PERSPEKTIF
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif
Collaborative Governance
dalam Pembangunan Sektor
Pertanian di Kabupaten Bandung
Collaborative Governance in Development of Agricultural
Sectors in Bandung District
Rofi' Ramadhona Iyoega*, Endang Wirjatmi Trilestari & Cintantya Andhita Dara Kirana
Administrasi Pembangunan Negara,
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Bandung, Indonesia Diterima: 7 September 2019; Disetujui: 19 Oktober 2019; Dipublish: 6 Januari 2020
Abstrak
Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional, terutama sebagai penyedia lapangan kerja dan sebagai sumber pendapatan utama masyarakat di pedesaan. Pembangunan dalam sektor pertanian sangat memerlukan dukungan dari seluruh stakeholders, peran pemerintah yang terbatas dalam mengakomodir kebutuhan di sektor ini kemudian melahirkan suatu konsep kolaborasi yang disebut Collaborative Governance. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, bertujuan untuk mengetahui penerapan Collaborative Governance, daya jangkau petani terhadap pasar, media pemasaran yang dipergunakan serta permasalahan yang dihadapi petani dalam mengakses pasar. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara, kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan peran pemerintah daerah sangatlah dominan dan sebaliknya perguruan tinggi berkontribusi sangat minim. Daya jangkau petani terhadap pasar masih sangat rendah, hanya sebagian kecil petani yang telah memasarkan produknya ke luar daerah. Dalam memasarkan produk pertaniannya, petani sudah mulai memanfaatkan media online. Pemerintah diharapkan dapat membantu petani dalam membuka akses pasar melalui pemanfaatan teknologi pemasaran ataupun dengan mempertemukan petani dengan investor.
Kata Kunci: Sektor Pertanian, Pembangunan, Collaborative Governance Abstract
The agricultural sector is important in national economic development, especially as a provider of employment and as the main source of income for rural communities. Development in the agricultural sector requires the support of all stakeholders, the government's limited role in accommodating the needs in this sector then gave birth to a concept of a collaboration called Collaborative Governance. This research was conducted in Bandung Regency, aimed at finding out the implementation of Collaborative Governance, knowing the reach of farmers to the market, knowing the marketing media used and the problems faced by farmers in accessing the market. Data in this study were collected through interviews, then analyzed using qualitative data analysis techniques. The results showed the role of local government was very dominant and vice versa universities contributed very minimally. The reach of farmers to the market is still very low, only a small proportion of farmers have marketed their products outside the region. In marketing their agricultural products, farmers have started to utilize online media. The government is expected to assist farmers in opening market access through the use of marketing technology or by bringing farmers together with investors.
Keywords: Agricultural Sector, Development, Collaborative Governance
How to Cite: Iyoega, R.R.. Trilestari, E.R., & Kirana, C.A.D., (2020). Collaborative Governance dalam Pembangunan Sektor Pertanian di Kabupaten Bandung. PERSPEKTIF, 9 (1): 55-65
*Corresponding author: E-mail: rofi.r.iyoega@gmail.com
ISSN 2085-0328 (Print) ISSN 2684-9305(Online)
PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan
merupakan agenda pembangunan global yang harus dilakukan oleh setiap negara
tak terkecuali Indonesia. Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan yaitu dalam rangka menjaga
peningkatan kesejahteraan ekonomi
masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pembangunan dikatakan
berkelanjutan ketika tujuan ekonomi, sosial, lingkungan dan pemerintah berlangsung dengan selaras. Tingginya pertumbuhan ekonomi harus disertai
dengan meratanya pendapatan
masyarakat atau pertumbuhan ekonomi tidak boleh dengan mengeksploitasi
sumber daya alam dan merusak
lingkungan. Tujuan pembangunan
berkelanjutan tersebut dapat dengan mudah tercapai ketika pemerintah hadir didalamanya dengan memberikan jaminan keamanan dan juga kesehatan kepada
masyarakat, sebagai penyedia
infrastruktur, serta mengatur regulasi (Alisjahbana, 2018).
Diantaranya tujuan SDGs, beberapa berkaitan dengan sektor pertanian seperti produktivitas tanaman pangan, persentase lahan kritis, ataupun tingkat kemiskinan penduduk. Sektor pertanian masih menjadi sektor penting dalam pembangunan ekonomi secara nasional. Dalam Laporan Tahunan Kementerian Pertanian Tahun 2017, peran strategis sektor pertanian tersebut digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, penyumbang PDB, penghasil devisa
negara, penyerap tenaga kerja, sumber
utama pendapatan rumah tangga
perdesaan, penyedia bahan pakan dan bioenergi, serta berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Sektor pertanian juga diposisikan sebagai sektor penggerak transformasi pembangunan
yang berimbang dan menyeluruh
mencakup transformasi demografi,
ekonomi, intersektoral, spasial,
institusional dan tatakelola pembangunan (http://ppid.pertanian.go.id).
Pembangunan sektor pertanian di
Indonesia menghadapi berbagai
permasalahan mendasar sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia No.
19/Permentan/HK.140/4/2015 tentang
Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019 mencakup kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim,
infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; kepemilikan lahan; sistem perbenihan dan perbibitan nasional; akses petani terhadap permodalan kelembagaan petani dan penyuluh; keterpaduan antar sektor, dan kinerja pelayanan birokrasi pertanian.
Permasalahan kelembagaan petani merupakan salah satu permasalahan serius yang perlu mendapat perhatian. Permasalahan kelembagaan sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia (SDM), petani yang tinggal di pedesaan adalah mereka yang pada
umumnya berpendidikan rendah,
sedangkan mereka yang telah menempuh pendidikan menengah dan tinggi enggan bekerja atau berprofesi sebagai petani. Perkembangan teknologi yang kian pesat
menuntut petani untuk dapat
menyesuaikan diri, cara-cara konvensional dalam memasarkan produk pertanian sudah mulai ditinggalkan. Dengan pendidikan formal petani yang rendah, pemanfaatan teknologi akan sulit untuk diadaptasi.
Indonesia secara geografis
merupakan negara kepulauan, sehingga masalah distribusi dan pemasaran tentu
akan menjadi tantangan utama pembangunan pertanian kedepan. Kinerja pemasaran dipengaruhi oleh derajat orientasi pasar, yang dimana orientasi pasar sangat tergantung dari lingkungan internal dan eksternal suatu perusahaan.
Lingkungan internal merupakan
karakteristik operasional suatu
perusahaan meliputi struktur, sistem ataupun prosedur yang berlaku dalam
organisasi. Sedangkan lingkungan
eksternal adalah pelanggan, pesaing bisnis, pemerintah, serta mencakup kondisi sosial budaya, politik atupun pengaruh sektor ekonomi suatu negara. Menurut Prasetya (2002), dinamika lingkungan eksternal
inilah yang berpengaruh dominan
terhadap orientasi pasar dan berdampak
terhadap kinerja pemasaran suatu
perusahaan.
Kabupaten Bandung merupakan
salah satu wilayah yang sangat potensial dalam pengembangan usaha pertanian. Padi misalnya mengalami peningkatan jumlah produksi di tahun 2017 mencapai 700.710 Ton dari 594.533 Ton di tahun 2016 atau meningkat 18% dari tahun sebelumnya. Data BPS tahun 2018 juga menunjukkan kenaikan produksi untuk komoditas ubi kayu dan kacang kedelai. Selain itu kemajuan usaha di bidang pertanian juga dapat dilihat dari
melesatnya pertumbuhan pertanian
organik di Kabupaten Bandung. Pada tahun 2009 luasan pertanian organik
hanya sekitar 15 Ha, mengalami
peningkatan yang cukup tajam di di tahun 2018 yakni mencapai 350 Ha. Artinya tiap satu tahun luas lahan pertanian organik bertambah 37,2 Ha (Handriansyah, 2018).
Pembangunan sektor pertanian tidak dapat berjalan hanya dengan peran dari pemerintah, karena peran pemerintah bersifat terbatas sehingga dikhawatirkan pemerintah tidak dapat mengakomodir
permintaan kebutuhan dari sektor
pertanian. Pembangunan pertanian
membutuhkan peran dari berbagai aktor, yang kaitannya dalam hal ini konsep
Collaborative Governance dapat menjadi alternatif dalam pembangunan sektor
pertanian di Kabupaten Bandung.
Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S.
(2011) memandang Collaborative
Governance sebagai suatu proses yang melibatkan struktur publik dalam pengambilan keputusan serta manajemen kebijakan dengan pelibatan secara konstruktif.
Collaborative Governance menurut
Syaiful (2018) adalah model
keseimbangan kekuatan dan sumber daya
antar pemerintah, para pemangku
kepentingan, dan lembaga publik lainnya dengan komitmen pemberdayaan bagi pemangku kepentingan yang lebih lemah sehingga mereka saling bergantung satu sama lain dalam mengatasi
masalah-masalah yang kompleks melalui
pengambilan keputusan kolektif dan implementasi berorientasi consensus. Collaborative Governance sesungguhnya merupakan suatu konsep dalam tata kelola pemerintahan dengan melibatkan para
pemangku kepentingan untuk
memberikan kontribusi dalam
pembangunan. Keterlibatan semua
kelompok pemangku kepentingan adalah untuk meningkatkan kualitas keputusan publik dan menghindari konflik pada proses pembangunan.
Berdasarkan penjabaran yang diatas, penulis tertarik melakukan penelitian
tentang implementasi konsep
Collaboration Governance dalam
pembangunan sektor pertanian di
Kabupaten Bandung. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui pelaksanaan Collaborative Governance dalam pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Bandung. (2) Mengetahui daya jangkau pasar petani dalam pendistribusian produk pertanian di Kabupaten Bandung. (3) Mengetahui media pemasaran yang dipergunakan petani di Kabupaten Bandung. (4) Mengetahui permasalahan yang dihadapi
petani dalam pendistribusian produk pertaniannya.
METODE PENELITIAN
Informasikan Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan jumlah rumah tangga usaha pertanian yang dimiliki dan tergolong cukup maju yaitu diantaranya
Kecamatan Cimaung, Kecamatan
Pasirjambu, dan Kecamatan Pangalengan. Penelitian dilakukan dalam jangka waktu kurang lebih 4 (empat) bulan. Penentuan responden dalam penelitian ini diambil dari unsur penyuluh dan pelaku usaha pertanian yang ditentukan melalui metode Snowball Sampling.
Pengumpulan data dalam penelitian
ini dilakukan melalui wawancara
(interview) untuk mengetahui secara lebih mendalam hal-hal yang menjadi topik permasalahan. Selain itu data diperoleh dari dokumen yang dapat berupa data kepustakaan dari berbagai literatur seperti buku, situs internet, jurnal atau artikel, laporan, dan bentuk literatur lainnya, ataupun juga berupa foto atau gambar kaitannya dengan upaya pembangunan dalam sektor pertanian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung.
Untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi data. Teknik keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yaitu cara mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Triangulasi sumber menurut Patton dalam
Moleong (2016) dilakukan dengan
melakukan perbandigan: 1)
Membandingkan data hasil pengamatan
dengan hasil wawancara; 2)
Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi; 3)
Membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan; 4) Membandingkan hasil wawancara antara informan yang satu dengan
informan yang lainnya; dan 5)
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data ini menurut Miles dan
Huberman dalam Sugiyono (2012)
meliputi beberapa aktivitas diantaranya: 1) Data Reduction, yaitu membuat catatan penting atau rangkuman inti dari data yang diperoleh melalui wawancara dan studi kepustakaan; 2) Data display, yaitu menyajikan semua data dan informasi yang telah disusun dan diklasifikasikan dalam bentuk catatan dan tulisan; dan 3) Conslusion drawing/verification, yaitu membuat kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan penelitian.
Pada penelitian ini, konsep
kolaborasi atau collaboration dalam collaborative governance menggunakan perspektif teori administrasi publik adalah upaya untuk menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance). Tujuan
pokok good governance menurut
Hardiyansyah (2018) adalah tercapainya
kondisi pemerintahan yang dapat
menjamin kepentingan/ pelayanan publik secara seimbang dengan melibatkan kerjasama antar semua komponen pelaku (negara, masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta). Paradigma good governance menekankan arti penting kesejajaran hubungan antara institusi negara atau pemerintah (state), pasar/dunia usaha (private sector), dan masyarakat (society). Penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam terkait peran ketiga elemen tersebut, state dalam menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector dalam
penciptaan lapangan pekerjaan serta pendapatan, serta society yang memiliki peran dalam membangun interaksi sosial, ekonomi, dan juga politik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Collaborative Governance Program pembangunan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021 Kabupaten Bandung yaitu akan berfokus pada 5 (lima) bidang diantaranya adalah
peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pembagunan infrastruktur,
peningkatan kualitas lingkungan,
peningkatan perekonomian yang berdaya saing, serta peningkatan ketahanan pangan. Salah satu fokus pembangunan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dilakukan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat
potensial untuk dikembangkan,
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018) luas lahan pertanian (sawah) per Desember 2017 mencapai 110.646 Ha.
Pembangunan pada dasarnya adalah
upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Menurut Soetomo (2009)
pembangunan adalah suatu proses
perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Proses perubahan tersebut terjadi dari kondisi yang disebut sebagai social illfare menuju kondisi social welfare. Social illfare adalah realita yang disebut masalah sosial yang merupakan kondisi yang tidak
diharapkan, sedangkan kondisi
masyarakat yang diidealkan biasa disebut sebagai sosial welfare.
Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Dinas Pertanian Kabupaten Bandung telah melakukan kegiatan pembangunan di sektor pertanian secara konseptual dan operasional. Kegiatan
‘membangun’ oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Bandung dilakukan melalui berbagai kegiatan dan program-program seperti workshop tematik kepenyuluhan pertanian, bimbingan teknis alat dan mesin pertanian, kampanye pertanian
organik dan pemberian sertifikat organik untuk petani, serta program lainnya dalam bentuk bantuan alat-alat pertanian dan
bibit unggul
(https://distan.bandungkab.go.id).
Berdasarkan hasil wawancara
dengan salah seorang penyuluh pertanian di Kecamatan Pangalengan, Bapak Aas
menuturkan, “Dinas Pertanian telah memberikan bantuan untuk memajukan sektor pertanian mulai dari peningkatan SDM petani seperti pendampingan, penyuluhan dan pelatihan terhadap petani juga penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendukung lain”, hal senada
juga dikemukakan oleh penyuluh
pertanian di Kecamatan Pasir Jambu, diketahui bahwasanya pemerintah juga memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana, Bapak Asep mengatakan, “Pemerintah daerah banyak membantu sarana prasarana baik dari mulai proses penanaman bibit sampai proses produksi, kualitas dari kelompok tani masing-masing
kecamatan di Kabupaten Bandung
terbilang sama rata, pemerintah daerah banyak membantu pasca panen, bantuan alat produksi mulai tahun 2009 dibantu oleh pemerintah” (wawancara, 1 November 2018).
Kegiatan pembangunan di Kabupaten Bandung tentu tidak dapat dilakukan oleh pemerintah seorang diri. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah menjadi faktor utama pentingnya menjalin kerjasama atau elaborasi dengan berbagai pihak, baik itu dengan sesama pemerintah, pihak swasta ataupun masyarakat, perguruan tinggi, serta dengan komunitas masyarakat sipil lainnya. Konsep elaborasi dalam mencapai tujuan bersama inilah yang
kemudian dikenal dengan Collaborative
Governance. Di Kabupaten Bandung peran
pemerintah khususnya pemerintah daerah masih sangat dominan dibanding pihak swasta dan terlebih lagi perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan, pemerintah daerah memberikan kontribusi paling tinggi dalam pembinaan pelaku usaha di bidang pertanian. Adapun tingkat
keterlibatan penyelenggara pembinaan di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada tabel 1. berikut.
Tabel 1. Tingkat Keterlibatan Penyelenggara Pembinaan kepada Petani di Kabupaten Bandung
No. Instansi Penyelenggara Banyaknya Jumlah % 1. 2. 3. 4. Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Perguruan Tinggi Swasta 5 8 1 3 38,5 61,5 7,7 23,1 Sumber: Data Primer Diolah
Meskipun demikian hasil penelitian menunjukkan kontribusi dari pemerintah desa dalam mengembangkan sektor pertanian sangatlah kurang, Suganda (55) salah seorang petani di Kecamatan Cimaung ketika ditanya tentang dukungan pemerintah desa setempat terhadap usaha
pertanian yang dijalankannya, ia
mengatakan “sederhana, biasa-biasa saja”,
pendapat yang sama dikemukakan oleh Agus Tata (60), salah seorang petani
penggarap, “biasa – biasa saja, perlu ditingkatkan” (wawancara, 1 November
2018). Hal senada disampaikan oleh petani di Kecamatan Pangalengan, Wawan
Setiawan (48), “tidak, tidak ada kontribusi dari desa” (Wawancara 19 Desember
2018).
Program-program pembangunan
yang ditujukan ke desa saat ini lebih sering
bersifat “bantuan” sehingga cenderung
bertentangan dengan kebutuhan
masyarakatnya. Dalam konteks
Collaborative Governance, Febrian (2016) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang menyebabkan rendahnya kontribusi desa dalam pembangunan yaitu kurang berjalannya system contexs, faktor drivers, dan disebabkan oleh adanya dinamika kolaborasi. Dalam system contexs dilihat dari perubahan regulasi atau peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud faktor drivers disini adalah elemen leadership, yaitu peran kepala daerah sebagai pemimpin yang akan sangat mempengaruhi kebijakan pembagunan di kawasannya. Dan yang terakhir adalah timbulnya dinamika kolaborasi, yaitu
suatu kondisi yang tidak menguntungkan semua pihak sehingga masih terjadi ego
sektoral yang mengakibatkan
pembangunan tidak optimal. Hal ini juga
disebabkan oleh lemahnya proses
perencanaan pembangunan yang
dilakukan.
Pentingnya proses perencanaan dalam tata kelola pemerintahan juga dijelaskan oleh Healey (2003) sebagai konsep Collaborative Planning. Ide tentang Collaborative Planning terinspirasi oleh beberapa hal yaitu: Pertama, adanya persepsi tentang perencanaan sebagai
sebuah proses interaktif; Kedua,
perencanaan dilihat sebagai sebuah aktivitas pemerintahan yang terjadi di lingkungan kelembagaan yang kompleks dan dinamis yang dibentuk oleh persepsi ekonomi, sosial dan lingkungan yang
menggerakan struktur kelembagaan
tersebut; Ketiga, inisiatif perencanaan dan kebijakan sangat berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kualitas suatu ruang dan wilayah; Keempat, adanya komitmen moral terhadap keadilan sosial
yang diwujudkan dari pengalaman
kehidupan sehari-hari dalam konteks nilai budaya yang beragam tentang lingkungan dan cara hidup lokal.
Collaborative planning dibangun atas dasar suatu persepsi perencanaan yang interaktif dan digerakkan oleh struktur kelembagaan yang kompleks dan dinamis
dalam rangka memelihara dan
meningkatkan kualitas ruang dan wilayah dengan terus berkomitmen pada keadilan sosial yang diwujudkan melalui budaya dan cara hidup lokal. Jika pemerintah telah tepat merumuskan perencanaan, maka pelaksanaan ke depannya akan lebih mudah dan juga terarah.
Jika merujuk pada konsep
Collaborative Governance yang
dikemukakan oleh Ansell dan Gash (2007), berkurangnya dominasi pembangunan dan meningkatnya pelibatan para pemangku kepentingan memunculkan pentingnya konsep governance. Proses governance
memungkinkan terjadinya interaksi yang berkesinambungan antara masyarakat dan negara dalam pembangunan. Penerapan konsep governance akan melibatkan elemen-elemen lain yang berada di luar proses kebijakan publik yaitu asosiasi sipil, organisasi sektor swasta, kelompok komunitas serta gerakan sosial lainnya.
Peran elemen lain dalam proses
pembangunan ini juga dikenal sebagai
konsep “triple helix model”. Adapun model
ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Triple Helix Model (Sumber: Etzkowitz and Leydesdorf, 2000)
Etzkowitz (2002) dalam laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development (2013) menggambarkan dua model untuk menjelaskan hubungan antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi yakni model statis dan model laissez-faire. Pada model statis pemerintah memiliki peran yang dominan membangun kemitraan karena kedua bidang lainnya dianggap lemah. Sedangkan pada model laissez-faire tiap elemen lebih mandiri, akademisi (perguruan tinggi) sebagai produsen pengetahuan baru, swasta (industri) bertanggung jawab atas penyerapan serta aplikasi pengetahuan, dan pemerintah menetapkan regulasi atau peraturan. Jika merujuk pada konsep ini, model statis lebih tepat menggambarkan hubungan antar pemerintah, swasta dan perguruan tinggi di Kabupaten Bandung.
Di Kabupaten Bandung, sektor swasta dan perguruan tinggi tidak berperan signifikan dalam pembangunan sektor pertanian, salah seorang penyuluh pertanian Kecamatan Pasirjambu, Asep
(50) mengemukakan, “Kontribusi dari
perguruan tinggi masih rendah, mereka
biasanya hanya melakukan penelitian minta data yang tidak ada tindak lanjutnya, sehingga tidak ada saran masukan untuk
perbaikan desa kedepannya” (Wawancara
1 November 2018). Hal ini berimplikasi terhadap munculnya dominasi peran
pemerintah daerah. Dalam rangka
percepatan pembangunan, sinergi peran ketiga elemen ini mutlak diperlukan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Leydesdorf (2006), penciptaan basis pengetahuan sangat bergantung pada sinergi dari ketiga aktor utama ekonomi yaitu akademisi, bisnis, dan pemerintah. Perguruan tinggi bertanggung jawab atas penciptaan hal baru, bisnis menghasilkan
kekayaan atau keuntungan, dan
pemerintah bertanggung jawab atas tata kelola interaksi di antara para aktor serta pengaturan kebijakan (Organisation for Economic Co-Operation and Development, 2013).
Rendahnya kontribusi perguruan tinggi menunjukkan masih rendahnya perwujudan tri dharma perguruan tinggi oleh para akademisi khususnya dalam bidang pengabdian pada masyarakat. Perguruan tinggi seharusnya memainkan peranannya yang menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006) ada dua: 1) Secara internal dengan cara tetap setia pada misi unversitas yaitu mencari kebenaran sejati melalui ilmu pengetahuan dan penelitian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
umat manusia serta meningkatkan
penghormatan atas martabat manusia; dan 2) Secara eksternal, perguruan tinggi
seharusnya memberikan inspirasi,
mengajak, dan mendorong masyarakat luas untuk tetap mengembangkan budaya yang mendukung keberpihakan pada peningkatan penghormatan atas martabat manusia.
Daya Jangkau Petani Terhadap Pasar Petani di Kabupaten Bandung masih mengalami kesulitan dalam menjangkau pasar, terutama pasar ekspor. Hasil penelitian menunjukkan daya jangkau
petani terhadap pasar lokal sangat mendominasi. Adapun daya jangkau pasar petani di Kabupaten Bandung dapat dilihat pada tabel 2. berikut.
Tabel 2. Daya Jangkau Petani terhadap Pasar di Kabupaten Bandung No . Tujuan Pemasaran Banyaknya Jumlah % 1. 2. 3. Lokal Antar Provinsi Ekspor 13 3 1 100,0 23,1 7,7 Sumber: Data Primer Diolah
Daya jangkau petani terhadap pasar masih sangat rendah meskipun hasil penelitian menunjukkan beberapa petani diantaranya telah mampu mengakses pasar modern (supermarket). Berdasarkan informasi yang diperoleh dalam penelitian, pemasaran produk pertanian selain dilakukan di Pulau Jawa juga sudah menjangkau hingga Pulau Sumatra.
Pemasaran adalah faktor penting dalam keberlangsungan suatu usaha atau bisnis. Secara sederhana, Kotler & Keller (2016) menggambarkan suatu proses pemasaran sebagai hubungan antara penjual dengan pelanggan atau pembeli. Pemasar memandang penjual sebagai industry dan menggunakan istilah market
untuk menggambarkan kelompok
pelanggan atau pembeli. Gambar 2. menunjukkan bagaimana penjual dan pembeli dihubungkan oleh empat aliran. Penjual menjalin komunikasi kepada pembeli dan mengirimkan produknya berupa barang ataupun jasa, sebagai imbalannya penjual menerima uang dari pembeli dan juga informasi berupa data transaksi.
Gambar 2. A Simple Marketing System (Sumber: Kotler & Keller, 2016)
Untuk mencapai target pasar, seorang pemasar menurut Kotler & Keller (2016) haruslah memanfaatkan tiga jenis saluran pemasaran antara lain saluran komunikasi (communication channels), saluran distribusi (distribution channels), dan saluran layanan (service channel). Saluran komunikasi digunakan untuk menyampaikan dan menerima pesan dari pembeli, saluran komunikasi dapat berupa media cetak maupun media elektronik dan dapat bersifat dua arah ataupun hanya satu arah seperti melalui iklan. Petani di
Kabupaten Bandung telah optimal
memanfaatkan saluran komunikasi dalam memasarkan produk pertaniannya, bahkan sebagian telah memanfaatkan media online salah satunya melaui electronic
commerce (e-commerce) seperti
www.tanihub.com.
Saluran distribusi (distribution channels) membantu pemasar dalam menampilkan, menjual, atau mengirimkan produk kepada pembeli. Saluran distribusi (distribution channels) dapat langsung melalui media cetak atau elektronik maupun melaui grosir, pengecer, atau melalui agen-agen sebagai perantara. Petani di Kabupaten Bandung juga telah memanfaatkan saluran ini dengan optimal, banyak diantara mereka yang tidak langsung menjualnya ke pasar melainkan melalui distributor. Selain mendapatkan kepastian penjualan, sifat produk pertanian yang mudah rusak mendorong petani memilih cara pintas agar produknya cepat terjual.
Selain saluran komunikasi
(communication channels) dan saluran distribusi (distribution channels), saluran layanan (service channel) tidak kalah penting menunjang tercapainya target pasar. Dalam bertransaksi dengan pembeli yang potensial biasanya pemasar juga memanfaatkan saluran ini. Adapun saluran layanan (service channel) mencakup gudang, perusahaan transportasi, bank, ataupun perusahaan asuransi. Petani dengan produksi hasil pertanian yang
melimpah biasanya memanfaatkan saluran ini. Sebagian dari mereka ada yang sudah memasuki pasar modern (supermarket) seperti Toko Serba Ada atau Toserba
Yogya. Pengiriman produk tentu
menggunakan jasa transportasi dan pembayaran transaksi melalui bank.
Media Pemasaran yang Dipergunakan Petani di Kabupaten Bandung telah memanfaatkan berbagai media dalam memasarkan produk pertaniannya. Hasil penelitian menunjukkan beberapa desa telah menggunakan aplikasi berbasis online, adapun tingkat pemanfaatan media pemasaran oleh petani di Kabupaten Bandung disajikan pada tabel 3. berikut ini.
Tabel 3. Tingkat Pemanfaatan Media Pemasaran oleh Petani di Kabupaten Bandung
No Media Pemasaran Banyaknya
Jumlah % 1. 2. 3. Langsung Ditempat Melalui Distributor Melalui Media Online 12 6 6 92,3 46,2 46,2 Sumber: Data Primer Diolah
Data pada tabel 3. di atas menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Bandung sudah mulai memanfaatkan media internet dalam aktivitas usahanya. Salah seorang ketua kelompok tani di Kecamatan Pangalengan menuturkan,
“Produksi pertanian telah dimasukkan dalam pasar berbasis online, dengan penjualan berbasis online melalui aplikasi, harapannya dapat mengikuti permintaan masyarakat” (Wawancara 18 Desember
2018).
Media pemasaran sangat penting dalam menjamin keberlangsungan suatu kegiatan bisnis. Kegiatan pemasaran menurut Kotler & Keller (2016) dapat
dilakukan melalui advertising
(pengiklanan), sales promotion (promosi
penjualan), dan direct marketing
(pemasaran langsung). Petani seharusnya
dapat memanfaatkan ketiga media
pemasaran ini secara optimal, karena masing-masing media memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebagai contoh, direct marketing dapat memberikan garansi rasa aman kepada sebagian pelanggan karena dapat melihat secara langsung produk yang akan dibelinya, namun tidak dapat menjangkau pelanggan dengan jarak yang jauh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahyuna, dkk. (2013) menunjukkan bahwa direct marketing dapat memberikan sedikit kepercayaan kepada konsumen walau hanya berupa janji terhadap produk yang mereka tawarkan.
Pemanfaatan media pemasaran
terlebih media internet sangat
memudahkan petani untuk menjangkau pelanggan secara lebih luas. Advertising melalui media internet adalah alternatif saluran pemasaran dengan biaya rendah dan efisiensi tenaga penjualan. Advertising melalui internet tentu lebih efektif
dibandingkan advertising secara
konvensional. Jika menggunakan cara konvensionan, penjual perlu berulang kali
memasarkan produknya tiap kali
konsumen datang, sehingga akan
membuang lebih banyak watu dan tenaga kerja (Ahyuna, Hamzah, M.D., & M. Nadjib, HM, 2013).
Permasalahan yang Dihadapi Petani Dalam Mengakses Pasar
Permasalahan yang dihadapi petani di Kabupaten Bandung berkaitan dengan masalah permodalan dan distribusi. Minimnya modal usaha yang dimiliki petani menyebabkan tidak banyak petani yang berani mengakses pasar modern.
Salah seorang petani mengatakan, “Petani hanya jadi pengempul, karena petani kecil modalnya jadi di modalin oleh bandar dulu, sehingga keuntungan banyak diperoleh bandar sedangkan petani keuntungannya sedikit” (Wawancara 1 November 2018).
Selain itu, perbedaan topografi wilayah di Indonesia menghadirkan
tantangan terhadap masalah
pertanian yang sifatnya mudah rusak, permasalahan serupa dihadapi juga oleh petani di Kabupaten Bandung. Terdapat tiga strategi distribusi yang dikemukakan oleh Kotler & Keller (2016) dalam bukunya
“Marketing Management”, jika dilihat berdasarkan jumlah perantaranya yaitu exclusive distribution, selective distribution, dan intensive distributon.
Exclusive distribution yaitu strategi penyaluran produk dengan membatasi jumlah perantara. Hal ini dilakukan oleh produsen agar dapat memantau sejauh
mana dedikasi reseller terhadap
produknya. Strategi ini biasanya
dimainkan ketika telah terjalin kemitraan yang lebih dekat. Selective distribution hanya bergantung kepada beberapa perantara yang bersedia menjual kembali produknya, dengan strategi ini produsen akan mendapatkan pasar dengan cakupan yang lebih luas. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, petani di Kabupaten Bandung melakukan strategi ini dalam mendistribusikan produk
pertaniannya. Sedangkan intensive
distribution adalah strategi dengan menempatkan barang atau jasa di sebanyak mungkin outlet. Strategi ini
biasanya dilakukan oleh produsen
makanan ringan, minuman, atau
majalah/koran. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip Collaborative Governance dalam tata kelola pemerintahan dalam rangka memajukan sektor pertanian di Kabupaten Bandung belum optimal diterapkan, hal ini ditunjukkan dengan masih dominannya peran pemerintah dalam mengelola program-program pertanian dan di sisi lain perguruan tingga sangat kecil kontribusinya terhadap pengembagan sektor pertanian di Kabupaten Bandung.
Daya jangkau petani terhadap pasar masih sangat rendah, hanya sebagian kecil dari petani di Kabupaten Bandung yang
telah memasarkan produk pertanian ke luar daerah ataupun ekspor, meskipun demikian sebagian kecil petani di
Kabupaten Bandung telah dapat
mengakses pasar-pasar modern
(supermarket) seperti Toserba Yogya. Jika dilihat dari tingkat pemanfaatan media pemasaran oleh petani, mayoritas petani di Kabupaten Bandung memasarkan produk pertaniannya secara langsung di tempat (konvensional), namun sebagian petani telah memanfaatkan media online dan aplikasi dalam memasarkan produk pertaniannya. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi sudah merambah hingga ke pedesaan dan sebagian petani telah dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar.
Adapun permasalahan yang dihadapi petani dalam mengakses pasar berkaitan
dengan masalah permodalan dan
distribusi. Minimnya modal yang dimiliki petani menyebabkan tidak banyak petani yang berani mengakses pasar-pasar modern. Dalam hal distribusi, petani menjual produk pertaniannya hanya melalui beberapa distributor (selective distribution).
Selanjutnya dari hasil pembahasan
dan kesimpulan, penulis dapat
memberikan saran diantaranya
diharapkan kepada para akademisi lebih
memperhatikan kewajibannya yang
tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi yaitu pengabdian pada masyarakat, hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah setempat. Pemerintah daerah Kabupaten
Bandung selain secara langsung
memberikan pelatihan-pelatihan, juga diharapkan dapat membantu petani dalam membuka akses terhadap pasar misalnya dengan memfasilitasi petani melalui penggunaan teknologi pemasaran ataupun dengan mempertemukan petani dengan investor.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyuna, Hamzah, M.D., & M. Najib, HM. (2013). Pemanfaatan Internet sebagai Media Promosi Pemasaran Produk Lokal oleh Kalangan Usaha di Kota Makassar, Jurnal Komunikasi Kareba, 2 (1): 30-40
Alisjahbana, A.S., et all. (2018). Menyongsong SDGs: Kesiapan Daerah-daerah di Indonesia. Bandung: Unpad Press.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative Governance in Theory and Practice, Journal of Public Administration Research and Theory,
18 (4): 543-571.
Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2011). An Integrative Framework for Collaborative Governance, Journal of Public Administration Research and Theory, 22: 1-29.
Febrian, R.A. (2016). Collaborative Governance
dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan,
Jurnal Pemerintahan, Politik, dan Birokrasi, 2 (1): 200-208.
Handriansyah, H. (2018). “Lahan Pertanian Organik Kabupaten Bandung Baru 0,3 Persen”.
Diunduh di https://www.pikiran-
rakyat.com/bandung- raya/2018/10/05/lahan-pertanian-organik- kabupaten-bandung-baru-03-persen-431157 tanggal 10 Agustus 2019.
Healey, P. (2003). Collaborative Planning in Perspective, Journal of Planning Theory, 2 (2): 101-123.
Indrajit, R.E., & Djokopranoto, R. (2006).
Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Kotler, P., & Keller, K.L. (2016). Marketing Management - 15th Edition. United States of
America: Pearson Education.
Moleong, L.J. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Organisation For Economic Co-Operation and
Development (OECD). (2013). Private Sector Development “Triple Helix Partnership for Innovation in Bosnia and Herzegovina. Policy Handbook. Diunduh di
https://www.oecd.org/south-east-europe/programme/Triple%20Helix%20En glish%20Version.pdf tanggal 10 Agustus 2019.
Prasetya, D.I. (2002). Lingkungan Eksternal, Faktor Internal, dan Orientasi Pasar Pengaruhnya Terhadap Kinerja Pemasaran. Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, 1 (2): 219-240.
Soetomo. (2016). Pembangunan Masyarakat ‘Merangkai Sebuah Kerangka’. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Syaiful, I.L. (2018). Collaborative Governance:
Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.