• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah penafsiran Syaikh Muhammad Ali al-Sabuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’an surah al-nisa’: 5-10.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Telaah penafsiran Syaikh Muhammad Ali al-Sabuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’an surah al-nisa’: 5-10."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH PENAFSIRAN SYAIKH MUHAMMAD

ALI> AL-S}ABUNI

TENTANG

PENGELOLAHAN HARTA ANAK

YATIM DALAM AL-

QUR’AN SURAH

AL-

NISA>’: 5-10

Skripsi:

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

BAGUS SAIFULLAH NIM: E73213115

PRODI ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSI

R

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

TELAAH PENAFSIRAN SYAIKH MUHAMMAD

ALI> AL-S}ABUNI

TENTANG

PENGELOLAHAN HARTA ANAK

YATIM DALAM AL-

QUR’AN SURAH

AL-

NISA>’: 5-10

Skripsi: Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu (Jurusan/program study)

Oleh:

BAGUS SAIFULLAH NIM: E73213115

PRODI ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSI

R

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Nama : Bagus Saifullah

Nim : E73213115

Judul : Telaah Penafsiran Syaikh Muhammad Ali> al-S}abuni tentang

Pengelolahan Harta Anak Yatim dalam al-Qur’an Surah al-Nisa>’: 5-10

Masalah yang diteliti adalah tentang pemeliharaan harta anak yatim yang seringkali terjadi keributan dalam mengatur dan pengelolahannya, yang terjadi adalah mereka lalai dalam menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang sudah ditetapkan oleh ajaran agama Islam.Dalam hal ini penulis

menggunakan mufassir Ali> Al-S}abuni. 1) Bagaimana penafsiran Ali> Al-S}abuni

terhadap Surah al-Nisa<’: 5-10. 2) Bagaimana Batasan penyerahan harta anak

yatimmenurut Ali> Al-S}abuni dalam Surah al-Nisa<’: 5-10.3) Bagaimana hukumnya

memakan harta anak yatim bagi para wali menurut Ali> Al-S}abunisurah Al-Nisa>’:

5-10. Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research) dan menggunakan metode tahlili dengan menggunakan teori

asba>bal-nuzu>l dan bahasa kesusastraan dalam menafsirkan Al-Qur’an teori ini

berusaha keras dalam memaparkan makna dari kandungan ayat tersebut dan

pentingnya adanya penafsiran yang menggunakan teori asba>bal-nuzu>l. Peneliti

melakukan penelitian ini karena bisa memberikan konstribusi dalam study Al-Qur’an. Dengan memberikan informasi yang lebih luas khususnya tentang

penafsiran Ali> Al-S}abuni terhadap pemahaman pengelolahan harta anak yatim,

teori Ulum Al-Qur’an. Kemudian bisa juga memberikan solusi dalam pemahaman

ayat-ayat yang berkaitan dengan pengelolahan harta anak yatim. Kesimpulan yang bisa di paparkan, dalam mengelola harta, anak yatim yang masih kecil Safih tidak

boleh diserahkan hartanya, ukuran Safih dalam hal ini mencakup, anak-anak,

perempuan bahkan sampai dewasaAli> Al-S}abunidalam membatasi pewaris tidak

semua orang yang cukup umur bisa dikatan dewasa dan bisa mengatur harta mereka, karenanya walaupun usia 50 tahun jika sifatnya tidak sesuai maka tidak boleh memberikan harta tersebut. Kemudian bagi para wali boleh menggunakan harta anak yatim dalam keadaan darurat sebagai pinjaman jika wali sudah mampu maka harus membayar.

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

MOTTO ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PENGESAHAN SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Telaah Pustaka... 11

F. Metodologi Penelitian... 12

(9)

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN

PENGELOLAHAN HARATA ANAK YATIM

A. Pengertian Umum tentang Tafsir ... 18

1. Pengertian Tafsir ... 18

2. Metodologi penafsiran Al-Qur’an... 19

B. Pengertian Umum Tentang Pengertian anak yatim ... 20

1. Pengertian anak yatim ... 20

2. Pandangan Umum terkait pengelolahan harta anak yatim .. 30

BAB III : BIOGRAFI DAN PENAFSIRAN ALI>>>>>>>>> AL-S}ABUNI\ A. Biografi Ali> Al-S}abuni ... 43

1. Karya-karya Muhammad Ali> Al-S}abuni ... 45

B. Rawai>’ al-baya>n fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n... 47

1. Seputar Tentang Kitab ... 47

2. Sistematika Kitab TafsirRawai>’ al-Baya>n ... 48

3. Metode, dan corak penafsiran kitab Rawa>’ al-Baya>n ... 48

BAB IV : PENAFSIRAN ALI>>>>>>>>> AL-S}ABUNI\ TENTANG PENGELOLAHAN HARTA ANAK YATIM A. Penafsiran Ali> Al-S}abuni Tentang Pengelolahan Harta Anak Yatim ... 54

(10)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran-Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Manusia dijadikan Allah dengan sebaik-baik kejadian, sebagai menambah

kebahagiaan, Allah mengaruniakan harta sebagai wadah pembangun kehidupan dan

penghidupan mereka. Walaupun begitu harta kadang mengundang penderitaan dan

kadang pula menjadikan suatu kebahagiaan, oleh karna itu Allah mengatur

bagaimana kita bisa bahagia dengan harta yang kita miliki bukan menjadikan

sengsara. Terlebih harta yang kita bawa adalah miliknya anak yatim kita harus lebih

berhati-hati dalam menjaganya dan mengaturnya, adalah suatu kesalahan yang besar

jika kita seenaknya membelanjakannya untuk kepentingan pribadi.

Sebagaimana kodrat manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah saling

membutuhkan tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan yang lain

karna manusia adalah makhluk sosial, untuk melengkapi kebutuhan hidupnya mereka

harus saling menolong dan saling membantu sesama. Maka kita harus utamakan anak

yatim karna mereka lebih membutuhkan bantuan kita. terlebih mereka adalah anak

yatim yang kurang mampu dan telah ditinggalkan kedua orang tuanya, betapa

susahnya mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan

papan maksudnya yaitu kebutuhan yang primer yang harus mereka dapatkan seperti,

rumah untuk tempat tinggal, makan untuk mempertahankan hidup mereka dan

(12)

2

Menurut istilah, anak yatim adalah anak di bawah umur yang kehilangan

ayahnya, yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan pendidikannya.1 Menurut

Ibnu Arabi, anak yatim menurut orang Arab, adalah sebutan bagi setiap anak yang

tidak memiliki ayah sampai mencapai usia baligh. Hakikat dari kata “yatim” adalah

kesendirian, jika ia mencapai kesempurnaan akal dalam usia baligh dan bisa berpikir

sendiri, serta mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, maka hilanglah sebutan

sebagai anak yatim dan juga maknanya dari pengasuhan. Namun jika ia mencapai

usia baligh, sementara masih dalam kebodohan, sebutan yatim tetap lepas darinya,

namun ia tetap berada dalam pengasuhan dan pengawasan.2

Secara pesikologis, orang dewasa sekalipun apabila ditinggal ayah atau ibu

kandungnya pastilah merasa tergoncang jiwanya, dia akan sedih karena kehilangan

salah se-orang yang sangat dekat dalam hidupnya. Orang yang selama ini

menyayanginya, memperhatikannya, menghibur dan menasehatinya. Itu orang yang

dewasa, coba kita bayangkan kalau itu menimpa anak-anak yang masih kecil, anak

yang belum baligh, belum banyak mengerti tentang hidup dan kehidupan, bahkan

belum mengerti baik dan buruk suatu perbuatan, tapi ditinggal pergi oleh Bapak atau

Ibunya untuk selama-lamanya.

Perintah untuk memelihara dan menjaga harta anak yatim, telah jelas dalam

Al-Qur’an, yaitu mengembangkan harta anak yatim (surah al-Isra’ ayat 34) dan

surat al-An‘a>m ayat 152), larangan makan harta anak yatim secara z}alim (surah

1

M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 1106.

2 Abdullah al-Luhaidan dan Abdullah al-Muthawwi’,

(13)

3

Nisa’ 10) ayat hal ini bukan berarti tidak boleh menggunakan harta mereka

sedikitpun (surah al-Nisa’ 6) larangan berbuat curang terhadap anak yatim anak

yatim seperti menukar harta anak yatim yang berkualitas dengan yang tidak,

meskipun sejenis, atau menggunakan harta mereka bersama hartanya untuk

kepentingan pengasuh atau pengelolanya (surah al-Nisa’ ayat 2).3

Kita harus mengasihi serta memuliakan mereka, Salah satu di antara rasa

belas kasihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka ialah terdapat dalam

surah (Q.S. Al-Baqarah : 220 ):

يِف

ي

ܛَيۡن܆دٱ

ييَغ

ي ِةَِܱخٓٱ

ي

ي ۡسَيَغ

يَلي

ي ِݚَني َ َݛݠ

نݖ

يىٰ َمٰ َتَ

ۡٱ

ۡ

ي

ي ۡݗنݞݠ نطِݕܛَ

ُينِيَۖ ۡيَخيۡݗنݟ

ن

܅ليَح ََ ۡصِإي ۡݔنق

يَغيۚۡݗنكنݛَٰوۡخِإَف

ين܅ّٱ

ي

ينݗَݖَۡ݇ي

يَܯِسۡفنݙ

ۡ

لٱ

ي

ي َݚِݘ

ي ِحِݖ ۡصنݙ

ۡ

لٱ

ي

يَءكܛَشيۡݠَلَغ

ين ܅ّٱ

ي

ي ܅نِإيۚۡݗنكَܢَݜۡع

َ َ

َ

يَ ܅ّٱ

ي

يَݗيِݓَحيٌܲيَِܲن

٠

Artinya: Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Maha Bijaksana.4

Anak yatim tidak bisa mengurus hartanya sendiri karena masih kecil dan

belum baligh maka wali lah yang harus menjaga hartanya Kita harus menyerahkan

harta anak yatim pada waktu sudah dewasa, demikian sesuai firman Allah Q.S.

al-An’a>m : 152 :

3

Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 4

(14)

4

ي

َ

لَغ

ي

ي َلܛَݘيْاݠنبَܱۡقَت

يِݗيِتَ

ۡٱ

ۡ

ي

يِܝي

لِإ

܅

ي ِت

܅ݕٱ

ي

ينع܅ܯنش

َ

ثي َ݈نݖۡܞَيي ٰ ܅تَحي نݚ َسۡح

َ

ثي َ ِِ

يۚۥي

يْاݠنفۡغ

َ

ثَغ

يَݔۡيَݓۡݕٱ

ييَغ

يَناَزِݙ

ۡ

لٱ

ييِܝ

يىِط ۡسِقۡݕٱ

ي

ي

ل

َ

يَفيۡݗنܢۡݖنقياَذِيۖܛَݟَ݇ۡسنغي

لِإيܛ ًسۡفَني نفِ

܅

ݖَكنݛ

يْاݠنلِܯۡنٱ

ي

يِܯۡݟَِ݇بَغيىٰ َبܱۡنقيا

َذيَنََيۡݠَلَغ

يِ܅ّٱ

يݗنكٰك ܅صَغيۡݗنكِݕَٰٰي ْۚاݠنفۡغ

َ

ثي

يِݝِܝ

ۦي

يَنغنܱ܅كََܰتيۡݗنك܅ݖََ݇ݕ

٢

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), dan penuhilahjanji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.5

Allah juga melarang harta anak yatim dimakan. Siapa saja yang berani

memakan harta anak yatim akan mendapat dosa yang amat besar dan di hari kelak

kiamat akan mendapat siksaan yang pedih.

Allah telah berfirman dalam Q.S. al-Nisa>’ : 2 :

يْاݠنتاَءَغ

ي

يى َمٰ َتَ

ۡٱ

ۡ

ي

يْاݠنل܅ܯَܞَتَتي

لَغيۖۡݗنݟ

َ

َلَٰوۡݘَث

يَܣيِܞَ

ۡٱ

ۡ

ييِܝ

يىِܜِ ي ܅طݕٱ

ي

يۚۡݗنكِݕَٰوۡݘ

َ

ثيى

َِإيۡݗنݟ

َ

َلَٰوۡݘَثيْاكݠنݖنكۡأَتي َلَغ

ينݝ܅ݛِإ

ۥي

ياهيِܞ

َكيܛهبݠنحيَنََ

٢

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. 6

Selain itu Allah-pun mengancam dengan siksaan yang keras kepada orang

yang berani memakan harta anak yatim secara dzalim, untuk itu Allah berfirman

dalam Q.S. al-Nisa>’ : 10 :

5

Anwan Abu Bakar, Al-Muyassar Al-Qur’an dan terjemahnya. Vol 2. (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2011). 288.

6

(15)

5

ي ܅نِإ

يَݚيِ

َٱ

܅

ي

ي َلٰ َوۡݘ

َ

ثي َنݠنݖنك

ۡ

أَي

يٰ َمٰ َتَ

ۡٱ

ۡ

ي

يَنۡݠَݖ ۡصَيَسَغيۖاهرܛَݛي ۡݗِݟِݛݠ نطنبي ِفي َنݠنݖنكۡأَييܛَݙ܅نِإيܛًݙۡݖنظ

ياهيَِ݇س

٠

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.7

Meskipun berapa patutnya wali yang tidak mampu itu bolehlah memakan

harta anak yatim itu, begitu baik juga kita tilik pendapat Ulama’ tentang hal ini, agar

kita ketahui kesatuan pendapat mereka dalam satu hal, yaitu bahwa memakan harta

anak yatim adalah suatu perbuatan yang meminta pertanggungjawaban budi yang

amat besar walaupun jumlahnya kecil.

Para wali dari anak yatim harus bisa mengatur dan mendidiknya jangan

sampai mereka terlantar, Islam dengan syari’atnya memerintahkan kepada orang

-orang yang mendapat wasiat dan -orang--orang yang sekerabat dengan anak yatim agar

memperlakukanya dengan baik, menjamin kebutuhan dan membimbing serta

mengarahkan, sehingga anak yatim tersebut terdidik dengan baik, tumbuh dengan

akhlak mulia dan jiwa luhur. Oleh karena itu anak yatim harus kita jaga mengingat

mereka adalah titipan Allah maka wajib kita perhatikan seperti layaknya anak kita

sendiri, terutama harta, sesunguhnya tidak layak bagi seorang wali memakan harta

anak yatim dengan cara berlebihan, dan barang siapa yang menjadi wali tetapi

miskin, hendaknya memakanya dengan ketentuan hukum syara’ dan dipandang

pantas oleh orang-orang bijaksana.8 harta benda mereka tidak boleh diserahkan

7

Anwan Abu Bakar, Al-Muyassar Al-Qur’an dan terjemahnya.Vol 2. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 151.

8

(16)

6

kepada mereka kecuali jika para wali anak yatim tersebut melihat tanda

kedewasaanya dalam diri mereka.

Islam dengan syariatnya memerintahkan kepada orang-orang yang mendapat

wasiat dan orang-orang yang sekerabat dengan anak yatim agar memperlakukanya

dengan baik, menjamin kebutuhan serta membimbing dan mengarahkanya, sehingga

anak yatim tersebut terdidik dengan baik tumbuh dengan akhlak mulia dan jiwa yang

luhur.9

Bagi anak-anak yatim ada harta benda yang ditinggalkan oleh kedua orang

tuanya dan kerabat dekatnya, maka mereka mendapatkan bagian yang sama besar.

Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, semuanya mendapatkan

bagian yang sama, dengan tanpa memandang besar kecil jumlah harta yang

ditinggalkan tersebut, sebagai penjelasan bahwan hal itu adalah hak yang telah

ditentukan lagi dipastikan bagian-bagianya, tidak boleh seorang pun yang

mengurangi sesuatu darinya atau melebihkan dari ketentuan.

Ada ulama Tafsir berpendapat, bahwa wali yang memakan harta anak yatim

karena kemiskinan itu adalah seperti berhutang, dengan niat akan membayarnya

kembali. berpendapat seperti ini ialah Saiyidina Umar Bin Khathab dan Ibnu Abbas.

Ibnu Jarir menyalinkan pendapat Ibnu Abbas itu demikian: “Kalau pengasuh itu

kaya, tidaklah Halal dia memakan harta anak yatim. Tetapi kalau si pengasuh itu

orang miskin, bolehlah dia pakai harta itu dengan niat apabila dia telah mampu, akan

dibayarnya.10

9

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),131-132.

10

(17)

7

Saat pembagian harta warisan sering terjadi kesalahan dalam masyarakat

khususnya orang masih awam dan tak tau betul tentang agama, pastilah hal itu bisa

membuat terbukanya sebuah permasalahan dalam keluarga, dan kepada siapakah

yang patut di kasihkan harta tersebut apakah hanya keluarga dari pihak meninggal

saja atau keluarga dari seorang istri juga mendapatkan jatah yang sama pembagian

harta a anak perempuan dan laki-laki mendapat bagian juga apakah tidak, sepatutnya

kita harus mengetahui supaya hal tersebut tidaklah menimbulkan sebuah

pertentangan apalagi dalam keluarga sendiri.

Adapun hak anak yatim tidak boleh di berikan kepadanya ketika masih kecil

atau belum dewasa, yang di maksud anak kecil ini apakah sifatnya ataukah umur

mereka, dan siapa saja yang termasuk di dalamnya karena kalau kita memberikan

harta tersebut tidak pada tempat dan waktunya maka rusaklah harta tersebut karna

mereka yang belum mampu tapi sudah kita serahkan, lah disini berbagai pendapat

ulama’ yang mengatakan dan mereka mempunyai dalil dan alasan tersendiri.

Dalam batasan kedewasaan anak yatim, yang termasuk anak yang masih Safih

(masih bodoh) beberapa Ulama’ berbeda dalam berpendapat ada yang berpendapat

bahwa yang di maksud safih Menurut Ibnu Zaid ialah orang yang masih kecil hingga

dia dewasa baligh dan sebagian ada yang mengatakan bahwa yang di maksud saifih

ialah walaupun dia sudah dewasa tapi perlakuannya masih kayak anak kecil dan

bodoh itupun termasuk dalam golongan safih. Kemudian kalau ada orang gila tetapi

dia sudah berusia dewasa atau lebih dari dari umur 50 tahun bagaimana hukumnya

(18)

8

Ketika anak sudah dewasa adanya penyerahan harta yang ditinggalkan itu

perlu nya wali untuk menjadi saksi-saksi yang melihat agar dalam pembagian itu

tidak ada yang curang atau ada yang berniat menguasai harta tersebut

sebanyak-banyak, dalam persaksian ini ada yang mengatakan wajib, karena jika tidak adanya

wali itu akan terbukanya pintu permasalahan jika suatu saat waktu anak tersebut

sudah dewasa akan memepertayakan harta tersebut.

Apabila pembagian harta waris itu, dihadiri juga oleh kaum kerabat dari

orang yang mewarisi harta itu, maka hendaklah mereka diberi sedikit rizki harta yang

kalian terima tanpa susah payah, dan tanpa kelelahan. Maka kalian janganlah bersifat

bakhil terhadap kerabat yang membutuhkan. Anak-anak yatim dan orang-orang

muslim dari kerabat lain. Tidak pantas bagi kalian membiarkan mereka kecewa dan

gelisah. Katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik, yang membuat hati

merasa senang ketika kalian memberinya. Sehingga orang-orang yang berjiwa

pantang meminta tidak berkeberatan menerima pemberianmu.

Memberi mereka sebagian dari Tikrar ialah karena kemungkinan kedengkian

menghinggapi dada mereka, oleh karena itu mereka harus diperlakukan dengan kasih

sayang dan mengelus mereka dengan cara memberikan sebagian dari Tikrar sebagai

hibbah atau Hadiah, atau menyuguhkan makanan kepada mereka pada hari

pembagian sebagai tanda silaturahmi dan ungkapan syukur atas karunia Tuhan.11

Adapun hak-hak anak yatim yang harus diperhatikan adalah perawatan

dirinya yang tentu tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang dan

pangan saja, tetapi harus memenuhi kebuthan yang lainya, seperti kebutuhan akan

11

(19)

9

tempat tinggal, obat-obatan, kesehatan, hiburan dan lainya. Kebutuhan jasmani harus

dipenuhi demikian juga kebutuhan rohani, sehingga anak bisa tumbuh dan

berkembang, baik fisik maupun mentalnya. Dalam hal ini anak yatim yang ditinggal

ayah yang bertanggung jawab atas dirinya, menjadi tanggung jawab atas

pengasuhnya serta semua umat islam.12

Namun Pada realitanya tidak semua orang mengetahui cara memperlakukan

anak yatim. Apalagi pada akhir-akhir ini banyaknya kasus bermunculan tentang

penganiayaan anak yatim baik yang dilakukan oleh keluarga, saudara-saudara

maupun orang yang terdekatnya. Adakala permasalahan itu timbul dari para wali

yang mengambil keuntungan dari Lembaga Panti Asuhan, harta yang seharusnya itu

adalah hak milik anak yatim tetapi mereka mengambil dengan sebesar-besarnya.

Mungkin adakala masalah harta warisan yang dimiliki anak yatim itu sendiri, oleh

karena itu perlu adanya perhatian khusus untuk menanggulangi masalah tersebut.

Serta bagaimana cara memperlakukan anak yatim sebagai mestinya dan pengolahan

hartanya.

Betapa luhurnya apa yang dianjurkan oleh Islam, yaitu kita harus berlaku

hati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim, dan kita dibebani agar

menanggung mereka serta memelihara mereka dengan baik-baik seolah-olah kita

memelihara anak-anak kita sendiri. Karena dengan perlakuan yang baik dari kita,

mereka akan merasakan penderitaannya akan hilang dan hatinya menjadi terhibur,

sehingga mereka bisa tumbuh dengan wajar dan kelak mereka akan bisa menjadi

orang-orang yang berguna dan Barangsiapa yang tidak menjalankan perintah allah

12 Mj.Ja’far Shodiq

(20)

10

dan memakan harta anak yatim maka dia seolah memakan api dalam perut nya,

sesungguhnya Allah maha adil dan bijaksana.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana penafsiran Ali> al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim

dalam surah al-Nisa>’: 5-10?

2. Bagaimana Batasan penyerahan harta anak yatim menurut Ali> al-S}abuni dalam

menafsirkan surah al-Nisa>’: 5-10?

3. Bagaimana hukumnya memakan harta anak yatim bagi para wali menurut Ali>

Al-S}abuni dalam al-Qur’an surah al-Nisa>’: 5-10?

C.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini mendikripsikan

Pengelolahan harta anak yatim menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Ali> al-S}abuni

Terhadap Surah al-Nisa>’: 5-10) Dengan poin tujuan, yaitu:

1. Untuk memaparkan penafsiran Ali> al-S}abuni tentang Pengelolahan harta anak

yatim dalam surah al-Nisa>’: 5-10

2. Untuk mengetahui Batasan penyerahan harta anak yatim menurut Ali> al-S}abuni

dalam menafsirkan surah al-Nisa>’: 5-10

3. Untuk mengetahui hukumnya memakan harta anak yatim bagi para wali menurut

(21)

11

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademisi, khusunya

cendekiawan ilmu al-Qur’an dan tafsir, tentang Pemeliharaan harta anak

yatim menurut al-Qur’an (Telaah Penafsiran Ali> al-S}abuni Terhadap Surah

al-Nisa>’: 5-10).

2. Untuk menambah khazanah pengetahuan Islam kepada masyarakat dan di

kalangan pesantren, dalam mengurus harta anak yatim dan cara

penegelolahannya.

3. Untuk bisa dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.dan kami harap

penelitian selanjutnya bisa lebih sempurna dan kritis.

E.Telaah Pustaka

1. Skripsi yang berjudul “wawasan tentang pengasuhan anak yatim (suatu

kajian tematik)”. Ditulis oleh Miftahul „Ulum, Tahun 1998, Fakultas

Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Menjelaskan

bahwa anak yatim dalam Al-Qur’an sering menempati urutan teratas

dibanding kaum dhu’afa lainya. Al-Qur’an menganjurkan kita membimbing,

merawat, menyantuni dan berbuat baik pada anak yatim baik yatim yang

miskin maupun kaya, pada periode mekkah ayat-ayat terkait dengan anak

yatim lebih tertuju pada pemeliharaan diri anak yatim dari pada pemeliharaan

(22)

12

pemecahan dan jawaban terhadap masalah anak yatim cara pemeliharaan

anak dan pemeliharaannya.

2. Skripsi yang berjudul “Manajemen Harta Anak Yatim Dalam Al-Qur’an

(Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 6 )”. Ditulis oleh Hamidatun Nihayah Basra,

Tahun 2011, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, IAIN Sunan Ampel

Surabaya. Yang membedakan penelitian ini ini hanya khusus satu Surat yaitu

An-Nisa’ Ayat 6 yang menjelaskan tentang kewajiban dan hak wali pengasuh

anak yatim terhadap harta anak yatim.

3. Skripsi yang berjudul “ Pengelolahan Harta Anak Yatim (Komparasi

M.Quraish Shihab dengan Hamka Tafsir Al-Azhar)”. Di tulis oleh,

Farichatuz zulfa Tahun 2015, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, UIN

Sunan Ampel Surabaya. Yang membedakan yaitu penulis membandingkan

antara dua mufassir kemudian penelitian ini memuat berbagai ayat, tidak

hanya surah Al-Nisa’ dan fokus menjelaskan tentang bagi wali yang miskin

boleh atau tidaknya menggunakan harta bahkan mengambil upah atau imbala

dari harta anak yatim.

F. Metodologi Penelitian

Dalam setiap penelitian ilmiah, peneliti dituntut untuk menggunakan metode

yang jelas. Hal ini berguna untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari sebuah

penelitian dan tersusun dengan akurat dan terarah. Metode yang dimaksud disini

(23)

13

bersangkutan.13 Dengan kata lain, metode ini merupakan cara atau aktivitas analisis

yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam meneliti obyek penelitiannya untuk

mencapai hasil atau kesimpulan tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam pelaksanaan pengumpulan data dan sekaligus menganalisis

referensi-referensi yang ada dan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat, penelitian ini

dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian Librery Research atau dapat juga

disebut dengan penelitian kepustakaan baik berupa buku, jurnal, artikel, maupun

bacaan yang terkait dengan obyek penelitian. Dalam hal ini, penelitian difokuskan

pada kitab terjemahan Tafsir Rawai>’ al- baya>n fi> Tafsi>r A>yat-Ahka>m min

al-Qur’a>n dengan didukung oleh tulisan-tulisan yang berekaitan.

Adapun sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak menggunakan

mekanisme statistika dan matematis untuk mengolah data. Data-data yang ada

dikumpulkan kemudian diuraikan dan dianalisis secara sistematis.

2. Langkah-langkah Metodis Penelitian

Dalam konteks penelitian al-Qur’a>n dan Tafsir, penelitian ini masuk dalam

kategori penelitian tokoh. Untuk memudahkan proses penelitian dan agar tetap

berada dalam fokus kajian, maka diperlukan langkah-langkah metodis dalam

penelitian ini sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Mustakim14 adalah sebagai

berikut:

(24)

14

Pertama, penulis menganalisa penafsiran Ali> Al-S}abuni dan yang menjadi

fokus kajian ini adalah pengelolahan harta anak yatim dalam Al-Nisa>’: 5-10. Kedua,

menginventarisasi data dan menyeleksi, khususnya karya-karya yang berkaitan

dengan Ali> Al-S}abuni dan tema terkait.

Ketiga, melakukan klasifikasi tentang elemen-elemen penting terkait

tafsiran pengelolahan harta anak yatim dalam surah Al-Nisa>’: 5-10.

Keempat, secara cermat data tersebut akan dikaji melalui metode deskriptif,

bagaimana pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10

secara konfrehensif.

Kelima, penulis akan melakukan analisis kritis terhadap penafsiran Ali>

Al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10 berupa konsistensi penafsiran, sumber-sumber pengetahuan, hal-hal yang

mempengaruhi dalam penafsiran, penerapannya dalam kitab Tafsir Rawai>’ al-baya>n

fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n serta keterangan-keterangan lain yang bisa

membantu untuk menguak penafsiran Ali> Al-S}abuni secara konfrehensif. Kemudian

menganalisa hasil penafsiran Ali> Al-S}abuni. Terakhir, penulis akan membuat

kesimpulan-kesimpulan secara cermat sebagai jawaban dari rumusan masalah.

3. Metode Pengumpulan data

Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan data adalah metode

atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam

penelitian melalui prosedur yang sistematik dan standar. Adapun yang dimaksud

(25)

15

mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan riset.15 Data yang

dikumpulkan dalam suatu penelitian harus relevan dangan pokok persoalan. Untuk

mendapatkan data yang dimaksud, maka diperlukan metode yang efektif dan efisien.

Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh

dengan jalan dokumentasi atas naskah-naskah yang terkait dengan obyek penelitian

ini. Ada dua jenis sumber yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu sumber data

primer dan sumber data skunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Rawai>’ al- baya>n fi> Tafsi>r A>yat-al-Ahka>m min al-Qur’a>n karya Ali> Al-S}abuni.

b. Sumber Data sekunder

Sumber data skunder dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Tafsi>r

al-Misbah karya Quraish Shihab, Tafsi>r al-Azhar karya Hamka, Safwa>t

al-Tafasi>r karya Ali> al-S}abuni>, Tafsi>r al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al

Maraghi.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses penyederhanaan terhadap data-data yang

ada (primer dan sekunder) dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan.16

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data-data dalam penelitian ini

adalah deskripsi-analisis, yaitu penelitian yang menuturkan dan menganalisa dengan

panjang lebar yang pelaksanaanya tidak hanya terbatas pada pengumpulan data,

(26)

16

tetapi meliputi proses interpretasi dan analisis data.17 Metode ini diaplikasikan

kedalam beberapa langkah berikut: penelitian yang berusaha mendeskripsikan

dengan jelas gambaran seputar penafsiran pengelolahan harta anak yatim dalam

al-Qur’a>n surah Al-Nisa>’: 5-10. Kemudian penulis akan menggambarkan bagaimana

latar belakang kehidupan Ali> Al-S}abuni dan gambaran umum tentang kitab tafsir

Rawa’ul Bayan Tafsiri Aayatul Ahkaam, serta dilanjutkan dengan penjelasan dan

deskripsi penafsiran Ali> Al-S}abuni tentang pengelolahan harta anak yatim dalam

al-Qur’a>n Surat Al-Nisa>’: 5-10.

Dalam pengambilan kesimpulan, penelitian menggunakan cara berfikir

deduktif-induktif yakni cara berfikir yang bertolak pada suatu teori yang bersifat

umum, kemudian dipelajari hal-hal yang khusus untuk mendapatkan kesimpulan

sebagai jawaban sementara, kemudian baru dilakukan penelitian secara induktif

dengan mempelajari fakta-fakta yang ada secara khusus yang kemudian dianalisa dan

hasilnya akan menemukan suatu kesimpulan secara umum.

G.Sistematika Pembahasan

Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka

peneliti akan menyajikan sistematika penulisan karya ini. Sehingga dengan

sistematika yang jelas, hasil penelitian proses reproduksi manusia ini lebih baik dan

terarah seperti yang diharapkan peneliti dan pembaca. Adapun sistematika karya ini

sebagai berikut:

(27)

17

1. BAB I adalah: Pendahuluan yang mencakup, Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Telaah

Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

2. BAB II, penulis akan mendiskripsikan, Telaah umum tentang tafsir dan

telaah umum tentang cara pengelolahan harta anak yatim.

3. BAB III, Penulis akan mendiskripsikan Biografi Ali> Al-S}abuni

karya-karyanya, khususnya kitab Tafsi>r Rawa’u al-Baya>n .

4. BAB IV, penulis akan memaparkan penafsiran Ali> al-S}abuni dalam surah

Al-Nisa>’: 5-10 dan menganalisa penafsirannya.

5. BAB V, adalah penutup, penulis akan menguraikan kesimpulan dan

(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN PENGELOLAHAN HARTA ANAK YATIM

A.Pengertian umum tentang tafsir

1. Pengertian Tafsir

Istilah tafsir merujuk pada Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam

ayat 33 Al-Furqan, “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu

membawa sesuatu yang ganjil melainkan kami datang kepadamu suatu yang

benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik. Pengertian inilah yang di maksud

di dalam lisan Al-A’rab dengan “Kasyf al-Mughaththa” (membukakan

sesuatu yang tertutup), dan “Tafsir” ditulis Ibn Manzuh ialah membuka dan

menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal.1 Pengertian inilah yang

diistilahkan oleh para ulama’ tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin”

(menjelaskan dan menerangkan).2 Al-Qur’an. Terjemahan Al-Qur’an masuk

ke dalam kelompok ini, jadi tafsir Al-Qur’an ialah penjelasan atau

keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari

ayat-ayat Al-Qur’an, dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an ialah menjelaskan

atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat

tersebut.

1

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, beirut, Dar Shadir, V, t.t.,h. 55. 2

(29)

19

a. Metodologi penafsiran al-Qur’an

Metodologi penafsiran al-Qur’an yang selama ini dikenal

terdapat empat klasifikasi, yaitu tafsir Tahlili “Analitis”, tafsir Ijmaly

“Global”, tafsir Muqarin “Komparatif”, dan tafsir Maudhu'i

“Tematik”.3 Keempat metode ini mudah disebutkan, tetapi tidak

begitu mudah menuntun orang ke pemahamanseluk-beluk metode

untuk diturunkan ke teknik yang dimaksud, oleh karenanya akan

dijelaskan metode penafsiran tersebut yang hanya berkaitan dengan

penyusunan karya ilmiah ini, yakni Metode Tahlili (Analitis), dan

Metode Muqarin (Komparatif).

1. Metode Tahlili (Analitis)

Metode, didalam bahasa arab dinamakan Manhaj berasal dari kata

nahaja”. Artinya, telah terang dan nyata. Misalnya “Nahaja

al-Amru”, artinya perkara itu telah terang. Al-Thahir Ahmad al-Sawi

menerangkan bahwa arti kata “al-Manhaj” adalah “Thariq

al-Wadhih”, yaitu jalan yang terang.4

Metode Tahlili menurut etimologi, yakni jalan atau cara

untuk menerangkan arti ayat-ayat dan surat dalam mushaf,

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam

ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna

3

(Al-'Aridl 1994:4). Lihat Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 3.

4 Rahcmat Syafe’i.

(30)

20

yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan

kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut5.

Metode penafsiran ini, muncul sejak akhir abad II atau awal abad

III H, yakni periode pembukuan tafsir sebagai suatu istilah yang

berdiri sendiri6

Dalam metode ini, para penafsir menggunakan makna yang

terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat

sesuai dengan urutannya didalam mushaf7. Uraian tersebut

menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang

ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimat, latar

belakang turunnya ayat, munasabah dengan ayat-ayat lain, baik

sebelum maupun sesudahnya (munasabah) dan

pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat-ayat

tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para

tabi’in maupun ahli tafsir lainnya8 .

B.Pengertian umum tentang Anak Yatim

1. Pengertian anak yatim

Kata “yatim”, memiliki tiga bentuk kata dasar. Pertama,

yatama-yaitimu- yutman-yatman (

انتي

-

امتي

متيي

-

متي

). Kedua,

5 Abd. al-Hay al-Farmaw>i. al-Bida>yah fi> al-Tafsir al-Mawd}u>’i, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat, 1977), 24.

6

Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo:

Dar al-Kutub al- Haditsah, 1961), 140-141. 7

Ibid, 32. 8

(31)

21

yutman-yatman (

انتي

امتي

متيي

-

متي

). Ketiga,

yatuma-yaitumu-yutman-yatman (

انتي

امتي

متيي

-

متي

). Secara bahasa, berarti sesuatu yang unik,

yang tidak ada persamaannya.9 Asal kata al-yatimu maknanya adalah

lambat, dari sinilah kata “yatim” diambil, karena perbuatan baik biasanya

lambat untuk sampai kepadanya. Dikatakan juga, di dalam perjalanan

hidupnya terdapat al-yutmu, yakni kelambatan dan kelemahan. Jadi, pada

makna asalnya, secara bahasa berarti kesendirian, kelambatan dan

membutuhkan.102Dikatakan shagirun yatim yaitu anak yatim laki-laki,

jamaknya adalah aitam dan yatama. Shagirah yatimah, berarti anak yatim

perempuan, jamaknya yatama.11

Menurut istilah, anak yatim adalah anak di bawah umur yang

kehilangan ayahnya, yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan

pendidikannya.12 Menurut Ibnu Arabi, anak yatim menurut orang Arab,

adalah sebutan bagi setiap anak yang tidakmemiliki ayah sampai mencapai

usia baligh. Hakikat dari kata “yatim” adalah kesendirian, jika ia mencapai

kesempurnaan akal dalam usia baligh dan bisa berpikir sendiri, serta

mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya, maka hilanglah sebutan sebagai

anak yatim dan juga maknanya dari pengasuhan. Namun jika ia mencapai

9

M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 1106

10 Abdullah al-Luhaidan dan Abdullah al-Muthawwi’,

Mereka Yatim Tapi Jadi Orang Besar, terj. Firdaus Sanusi (Solo: Kiswah Media, 2013), 23-24.

11 Mj. Ja’far Shodiq,

Santunilah Anak Yatim (Yogyakarta: Lafal, 2014), 13. 12

(32)

22

usia baligh, sementara masih dalam kebodohan, sebutan yatim tetap lepas

darinya, namun ia tetap berada dalam pengasuhan dan pengawasan.13

Pada konteks Indonesia, kata “yatim” identik dengan anak yang

ayahnya meninggal dunia. Sedangkan, apabila yang meninggal dunia ayah

dan ibunya, maka anak tersebut disebut yatim piatu. Biasanya perhatian

(santunan) lebih banyak dicurahkan pada anak yatim piatu daripada anak

yatim saja. Menurut kajian us}ul al-Fiqh, pendekatan dengan skala prioritas

semacam ini dimasukkan dalam kategori fahwa al-khita>b (pemahaman

secara eksplisit dengan memakai skala prioritas). Artinya, secara filosofis

bisa digambarkan, bahwa anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya lebih

diprioritaskan daripada anak yang ditinggal mati ayahnya saja.14

Pada konteks masyarakat Arab, juga terdapat pengklasifikasian anak

yatim. Menurut tradisi mereka, di samping ada istilah yatim, bagi anak yang

ayahnya meninggal dunia, juga ada istilah lathim, bagi anak yang kedua

orang tuanya meninggal dunia, serta istilah ujmi, bagi anak yang ibunya

saja yang meninggal dunia. Secara universal, persamaan kata yatim, lathim

dan ujmi, belum begitu banyak dipakai. Jadi, kata yatim cukup mewakili

untuk menjadi bukti bahwa anak-anak yatim, lathim atau ujmi sudah

selayaknya mendapatkan curahan kasih sayang. Artinya, untuk melakukan

perbuatan baik kepada anak yatim tidak perlu adanya klasifikasi nama.

Apalagi kalsifikasi tersebut mempunyai skala prioritas dan menyebabkan

13 al-Muthawwi’,

Mereka Yatim,... 25 14

(33)

23

perhatian umat Islam pada sekelompok tertentu (lathim) kemudian

mengabaikan yang lainnya (ujmi dan yatim).15

Anak yatim dalam Ensiklopedi Hukum Islam, diartikan anak yang

terpisah dari ayahnya (ditinggal mati) dalam keadaan belum baligh

(dewasa). Di Indonesia dikenal juga istilah yatim piatu, yang diartikan

sebagai anak yang ditinggal mati oleh ayah dan ibunya, namun dalam fikih

klasik dikenal istilah yatim saja.16

Menurut Al-Ra}ghibu al-As}fshs>ni (seorang ahli kamus bahasa

al-Qur’an), istilah yatim bagi manusia, digunakan untuk orang yang ditinggal

mati ayahnya dalam keadaan belum dewasa, sedangkan bagi binatang, yang

disebut yatim adalah binatang yang ditinggal mati ibunya. Hal ini dapat

dipahami, karena pada kehidupan binatang, yang bertanggung jawab

mengurus dan memberi makan adalah induknya. Berbeda dengan manusia,

di mana yang berhak memberi makan dan bertanggung jawab adalah

ayahnya. Selanjutnya al-As}faha>ni mengatakan, bahwa kata “yatim” juga

digunakan untuk setiap orang yang hidup sendiri. Misalnya terlihat dalam

ungkapan “durrah yatimah”. Kata durrah (intan) disebut yatim, karena ia

menyendiri dari segi sifat dan nilainya.17

Menurut Hasan Ayyub dalam bukunya al-suluk Ijtima>i fi>l Islam, anak

yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum mencapai usia

kedewasaan, dan jika sudah mencapai dewasa, tidak disebut lagi sebagai

15

Ibid., 96-97. 16

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1962.

(34)

24

anak yatim. Jika ada orang yang disebut yatim setelah dewasa, menurut

majaz `kiasan` yakni, yang intelegensi serta adabnya tidak berfungsi atau

bodoh dan tidak berakhlak.18 Adapun menurut istilah syariat Islam, anak

yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum baligh.19

Ulama berbeda pendapat mengenai batasan usia anak yatim. Menurut

Imam syafi’i dan Imam Hanbali, batas usia anak yatim baik perempuan

maupun laki-laki, adalah pada usia lima belas tahun. Sementara menurut

Imam Malik menyatakan pada usia tujuh belas tahun. Sedangkan Imam

Hanafi menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki pada usia delapan belas

tahun, dan anak perempuan pada usia tujuh belas tahun. Sebab, pada usia

tersebut seorang laki-laki dapat bermimpi mengeluarkan sperma,

menghamili, dan mengeluarkan mani (di luar mimpi), dan untuk seorang

perempuan sudah haid.20

Untuk mengetahui seseorang sudah sampai usia baligh atau belum,

dapat diketahui dengan beberapa tanda. Adapun tanda-tanda baligh menurut

ulama ahli fiqih di antaranya:

1. Seorang anak laki-laki telah berusia lima belas tahun. Tanda ini

berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, ia berkata:

Aku mengajukan diriku (untuk mengikut perang) kepada Nabi SAW, waktu itu aku seorang anak yang baru berusia empat belas tahun, akan tetapi (Nabi) tidak menerimaku untuk ikut berperang, dan kemudian aku

18

Hasan Ayyub, Etika Islam Menuju Kehidupan yang Hakiki (Bandung: Trigenda Karya, 1994), 362.

19 al-Muthawwi’,

Mereka Yatim, 25. 20

(35)

25

mengajukan lagi kepada Nabi ketika aku berusia lima belas tahun, Nabi pun menerima (mengizinkan).

Hadis di atas mengisahkan, bahwasanya Ibnu „Umar meminta izin

untuk mengikuti perang bersama Rasulullah dan para sahabatnya, akan

tetapi permintaan itu ditolak dengan alasan ia belum cukup umur untuk

mengikuti perhelatan yang keras ini, lalu ia mencoba mengajukan diri

lagi pada tahun berikutnya dimana beliau telah berusia di atas empat

belas tahun, maka Rasulullah pun mengizinkannya.

2. Seorang anak perempuan bila telah berusia sembilan tahun. Tanda ini

didasarkan atas perkataan A„isyah, ia berkata, “Jika anak perempuan

telah berusia sembilan tahun maka ia adalah wanita”.

Tanda ini didasarkan bahwasanya A„isyah dinikahi oleh Rasulullah

dalam usia tujuh tahun, akan tetapi tetap bersama ayahnya (Abu Bakar)

hingga usia sembilan tahun, setelah itu baru bersama Rasulullah.

3. Tumbuh bulu-bulu di badannya baik di atas kemaluan atau selainnya.

Tanda ini berdasarkan hadis yang menyatakan perang Bani Quraidhah.

Seorang laki- laki yang sudah sampai usia baligh diberi hukuman mati

karena melanggar perjanjian damai bersama Rasulullah dan kaum

muslimin, untuk membedakan orang yang sudah baligh atau belum

pada kaum itu, adalah dengan tumbuhnya rambut atau bulu-bulu di atas

kemaluan. Selain itu, Imam Ahmad dan Imam Ishak mengatakan,

bahwa ciri baligh seseorang salah satunya adalah dengan tumbuh

(36)

26

4. Mimpi bersetubuh

Sebagaimana sebuah hadist. “Diangkat qalam dari tiga orang: dari

orang gila hingga sembuh, dari orang tidur hingga bangun, dari anak

kecil hingga mimpi keluar air mani”.

5. Mengalami mansturbasi atau datang bulan bagi perempuan. Tanda yang

kelima ini berdasarkan analisa hadis Rasulullah yang menyebutkan,

bahwa wanita yang haid atau nifas dilarang melaksanakan salat karena

keluar darah dari kemaluannya, dengan demikian wanita yang telah

mengalami haid telah diwajibkan kepadanya salat karena sudah baligh.

A„isyah r.a berkata, “Kami haid di masa Rasulullah SAW lalu kami

bersuci, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak

diperintahkan mengqadha salat”.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa anak yatim adalah setiap

anak yang ayahnya meninggal dunia dalam keadaan belum baligh (dewasa).

Jika yang ditinggalkan anak-anak yang sudah dewasa dan mampu mengurus

dirinya sendiri, atau tidak dikatakan bodoh akalnya, maka tidak dinamakan

anak yatim.

Adapun tiga bentuk kedewasaan yang sering diungkapkan oleh para

ahli yaitu :

1. Dewasa fisik (biologis)

Kedewasaan ditandai dengan matangnya organ reproduksi primer dan

(37)

27

skunder pada laki-laki dan perempuan

2. Dewasa intelektual

Kondisi dimana seseorang mencapai kematangan berfikir, pada kondisi

ini terkadang seorang anak terkesan lebih dewasa dibandingkan teman

seusianya. Bicaranya seperti orang tua. Bahkan mampu berpikir kreatif,

imajenatif dan terstruktur.

3. Dewasa emosional

Kedewasaan emosional atau mental ditandai dengan kematangan

emosional seseorang. Hal ini dapat ditinjau dari sikapnya dalam

bertindak, bertutur kata dan ketika menghadapi masalah. Sikap-sikap

positif inilah yang membedakan seseorang disebut dewasa atau belum

dewasa.22

Sejatinya seseorang sudah bisa dikatakan dewasa ketika intelektual dan

emosinya matang sejalan dengan perkembangan fisik. Sanggup menikah

adalah batasan dewasa dan mandiri. Secara fisik telah matang, secara rohani

telah siap mental dan secara intelektual mempunyai kecerdasan yang cukup

untuk mengelola harta benda, mengatur hidup dan mampu mencari

penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.23

1. Kondisi anak yatim

Secara psikologis, seorang anak yang kehilangan ayahnya akan

22

M. Khalilurrahman al-Mahfani, Dahsyatnya Doa Anak Yatim (Jakarta: PT Wahyu Media, 2009), 6-7.

23

(38)

28

mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang dahsyat. Hilangnya

figur pelindung dan penopang hidup, membuat anak merasa cemas, takut

dan menimbulkan rasa was-was. Oleh karena itu, anak yatim

sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan cinta yang lebih dari

orang-orang sekitar mereka, di samping kebutuhkan materi untuk

kelangsungan hidup dan biaya pendidikan mereka.24

Pentingnya memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak

yatim tergambar dalam sebuah hadis yang diriwayatkan T}abrani,

yang artinya, “Maka sayangilah anak yatim dan usaplah kepalanya serta

berilah makanan dari sebagian makananmu”. Mengusap kepala,

sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah merupakan salah satu bentuk

kasih sayang kepada anak yatim, agar mereka merasakan kehangatan

perasaan dengan perhatian layaknya kasih sayang yang diberikan oleh

orang tua mereka yang telah tiada.25

2. Hak-hak anak yatim

Setiap manusia mempunyai hak-hak, termasuk halnya anak-anak

yatim, dilihat dari segi kebutuhannya, setiap anak memiliki tiga hak

kebutuhan utama. Pertama, kebutuhan fisik, yang terdiri dari makanan,

pakaian dan tempat berteduh. Anak yatim berhak memperoleh makanan

yang bergizi sehingga ia tumbuh sehat, juga berhak mendapatkan pakaian

dan tempat tinggal yang layak. Kedua, kebutuhan fasilitas, yang terdiri

dari sarana belajar dan sarana kesehatan. Anak yatim berhak memperoleh

24

Nur, Keajaiban Menyantuni, 115. 25

(39)

29

pendidikan setinggi-tingginya dan sarana kesehatan yang memadai.

Ketiga, kebutuhan emosional dan psikologis, yang terdiri dari

perhatian dan kasih sayang, pengakuan dan pujian, kesempatan

berekspresi, kesempatan berkompetisi, dan mengatasi kesulitan.26

Anak-anak yatim berhak mendapatkan berbagai perawatan dan

pendidikan sejak kecil hingga dewasa. Dalam hal perawatan dirinya, tentu

tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang dan pangan saja.

Akan tetapi, juga harus memenuhi kebutuhan hidup lainnya, seperti

obat-obatan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain. Kebutuhan jasmani juga harus

dipenuhi, begitu juga dengan kebutuhan rohani, sehingga anak dapat

tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun mentalnya. Selain itu, anak

yatim juga berhak mendapatkan pendidikan moral dan agama, agar tidak

terjerumus dalam hal-hal yang merusak akal mereka.27

Selain hak atas pendidikan dan perawatan diri, anak yatim juga

mempunyai hak atas harta yang ditinggal orang tuanya, pada zaman

jahiliah anak yatim diperlakukan seperti budak. Mereka tidak memiliki hak

apapun, tidak mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan warisan,

setelah Islam datang, agama ini memberikan peraturan yang protektif

terhadap masa depan anak yatim. Jika seorang anak ditinggal mati orang

tuanya, maka kaum kerabatnyalah yang mengurus hidupnya, namun jika

mereka tidak memiliki sanak famili, maka pemerintah dan umat Islamlah

yang mengambil alih tugas ini. Mereka tidak hanya bertanggung jawab

26

Shodiq, Santunilah Anak Yatim, 22-23 27

(40)

30

untuk merawatnya, namun juga harus mengurus hartanya, kelak jika anak

yatim telah dewasa, maka hartanya itu diserahkan sepenuhnya

kepadanya.28

Anak yatim memerlukan pemeliharaan dan pendidikan yang

dilakukan dengan penuh kasih sayang, agar mereka hidup bahagia,

berilmu, berbudi dan taat beragama serta sanggup berdiri sendiri dan

berjasa kepada lingkungannya. Apabila anak yatim mempunyai harta

warisan, hendaknya harta itu dipelihara dengan baik dan digunakan untuk

keperluannya secara patut.29

2. Pandangan Ulama’ Terkait pengelolahan Harta Anak Yatim

Pada dasarnya mengurus anak yatim merupakan kewajiban bagi

setiap orang yang paling dekat dengannya. Apabila orang yang terdekat itu

telah dapat melakukan kewajibannya mengurus anak yatim dengan

sebaik-baiknya, maka jatuhlah kewajiban dari yang lainnya yang dekat

dengannya. Akan tetapi, apabila orang yang paling dekat belum

mengurusnya atau mengurus tapi tidak mencapai sasaran, atau bahkan

menganiayanya, maka (yang lain) yang juga dekat dengan anak yatim itu

berhak untuk ikut campur memperbaiki keadaannya. Karena mengurus

anak yatim merupakan fardhu kifayah atas umat Islam. Apabila telah ada

yang mengurusnya, maka yang lain bebas dari kefardhuan.30

28

Ibid.,26. 29

Fachruddin, Ensiklopedia al-Qur’an, 568-569. 30

(41)

31

Ali al-Shabuni menukil pendapat al-Razi yang mengatakan, bahwa

harta adalah sesuatu yang bermanfaat yang dibutuhkan manusia. Karena

ada kesatuan bentuk, maka layak sekali kalau harta anak yang masih

belum cukup dewasa dinisbatkan kepada wali.31

Pengelolaan harta anak yatim dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Memelihara dan mengembangkan harta anak yatim

Mengelola harta anak yatim merupakan bagian integral dari

mengasuh atau mengurus mereka. Oleh karena itu, wali anak yatim atau

orang yang diwasiati mengelola harta anak yatim diperkenankan

mengembangkan harta mereka melalui berbagai kegiatan usaha atau

investasi yang sekiranya dapat mendatangkan keuntungan atau

kebaikan untuk masa depan anak yatim tersebut. Misalnya, berkoperasi

yang paling mudah atau untuk modal dalam perdagangan.32

Para ulama mempunyai perbedaan pandangan terkait mengelola

dan mengembangkan harta anak yatim. Perbedaan pandangan itu lebih

dikarenakan perbedaan dalam memaknai kata is>lah (berbuat baik)

pada anak yatim maupun pada hartanya. Kalangan madhab Sha>fi‘i>

menekankan bahwa mengembangkan harta anak yatim sesuai

kemampuan pengelola hukumnya wajib. Sementara kalangan Maliki

berpendapat, bahwa mengelola harta anak yatim dengan cara

31

Muhammad Ali al-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, terj. Mu’amal Hamidy dan Imron A. Manan (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), 371.

32

(42)

32

dikembangkan hukumnya sunnah, namun memelihara harta anak yatim

dengan segala cara adalah wajib hukumnya.33

Suatu modal harta itu tidak boleh didiamkan tersimpan, tidak

boleh statis tanpa berkembang. Allah menghendaki agar rizki itu

harus berupa keuntungan dari harta, bukan harta itu sendiri. Suatu

harta adalah modal dan rezeki adalah keuntungan yang dianjurkan oleh

syara’. Hal ini diperjelas lagi oleh sabda Rasulullah ”Ketahuilah barang

siapa yang memelihara anak yatim yang memiliki harta, maka

hendaklah ia memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan atau

didiamkan begitu saja sehingga harta itu akan habis karena sedekah

atau zakat”.34

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Isra>’ ayat 34:

ا

َ

لَغ

ا

ا َلܛَݘاْاݠُبَܱۡقَت

اِݗيِتَ

ۡٱ

ۡ

ا

اِܝا

لِإ

ا

ا ِت

اݕٱ

ا

اُعادُش

َ

ثاَُ݈ݖۡܞَياٰ اتَحا ُݚ َسۡح

َ

ثا َ ِِ

ا ۥا

اِܝا

ْاݠُفۡغَثَغ

ا ِدۡݟَ݇

ۡݕٱ

ا

ا انِإ

اَدۡݟَ݇ۡݕٱ

ا

ا ۡسَݘاَن ََ

اُلا

ا

لݠ

ه

٤

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.35

Selanjutnya firman Allah surat al-An‘a>m ayat 152 :

ا

َ

لَغ

ا

ا َلܛَݘاْاݠُبَܱۡقَت

اِݗيِتَ

ۡٱ

ۡ

ا

اِܝا

لِإ

ا

ا ِت

اݕٱ

ا

اُعادُش

َ

ثاَُ݈ݖۡܞَياٰ اتَحا ُݚ َسۡح

َ

ثا َ ِِ

ا ۥا

٢

33

Nur, Keajaiban Menyantuni, 124. 34

al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, 73-74. 35

(43)

33

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasaanya.36

Maksud mendekati harta anak yatim dalam ayat di atas, adalah

mempergunakan harta anak-anak yatim tidak pada tempatnya, atau

tidak memberikan perlindungan kepada harta itu sehingga habis sia-sia.

Namun Allah memberikan pengecualian, apabila untuk pemeliharaan

harta itu diperlukan biaya atau dengan maksud untuk

mengembangkannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus

anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar.

Oleh sebab itu diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk

mengurus harta anak yatim. Orang yang bertugas melaksanakannya

disebut wasiy (pengampu) dan diperlukan pula badan atau lembaga

yang mengurusi harta anak yatim. Badan atau lembaga tersebut

hendaknya diawasi aktifitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi

penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim

tersebut.37

Adapun menurut Sayyid Qut}b, orang yang mengurus anak yatim,

agar tidak mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang

terbaik, juga agar mengembangkannya, sehingga dapat menyerahkan

harta itu kepadanya secara penuh dan setelah berkembang menjadi

36

Ibid., 149 37

(44)

34

banyak, yaitu ketika anak tersebut mencapai kematangannya, baik

dalam kekuatan fisik maupun akalnya.38

Hamka menjelaskan, bahwa harta anak yatim sebaiknya

dijalankan, dicarakan dan diperniagakan agar tidak membeku, tentunya

tetap dikontrol dengan iman hingga anak yatim tersebut sampai dewasa,

yaitu sudah bisa memperedarkan hartanya sendiri. Ada juga ketentuan

syara’, walaupun sudah dewasa, tetapi safih (bodoh), maka wali berhak

memegang harta itu dan memberi belanja atau jaminan hidup bagi anak

atau orang dewasa yang bodoh tersebut.39

Firman Allah dalam surah Al-nisa’ ayat 5 :

ا

َ

لَغ

ا

ا ْاݠُتۡܖُت

اَءكܛَݟَف ُسلٱ

ا

ا ُݗُكَݕَٰوۡݘ

َ

ث

ا ِت

اݕٱ

ا

ا َݔََ݇ج

اُاّٱ

ا

اَغا ܛهݙٰ َيِقا ۡݗُكَݕ

اۡݗُݞݠُقُزۡرٱ

ا

اܛَݟيِف

اَغ

اۡݗُݞݠ ُسۡكٱ

ا

اܛهفغُܱۡ݇اݘا

لۡݠَقاۡݗُݟَلاْاݠُلݠُقَغ

ه

Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (yang tidak bisa mengelola harta benda), harta kamu (atau harta mereka yang ada dalam kekuasaan kamu) yang dijadikan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja (dalam harta itu) dan pakaian serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.40

Dalam al-Qur’an dan Tafsirnya dijelaskan, kata al-Sufaha>’

merupakan bentuk jama’ dari kata safi>h yang berarti tidak memiliki

kelayakan atau pengetahuan, bodoh, berakhlak buruk. Maksud kata

al-Sufaha>‘ dalam ayat di atas menunjukkan anak-anak yatim yang masih

38

Qut}b, Tafsi>r fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, 245. 39

Hamka, Tafsi>r al-Azha>r, , juz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas), 2004), 63. 40

(45)

35

dalam kurang pengetahuan atau kemampuannya untuk mengelola harta

yang menjadi haknya. Walaupun mereka sudah cukup umur untuk

mendapatkan harta yang menjadi haknya, namun karena keadannya itu,

sebaiknya harta tersebut tetap dikelola oleh walinya, karena

dikhawatirkan harta tersebut akan habis tanpa ada manfaat.41

Menurut al-Mara>ghi>, Qiya>man li Al-Na>s dalam ayat di atas

ditujukan kepada harta benda, bahwa dengan harta tersebut kebutuhan

dan perlengkapan hidup manusia bisa tegak selagi harta anak yatim

berada pada orang yang sudah dewasa, dapat membimbing dan

ekonomis. Yaitu mereka yang dengan baik mengivestasikan dan

menabungnya, sera tidak melewati batas dalam menginfakkan harta

benda.42

Sedangkan berkata-kata yang baik, adalah berkata terus terang

kepada anak yatim bahwa harta itu adalah milik mereka, wali hanya

menyimpan dan kelak akan mengembalikannya jika ia dewasa. Juga

memberi petuah dan nasihat kepada anak yatim yang safih agar tidak

menyia-nyiakan harta dan berlaku boros, juga wajib mengajari hal-hal

yang bisa mengantarkannya menuju kedewasaan.43

2. Penyerahan harta anak yatim

Pada saat wali menyerahan harta anak yatim kepadanya,

al-Qur’an secara tegas melarang wali melakukan kecurangan-kecurangan,

41

Kementerian Agama RI, , al-Qur’an dan Tafsirnya, 118. 42

al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, juz 4, 334-335. 43

(46)

36

misalnya dengan menukar harta anak yatim yang berkualitas dengan

yang tidak, meskipun sejenis, atau menggunakan harta mereka bersama

hartanya untuk kepentingan pengasuh atau pengelolanya.44

Firman Allah dalam surat Al-Nisa>’ ayat 2 :

اْاݠُتاَءَغ

ا

اى َمٰ َتَ

ۡٱ

ۡ

ا

ا ْاݠُلادَܞَتَتا

لَغا ۖۡݗُݟ

َ

َلَٰوۡݘَث

اَܣيِܞَ

ۡٱ

ۡ

ااِܝ

ا ِܜِّي اطݕٱ

ا

اى

َِإا ۡݗُݟ

َ

َلَٰوۡݘَثاْاكݠُݖُكۡܕَتا َلَغ

اُݝاݛِإا ۡݗُكِݕَٰوۡݘ

َ

ث

ۥا

ااهرِܞ

َكاܛهبݠُحاَنََ

٢

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar.45

Sayyid Qut}b mejelaskan, para wali agar memberikan harta

anak-anak yatim yang berada dalam kekuasaannya dengan tidak memberikan

harta yang jelek sebagai penukaran harta yang baik, seperti mengambil

tanah mereka yang subur ditukar dengan yang tandus, begitupun dengan

binatang ternak, saham-saham, uang, atau jenis harta apapun, yang di

antaranya ada yang baik dan ada yang buruk. Juga larangan memakan

harta mereka dengan mengumpulkannya dengan hartamu (wali), baik

semua atau sebagian. Karena tindakan yang demikian adalah dosa

besar.46

44

Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 45

Shihab, al-Qur’an dan Maknanya, 77. 46

(47)

37

Sebelum harta anak yatim diserahkan kepadanya, hendaknya

wali menguji kedewasaan mereka agar diperoleh kepastian bahwa

mereka benar-benar telah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas

segala tindakannya.47

Firman Allah dalam surah Al-Nisa>’ ayat 6 :

اْاݠُݖَܢۡبٱَغ

ا

اٰ َمٰ َتَ

ۡٱ

ۡ

ا

اْاݠُغَݖَܝااَذِإا ى اتَح

اَح ََِّلٱ

ا

اَفاا هد ۡشُرا ۡݗُݟۡݜِّݘاݗُܢ ۡسَناَءا ۡنِܗَف

اْاكݠَُ݇فۡدٱ

ا

اۡݗِݟۡ

َِۡإ

اۖۡݗُݟَلَٰوۡݘَث

Dan ujilah anak-anak yatim (dalam hal pengelolaan dan penggunaan harta) sampai mereka mencapai pernikahan. Maka jika kamu telah mengetahui adanya pada mereka kecerdasan, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.48

Menurut al-Maraghi menguji anak yatim dilakukan dengan

cara memberi sedikit harta untuk digunakan sendiri, apabila ia

mempergunakan dengan baik, berarti ia sudah dewasa. Karena yang

dimaksud dewasa disini adalah apabila ia telah mengerti dengan baik

cara menggunakan harta dan membelanjakannya. Hal ini sebagai tanda

bahwa ia berakal sehat dan berpikir dengan baik. Ujian ini terus

dilakukan sampai mereka mencapai umur baligh, yakni ketika mereka

sudah pantas membina rumah tangga. apabila wali merasakan dalam

diri mereka, terdapat-tanda-tanda kedewasaan, maka segera

memberikan harta mereka. Kemudian al- Mara>ghi menukil pendapat

47

Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an, 1107. 48

(48)

38

Imam Abu Hanifa bahwa memberikan harta anak yatim ialah jika

mereka telah mencapai umur dua puluh lima tahun, sekalipun belum

tampak dewasa (cara berfikirnya).49

Sebagian ulama mengatakan bahwa penyerahan kepada mereka

itu hendaknya dilakukan setelah mereka baligh dan sesudah

diperhatikan adanya rushd (kesempurnaan akal-dewasa). Menurut Ibnu

Jarir, ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata rushd pada ayat

di atas. Mujahid mengartikan berakal, Qatadah mengartikan berakal dan

beragama, Ibnu „Abbas mengatakan baik keadaannya dan dapat

menggunakan hartanya dengan baik.50

Menurut ulama fiqih, pengertian rushd terbagi atas tiga

pendapat yaitu: pertama, kematangan akal dan kemampuan memelihara

harta, ini pendapat jumhur ulama, seperti madhab Maliki, Hanbali,

Imam Abu Yusuf dan Muhammad dari madhab H}a>nafi, Ibnu

„Abba>s dan salah satu dari pendapat Imam Sha>fi’i>. Kedua,

kesalehan beragama dan kemampuan menjaga harta, ini pendapat

madhab Sha>fi’i>, al-Hasan dan riwayat dari Ibnu „Abba>s. Ketiga,

hanyalah kematangan akal bukan lainnya, ini pendapat madzhab

Abu Hanifah, Mujahid dan al-Nakha„i. Dari ketiga pendapat tersebut

pendapat (pertama) jumhurlah yang lebih kuat.51

49

al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi,> 338. 50

Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006), 198-199. 51

(49)

39

Referensi

Dokumen terkait

1) Berdasarkan pengolahan citra secara geometrik (luas) dan radiometrik (klasifikasi) untuk citra Pleiades 1A dengan skala 1:5.000 didapatkan jenis mangrove yang didominasi

Luna Haningsih,SE,ME selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang bermanfaat kepada

(3) Untuk kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi di Lini IV ke petani atau Kelompok Tani sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten

Apakah persepsi kemudahan pengguna berpengaruh terhadap persepsi kegunaan mahasiswa yang menggunakan e-learning di STIE Perbanas Surabaya4. Apakah persepsi kegunaan

Terdapat perbedaan efek penyisipan produk terhadap sikap atas merek produk ± produk/merek-merek yang tampil dalam acara televisi X Factor antara pemirsa dalam tiap kelompok

Pengamatan terhadap perkembangan embrio penyu lekang dari sarang semi alami di Lhok Pante Tibang Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh menemukan bahwa terdapat telur penyu

International guidelines for the management of catheter-associated UTIs (CA-UTIs) [25] recommend 7 days of antimicrobials in patients with prompt resolution of symptoms or 5 days

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah dan dewan guru, ada 6 faktor pendukung penerapan budaya sekolah islami dalam pembinaan akhlak siswa