• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROS Heriyanto, Leenawaty Limantara Proses agregasi dan foto fulltext

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROS Heriyanto, Leenawaty Limantara Proses agregasi dan foto fulltext"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES AGREGASI DAN FOTO-STABILITAS FUKOSANTIN DALAM CAMPURAN PELARUT ASETON DAN AIR

Heriyanto* and Leenawaty Limantara**

Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigment, Universitas Ma Chung, Malang, Jaw a Timur-Indonesia 65151

. *oho _pigment@yahoo.com, * * leenawaty. limantara(apnachung. ac. id

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah tmtuk mengetahui proses agregasi fukosantin dan menentukan kestabilan fukosantin terhadap perlakuan iradiasi pada berbagai perbandingan pelarut aseton dan air (10:0, 8:2, 5:5 dan 2:8, v/v). Larutan fukosantin dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang tertutup dan diiradiasi (4450 Lux, 42 "C) menggunakan 4 buah lampu bohlam (Philip, 100 W). Lama waktu penyinaran adalah 0, 10, 30, 40, 50, dan 60 menit. Pola spektra larutan fukosantin, sebelum dan setelah penyinaran, diukur menggunakan spektrofotometer UV-Tampak, MultiSpec-1501 (Shimadzu, Kyoto) pada panjang gelombang 300-600 run.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses agregasi fukosantin terjadi dalam campuran pelarut aseton dan air yang ditunjukan dengan perubahan pola spektra serapan fukosantin setelah ditambah dengan air. Agregat fukosantin jenis J yang terbentuk pada perbandingan pelarut aseton dan air 8:2 dan 5:5 (v/v) memiliki kestabilan yang lebih tinggi jika dibandingan dengan monomer fukosantin dalam pelarut aseton mumi dan agregat fukosantin jenis H pada perbandingan pelarut aseton dan air 2:8 (v/v) selama 60 menit perlakuan iradiasi dengan cahaya day light secara berturut-turut. Produk degradasi fukosantin dapat dideteksi secara kasar dari perbedaan spektra serapan dan identifikasi produk degradasinya dapat diperkirakan. Arab dan kecepatan penurunan atau kenaikan absorbansi fukosantin selama perlakuan iradiasi dianalisa dengan metode two-dimensional correlation spectroscopy (2D COS).

Kata kunci : Fukosantin, proses agregasi, fotostabilitas, aseton, air.

PENDAHULUAN

Sumber daya alam laut merupakan sumber pangan yang sangat melimpah karena didukung oleh kondisi perairan Indonesia yang kaya dan komplek [1], Salah satu sumber daya tersebut adalah rumput laut. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus, rumput laut dapat digolongkan menjadi rumput laut hijau (Chlorophyceae), rumput laut merah (Rhodophyceae) dan rumput laut coklat (Phaeophyceae) [2], Pada umumnya, rumput laut coklat telah dimanfaatkan sebagai sumber alginat namun pigmen yang terdapat pada alga coklat hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal [3].

Fukosantin mempakan karotenoid utama pada rumput laut cokelat. Fukosantin memiliki pengaruh yang menguntungkan pada kemopreventif kanker yaitu dengan menghambat pertumbuhan sel GOTO neuroblastoma manusia [4] dan mempengaruhi proses kematian sel pada eel HL-60 leukemia manusia [5], memiliki sifat sebagai antioksidan [6], antiobesitas [7], anti peradangan [8] dan anti diabetes [9].

(2)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW

industri pada karotenoid yang larut air terus meningkat sejak munculnya banyak paten formulasi karotenoid untuk pewama makanan dalam minuman ringan [10], Sekarang ini, sebagian besar dari pewama karotenoid berbasis air diproduksi dalam skala industri dan telah diformulasikan dengan makromolekul [11,12],

Cahaya mempakan salah satu komponen penting yang dapat mempengaruhi kestabilan pigmen [13], Kestabilan pigmen dapat dilihat dari penurunan absorbansi atau pembahan pola spektra dan secara visual dari perubahan wama larutan pigmen. Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses agregasi fiikosantin dan menentukan kestabilan fukosantin terhadap proses iradiasi pada berbagai perbandingan pelarut aseton dan air. •

Bahan dan Metode Bahan

Rumput laut cokelat, Padina australis, digunakan sebagai sampel untuk isolasi fukosantin, sedangkan pelarut yang digunakan adalah aseton (PA, Merck) dan akuades.

Metode

Ekstraksi dan Isolasi Fukosantin

Padina australis dipotong kecil-kecil, kemudian ditambah CaCOj sebagai agen penetral dan ditumbuk sampai halus dengan mortar. Selanjutnya sampel diekstraksi menggunakan campuran pelarut aseton dan metanol (3:7, v/v) selama 20 menit. Ekstrak disaring menggunakan kertas saring, kemudian filtrat yang diperoleh dipartisi dengan dietil eter dan ditambah larutan saturasi garam dapur serta air ledeng untuk memperjelas pemisahan. Lapisan atas yang mengandung ekstrak pigmen dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan dengan gas argon. Fukosantin diisolasi dari ekstrak kasar pigmen dengan kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel dan campuran pelarut heksana dan etil asetat sebagai fase geraknya.

Agregasi Fukosantin

Fukosantin dilamtkan dalam pelarut aseton dan absorbansi pada serapan maksimumnya disetarakan menjadi 1. Sepuluh mL larutan fukosantin dalam aseton dikeringkan dengan gas argon dan dilarutkan kembali dengan 10 mL campuran pelarut aseton dan air pada berbagai perbandingan (10:0, 8:2, 5:5 dan 2:8, v/v).

Iradiasi Fukosantin

Larutan fukosantin dimasukkan dalam tabung reaksi yang dapat ditutup dan diiradiasi (4450 Lux, 42 °C) menggunakan 4 buah lampu bohlam (Philip, 100 W) dengan lama waktu penyinaran adalah 0, 10, 30, 40, 50, dan 60 menit.

Spektroskopi

Pola spektra larutan fukosantin sebelum dan setelah penyinaran diukur menggunakan MultiSpec-1501, spektrofotometer UV-Tampak (Shimadzu, Kyoto) pada panjang gelombang 600-300 nm.

Analisa Data

(3)

IlASIL DAN PEMBAIIASAN A«re«asv Y uVosawUw

Po\a spektra fukosantin pada berbagai prosentase pel ana aseton dan air ditunjukkan pada Gambar 1. Pola spektra fukosantin mengalami penurunan absorbansi (Hipokromik), pergeseran serapan maksimum, struktur halus karotenoid menjadi tidak jelas dan terjadi pelebaran spektra setelah air ditambahkan sebagai campuran pelarut dengan aseton. Perubahan pola spektra ini menandakan bahwa fukosantin mengalami proses agregasi. Giovannetti et al. [14] menyatakan bahwa keberadaan air dalam larutan karotenoid merupakan salah satu kondisi untuk pembentukan agregat karotenoid. Banyak karotenoid diketahui mengalami agregasi dalam campuran larutan yang mengandung air karena gaya hidrofobik yang kuat [15].

Jelley [16] mengamati perubahan spektra serapan molekul yang beragregasi ditandai dengan pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang atau biasa disebut pergeseran ke arah merah, hal ini dihubungkan dengan penggabungan jenis longgar (jenis J atau kepala dengan ekor). Sedangkan pergeseran pola spektra scrap ke panjang gelombang yang lebih pendek atau ke arah biru menunjukkan penggabungan yang ketat disebut jenis H atau card-pack aggregate [17, 18],

A:W=10:0 A:\V=8:2 A:W=5:5 - A:W=2:8

// 443 V". - " t • >. \t- ®

/• • / W. o " /• '/ \ \\*. Bathochrontic _

\ Vjv.. Panjang gelombang / nm

Gambar 1. Pola spektra fukosantin pada berbagai perbandingan pelarut aseton dan air.

Pergeseran serapan maksimum yang khas dipengaruhi oleh proses agregasi jenis H atau J telah ditemukan pada beberapa karotenoid [15, 19, 20]. Pergeseran serapan maksimum fukosantin ke arah merah (446 menjadi 453 nm) menunjukkan bahwa fukosantin mengalami agregasi jenis H dalam perbandingan pelarut aseton dan air yaitu 5:5 (v/v) dengan semakin rendahnya prosentase aseton dalam air, sedangkan pada perbandingan pelarut 2:8 (v/v) terjadi pergeseran serapan maksimum ke arah biru (446 menjadi 443 nm) yang menandakan terjadi agregasi fukosantin jenis J. Keberadaan gugus hidroksi pada molekul karotenoid mendortmg pembentukan agregat jenis H, sedangkan agregat jenis J terbentuk ketika karotenoid tidak memiliki gugus fungsional pada cincin (misalnya: P-karoten) atau ketika pembentukan ikatan hidrogen dihambat oleh proses esterifikasi [19] dan perubahan pH [15].

Foto-stabilitas Fukosantin

(4)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW

isobestik, sedangkan pada perbandingan 2:8 (v/v) tidak terdapat titik isobestik. Titik isobestik merupakan titik dimana senyawa yang berbeda berada di dalam kesetimbangan. Keberadaan titik isobestik menandakan bahwa telah terbentuk produk degradasi fukosantin selama proses iradiasi yang ditandai dengan pergeseran serapan maksimum fukosantin ke arah biru, penurunan absorbansi pada serapan maksimum fukosantin dan teijadi kenaikan absorbansi pada panjang gelombang di bawah titik isobasetik. Ketiga bukti di atas merupakan ciri terbentuknya produk degradasi karotenoid dalam bentuk cis-isomer karotenoid [21]. Niedzwiedzki et al. [22] menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi cis-isomer violaxantin teijadi ketika diberi perlakuaan pencahayaan selama 5 menit dengan intensitas cahaya 250 pmol m"2 s"1.

Prosentase penurunan absorbansi pada serapan maksimum fukosantin selama 60 menit perlakuan iradiasi dalam pelarut aseton mumi, yaitu sebesar 52,3%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan fukosantin yang dilarutkan dalam pelarut aseton yang mengandung air, yaitu sebesar 34,0% dan 44,0% dengan perbandingan pelarut aseton dan air 8:2 serta 5:5 (v/v) secara berturut-turut. Pada perbandingan pelarut aseton dan air adalah 2:8 (v/v), prosentase penurunan absorbansinya lebih besar, mencapai 85,9% selama 30 menit perlakuan iradiasi. Berdasarkan hasil tersebut, agregat fukosantin jenis J memiliki kestabilan yang lebih baik dibandingkan dengan agregat jenis H. Hal ini disebabkan karena agregat jenis H terbentuk ketika tidak adanya ikatan hidrogen antara karotenoid dan pelarut yang mengandung air, sehingga agregat jenis ini memiliki kestabilan yang lebih rendah terhadap perlakuan iradiasi. Karotenoid yang berada dalam air sebagai larutan monomer atau agregat, memmjukkan perbedaan stabilitas dan reaktifitas [23, 24], Lavelli et al. [25] menyatakan bahwa peningkatan kandungan air pada bahan kering kemungkinan dapat meningkatkan laju oksidasi. Penurunan nilai aktifitas air sampai 6-11 % pada wortel menunjukkan terhambatnya pertumbuhan mikrobia, aktifitas ensimatik menjadi minimum dan kestabilan karotenoid menjadi maksimum.

0 inin 10 inin \ 30 min \ 40

mjn

\\ 50 min A — — 61) min

0 min fiO ^

k/ / \\\ 60 min

t i

0 mbi 10 min 30 min 40 min 50 min - — 60 min

m 60 min

0 min 10 min- 30 min 40 miir 0.8 — 50 min — — 60 min

0 min w

J// V\ \ u m /'448s-..V'.\

V. - \ * \V.\ 60 min vsX

- 0 mm 10 mm 30 min j 40 min-' — 50 min — — 60 min

Panjiins gclonihniig / nm Panjang gelombang / nm

(5)

Produk degradasi fukosantin selama perlakuan iradiasi dapat diidentifikasi secara kasar berdasar hasil perbedaan spektra serapan fukosantin pada 60 menit dengan 0 menit iradiasi (Gambar 3).

PV\

\\ v /:/ V /;

^ ^ ,

' A:\V=I0:0 A:W=8 A;W=5 A:\V=2

Panjang gelombang / nm

Gambar 3. Perbedaan spektra serapan fukosantin pada 60 menit dengan 0 menit perlakuan iradiasi pada berbagai perbandingan pelarut aseton dan air

Positif absorbansi yang terdapat pada perbedaan spektra serapan berasal dari serapan produk degradasi. Isomer cis karotenoid mudah terbentuk karena proses isomerisasi yang dipicu oleh cahaya, suhu, asam dan sebagainya [26]. Degradasi karotenoid oleh proses termal dan fotokimia mungkin menghasilkan isomer (trans, mono-cis dan di-cis) dan produk degradasi (komponen yang teroksidasi, komponen dengan rantai pendek yang mudah menguap dan tidak mudah menguap). Isomer cis tetap mempertahankan sifat wama dari karotenoid asalnya, sedangkan produk degradasi tidak berwama karena menghasilkan kromofor yang lebih pendek. Kestabilan karotenoid dan distribusi produk degradasi tergantung pada sifat medianya yaitu seperti kepolaran pelarut, kemampuan memberi dan menerima elektron, pH dan konsetrasi.

Two Dimensional Correlation Spectra

2D COS pertama kali diperkenalkan oleh Isao Nonda pada tahun 1986 [27], Pada saat ini penggunaan konsep 2D COS telah banyak ditemukan pada berbagai metode spektroskopi molekuler antara lain IR, NIR, Raman, fluoresensi, UV-Tampak dan RMI. 2D COS merupakan metode yang sangat berguna untuk mengekstrak informasi dari data spektroskopi. Terdapat 2 jenis spektra yang dihasilkan dalam metode 2D COS yaitu synchronous dan ansynchronous spektra. Pada spektrum synchronous, tanda positif (berwama putih) cross peak menunjukkan bahwa pembahan intensitas pada dua panjang gelombang dengan arah yang sama. Tanda positif cross peak pada asynchronous spektrum memiliki arti bahwa p'erub'ahan spektra pada panjang gelombang ke-I terjadi lebih cepat dibandingkan pada panjang gelombang ke-2. Tanda negatif cross peak pada synchronous dan asynchronous spektra mengindikasikan hasil yang berlawanan [28].

(6)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW

perubahan intensitas pada autopeak ke-1 dan autopeak ke-2 dengan arah yang sama diamati pada synchronous spektrum fukosantin pada perbandingan pelarut aseton dan air 2:8 (v/v), dimana tanda cross peak adalah positif (berwama putih) (Gambar 4d). Perubahan intensitas ini juga dapat diamati dari pola spektra fukosantin selama perlakuan iradiasi.

449 _ _ »„

Omm //

Ims p fW*

• iiu i1 "! I

is -X X iO ^ O <J") f— O u") -r • >} *7 sti o s s s

rO eO yi o m o up Q r4 r-<- O t-i in -7 *T T u") w")

Panjang gelombana / nm Panjang gelombang / nm

- 0.4

Panjang gelombang, nm Panjang gelombang

4. Synchronous spectra dan pola spektra fukosantin selama 60 memt perlakuan iradiasi pada berbagai perbandingan aseton dan air 10:0 (a), 8:2 (b), 5:5 (c), dan 2:8 (d) (v/v). Puncak positif pada synchronous spektrum adalah puncak yang berwarna putih.

(7)

Informasi yang akan diperoleh dan ansynchronous spektrum adalah iriormasi mengenai kecepatan penurunan atau peningkatan intensitas antara dua buah puncak. Gambar 5 memperlihatkan ansynchronous spektra fukosantin selama 60 menit perlakuan iradiasi pada perbandingan pelarut asetondan air 10:0 (v/v).

i

S v.

o o in o ro -i

Vl

Gambar 5. Ansynchronous spektrum (bawah) dan pola spektra (atas) fukosantin selama 60 menit perlakuan iradiasi pada perbandingan pelarut aseton dan air 10:0 (v/v). Puncak positif pada ansynchronous spektrum adalah puncak yang berwarna putih.

Tanda positif cross peak (lingkaran putih) menunjukan bahwa perubahan intensitas pada v, terjadi sebelum V2. maka puncak pada 474 nm mengalami penurunan intensitas yang lebih cepat jika dibandingkan dengan puncak yang terdapat pada 408 dan 426 nm serta mengalami penurunan intensitas yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kenaikan intensitas pada 333 nm. Hal yang sama juga diamati untuk puncak pada 450 nm, dimana puncak ini mengalami penurunan intensitas yang lebih cepat jika dibandingkan dengan puncak pada 425, 402 dan 381 nm serta penurunan intensitas yang lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan intensitas pada 364 dan 333 nm. Puncak pada 334 nm mengalami kenaikan intensitas yang lebih cepat dibandingkan dengan puncak pada 349 nm. Hasil analisa ansynchronous spektrum menunjukkkan bahwa penurunan intensitas fukosantin khususnya pada 474 dan 450 nm lebih cepat dari kenaikan intensitas yang terjadi pada daerah di bawah titik isobestik yaitu pada 334 nm. Hal ini mengindikasikan bahwa isomer cis fukosantin bukan merupakan satu-satunya produk degradasi fukosantin, namun terdapat juga turunan fukosantin yang lain.

Kesimpulan

1. Fukosantin mengalami agregarasi dalam campuran pelarut aseton dan air yang ditandai dengan perubahan pola spektra serapannya, ditunjukkan dari pergeseran dan penurunan intensitas serapan maksimum, pelebaran spektra serap dan ketidak jelasan struktur halus pola spektrum fukosantin.

(8)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SAINS DAN PENDIDIKAN SAINS UKSW

jika dibandingkan dengan monomer flikosantin (52,3%) dalam pelarut aseton mumi dan agregat fukosantin jenis H (68,6%).

4. Isomer cis fukosantin dan senyawa tidak berwama yang memiliki ikatan terkonjugasi pendek mempakan produk degradasi fukosantin selama perlakuan iradiasi.

5. Perubahan intensitas yang teijadi pada pola spektra fukosantin selama proses iradiasi dapat diamati dengan synchronous spektrum pada 2D COS.

6. Ansynchronous spektrum pada 2D COS memberikan informasi mengenai penumnan intensitas fukosantin khususnya pada 474 dan 450 nm lebih cepat jika dibandingkan dengan kenaikan intensitas yang terjadi pada daerah dibawah titik isobestik yaitu pada 334 nm.

UCAPAN TERIiMA KASIH

Dana penelitan didukung oleh Hibah Kompetensi (Tahun ke-1, 2010-2011) dan Hibah Penelitian Ma Chung II (2010).

Daftar Pustaka

[1] Handayani, T., Sutamo dan A.D. Setyawan. 2004. Analisis Komposisi Nutrisi Rumput Laut Sargassum crassifolium IJ. Agardh, Biofarmasi 2(2), 45-52.

[2] Susanto, A.B. 2008. Apa Yang Terdapat Dalam Rumput Laut. http://www.dkp.go.id diakses 14.00 WIB 29 April 2008.

[3] Bachtiar, E. 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut (Alga) Sebagai Biotarget Industri, Makalah. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jatinangor. Bandung

[4] Okuzumi, L, H. Nishino, M. Murakoshi, A. Iwashima, Y. Tanaka, T. Yamane, Y. Fujita, and T. Takahashi. 1990. Inhibitory effects of fucoxanthin, a natural carotenoid on N-myc expression and cell cycle progression in human malignant tumor cells, Cancer Lett. 55,75-81.

[5] Hosokawa, M., S. Wanezaki, K. Miyauchi, H. Kurihara, H. Kohno, J. Kawabata, S. Odashima and K. Takahashi. 1999. Apoptosis-inducing effect of fucoxanthin on human leukemia cell line HL-60, Food Sci. Technol. Res. 5, 243-246.

[6] Yan, X., Y. Chuda, M. Suzuki and T. Nagata. 1999. Fucoxanthin as the Major Antioxidant in Hijikia fusiformis, a Common Edible Seaweed, Biosci. Biotechnol. Biochem. 63(3), 605-607.

[7] Maeda, PL, M. Hosokawa, T. Sashima, K. Funayama and K. Miyashita. 2005. Fucoxanthin from edible seaweed, Undaria pinnatifida, shows antiobesity effect through UCP1 expression in white adipose tissues, Biochem. Biophys. Res. Commun. 332,392- 397.

[8] Shiratori, K., K. Ohgami, 1. Ilieva, X.H. Jin, Y. Koyama, K. Miyashita, S. Kase and S. Ohno. 2005. Effects of fucoxanthin on lipopolysaccaride-induced inflammation in vitro and in vivo, Exp. Eye Res. 81,422-428.

[9] Maeda, H., M. Hosokawa, T. Sashima and K. Miyashita. 2007. Dietary combination of fucoxanthin and fish oil attenuates the weight gain of white adipose tissue and decreases blood glucose in obese/diabetic KK-Ay mice, J. Agric. Food. Chem. 55,7701-7706. [10] Bauemfeind, J.C. and R. Howard. 1956. Water dispersible carotenoid compositions and

process of making the same. US 2,861,891.

[11] Inamura, I., M. Isshiki and T. Araki. 1989. Solubilization of P-Carotene in Water by Water-Soluble Linear Macromolecules, Bulletin of the Chemical Society of Japan 62(5),

1671-1673.

[12] Lockwood, S.F., S. O'Malley and G.L. Mosher. 2003. Improved aqueous solubility of crystalline astaxanthin (3,3_-dihydroxy- , -carotene-4,4_-dione) by Captisol (sulfobutyl ether -cyclodextrin), J. Pharm. Sci. 92, 922—926.

(9)

[14] Giovannetti, R., L. Alibabaei and F. Pucciarelli. 2009. Kinetic model for astaxanthin aggregation in water-methanol mixtures, Spectrochimica Ada Part A 73, 157-162. [15] Billsten, H.H., V. Sundstrom and T. Polivka. 2005. J. Phys. Chem. A 109, 1521.

[16] Jelley, E.E. 1936. Spectral absorption and fluorescence of dyes in the molecular state, Nature 1009-1010.

[17] Kasha, M. 1963."Energy-transfer mechanisms and the molecular exciton model for molecular aggregates, Radiat Res. 20, 55-71.

[18] Kasha, M., H.R. Rawls and M.A. El-Bayoumi. 1965. The exciton model in molecular spectroscopy, Pure Appl. Chem. 11, 371-392.

[19] Simonyi, M., Z. Bikadi, F. Zsila and J. Deli. 2003. Supramolecular exiton chirality of carotenoid aggregates, Chirality 15, 680-698.

[20] Avital, S., V. Brumfeld and S. Malkin. 2006. A micellar model system for the role of zeaxanthin in the non-photochemical quenching process of photosynthesis-Chlorophyll fluorescence quenching by zanthophylls, Biochim. Biophys. Acta, 1757, 798-810.

[21] Britton, G., S. Liaaen-Jensen and H. Pfander. 1995a. Carotenoids. Volume IB: Spektroscopy. Birkhauser Verlag, Switzerland.

[22] Niedzwiedzki, D., Z. Krupa and W.I. Gruszecki. 2005. Temperature-induced isomerization of violaxanthin in organic solvents and in light-harvesting complex II. [23] Luddecke, E., A. Auweter and L. Schweikert. 1998. Use of carotenoid aggregates as

colorants, EP 930022.

[24] Sliwka, H.R., T.B. Melo, B.J. Foss, S.H. Abdel-Hafez, V. Partali, G. Nadolski, H. Jackson and S.F. Lockwood. 2007. Electron- and energy transfer properties of hydrophilic carotenoids, Chem. Eur. J. 13, 4458-4466.

[25] Lavelli, V., B. Zanoni and A. Zaniboni. 2007. Effect of water activity on carotenoid degradation in dehydrated carrots, Food Chemistry 104, 1705-1711.

[26] Britton, G., S. Liaaen-Jensen and II. Pfander. 1995b. Carotenoid Volume 1A: Isolation and Analysis. Birkhauster Verlag, Basel, Switzerland.

[27] Noda, I. 1986. Bull. Am. Phys. Soc. 31, 520.

Referensi

Dokumen terkait

dikumpulkan. Reduksi data meliputi pengkategorian dan pengklasifikasian. Semua data yang telah terkumpul diseleksi dan dikelompok- kelompokkan sesuai dengan fokus data yang

Berdasarkan hasil analisis data penelitian diketahui bahwa terdapat persamaan antara bentuk bullying yang paling sering dilakukan oleh pelaku maupun dialami oleh

Dalam pengembangan usaha kedepan, selain telah memiliki PI existing, yaitu Blok Cepu dan Blok Madura Offshore, juga masih diupayakan untuk memperoleh PI-PI yang lain yang beroperasi

Namun demikian, ditemui beberapa kultivar lokal yang memiliki jumlah anakan dan jumlah anakan produktif yang lebih banyak dibandingkan dengan Dodokan sehingga berpotensi untuk

Selain itu, pada penelitian kali ini hanya digunakan satu faktor, yaitu sikap terbuka atau self disclosure , sehingga pada penelitian selanjutnya dapat digunakan lebih dari

Dalam penelitian ini karena tujuan penelitiannya adalah ingin mengetahui pengaruh intervensi nonfarmakologi dan farmakologi terhadap penurunan intensitas nyeri pada

Oleh karena itu, kebijakan moneter di suatu negara harus mencerminkan kondisi ekonomi sementara negara tersebut serta kondisi ekonomi yang diharapkan kedepannya

[r]