• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA. 3. Membandingkan hasil peramalan model fungsi transfer dengan model ARIMA. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA. 3. Membandingkan hasil peramalan model fungsi transfer dengan model ARIMA. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semua makhluk hidup di permukaan bumi sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca/iklim. Demikian halnya dengan nyamuk Aedes aegypti sebagai penyebab penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Peningkatan penyebaran penyakit akibat gigitan nyamuk Aedes aegypti ini disebabkan pengaruh cuaca seperti curah hujan dan suhu udara. Tingginya curah hujan membuat sejumlah daerah rawan terjadi genangan air. Sedangkan genangan air ini merupakan tempat yang sangat disukai bagi berkembangnya jentik nyamuk penyebab demam berdarah (Imron 2007).

Jumlah penderita DBD yang semakin meningkat tajam harus segera diwaspadai. Sebuah model analisis penyakit menular menunjukkan bahwa kasus DBD di Indonesia akan meningkat lebih dari 4 kali, yaitu dari 6 kasus di tahun 1989 menjadi 26 kasus per 10.000 orang di tahun 2070 (Agus 2007).

Peningkatan jumlah penderita DBD dapat dimodelkan dengan menggunakan metode ARIMA. Begitu juga dengan peningkatan curah hujan dan suhu udara. Akan tetapi hubungan antara curah hujan dan suhu udara dengan peningkatan jumlah penderita DBD tidak dapat dimodelkan dengan metode ARIMA, karena metode ini hanya untuk satu peubah. Untuk mengatasi hal tersebut, digunakan model fungsi transfer.

Model fungsi transfer adalah suatu model peramalan deret waktu berganda yang menggabungkan beberapa karakteristik model-model ARIMA satu peubah dengan beberapa karakteristik analisis regresi (Makridakis et al. 1983). Model fungsi transfer diharapkan dapat menjelaskan pengaruh curah hujan dan suhu udara terhadap jumlah penderita DBD, sehingga dapat dipertimbangkan dalam perencanaan atau kebijakan strategis terhadap dampak perubahan cuaca.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Membuat model fungsi transfer yang menjelaskan hubungan antara curah hujan dan suhu udara dengan jumlah penderita DBD.

2. Melakukan peramalan jumlah penderita DBD.

3. Membandingkan hasil peramalan model fungsi transfer dengan model ARIMA.

TINJAUAN PUSTAKA

Cuaca dan DBD

Cuaca merupakan keadaan udara di suatu tempat. Unsur-unsur cuaca terdiri dari curah hujan, suhu udara, kelembapan udara, tekanan atmosfer dan angin. Sedangkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti. WHO menyatakan bahwa daerah tropis merupakan daerah hiperendemik DBD dan berdasarkan tinjauan meteorologi daerah tropis merupakan daerah yang kaya hujan sepanjang tahun sehingga perkembangbiakan nyamuk sangat erat kaitannya dengan masalah cuaca/iklim di suatu wilayah (BMG 2006).

Perubahan iklim/cuaca seperti perubahan suhu dan perubahan curah hujan dapat mempengaruhi organisme vektor DBD yaitu terjadi perubahan dalam pergerakan, perkembangbiakan dan tingkah laku, serta mempengaruhi kecepatan kematangan dan lamanya hidup vektor penginfeksi (LIPI 2006).

Curah hujan merupakan bentuk air cair yang jatuh ke permukaan bumi. Banyaknya curah hujan yang mencapai tanah atau permukaan bumi selama selang waktu tertentu dinyatakan dengan ketebalan atau ketinggian air hujan seandainya menutupi proyeksi horizontal permukaan bumi dan tidak ada yang hilang karena penguapan, limpasan, dan infiltrasi atau peresapan.

Suhu didefinisikan sebagai tingkat atau derajat kepanasan suatu benda yang secara mikroskopik berkaitan dengan gerakan molekul, semakin besar kecepatan molekul maka suhu akan semakin tinggi (BMG 2006).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh BMG pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa jumlah penderita DBD berkaitan erat dengan intensitas dan jumlah hari hujan. Hujan yang terjadi saat ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penderita DBD, tetapi terdapat selang waktu (time lag) beberapa bulan kemudian (BMG 2006).

Model Deret Waktu ARIMA

Metode ARIMA pertama kali diperkenalkan oleh Box dan Jenkins. Pada model ini terjadi proses Autoregressive (AR) berordo-p atau proses Moving Average (MA)

(2)

berordo-q atau merupakan kombinasi keduanya. Pembeda berordo-d dilakukan jika data deret waktu tidak stasioner. Kebanyakan data deret waktu bersifat non stasioner, padahal aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA menghendaki data yang stasioner.

Kestasioneran Data Deret Waktu

Syarat utama dalam membuat model ARIMA adalah data bersifat stasioner, baik dalam rataan maupun ragam. Data dikatakan stasioner jika fluktuasi data berada di sekitar nilai yang konstan (stasioner dalam rataan) dan ragam dari fluktuasi tersebut tetap konstan dari waktu ke waktu (stasioner dalam ragam).

Pemeriksaan kestasioneran data dapat dilihat dari plot data terhadap waktu dan plot korelasi dirinya (ACF). Deret waktu yang stasioner memiliki pola plot ACF yang menunjukkan penurunan nilai-nilai korelasi diri dengan cepat mendekati nol. Sebaliknya deret waktu yang tidak stasioner memiliki pola plot ACF yang menunjukkan penurunan nilai-nilai korelasi diri secara lambat. Fungsi korelasi diri dinotasikan sebagai berikut :

(

)(

)

(

)

= − = + − − − = N t t k N t k t t k X X X X X X r 1 2 1 dengan :

Xt = nilai pengamatan pada waktu ke-t rk = nilai korelasi diri pada lag ke-k N = banyaknya pengamatan deret waktu k = lag yang diamati

t = 1,2,3,…,N

Ketidakstasioneran data deret waktu terbagi dua, yaitu tidak stasioner dalam rataan dan tidak stasioner dalam ragam. Data deret waktu yang tidak stasioner dalam rataan dapat distasionerkan dengan cara pembedaan dengan derajat d. Secara umum, pembedaan dengan derajat d bisa dirumuskan sebagai berikut :

(

)

t d t d X B X = − Δ 1

Biasanya pembedaan dilakukan hanya sampai dua kali, karena data aktual umumnya tidak stasioner hanya pada satu atau dua tahap (Cryer 1986).

Data deret waktu yang tidak stasioner dalam ragam bisa distasionerkan dengan transformasi Box Cox. Dalam transformasi Box Cox akan dihasilkan nilai λ yang akan menentukan jenis transformasi yang akan dilakukan. Nilai lambda beserta aturan transformasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1 (Wei 1990).

Tabel 1 Nilai λ dan Transformasinya Nilai λ Transformasinya -1.0 1/Xt -0.5 1/ t X 0.0 Ln Xt 0.5 t X 1.0 Xt (tanpa transformasi)

Untuk menguji apakah data yang digunakan stasioner, dapat digunakan Uji Augmented Dicky-Fuller. Hipotesis yang digunakan yaitu H0 : data tidak stasioner dan H1 : data stasioner. Jika nilai-p lebih besar dari nilai α maka terima H0 atau dengan kata lain data tidak stasioner dan sebaliknya.

Model Regresi Diri (Autoregressive)

Model regresi diri berordo p, yang disingkat AR (p) menyatakan bahwa nilai pengamatan pada periode ke-t dipengaruhi oleh nilai-nilai pengamatan sebelumnya selama p periode (Makridakis et al. 1983). Dengan kata lain nilai pengamatan Xt dipengaruhi nilai pengamatan Xt-1, Xt-2, …, Xt-p.

Secara umum, model AR(p)

diformulasikan sebagai berikut (Montgomery et al. 1990) : t p t p t t t X X X e X =μ+φ1 1+φ2 2+...+φ +

( )

t t p B X =μ+e φ dengan : t

X = nilai pengamatan pada waktu ke-t

μ = konstanta

φ = parameter model AR t

e = sisaan pada waktu ke-t

( )

p

p

p B φB φB φ B

φ =1− 1 − 2 2−...− merupakan

polinomial karakteristik AR

Model Rataan Bergerak (Moving Average)

Perbedaan antara model MA dan model AR terletak pada peubah bebasnya. Pada model AR peubah bebasnya adalah nilai sebelumnya dari peubah tak bebas itu sendiri (Xt), sedangkan pada model MA, peubah bebasnya adalah nilai sisaan pada periode sebelumnya. Rumus umum proses MA (q) adalah sebagai berikut (Montgomery et al. 1990) :

t q t q t t t e e e e X =μ−θ1 1−θ2 2−...−θ +

( )

t q t Be X =μ+θ dengan : t

(3)

μ = konstanta

θ = parameter model MA t

e = sisaan pada waktu ke-t

( )

q qB B B B q θ θ θ θ =1− 1 − 2 2−...− merupakan polinomial karakteristik MA

Model Regresi Diri-Rataan Bergerak (p,d,q)

Autoregressive Integreted Moving Average (ARIMA) adalah gabungan dari model regresi diri ordo p dan rataan bergerak ordo q terhadap data yang telah mengalami pembedaan sebanyak d kali. Bentuk umum model ARIMA (p,d,q) adalah sebagai berikut :

( )

t q

( )

t

d

p B X μ θ Be

φ ∇ = +

Memasukkan faktor musiman (S) ke dalam model akan dapat mereduksi besarnya sisaan yang disebabkan oleh fakor musiman. Bentuk umum dari model campuran dengan faktor musiman adalah ARIMA (p,d,q)(P,D,Q)s :

( )

Ps

( )

d Ds t q

( )

Qs

( )

t p BΦ B∇ ∇ X =μ+θ BΘ Be φ dengan : μ = konstanta φ = parameter model AR θ = parameter model MA t

e = sisaan pada waktu ke-t

s = banyaknya pengamatan deret waktu dalam satu musim

d

∇ = operator pembedaan dengan derajat pembeda d

( )

p p p B φ B φ B φ B φ =1− 1 − 2 2−...− merupakan polinomial karakteristik AR

( )

q q q B θ B θ B θ B θ =1− − 2−...− 2 1 merupakan polinomial karakteristik MA

( )

B Ps

Φ merupakan polinomial karakteristik AR musiman

( )

B

Qs

Θ merupakan polinomial karakteristik MA musiman

(

s

)

D

D s = −B

∇ 1 merupakan operator

pembedaan musiman dengan pembedaan derajat D

Metode yang biasa digunakan dalam pembuatan model ARIMA adalah metode Box-Jenkins (Makridakis et al. 1983) dengan prosedur sebagai berikut :

1. Identifikasi Model

Identifikasi model beranjak dari struktur data yang bersifat stasioner. Dari data yang telah stasioner dapat diperoleh model sementara dengan mengamati fungsi korelasi

diri (ACF) dan fungsi korelasi diri parsialnya (PACF).

Ordo proses AR dapat ditentukan dengan melihat berapa banyak koefisien korelasi diri parsial (PACF) pertama yang berbeda nyata dengan nol. Sedangkan ordo proses MA ditentukan dengan melihat berapa banyak koefisien korelasi diri (ACF) pertama yang berbeda nyata dengan nol (Bowerman & O’Connel, 1987). Untuk lebih jelasnya, dalam mengidentifikasi proses ARIMA dari plot korelasi diri dan plot korelasi diri parsialnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Pendugaan Parameter

Banyaknya parameter yang akan diduga bergantung pada banyaknya koefisien model awal. Penduga parameter dikatakan nyata jika nilai-t absolut yang berpadanan dengan parameter tersebut lebih besar daripada nilai-t table pada taraf nyata α/2 dengan derajat bebas N dikurangi dengan banyaknya parameter model (Bowerman & O’Connel, 1987).

3. Diagnostik Model

Uji Portmanteau atau Box-Pierce dapat digunakan untuk menguji apakah model yang dimiliki sudah layak atau belum, yaitu dengan melihat apakah sekelompok korelasi diri sisaan secara nyata berbeda dengan nol.

Statistik uji Q Box-Pierce menyebar mengikuti sebaran χ2dengan derajat bebas k-n, dimana k adalah lag tertinggi yang diamati dan n adalah jumlah ordo AR dan MA baik regular maupun musiman. Jika nilai Q lebih besar dari nilai (nk)

2

χ untuk tingkat kepercayaan tertentu atau nilai peluang statistik Q lebih kecil dari taraf nyata α, maka dapat disimpulkan bahwa model tidak layak. Persamaan statistik uji Q Box-Pierce menurut Montgomery et al.(1990) adalah :

(

)

= − = K k k r d N Q 1 2 dengan :

rk2 = nilai korelasi diri pada lag ke-k N = banyaknya amatan pada data awal d = ordo pembedaan

K = lag tertinggi

Pemeriksaan kelayakan model juga dapat dilakukan dengan memeriksa plot korelasi diri sisaan (RACF) dan plot korelasi diri parsial sisaan (RPACF). Model yang sesuai ditunjukkan dengan tidak adanya nilai korelasi diri sisaan dan nilai korelasi diri parsial sisaan yang berbeda nyata dengan nol (Bowerman & O’Connel, 1987).

(4)

4. Peramalan

Peramalan merupakan suatu proses untuk memperoleh data beberapa periode waktu ke depan. Untuk memperoleh sejauh a periode ke depan dari titik waktu ke t, maka dipilih satu model yang memiliki nilai KTG minimum. Perhitungan dilakukan secara rekursif, yaitu menghitung peramalan satu periode kemudian dua periode, dan seterusnya sampai a periode ke depan.

Kriteria Pemilihan Model

Schwarz’s Bayesian Criterion (SBC) atau disebut juga Bayesian Information Criterion (BIC) adalah kriteria untuk memilih model. SBC merupakan kriteria pemilihan model berdasarkan fungsi kemungkinan maksimum. SBC didefinisikan sebagai : n ln(σˆa2)+ M ln n, dimana 2 ˆa σ adalah penduga dari 2 a

σ , M banyaknya parameter dalam model, dan n banyaknya sisaan yang dapat dihitung dari suatu deret. Model terbaik adalah model dengan nilai SBC minimum (SAS/ETS User’s Guide, 1988).

SBC dibentuk untuk menyeleksi model dan memilih nilai parameter yang sebenarnya setepat mungkin. Sementara Akaike Information Criterion (AIC) cenderung dari SBC, dimana AIC dapat didefinisikan sebagai : n ln ˆ2

a

σ + 2M. Untuk data yang besar SBC lebih baik serta lebih konsisten.

Setelah melakukan peramalan, ketepatan peramalan dapat dicari dengan menghitung MAPE (Mean Absolute Percentage Error), dengan rumus sebagai berikut : 100 1 × − =

= n x f x MAPE n t t t t

dengan xt adalah pengamatan pada waktu ke-t dan ft adalah ramalan pada waktu ke-t. Semakin kecil nilai MAPE menunjukkan data hasil peramalan semakin mendekati nilai aktual.

Model Fungsi Transfer

Jika deret waktu yt berhubungan dengan satu atau lebih deret waktu lain (xt), maka dapat dibuat sebuah model deret waktu untuk menduga nilai yt berdasarkan informasi xt. Model yang dihasilkan disebut model fungsi transfer. Deret waktu yt dinamakan deret output dan deret waktu xt sebagai deret input (Makridakis et al. 1983).

Perbedaan dengan regresi linier terdapat pada jenis data yang digunakan. Fungsi transfer menggunakan data deret waktu yang tidak saling bebas antar periodenya. Hal ini disebabkan karena data deret waktu mengandung unsur seasonality, trend, dan cycle. Sehingga perhitungan korelasi (kedekatan antara X dan Y) fungsi transfer dan regresi linier berbeda.

Korelasi antara X dan Y (Regresi Linier) : yy xx xy xy Cov Cov Cov r =

(

)(

)

= − − = n t t t xy X X Y Y n Cov 1 1

Korelasi antara X dan Y (Fungsi Transfer) disebut juga dengan Korelasi Silang (Cross-correlation) :

( )

( )

yy xx xy xy Cov Cov k Cov k r =

( )

(

)(

)

= + − − = n k t k t t xy X X Y Y n k Cov 1 1

Model fungsi transfer memiliki bentuk umum sebagai berikut :

( ) ( )

s t b t

r

t B B x n

y =δ−1 ω − +

dengan :

1. yt dan xt merupakan deret yang stasioner. 2. b adalah angka yang melambangkan

periode sebelum deret input (xt) memulai untuk mempengaruhi deret output (yt).

3.

( )

s s s B ω ωB ω B ω B ω = − − 2−...− 2 1 0

Nilai s mengindikasikan berapa lama deret output (yt) mulai dipengaruhi oleh nilai yang baru dari deret input (xt).

4.

( )

r r r B δ B δ B δ B δ =1− − 2−...− 2 1

Nilai r mengindikasikan berapa lama deret output (yt) berhubungan dengan nilai yang terdahulu dari deret output itu sendiri. 5. nt merupakan komponen galat pada waktu

ke-t.

Komponen galat (nt) diasumsikan dapat dimodelkan dengan proses ARIMA (p,d,q), sehingga model kombinasi fungsi transfer galat :

( ) ( )

s t b p

( ) ( )

q t r t B B x B Ba y =δ−1 ω +Φ−1 θ

( )

p p p B φB φ B φ B φ =1− − 2−...− 2 1

( )

q q q B θB θ B θ B θ =1− − 2−...− 2 1 b, r, s, p, q adalah konstanta t

(5)

( )

( )

d

p p B = B

Φ φ merupakan operator regresi diri umum

Model persamaan fungsi transfer untuk kasus dua input atau lebih, yaitu :

( ) ( ) ( )B s Bxt b rj( ) ( ) ( )B sjBxt bj nt r

t

y =δ−11 ω1 1+...+δ−1 ω +

Berdasarkan persamaan di atas dapat dilihat bahwa konstanta (r,s,b) dan (p,q) merupakan faktor penentu dalam membangun model fungsi transfer.

Prosedur pembentukan model fungsi transfer meliputi tahapan-tahapan berikut :

1. Identifikasi Bentuk Model Fungsi

Transfer

1.1. Mempersiapkan deret input dan

output

Tahap ini mengidentifikasi apakah deret input dan deret output sudah stasioner baik dalam rataan maupun dalam ragam. Jika data tidak stasioner maka dilakukan pembedaan dan transformasi untuk menghilangkan ketidakstasioneran.

1.2. Prewhitening deret input

Tahap prewhitening deret input merupakan proses transformasi deret yang berkorelasi menuju perilaku white noise yang tidak berkorelasi. Proses prewhitening ini menggunakan model ARIMA untuk deret input. Oleh karena itu, sebelum proses prewhitening, dibangun terlebih dahulu model ARIMA bagi xt.

Misalkan jika deret input xt dimodelkan sebagai proses ARIMA (p,0,q), maka deret ini memiliki model :

( )

t q

( )

t

p B x θ Bα

φ =

dengan αt merupakan sisaan acak. Dengan demikian deret input yang telah mengalami prewhitening (αt) adalah :

( ) ( )

q t p t B 1 Bx − =φ θ α

1.3. Prewhitening deret output

Fungsi transfer merupakan proses pemetaan xt tehadap yt. Sehingga apabila diterapkan suatu proses prewhitening terhadap xt, maka transformasi yang sama juga harus diterapkan terhadap yt agar dapat mempertahankan integritas hubungan fungsional. Sehingga deret output yang telah ditransformasi (βt) adalah :

( ) ( )

q t p t B 1 B y − =φ θ β

1.4. Perhitungan korelasi silang antara

deret input dan deret output yang telah di prewhitening

Fungsi korelasi silang antara αt dan βt pada lag ke-k adalah :

( )

( )

β α αβ αβ s s k c k r = , k=0, ±1, ±2, … dimana :

( )

k

rαβ = korelasi silang antara αt dan βt pada lag ke-k

( )

k

cαβ = kovarian antara αt dan βt pada lag ke-k

α

s = simpangan baku deret αt

β

s = simpangan baku deret βt

1.5. Menentukan nilai b,r,s

Konstanta b, r, dan s ditentukan berdasarkan pola fungsi korelasi silang antara αt dan βt. Cara menentukan nilai b, r dan s adalah :

a. Korelasi silang berbeda nyata dengan nol untuk pertama kalinya pada lag ke-b b. Untuk s dilihat dari lag berikutnya yang

mempunyai pola yang jelas atau lama x mempengaruhi y setelah nyata yang pertama

c. Nilai r mengindikasikan berapa lama deret output (yt) berhubungan dengan nilai yang terdahulu dari deret output itu sendiri. Nilai r dilihat dari plot korelasi diri yt.

1.6. Pendugaan awal parameter δ dan ω

Penduga awal parameter fungsi transfer

yaitu δˆ=

(

δ12,...,δr

)

dan

(

ω ω ωs

)

ω)= 0, 1,..., dicari dengan

memanfaatkan persamaan berikut ini:

s b j V V V V s b b j V V V V b j V V V V b j V r j r j j j b j r j r j j j r j r j j j j + > + + + = + + = − + + + = = + + + + = < = − − − − − − − − − − , ... ,..., 1 , ... , ... , 0 2 2 1 1 2 2 1 1 0 2 2 1 1 δ δ δ ω δ δ δ ω δ δ δ dengan

( )

α β αβ s s k r vˆk =

Penduga awal ini digunakan sebagai nilai awal pada algoritma pendugaan akhir nonlinier dan untuk menduga deret sisaan.

(6)

2. Pendugaan Akhir Parameter Model

Fungsi Transfer

Pendugaan awal parameter merupakan nilai awal pada logaritma pendugaan kuadrat terkecil nonlinier untuk membentuk penduga akhir parameter model yang dilakukan secara iteratif. Proses diulang sampai kekonvergenan dicapai. Iterasi akan berhenti jika jumlah kuadrat galatnya mencapai nilai minimum (Box & Jenkins, 1979). Pada prosedur SAS, pendugaan akhir parameter ini menggunakan Metode Kuadrat Terkecil (Least Squares Methods)

3. Diagnostik Model Fungsi Transfer

Pemeriksaan kesesuian model dilakukan dengan melihat perilaku sisaan (at) dan korelasi silang contoh (SCC) antara at dan αt

(sisaan dan input). Keacakan sisaan serta tidak adanya nilai SCC yang berbeda nyata dengan nol menunjukkan model sudah sesuai.

Uji Q Box-Pierce dapat diaplikasikan untuk menguji kebebasan sisaan dan tidak adanya korelasi antara input dan sisaan.

4. Peramalan

Peramalan dihitung dengan menggunakan persamaan :

( ) ( )

p t p

( ) ( )

s t b r

( ) ( )

q t

r Bφ B y φ Bω BX δ Bθ Ba

δ = +

dengan memasukkan nilai-nilai parameter fungsi transfer dan nilai deret input dan output yang didapat dari langkah-langkah sebelumnya.

BAHAN DAN METODE

Bahan Penelitian

Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data harian yang dikumpulkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Data yang digunakan merupakan data bulanan sejak Januari 2001 hingga Desember 2006, terdiri dari peubah curah hujan dan suhu udara yang merupakan rata-rata dari 10 stasiun pengamatan di Surabaya serta data jumlah penderita DBD yang merupakan total dari seluruh kecamatan di Surabaya. Data bulan Januari 2001 – Desember 2005 digunakan dalam pembuatan model sedangkan data bulan Januari 2006 – Desember 2006 digunakan sebagai data evaluasi.

Metode Penelitian

Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Eksplorasi data curah hujan, suhu dan data jumlah penderita DBD untuk melihat pola setiap peubah.

2. Mempersiapkan deret output dan deret input (penstasioneran data).

3. Identifikasi model ARIMA untuk seluruh peubah.

4. Prewhitening deret input curah hujan dan suhu udara.

5. Menghitung korelasi silang masing-masing deret input dengan deret output.

6. Identifikasi awal model fungsi transfer. 7. Identifikasi model sisaan.

8. Menentukan model kombinasi fungsi transfer.

9. Meramalkan jumlah penderita DBD dengan menggunakan model terbaik.

10. Membandingkan hasil peramalan model fungsi transfer dengan model ARIMA. 11. Melakukan peramalan model fungsi

transfer secara bertahap.

Pengolahan dengan menggunakan software Minitab 14 dan SAS 9.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Data

Pada Lampiran 2 dapat dilihat adanya hubungan positif antara jumlah penderita DBD pada bulan ke-t dengan curah hujan pada bulan ke t-2, sedangkan dengan suhu memiliki hubungan negatif. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan Januari 2002 mencapai 600.09 mm sedangkan suhu udara rata-rata berkisar antara 260-290C. Dengan menggunakan nilai rata-rata bulanan (Gambar 1), diketahui bahwa pada bulan Januari hingga Juni kasus DBD cukup besar, dengan kasus tertinggi terjadi pada bulan Maret. Sedangkan pada bulan Juli hingga Desember terjadi penurunan jumlah kasus DBD.

Grafik Kasus DBD Rata2 Bulanan (2001-2005)

132.6 188.6 372.6 53.2 44.2 43.0 61.8 68.6 94.2 151.8 254.2 251.2 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan DBD

Gambar 1 Grafik Kasus DBD Rata-rata Bulanan.

Gambar

Tabel 1  Nilai λ dan Transformasinya  Nilai λ Transformasinya  -1.0 1/X t  -0.5  1/ t X    0.0  Ln X t   0.5  t X    1.0  X t  (tanpa transformasi)
Grafik Kasus DBD Rata2 Bulanan (2001-2005)

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan hukum Islam di Indonesia merupakan cikal bakal lahirnya KHI, dalam sub bahasan perkembangan hukum Islam di Indonesia secara menyeluruh tidak dijelaskan secara

Hasil uji mutu organoleptik terhadap tekstur menunjukkan tingkat kesukaan terhadap mie instan dengan substitusi tepung ubi jalar merah tepung kacang hijau maupun tanpa

Hasil analisis menunjukkan waktu transportasi mukosiliar hidung yang diperoleh dari pemeriksaan juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan jenis kelamin

Swimming pool , Tennis court , Public toilet, semua tempat sampah di luar gedung. Seksi ini sangat penting peranannya dalam operasional hotel karena mempunyai tugas

a) oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat

1) Ketepatan ekstraksi subyek sangat berpengaruh kepada hasil penghitungan fitur estetik yang digunakan, yang pada akhirnya mempengaruhi hasil ekstraksi fitur estetik dan nilai

Dari gambar 4.8 dan 4.9 dapat dilihat bahwa semakin meningkatnya nilai parameter konveksi campuran pada fluida menyebabkan profil kecepatan dan profil temperatur

April effeck adalah fenomena efek bulan perdagangan (month effect), yaitu terdapat bulan -bulan tertentu di mana nilai rata-rata return saham pada bulan tersebut lebih