• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Usaha Pasca Konflik T2 092010007 BAB IV"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK DI JAILOLO

“ Konflik ini,... kita di Jailolo adalah imbas dari tragedi Ambon dan Malifut,... dan kemudian mengalir dari Tidore

terus ke Ternate dan akhirnya kembali lagi ke Halmahera (Jailolo).1

Kekerasan Sektarian : Orang Jailolo di adu, agama jadi pukaunya

Dominasi M uslim Dan Kristen Pada Desa-Desa Di Jailolo

Sejak tetasnya konflik di Jailolo pada 1 Januari 2000 peperangan itu sudah dalam bentuk pertarungan antar penganut agama yakni islam dan kristen. Terkait istilah yang menunjuk pada kedua kelompok agama tersebut akan digunakan istilah, ‘sarani’ dan ‘salam’.

Orang ‘Sarani’ menunjuk pada penganut agama kristen, selain itu dipakai juga kata ‘nasrani’ yang masih menunjuk pada komunitas yang sama yaitu penganut agama kristen.

Begitu sebaliknya sebutan orang ‘salam’, subjek kata ini menunjuk pada penganut agama Islam yang kerap kali disebut orang

‘muslim’, sehingga kedua kata ini akan dipergunakan bergantian untuk

menunjuk penganut agama islam.

Penyebutan orang ‘sarani’ dan ‘salam’ dalam pandangan orang Jailolo maupun Sahu tidak semata menunjuk pada identitas kelompok, tetapi kedua kata ini juga sebagai penanda yang menunjuk pada wilayah huni tempat tinggal mereka sebagai suatu kesatuan dalam alam pikir orang Jailolo juga Sahu.

1 Roni Muluwere adalah Ketua Posko Pengungsi di desa Akediri ketika konflik terjadi.

(2)

64

Seperti dikemukakan oleh Urbanus Balatjai2 (W awancara,

7 Desember 2012), M elkias Baura3 (Jailolo,7 Desember 2012), maupun

Alson Boga4 mantan kepala desa Loce kecamatan Sahu Timur

(W awancara, 8 Desember 2012).

Sebelum warga Transmigrasi yang datang dari Jawa maupun warga lokal masuk dan menetap di dataran pedalaman Jailolo dan Sahu, wilayah ini seluruhnya diduduki oleh suku-suku pribumi yang ada di bagian Barat Halmahera diantaranya, suku W ayoli, Sahu, Tabaru dan suku Loloda, dominan yang beragama ‘Sarani’.

Sebaliknya di bagian wilayah pesisir pantai didiami oleh suku-suku pendatang dari pulau-pulau kecil yang berada di selatan barat pulau Halmahera seperti Suku Ternate, Tidore, M akian, Bacan maupun Suku Sanana.

Di antara mereka itu, juga terdapat suku-suku pribumi Halmahera Barat, seperti suku W ayoli, Sahu, Tabaru maupun suku Loloda yang beragama islam.

Selain suku-suku yang disebutkan terakhir itu terdapat juga beberapa suku-suku non pribumi M aluku Utara seperti suku Jawa, Bugis, maupun Gorontalo, Buton, temasuk Cina.

Sekalipun terdapat berbagai suku-suku pribumi M aluku Utara yang ada di pantai perdesaan Jailolo bahasa daerah yang dipergunakan adalah bahasa Ternate sebagai bahasa pengantar dalam interaksi keseharian mereka.

Sebaliknya bahasa Indonesia formal dipakai di sekolah dan kantor-kantor pemerintah.

2

Urbanus Balatjai, adalah warga desa Porniti, salah satu tokoh suku W ayoli. Ketika upaya rekonsiliasi di Jailolo I a tergabung dalam tim rekonsiliasi, yang dikenal dengan Tim 30. Tim ini beranggotakan 15 tokoh muslim dan 15 tokoh Kristen, sehingga jumlahnya menjadi 30. Pososo dalam tim ini I a dipercayakan sebagai bendahara tim.

3 Melkias Baura, adalah salah satu tokoh masyarakat di desa Bukumatiti. Ketika

rekonsiliasi, I a termasul salah satu anggota dari tim 30.

4

(3)

65

Tetapi kondisi ini, tidak serta merta meniadakan penggunaan bahasa suku-suku non pribumi, penggunaan bahasa mereka terbatas pada kalangan sesuku. Begitu juga komunikasi dalam bahasa Indonesia terjadi antar komunitas beda suku yakni pribumi dan non pribumi.

Hal yang membanggakan bagi suku-suku pribumi maupun non pribumi adalah, apabila mereka dapat berkomunikasi tidak hanya dalam bahasanya sendiri, melainkan bisa bercerita denga suku-suku lain dalam bahasa mereka.

M asih menurut Urbanus Balatjai (W awancara,7 Desember 2012), M elkias Baura (W awancara,7 Desember 2012), maupun Alson Boga (W awancara, 8 Desember 2012), menuturkan bahwa sekalipun kita berjumpa dengan orang yang belum kita kenal baik di pasar atau berpapasan di jalan, kita bisa mengetahui orang tersebut beragama apa khusunya untuk orang pribumi. Hal itu bisa diketahui dari bahasa yang dipergunakan atau mengetahui wilayah tempat tinggalnya.

Jika berbahasa Ternate, kuat dugaan bahwa ia adalah orang

salam atau beragama islam, tentu bertempat tinggal di pesisir pantai.

Begitupun sebaliknya jika dalam tegur sapa pada suatu perjumpaan atau mendengar percakapan sekumpulan orang, jika menggunakan bahasa Sahu,W ayoli,Tabaru atau Loloda, hal itu menguatkan dugaan bahwa agamanya tentu sarani dan pasti bertempat tinggal di pedalaman atau desa bukan pantai.

Inilah realita yang terjadi dalam interaksi penduduk di desa-desa pesisir pantai dan pedalaman (bukan pantai) yang ada di Jailolo, kondisi ini juga terjadi di Kecamatan-kecamatan lain di Halmahera Barat yakni Sahu, Ibu maupun Loloda.

Kenyataan permukiman penduduk Jailolo yang terbagi dalam dua wilayah huni yakni desa pantai dan bukan pantai, terdapat sisi lain

yang menarik untuk diamati yaitu, penyebaran agama.

(4)

66

Hal yang sama juga terjadi pada desa-desa pedalaman (bukan pantai) penganut agama kristenpun tumbuh dengan pesat, dan menjadi komunitas yang dominan di pedalaman Jailolo.

Penggambaran penyebaran penduduk dan dominasi masing-masing penganut agama islam dan kristen pada desa-desa pantai dan bukan pantai, selengkapnya digambarkan dalam Tabel. 1 berikut ini.

Tabel. 1

Penyebaran Desa-Desa Di Kecamatan Jailolo Ber dasarkan Letak Pantai Dan Bukan Pantai, Dan Berdasarkan Agama Yang Di Anut Penduduk Sebelum Konflik Terjadi Tahun 2000

Data penelitian diolah Tahun 2013

Jumlah desa pantai yang penduduk beragama muslim dan nasrani = 8 desa

(5)

67

Jumlah desa bukan pantai yang penduduknya beragama muslim dan nasrani = 3 desa

Jika kita melihat perbandingan antara desa-desa pesisir dan desa-desa di pedalaman (bukan pesisir) yang ada dikecamatan Jailolo seperti yang terdapat pada Tabel 1, setidaknya terdapat 15 desa pantai dan 13 desa bukan pantai dari 28 desa di Jailolo5 (Jailolo, 2012). Dari

15 desa pantai, 6 desa diantaranya merupakan desa muslim, sedangkan desa kristen yang berada di pesisir pantai hanya ada 1 desa.

Kemudian desa-desa pantai yang penduduknya beragama muslim dan nasrani terdapat 8 desa.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk desa-desa yang ada di pesisir pantai Jailolo didominasi oleh desa-desa yang penduduknya beragama muslim.

Sebaliknya untuk 13 desa bukan pantai (pedalaman), diantaranya terdapat 9 desa yang penduduknya beragama nasrani, dan hanya ada 1 desa muslim. Sedangkan untuk desa bukan pantai yang penduduknya beragama islam dan kristen terdapat 3 desa. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk desa-desa bukan pantai (pedalaman) didominasi oleh desa-desa yang penduduknya beragama ‘nasrani’.

Penyebaran penduduk dan dominasi penganut kedua agama yang terkonsentrasi pada desa-desa pantai dan bukan pantai di Jailolo sebelum terjadinya kerusuhan, merupakan salah satu celah yang memudahkan konflik dengan cepat tersulut. Di samping persaingan usaha, maupun perebutan kesempatan kerja dan pengisian posisi-posisi strategis di pemerintahan.

Potensi-potensi konflik yang terbenam dibalik kesenjangan-kesenjangan tersebut, akhirnya mendapat ruang ekspresinya pada momen pemekaran daerah dengan spiritnya otonomi daerah. Kondisi-kondisi inilah yang memungkinkan konflik sektarian dengan mudah terjadi.

(6)

68

M engikrar Janji, M engasa Pedang

M emetakan konflik Jailolo dalam skala lokal gugusan kepulauan M aluku, dan M aluku Utara, terdapat beragam cerita dengan versi dan sudut pandangnya masing-masing. Namun menarik apa yang dikemukakan oleh Ronis M uluwere, Ia melihat keterkaitan konflik Jailolo memiliki jalinan yang saling kait mengkait.

M enurutnya konflik yang terjadi di Ambon secara berturut-turut hampir sepanjang 1999, tidak hanya menyebabkan pengungsian ke M aluku Utara. Tetapi bersamaan dengan itu pengalam konflik, sinisme dan kebencian terhadap kelompok orang yang berbeda keyakinan juga dibawah serta ketempat dimana mereka mengungsi.

Karena itu ketika konflik perebutan wilayah antar suku pribumi Kao dengan suku M akian yang terjadi berturut-turut sejak 18 - 20 Agustus 1999, kemudian disusul pada 24 Oktober sampai 9 November 1999, telah mengakibatkan korban jiwa maupun harta benda di kedua belah pihak dalam jumlah yang sangat besar.

Konflik yang dipicu karena pemekaran wilayah yang ditempati suku M akian menjadi kecamatan M alifut oleh pemerintah kabupaten M aluku Utara, menyebabkan protes suku Kao sebagai komunitas pribumi yang berujung pada perang terbuka. Dampak dari konflik tersebut menyebabkan suku M akian tergusur dari Malifut dan memilih mengungsi ke Ternate dan Tidore.

(7)

69

Kemudian selang beberapa hari dari peristiwa di Tidore tepatnya pada 6 - 9 November 1999 konflik serupa terjadi di Ternate. Konflik ini juga dipicu karena beredarnya isu di kalangan muslim Ternate bahwa, golongan nasrani telah merencanakan penyerangan terhadap komunitas muslim di kota tersebut. Konflik yang terjadi di Ternate tak terhindarkan juga memakan korban jiwa maupun harta benda para minoritas kaum nasrani dan orang Tionghoa. Kedua komunitas yang terakhir disebutkan ini akhirnya mengungsi ke M anado, Bitung maupun ke desa-desa kristen yang ada di Halmahera, selain ke Tobelo, ada juga yang memilih ke Jailolo.

Kekerasan sektarian yang terjadi di Ternate dan Tidore akhirnya merembet ke desa-desa dibagian selatan Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Gelombang kekerasan inipun menyumbang pengungsi warga kristen ke wilayah Utara Halmahera yakni Tobelo, termasuk Jailolo dan kecamatan lain di bagian Barat Halmahera yang penduduknya beragama nasrani.

Kedatangan warga kristen Tidore, Ternate, maupun mereka yang mengungsi dari selatan Halmahera, disadari telah berkontribusi menaikan tensi warga nasrani Jailolo. Di tengah Kondisi yang tenang namun mencekam itu, akhirnya menjadi tegang ketika isu dan selebaran yang digulirkan di Ternate dan Tidore di import secara sengaja ke Jailolo.

M enurut TS dan M F6, selebaran tersebut lebih kencang

digembos pada komunitas muslim Jailolo, Sahu, Ibu maupun Sidangoli. Lebih lanjut keduanya menuturkan bahwa, setelah selebaran itu digandakan di toko mereka oleh salah satu pekerjanya, selebaran itu kemudian didistribusikan melalui sopir-sopir angkutan umum yang seiman untuk diedarkan ke pada warga muslim yang ada di wilayah Sahu, Ibu dan Sidangoli.

Selain selebaran, ada juga isu yang sangat menegangkan di kalangan kristen. Isu yang dimaksud ialah, berupa sayembara

6 TS dan MF adalah pengusaha Tionghoa. Sebelum konflik terjadi mereka tinggal dan

(8)

70

pencarian kepala pemuka agama kristen yakni Pendeta atau Pastor. Bagi yang berhasil mendapatkannya akan dihargai persatu kepala 20 – 60 juta rupiah. Isu ini mendapat tanggapan serius dari golongan

nasrani, sehingga mengantisipasi rencana tersebut aktifitas para

pimpinan agama Kristen akhirnya mendapat pengawalan ketat warganya. Demikian kata Yosias M asipupu (W awancara,27 Juni 2013)

Cerita duka dari konflik sebelumnya yang dibawah pengungsi korban kerusuhan, makin menambah kecurigaan kedua komunitas di Jailolo. Ketika selebaran dan isu tersebut secara masif digulirkan, akhirnya potensi konflik di Jailolo perlahan mulai terlihat dari riak dan ruah kedua komunitas.

Ketika eskalasi konflik makin meningkat di penghujung tahun

1999, akhirnya pemerintah kecamatan bersama M USPIKA

(M usyawarah Pimpinan Kecamatan) berinisiatif melakukan suatu pertemuan yang melibatkan semua elemen masyarakat yang ada di Jailolo pada, 21 Desember 1999. M enurut M elkias Baura, pertemuan ini bermaksud mencegah terjadinya konflik, karena itu lewat pertemuan tersebut lahirlah kesepakatan antar kedua belah pihak untuk tidak saling menyerang, dan bersama-sama mencegat penyusupan pihak-pihak luar masuk dan melakukan profokasi (W awancara, 7 Desember 2012).

Tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, menurut kesaksian Yosias M asipupu masing-masing komunitas memberlakukan jam malam, karena itu dibangunlah pos penjagaan di setiap batas desa lengkap dengan palang penghalangnya (W awancara,26 Juni 2013).

Upaya pencegahan yang diinisiatif oleh pemerintah kecamatan itu, juga melibatkan Kesultanan Ternate yang di hadiri oleh H.M udaffar Syah. Namun beberapa saat setelah usai pertemuan itu, setelah Sultan Ternate kembali ke Ternate, munculah isu pendaratan pasukan putih di pesisir pantai barat desa M arimabati.

(9)

71

tersebut tidak benar, demikian kata M elkias Baura (W awancara, 7 Desember 2012).

Isu pendaratan pasukan putih di desa M arimabati, juga di benarkan oleh Yosias M asipupu, menurutnya isu tersebut berhembus sesaat setelah pertemuan di desa Gufasa pusat ibu kota kecamatan Jailolo. Ketidak benaran isu pendaratan itu mereka terima dari pasukan adat kesultanan Ternate yang ada di Jailolo ketika mereka kembali dari M arimabati untuk memastikan kebenaran isu tersebut (W awancara, 27 Juni 2013).

Sekalipun kesepakatan telah dibuat antara komunitas kristen dan muslim pada pertemuan pertama di ibu kota kecamatan, yang juga melibatkan Sultan Ternate sebagai penguasa teritorial kesultanan atas wilayah Utara dan Barat Halmahera, nampaknya tidak mempan meredam gejolak di antara kedua pihak. M akin memburuknya situasi di penghujung tahun 1999, menurut M elkias Baura (wawancara,7 Desember 2012) akhirnya mendorong pemerintah kecamatan kembali melakukan pertemuan kedua pada, 31 Desember 1999.

Pada pertemuan itu Camat Jailolo bersama Komendan Koramil dan juga unsur M USPIKA berupaya untuk mencegah gejolak konflik yang mulai terlihat di antara kedua komunitas. Pertemuan kedua ini dilakukan di desa Tuada yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama ketiga desa bertetangga yakni desa Bukumatiti, Todowongi dan desa Tuada.

Dalam pertemuan itu camat Jailolo sebagai pimpinan wilayah, menegaskan kepada semua perwakilan yang hadir dalam pertemuan itu, bahwa Ia menjamin konflik tidak akan terjadi di wilayah Jailolo.

(10)

72

Konflik ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan pembumi hangusan desa tersebut, dan menyebabkan warga Tuada tergusur dari kampung halamannya.

Upaya mencegat terjadinya konflik antara komunitas muslim dan kristen di Jailolo, tidak hanya datang dari inisiatif pemerintah kecamatan, namun ada juga yang lahir dari kesadaran kedua komunitas. Hal ini terjadi pada desa I damdehe Gamsungi, salah satu desa di bagian barat dataran tinggi kaki gunung Togoaer Jailolo.

Di desa ini, kata Poli Sapulete (W awancara, 24 Januari 2013), komunitas kristen dan muslim merupakan saudara ‘sedarah’. Karena hubungan tersebut, akhirnya kedua pihak bersepakat untuk membuat perjanjian di antara mereka, perjanjian itu antara lain tidak membolehkan saling serang menyerang, dan menjaga keamanan jika salah satu pihak menjalankan ibadah. Komitmen itu sempat berjalan sejak Desember 1999, hingga 3 Januari 2000.

Sayangnya kesepakatan itu tidak bertahan hingga konflik usai, kejatuhan muslim Tuada dan tergusurnya warga nasrani Soakonora seakan mengusik komitmen kedua komunitas bersaudara itu. Sebelum komunitas muslim Idamdehe Gamsungi dilibatkan dalam penyerbuan ke desa Bobo, perempuan, anak-anak, dan para lansia sudah diungsikan ke desa Bobo,dan Payo yang berada di balik Gunung Togoair.

Hal itu terjadi setelah kabar kematian ko San W owor mantan kepala desa Soakonora terdengar oleh komunitas muslim Idamdehe Gamsungi.

Puncaknya dalam penyerbuan ke desa Bobo oleh warga nasrani

pada 7 Januari 2000, yang melibatkan muslim Idamdehe Gamsungi sebagai penunjuk jalan dalam penyerangan itu, akhirnya berbalik dan menyerang rombongan itu, sehingga peperangan di antara mereka tak terhindarkan.

(11)

73

berunding, namun para laskar menajamkan pedang dan anak panah sebagai senjata untuk bertahan jika diserang, dan sebaliknya meyerang apabila diserang, demikian slogan pembelaan yang sering terdengar ketika itu.

Akhirnya upaya mencegat konflik ibarat siasat, untuk menudungkan kebencian yang terpatri sebagai akibat dari upaya profokasi pihak-pihak yang menginginkan kekacauan terjadi di bumi seribu pulau ini.

Keyakinan dibela, saudara ‘dibelah’

Konflik yang terjadi di Jailolo pada awal tahun 2000, sedari mula tetasnya sudah dalam bentuk perang antar kelompok agama, yang melibatkan penganut agama islam dan kristen. Konflik sektarian ini tidak spontan terjadi atau kebetulan terjadi, sebab konflik ini memiliki tahapan erupsi sebelum memuncak pada perang terbuka.

Dari informasi yang diperoleh ketika mewawancarai para informan, terlihat bahwa konflik di Jailolo bergerak dari ranah perang tertutup yang ditandai dengan isu dan selebaran, hingga kemudian memuncak pada reaksi perang terbuka sebagai tanggapan atas isu dan selebaran itu.

M enurut BM7, ada dua isu yang paling santer di Jailolo ketika

itu untuk memprofokasi muslim Jailolo. Pertama. M emanfaatkan konflik yang terjadi Ternate. Dimana konflik itu terjadi karena, berhembus isu adanya rencana penyerangan oleh warga nasrani terhadap warga muslim yang ada di kota itu. Rencana penyerangan inilah yang kemudian di jadikan isu di Jailolo bahwa orang nasrani memiliki agenda terselubung, karena itu mereka harus diperangi untuk menggagalkan maksud tersebut.

7

(12)

74

Dari isu Inilah kemudian dijadikan alasan untuk memerangi warga kristen yang ada di Ternate dan memaksa mereka leluar dari kota itu.

Kedua. Adanya selebaran atas nama Ketua Sinode Gereja Protestan M aluku (GPM ) yang meminta agar umat kristiani di M aluku Utara melakukan pembalasan terhadap warga muslim. Inilah selebaran yang akhirnya memicu kekerasan terhadap warga kristen yang ada di Tidore, dan menyebabkan mereka terusir dari daerah itu. Kekerasan yang dipicu karena selebaran itu telah menyebabkan salah satu Pendeta GPM terbunuh.

Kedua hal ini dalam pandangan BM sangat kencang digulirkan sebagai isu di kalangan muslim Jailolo, untuk mengobarkan kebencian dan membangunkan rasa solidaritas sesama muslimin untuk bangkit dan menegakkan syahadat keimanannya (W awancara, 7 Desember 2012).

Gerak antusias menggandakan dan menyebarkan selebaran yang terbukti mampu mengompori fanatisme dan solidaritas agama khususnya dikalangan muslim Jailolo, juga dibenarkan oleh TS dan M F8. M enurut mereka berdua surat edaran atas nama ketua sinode

GPM itu digandakan oleh salah satu anak kerja mereka yang menangani usaha foto copy. Karena merasa curiga pekerja itu memberitahukan kepada majikannya kalau surat yang digandakan itu adalah selebaran atas nama ketua sinode yang ceritanya sudah menyebar di kalangan nasrani sebagai isu yang meresahkan.

Sehari setelah surat itu diberikan untuk digandakan oleh seorang pemuda muslim, keesokan harinya ia kembali untuk mengambil surat tersebut, surat-surat itu kemudian dititipkan pada sopir-sopir yang beragama muslim untuk didistribusikan ke pada warga

8 TS dan MF adalah inisial informan yang peneliti wawancarai di salah satu kota di

(13)

75

muslim lainya di wilayah Sidangoli, Sahu, maupun ke kecamatan Ibu, kata TS dan MF.

Sebaliknya isu yang beredar dikalangan nasrani dan langsung mendapat respon proteksi terhadap para pimpinan gereja (Pendeta, Pastor, dan Gembala), ialah beredarnya isu bahwa 1 kepala pendeta orang nasrani dihargai 20 – 60 Juta rupiah bagi mereka yang berhasil mendapatkannya, menurut Yosias M asipupu (W awancara, 27 Juni 2013).

Isu inilah yang membuat proteksi terhadap pemimpin gereja ditingkatkan, kediamannya dan tempat ibadah diawasi secara bergantian, aktifitas pendetapun tidak terlepas dari pengawalan warga jemaatnya. Jika memperhatikan isu yang beredar di kalangan muslim maupun kristen, terlihat bahwa isu-isu tersebut kental bernuansa SARA, keduanya sama-sama bermaksud mengadudombakan warga muslim dan nasrani di Jailolo.

Karena itu menurut Roni Muluwere (W awancara,10 Desember 2012) konflik yang terjadi di Jailolo merupakan imbas dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya baik yang terjadi di Ambon maupun yang terjadi di M aluku Utara sendiri.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalau konflik di Ambon, M alifut, Ternate maupun di Tidore dapat dicegah, kemungkinan konflik di Jailolo atau wilayah-wilayah lain di Halmahera mustahil dapat terjadi.

(14)

76

Selain itu, penamaan masing-masing pasukan dari kedua kelompok yang berkonflik itu, tak lepas dari spirit yang mengakar pada agama yang dianutnya, seperti ‘Laskar Kristus’ untuk kelompok nasrani, dan ‘Laskar Jihad’ untuk kelompok islam. Penggunaan nilai-nilai agama yang diimani oleh kedua pihak yang berkonflik, telah membuat konflik ini diyakini sebagai konflik agama. Dengan membuat konflik Jailolo betul-betul sebagai konflik agama, kepada kita telah dipertontonkan bahwa konflik yang terjadi pada ranah ini sensitifitasnya sangat tinggi dan mampu meretas hubungan-hubungan

basudara’ (bersaudara), sesuku, maupun sebangsa.

Prahara Konflik Jailolo

Eksodus Dan M igrasi ke Akediri

M elihat dominan agama dan sebaran hunian penduduk di Jailolo, yang terbagi atas dua wilayah permukiman yakni, desa pantai dan bukan pantai, dimana untuk desa-desa pantai penduduknya dominan beragama muslim, dan sebaliknya untuk desa bukan pantai didominasi oleh penduduk yang beragama nasrani lihat (Tabel.1). M enurut M elkias Baura (wawancara, 7 Desember 2012) kerusuhan pertama kali pecah di Jailolo pada 1 Januari 2000 diperkirakan pada jam 10 pagi. Pertempuran itu terjadi antara masa muslim desa Tuada melawan gabungan warga nasrani desa Todowongi dan Bukumatiti yang berakhir dengan penaklukan masa muslim Tuada pada jam satu siang.

(15)

77

Di wilayah Jailolo sendiri konsentrasi pengungsi yang eksodus dari kampung halamanya, terbagi dalam dua wilayah migrasi yakni, ke wilayah pedalaman atau daerah bukan pantai dan di pesisir pantai Jailolo pusat ibu kota kecamatan. Jika melihat dominasi kedua kelompok yang bertikai ini pada dua karakteristik wilayah hunian mereka seperti terdapat pada Tabel.1.

Nampaknya pergerakan gelombang pengungsi yang eksodus itu, mengikuti pola dominasi yang telah terbentuk itu, dimana warga yang beragama muslim lebih memilih mengungsi ke desa-desa pantai, karena di wilayah ini didominasi oleh penduduk yang seagama dengan mereka.

Sedangkan warga nasrani yang berada di desa-desa pantai sebaliknya memilih mengungsi ke desa-desa bukan pantai, sebab pada wilayah tersebut dikuasai oleh penduduk yang seiman dengan mereka. Dalam arak-arakan komunitas Kristen yang eksodus ke desa Akediri itu, turut serta om Yon Flory, dan kemudian disusul oleh bu Damis Pasuma bersama anak dan istrinya.

Hal ini mereka lakukan karena ketidak jaminannya keamanan, karena itu Akediri desa dimana terdapat satu Kompi TNI-AD, menjadikan desa ini menjadi tujuan pengungsian yang didominasi oleh warga Kristen Jailolo dan sebagian kecil komunitas muslim desa Akediri dan Acango yang tidak mengungsi ke pesisir Jailolo atau ke Ternate.

M emang tidak semua warga muslim dan nasrani terkonsentrasi di Akediri, melainkan sebagian warga nasrani memilih menempuh perjalanan mengungsi ke W ilayah-wilayah sekitar Halmahera Utara yang didominasi warga nasrani, seperti ke Kecamatan Ibu, Kao, Tobelo, bahkan ada yang keluar Halmahera yakni ke Bitung dan M anado bahkan sampai ke Jawa.

(16)

78

pantai, daerah yang di kuasai oleh golongan mereka, tetapi ada juga yang memilih bertahan di markas militer khususnya di Asrama TNI-AD Kompi ‘B’ Yonif 732 Banau Akediri. Selain itu ada juga yang memilih mengungsi ke Ternate, Tidore, maupun daerah-daerah lain di M aluku Utara yang di kuasai oleh kelompok muslim, bahkan ada yang memilih ke luar dari M aluku Utara, mereka itu ada yang memilih ke M akasar, Jawa dan wilayah-wilayah lain yang lebih aman.

Konflik sektarian di Jailolo yang diyakini sebagai rangkaian dari konflik-konflik sebelumnya yang berawal dari konflik agraris di M alifut, dan kemudian mengalami pergeseran substansial konflik ke ranah perang agama, terlihat ketika gelombang pengungsian itu menetap di Ternate dan Tidore.

Perang antar komunitas kristen dan dan muslim yang terjadi baik di Ternate dan Tidore, tidak hanya menyebabkan eksodusnya komunitas Kristen ke Jailolo (Akediri) dan daerah-daerah lain di Halmahera yang dikuasai komunitas nasrani.

Tetapi situasi yang tidak stabil di Ternate dan juga Tidore yang dikuasai oleh komunitas muslim, tidak serta merta memberi harapan usaha yang baik, malah sebaliknya menimbulkan kegelisahan dan ketidaknyamaan berusaha, seperti diceritakan oleh om Ibrahim(Aba) dan Alimin Sabri.

M enurut om Aba, ketika warga muslim makin padat terkonsentrasi di Tidore dan khususnya Ternate, Ia kemudian kehilangan tempat berjualan. Toko yang Ia tempati bukanlah miliknya, karena itu ketika pemiliknya mendesak untuk mendiami bangunannya om Aba akhirnya harus keluar dari toko tersebut.

(17)

79

ketika konflik mulai meredah, dan wilayah yang dituju adalah desa Akediri pusat pengungsian yang didominasi oleh komunitas nasrani (W awancara,26 Januari 2013).

Langkah yang sama juga dilakukan oleh Alimin Sabri. Ketika peluang usaha di Ternate makin tinggi persainganya, ditambah bisnis penjualan pakaian yang I a jalani sejak tiba di Ternate pada tahun 1990 hingga terjadi kerusuhan, Ia hanya mengikuti saudaranya dan membantu berjualan pakaian milik saudaranya.

Selain di Ternate, Alimin juga diajak untuk berjualan ke Tobelo pada setiap bulan Desember, alasanya kecamatan Tobelo selain sebagai pusat komunitas nasrani wilayah ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu kota dagang yang tebilang cukup ramai.

Tetapi ketika konflik terjadi, dan kompetisi usaha di Ternate makin ketat, serta pasar di Tobelo dikuasai oleh komunitas Kristen paskah kolfik, dapat dikatakan bahwa pihak muslimlah merupakan komunitas yang terbesar mengalami kerugian, baik materiil maupun korban jiwa. M engetahui adanya peluang usaha di Akediri, akhirnya Alimin Sabri memutuskan untuk migrasi ke desa ini, mengikuti pedagang-pedagang Gorontalo yang telah duluan berjualan di pasar Akediri paskah rusuh, tutur Alimin kepada peneliti (W awancara,26 Januari 2013).

Kalau ditelusuri kisah om Aba dan Alimin Sabri, datang ke Ternate hal itu dapat dikatakan bahwa ini merupakan bentuk migrasi. Dimana kerabat atau saudara, dan teman yang telah duluan bermigrasi ke Ternate dan sukses berdagang, kemudian kembali dan membawa kerabat atau anggota keluarga yang lain.

(18)

80

Kehidupan sebagai anak petani, dan rendahnya pendidikan menyebabkan keduanya tidak dapat mengakses pekerjaan kantoran. Kondisi ini hanya memungkinkan mereka terserap pada sektor informal, sehingga ketika ada ajakan untuk berdagang ke Ternate dari kerabat maupun teman mereka yang sesuku, tawaran itu dilihat sebagai jalan untuk merobah kehidupannya. Karena itu bermigrasi dan menjadi pedagang di Ternate merupakan pilihan untuk keluar dari kerentanan yang mereka alami di Kampung halamannya di Gorontalo Alimin Sabri, (W awancara, 26 Januari 2013), Ibrahim (W awancara,26 Januari 2013).

Konflik yang telah menyebabkan pengelompokan penduduk berdasarkan golongan agama, baik di Ternate, Tidore maupun wilayah-wilayah lain di M aluku utara, secara khusus di Jailolo kedua komunitas ini terbagi menjadi dua bagian tempat yakni pantai yang muslim dan Kristen di pedalaman. Pola migrasi pedagang asal Gorontalo maupun maupun tindakan eksodus warga Kristen dan muslim Jailolo, keduanya merupakan respon terhadap situasi rentan yang mereka hadapi pada tingkatan dan konteks yang berbeda.

Jika dilihat pola pergerakan pengungsi Kristen yang melakukan eksodus ke Akediri, dapat dikatakan bahwa hal itu cenderung mengikuti komunitas yang mendominasi tempat tersebut. Seperti komunitas Kristen di wilayah pedalaman dan muslim di desa-desa yang berada di pesisir pantai Jailolo.

Begitupun juga dengan pola migrasi yang dilakukan oleh om Abad dan Alimin, kedatangannya ke Ternate bukan secara kebetulan, atau tanpa spontan dilakukan. M elainkan mereka mengikuti kerabat atau kenalan yang sesuku, yang telah duluan bermigrasi dan sukses membagun usaha di Ternate. Cerita manis ini tentu menjadi pikat ditengah tipisnya harapan untuk mencapai tingkat kehidupan yang memadai ditanah asal.

(19)

81

di Ternate menyebabkan mereka memutuskan untuk melakukan migrasi ke Akediri.

M andeknya Layanan Publik

Ketika konflik pecah di Jailolo pada awal tahun 2000, kondisi pemerintahan di M aluku Utara berada dalam masa yang masih belia, belum ada pejabat Gubernur yang definitif, baru pada tahun 2003 setelah di adakan pemelihan kepala daerah baru daerah ini memiliki pemimpinnya yang definitif.

Tetapi pesta demokrasi pemilihan kepala daerah pertama itu, tidaklah berjalan mulus, melinkan tak terhindarkan harus menempuh perjalanan panjang untuk mendapat ketetapan hukum pada peradilan M ahkama Konstitusi RI di Jakarta.

Ketika Kabupaten M aluku Utara di tingkatkan statusnya menjadi Propinsi M aluku Utara pada tahun 1999, daerah ini baru memiliki dua kabupaten dan satu kota. Kabupaten M aluku Utara dengan ibu kotanya di Pulau Ternate, sedangkan Kabupaten Halmahera Tengah ibu kota kabupatennya berkedudukan di W eda, dan untuk Kota Ternate tetap berada di pulau Ternate.

Jadi secara administrasi kecamatan Jailolo berada dalam lingkup Kabupaten M aluku Utara yang ibu kotanya berkedudukan di Ternate, posisi ibu kota kabupaten ini tidak bergeser sebelum maupun setelah terjadi pemekaran daerah khusunya penentuan pusat ibu kota Kabupaten.

(20)

82

Sebaliknya kedudukan pusat pemerintahan Kecamatan Jailolo berada di wilayah pesisir yang didominasi oleh warga penduduk yang beragama muslim.

Ketika konflik terjadi dan menyebar ke seluruh desa-desa di Jailolo, dan menyebabkan penduduknya terpecah ke dalam dua wilayah berdasarkan golongan keyakinannya. Kondisi ini berdampak langsung terhadap aktifitas perkantoran dan layanan publik baik di tingkat kecamatan, maupun ke Kabupaten yang saat itu berkedudukan di kota Ternate, sebagai daerah yang lebih duluan mengalami konflik sebelum akhirnya menjalar ke Jailolo.

Pegawai maupun masyarakat yang beragama nasrani tidak bisa beraktifitas ke pusat kecamatan apalagi harus ke ibu kota kabupaten, hal yang sama juga terjadi bagi mereka yang muslim hanya bisa beraktifitas dilingkungan yang mereka kuasai.

Bagi para pegawai maupun pensiunan yang beragama nasrani, kondisi ini sangat berpengaruh terhadap mereka, sebab gaji dan tunjangan pensiunan mereka menjadi tersendat. Situasi ini menurut BR9 (W awancara. 10 Desember 2012), dan Amus Titirloby

(W awancara. 11 Desember 2012) akhirnya melahirkan perantara untuk mengurus hak-hak para pegawai dan pensiunan.

Ditengah tekanan kebutuhan akhirnya biaya atas jasa perantara itu menjadi tak terelakan lagi, meski ada bantahan bahwa mereka tidak mematok atas jasa mereka. Para perantara itu adalah oknum anggota militer aktif yang beragama muslim, yang masi bertugas di Kompi ‘B’ Yon 732 Banau Akediri ketika itu.

Inilah kondisi yang terjadi ketika konflik maupun paska konflik di Jailolo, di tengah-tengah kondisi yang tidak stabil itu hanya para militerlah yang bisa memiliki akses dan mampu menembus batas-batas yang memisahkan kedua belah pihak yang bertikai. Peluang inilah

(21)

83

yang membuka ruang terjadinya hubungan yang berpotensi menimbulkan biaya atas jasa, yang diberikan.

Asap Dan Darah M enyumbat Gerbang Perdagangan

Kedudukan Ternate yang strategis, selain sebagi pusat ibu kota pemerintahan baik Propinsi maupun Kabupaten M aluku Utara, pulau ini juga merupakan gerbang perdagangan di kawasan M aluku Utara.

Ketika konflik sektarian terjadi di wilayah ini, hal itu menyebabkan warga nasrani yang berdiam di kota ini akhirnya memilih untuk mengungsi ke daerah-daerah lain yang lebih aman, baik di sekitar M aluku Utara, Bitung maupun ke M anadao, bahkan ada yang sampai mengungsi ke pulau Jawa. Situasi itu menyebabkan trauma bagi warga nasrani untuk datang ke Ternate paska konflik dan penggusuran warga nasrani dari kota ini.

Ketika konflik yang terjadi di Ternate berhasil dirembetkan ke Jailolo, hal itu tidak hanya menyebabkan aktifitas layanan publik terhenti, melainkan juga telah mengakibatkan terputusnya jalur perdagangan baik laut maupun darat. Secara khusus di Jailolo pusat pemerintahan maupun pusat perdagangan, semuanya terkonsentrasi di wilayah pesisir yang di kuasai oleh kelompok muslim Jailolo.

Sehingga dermaga Jailolo sebagai jalur perdagangan tidak berfungsi dengan baik, bahkan tertutup bagi warga nasrani, begitu juga dengan jalur perhubungan darat di selatan Jailolo yang menghubungkan daerah ini dengan wilayah-wilayah lain di Halmahera tidak dapat diakses.

(22)

84

Barat. Kondisi yang tidak stabil itu juga menyebabkan para pengusaha keturunan Tionghoa yang menetap di sentra perdagangan Jailolo pergi meninggalkan kota ini.

M enurut TS dan M F (W awancara,7 Agustus 2013) setidaknya terdapat 13 kepala keluarga pengusaha keturunan Tionghoa di pusat ibu kota kecamatan Jailolo. Lanjut mereka berdua dari semua pengusaha yang ada di Jailolo, dapat di katakan bahwa pengusaha cinalah yang menguasai aktifitas perdagangan. M ereka ini menguasai pembelian hasil pertanian, seperti kopra, pala, kakao dan cengkih. Selain itu mereka juga sebagai pemasok terbesar bahan pangan maupun material konstruksi bangunan, dan kebutuhan hidup lainya.

Konflik yang terjadi di Jailolo telah menyebabkan para pengusaha non pribumi ini meninggalkan Jailolo, ada yang mengungsi ke Akediri, tetapi ada juga yang mengungsi ke Bitung, M anado, dan bahkan sampai ke pulau Jawa seperti TS dan M F. M elihat kekerasan sektarian baik yang terjadi di Ternate maupun di Jailolo, keduanya telah menyebabkan mandeknya perekonomian di kedua wilayah ini.

Terjadinya kelangkaan sejumlah kebutuhan bahan pokok di Jailolo, sebagai akibat dari terhentinya aktifitas perdagangan baik dari dan keluar Ternate maupun dari Jailolo ke Ternate ataupun sebaliknya.

Jika ada, aktifitas tersebut membutuhkan pengawalan pihak militer atau Kepolisian. Sebab pelayaran tersebut penuh resiko penyergapan dan penembakan ditengah laut atau pada dermaga yang tertutup bagi komunitas lain. Dalam situasi yang demikian hanya M iliterlah dan Kepolisian yang dapat menembus batas-batas wilayah konflik yang memisahkan kedua pihak yang bertikai.

Perdamaian Bersyarat

(23)

85

penyerangan dilakukan silih berganti, dengan menyisihkan waktu jedah antar satu peristiwa ke peristiwa berikutnya. Pola konflik yang berjalan dalam ritme demikian, mengindikasikan konflik ini memiliki tujuan yang dituju.

Jika laskar jihad menyerang, serangan itu akan dibalas kemudian oleh pasukan merah, begitu sebaliknya, jika pasukan merah berinisiatif menyerang, pasukan putih akan membalas dikemudian hari. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa terkadang rencana penyerangan telah diketahui pihak yang menjadi terget penyerangan. Bocornya rencana penyerangan itu tak tanggung-tanggung datang dari oknum aparat yang bertugas menjaga keamanan.

Selain itu ada juga peretas informasi dari internal komunitas yang bekerjasama dengan pihak yang dianggap sebagai musuh, sehingga rencana penyerangan tersebut telah diketahui lebih dahulu oleh pihak yang menjadi target penyerangan. Demikianlah konflik Jailolo bergulir mengikuti pola seperti ditunjukan itu.

Konflik yang bergulir mendekati pertengahan tahun 2000 itu, akhirnya memasuki masa-masa reda menjelang pertengahan tahun hingga penjajakan rekonsiliasi pada April 2001. W alaupun masih terdapat gangguan-gangguan keamanan yang sering terjadi, namun hal itu tidak sampai berujung pada penyerangan besar-besaran.

Peledakan bom-bom rakitan, maupun

penembakan-penembakan yang menggunakan Speed Boat terhadap warga kristen di pesisir pantai Sahu maupun Ibu, lebih sebagai gangguan-gangguan psikologis untuk menghambat aktifitas mereka, baik sebagai nelayan maupun ketika berlayar ke Bitung atau ke Tobelo.

(24)

86

membarterkan ikan hasil tangkapanya dengan ubi, pisang dan hasil-hasil kebun milik warga nasrani. Kehadiran mereka ini pada M aret 2000, ini menunjukan bahwa konflik tidak sepenuhnya dikehendaki oleh semua pihak yang bertikai.

antara para penjual ikan dan pedagang hasil-hasil kebun di pusat pengungsian Akediri, telah membuka kemungkinan terjalinnya komunikasi yang terputus karena konflik.

Ketika upaya pemenuhan kebutuhan hidup kedua komunitas yang bertikai tak terbendung lagi, akhirnya memaksa kedua pihak harus bertemu untuk menyatakan damai. Kalau melihat isu SARA yang dipakai sebagai dasar menggulirkan konflik di Jailolo, yang lebih kental menggunakan simbol-simbol agama, baik kristen maupun muslim.

Dapat dikatakan bahwa tidak hanya menunjukan adanya persoalan laten antar kepentingan penganut muslim dan nasrani, tetapi persoalan kesempatan kerja, jabatan, tanah, maupun kesempatan usaha menjadi persoalan yang tersirat dalam goresan tuntutan yang diajukan komunitas muslim Jailolo.

Upaya perdamaian yang dijejaki pada April 2001, oleh pihak nasrani di respon tanpa bersyarat yang memihak pada komunitasnya, melainkan lebih pada kepentingan hidup bersama kedua komunitas. Sebaliknya inisiatif berdamai yang diajukan oleh golongan muslim Jailolo memiliki beberapa kekecualian di dalamnya.

(25)

87

Kedua. W arga muslim Jailolo juga sepakat bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bukan penduduk asli Jailolo (suku Ambon) yang terlibat dalam konflik horisontal untuk segera dipindahkan dari Jailolo.

Sedangkan yang ketiga, mereka menyatakan menerima pengusaha non pribumi (Tionghoa), terkecuali bagi yang terindikasi bermasalah di kecamatan Jailolo. Inilah tiga syarat yang dinilai oleh pihak nasrani tak memiliki dasar yang kuat, kata Pak Urbanus Balatjai selaku bendahara Tim rekonsililiasi (W awancara,7 Desember 2012).

M enurut Pak Banus Balatjai, yang berhak menolak warga Soakonora adalah orang dari Suku W ayoli, mereka itu ada yang beragama muslim dan kristen. Lebih lanjut Ia katakan bahwa wilayah desa Soakonora ini masih berada dalam wilayah adat suku W ayoli, buktinya ada air W ayoli10. Bantahan demi bantahan yang dikemukakan

oleh pihak nasrani akhirnya dapat diterima oleh pihak muslim Jailolo.

Semua tuntutan yang tak dapat dibuktikan kebenaranya akhirnya sepakat direvisi, sehingga dengan demikian rekonsiliasi dapat ditindak lanjuti dalam wujud yang lebih kongkrit, yakni berdamai dan sepakat melakukan pemulangan pengungsi, serta pembinaan-pembinaan spiritual maupun olahraga yang melibatan kedua pihak yang berkonflik di Jailolo.

Untuk mencegah masuknya paham-paham yang dapat merusak perdamaian yang masih terlalu belia itu, kedua komunitas sepakat untuk menggunakan tokoh-tokoh agama lokal yakni Pendeta dan Ustat sebagai narasumber ketika melakukan ceramah dalam forum bersama.

10 Air Wayoli adalah salah satu sumber mata air yang berada di desa Soakonora.

(26)

88

Gambar

Tabel. 1 Penyebaran Desa-Desa Di Kecamatan Jailolo Berdasarkan Letak Pantai Dan Bukan Pantai, Dan

Referensi

Dokumen terkait

Type 4 X 2 Automatic Bensin GAGAL karena tidak ada Penawaran yang lulus (memenuhi Syarat). pada

Saran yang diajukan dalam penelitian ini yaitu pihak pengelola diharapkan selalu meningkatkan atas kelengkapan fasilitas atau peralatan yang digunakan untuk

[r]

Skripsi dengan judul “ Analisis Kesenjangan Pendapatan Kota/Kabupaten Propinsi Jawa Timur 2008 - 2012 ” adalah hasil karya saya, dan dalam naskah skripsi ini tidak

Sehubungan dengan dasar dan hasil tersebut diatas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Pengadilan Negeri Arga Makmur Tahun Anggaran 2011 mengumumkan Pemenang

This study aims to determine the pattern of achievement in sports coaching in Yogyakarta, knowing the pattern of performance of the sport organizations, knowing

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara