• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 6 Kesimpulan dan Rekomendasi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Berdasarkan uraian tentang peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat di delapan desa di kabupaten Rembang dan Wonogiri Provinsi Jawa Tengah; kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat disimpulkan dan dirumuskan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Desa Gemawang dan Desa Ngadirojo Lor, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah

1. Di dua desa wilayah kajian ini, Kader Pemberdayaan Masyarakat seperti yang disyaratkan Permendagri No.7 tahun 2007 sudah terbentuk, melalui serangkaian seleksi dari beberapa calon yang diusulkan dari berbagai dusun. Meskipun tidak secara penuh prosedur dan proses rekrutmen dijalankan, apresiasi atas komitmen dan kesungguhan pemerintah desa untuk menjalankan Permendagri tersebut. Namun di dalam implementasinya mendapatkan beberapa kendala yaitu; (1) dari 2 orang kader yang terpilih, hanya 1 orang KPM yang menjalankan tugas dan fungsinya. Sedangkan seorang lainnya tidak dapat intensif menjalankan tugas disebabkan faktor kesibukan di dalam pekerjaan utama; (2) KPM yang ada tidak hanya KPM yang dibentuk sesuai dengan permendagri tersebut, melainkan ada beberapa kader lainnya seperti kader PNPM, posyandu, PPL, dan lainnya. Persoalan yang dihadapi kemudian bahwa antara kader satu dengan lainnya belum terkoordinasi dengan baik, masih berjalan sendiri sesuai dengan fokus kegiatan/program darimana sumber pendanaan.

2. Lemahnya pelembagaan kerja pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh seluruh kader pemberdayaan yang ada menyebabkanoverlapping dan persinggungan antar kader, bahkan lebih jauh ada persaingan antar lembaga meski secara eksplisit tidak nampak. Persoalan ikutan lainnya berdasarkan temuan empiric semisal output dari proses perencanaan desa yang menjadi

Bab 6 Kesimpulan dan

Rekomendasi

(2)

dua versi;versi pemerintah yang melalui mekanisme saat ini yaitu Murenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), dan versi melalui program PNPM hasil akhirnya adalah Musdes. Dua output program ini walau secara subtantif sama namun konten dari masing-masing berbeda, sehingga tidak ada rancangan program desa yang utuh menjadi dasar pembangunan desa.

6.1.2. Desa Kemadu dan Desa Pragu Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah

1. Kader Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh Permendagri Nomor 7 tahun 2007belum ditemukan di dua desa yang menjadi sasaran penelitian. Apa yang disebut sebagai kader di dua desa penelitian adalah KPMD sebagai bagian dari pelaku program PMPM Perdesaan, di samping Kepala Desa, BPD, Tim Pengelola Kegiatan (TPK), dan Tim Penulis Usulan (TPU). Kader Pemberdayaan Desa adalah warga desa terpilih yang memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM di tingkat desa dan kelompok masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharaan hasil pembangunan.

2. Keberadaan KPM dalam Permendagri mengasumsikan adanya pendekatan holistik dan terpadu dalam pemberdayaan masyarakat desa. Di bawah KPM idealnya akan ada sejumlah (5-10 orang) Kader Teknis yang dalam pelaksanaan tugas masing-masing Kader Teknis tersebut harus berada dibawah kendali dan koordinasi KPM. Dalam kenyataan praktik pengiriman “kader teknis” ke pedesaan oleh masing-masing departemen/instansi justru tidak dilaksanakan lewat koordinasi lintas sektoral di aras pusat yang menjamin bahwa penetrasi program pemberdayaan di aras desa menjadi padu dan sinergis. Masing-masing “kader teknis” (kader posyandu, PLKB, petugas Dinas Sosial, Departemen PU, Petugas PPL Pertanian, dan sejenisnya) masuk ke desa atas penugasan dari, dan bertanggungjawab kepada atasan/departemen masing-masing. Oleh karena itu KPMD yang kini ada di dua desa penelitian inipun lebih tepat disebut sebagai “kader teknis” dan bukan Kader Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud oleh

(3)

3. KPM yang bertugas di dua desa penelitian tidak mendapat imbalan khusus dari pemerintah Desa, sehingga lebih bersifat volunteer atau petugas sukarela. Kenyataan ini bertentangan dengan atau minimal berbeda dengan maksud Permendagri, yang mengamanatkan agar desa memfasilitasi kerja KPM melalui anggaran Desa. Namun demikian pihak pemerintah Desa, minimal di dua desa yang menjadi obyek penelitian ini justru berharap agar pihak Pemerintah Pusat atau Pemda memfasilitasi sendiri petugas yang mereka haruskan ada di desa tersebut.

4. KPMD PNPM yang diteliti di dua desa penelitian menyatakan bahwa mereka, dalam batas-batas lingkup kegiatan PNPM Des, sudah menjalankan berbagai macam fungsi yang oleh Permendagri Nomor 7 Tahun 2007, dituntut untuk dijalankan oleh Kader Pemberdaya Masyarakat. Dari empat tahapan pembangunan; mulai dari perencanaan program, pengorganisasian, pelaksanaan sampai ke monitoring dan evaluasi, berbagai fungsi yang diamanatkan oleh Permendagri untuk sebagian besar diakui oleh KPMD sebagai telah mereka laksanakan. Triangulasi jawaban melalui Kepala Desa, perwakilan BPD, Kaur Pembangunan Desa, Tokoh Masyarakat dan perwakilan Tim Pengelola Kegiatan (TPK) PMPM setempat mengkonfirmasi kebenaran jawaban para kader tersebut.

5. Walaupun Permendagri Nomor 7 Tahun 2007, telah dikeluarkan sejak 3 tahun lalu namun implementasinya di pedesaan masih belum terasa. Rencana pemberdayaan Masyarakat yang disusun oleh Bapermas Kabupaten Rembang di tahun 2010 pun misalnya, belum secara eksplisit mencantumkan program pemberdayaan bagi KPM sebagaimana dimaksud oleh Permendagri di atas. Pada aras Desa memang ada pemahaman dari Kepala Desa tentang KPM sebagaimana dimaksud oleh Permendagri, namun mereka enggan mengambil prakarsa untuk mewujudkan keberadaan KPM di desa mereka karena implikasi keuangan yang dinilai akan memberatkan keuangan desa yang memang dirasa minim. Melalui pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan oleh Ditjen PMD, para kader juga memahami bahwa ke depan mereka harus menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dikehendaki oleh Permendagri, namun mereka berpendapat bahwa untuk tahapan saat ini mereka memang masih sebatas harus menjalani fungsi sebagai KPMD PNPM Perdesaan.

(4)

6.1.3. Desa SMainoni dan Desa Napan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur

1. Kader yang ada belum berkapasitas seperti KPM sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat. Kader yang ada merupakan fasilitator atau pendamping pada tingkat desa, baik yang merupakan program pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. KPM yang merupakan bentukan pemerintah dan LSM masih memiliki variasi dalam hal persyaratan, seperti tingkat pendidikan dan pengalaman dan pelatihan yang dimiliki serta jumlah KPM di setiap desa.

2. Peran KPM belum bersifat permanen atau terus-menerus, karena disesuaikan dengan pelaksanaan program yang memerlukan pen-dampingan, baik dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Ini berarti bahwa eksistensi dan peran kader masih bersifat insidentil. Peran kader semacam ini kurang berdampak positif karena ada kendala keberlanjutan pendampingan bagi masyarakat.

3. Fokus pemberdayaan yang ada masih lebih dominan bersifat fisik, perlu diupayakan model pemberdayaan non fisik, seperti pengembangan kapasitas petani, peternak, pelaku ekonomi, kelompok perempuan dan kelompok adat yang ada di desa yang bersangkutan.

4. Dari kedua desa (baik Desa Napan dan Desa Sainoni) tampak bahwa KPM telah melakukan peran, baik pada tahap perencanaan, pengorganisasi, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Sebagian besar responden menjawab secara positif setiap pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner, meski ada perbedaan dalam hal pihak-pihak yang dilibatkan serta hasil atau output dari usaha yang dilakukan KPM.

5. Meskipun semua KPM telah melakukan peran pada beberapa tahap seperti disebutkan pada huruf d di atas, namun disadari bahwa masih ada beberapa kendala, baik yang bersifat internal dan eksternal, seperti kemampuan SDM yang rendah, minimnya sarana prasarana, minimnya daya dukung keuangan, rendahnya partisipasi masyarakat.

(5)

6.1.4. Desa Leosama dan Desa Kabuna, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur

1. Dinamika Kader Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan telah secara optimal menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana yang dipahami. Namun demikian persoalan pada kapasitas sumber daya manusia yang belum memiliki kemampuan yang memadai dalam upaya melakukan pengorganisasian masyarakat, serta mengembangkan inovasi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat. 2. Kader pemberdayaan masyarakat belum terlembaga secara sistematis dan

memiliki program pemberdayaan yang terstruktur. Pemberdayaan masyarakat masih dilaksanakan secara parsial dan sporadis, sehingga hasil yang diharapkan belum optimal.

3. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia masyarakat desa, rendahnya etos kerja, dan kondisi alam yang marjinal menjadi kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat. Masyarakat hanya mengandalkan proyek baik dari pemerintah maupun dari pihak lain tanpa berupaya menjaga keberlangsungan dan mengembangkan program pembangunan tersebut.

4. Sebagian kecil program pemberdayaan masyarakat (25%) melalui penguatan ekonomi produktif masyarakat desa yaitu peternakan, pertanian, dan simpan pinjam berjalan efektif dan masih berlangsung. Program ini hasil inisiasi Lembaga Swadaya Masyarakat local bekerjasama dengan beberapa lembaga donor. Perlu upaya Kader mensinergikan kegiatan tersebut dalam RPJDes secara kontinyu.

5. Keterlibatan kelompok masyarakat dalam setiap proses pembangunan hanya sebatas proyek, belum menjadi kesatuan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan kemandirian.

6.2. Rekomendasi Peningkatan Peran Kader Pemberdayaan Masyarakat

Berdasarkan temuan potensi, permasalahan, dan rangkuman kesimpulan direkomendasi usul logical framework upaya peningkatan peran kader pemberdayaan masyarakat dalam kerangka akselerasi pembangunan di daerah tertinggal.Logical frameworkini sebagai dasar dalam pengembangan program pada masa mendatang, sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan empirik

(6)

terkait dengan peningkatan peran kader perberdayaan masyarakat di desa tertinggal.

Kerangka pikir yang tertuang dalam rekomendasi ini terbagi dalam empat pendekatan yaitu; (1) Kebijakan, (2) Kelembagaan, (3) capacity building dan (4) Kualifikasi Kader Pemberdayaan Masyarakat. Berikut deskripsi dari masing-masing rekomendasi tersebut;

6.2.1 Kebijakan

1. Perlu dilakukan peninjauan ulang tentang proses dan mekanisme rekrutmen kader pemberdayaan masyarakat yang tertuang dalam Permendagri No. 7/ 2007 pasal 4. Karena jika demikian halnya diterapkan maka peran NGO/ LSM dan individu yang bergiat dalam program pemberdayaan masyarakat tidak menjadi bagian yang terintegrasi dan bersinergi dengan pemerintah dalam kerangka pemberdayaan masyarakat.

2. Kehadiran berbagai program dari berbagai departemen pemerintahan dan NGO’s yang bernuansa “pemberdayaan masyarakat” di tingkat pedesaan yang kadang bersifat tumpang tindih, tak terkordinir dan parsial, memberikan legitimasi substantif pada kehadiran KPM sebagaimana yang dimaksud oleh Permendagri.

3. Perlu diupayakan pola kemitraan antara KPM versi pemerintah dengan KPM (baca: Pendamping) versi LSM, sehingga benar-benar terwujud hasil yang baik dan tidak terjadi overlap/benturan dalam melakukan kegiatan pemberdayaan.

4. Disain rekrutmen dan persyaratan KPM dalam Permendagri sudah dirancang untuk mengatasi masalah klasik tentang ‘figur pemberdaya masyarakat desa’ terlebih-lebih ‘figur pemberdaya masyarakat desa tertinggal’ yaitu pilihan antara apakah figur pemberdaya itu idealnya ‘orang luar’ atau ‘orang dalam’, yang pada intinya merupakan persoalan dikotomi klasik antara kompetensi v.s motivasi/dedikasi. Kehadiran orang luar desa, yang biasanya melalui seleksi yang ketat dengan sistem renumerasi yang jelas dan terjamin lazimnya membuahkan kader pemberdaya yang dapat dipertanggung-jawabkan kompetensinya. Namun kelemahan utama dari kader ‘orang luar’ adalah lemahnya motivasi/dedikasi, karena umumnya mereka lebih

(7)

jenjang kepegawaian negeri yang diharapkan akan dimulai ketika kontrak kerja sebagai pemberdaya masyarakat desa, yang miskin/tertinggal, itu usai. Hati dan pikiran mereka sesungguhnya bukan berada di lahan-lahan kering atau bebukitan cadas di desa tertinggal itu, melainkan lebih di kantor-kantor dinas pemerintahan di kota yang mereka idamkan sebagai tempat meniti karier di masa depan.

Di lain pihak jika pemberdaya adalah orang desa setempat maka diharapkan motivasi/dedikasi mereka benar-benar tercurah kepada kemajuan desa dan warga desa setempat. Namun persoalan umumnya adalah rendahnya kompetensi pemberdaya lokal tersebut, yang mungkin juga terimbas oleh budaya kemiskinan yang melingkupi kehidupan mereka selama ini.

5. Penting untuk dikaji ulang terkait kebijakan renumerasi kader pemberdayaan masyarakat. Renumerasi bagi KPM perlu dianggarkan oleh desa selain program-program pemberdayaan. Prioritas pemberian renumerasi adalah bagi KPM yang merupakan hasil rekrutmen dari pemerintah. Besaran KPM disesuaikan dengan standar UMR yang berlaku.

6.2.2. Kelembagaan

1. Pelembagaan Kader Pemberdayaan Masyarakat di tingkat desa yang keanggotaan terdiri dari komponen masyarakat yang telah bergiat dalam program pemberdayaan masyarakat. Melalui pelembagaan ini diharapkan dapat terbangun kerjasama/mitra dengan seluruh lembaga/individu yang bekerja dalam program pemberdayaan masyarakat, selain itu, seluruh program yang berjalan di tiap-tiap organisasi atau individu dapat terkoodinir, bersinergi, dan termonitor secara baik. Sebagai koordinator dari lembaga ini adalah Kepala Desa/Pejabat Desa sesuai dengan tupoksi.

2. Pengalaman KPMD PNPM Perdesaan di daerah-daerah “best practices” dapat diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan “lesson learned” sebagai modal awal pengadaan dan/atau pemberdayaan KPM sesuai tuntutan kualifikasi ideal KPM versi Permendagri. Namun demikian upaya tersebut tidak akan membuahkan hasil apabila tidak ada penataan sistem lingkungan di mana para KPM harus bekerja di masa depan. Sebagai misal, agar tidak ada tumpang tindih fungsi dengan struktur kelembagaan desa yang sudah

(8)

ada, dirasa perlu ditata ulang kedudukan dan peran KPM: di hadapan kelembagaan desa yang ada (Kaur Pem, petugas pemberdaya departemen lain). Di samping itu kualifikasi kompetensi manajerial KPM perlu mendapat prioritas dalam rekrutmen maupun pemberdayaan KPM. Hal ini mengingat KPM dituntut lebih memainkan fungsi koordinasi terhadap banyak petugas di aras desa.

3. Menyusun grand design pemberdayaan masyarakat dan rencana kerja pemberdayaan masyarakat tahunan dan lima tahunan. Grand design ini menjadi acuan dalam pemberdayaan masyarakat desa, yang kemudian program intervensi disesuaikan dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat.

4. Koordinasi kelembagaan Kader Pemberdayaan Masyarakat harus dirancang bersinergi mulai dari pemerintah pusat (Ditjen PMD), pemerintah propinsi (Bapermas Propinsi), pemerintah kabupaten, hingga kecamatan dan desa. Melalui koordinasi ini diharapkan apa yang menjadi kewenangan, tugas, dan fungsi dari masing-masing pemerintahan dapat terbagi secara jelas, sehingga kinerja KPM dalam kerangka pembangunan desa dapat di monitor dan evaluasi. Dengan demikian dapat menentukan intervensi program dan distribusi program pemberdayaan masyarakat secara merata.

6.2.3 Capacity building

1. Membekali Kader Pemberdayaan Masyarakat dengan pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang yang menjadi focus kebutuhan masyarakat dan merupakan skala prioritas program.

2. Program bantuan teknis terhadap masyarakat semisal (benih, pupuk, ternak, dll) yang kemudian akan didampingi oleh kader pemberdayaan masyarakat. 3. Menyusun peta potensi dan pengembangan ekonomi produktif masyarakat

berikut intervensi pemberdayaan masyarakat.

4. Secara khusus untuk wilayah perbatasan, bidang kompetensi yang perlu dibekali kepada KPM yaitu berkenaan dengan persoalan kesehatan masyarakat, pendidikan dasar dan menengah, gender dan perlindungan anak, conflict resolution, disaster management, dan penguatan wawasan kebangsaan.

(9)

6.2.4 Kualifikasi Kader Pemberdayaan Masyarakat

Disamping pemberdayaan kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka KPM perlu diberdayakan dari segi kualifikasi atau persyaratan minimal, sesuai dengan Permendagri No. 7 Tahun 2007 dan beberapa kualifikasi khusus/ tambahan, yaitu :

1. KPM harus berdomisili dan merupakan indigeneos people, mempunyai dedikasi dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat di desa yang bersangkutan.

2. KPM harus mendapat pelatihan dan pemagangan yang cukup

3. KPM harus berpendidikan minimal SLTA dan mempunyai pengalaman pendampingan masyarakat.

4. KPM harus kader berusia muda, energik, berjiwa wiraswasta/bisnisman, dan bersedia menjadi teladan.

5. KPM mendapat penghasilan yang cukup, minimal setara dengan penghasilan kepala desa atau upah minimum kota/kabupaten.

6. KPM bersedia menjadi pendamping/Penyuluh/Fasilitator pembangunan desa dalam aspek pertanian, ekonomi, perkebunan dan perbaikan lingkungan.

7. KPM mengutamakan kepentingan umum dan berjiwa volunter.

8. KPM berdomisili di desa yang bersangkutan agar memahami kondisi sosial budaya dan adat istiadat.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu, memang terdapat perbedaan antara hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang dilakukan Fitria Saraswati

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran keluarga lansia dalam pemenuhan gizi untuk pencegahan anemia di Dukuh Ngujung RT 2,3 RW 3 Desa Gandu Kepuh

menyelenggarakan diseminasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat bekerja sama dengan Setiap Orang dan instansi/organisasi yang memiliki Potensi Pencarian dan

Dalam area konservasi ex situ , provenans yang akan dipilih untuk ditanam dalam suatu lokasi sebaiknya merupakan kombinasi provenans yang memiliki kisaran nilai

Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur perekonomian dari ekonomi

tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui pengaruh simultan Pajak Daerah yang meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan

Berdasarkan hasil perhitungan pengaruh daya ledak otot lengan terhadap smash bola voli dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai t-hitung sebesar 2,553 > t-tabel

Kemampuan untuk melakukan passing dalam bermain sepakbola pada siswa yang mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di SMA N 5 Kota Jambi, yaitu faktor metode latihan dan