TELAAH PENAFSIRAN SYAIKH MUHAMMAD
ALI> AL-S}ABUNI
TENTANG
PENGELOLAHAN HARTA ANAK
YATIM DALAM AL-
QUR’AN SURAH
AL-
NISA>’: 5-10
Skripsi:
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
BAGUS SAIFULLAH NIM: E73213115
PRODI ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSI
R
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
TELAAH PENAFSIRAN SYAIKH MUHAMMAD
ALI> AL-S}ABUNI
TENTANG
PENGELOLAHAN HARTA ANAK
YATIM DALAM AL-
QUR’AN SURAH
AL-
NISA>’: 5-10
Skripsi: Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu (Jurusan/program study)
Oleh:
BAGUS SAIFULLAH NIM: E73213115
PRODI ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSI
R
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Nama : Bagus Saifullah
Nim : E73213115
Judul : Telaah Penafsiran Syaikh Muhammad Ali> al-S}abuni tentang
Pengelolahan Harta Anak Yatim dalam al-Qur’an Surah al-Nisa>’: 5-10
Masalah yang diteliti adalah tentang pemeliharaan harta anak yatim yang seringkali terjadi keributan dalam mengatur dan pengelolahannya, yang terjadi adalah mereka lalai dalam menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang sudah ditetapkan oleh ajaran agama Islam.Dalam hal ini penulis
menggunakan mufassir Ali> Al-S}abuni. 1) Bagaimana penafsiran Ali> Al-S}abuni
terhadap Surah al-Nisa<’: 5-10. 2) Bagaimana Batasan penyerahan harta anak
yatimmenurut Ali> Al-S}abuni dalam Surah al-Nisa<’: 5-10.3) Bagaimana hukumnya
memakan harta anak yatim bagi para wali menurut Ali> Al-S}abunisurah Al-Nisa>’:
5-10. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research) dan menggunakan metode tahlili dengan menggunakan teori
asba>bal-nuzu>l dan bahasa kesusastraan dalam menafsirkan Al-Qur’an teori ini
berusaha keras dalam memaparkan makna dari kandungan ayat tersebut dan
pentingnya adanya penafsiran yang menggunakan teori asba>bal-nuzu>l. Peneliti
melakukan penelitian ini karena bisa memberikan konstribusi dalam study Al-Qur’an. Dengan memberikan informasi yang lebih luas khususnya tentang
penafsiran Ali> Al-S}abuni terhadap pemahaman pengelolahan harta anak yatim,
teori Ulum Al-Qur’an. Kemudian bisa juga memberikan solusi dalam pemahaman
ayat-ayat yang berkaitan dengan pengelolahan harta anak yatim. Kesimpulan yang bisa di paparkan, dalam mengelola harta, anak yatim yang masih kecil Safih tidak
boleh diserahkan hartanya, ukuran Safih dalam hal ini mencakup, anak-anak,
perempuan bahkan sampai dewasaAli> Al-S}abunidalam membatasi pewaris tidak
semua orang yang cukup umur bisa dikatan dewasa dan bisa mengatur harta mereka, karenanya walaupun usia 50 tahun jika sifatnya tidak sesuai maka tidak boleh memberikan harta tersebut. Kemudian bagi para wali boleh menggunakan harta anak yatim dalam keadaan darurat sebagai pinjaman jika wali sudah mampu maka harus membayar.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
MOTTO ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PENGESAHAN SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian... 11
E. Telaah Pustaka... 11
F. Metodologi Penelitian... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN
PENGELOLAHAN HARATA ANAK YATIM
A. Pengertian Umum tentang Tafsir ... 18
1. Pengertian Tafsir ... 18
2. Metodologi penafsiran Al-Qur’an... 19
B. Pengertian Umum Tentang Pengertian anak yatim ... 20
1. Pengertian anak yatim ... 20
2. Pandangan Umum terkait pengelolahan harta anak yatim .. 30
BAB III : BIOGRAFI DAN PENAFSIRAN ALI>>>>>>>>> AL-S}ABUNI\ A. Biografi Ali> Al-S}abuni ... 43
1. Karya-karya Muhammad Ali> Al-S}abuni ... 45
B. Rawai>’ al-baya>n fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n... 47
1. Seputar Tentang Kitab ... 47
2. Sistematika Kitab TafsirRawai>’ al-Baya>n ... 48
3. Metode, dan corak penafsiran kitab Rawa>’ al-Baya>n ... 48
BAB IV : PENAFSIRAN ALI>>>>>>>>> AL-S}ABUNI\ TENTANG PENGELOLAHAN HARTA ANAK YATIM A. Penafsiran Ali> Al-S}abuni Tentang Pengelolahan Harta Anak Yatim ... 54
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran-Saran ... 100
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Manusia dijadikan Allah dengan sebaik-baik kejadian, sebagai menambah
kebahagiaan, Allah mengaruniakan harta sebagai wadah pembangun kehidupan dan
penghidupan mereka. Walaupun begitu harta kadang mengundang penderitaan dan
kadang pula menjadikan suatu kebahagiaan, oleh karna itu Allah mengatur
bagaimana kita bisa bahagia dengan harta yang kita miliki bukan menjadikan
sengsara. Terlebih harta yang kita bawa adalah miliknya anak yatim kita harus lebih
berhati-hati dalam menjaganya dan mengaturnya, adalah suatu kesalahan yang besar
jika kita seenaknya membelanjakannya untuk kepentingan pribadi.
Sebagaimana kodrat manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah saling
membutuhkan tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan yang lain
karna manusia adalah makhluk sosial, untuk melengkapi kebutuhan hidupnya mereka
harus saling menolong dan saling membantu sesama. Maka kita harus utamakan anak
yatim karna mereka lebih membutuhkan bantuan kita. terlebih mereka adalah anak
yatim yang kurang mampu dan telah ditinggalkan kedua orang tuanya, betapa
susahnya mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan
papan maksudnya yaitu kebutuhan yang primer yang harus mereka dapatkan seperti,
rumah untuk tempat tinggal, makan untuk mempertahankan hidup mereka dan
2
Menurut istilah, anak yatim adalah anak di bawah umur yang kehilangan
ayahnya, yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan pendidikannya.1 Menurut
Ibnu Arabi, anak yatim menurut orang Arab, adalah sebutan bagi setiap anak yang
tidak memiliki ayah sampai mencapai usia baligh. Hakikat dari kata “yatim” adalah
kesendirian, jika ia mencapai kesempurnaan akal dalam usia baligh dan bisa berpikir
sendiri, serta mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, maka hilanglah sebutan
sebagai anak yatim dan juga maknanya dari pengasuhan. Namun jika ia mencapai
usia baligh, sementara masih dalam kebodohan, sebutan yatim tetap lepas darinya,
namun ia tetap berada dalam pengasuhan dan pengawasan.2
Secara pesikologis, orang dewasa sekalipun apabila ditinggal ayah atau ibu
kandungnya pastilah merasa tergoncang jiwanya, dia akan sedih karena kehilangan
salah se-orang yang sangat dekat dalam hidupnya. Orang yang selama ini
menyayanginya, memperhatikannya, menghibur dan menasehatinya. Itu orang yang
dewasa, coba kita bayangkan kalau itu menimpa anak-anak yang masih kecil, anak
yang belum baligh, belum banyak mengerti tentang hidup dan kehidupan, bahkan
belum mengerti baik dan buruk suatu perbuatan, tapi ditinggal pergi oleh Bapak atau
Ibunya untuk selama-lamanya.
Perintah untuk memelihara dan menjaga harta anak yatim, telah jelas dalam
Al-Qur’an, yaitu mengembangkan harta anak yatim (surah al-Isra’ ayat 34) dan
surat al-An‘a>m ayat 152), larangan makan harta anak yatim secara z}alim (surah
1
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 1106.
2 Abdullah al-Luhaidan dan Abdullah al-Muthawwi’,
3
Nisa’ 10) ayat hal ini bukan berarti tidak boleh menggunakan harta mereka
sedikitpun (surah al-Nisa’ 6) larangan berbuat curang terhadap anak yatim anak
yatim seperti menukar harta anak yatim yang berkualitas dengan yang tidak,
meskipun sejenis, atau menggunakan harta mereka bersama hartanya untuk
kepentingan pengasuh atau pengelolanya (surah al-Nisa’ ayat 2).3
Kita harus mengasihi serta memuliakan mereka, Salah satu di antara rasa
belas kasihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka ialah terdapat dalam
surah (Q.S. Al-Baqarah : 220 ):
يِف
ي
ܛَيۡن܆دٱ
ييَغ
ي ِةَِܱخٓٱ
ي
ي ۡسَيَغ
يَلي
ي ِݚَني َ َݛݠ
نݖ
يىٰ َمٰ َتَ
ۡٱ
ۡ
ي
ي ۡݗنݞݠ نطِݕܛَ
ُينِيَۖ ۡيَخيۡݗنݟ
ن
܅ليَح ََ ۡصِإي ۡݔنق
يَغيۚۡݗنكنݛَٰوۡخِإَف
ين܅ّٱ
ي
ينݗَݖَۡ݇ي
يَܯِسۡفنݙ
ۡ
لٱ
ي
ي َݚِݘ
ي ِحِݖ ۡصنݙ
ۡ
لٱ
ي
يَءكܛَشيۡݠَلَغ
ين ܅ّٱ
ي
ي ܅نِإيۚۡݗنكَܢَݜۡع
َ َ
َ
يَ ܅ّٱ
ي
يَݗيِݓَحيٌܲيَِܲن
٠
Artinya: Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana.4
Anak yatim tidak bisa mengurus hartanya sendiri karena masih kecil dan
belum baligh maka wali lah yang harus menjaga hartanya Kita harus menyerahkan
harta anak yatim pada waktu sudah dewasa, demikian sesuai firman Allah Q.S.
al-An’a>m : 152 :
3
Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 4
4
ي
َ
لَغ
ي
ي َلܛَݘيْاݠنبَܱۡقَت
يِݗيِتَ
ۡٱ
ۡ
ي
يِܝي
لِإ
܅
ي ِت
܅ݕٱ
ي
ينع܅ܯنش
َ
ثي َ݈نݖۡܞَيي ٰ ܅تَحي نݚ َسۡح
َ
ثي َ ِِ
يۚۥي
يْاݠنفۡغ
َ
ثَغ
يَݔۡيَݓۡݕٱ
ييَغ
يَناَزِݙ
ۡ
لٱ
ييِܝ
يىِط ۡسِقۡݕٱ
ي
ي
ل
َ
يَفيۡݗنܢۡݖنقياَذِيۖܛَݟَ݇ۡسنغي
لِإيܛ ًسۡفَني نفِ
܅
ݖَكنݛ
يْاݠنلِܯۡنٱ
ي
يِܯۡݟَِ݇بَغيىٰ َبܱۡنقيا
َذيَنََيۡݠَلَغ
يِ܅ّٱ
يݗنكٰك ܅صَغيۡݗنكِݕَٰٰي ْۚاݠنفۡغ
َ
ثي
يِݝِܝ
ۦي
يَنغنܱ܅كََܰتيۡݗنك܅ݖََ݇ݕ
٢
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilahjanji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.5
Allah juga melarang harta anak yatim dimakan. Siapa saja yang berani
memakan harta anak yatim akan mendapat dosa yang amat besar dan di hari kelak
kiamat akan mendapat siksaan yang pedih.
Allah telah berfirman dalam Q.S. al-Nisa>’ : 2 :
يْاݠنتاَءَغ
ي
يى َمٰ َتَ
ۡٱ
ۡ
ي
يْاݠنل܅ܯَܞَتَتي
لَغيۖۡݗنݟ
َ
َلَٰوۡݘَث
يَܣيِܞَ
ۡٱ
ۡ
ييِܝ
يىِܜِ ي ܅طݕٱ
ي
يۚۡݗنكِݕَٰوۡݘ
َ
ثيى
َِإيۡݗنݟ
َ
َلَٰوۡݘَثيْاكݠنݖنكۡأَتي َلَغ
ينݝ܅ݛِإ
ۥي
ياهيِܞ
َكيܛهبݠنحيَنََ
٢
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. 6
Selain itu Allah-pun mengancam dengan siksaan yang keras kepada orang
yang berani memakan harta anak yatim secara dzalim, untuk itu Allah berfirman
dalam Q.S. al-Nisa>’ : 10 :
5
Anwan Abu Bakar, Al-Muyassar Al-Qur’an dan terjemahnya. Vol 2. (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2011). 288.
6
5
ي ܅نِإ
يَݚيِ
َٱ
܅
ي
ي َلٰ َوۡݘ
َ
ثي َنݠنݖنك
ۡ
أَي
يٰ َمٰ َتَ
ۡٱ
ۡ
ي
يَنۡݠَݖ ۡصَيَسَغيۖاهرܛَݛي ۡݗِݟِݛݠ نطنبي ِفي َنݠنݖنكۡأَييܛَݙ܅نِإيܛًݙۡݖنظ
ياهيَِ݇س
٠
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.7
Meskipun berapa patutnya wali yang tidak mampu itu bolehlah memakan
harta anak yatim itu, begitu baik juga kita tilik pendapat Ulama’ tentang hal ini, agar
kita ketahui kesatuan pendapat mereka dalam satu hal, yaitu bahwa memakan harta
anak yatim adalah suatu perbuatan yang meminta pertanggungjawaban budi yang
amat besar walaupun jumlahnya kecil.
Para wali dari anak yatim harus bisa mengatur dan mendidiknya jangan
sampai mereka terlantar, Islam dengan syari’atnya memerintahkan kepada orang
-orang yang mendapat wasiat dan -orang--orang yang sekerabat dengan anak yatim agar
memperlakukanya dengan baik, menjamin kebutuhan dan membimbing serta
mengarahkan, sehingga anak yatim tersebut terdidik dengan baik, tumbuh dengan
akhlak mulia dan jiwa luhur. Oleh karena itu anak yatim harus kita jaga mengingat
mereka adalah titipan Allah maka wajib kita perhatikan seperti layaknya anak kita
sendiri, terutama harta, sesunguhnya tidak layak bagi seorang wali memakan harta
anak yatim dengan cara berlebihan, dan barang siapa yang menjadi wali tetapi
miskin, hendaknya memakanya dengan ketentuan hukum syara’ dan dipandang
pantas oleh orang-orang bijaksana.8 harta benda mereka tidak boleh diserahkan
7
Anwan Abu Bakar, Al-Muyassar Al-Qur’an dan terjemahnya.Vol 2. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 151.
8
6
kepada mereka kecuali jika para wali anak yatim tersebut melihat tanda
kedewasaanya dalam diri mereka.
Islam dengan syariatnya memerintahkan kepada orang-orang yang mendapat
wasiat dan orang-orang yang sekerabat dengan anak yatim agar memperlakukanya
dengan baik, menjamin kebutuhan serta membimbing dan mengarahkanya, sehingga
anak yatim tersebut terdidik dengan baik tumbuh dengan akhlak mulia dan jiwa yang
luhur.9
Bagi anak-anak yatim ada harta benda yang ditinggalkan oleh kedua orang
tuanya dan kerabat dekatnya, maka mereka mendapatkan bagian yang sama besar.
Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, semuanya mendapatkan
bagian yang sama, dengan tanpa memandang besar kecil jumlah harta yang
ditinggalkan tersebut, sebagai penjelasan bahwan hal itu adalah hak yang telah
ditentukan lagi dipastikan bagian-bagianya, tidak boleh seorang pun yang
mengurangi sesuatu darinya atau melebihkan dari ketentuan.
Ada ulama Tafsir berpendapat, bahwa wali yang memakan harta anak yatim
karena kemiskinan itu adalah seperti berhutang, dengan niat akan membayarnya
kembali. berpendapat seperti ini ialah Saiyidina Umar Bin Khathab dan Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir menyalinkan pendapat Ibnu Abbas itu demikian: “Kalau pengasuh itu
kaya, tidaklah Halal dia memakan harta anak yatim. Tetapi kalau si pengasuh itu
orang miskin, bolehlah dia pakai harta itu dengan niat apabila dia telah mampu, akan
dibayarnya.10
9
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),131-132.
10
7
Saat pembagian harta warisan sering terjadi kesalahan dalam masyarakat
khususnya orang masih awam dan tak tau betul tentang agama, pastilah hal itu bisa
membuat terbukanya sebuah permasalahan dalam keluarga, dan kepada siapakah
yang patut di kasihkan harta tersebut apakah hanya keluarga dari pihak meninggal
saja atau keluarga dari seorang istri juga mendapatkan jatah yang sama pembagian
harta a anak perempuan dan laki-laki mendapat bagian juga apakah tidak, sepatutnya
kita harus mengetahui supaya hal tersebut tidaklah menimbulkan sebuah
pertentangan apalagi dalam keluarga sendiri.
Adapun hak anak yatim tidak boleh di berikan kepadanya ketika masih kecil
atau belum dewasa, yang di maksud anak kecil ini apakah sifatnya ataukah umur
mereka, dan siapa saja yang termasuk di dalamnya karena kalau kita memberikan
harta tersebut tidak pada tempat dan waktunya maka rusaklah harta tersebut karna
mereka yang belum mampu tapi sudah kita serahkan, lah disini berbagai pendapat
ulama’ yang mengatakan dan mereka mempunyai dalil dan alasan tersendiri.
Dalam batasan kedewasaan anak yatim, yang termasuk anak yang masih Safih
(masih bodoh) beberapa Ulama’ berbeda dalam berpendapat ada yang berpendapat
bahwa yang di maksud safih Menurut Ibnu Zaid ialah orang yang masih kecil hingga
dia dewasa baligh dan sebagian ada yang mengatakan bahwa yang di maksud saifih
ialah walaupun dia sudah dewasa tapi perlakuannya masih kayak anak kecil dan
bodoh itupun termasuk dalam golongan safih. Kemudian kalau ada orang gila tetapi
dia sudah berusia dewasa atau lebih dari dari umur 50 tahun bagaimana hukumnya
8
Ketika anak sudah dewasa adanya penyerahan harta yang ditinggalkan itu
perlu nya wali untuk menjadi saksi-saksi yang melihat agar dalam pembagian itu
tidak ada yang curang atau ada yang berniat menguasai harta tersebut
sebanyak-banyak, dalam persaksian ini ada yang mengatakan wajib, karena jika tidak adanya
wali itu akan terbukanya pintu permasalahan jika suatu saat waktu anak tersebut
sudah dewasa akan memepertayakan harta tersebut.
Apabila pembagian harta waris itu, dihadiri juga oleh kaum kerabat dari
orang yang mewarisi harta itu, maka hendaklah mereka diberi sedikit rizki harta yang
kalian terima tanpa susah payah, dan tanpa kelelahan. Maka kalian janganlah bersifat
bakhil terhadap kerabat yang membutuhkan. Anak-anak yatim dan orang-orang
muslim dari kerabat lain. Tidak pantas bagi kalian membiarkan mereka kecewa dan
gelisah. Katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik, yang membuat hati
merasa senang ketika kalian memberinya. Sehingga orang-orang yang berjiwa
pantang meminta tidak berkeberatan menerima pemberianmu.
Memberi mereka sebagian dari Tikrar ialah karena kemungkinan kedengkian
menghinggapi dada mereka, oleh karena itu mereka harus diperlakukan dengan kasih
sayang dan mengelus mereka dengan cara memberikan sebagian dari Tikrar sebagai
hibbah atau Hadiah, atau menyuguhkan makanan kepada mereka pada hari
pembagian sebagai tanda silaturahmi dan ungkapan syukur atas karunia Tuhan.11
Adapun hak-hak anak yatim yang harus diperhatikan adalah perawatan
dirinya yang tentu tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang dan
pangan saja, tetapi harus memenuhi kebuthan yang lainya, seperti kebutuhan akan
11
9
tempat tinggal, obat-obatan, kesehatan, hiburan dan lainya. Kebutuhan jasmani harus
dipenuhi demikian juga kebutuhan rohani, sehingga anak bisa tumbuh dan
berkembang, baik fisik maupun mentalnya. Dalam hal ini anak yatim yang ditinggal
ayah yang bertanggung jawab atas dirinya, menjadi tanggung jawab atas
pengasuhnya serta semua umat islam.12
Namun Pada realitanya tidak semua orang mengetahui cara memperlakukan
anak yatim. Apalagi pada akhir-akhir ini banyaknya kasus bermunculan tentang
penganiayaan anak yatim baik yang dilakukan oleh keluarga, saudara-saudara
maupun orang yang terdekatnya. Adakala permasalahan itu timbul dari para wali
yang mengambil keuntungan dari Lembaga Panti Asuhan, harta yang seharusnya itu
adalah hak milik anak yatim tetapi mereka mengambil dengan sebesar-besarnya.
Mungkin adakala masalah harta warisan yang dimiliki anak yatim itu sendiri, oleh
karena itu perlu adanya perhatian khusus untuk menanggulangi masalah tersebut.
Serta bagaimana cara memperlakukan anak yatim sebagai mestinya dan pengolahan
hartanya.
Betapa luhurnya apa yang dianjurkan oleh Islam, yaitu kita harus berlaku
hati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim, dan kita dibebani agar
menanggung mereka serta memelihara mereka dengan baik-baik seolah-olah kita
memelihara anak-anak kita sendiri. Karena dengan perlakuan yang baik dari kita,
mereka akan merasakan penderitaannya akan hilang dan hatinya menjadi terhibur,
sehingga mereka bisa tumbuh dengan wajar dan kelak mereka akan bisa menjadi
orang-orang yang berguna dan Barangsiapa yang tidak menjalankan perintah allah
12 Mj.Ja’far Shodiq
10
dan memakan harta anak yatim maka dia seolah memakan api dalam perut nya,
sesungguhnya Allah maha adil dan bijaksana.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran Ali> al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim
dalam surah al-Nisa>’: 5-10?
2. Bagaimana Batasan penyerahan harta anak yatim menurut Ali> al-S}abuni dalam
menafsirkan surah al-Nisa>’: 5-10?
3. Bagaimana hukumnya memakan harta anak yatim bagi para wali menurut Ali>
Al-S}abuni dalam al-Qur’an surah al-Nisa>’: 5-10?
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini mendikripsikan
Pengelolahan harta anak yatim menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Ali> al-S}abuni
Terhadap Surah al-Nisa>’: 5-10) Dengan poin tujuan, yaitu:
1. Untuk memaparkan penafsiran Ali> al-S}abuni tentang Pengelolahan harta anak
yatim dalam surah al-Nisa>’: 5-10
2. Untuk mengetahui Batasan penyerahan harta anak yatim menurut Ali> al-S}abuni
dalam menafsirkan surah al-Nisa>’: 5-10
3. Untuk mengetahui hukumnya memakan harta anak yatim bagi para wali menurut
11
D.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademisi, khusunya
cendekiawan ilmu al-Qur’an dan tafsir, tentang Pemeliharaan harta anak
yatim menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Ali> al-S}abuni Terhadap Surah
al-Nisa>’: 5-10).
2. Untuk menambah khazanah pengetahuan Islam kepada masyarakat dan di
kalangan pesantren, dalam mengurus harta anak yatim dan cara
penegelolahannya.
3. Untuk bisa dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.dan kami harap
penelitian selanjutnya bisa lebih sempurna dan kritis.
E.Telaah Pustaka
1. Skripsi yang berjudul “wawasan tentang pengasuhan anak yatim (suatu
kajian tematik)”. Ditulis oleh Miftahul „Ulum, Tahun 1998, Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Menjelaskan
bahwa anak yatim dalam Al-Qur’an sering menempati urutan teratas
dibanding kaum dhu’afa lainya. Al-Qur’an menganjurkan kita membimbing,
merawat, menyantuni dan berbuat baik pada anak yatim baik yatim yang
miskin maupun kaya, pada periode mekkah ayat-ayat terkait dengan anak
yatim lebih tertuju pada pemeliharaan diri anak yatim dari pada pemeliharaan
12
pemecahan dan jawaban terhadap masalah anak yatim cara pemeliharaan
anak dan pemeliharaannya.
2. Skripsi yang berjudul “Manajemen Harta Anak Yatim Dalam Al-Qur’an
(Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 6 )”. Ditulis oleh Hamidatun Nihayah Basra,
Tahun 2011, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, IAIN Sunan Ampel
Surabaya. Yang membedakan penelitian ini ini hanya khusus satu Surat yaitu
An-Nisa’ Ayat 6 yang menjelaskan tentang kewajiban dan hak wali pengasuh
anak yatim terhadap harta anak yatim.
3. Skripsi yang berjudul “ Pengelolahan Harta Anak Yatim (Komparasi
M.Quraish Shihab dengan Hamka Tafsir Al-Azhar)”. Di tulis oleh,
Farichatuz zulfa Tahun 2015, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, UIN
Sunan Ampel Surabaya. Yang membedakan yaitu penulis membandingkan
antara dua mufassir kemudian penelitian ini memuat berbagai ayat, tidak
hanya surah Al-Nisa’ dan fokus menjelaskan tentang bagi wali yang miskin
boleh atau tidaknya menggunakan harta bahkan mengambil upah atau imbala
dari harta anak yatim.
F. Metodologi Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, peneliti dituntut untuk menggunakan metode
yang jelas. Hal ini berguna untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari sebuah
penelitian dan tersusun dengan akurat dan terarah. Metode yang dimaksud disini
13
bersangkutan.13 Dengan kata lain, metode ini merupakan cara atau aktivitas analisis
yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam meneliti obyek penelitiannya untuk
mencapai hasil atau kesimpulan tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam pelaksanaan pengumpulan data dan sekaligus menganalisis
referensi-referensi yang ada dan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, penelitian ini
dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian Librery Research atau dapat juga
disebut dengan penelitian kepustakaan baik berupa buku, jurnal, artikel, maupun
bacaan yang terkait dengan obyek penelitian. Dalam hal ini, penelitian difokuskan
pada kitab terjemahan Tafsir Rawai>’ al- baya>n fi> Tafsi>r A>yat-Ahka>m min
al-Qur’a>n dengan didukung oleh tulisan-tulisan yang berekaitan.
Adapun sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak menggunakan
mekanisme statistika dan matematis untuk mengolah data. Data-data yang ada
dikumpulkan kemudian diuraikan dan dianalisis secara sistematis.
2. Langkah-langkah Metodis Penelitian
Dalam konteks penelitian al-Qur’a>n dan Tafsir, penelitian ini masuk dalam
kategori penelitian tokoh. Untuk memudahkan proses penelitian dan agar tetap
berada dalam fokus kajian, maka diperlukan langkah-langkah metodis dalam
penelitian ini sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Mustakim14 adalah sebagai
berikut:
14
Pertama, penulis menganalisa penafsiran Ali> Al-S}abuni dan yang menjadi
fokus kajian ini adalah pengelolahan harta anak yatim dalam Al-Nisa>’: 5-10. Kedua,
menginventarisasi data dan menyeleksi, khususnya karya-karya yang berkaitan
dengan Ali> Al-S}abuni dan tema terkait.
Ketiga, melakukan klasifikasi tentang elemen-elemen penting terkait
tafsiran pengelolahan harta anak yatim dalam surah Al-Nisa>’: 5-10.
Keempat, secara cermat data tersebut akan dikaji melalui metode deskriptif,
bagaimana pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10
secara konfrehensif.
Kelima, penulis akan melakukan analisis kritis terhadap penafsiran Ali>
Al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10 berupa konsistensi penafsiran, sumber-sumber pengetahuan, hal-hal yang
mempengaruhi dalam penafsiran, penerapannya dalam kitab Tafsir Rawai>’ al-baya>n
fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n serta keterangan-keterangan lain yang bisa
membantu untuk menguak penafsiran Ali> Al-S}abuni secara konfrehensif. Kemudian
menganalisa hasil penafsiran Ali> Al-S}abuni. Terakhir, penulis akan membuat
kesimpulan-kesimpulan secara cermat sebagai jawaban dari rumusan masalah.
3. Metode Pengumpulan data
Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan data adalah metode
atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penelitian melalui prosedur yang sistematik dan standar. Adapun yang dimaksud
15
mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan riset.15 Data yang
dikumpulkan dalam suatu penelitian harus relevan dangan pokok persoalan. Untuk
mendapatkan data yang dimaksud, maka diperlukan metode yang efektif dan efisien.
Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh
dengan jalan dokumentasi atas naskah-naskah yang terkait dengan obyek penelitian
ini. Ada dua jenis sumber yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu sumber data
primer dan sumber data skunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Rawai>’ al- baya>n fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n karya Ali> Al-S}abuni.
b. Sumber Data sekunder
Sumber data skunder dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Tafsi>r
al-Misbah karya Quraish Shihab, Tafsi>r al-Azhar karya Hamka, Safwa>t
al-Tafasi>r karya Ali> al-S}abuni>, Tafsi>r al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al
Maraghi.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penyederhanaan terhadap data-data yang
ada (primer dan sekunder) dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.16
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data-data dalam penelitian ini
adalah deskripsi-analisis, yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa dengan
panjang lebar yang pelaksanaanya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data,
16
tetapi meliputi proses interpretasi dan analisis data.17 Metode ini diaplikasikan
kedalam beberapa langkah berikut: penelitian yang berusaha mendeskripsikan
dengan jelas gambaran seputar penafsiran pengelolahan harta anak yatim dalam
al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10. Kemudian penulis akan menggambarkan bagaimana
latar belakang kehidupan Ali> Al-S}abuni dan gambaran umum tentang kitab tafsir
Rawa’ul Bayan Tafsiri Aayatul Ahkaam, serta dilanjutkan dengan penjelasan dan
deskripsi penafsiran Ali> Al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam
al-Qur’a>n Surat Al-Nisa>’: 5-10.
Dalam pengambilan kesimpulan, penelitian menggunakan cara berfikir
deduktif-induktif yakni cara berfikir yang bertolak pada suatu teori yang bersifat
umum, kemudian dipelajari hal-hal yang khusus untuk mendapatkan kesimpulan
sebagai jawaban sementara, kemudian baru dilakukan penelitian secara induktif
dengan mempelajari fakta-fakta yang ada secara khusus yang kemudian dianalisa dan
hasilnya akan menemukan suatu kesimpulan secara umum.
G.Sistematika Pembahasan
Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka
peneliti akan menyajikan sistematika penulisan karya ini. Sehingga dengan
sistematika yang jelas, hasil penelitian proses reproduksi manusia ini lebih baik dan
terarah seperti yang diharapkan peneliti dan pembaca. Adapun sistematika karya ini
sebagai berikut:
17
1. BAB I adalah: Pendahuluan yang mencakup, Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Telaah
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
2. BAB II, penulis akan mendiskripsikan, Telaah umum tentang tafsir dan
telaah umum tentang cara pengelolahan harta anak yatim.
3. BAB III, Penulis akan mendiskripsikan Biografi Ali> Al-S}abuni
karya-karyanya, khususnya kitab Tafsi>r Rawa’u al-Baya>n .
4. BAB IV, penulis akan memaparkan penafsiran Ali> al-S}abuni dalam surah
Al-Nisa>’: 5-10 dan menganalisa penafsirannya.
5. BAB V, adalah penutup, penulis akan menguraikan kesimpulan dan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN PENGELOLAHAN HARTA ANAK YATIM
A.Pengertian umum tentang tafsir
1. Pengertian Tafsir
Istilah tafsir merujuk pada Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam
ayat 33 Al-Furqan, “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datang kepadamu suatu yang
benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik. Pengertian inilah yang di maksud
di dalam lisan Al-A’rab dengan “Kasyf al-Mughaththa” (membukakan
sesuatu yang tertutup), dan “Tafsir” ditulis Ibn Manzuh ialah membuka dan
menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal.1 Pengertian inilah yang
diistilahkan oleh para ulama’ tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin”
(menjelaskan dan menerangkan).2 Al-Qur’an. Terjemahan Al-Qur’an masuk
ke dalam kelompok ini, jadi tafsir Al-Qur’an ialah penjelasan atau
keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari
ayat-ayat Al-Qur’an, dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an ialah menjelaskan
atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat
tersebut.
1
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, beirut, Dar Shadir, V, t.t.,h. 55. 2
19
a. Metodologi penafsiran al-Qur’an
Metodologi penafsiran al-Qur’an yang selama ini dikenal
terdapat empat klasifikasi, yaitu tafsir Tahlili “Analitis”, tafsir Ijmaly
“Global”, tafsir Muqarin “Komparatif”, dan tafsir Maudhu'i
“Tematik”.3 Keempat metode ini mudah disebutkan, tetapi tidak
begitu mudah menuntun orang ke pemahamanseluk-beluk metode
untuk diturunkan ke teknik yang dimaksud, oleh karenanya akan
dijelaskan metode penafsiran tersebut yang hanya berkaitan dengan
penyusunan karya ilmiah ini, yakni Metode Tahlili (Analitis), dan
Metode Muqarin (Komparatif).
1. Metode Tahlili (Analitis)
Metode, didalam bahasa arab dinamakan Manhaj berasal dari kata
“nahaja”. Artinya, telah terang dan nyata. Misalnya “Nahaja
al-Amru”, artinya perkara itu telah terang. Al-Thahir Ahmad al-Sawi
menerangkan bahwa arti kata “al-Manhaj” adalah “Thariq
al-Wadhih”, yaitu jalan yang terang.4
Metode Tahlili menurut etimologi, yakni jalan atau cara
untuk menerangkan arti ayat-ayat dan surat dalam mushaf,
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna
3
(Al-'Aridl 1994:4). Lihat Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 3.
4 Rahcmat Syafe’i.
20
yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut5.
Metode penafsiran ini, muncul sejak akhir abad II atau awal abad
III H, yakni periode pembukuan tafsir sebagai suatu istilah yang
berdiri sendiri6
Dalam metode ini, para penafsir menggunakan makna yang
terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat
sesuai dengan urutannya didalam mushaf7. Uraian tersebut
menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang
ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimat, latar
belakang turunnya ayat, munasabah dengan ayat-ayat lain, baik
sebelum maupun sesudahnya (munasabah) dan
pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat-ayat
tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para
tabi’in maupun ahli tafsir lainnya8 .
B.Pengertian umum tentang Anak Yatim
1. Pengertian anak yatim
Kata “yatim”, memiliki tiga bentuk kata dasar. Pertama,
yatama-yaitimu- yutman-yatman (
انتي
-
امتي
–
متيي
-
متي
). Kedua,5 Abd. al-Hay al-Farmaw>i. al-Bida>yah fi> al-Tafsir al-Mawd}u>’i, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat, 1977), 24.
6
Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo:
Dar al-Kutub al- Haditsah, 1961), 140-141. 7
Ibid, 32. 8
21
yutman-yatman (
انتي
–
امتي
–
متيي
-
متي
). Ketiga,yatuma-yaitumu-yutman-yatman (
انتي
–
امتي
–
متيي
-
متي
). Secara bahasa, berarti sesuatu yang unik,yang tidak ada persamaannya.9 Asal kata al-yatimu maknanya adalah
lambat, dari sinilah kata “yatim” diambil, karena perbuatan baik biasanya
lambat untuk sampai kepadanya. Dikatakan juga, di dalam perjalanan
hidupnya terdapat al-yutmu, yakni kelambatan dan kelemahan. Jadi, pada
makna asalnya, secara bahasa berarti kesendirian, kelambatan dan
membutuhkan.102Dikatakan shagirun yatim yaitu anak yatim laki-laki,
jamaknya adalah aitam dan yatama. Shagirah yatimah, berarti anak yatim
perempuan, jamaknya yatama.11
Menurut istilah, anak yatim adalah anak di bawah umur yang
kehilangan ayahnya, yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan
pendidikannya.12 Menurut Ibnu Arabi, anak yatim menurut orang Arab,
adalah sebutan bagi setiap anak yang tidakmemiliki ayah sampai mencapai
usia baligh. Hakikat dari kata “yatim” adalah kesendirian, jika ia mencapai
kesempurnaan akal dalam usia baligh dan bisa berpikir sendiri, serta
mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, maka hilanglah sebutan sebagai
anak yatim dan juga maknanya dari pengasuhan. Namun jika ia mencapai
9
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 1106
10 Abdullah al-Luhaidan dan Abdullah al-Muthawwi’,
Mereka Yatim Tapi Jadi Orang Besar, terj. Firdaus Sanusi (Solo: Kiswah Media, 2013), 23-24.
11 Mj. Ja’far Shodiq,
Santunilah Anak Yatim (Yogyakarta: Lafal, 2014), 13. 12
22
usia baligh, sementara masih dalam kebodohan, sebutan yatim tetap lepas
darinya, namun ia tetap berada dalam pengasuhan dan pengawasan.13
Pada konteks Indonesia, kata “yatim” identik dengan anak yang
ayahnya meninggal dunia. Sedangkan, apabila yang meninggal dunia ayah
dan ibunya, maka anak tersebut disebut yatim piatu. Biasanya perhatian
(santunan) lebih banyak dicurahkan pada anak yatim piatu daripada anak
yatim saja. Menurut kajian us}ul al-Fiqh, pendekatan dengan skala prioritas
semacam ini dimasukkan dalam kategori fahwa al-khita>b (pemahaman
secara eksplisit dengan memakai skala prioritas). Artinya, secara filosofis
bisa digambarkan, bahwa anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya lebih
diprioritaskan daripada anak yang ditinggal mati ayahnya saja.14
Pada konteks masyarakat Arab, juga terdapat pengklasifikasian anak
yatim. Menurut tradisi mereka, di samping ada istilah yatim, bagi anak yang
ayahnya meninggal dunia, juga ada istilah lathim, bagi anak yang kedua
orang tuanya meninggal dunia, serta istilah ujmi, bagi anak yang ibunya
saja yang meninggal dunia. Secara universal, persamaan kata yatim, lathim
dan ujmi, belum begitu banyak dipakai. Jadi, kata yatim cukup mewakili
untuk menjadi bukti bahwa anak-anak yatim, lathim atau ujmi sudah
selayaknya mendapatkan curahan kasih sayang. Artinya, untuk melakukan
perbuatan baik kepada anak yatim tidak perlu adanya klasifikasi nama.
Apalagi kalsifikasi tersebut mempunyai skala prioritas dan menyebabkan
13 al-Muthawwi’,
Mereka Yatim,... 25 14
23
perhatian umat Islam pada sekelompok tertentu (lathim) kemudian
mengabaikan yang lainnya (ujmi dan yatim).15
Anak yatim dalam Ensiklopedi Hukum Islam, diartikan anak yang
terpisah dari ayahnya (ditinggal mati) dalam keadaan belum baligh
(dewasa). Di Indonesia dikenal juga istilah yatim piatu, yang diartikan
sebagai anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya, namun dalam fikih
klasik dikenal istilah yatim saja.16
Menurut Al-Ra}ghibu al-As}fshs>ni (seorang ahli kamus bahasa
al-Qur’an), istilah yatim bagi manusia, digunakan untuk orang yang ditinggal
mati ayahnya dalam keadaan belum dewasa, sedangkan bagi binatang, yang
disebut yatim adalah binatang yang ditinggal mati ibunya. Hal ini dapat
dipahami, karena pada kehidupan binatang, yang bertanggung jawab
mengurus dan memberi makan adalah induknya. Berbeda dengan manusia,
di mana yang berhak memberi makan dan bertanggung jawab adalah
ayahnya. Selanjutnya al-As}faha>ni mengatakan, bahwa kata “yatim” juga
digunakan untuk setiap orang yang hidup sendiri. Misalnya terlihat dalam
ungkapan “durrah yatimah”. Kata durrah (intan) disebut yatim, karena ia
menyendiri dari segi sifat dan nilainya.17
Menurut Hasan Ayyub dalam bukunya al-suluk Ijtima>i fi>l Islam, anak
yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum mencapai usia
kedewasaan, dan jika sudah mencapai dewasa, tidak disebut lagi sebagai
15
Ibid., 96-97. 16
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1962.
24
anak yatim. Jika ada orang yang disebut yatim setelah dewasa, menurut
majaz `kiasan` yakni, yang intelegensi serta adabnya tidak berfungsi atau
bodoh dan tidak berakhlak.18 Adapun menurut istilah syariat Islam, anak
yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum baligh.19
Ulama berbeda pendapat mengenai batasan usia anak yatim. Menurut
Imam syafi’i dan Imam Hanbali, batas usia anak yatim baik perempuan
maupun laki-laki, adalah pada usia lima belas tahun. Sementara menurut
Imam Malik menyatakan pada usia tujuh belas tahun. Sedangkan Imam
Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki pada usia delapan belas
tahun, dan anak perempuan pada usia tujuh belas tahun. Sebab, pada usia
tersebut seorang laki-laki dapat bermimpi mengeluarkan sperma,
menghamili, dan mengeluarkan mani (di luar mimpi), dan untuk seorang
perempuan sudah haid.20
Untuk mengetahui seseorang sudah sampai usia baligh atau belum,
dapat diketahui dengan beberapa tanda. Adapun tanda-tanda baligh menurut
ulama ahli fiqih di antaranya:
1. Seorang anak laki-laki telah berusia lima belas tahun. Tanda ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, ia berkata:
Aku mengajukan diriku (untuk mengikut perang) kepada Nabi SAW, waktu itu aku seorang anak yang baru berusia empat belas tahun, akan tetapi (Nabi) tidak menerimaku untuk ikut berperang, dan kemudian aku
18
Hasan Ayyub, Etika Islam Menuju Kehidupan yang Hakiki (Bandung: Trigenda Karya, 1994), 362.
19 al-Muthawwi’,
Mereka Yatim, 25. 20
25
mengajukan lagi kepada Nabi ketika aku berusia lima belas tahun, Nabi pun menerima (mengizinkan).
Hadis di atas mengisahkan, bahwasanya Ibnu „Umar meminta izin
untuk mengikuti perang bersama Rasulullah dan para sahabatnya, akan
tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan ia belum cukup umur untuk
mengikuti perhelatan yang keras ini, lalu ia mencoba mengajukan diri
lagi pada tahun berikutnya dimana beliau telah berusia di atas empat
belas tahun, maka Rasulullah pun mengizinkannya.
2. Seorang anak perempuan bila telah berusia sembilan tahun. Tanda ini
didasarkan atas perkataan A„isyah, ia berkata, “Jika anak perempuan
telah berusia sembilan tahun maka ia adalah wanita”.
Tanda ini didasarkan bahwasanya A„isyah dinikahi oleh Rasulullah
dalam usia tujuh tahun, akan tetapi tetap bersama ayahnya (Abu Bakar)
hingga usia sembilan tahun, setelah itu baru bersama Rasulullah.
3. Tumbuh bulu-bulu di badannya baik di atas kemaluan atau selainnya.
Tanda ini berdasarkan hadis yang menyatakan perang Bani Quraidhah.
Seorang laki- laki yang sudah sampai usia baligh diberi hukuman mati
karena melanggar perjanjian damai bersama Rasulullah dan kaum
muslimin, untuk membedakan orang yang sudah baligh atau belum
pada kaum itu, adalah dengan tumbuhnya rambut atau bulu-bulu di atas
kemaluan. Selain itu, Imam Ahmad dan Imam Ishak mengatakan,
bahwa ciri baligh seseorang salah satunya adalah dengan tumbuh
26
4. Mimpi bersetubuh
Sebagaimana sebuah hadist. “Diangkat qalam dari tiga orang: dari
orang gila hingga sembuh, dari orang tidur hingga bangun, dari anak
kecil hingga mimpi keluar air mani”.
5. Mengalami mansturbasi atau datang bulan bagi perempuan. Tanda yang
kelima ini berdasarkan analisa hadis Rasulullah yang menyebutkan,
bahwa wanita yang haid atau nifas dilarang melaksanakan salat karena
keluar darah dari kemaluannya, dengan demikian wanita yang telah
mengalami haid telah diwajibkan kepadanya salat karena sudah baligh.
A„isyah r.a berkata, “Kami haid di masa Rasulullah SAW lalu kami
bersuci, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha salat”.21
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa anak yatim adalah setiap
anak yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan belum baligh (dewasa).
Jika yang ditinggalkan anak-anak yang sudah dewasa dan mampu mengurus
dirinya sendiri, atau tidak dikatakan bodoh akalnya, maka tidak dinamakan
anak yatim.
Adapun tiga bentuk kedewasaan yang sering diungkapkan oleh para
ahli yaitu :
1. Dewasa fisik (biologis)
Kedewasaan ditandai dengan matangnya organ reproduksi primer dan
27
skunder pada laki-laki dan perempuan
2. Dewasa intelektual
Kondisi dimana seseorang mencapai kematangan berfikir, pada kondisi
ini terkadang seorang anak terkesan lebih dewasa dibandingkan teman
seusianya. Bicaranya seperti orang tua. Bahkan mampu berpikir kreatif,
imajenatif dan terstruktur.
3. Dewasa emosional
Kedewasaan emosional atau mental ditandai dengan kematangan
emosional seseorang. Hal ini dapat ditinjau dari sikapnya dalam
bertindak, bertutur kata dan ketika menghadapi masalah. Sikap-sikap
positif inilah yang membedakan seseorang disebut dewasa atau belum
dewasa.22
Sejatinya seseorang sudah bisa dikatakan dewasa ketika intelektual dan
emosinya matang sejalan dengan perkembangan fisik. Sanggup menikah
adalah batasan dewasa dan mandiri. Secara fisik telah matang, secara rohani
telah siap mental dan secara intelektual mempunyai kecerdasan yang cukup
untuk mengelola harta benda, mengatur hidup dan mampu mencari
penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.23
1. Kondisi anak yatim
Secara psikologis, seorang anak yang kehilangan ayahnya akan
22
M. Khalilurrahman al-Mahfani, Dahsyatnya Doa Anak Yatim (Jakarta: PT Wahyu Media, 2009), 6-7.
23
28
mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang dahsyat. Hilangnya
figur pelindung dan penopang hidup, membuat anak merasa cemas, takut
dan menimbulkan rasa was-was. Oleh karena itu, anak yatim
sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan cinta yang lebih dari
orang-orang sekitar mereka, di samping kebutuhkan materi untuk
kelangsungan hidup dan biaya pendidikan mereka.24
Pentingnya memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak
yatim tergambar dalam sebuah hadis yang diriwayatkan T}abrani,
yang artinya, “Maka sayangilah anak yatim dan usaplah kepalanya serta
berilah makanan dari sebagian makananmu”. Mengusap kepala,
sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah merupakan salah satu bentuk
kasih sayang kepada anak yatim, agar mereka merasakan kehangatan
perasaan dengan perhatian layaknya kasih sayang yang diberikan oleh
orang tua mereka yang telah tiada.25
2. Hak-hak anak yatim
Setiap manusia mempunyai hak-hak, termasuk halnya anak-anak
yatim, dilihat dari segi kebutuhannya, setiap anak memiliki tiga hak
kebutuhan utama. Pertama, kebutuhan fisik, yang terdiri dari makanan,
pakaian dan tempat berteduh. Anak yatim berhak memperoleh makanan
yang bergizi sehingga ia tumbuh sehat, juga berhak mendapatkan pakaian
dan tempat tinggal yang layak. Kedua, kebutuhan fasilitas, yang terdiri
dari sarana belajar dan sarana kesehatan. Anak yatim berhak memperoleh
24
Nur, Keajaiban Menyantuni, 115. 25
29
pendidikan setinggi-tingginya dan sarana kesehatan yang memadai.
Ketiga, kebutuhan emosional dan psikologis, yang terdiri dari
perhatian dan kasih sayang, pengakuan dan pujian, kesempatan
berekspresi, kesempatan berkompetisi, dan mengatasi kesulitan.26
Anak-anak yatim berhak mendapatkan berbagai perawatan dan
pendidikan sejak kecil hingga dewasa. Dalam hal perawatan dirinya, tentu
tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang dan pangan saja.
Akan tetapi, juga harus memenuhi kebutuhan hidup lainnya, seperti
obat-obatan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain. Kebutuhan jasmani juga harus
dipenuhi, begitu juga dengan kebutuhan rohani, sehingga anak dapat
tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun mentalnya. Selain itu, anak
yatim juga berhak mendapatkan pendidikan moral dan agama, agar tidak
terjerumus dalam hal-hal yang merusak akal mereka.27
Selain hak atas pendidikan dan perawatan diri, anak yatim juga
mempunyai hak atas harta yang ditinggal orang tuanya, pada zaman
jahiliah anak yatim diperlakukan seperti budak. Mereka tidak memiliki hak
apapun, tidak mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan warisan,
setelah Islam datang, agama ini memberikan peraturan yang protektif
terhadap masa depan anak yatim. Jika seorang anak ditinggal mati orang
tuanya, maka kaum kerabatnyalah yang mengurus hidupnya, namun jika
mereka tidak memiliki sanak famili, maka pemerintah dan umat Islamlah
yang mengambil alih tugas ini. Mereka tidak hanya bertanggung jawab
26
Shodiq, Santunilah Anak Yatim, 22-23 27
30
untuk merawatnya, namun juga harus mengurus hartanya, kelak jika anak
yatim telah dewasa, maka hartanya itu diserahkan sepenuhnya
kepadanya.28
Anak yatim memerlukan pemeliharaan dan pendidikan yang
dilakukan dengan penuh kasih sayang, agar mereka hidup bahagia,
berilmu, berbudi dan taat beragama serta sanggup berdiri sendiri dan
berjasa kepada lingkungannya. Apabila anak yatim mempunyai harta
warisan, hendaknya harta itu dipelihara dengan baik dan digunakan untuk
keperluannya secara patut.29
2. Pandangan Ulama’ Terkait pengelolahan Harta Anak Yatim
Pada dasarnya mengurus anak yatim merupakan kewajiban bagi
setiap orang yang paling dekat dengannya. Apabila orang yang terdekat itu
telah dapat melakukan kewajibannya mengurus anak yatim dengan
sebaik-baiknya, maka jatuhlah kewajiban dari yang lainnya yang dekat
dengannya. Akan tetapi, apabila orang yang paling dekat belum
mengurusnya atau mengurus tapi tidak mencapai sasaran, atau bahkan
menganiayanya, maka (yang lain) yang juga dekat dengan anak yatim itu
berhak untuk ikut campur memperbaiki keadaannya. Karena mengurus
anak yatim merupakan fardhu kifayah atas umat Islam. Apabila telah ada
yang mengurusnya, maka yang lain bebas dari kefardhuan.30
28
Ibid.,26. 29
Fachruddin, Ensiklopedia al-Qur’an, 568-569. 30
31
Ali al-Shabuni menukil pendapat al-Razi yang mengatakan, bahwa
harta adalah sesuatu yang bermanfaat yang dibutuhkan manusia. Karena
ada kesatuan bentuk, maka layak sekali kalau harta anak yang masih
belum cukup dewasa dinisbatkan kepada wali.31
Pengelolaan harta anak yatim dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Memelihara dan mengembangkan harta anak yatim
Mengelola harta anak yatim merupakan bagian integral dari
mengasuh atau mengurus mereka. Oleh karena itu, wali anak yatim atau
orang yang diwasiati mengelola harta anak yatim diperkenankan
mengembangkan harta mereka melalui berbagai kegiatan usaha atau
investasi yang sekiranya dapat mendatangkan keuntungan atau
kebaikan untuk masa depan anak yatim tersebut. Misalnya, berkoperasi
yang paling mudah atau untuk modal dalam perdagangan.32
Para ulama mempunyai perbedaan pandangan terkait mengelola
dan mengembangkan harta anak yatim. Perbedaan pandangan itu lebih
dikarenakan perbedaan dalam memaknai kata is>lah (berbuat baik)
pada anak yatim maupun pada hartanya. Kalangan madhab Sha>fi‘i>
menekankan bahwa mengembangkan harta anak yatim sesuai
kemampuan pengelola hukumnya wajib. Sementara kalangan Maliki
berpendapat, bahwa mengelola harta anak yatim dengan cara
31
Muhammad Ali al-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Mu’amal Hamidy dan Imron A. Manan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), 371.
32
32
dikembangkan hukumnya sunnah, namun memelihara harta anak yatim
dengan segala cara adalah wajib hukumnya.33
Suatu modal harta itu tidak boleh didiamkan tersimpan, tidak
boleh statis tanpa berkembang. Allah menghendaki agar rizki itu
harus berupa keuntungan dari harta, bukan harta itu sendiri. Suatu
harta adalah modal dan rezeki adalah keuntungan yang dianjurkan oleh
syara’. Hal ini diperjelas lagi oleh sabda Rasulullah ”Ketahuilah barang
siapa yang memelihara anak yatim yang memiliki harta, maka
hendaklah ia memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan atau
didiamkan begitu saja sehingga harta itu akan habis karena sedekah
atau zakat”.34
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra>’ ayat 34:
ا
َ
لَغ
ا
ا َلܛَݘاْاݠُبَܱۡقَت
اِݗيِتَ
ۡٱ
ۡ
ا
اِܝا
لِإ
ا
ا ِت
اݕٱ
ا
اُعادُش
َ
ثاَُ݈ݖۡܞَياٰ اتَحا ُݚ َسۡح
َ
ثا َ ِِ
ا ۥا
اِܝا
ْاݠُفۡغَثَغ
ا ِدۡݟَ݇
ۡݕٱ
ا
ا انِإ
اَدۡݟَ݇ۡݕٱ
ا
ا ۡسَݘاَن ََ
اُلا
ا
لݠ
ه
٤
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.35
Selanjutnya firman Allah surat al-An‘a>m ayat 152 :
ا
َ
لَغ
ا
ا َلܛَݘاْاݠُبَܱۡقَت
اِݗيِتَ
ۡٱ
ۡ
ا
اِܝا
لِإ
ا
ا ِت
اݕٱ
ا
اُعادُش
َ
ثاَُ݈ݖۡܞَياٰ اتَحا ُݚ َسۡح
َ
ثا َ ِِ
ا ۥا
٢
33Nur, Keajaiban Menyantuni, 124. 34
al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, 73-74. 35
33
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasaanya.36
Maksud mendekati harta anak yatim dalam ayat di atas, adalah
mempergunakan harta anak-anak yatim tidak pada tempatnya, atau
tidak memberikan perlindungan kepada harta itu sehingga habis sia-sia.
Namun Allah memberikan pengecualian, apabila untuk pemeliharaan
harta itu diperlukan biaya atau dengan maksud untuk
mengembangkannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus
anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar.
Oleh sebab itu diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk
mengurus harta anak yatim. Orang yang bertugas melaksanakannya
disebut wasiy (pengampu) dan diperlukan pula badan atau lembaga
yang mengurusi harta anak yatim. Badan atau lembaga tersebut
hendaknya diawasi aktifitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi
penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim
tersebut.37
Adapun menurut Sayyid Qut}b, orang yang mengurus anak yatim,
agar tidak mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang
terbaik, juga agar mengembangkannya, sehingga dapat menyerahkan
harta itu kepadanya secara penuh dan setelah berkembang menjadi
36
Ibid., 149 37
34
banyak, yaitu ketika anak tersebut mencapai kematangannya, baik
dalam kekuatan fisik maupun akalnya.38
Hamka menjelaskan, bahwa harta anak yatim sebaiknya
dijalankan, dicarakan dan diperniagakan agar tidak membeku, tentunya
tetap dikontrol dengan iman hingga anak yatim tersebut sampai dewasa,
yaitu sudah bisa memperedarkan hartanya sendiri. Ada juga ketentuan
syara’, walaupun sudah dewasa, tetapi safih (bodoh), maka wali berhak
memegang harta itu dan memberi belanja atau jaminan hidup bagi anak
atau orang dewasa yang bodoh tersebut.39
Firman Allah dalam surah Al-nisa’ ayat 5 :
ا
َ
لَغ
ا
ا ْاݠُتۡܖُت
اَءكܛَݟَف ُسلٱ
ا
ا ُݗُكَݕَٰوۡݘ
َ
ث
ا ِت
اݕٱ
ا
ا َݔََ݇ج
اُاّٱ
ا
اَغا ܛهݙٰ َيِقا ۡݗُكَݕ
اۡݗُݞݠُقُزۡرٱ
ا
اܛَݟيِف
اَغ
اۡݗُݞݠ ُسۡكٱ
ا
اܛهفغُܱۡ݇اݘا
لۡݠَقاۡݗُݟَلاْاݠُلݠُقَغ
ه
Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (yang tidak bisa mengelola harta benda), harta kamu (atau harta mereka yang ada dalam kekuasaan kamu) yang dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja (dalam harta itu) dan pakaian serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.40
Dalam al-Qur’an dan Tafsirnya dijelaskan, kata al-Sufaha>’
merupakan bentuk jama’ dari kata safi>h yang berarti tidak memiliki
kelayakan atau pengetahuan, bodoh, berakhlak buruk. Maksud kata
al-Sufaha>‘ dalam ayat di atas menunjukkan anak-anak yatim yang masih
38
Qut}b, Tafsi>r fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, 245. 39
Hamka, Tafsi>r al-Azha>r, , juz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas), 2004), 63. 40
35
dalam kurang pengetahuan atau kemampuannya untuk mengelola harta
yang menjadi haknya. Walaupun mereka sudah cukup umur untuk
mendapatkan harta yang menjadi haknya, namun karena keadannya itu,
sebaiknya harta tersebut tetap dikelola oleh walinya, karena
dikhawatirkan harta tersebut akan habis tanpa ada manfaat.41
Menurut al-Mara>ghi>, Qiya>man li Al-Na>s dalam ayat di atas
ditujukan kepada harta benda, bahwa dengan harta tersebut kebutuhan
dan perlengkapan hidup manusia bisa tegak selagi harta anak yatim
berada pada orang yang sudah dewasa, dapat membimbing dan
ekonomis. Yaitu mereka yang dengan baik mengivestasikan dan
menabungnya, sera tidak melewati batas dalam menginfakkan harta
benda.42
Sedangkan berkata-kata yang baik, adalah berkata terus terang
kepada anak yatim bahwa harta itu adalah milik mereka, wali hanya
menyimpan dan kelak akan mengembalikannya jika ia dewasa. Juga
memberi petuah dan nasihat kepada anak yatim yang safih agar tidak
menyia-nyiakan harta dan berlaku boros, juga wajib mengajari hal-hal
yang bisa mengantarkannya menuju kedewasaan.43
2. Penyerahan harta anak yatim
Pada saat wali menyerahan harta anak yatim kepadanya,
al-Qur’an secara tegas melarang wali melakukan kecurangan-kecurangan,
41
Kementerian Agama RI, , al-Qur’an dan Tafsirnya, 118. 42
al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, juz 4, 334-335. 43
36
misalnya dengan menukar harta anak yatim yang berkualitas dengan
yang tidak, meskipun sejenis, atau menggunakan harta mereka bersama
hartanya untuk kepentingan pengasuh atau pengelolanya.44
Firman Allah dalam surat Al-Nisa>’ ayat 2 :
اْاݠُتاَءَغ
ا
اى َمٰ َتَ
ۡٱ
ۡ
ا
ا ْاݠُلادَܞَتَتا
لَغا ۖۡݗُݟ
َ
َلَٰوۡݘَث
اَܣيِܞَ
ۡٱ
ۡ
ااِܝ
ا ِܜِّي اطݕٱ
ا
اى
َِإا ۡݗُݟ
َ
َلَٰوۡݘَثاْاكݠُݖُكۡܕَتا َلَغ
اُݝاݛِإا ۡݗُكِݕَٰوۡݘ
َ
ث
ۥا
ااهرِܞ
َكاܛهبݠُحاَنََ
٢
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar.45
Sayyid Qut}b mejelaskan, para wali agar memberikan harta
anak-anak yatim yang berada dalam kekuasaannya dengan tidak memberikan
harta yang jelek sebagai penukaran harta yang baik, seperti mengambil
tanah mereka yang subur ditukar dengan yang tandus, begitupun dengan
binatang ternak, saham-saham, uang, atau jenis harta apapun, yang di
antaranya ada yang baik dan ada yang buruk. Juga larangan memakan
harta mereka dengan mengumpulkannya dengan hartamu (wali), baik
semua atau sebagian. Karena tindakan yang demikian adalah dosa
besar.46
44
Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 45
Shihab, al-Qur’an dan Maknanya, 77. 46
37
Sebelum harta anak yatim diserahkan kepadanya, hendaknya
wali menguji kedewasaan mereka agar diperoleh kepastian bahwa
mereka benar-benar telah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas
segala tindakannya.47
Firman Allah dalam surah Al-Nisa>’ ayat 6 :
اْاݠُݖَܢۡبٱَغ
ا
اٰ َمٰ َتَ
ۡٱ
ۡ
ا
اْاݠُغَݖَܝااَذِإا ى اتَح
اَح ََِّلٱ
ا
اَفاا هد ۡشُرا ۡݗُݟۡݜِّݘاݗُܢ ۡسَناَءا ۡنِܗَف
اْاكݠَُ݇فۡدٱ
ا
اۡݗِݟۡ
َِۡإ
اۖۡݗُݟَلَٰوۡݘَث
Dan ujilah anak-anak yatim (dalam hal pengelolaan dan penggunaan harta) sampai mereka mencapai pernikahan. Maka jika kamu telah mengetahui adanya pada mereka kecerdasan, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.48
Menurut al-Maraghi menguji anak yatim dilakukan dengan
cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri, apabila ia
mempergunakan dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yang
dimaksud dewasa disini adalah apabila ia telah mengerti dengan baik
cara menggunakan harta dan membelanjakannya. Hal ini sebagai tanda
bahwa ia berakal sehat dan berpikir dengan baik. Ujian ini terus
dilakukan sampai mereka mencapai umur baligh, yakni ketika mereka
sudah pantas membina rumah tangga. apabila wali merasakan dalam
diri mereka, terdapat-tanda-tanda kedewasaan, maka segera
memberikan harta mereka. Kemudian al- Mara>ghi menukil pendapat
47
Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 48
38
Imam Abu Hanifa bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika
mereka telah mencapai umur dua puluh lima tahun, sekalipun belum
tampak dewasa (cara berfikirnya).49
Sebagian ulama mengatakan bahwa penyerahan kepada mereka
itu hendaknya dilakukan setelah mereka baligh dan sesudah
diperhatikan adanya rushd (kesempurnaan akal-dewasa). Menurut Ibnu
Jarir, ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata rushd pada ayat
di atas. Mujahid mengartikan berakal, Qatadah mengartikan berakal dan
beragama, Ibnu „Abbas mengatakan baik keadaannya dan dapat
menggunakan hartanya dengan baik.50
Menurut ulama fiqih, pengertian rushd terbagi atas tiga
pendapat yaitu: pertama, kematangan akal dan kemampuan memelihara
harta, ini pendapat jumhur ulama, seperti madhab Maliki, Hanbali,
Imam Abu Yusuf dan Muhammad dari madhab H}a>nafi, Ibnu
„Abba>s dan salah satu dari pendapat Imam Sha>fi’i>. Kedua,
kesalehan beragama dan kemampuan menjaga harta, ini pendapat
madhab Sha>fi’i>, al-Hasan dan riwayat dari Ibnu „Abba>s. Ketiga,
hanyalah kematangan akal bukan lainnya, ini pendapat madzhab
Abu Hanifah, Mujahid dan al-Nakha„i. Dari ketiga pendapat tersebut
pendapat (pertama) jumhurlah yang lebih kuat.51
49
al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi,> 338. 50
Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), 198-199. 51
39