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

2) Tidak memenuhi azas hukum pembuktian. Dalam hal ini minimum pembuktian yang diisyaratkan oleh Undang-undang tidak dipenuhi, misalnya hanya ada satu saksi saja, hanya ada satu alat bukti saja. Sedangkan Pasal 183 KUHAP menentukan untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau bersalah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah.52

51

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 176

52

(32)

Putusan bebas pada umumnya terjadi karena penilaian dan pendapat hakim sebagai berikut :

1) Kesalahan terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang di ajukan oleh penuntut umum dipersidangan tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Berarti disini perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, karena hakim berpendapat bahwa semua alat bukti dipersidangan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.

2) Pembuktian kesalahan terdakwa tidak memenuhi batas minimum pembuktian sebagai mana diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP.

3) Hakim tidak akan kesalahan terdakwa, meskipun kesalahan terdakwa dinilai cukup terbukti.

Dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi yaitu karena :

1) Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disebut oleh Pasal 184 KUHAP. Jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja atau hanya ada keterangan terdakwa saja tanpa diteguhkan dengan alat bukti lain.

2) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa. Misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. 3) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. Maka keyakinan Hakim bukan

(33)

intime) atau (Conviction rasionee), akan tetapi keyakinan hakim adalah keyakinan yang didasarkan atas alat bukti yang sah menurut Undang-undang.

Menurut John Z Loudoe, ketiadaan bukti ada dua macam yaitu :

1) Ketiadaan bukti yang oleh Undang-undang ditetapkan sebagai minimum bukti yaitu adanya pengakuan terdakwa saja atau adanya satu petunjuk saja tidak dikuatkan oleh alat bukti lain.

2) Minimum pembuktian yang ditetapkan Undang-undang telah terpenuhi, misalnya sudah ada dua saksi atau dua petunjuk atau lebih tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.53

Menurut R John Z Loudoe, masih ada satu kemungkinan yang dapat ditambahkan, bukan dari segi lain yakni “kesalahan atau (schuld)” yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggung jawaban pidana. Bila unsur

(schuld) dalam bentuk dolus atau culpa tidak terbukti, berarti terdakwa tidak ada kesalahan maka terdakwa harus dibebaskan.54

Jaksa segera melaksanakan perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan setelah putusan itu diucapkan. Sedangkan terhadap barang bukti yang disita, pengadilan akan menetapkan diserahkan kepada yang paling berhak yang namanya tercantum dalam putusan itu, kecuali jika barang bukti itu harus

Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada dalam status tahanan diperintahkan yang dibebaskan seketika itu juga. Kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa tetap berada dalam tahanan, misalnya terdakwa masih tersangkut dalam lain perkara baik untuk dirinya sendiri maupun bersama-sama dengan kawan terdakwa.

53

John Z Loudoe, Fakta Dan Norma Hukum Acara, Bina Aksara. Surabaya. 2004, hlm. 95

54

(34)

dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dipergunakan lagi.

b. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum. (Pasal 191 ayat 2 KUHAP).

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP diatur dalam Pasal 192 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum didasarkan bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah, tetapi hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. “Menurut Pasal 67 KUHAP menyatakan adanya larangan banding terhadap putusan bebas, putusan lepas atas segala tuntutan hukum dan terhadap semua putusan pengadilan dalam acara cepat, baik putusan pemidanaan maupun putusan tanpa pemidanaan”.

Putusan bebas Pasal 67 KUHAP tersebut, putusan yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, putusan tersebut berbeda dengan putusan yang juga putusan lepas atas segala tuntutan hukum menurut Pasal 191 ayat 2 KUHAP dalam hal perbuatan yang didakwakan, tidak merupakan suatu tindak pidana.

(35)

putusan lepas atas tuntutan hukum yang lain dari pada yang dimaksudkan oleh Pasal 67 KUHAP, larangan banding menurut Pasal tersebut tidak terbukti.

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat diartikan dalam dua arti yaitu :

1) Pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam arti luas. Disini termasuk juga pembebasan yang sebenarnya merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum, tetapi karena telah disebut sebagai pembebasan, maka disebut pelepasan dari segala tuntutan yang bersifat tertutup.

2) Pelepasan dari tuntutan hukum dalam arti sempit. Dalam hal ini jika hakim berpendapat unsur-unsur tindak pidana tidak terbukti, akan tetapi pendapatnya keliru karena salah satu unsur diartikan salah tidak sesuai dengan maksud Undang-undang.55

Perbuatan yang didakwakan itu terbukti, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, hal ini terjadi jika :

1) Terdapat kesalahan dalam merumuskan atau melukiskan perbuatan yang dilakukan terdakwa ke dalam surat dakwaan, sehingga tidak mencocoki dengan rumusan ketentuan peraturan hukum pidana yang didakwakan. Misalnya pada dakwaan melanggar Pasal 372 KUHP, unsur sifat melakukan hukum mengaku sebagai pemilik tidak dilukiskan dalam surat dakwaan, hingga perbuatan itu bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.

2) Terdakwa dalam keadaan :

a) Sakit jiwa atau cacat jiwanya (Pasal 44 KUHP). b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP) c) Membela diri (noodwear) (Pasal 49 KUHP).

d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).

55

(36)

e) Melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah (Pasal 51 KUHP).

Keadaan terdakwa yang dalam sub a itu, maka ia tidak dapat dipertanggung jawabkan dan di dalam sub b, c, d dan e tidak dinyatakan dapat dihukum, meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti. Dalam putusan yang mengandung pembebasan maupun mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukum menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan tingkat banding.

c. Putusan yang mengandung penghukuman (Pasal 193 ayat 1 KUHAP).

Menurut Pasal 193 ayat 1 KUHAP berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdapat bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Terdakwa bersalah berarti dakwaan itu terbukti dan syarat untuk menjatuhkan pidana telah dipenuhi yakni dua alat bukti dan hakim yakni akan kesalahan terdakwa.

Dalam hal menjatuhkan hukuman, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan menurut Jonkers sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid bahwa dasar umum

strafverhogingsgronden atau dasar pemberatan atau penambahan pidana adalah : 1) Kedudukan sebagai pegawai negeri

2) Residivis (pengulangan delik)

3) Samenloop (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik) atau

concursus.

Disamping itu suatu hukuman juga dapat diperberat dengan alasan-alasan seperti berikut :

1) Terdakwa dalam persidangan memberikan keterangan-keterangan yang berbelit-belit sehingga mengganggu lancarnya persidangan.

2) Terdakwa tidak menyesali atas perbuatan yang dilakukan terhadap korban.56

56

(37)

Hal-hal yang meringankan undang-undang hukum pidana hanya mengatur hal-hal yang umum tentang peringanan hukuman terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana, misalnya :

1) Adanya perdamaian antara terdakwa dengan korban atau keluarga korban

2) Terdakwa menyesali perbuatan yang telah dilakukannya

3) Terdakwa masih mudah dan mempunyai masa depan yang masih panjang

4) Terdakwa dalam persidangan mengakui terus terang atau memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit

5) Terdakwa masih banyak mempunyai tanggungan.57

Putusan pemidanaan segera setelah diucapkan, hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya yaitu :

1) Hak untuk menerima atau menolak putusan.

2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang.

3) Hak meminta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.

4) Hak meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ia menolak putusan. 5) Hak mencabut pernyataan sebagai mana dimaksud dalam huruf “a.” dalam

tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.

Semua putusan pengadilan itu hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum, jika diucapkan pada persidangan terbuka untuk umum.

H. Metode Penelitian

57

(38)

1. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang mengarah kepada penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang bertitik tolak dari pemasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, kemudian menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap58

2. Sumber Data

yaitu tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pemalsuan Kartu Tanda Penduduk.

Sumber data dalam penelitian ini adalari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder diperoleh melalui:

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, dalam penelitian ini dipergunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa buku bacaan yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

58

(39)

3. Alat Pengumpul Data

Mengingat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yang memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data utama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian..

4. Analisis Hasil

Data yang terkumpul tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan menggunakan analisis kualitatif atau dijabarkan dengan kalimat. Analisis kualitatif adalah analisa yang didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

I. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan

BAB II : Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk meliputi : Perkembangan Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk di Medan, Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Pencetakan Kartu Tanda Penduduk, Faktor Penyebab Terjadinya Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk, Upaya Penanggulangan Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk.

(40)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk dalam Kasus No. 1649/Pid.Sus/2015/P.Mdn : Kronologis Kasus, Dakwaan JPU, Tuntutan JPU, Putusan Hakim, Analisis Kasus : Berdasarkan Hukum Acara, Berdasarkan Hukum Pidana Materiil, Aspek Keadilan Putusan Hakim.

Referensi

Dokumen terkait

Manusia pertama yang mengerjakan sholat maghrib adalah Nabi Isa 'Alaihi Sallam. Hal ini terjadi ketika Nabi Isa dikeluarkan oleh Allah dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN SETELAH PAJAK.. TOTAL LABA (RUGI) KOMPREHENSIF TAHUN

Kapanpun leukemia akut ini relaps (termasuk relaps harus didokumenkan pada jaringan ekstra medullary karena ini penting untuk melakukan pemeriksaan hematologi

[r]

Universitas Negeri

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

[r]

Dalam memenuhi kebutuhan rencana pemberhentian (halte) yang terintegrasi antara jalur utama, jalur feeder dalam layanan sistem transportasi perkotaan, dari hasil