• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Korea Selatan Dalam Memperbaiki Hubungan Dengan Korea Utara Melalui Kebijakan The Policy of Peace and Prosperity (Pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya Korea Selatan Dalam Memperbaiki Hubungan Dengan Korea Utara Melalui Kebijakan The Policy of Peace and Prosperity (Pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

xii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semenanjung Korea merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia Timur Laut. Semenanjung Korea berabad-abad dalam sejarahnya merupakan wilayah yang sangat penting sebagai daerah yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar. Posisi geografis Korea menyebabkan sepanjang sejarahnya ia mempunyai arti penting dari sudut strategis. Hal ini karena Semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia.

Di masa lampau Cina, Jepang dan, Rusia menjadi pihak-pihak yang mengganggu perkembangan negara dan bangsa Korea, sedangkan di masa modern Amerika Serikat ikut serta mencampuri urusan negara Korea. Terpecahnya Korea menjadi dua Negara yang berdaulat merupakan akibat dari Perang Dunia II yang pada akhirnya dijustifikasi melalui Perang Dingin hingga saat ini1

. Kedua negara Korea tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konflik ideologi Liberal-Demokratis dan Komunis-Sosialis antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Kedua belah pihak tersebut saling mencari daerah pengaruh (enclave) untuk kepentingan strategis masing-masing, yang akhirnya akan mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya. 2

Dalam skripsi ini, penulis menempatkan kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008) sebagai tema serta pembahasan utama. Konsep kebijakan tersebut lebih dikenal dengan nama the Policy of Peace and

1

YangSeung-Yoon,dan Mohtar Mas‟oed, Masyarakat, Politik,dan Pemerintahan Korea : Sebuah Pengantar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h.1

2

(2)

xiii

Prosperity.

The Policy of Peace and Prosperity merupakan kebijakan resmi Korea Selatan terhadap Korea Utara yang secara resmi dideklarasikan oleh Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008). Pada pidato perdananya (25 Februari 2003), Roh Moo-hyun mendeklarasikan bahwa ia melanjutkan Sunshine Policy terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintahan Presiden Kim Dae- jung. 3

Pemerintah Roh melanjutkan kebijakan tersebut dengan modifikasi dan penamaan baru melalui konsep Kebijakan Perdamaian dan Kesejahteraan (Policy of Peace and Prosperity).

Sunshine Policy (햇볕정책) atau Kebijakan Sinar Matahari merupakan bentuk

kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan Korea Utara yang digagas oleh Presiden Kim Dae-jung (1998-2003). 4

Kebijakan ini didasarkan pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan Kim Dae-jung pada tahun 1998. Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala bentuk ancaman militer maupun provokasi bersenjata oleh Korea Utara. Kedua, prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan ancaman ataupun kekerasan. Ketiga, prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta kerjasama antara Korea Selatan-Korea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian rekonsiliasi tahun 1991. Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan Korea Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan Pyongyang sepakat untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama dalam bidang keamanan.

3

Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities:

TheParticipatoryGovernment‟sPolicyTowardNorthKorea.EastAsianReview.Vol.16, No. 2. Summer2004, 97. 4

(3)

xiv Istilah Sunshine Policy, diambil dari dongeng Korea mengenai angin dan matahari5

. Dalam dongeng diceritakan tentang matahari dan angin yang bersaing untuk melihat siapa yang mampu membuat seorang pejalan kaki melepaskan jas yang sedang dikenakannya. Ketika angin gagal melakukannya walaupun sudah berhembus keras, matahari menggunakan kehangatannya untuk membuat pejalan kaki itu melepaskan jasnya. Kim Dae-jung berpendapat bahwa sinar matahari akan lebih dapat memberikan dampak efektif dibandingkan dengan kekuatan angin dalam mempengaruhi Korea Utara untuk tidak lagi mengisolasi diri dan tidak lagi bersikap konfrontatif.

Presiden Kim membentuk Sunshine Policy dengan tujuan utamanya yaitu membangun perdamaian bersama untuk mengendurkan tensi politik maupun militer dalam hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara6

. Untuk mengaplikasikan kebijakannya tersebut, pemerintah Kim menggunakan instrumen kebijakan dengan melakukan pemisahan politik dari ekonomi (separation of politics from economics) yang berarti mendorong pertukaran dan kerjasama di bidang ekonomi tanpa menghubungkannya dengan masalah atau situasi politik maupun militer yang terjadi serta mengijinkan perusahaan-perusahaan perorangan atau swasta untuk menanamkan modal di Korea utara dalam sektor-sektor industri.

Selain itu, instrumen lain yang digunakan adalah memberikan subsidi gandum, penyediaan reaktor air ringan, pertemuan kembali keluarga yang terpisah, serta pertukaran sosial-budaya.7

Namun seiring berjalannya waktu, pendekatan dan pemulihan kembali hubungan diplomatik antara Korea Utara dengan negara-negara Barat menjadi salah satu prioritas utama karena hal tersebut akan membantu Korea Utara keluar dari isolasi

5

HaggarsStephandanMarcusNoland.NorthKoreain2007Shufflingin from the Cold. Asian Survey, Vol. XLVIII, No. 1, January/February2008, 111.

6

Kyung-suk, Chae. The Future of the Sunshine Policy: Strategic for Survival. East Asian Review, Vol. 14, No. 4, Winter 2002, 3-4.

7

(4)

xv negara Barat. 8

Menurut data yang dikutip dari artikel Chae Kyung-suk berjudul The Future of the Sunshine Policy: Strategic for Survival, salah satu bentuk implementasi dari instrumen-instrumen kebijakannya tersebut adalah seperti pada tahun 1998, Korea Selatan memberikan total 11 juta dolar jagung (30.000 ton) dan tepung (10.000 ton) dalam bantuan ke Utara yang disalurkan melalui Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP). Selain itu, Sejak 1999, Korea Selatan juga membantu menyelesaikan akar penyebab permasalahan ketersedian pangan di Korea Utara dengan mengirimkan pupuk. Kemudian pada tahun 1999, Korea Selatan menghabiskan 46.2 juta won untuk mengirim 155 ribu ton pupuk kepada Korea Utara. Penyediaan pupuk ini dilakukan kembali pada tahun 2001, ketika Korea Selatan menyediakan 200.00 ton pupuk untuk Korea Utara. Selain itu, Korea Selatan juga memberikan 500 dollar obat-obatan melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) untuk program pemberantasan penyakit di Korea Utara. Selain itu juga, pada Mei 2001, Korea Selatan mengirim obat-obatan, peralatan pengendali hama, vaksin imunisasi dan produk perawatan medis lainnya kepada Korea Utara.

Atas bantuan-bantuan yang telah diberikan tersebut, Korea Selatan menerapkan karakteristik kebijakan yang bersifat timbal balik serta fleksibel terhadap Utara Korea (apolicy of flexible reciprocity towards North Korea). 9

Timbal balik berarti bahwa kebijakan Korea Selatan yang salah satunya adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara hanya perlu dibalas dengan menjaga dan memperbaiki hubungan antar-Korea dan tidak dengan diberi balasan atau ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah diberikan).

Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Dae- jung

8

Chung-in Moon. The Sunshine Policy and the Korean Summit: Assessment and Prospects. East Asia Review, Vol. 12, No. 4, Winter 2000, 7-8.

9

(5)

xvi membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting yang berhasil direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil melancarkan proyek bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme Gunung Kumgang dan proyek komplek industri Kaesong di Korea Utara. 10

Selain itu juga, pada Juni 2000, ia berhasil melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea (Korean Summit) yang dilakukan oleh presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il.

Penerapan Sunshine Policy dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya, yakni Roh Moo-hyun. Pemerintahan Roh memodifikasi namanya menjadi „the Policy of Peace and Prosperity‟. Kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun tersebut, oleh para ahli/cendikiawan dalam tulisan baik berupa buku, jurnal, maupun artikel secara garis besar dikategorikan sebagai Sunshine Policy (karena melanjutkan kebijakan pemerintah terdahulu: Kim Dae- jung).

Sebagai contoh: (1) dalam buku yang ditulis oleh profesor ilmu politik di Yonsei University,South Korea,berjudul “the Sunshine Policy: In Defense of Engagement as a Path to Peace in Korea‟ yang diterbitkan oleh Yonsei University Press pada tahun 2012, ia menuliskan pada halaman kata pengantarnya (preface) halaman ix bahwa “The Sunshine Policy, the theme of this book, was introduced by the late president Kim Dae-jung with the

vision of attaining a lasting peace on the Korean Peninsula ... This Policy was continued,

both in spirit and letter, by his successor, President Roh Moo-hyun, under the rubric of the

Peace and ProsperityPolicy.”; (2) Kang In-duk, Menteri Unifikasi Korea Selatan periode 2001-2002, menulis dalam artikel yang berjudul „Toward Peace and Prosperity: The New

Government‟s North Korea Policy‟ yang diterbitkan dalam jurnal East Asian Review, Vol.

15, No. 1, Spring 2003 menuliskan bahwa “In his inaugural address, Roh outlined his new

10

(6)

xvii

Peace andProsperity Policy which will maintain the general framework of theSunshine

Policy while aiming at a more widespread nationalconsensus and bipartisan cooperation,

two areas that the previousadministration neglected.” (halaman 3-4); (3) Hong Nack Kim menulis artikel dalam International Journal of Korean Studies Vol. XII, No. 1Fall/Winter

2008 halaman 3 berjudul The Lee Myung-Bak Government‟s North Korea PolicyAnd the Prospects for Inter-Korean Relationsbahwa “For ten years, from February 1998 to February

2008, under the two left-leaning governments, South Korea pursued the so-called "Sunshine

Policy" of engagement toward North Korea. This policy was initially advocated by former

President Kim Dae-Jung from 1998 to 2003 and retained by his successor, Roh Moo-Hyun,

as the policy of "Peace and Prosperity" from 2003 to February 2008.‟

Akan tetapi, Sunshine Policy yang dijalankan oleh pemerintahan Roh Moo- hyun memiliki beberapa modifikasi atau penambahan prinsip/konsep kebijakan, sehingga lebih spesifik dikenal dengan istilah the Policy of Peace and Prosperity. Perbedaan tersebut antara lain adalah, Kim Dae-jung dalam melaksanakan kebijakannya melakukan pemisahan antara ekonomi dan Politik. Tetapi Roh Moo- hyun mencoba meletakkan kebijakan antar Korea, kebijakan regional, serta aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat ke dalam satu rumusan kebijakan. 11

Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah the Policy of Peace and Prosperity yang juga merupakan istilah umumuntuk merujuk secara spesifik pada kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun.

Pemerintah Roh dalam menjalankan kebijakannya berada pada kondisi internasional yang berbeda dari pemerintah sebelumnnya.Roh Moo-hyun mewarisi peluang sekaligus tantangan dari penerapan kebijakan tersebut12

. Ia memiliki keuntungan karena sudah ada

11

Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities: The Participatory Government‟s Policy Toward North Korea. East Asian Review. Vol. 16, No. 2. Summer 2004, 97.

12

(7)

xviii bentuk dasar atau bentuk nyata, hasil dari “warisan‟ pemerintah sebelumnya atas Sunshine Policy. Misalnya, proyek pariwisata Mt. Kumgang yang mulai dijalankan sejak tahun 1998 dan Korean Summit bersejarah yang terjadi pada tahun 2000. Terkait hal tersebut, pemerintah Roh mendapat keuntungan, yakni dapat melanjutkan dan mengembangkan program yang sudah dicapai oleh pemerintahan sebelumnya demi melancarkan tujuan kebijakannya terhadap Korea Utara.

Namun disamping itu,, pemerintah Roh Moo-hyun juga menghadapi tantangan dalam menjalankan kebijakannya tersebut. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Sunshine Policy

datang dari Amerika Serikat. Selama masa pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara. Bill Clinton turut terlibat dengan Korea Utara serta membuat terobosan dalam hubungan Amerika Serikat-Korea Utara, salah satunya adalah dengan dilakukanya kunjungan Madeleine Albright (menteri luar negeri Amerika Serikat pada masa Bill Clinton) ke Pyongyang pada Oktober 2000. Sementara itu, berbeda dengan masa pemerintahan Bill Clinton, pada masa pemerintahan George W. Bush yang secara resmi diawali pada tahun 2001 menerapkan kebijakan keras (hardline policy) terhadap Korea Utara yang dikenal

dengan istilah informal „Anything but Clinton‟ (ABC). 13

Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan sikap dari Amerika Serikat yang pada masa Bill Clinton sebelumnya mendukung kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara dengan soft diplomacy yang dilakukannya, berubah dengan hardline policy yang diterapkan oleh Presiden George W. Bush.

Salah satu hardline policy yang dilakukan oleh presiden Bush adalah ketika ia menyebut Korea Utara sebagai salah satu poros setan (exis of evil) tahun 2002 pasca peristiwa 9/11. Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy secara terbuka menyalahkan presiden Bush dan pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di

13

(8)

xix Korea. Ia juga menyatakan bahwa sebutan “poros setan‟ yang disebutkan oleh presiden Bush terhadap Korea Utara serta sikap presiden Bush yang menunjukkan keinginannya untuk menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive membuat kejutan bagi masyarakat Korea Selatan.

Disamping itu, tantangan lain yang juga dihadapi oleh pemerintah Roh Moo- hyun adalah sikap dari Korea Utara yang pada bulan Januari 2003 menarik diri dari Non-Proliferation Treaty (NPT) dan membuang peralatan pemantauan milik International Atomic Energy Agency (IAEA) di reaktor nuklir di Yongbon. Setelah itu, Korea Utara kembali menghidupkan reaktor nuklirnya tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara kembali bersikap agresif kepada dunia internasional dengan mengoperasikan reaktor nuklirnya. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Roh Moo-hyun, yang pada saat itu baru memulai masa jabatannya, dalam mengaplikasikan kebijakannya yang melanjutkan prinsip-prinsip dari kebijkan terdahulu.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul UPAYA KOREA SELATAN DALAM MEMPERBAIKI HUBUNGAN DENGAN KOREA UTARA MELALUI KEBIJAKAN THE POLICY OF PEACE AND

PROSPERITY (PEMERINTAHAN ROH MOO HYUN PERIODE 2003-2008).

1.2.Rumusan Masalah

(9)

xx

1.3. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membuat batasan masalah yang akan dibahas agar tujuan dari hasil penelitian ini tidak menyimpang dari judul yang telah dibuat. Oleh sebab itu batasan penelitian ini berfokus kepada :

1. Bagaimana kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada pemerintahan Roh Moo Hyun?

2. Bagaimana penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity?

3. Apa saja analisis hambatan dan pencapaian dalam proses penerapan kebijakan tersebut?

4. Rentang waktu dalam penelitian ini dibatasi pada pemerintahan Roh Moo Hyun pada tahun 2003-2008.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada pemerintahan Roh Moo Hyun

2. Untuk mendeskripsikan penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity 3. Untuk menganalisis hambatan dan pencapaian upaya Korea Selatan dalam

memperbaiki hubungan dengan Korea Utara melalui kebijakan The Policy of Peace and Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

(10)

xxi 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah kajian referensi di Departemen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang upaya Korea Selatan dalam memperbaiki hubungan dengan Korea Utara melalui kebijakan the Policy of Peace and Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat indonesia mengenai penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun 2003-2008.

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Konsep Politik Luar Negeri

Konsep politik luar negeri mengandung unsur tindakan, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh suatu pemerintah tertentu kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, tindakan suatu Negara merupakan bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung tindakan pemerintah Negara lain yang berperan dalam menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan Negara tersebut. 14Chris Brown dalam bukunya Understanding International Relation memberikan pandangan sederhana dalam pandangan politik luar negeri, menurut Brown, politik internasional dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar.15Dalam hal ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam sistem internasional pola perilaku Negara didasarkan pada kepentingan nasional serta strategi berdasarkan

14

KJ. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary (pent) Erlangga, 1983, h. 158.

15

Chris Brown, Understanding International Relation, 2nd edition, London, Palgrave,2001, h. 68-86, Dikutip

(11)

xxii kalkulasi posisi mereka di dalam sistem internasionalnya. Namun dilihat dari bagaimana Negara merumuskan kepentingan nasionalnya dan aspek-aspek apa saja yang akan ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan.

Menurut H.J Morgenthau bahwa Negara sesungguhnya adalah aktor yang sepenuhnya rasional. Karena itu tindakan-tindakan Negara akan dilakukan secara perhitungan untung rugi yang jelas. 16Menurut Kenneth Waltz, aktor diasumsikan melakukan suatu tindakan rasional yang telah dikalkulasikan. Singkatnya suatu Negara harus mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival) agar tidak mudah diserang/rawan (vulnerability) dalam sistem internasional anarki. Perilaku Negara ditunjukan kepada pencapaian kepentingan nasional dengan

mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya.

Politik luar negeri cenderung berubah dari waktu ke waktu tanpa indikasi yang jelas.

17

Meskipun demikian, untuk memahami perilaku politik luar negeri yang dinamis, William D. Coplin mengidentifikasikan dalam empat determinan politik luar negeri. Pertama, adalah konteks internasional, artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi bagaimana Negara itu akan berperilaku. Dalam hal ini, Coplin menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri suatu Negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politik. Geografi merupakan suatu hal yang konstan keberadaannya. Namun tidak lagi terpenting seperti yang diberikan oleh para pendukung geopolitik pada masa lalu. Sebagaimana halnya geografi, faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan luar negeri.

Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah perilaku para pengambil keputusan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan individu-individu dalam pemerintahannya menjadi faktor

16

Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc, 1979, h. 125-127.

17

(12)

xxiii penting dalam penentuan kebijakan luar negeri. Sementara itu, determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan politik. Kemampuan ekonomi dan politik suatu Negara dapat mempengaruhi Negara tersebut dalam interaksinya dengan Negara lain. Keempat, determinan terakhir yang memepengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Dalam hal ini, situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri.

Dalam kaitannya dengan faktor yang ada Struktur dan pembuatan keputusan Korea Utara, Kim Jung II memainkan peran yang sangat penting. Sikap Kim Jung Il untuk memelihara rejim dan sekaligus membangun ekonomi nasional dengan memobilisasi militer. Untuk menjaga keamanan rejim maupun pertumbuhan ekonomi, Korea Utara secara efektif

berubah menjadi “negara yang mengutamakan militer”. Salah satunya yaitu dengan

mengembangkan program nuklir. Pengembangan program nuklir Korea Utara sebagai reaksi terhadap berubahnya sistem di lingkungannya. Pengembangan nuklir tersebut sebagai upayanya untuk mempertahankan Bargaining position atau posisi tawar menawar di dalam masyarakat internasional.

Menurut Walter S Jones menegaskan bahwa kemungkinan pecahnya perang salah satunya dapat diakibatkan oleh adanya perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak dapat terkendali18. Pengembangan persenjataan di Kawasan Asia Timur yang terus ditingkatkan akan menimbulkan pecahnya perselisihan dan konflik dari pihak lawan yang sudah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kondisi yang ada akan memperparah konflik yang sudah ada sebelumnya.

1.6.2 Kebijakan Luar Negeri

Setiap negara memiliki kepentingan serta tujuan nasional yang ingin dicapai dengan melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik internasional. Rumusan

18

(13)

xxiv kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara diformulasikan ke dalam kebijakan luar negeri. Setiap negara dan setiap periode pemerintahan Kim Dae-jung, Presiden Amerika Serikat yang pada saat itu adalah Bill Clinton (1993-2001), turut berperan aktif dalam mendukung kebijakan pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang berbeda, tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang terjadi. 19

Kebijakan Luar negeri menurut Rosenau (1974) merupakan tindakan otoritatif yang diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang diinginkannya dari lingkungan internasional, maupun mengubah aspek yang tidak diinginkan. Kebijakan luar negeri dibuat bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan yang akan dicapai. Bentuk kebijakan luar negeri dapat berupa hubungan diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.

Selain itu, kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional20

. Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.

Dengan kata lain. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan Negara dalam menghadapi Negara lain atau aktor politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.

19

Eby Hara Abubakar. 2011. Analisis Politik Luar Negeri. Bandung: Nuansa, 13.

20

(14)

xxv Dalam proses kebijakan luar negeri suatu Negara, ada dua tahap utama yang dilaluinya, yakni: proses pembuatan kebijakan dan proses implementasi (pelaksanaan) dari kebijakan tersebut. Dalam pandangan sederhana, pembuatan kebijakan luar negeri merupakan urusan ekslusif pemerintah.Sehingga, kebijakan luar negeri merupakan pencapaian kepentingan nasional suatu Negara yang prosesnya dirumuskan, diawasi, dan dikontrol oleh pemerintah21

. Setelah membuat keputusan kunci, mereka kemudian menyerahkannya kepada Departemen Luar Negeri untuk diimplementasikan.

Kebijakan luar negeri menurut Aleksius Jemadu merupakan instrumen kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara berdaulat untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor lain dalam politik dunia demi mencapai tujuan nasionalnya.

Sementara itu, menurut Howard Lentner kebijakan luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan, yaitu:penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumberdaya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksaan (implementation) dari kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan.

1.6.3. Diplomasi

Menurut buku John Baylis dan Steve Smith diplomasi dalam hubungan internasional merupakan salah satu dari serangkaian instrumen (one of a set of instruments) yang mengimplemantasikan dan merealisasikan keputusan- keputusan yang telah diambil pemerintah (melalui Departemen Luar Negeri)22

. Diplomasi sebagai kegiatan pemerintah tidak hanya merujuk pada instrument kebijakan tertentu, tapi juga untuk seluruh proses permbuatan kebijakan dan pelaksanaanya.

21

Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics. United States : Oxford University Press, 396.

22

(15)

xxvi Disamping itu, diplomasi juga merupakan istilah yang dapat memiliki makna berbeda, tergantung pada pengguna dan penggunaanya.Diplomasi dapat dibagi menjadi dua perspektif dalam konteks politik dunia (world politic), yakni perspektif makro, dan perspektif mikro23

.

Dalam perspektif makro politik dunia, diplomasi mengacu pada proses komunikasi yang merupakan pusat kerja dari sistem global. Jika politik dunia ditandai hanya dengan ketegangan antara konflik dan kerjasama, diplomasi bersama dengan perang (diplomacy together with war), dapat dikatakan mewakili lembaga yang menentukan. Jika konfik dan kerjasama ditempatkan pada dua ujung sebuah spektrum, diplomasi dapat diletakan pada kerjasama dan mewakili bentuk interaksi yang fokus pada resolusi konflik dengan melalui dialog dan negosiasi. Diplomasi secara fundamental berkaitan dengan upaya untuk menciptakan stabilitas dan ketertiban dalam sistem global, keberadaanya diperkuat untuk mencegah konflik agar tidak berujung dengan perang24

.

Semantara, dalam perspektif mikro erat kaitannya dengan aktor internasional seperti negara.Pemahaman tentang diplomasi memberikan wawasan ke dalam mengungkapkan perilaku para aktor itu sendiri dalam sistem global. Dari perspektif ini, diplomasi dapat diidentifikasi sebagai instrumen kebijakan daripada sebuah proses global. Semua aktor memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana perilaku kebijakan luar negeri mereka diarahkan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, aktor membutuhkan “sarana‟ atau lebih sering disebut dengan istilah “instrumen‟. Diplomasi menyediakan salah satu instrumen yang digunakan oleh aktor internasional untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya. Diplomasi dapat digunakan secara langsung (diplomasi murni/pure diplomacy) dengan pihak lain atau sebagai sarana berkomunikasi atau menggunakan acaman dari instrumen lain (diplomasi campuran/mixed diplomacy).

23

Soemarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1985, h. 25-26

24

(16)

xxvii Persuasi atau diplomasi murni (pure diplomacy) dapat dikatakan cukup untuk memperoleh kebijakan suatu negara di luar negeri. Namun, diplomasi juga terhubung dengan instrumen kebijakan lainnya untuk menghasilkan apa yang disebut dengan diplomasi campuran (mixed diplomacy)25

. Dari sini, diplomasi menjadi jalur komunikasi apakah ancaman atau instrumen lainnya yang akan diterapkan kepada pihak lain. Sikap persuasif dalam diplomasi lebih sering berhasil jika negara menerapkan konsep “sticksand/or

carrots”.

Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri mengacu pada penggunaan diplomasi sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan dengan instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Semua aktor memiliki tujuan, dan ke arah mana perilaku kebijakan luar negeri mereka tergantung pada tujuanya masing-masing.

Terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam berbagai cara, baik sebagai manfaat potensial atau sebagai hukuman dalam upaya perilaku pihak lain, seperti yang dikutip dalam Baylis& Smith, yakni :

Angkatan militer sebagai instrumen kebijakan dapat digunakan sebagai ancaman atau dikerahkan sebagai “otot‟ dalam negosiasi. Diplomasi dan kekuatan militer, sering digunakan secara bersamaan dan dianggapsebagai instrumen kebijakan luar negeri secara tradisional. Hal tersebut menyebabkan Negara-negara berkembang berupaya mencari instrumen lain sebagai alternatif untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi.

Instrumen kedua adalah penggunaan langkah-langkah ekonomi.Diplomasi menggunakan instrumen-instrumen ekonomi bukanlah hal yang baru dalam hubungan internasional.Penggunaan instrumen ekonomi dalam diplomasi baik berupa perdagangan

25

(17)

xxviii maupun bantuan luar negeri juga dapat digunakan sebagai “stick‟ maupun “carrot‟ bagi negara lain yang dituju.

Instrumen ketiga adalah dengan menargetkan pemerintah secara langsung, atau disebut juga dengan subversi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia subversi merupakan gerakan, usaha, atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang. Berbeda dengan instrumen-instrumen sebelumnya, karena instrumen ini difokuskan pada upaya mendukung kelompok- kelompok tertentu dalam negara lain dengan tujuan merusak ataumenggulingkan pemerintahan negara tersebut. Instrumen subversi mencakup berbagai teknik, termasuk propaganda, kegiatan intelejen, dan membantu kelompok pemberontak26

.

1.6.4. Bantuan Luar Negeri

Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain yang dapat berbentuk barang atau dana.

Parson dan Payasilian mengajukan empat teori mengenai batuan luar negeri, yaitu :

1. Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah bukan

untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi untuk proyeksi „power‟

secara nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional.

2. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara

26

(18)

xxix penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian, melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara penerima bantuan. Sehingga para penganut teori dependensia menganggap bawa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kayak ke miskin, sebuah

3. Sistem untuk mengekalkan ketergantungan.

4. Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia, hukum, dan ketertiban internasional.

5. Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mempromosikan kepentingan nasional melalui agenda politik. Teori ini juga menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik internasional, antara lain adalah kombinasi tujuan kemanusiaan, geopolitik, ideologi, kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai faktor dalam politik domestik27

.

27

(19)

xxx Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukkan untuk kepentingan politik jangka pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan ekonomi jangka panjang.Dalam jangka panjang, bantuan luar negeri dimaksudkan untuk membantu menjamin beberapa tujuan politik negara donor yang tidak dapat dicapai hanya dengan melalui diplomasi, propaganda, atau kebijakan publik28

.

Aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan luar negeri dapat berupa pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang diberikan oleh negara-negara donor atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman luar negeri, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), dan Sebagainya29

.

Holsti membagi program bantuan luar negeri ke dalam empat jenis, yaitu :

1. Bantuan militer

2. Bantuan teknik

3. Grant dan program komoditi impor

4. Pijaman pembangunan

1.6.5. Reunifikasi

Reunifikasi merupakan suatu penyatuan atau menggabungkan kembali. Istilah reunifikasi berdasar dari kata unifikasi yang berarti hal menyatukan hal yang menjadikan seragam. 30

Reunifikasi dari kata re + unify yaitu, “ to restore the unity or intergrity of (As a divided country)“. Dari kata dasar tersebut, kemudian Almond an Schuster

28

Ibid, h. 82.

29

Ibid, h. 83.

30

(20)

xxxi memberi pengertian atau definisi mengenai reunifikasi yaitu “The act or process of reunifying ( advocating of the divided country)” yang dapat diartikan sebagai tindakan atau proses penyatuan kembali atas suatu Negara yang pernah dipisahkan.

Sedangkan Thomas A.Baylis, dalam studinya mengenai reunifikasi menyatakan

pendapatnya bahwa “in fact, the world reunification it self was often replaced by the term

einheit or until. Einheit did not necessarily mean unification in a legal or political sense but

rather in a larger moral sense”, dalam kenyataannya, kata reunifikasi sendiri sering digantikan dengan einheit atau persatuan. Einheit atau persatuan tidak perlu berarti penyatuan dalam pengertian hukum atau politik tetapi cukup pada pengertian moral yang lebih besar31

.

Munculnya keinginan unifikasi kedua Negara Korea untuk berunifikasi sebenarnya sudah sejak lama ada. Namun harapan itu terhalang oleh pemerintahan militer AS dan USSR dengan dalih pembagian Semenanjung Korea telah ditetapkan dalam perundingan sekutu, yakni Negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua. Pada saat kekuatan besar tesebut meninggalkan Korea, usaha-usaha kongkret untuk mewujudkan Negara Korea yang bersatu kembali digiatkan oleh kedua Negara Korea. Terbukti reunifikasi secara damai melalui jalur diplomasidilakukan secara terang-terangan oleh Korea Selatan sejak terbentuknya Republik Korea tahun 1948 dan masih terus diupayakan sampai saat ini baik dilakukan dengan cara perundingan, kerjasama, maupun dialog32

.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Utara dalam mewujudkan Negara Korea yang satu, walaupun dalam kenyataannya kebijakan luar negeri Korea Utara baik dengan Korea Selatan maupun dengan Negara-negara lainnya cenderung mengancam. Namun saat

31

Almond and Schuster, Websters‟s, New Twentieth Century Dictionary Of the English Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983, h. 15.

32

Baca tulisan Thomas A. Baylis, The Germanys or One? The Return The “German Question”, dalam Ursula Hoffman-Lange (ed), Social and Political Structure in The West Germany, “From Authori Tarianism to Post

Industrial Democracy”, West View Special Studies in West European Politics and Society, Munich, 1998,

(21)

xxxii ini, Korea Utara mulai mempertimbangkan dan menjalankan upaya penyatuan melalui jalur diplomatik atau negosiasi.

Terwujudnya reunifikasi Korea merupakan harapan rakyat di Semenanjung Korea karena pada awalnya mereka adalah bangsa yang satu namun terpisakan oleh persaingan antara Negara super power pada masa Perang Dingin. Namun ironisnya, hambatan-hambatan yang ada dalam peroses penyatuan kembali Korea justru dari dalam negeri dan berkaitan dengan upaya kedua Negara tersebut dalam menjaga dan mempertahankan kepentingan nasionalnya tersebut, seperti kesenjangan ekonomi yang cukup besar, perbedaan ideologi dan adanya isu pengembangan nuklir yang semakin memperburuk keadaan maupun belum adanya formulasi yang tepat bagi Korea yang satu.

1.7. Metodologi Penelitian

1.7.1. Metode Penelitian

(22)

xxxiii rekontruksi masa lampau secara objektif, dan sistematis dengan mengumpulkan, memverifikasikan, menginterpretasi, mensintesa dan menuliskan menjadi kisah sejarah.33

1.7.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tujuan utamanya adalah untuk memperoleh wawasan tentang topik tertentu. Fokus penelitian kualitatif adalah eksplorasi. Hal ini digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang alasan yang mendasari opini dan motivasi.34

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara studi pustaka. Melalui studi pustaka, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang di dapat dari buku, jurnal, website, artikel, ataupun sumber – sumber lain yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menganalisis, kemudian mengutip dari sumber – sumber tersebut.

1.7.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis data kualitatif, dimana analisis data dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu.35

1.8. Sistematika Penulisan

33

Kuntowijoyo. Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta : Yayasan Bandung Budaya. 1995. Hal. 89.

34

John W. Creswell. 2014.Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 4.

35

(23)

xxxiv Sistematika Penulisan merupakan suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis, yang secara garis besar terdiri dari Bagian Awal, Bagian Isi dan Bagian akhir. Dalam Penulisan Penelitian ini penulis membaginya ke dalam empat bab. Adapun susunan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN

KOREA UTARA

Dalam bab ini berisi data tentang sejarah konflik semenanjung Korea, kronologi kependudukan Jepang di Korea, akhir perang dunia ke-2 dan pembagian dua Korea, perang Korea (1950-1953), hingga kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum pemerintahan Roh Moo Hyun.

BAB III : THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY

Dalam bab ini berisi penjelasan data yang telah di peroleh dari sumber-sumber terkait, mengenai prinsip dan tujuan, instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity, hambatan-hambatan dalam penerapan the Policy of Peace and Prosperity, serta pencapaian the Policy of Peace and Prosperity.

BAB IV : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui hubungan yang signifikan antara kualitas layanan di PT Pegadaian Kantor Cabang Bumiayu Brebes terhadap kepuasan nasabah (Y). Disamping itu juga untuk memenuhi

katkan keasaman dalam air hujan. Berdasarkan hasil penelitian, variasi jarak pada penempatan DFC ternyata memberikan pengaruh terhadap kadar sulfat yang terkandung

Bagaimana perbandingan nilai average delay yang dihasilkan oleh algoritma penjadwalan mmSIR dan mSIR pada jaringan wimax untuk kelas layanan rtPS.. Bagaimana performansi

Penentuan lokasi pengambilan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu dilakukan melalui observasi di sekitar aliran Sungai Code dengan menyesuaikan terhadap

Fungsi Desain Skor Desain 1 Skor Desain 2 Skor Desain 3 Skor Desain 4 Skor Desain 5 Skor Desain 6 Skor Desain 7 Estetika produk Keunikan produk Detail gambar

Saya menyatkan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul ; “PENELITIAN KOMPOSIT GERABAH, PASIR BESI, SKAM PADI DENGAN FARIASI FRAKSI VOLUME “’ yang dibuat untuk

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa siswa telah menanamkan asumsi negatif tentang Matematika, sehingga membuat siswa tersebut susah untuk

Aplikasi Teknologi Bioflok Dalam Budidaya Udang Putih (Litopenaeus vannamei Boone) Tesis School of Life Science and Technology.. Changing paradigms in shrimp farming :