• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warta Tenure Edisi 6

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Warta Tenure Edisi 6"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Reducing Emissions from Deforestation and

Degradation in Developing Countries

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Negara Berkembang

Oleh : Dr. Ir. Nur Masripatin, MSc

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyediakan informasi umum tentang isu deforestasi dan degradasi hutan dalam perubahan iklim serta sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada berbagai pihak di Indonesia mengenai perkembangan penanganannya di level nasional dan internasional.

Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD di negara berkembang) adalah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (sovereignty).

Menurut data dari World Resource Institute (WRI, 2000) yang dikutip dalam Stern Report disebutkan bahwa deforestasi menyumbang sekitar 18% terhadap emisi gas rumah kaca (green house Gases/GHGs) global. Dari 18% kontribusi emisi tersebut, 75% di antaranya berasal dari deforestasi di negara berkembang. Sementara itu emisi dari deforestasi di negara berkembang diperkirakan akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan keperluan pembangunan lainnya, apabila tidak ada intervensi kebijakan (policy approaches and positive incentives) yang memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan nasionalnya.

Mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan dalam rangka mitigasi perubahan iklim dibawah UNFCCC/Kyoto Protocol yang melibatkan negara berkembang sampai saat ini baru terbatas pada A/R CDM (peningkatan kapasitas penyerapan/penyimpanan carbon melalui kegiatan tanam menanam). Sedangkan REDD baru dalam tahap persiapan pelaksanaan pilot percobaan/demonstration activities dan dalam proses penyiapan perangkat hukum pelaksanaan REDD. Baik A/R CDM maupun REDD merupakan kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Pada saat COP-11 di Montreal tahun 2005, Costarica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara yang tergabung dalam Koalisi Pemilik Hutan Tropis (Coalition for Rain Forest Nations/CfRN) mengajukan proposal tentang insentif untuk

avoided deforestation. Kemudian pada COP-13 di Bali tahun 2007 lalu telah berhasil disepakati beberapa hal penting antara lain terkait aspek scientific, teknis dan metodologi, serta pertukaran informasi. Diharapkan pada COP-15 tahun 2009 mendatang di Denmark dapat dicapai kesepakatan mengenai modality, aturan dan prosedur implementasi REDD.

?

Apa itu REDD

(2)

Beberapa Catatan dari Kesepakatan/keputusan COP-13 tentang REDD

 COP-13 telah menghasilkan keputusan tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang. REDD juga merupakan bagian penting dari aksi mitigasi perubahan iklim dalam “Bali Action Plan

 Dalam “Bali Action Plan”, disamping negara maju yang harus memenuhi kewajiban peningkatan target

penurunan emisi dan membantu negara berkembang (capacity building, technology transfer, financial) dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklik ke dalam perencanaan nasional dan sectoral planning

 Beberapa butir penting dari keputusan COP-13 yang memerlukan tindak lanjut segera maupun terjemahan lebih lanjuta untuk implementasinya di Indonesia antara lain:

REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignty),

Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities,

Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative guidance untuk pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional (Pemerintah Pusat) dan sub-nasional (pelaksana di daerah)

Bagaimana sebaiknya kita menterjemahkan hasil COP-13?

REDD masih dalam proses negosiasi di COP-UNFCCC (menyangkut policy approaches: REDeforestasi dan Degradasi sudah disepakati, konservasi masuk bagian negosiasi ke depan; positive incentives: mekanisme pasar atau non pasar; sumberdaya yang diperlukan, metodologi, tata cara implementasi REDD). Sementara itu efektivitas REDD akan sangat tergantung pada komitmen negara Annex B (negara industri) untuk meningkatkan target penurunan emisi GHGs.

Di tingkat nasional beberapa hal memerlukan penanganan antara lain adalah:

 Penguasaan/penyiapan metodologi/architecture dan strategi REDD, telah disiapkan melalui studi IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) tahun 2007, dalam proses ini juga diidentifikasi gaps serta tindak lanjut yang diperlukan: (a) REDD harus memenuhi persyaratan internasional di bawah UNFCCC dan sesuai dengan kebijakan dan prioritas nasional, (b) metodologi untuk menentukan reference emissions level/baseline, penghitungan carbon dan monitoring sebagai dasar untuk perhitungan pengurangan emisi/penghitungan insentif, harus credible, (c) strategi untuk implementasi REDD harus menjamin bahwa mekanisme REDD memberikan manfaat bagi Indonesia

(3)

sumber penghidupan), dan ekonomi (menurunnya kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional). Untuk itu sudah semestinya Indonesia dapat meminimalkan kerusakan hutan yang antara lain dapat dilakukan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu REDD yang merupakan mekanisme internasional dapat mendukung upaya Indonesia dalam mencapai tujuan reformasi yang telah/sedang dilakukan di sektor kehutanan, baik melalui aliran dana, peningkatan kapasitas, maupun transfer teknologi.

Biaya REDD

Upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi memerlukan biaya yang di luar kemampuan dana domestik kebanyakan negara berkembang. Biaya-biaya tersebut a.l. opportunity costs (biaya untuk kompensasi bagi pemilik hutan atas nilai kegiatan yang paling menguntungkan) , implementation costs (biaya yang diperlukan untuk perbaikan perencanaan dan pengelolaan), administrative costs (biaya operasional), dan transaction costs (biaya untuk penggalangan dana, negosiasi dengan partner, monitoring, approval). Berdasarkan hasil analisis Union of Cocerned Scientists (UCS) tahun 2008, total biaya implementasi, administrasi, dan biaya transaksi sekitar US $ 1 untuk penurunan emisi per ton CO2. Sedangkan opportunity costs menurut berbagai sumberberkisar antara US$ 1.84 - 18.86 per ton penurunan emisi CO2.

Skema REDD

REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah SBSTA/COP-Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk aspek teknis/metodologis, sedang mengenai aspek kebijakan termasuk pendanaan masih menjadi bagian dari pembahasan di Ad Hock Working Group on Long-Term Cooperative Action (AWG_LCA). Dengan demikian, perdagangan carbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang terjadi (bila ada) adalah melalui pasar sukarela (voluntary market). Inipun juga belum jelas apakah kredit yang diperoleh pembeli dapat diperjual-belikan dalam

compliance market nantinya.

UCS (2008) memperkirakan akan ada 3 macam pendekatan pendanaan REDD yaitu :

1. Direct Carbon Market, perusahaan di negara industry membeli kredit REDD untuk emissions allowance dalam sistem cap-and-trade di negerinya. Dengan REDD perusahaan ini diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negerinya dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang. Pendekatan ini seperti untuk CDM (project baseline), dan kemungkinan akan memasukkan REDD-national baseline setelah REDD menjadi bagian dari pasar carbon pasca 2012. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai puluhan milyar dollar per tahun.

2. Market Linked. Pendekatan ini menciptakan pendanaan melalui pelelangan pendapatan atau alokasi allowance untuk REDD dari sistem cap-and-trade, atau dengan menciptakan dual-market system dimana kredit REDD tidak fungible

dengan allowance negara industri. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai beberapa puluh milayar dollar per tahun.

3. Voluntary. Pendanaan sukarela yang berasal dari individu atau negara tidak dikaitkan dengan sistem cap-and-trade di negerinya. ODA seperti kontribusi Norway $ 2.6 milyar yang diumumkan di Bali merupakan salah satu contoh

voluntary initiative . Perusahaan dan stakeholders lain juga dapat membeli kredit yang sekali kredit dibeli tidak lagi dapat digunakan untuk emissions compliance di pasar carbon. Potensi pendanaan diperkirakan hanya mencapai ratusan juta dollar per tahun.

(4)

yang tidak hanya akan berdampak pada perbaikan lingkungan tetapi juga ekonomi dan sosial dalam jangka panjangnya), (c) distribusi insentif, tanggung jawab dan akuntabilitas pelaksanaan REDD dan pengelolaan dana REDD.

 Pemahaman dan persepsi stakeholders yang sangat beragam, terutama terkati dengan masalah kedaulatan (sovereignty) dan apa/seberapa besar manfaatnya bagi Indonesia

 Integrasinya kedalam kebijakan nasional, sektora, dan lokal (propinsi, kabupaten dst). Deforestasi tidak dapat dilepaskan dari konteks pengelolaan hutan secara keseluruhan dan kebijakan pembangunan nasional. Oleh karenanya kebijakan REDD semestinya menjadi bagian integral dari program/perencanaan sektoral dan nasional, dan pemanfaatan skema REDD adalah untuk mendukung upaya perbaikan/peningkatan pengelolaan hutan dan mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Tindaklanjut COP-13 untuk REDD

Sebelum COP-13, Indonesia dibawah koordinasi Departemen Kehutanan (melalui IFCA/ Indonesia Forest Climate Alliance) telah menetapkan Road Map REDDI yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu (1) Tahap persiapan/Readiness (tahun 2007/sebelum COP-13) untuk menyiapkan perangkat metodologi dan strategi implementasi REDDI, komunikasi/koordinasi/ konsultasi stakehloders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi uji coba (pilot activities); (2) Tahap pilot/transisi (tahun 2008-2012), pada tahap ini akan dilakukan testing metodologi dan strategi, serta transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism); dan (3) Implementasi penuh (dimulai tahun 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia) dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.

Hasil-hasil IFCA tahun 2007 dan COP-13 ditindaklanjuti dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain:

- Sosialisasi hasil IFCA dan COP-13 ke seluruh stakeholder di daerah yang diselenggarakan di Propinsi-propinsi sesuai dengan ketersediaan dana

- Penyiapan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara REDD termasuk pilot/demonstration activities

- Pemilihan lokasi dan dimulainya pilot/demonstration activities

- Penyiapan posisi dan partisipasi aktif dalam negosiasi baik Subsidiary Body on Scientific and Technological Advice

(SBSTA), COP, inter-sessional meetings, dan pertemuan-pertemuan lain yang relevan

- Penyiapan perangkat institusi, metodologi, dan lain-lain untuk implementasi REDD setelah tahun 2012 (full implementation)

- Komunikasi/koordinasi/konsultasi dengan stakeholders tentang perangkat/rencana yang dipersiapkan Departemen Kehutanan

Apa manfaat REDD bagi Indonesia dan Seberapa besar potensi pasarnya?

Manfaat REDD harus dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi tanggung jawab sebagai anggota komunitas internasional dan dari sisi kewajiban seluruh komponen bangsa untuk kepentingan nasional, terlepas ada tidaknya mekanisme internasional yang mendorong/memaksa Indonesia untuk melakukannya.

(5)

Good Governance Terkait dengan Tenure Masyarakat

Pelaksanaan REDD yang baik memerlukan kesepakatan dan komitmen seluruh pihak yang terkait, terutama bila hal ini akan berdampak pada ketiga kategori masyarakat di atas. Oleh karena itu Kebijakan Nasional untuk REDD perlu mencantumkan kesepakatan dan komitmen seluruh pihak di tingkat lanskap, sebagai salah satu kriteria REDD yang adil. Di dalam draft Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dijelaskan bahwa REDD dapat diimplementasikan antara lain pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (HKm), areal izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR), areal hutan adat, dengan pemrakarsa masyarakat sebagai pemegang izin, sehingga manfaat REDD dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Namun bagaimana dengan masyarakat yang belum mempunyai izin ataupun hak pengelolaan hutan? Bila keadilan ingin kita unjung tinggi dalam pelaksanaan REDD maka proses-proses multi-stakeholder

dalam memahami dan merencanakan REDD perlu dilakukan; sedemikian rupa sehingga masyarakat yang sampai saat ini belum mempunyai ijin usaha pemanfaatan resmi dari pemerintah, tetap dapat mendapat peluang untuk memperoleh manfaat dari REDD

Keterbukaan dan partisipasi seluruh pihak sangat perlu dalam pemetaan spasial untuk membuat data dasar

(baseline) sebelum proyek ini diimplementasikan. Kedua prinsip ini akan mengikat seluruh pihak untuk mentaati kesepakatan yang telah mereka rumuskan. Prinsip-prinsip ini juga diperlukan dalam membuat perkiraan biaya dan manfaat dari REDD yang aimplementasikan pada lahan yang telah dihuni dan digarap masyarakat. Dengan prinisp-prinsip itu diharapkan akan terbangun rasa tanggung jawab (accountability) sekaligus terbangun kesatuan upaya guna mencapai efisiensi dan efektivitas REDD. Pengikutsertaan semaksimal mungkin seluruh pihak dalam pengembangan metoda pengukuran serapan karbon, serta sistem evaluasi proyek mulai dari perumusan proposal, penyusunan organisasi proyek baik untuk tujuan pasar yang regulated maupun voluntary

hingga ke perumusan rencana operasional, juga merupakan prinsip good governance yang perlu dilakukan untuk menjamin ternure masyarakat atas lahan kawasan hutan dapat berjalan dengan baik, sesuai kerangka legal yang ada, serta dalam norma-norma keadilan.

Pada akhirnya good governance dalam implementasi REDD menghendaki seluruh pihak yang terkait untuk tanggap terhadap permasalahan tenure masyarakat atas lahan pada kawasan hutan, yang hingga kini masih pada posisi tidak pasti dan tidak menentu. Pendekatan positif-legalistik mungkin bukan pilihan yang tepat untuk mencapai keadilan dalam situasi ini; namun sensitivitas para pihak dalam memahami akar-akar permasalahan sangat diperlukan untuk menuju kesepakatan atas keputusan yang bijaksana.

Penutup

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah banyak berupaya untuk menyiapkan perangkat REDD, mulai dari aspek regulasi, institusi, sampai aspek teknis/metodologis. Dengan sejumlah demonstration activities yang akan segera operasional, kita dapat exercise dari beberapa aspek di atas dan memberikan input ke proses negosiasi. Banyaknya inisiative yang sering diberi label 'voluntary market' di level sub-national (Project, Kabupaten, Propinsi) dapat merupakan media exercise untuk REDD market dengan berbagai tahapan dan scales. Namun demikian, initiative tersebut tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kepentingan nasional kita bila tidak dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi antara daerah dan pusat dan antar aktor yang terkait, serta menjaga konsistensi dengan peraturan

Sambungan dari hlm 8

Apa Itu REDD

?

(6)

Kepastian Tenure Masyarakat

dalam Pelaksanaan REDD

Oleh: Iman Santoso

(Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure)

Dewasa ini pemerhati perubahan iklim memperkirakan bahwa 17 25% dari gas rumah kaca yang secara global berada di atmosfir disumbang oleh proses deforestasi dan degradasi hutan, dan sepertiga dari jumlah itu berasal dari negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dengan demikian bila negara-negara yang sedang berkembang berhasil menekan laju deforestasi dan degradasi maka mereka berjasa mengurangi laju pemanasan global. Oleh karena itu berbagai wacana telah melahirkan usulan agar negara-negara yang dinilai berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutannya patut mendapat penghargaan dan ganjaran yang layak. Wacana itulah yang kini disebut sebagai

Reducing Emission from Deforestation and Degradation

(REDD) yang akan diperjuangkan di berbagai fora

internasional.

Ada apa dengan REDD ?

Secara praktis REDD dilakukan melalui pengurangan kegiatan atau penghentian penebangan hutan, penghentian konversi kawasan hutan untuk pembangunan sektor-sektor lainnya yang berbasis lahan. Dengan melaksanakan REDD maka secara praktis negara-negara yang sedang berkembang akan mengurangi produksi kayunya dan menghentikan pembukaan areal hutan untuk membangun wilayahnya. Semua tindakan praktis itu pada hakekatnya merupalan pengorbanan yang dilakukan demi mengurangi laju pemanasan global. Oleh karena itu pengorbanan tersebut layak dipandang sebagai opportunity cost atau kredit karbon yang harus ditanggung atau dibayar oleh masyarakat dunia.

Di tingkat nasional upaya ini bisa diperhitungkan sebagai suatu keuntungan, yaitu dalam bentuk penerimaan dana untuk biaya pembangunan, terpeliharanya sumberdaya hutan, maupun keuntungan politik lainnya. Namun di

tingkat lokal, di mana REDD tersebut dilakukan, bisa jadi tidak memberikan manfaat yang optimal, karena segala 'keuntungan' yang diterima di tingkat nasional itu tidak seratus persen akan dinikmati oleh pelaksana lokal, terutama masyarakat.

Disamping itu, penyelenggaraan proyek REDD di tingkat lokal, akan menemui dua permasalahan sosial yang saling terkait dengan keberadaan masyarakat di dalam kawasan hutan (baca; hutan negara). Pertama, bahwa di dalam suatu lanskap kawasan hutan untuk implementasi REDD tidak mustahil telah ada komunitas masyarakat yang selama ini tidak mempunyai kejelasan dan ketidakpastian hukum atas status penguasaaan tanah yang dihuni dan digarap. Ketidakpastian tenurial masyarakat atas lahan ini menyangkut ketidakpastian mengenai siapa saja yang mempunyai hak atas lahan pada lanskap itu, dan apa haknya serta sampai kapan hak itu melekat pada mereka (insecured land tenure). Kesulitan kedua adalah dalam meyakinkan para calon pembeli kredit karbon bahwa masyarakat tersebut bersedia melakukan REDD dalam jangka waktu tertentu, sementara Pemerintah (pusat maupun daerah) tidak seratus persen yakin bisa mengatur masyarakat agar tetap menjaga hutannya dari kemungkinan penebangan kayu untuk keperluan mereka sendiri, maupun untuk menjaga agar kawasan hutan itu tidak dialihkan untuk penggunaan lain selain hutan. Untuk itu, perencanaan dan implementasi REDD yang baik dan adil harus didukung dengan data dan informasi yang terkait dengan aspek tenurial pada kelompok-kelompok masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan.

Siapa yang Berada di Suatu Lanskap REDD

(7)

masyarakat yang telah lama menetap di hutan dan kehidupannya tergantung pada lahan dan sumberdaya hutan yang secara turun menurun mereka kelola berdasarkan pengetahuan tradisional dan hukum-hukum adat yang berlaku di komunitas itu. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) tersebut - demikian mereka disebut dalam Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan mungkin belum disahkan oleh Peraturan Daerah, sehingga hak-hak pengelolaan hutan secara legal masih belum mereka miliki. Dalam situasi seperti ini maka pihak manapun yang akan mengimplementasikan REDD perlu secara bijaksana memberikan penjelasan rencana implementasi REDD sehingga mereka bisa secara sukarela menerima (free and prior informed consent) dan selanjutnya berperan besar d a l a m p e r e n c a n a a n pelaksanaan REDD harus merupakan hasil keputusan komunitas itu, karena UU No.41/1999 memberikan hak pengelolaan kepada MHA yang sudah di PERDA-kan; meskipun Peraturan Pemerintah mengenai Hutan Adat belum terbit dan diberlakukan.

Kemungkinan lain, pada lanskap kawasan hutan itu sudah ada komunitas yang secara turun menurun tinggal dan hidup tergantung pada lahan dan sumberdaya hutan yang ada. Mereka sudah tidak menggunakan hukum adat dalam pergaulan sehari-hari, sehingga mereka tidak bisa lagi disebut dan ditetapkan sebagai MHA. Oleh karena itu mereka tidak mempunyai hak pengelolaan hutan meskipun sudah menempati dan menggarap tanah jauh sebelum kawasan hutan itu ditunjuk atau

ditetapkan oleh Pemerintah. Secara historis mereka tidak dapat dikatakan sebagai perambah hutan, karena mereka bukan pendatang baru di tanah itu, bahkan dalam banyak hal mereka masih mempunyai kaitan e m o s i o n a l d e n g a n t a n a h n y a . D a l a m urusan/administrasi kehutanan komunitas ini sering disebut sebagai Masyarakat Setempat, di mana bila REDD diimplementasikan pada kawasan hutan dimana mereka berada, maka secara bijaksana mereka harus diberi penjelasan sebelumnya dan diikut sertakan dalam implementasinya. Mereka juga berhak untuk menikmati keuntungan-keuntungan dari REDD sebagaimana dinikmati oleh MHA meskipun tidak punya kekuasaan yang cukup dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan dan implementasi REDD.

(8)

Good Governance Terkait dengan Tenure Masyarakat

Pelaksanaan REDD yang baik memerlukan kesepakatan dan komitmen seluruh pihak yang terkait, terutama bila hal ini akan berdampak pada ketiga kategori masyarakat di atas. Oleh karena itu Kebijakan Nasional untuk REDD perlu mencantumkan kesepakatan dan komitmen seluruh pihak di tingkat lanskap, sebagai salah satu kriteria REDD yang adil. Di dalam draft Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dijelaskan bahwa REDD dapat diimplementasikan antara lain pada areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (HKm), areal izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (HTR), areal hutan adat, dengan pemrakarsa masyarakat sebagai pemegang izin, sehingga manfaat REDD dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Namun bagaimana dengan masyarakat yang belum mempunyai izin ataupun hak pengelolaan hutan? Bila keadilan ingin kita unjung tinggi dalam pelaksanaan REDD maka proses-proses multi-stakeholder

dalam memahami dan merencanakan REDD perlu dilakukan; sedemikian rupa sehingga masyarakat yang sampai saat ini belum mempunyai ijin usaha pemanfaatan resmi dari pemerintah, tetap dapat mendapat peluang untuk memperoleh manfaat dari REDD

Keterbukaan dan partisipasi seluruh pihak sangat perlu dalam pemetaan spasial untuk membuat data dasar

(baseline) sebelum proyek ini diimplementasikan. Kedua prinsip ini akan mengikat seluruh pihak untuk mentaati kesepakatan yang telah mereka rumuskan. Prinsip-prinsip ini juga diperlukan dalam membuat perkiraan biaya dan manfaat dari REDD yang aimplementasikan pada lahan yang telah dihuni dan digarap masyarakat. Dengan prinisp-prinsip itu diharapkan akan terbangun rasa tanggung jawab (accountability) sekaligus terbangun kesatuan upaya guna mencapai efisiensi dan efektivitas REDD. Pengikutsertaan semaksimal mungkin seluruh pihak dalam pengembangan metoda pengukuran serapan karbon, serta sistem evaluasi proyek mulai dari perumusan proposal, penyusunan organisasi proyek baik untuk tujuan pasar yang regulated maupun voluntary

hingga ke perumusan rencana operasional, juga merupakan prinsip good governance yang perlu dilakukan untuk menjamin ternure masyarakat atas lahan kawasan hutan dapat berjalan dengan baik, sesuai kerangka legal yang ada, serta dalam norma-norma keadilan.

Pada akhirnya good governance dalam implementasi REDD menghendaki seluruh pihak yang terkait untuk tanggap terhadap permasalahan tenure masyarakat atas lahan pada kawasan hutan, yang hingga kini masih pada posisi tidak pasti dan tidak menentu. Pendekatan positif-legalistik mungkin bukan pilihan yang tepat untuk mencapai keadilan dalam situasi ini; namun sensitivitas para pihak dalam memahami akar-akar permasalahan sangat diperlukan untuk menuju kesepakatan atas keputusan yang bijaksana.

Penutup

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah banyak berupaya untuk menyiapkan perangkat REDD, mulai dari aspek regulasi, institusi, sampai aspek teknis/metodologis. Dengan sejumlah demonstration activities yang akan segera operasional, kita dapat exercise dari beberapa aspek di atas dan memberikan input ke proses negosiasi. Banyaknya inisiative yang sering diberi label 'voluntary market' di level sub-national (Project, Kabupaten, Propinsi) dapat merupakan media exercise untuk REDD market dengan berbagai tahapan dan scales. Namun demikian, initiative tersebut tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kepentingan nasional kita bila tidak dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi antara daerah dan pusat dan antar aktor yang terkait, serta menjaga konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kesepakatan maupun proses negosiasi UNFCCC.

Sambungan dari hlm 8

Apa Itu REDD

?

(9)
(10)

Salah satu sumber emisi karbon terbesar berasal dari sektor kehutanan. Indonesia yang memiliki sumberdaya hutan cukup luas menjadi penyumbang emisi ketiga terbesar. Emisi tersebut berasal dari aktivitas deforestasi dan degradasi seperti penebangan, pembukaan lahan gambut, kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, dsb. Untuk mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan, sekarang sedang dibahas kesepakatan internasional tentang Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD).

Bagi Indonesia, REDD dianggap sebagai salah satu insentif untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menyusun peraturan tentang tata cara pelaksanaan REDD di Indonesia. Salah satu tujuan pembuatan peraturan adalah untuk mengantisipasi keinginan dari beberapa daerah yang ingin segera mengimplementasikan REDD. Beberapa daerah telah menujukkan minat bahkan ada yang sudah siap menandatangani kontrak dengan pihak investor, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua. Selain itu ada pula daerah yang sudah memulai dengan perdagangan karbon sukarela (Voluntary Carbon Trading), seperti di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Bagi pemerintah daerah, insentif yang akan diperoleh dari mekanisme perdagangan karbon atau REDD, tampaknya cukup besar. Di NAD misalnya, pemerintah propinsi NAD telah mendapat komitmen dari investor (Meryl Linch) senilai USD 100 juta untuk implementasi REDD pada kawasan seluas 100.000 hektar. Sementara itu di Kabupaten Malinau, pemerintah kabupaten telah menandatangani kesepakatan untuk mempersiapkan implementasi perdagangan karbon sukarela, dengan nilai USD 350.000 per tahun selama 3 tahun, untuk areal seluas 350.000 hektar hutan.

Di balik keinginan dan kesiapan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, ada sejumlah kekhawatiran tentang rencana implementasi REDD, terutama terkait dengan isu tata kelola (governance) dan aspek sosial.

Tata kelola hutan (forest governance) di Indonesia masih rawan dengan korupsi. Sistem yang korup ini tidak hanya melibatkan aparat kehutanan dan birokrasi pemerintah saja, tetapi juga terkait dengan partai politik, aparat penegak hukum, pihak legislatif, dsb. Sebagai contoh, akhir-akhir ini terungkap kasus korupsi dalam

perubahan status kawasan hutan yang melibatkan anggota DPR dan aparat pemerintah daerah.

Selain itu ditemukan pula inkonsistensi kebijakan Departemen Kehutanan. Di satu sisi, melalui REDD, pemerintah Indonesia ingin menunjukkan komitmen dalam melindungi hutan. Namun di sisi lain, pemerintah juga masih mengeluarkan ijin untuk penebangan kayu dan pemanfaatan kawasan menjadi peruntukan lain, seperti kelapa sawit. Dari berbagai permasalahan tata kelola hutan di atas, maka tampaknya cukup sulit untuk menerapkan REDD di Indonesia.

Keprihatinan lain terkait dengan peluang dan ancaman dari REDD terhadap masyarakat. Peluang bagi masyarakat memang ada, seperti yang disebut di dalam draft Permenhut tentang REDD. Namun regulasi tsb. juga menyebutkan sejumlah persyaratan yang cukup berat untuk dapat dipenuhi oleh masyarakat, misalnya tentang biaya untuk verifikasi, metode penghitungan Referensi Emisi, penghitungan perubahan luasan tutupan lahan dan reduksi emisi dengan menggunakan pedoman dari IPCC, serta memperkirakan pengalihan deforestasi dan degradasi dari lokasi REDD. Peluang masyarakat semakin kecil, karena lokasi-lokasi yang dikelola masyarakat tidak luas (rata-rata kurang dari 10.000 hektar). Sementara itu investor lebih tertarik dengan lokasi yang luas (di atas 10.000 hektar).

Selain itu, regulasi itu juga tidak terlalu kuat dalam melindungi hak-hak masyarakat, terutama apabila terjadi konflik. Tidak ada kejelasan tentang mekanisme untuk menyelesaikan konflik. Jangankan mekanisme, pihak yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan konflik terkait dengan implementasi REDD juga tidak diatur.

Oleh karena itu perlu dibangun suatu skema alternatif, yang dapat memberikan peluang yang lebih besar kepada petani, sekaligus menjamin hak-hak petani dalam mengakses dan mengelola hutan.

Gagasan

Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan dan telah bekerja melindungi dan mengelola hutan secara lestari, akan mendapat insentif dari orang-orang (individu dan keluarga) yang tinggal di negara maju (supporter). Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap upaya untuk mengatasi perubahan iklim tetapi belum tahu

(11)

Terdapat bukti-bukti yang menguat, dari berbagai penelitian, bahwa community forest lebih menjanjikan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari (Markku et al., 2007). Namun saat ini muncul kekhawatiran bahwa rakyat (di sekitar dan di dalam hutan) akan semakin terpinggirkan dengan skema REDD, apalagi dengan rezim land tenure dan

property rights yang berlaku saat ini dan menguasai pola pikir sebagian kita. Dalam draft regulasi pemerintah (Permenhut) tentang REDD-pun hak-hak rakyat di sekitar hutan untuk memperoleh manfaat dari skema tersebut belum terkakulasikan dengan lebih jelas. Oleh karena itu, supaya rakyat juga memperoleh manfaat yang seimbang dan bisa berpartisipasi dalam skema REDD ini, maka :

1. Akses terhadap informasi mengenai persoalan REDD ini harus terbuka lebar dan transparan untuk meningkatan pemberdayaan dan posisi tawar mereka terhadap skema REDD

2. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah suatu keharusan, sehingga meningkatkan partisipasi dan keberterimaan masyarakat terhadap skema REDD

3. Membangun institusi yang mendorong keterlibatan masyarakat secara optimal, melalui cara-cara:

 Melindungi/mengakui hak-hak masyarakat (adat)

 Memperkuat lembaga-lembaga yang menyediakan bantuan teknis tentang persoalan REDD kepada masyarakat

 Mengembangkan kemitraan antara perusahaan pengelola hutan (korporasi) dan masyarakat sekitar dan di dalam hutan

Nurcahyo Adi

Negara maju maupun negara berkembang telah sepakat untuk meningkatkan upaya dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim seperti tertuang dalam keputusan COP-13 yang dikenal dengan Bali Action Plan. Sektor kehutanan di Indonesia dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs), yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.

REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang merupakan isu terkini dalam proses negosiasi di bawah Konvensi Perubahan Iklim (United Nations

Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Indonesia memperoleh insentif yang cukup besar dalam

implemantasi REDD. Namun demikian, seperti apa mekanisme distribusinya dan siapa yang berhak menerima manfaat tersebut? Bagaimana dengan kelompok masyarakat yang secara faktual telah terbukti mampu mengelola hutan secara lestari, meskipun keberadaan mereka di dalam kawasan hutan belum memiliki jaminan kepastian akan haknya?

Kami memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berbagi opini dalam upaya mendorong sistem insentif yang berkeadilan dan mekanisme distribusi yang transparan dalam implementasi REDD. Opini dapat berupa telaah/analisis singkat, kritik terhadap system atau mekanisme yang ada, juga bisa berupa saran atau usulan perbaikan.

SIMAK OPINI MEREKA!

Fasilitator MFP-II-KEHATI-DEPHUT

(12)

REDD - BERPIKIR GLOBAL BERTINDAK LOKAL :

IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT DESA HUTAN

Upik Rosalina Wasrin

Fakultas Kehutanan IPB. Wasrinsy@indo.net.id

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) harus dilaksanakan dalam upaya untuk mengatasi emisi rumah kaca di dunia. Skemanya dapat dilakukan melalui penjualan karbon dari hutan produksi dan hutan konservasi yang ada di Indonesia. Namun demikian, masih banyak masyarakat umum yang belum memahami apa yang dimaksud dengan REDD, demikian pula masih banyak dijumpai persepsi yang berbeda terhadap definisi (what), dimana bisa dilakukan (where), kapan berlakunya (when), dan dengan siapa harus berproses (whom) serta bagaimana pelaksanaan/ best practice REDD di lapangan.

Faktanya, pengurangan (reduksi) emisi karbon global tidak akan efektif selama kepentingan kelompok yang diutamakan, dimana industri-industri besar negara maju tetap dengan kebiasaannya mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sedangkan dipihak lain negara-negara berkembang diharuskan menjaga hutan dengan berbagai mekanisme yang tidak sederhana dan tidak mudah.

Masyarakat miskin yang tinggal di pinggir hutan mencapai lebih dari 20 juta penduduk, dan hampir 50% berada di pulau Jawa. Dapat dipastikan bahwa keberadaan hutan di pulau Jawa Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat desa hutan. Bagaimana agar skema perdagangan karbon ini juga bisa bermanfaat langsung terhadap masyarakat khususnya yang berperan sebagai “penjaga hutan” / forest guard ? tentu bukan melalui mekanisme sebagai penjaga hutan, akan tetapi harus menggunakan cara yang lebih bermartabat. Konsep multi produk dari ekosistem hutan baik hutan produksi maupun hutan lindung merupakan mekanisme cerdas yang harus didukung dan dibantu oleh berbagai pihak. Misalnya praktek-praktek hutan tanaman kombinasi tumpangsari / tumpanggilir dengan menanam berbagai jenis umbi-umbian, tanaman obat dan tanaman tumpangsari lainnya menurut musim tanam dan kondisi tapak dibawah tegakan hutan, maka pada hakikatnya sistem ini telah dapat meningkatkan produktivitas lahan hutan dan memberikan penghasilan sekaligus menjaga hutan dari gangguan dan kebakaran baik sengaja atau tidak sengaja, disisi lain dengan intensifnya pengelolaan lahan hutan dan tegakan pohon diatasnya secara nyata mencegah terjadinya penebangan liar artinya mencegah terjadinya degradasi hutan. Mekanisme perdagangan karbon melulu hanya dengan memberikan semacam kompensasi dari menjaga hutan sangat tidak efektif tanpa memperhitungkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan.

Di negara paternalistik seperti Indonesia, pada dasarnya masyarakat masih patuh terhadap larangan-larangan atau aturan-aturan. Pada kondisi sekarang dimana perubahan iklim global telah berimbas sangat nyata pada kehidupan masyarakat desa khususnya dalam tata waktu dan pola tanam tumpangsari dan tanaman di bawah tegakan. Sehingga pada kondisi perubahan iklim saat ini, masyarakat harus dibantu untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim dan juga diberi kompensasi jika bisa mempertahankan dan mengelola hutan secara lestari. Kompensasi dapat diberikan juga dalam bentuk “Bantuan Tunai Langsung” (BTL) yang diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan usaha produktif baik didalam sistem agroforestri atau hutan tanaman kombinasi tumpangsari pangan. Kelembagaan masyarakat desa baik berupa kelompok tani, koperasi atau yang lainnya asalkan jelas keberadaannya dalam jangka panjang, dapat menjadi fondasi kelembagaan yang eligible.

(13)

PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

LAHAN HUTAN DI INDONESIA (REDDI);

ANTARA HARAPAN DAN ANGAN-ANGAN

Ir. Nanang Roffandi Ahmad

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia sedang dikhawatirkan atas adanya ancaman pemanasan global yang dapat mengganggu kehidupan mahluk hidup di dunia sebagai akibat efek gas rumah kaca (GRK) yang akumulasi jumlahnya semakin banyak di atmoster. Deforestasi dan adanya kebakaran hutan pada periode1997-2000 telah menempatkan Indonesia sebagai negara peng-emisi terbesar ke-3 di dunia. Kenyataan ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit karena kampanye negatif (black campaign) yang telah bergulir tersebut.

Padahal Nicholas Stern dalam Stern Review : The Economics of Climate Change mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang hanya menyumbang emisi CO sekitar 20 % dari emisi global, sementara carbon yang saat ini tersimpan 2 di ekosistem hutan (~ 4500 Gt CO lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt CO ). Oleh karenanya negara 2 2 maju (Annex I countries) lah yang menyumbang 80 % emisi dengan industrialisasinya yang berkewajiban untuk melindungi hutan yang masih ada mengingat sebagian besar hutan berada di negara-negara berkembang (tidak terkecuali di Indonesia) dimana deforestasi yang terjadi merupakan sebuah kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk yang meningkat.

Dalam membangun mekanisme pasar karbon apapun harus terlihat benang merahnya dari kerangka kerjasama antara negara industri dengan negara berkembang dalam upaya mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim global. Annex-1 Countries diwajibkan menurunkan emisi dengan cara mengubah teknologi yang digunakan dan atau berinvestasi di negara-negara berkembang yang akan menghasilkan pengurangan emisi.

Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpanan CO melalui kegiatan penanaman pohon tidak 2 memberikan manfaat karena prosedur dan aspek metodologi yang kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap stabilitas GHgs di atmosfer (stabilisasi iklim) diperlukan pendekatan kebijakan internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan emisi dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya.

Ada tiga prinsip yang menjadi pegangan bagi pembayaran jasa lingkungan (environment service payment) yaitu :

a. Prinsip Service Against Money

Dalam hal ini penerima jasa harus membayar kepada pemberi jasa, sekurang-kurangnya setara dengan

opportunity cost dari penggunaan lahan/hutan tersebut.

b. Prinsip Negosiasi

Pembayaran harus bersifat sukarela yang didorong oleh keinginan yang kuat (willingness to pay and or to sale).

c. Prinsip Polluter Pays

Dalam prinsip ini siapa yang membuat polusi diwajibkan untuk membayar kompensasi yang hasilnya akan dipergunakan untuk menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Kewajiban tersebut tidak menghilangkan kewajiban industri untuk membatasi limbah.

Pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diadakan acara United Nation Climate Change Conference (UNCCC). Salah satu

(14)

REDD merupakan sebuah mekanisme yang ditawarkan untuk merespon permasalahan perubahan iklim yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi, dengan kompensasi yang cukup besar bila berhasil mengurangi emisi carbonnya. Upaya mulia ini dimaksudkan untuk memperbaiki ekosistem global. Bagi Indonesia, revenue yang didapat dari REDD ini dipercaya dapat mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan.

Adanya revenue yang besar dari REDD ini menuntut persyaratan, kesiapan, kemampuan, dan kerjasama berbagai pihak (termasuk masyarakat) untuk bisa meraihnya. Selanjutnya perlu dipunyai base line untuk tingkat nasional, mekanisme monitoring, mekanisme distribusi hasil pembayaran karbon dsb agar upaya pengurangan emisi karbon bisa berjalan dengan baik. Ada pemahaman bahwa pemerintah/masyarakat akan memperoleh keuntungan besar dari mekanisme ini, sementara banyak yang belum jelas tentang peran yang harus mereka mainkan, tanggung jawab yang harus mereka pikul, hak yang akan diterimakan, dsb.

Perlu diingat bahwa REDD bukan untuk mendulang uang, tapi merupakan investasi dimasa mendatang untuk perbaikan lingkungan.

Niken Sakuntaladewi

Puslit Sosek Kehutanan - ICRAF

pembahasannya adalah tentang kesepakatan pelaksanaan program REDD yang bertujuan untuk mengatasi masalah

global warming yang mekanismenya sedang dalam proses pengujian.

Apakah mekanisme REDD yang disepakati nanti akan menjamin membawa manfaat? Belum ada jaminan, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis untuk memegang teguh prinsip-prinsip environment service payment serta kegiatan-kegiatan yang layak masuk dalam mekanisme REDD tersebut. Mengenai jangka waktu pelaksanaan REDD semestinya harus sama dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan yang ada dalam PP No.6 Tahun 2007 jo. PP No.3 Tahun 2008, yang harus diatur lebih lanjut adalah Time-Frame yang harus kita pertahankan yaitu selama lima tahun dan dapat diperpanjang. Penetapan lima tahun ini karena adanya evaluasi RTRW lima tahunan sesuai UU RTRW. Apabila time-frame lebih lama dari lima tahun, dikhawatirkan akan bertabrakan dengan revisi RTRW yang diatur dengan UU RTRW itu sendiri.

Untuk verifikasi sebaiknya tidak dibebankan kepada Pemrakarsa REDD secara langsung, akan tetapi diatur dalam pembagian nilai pembayaran jasa lingkungan. Mengenai Sertifikasi, sekali lagi disarankan, apabila sertifikat REDD ini akan selevel dengan CER, maka perlu diatur secara lebih jelas dalam Permenhut. Hal ini perlu dilakukan agar sertifikat tersebut dapat memasuki pasaran global (go-global).

Besarnya pembayaran minimal harus dapat menutup seluruh biaya eksternalitas yang dikeluarkan Pemrakarsa, ditambah allowance yang dapat menarik bagi Pemrakarsa untuk memasuki mekanisme ini sebagai alternatif kegiatan yang terbaik. Atau besarannya harus sama dengan jumlah nilai pengorbanan (opportunity lost) pada saat mereka memasuki mekanisme tersebut.

Sementara itu, distribusi insentif hasil pelaksanaan REDD sebaiknya diganti saja dengan distribusi pembayaran jasa lingkungan dan lialibilitasnya. Diusulkan bahwa pembayaran atas jasa lingkungan tersebut berkisar antara 70 - 87,5% diperuntukan bagi penghasil jasa. Yang dimaksud dengan penghasil jasa adalah Pemrakarsa tersebut dan masyarakat yang berada di sekitar hutan. Kemudian sisanya sebesar 12,5 max. 30% digunakan untuk pendamping dan fasilitator Pemrakarsa. Porsi Pemerintah dan Pemerintah Daerah seyogyanya ditiadakan, akan tetapi apabila UU mengharuskan maka bagian Pemerintah (pajak dan PNBP) max 10% saja.

(15)

Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) menyampaikan catatan kritis tentang REDD yang secara langsung diserahkan oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Ketua Panitia Khusus Perubahan Iklim Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2008 kepada Menteri Kehutanan yang diwakili oleh Sekjen Departemen Kehutanan Dr. Boen M. Poernama, pada acara Konsultasi Publik tentang Rancangan Permenhut tentang REDD.

Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007, Dewan Perwakilan Daerah RI merasa perlu untuk menyikapi Perubahan Iklim sebagai bagian dari pengembangan pembangunan baik di tingkat nasional maupun di daerah. Catatam kritis ini merupakan hasil kajian DPD RI atas konsep REDD yang dikeluarkan oleh Pemerintah dengan dibantu Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA). Catatan kritis ini ke depan diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi pemerintah dalam mengimplementasikan REDD, baik melalui demonstration activities (kegiatan uji coba) maupun melalui mekanisme pasar secara sukarela (Voluntary Market Mechanism).

Pada kesempatan Konsultasi Publik tentang Rancangan Permenhut tentang REDD, yang diselenggarakan pada Tanggal 17 Juli 2008 bertempat di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Ir. Sarwono Kusumaatmadja secara langsung membacakan rekomendasi dari Catatan Kritis DPD RI, seperti dalam box:

REKOMENDASI

1. Pemerintah perlu membuat kebijakan dan aturan yang bisa dijadikan dasar hukum untuk implementasi REDD ataupun untuk implementasi secara sukarela melalui mekanisme pasar, dengan mempertimbangkan pentingnya koordinasi antar sektor yang terkait dengan implementasi.

2. Pemerintah perlu mengutamakan penataan kelembagaan dasar yang berkaitan dengan Tata Ruang di daerah masing-masing yang transparan dan tidak mudah diubah-ubah untuk keperluan ekonomi yang tidak menguntungkan Masyarakat dalam jangka panjang.

3. Pemerintah perlu memikirkan terobosan upaya kelembagaan untuk pengintegrasian kebijakan antar sektor/departemen dalam menghadapi politik perubahan iklim global dan sinkronisasi pembangunan nasional. 4. Pemerintah perlu menelaah Perda-Perda yang akan mengatur bagaimana alokasi dana pengelolaan Sumberdaya

Alam (termasuk REDD) sehingga akan maksimal manfaatnya bagi kepentingan Masyarakat daerah masing-masing.

5. Pemerintah perlu memikirkan konsep yang dapat diterapkan secara bijak pada pengalokasian dana REDD bagi Masyarakat lokal, Unit Manajemen Pengelola maupun Pemda.

6. Pemerintah perlu memiliki informasi dan data akurat yang up to date mengenai wilayah daerah potensial untuk konservasi termasuk krisis yang terjadi agar menjadi prioritas penanganan.

7. Pemerintah perlu mengukur kesiapan infrastruktur. Kelembagaan instansi di pusat dan daerah penting didahulukan sebelum melihat penerapan program pendanaan, termasuk REDD.

8. Pemerintah perlu melihat soal pendanaan keuangan dan perlu melihat pemberdayaan masyarakat setempat, terutama ditengah krisis yang terjadi saat ini.

Sumber: Catatan kritis DPD-RI tentang REDD

Catatan

Kritis

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI)

Reducing Emission from Deforestation and

Degradation (REDD)

(16)

Masyarakat Adat Marga Belimbing

Di Enclave Pengekahan, Kabupaten Lampung Barat

Oleh: Emila

Batas wilayah ini kemudian menjadi bermasalah ketika Penunjukan ulang kawasan hutan Lampung dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1991 menyatakan bahwa batas enclave adalah antara Way Belimbing dan Way Pengekahan, sehingga masyarakat merasa terjadi pengurangan areal mereka karena ditetapkan masuk dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Secara de facto wilayah yang belum dicapai kesepakatan ini merupakan pemukiman dan kebun masyarakat.

Pada Bulan Juni 2008 Departemen Kehutanan telah melepasliarkan 2 (dua) ekor harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang berasal dari Aceh di kawasan TNBBS di Tambling (Tampang Belimbing). Menurut pihak Departemen Kehutanan bahwa 2 (dua) harimau langka ini adalah 2 dari 5 ekor harimau yang didatangkan dari Aceh, yang ditangkap setelah terjadinya stunami pada tahun 2004 yang lalu dan kemudian dirawat oleh BKSDA Aceh. Namun karena keterbatasan dana untuk merawat dan juga daya dukung habitat asli harimau ini di Aceh dirasakan sudah tidak layak, maka dengan menggandeng mitra PT Adhiniaga Kreasi Nusa milik Pengusaha Tommy Winata yang memiliki konsesi Tambling Wildlife Nature Conservation yang arealny berada di pinggir taman nasional, maka harimau-harimau ini dilepaskan di kawasan TNBBS, yang kebetulan arealnya berdekatan dengan wilayah masyarakat di enclave Pengekahan.

Berbagai protes mewarnai pelepasliaran harimau ini, bahkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi

Menurut sejarah Masyarakat Adat Marga Belimbing telah ada sejak tahun 1700-an. Masyarakat ini awalnya berasal dari Talang Aman Tanah Darat Sumatera Selatan yang menetap di Dusun Kanyut (yang saat ini disebut dengan Pengekahan). Kemudian tahun 1934 yaitu pada masa Pemerintah Kolonial Belanda wilayah mereka di tetapkan sebagai ”enclave” dengan batas wilayah dari Way Belimbing sampai dengan Way Haru. Hal ini ditunjukkan dengan bukti peta dan semacam surat kesepakatan yang ditandatangani oleh perwakilan masyarakat dan pemerintah Belanda saat itu. Di wilayah enclave ini masih terdapat jejak-jejak leluhur mereka seperti makam leluhur yang dikeramatkan. Saat ini tercatat 164 Kepala Keluarga atau sekitar 500 jiwa bermukim di wilayah ini.

Pelepasliaran 2 harimau sumatera ini secara langsung telah menimbulkan permasalahan lain yang dirasakan masyarakat di Pengekahan yaitu keresahan dan ketidaknyamanan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Dua ekor harimau sumatera langka yaitu agam dan pangeran secara langsung telah mengusik kehidupan masyarakat di enclave pengekahan. Seperti dilansir beberapa media dan juga kesaksian langsung masyarakat bahwa harimau tersebut dalam beberapa hari pasca diliarkan telah memangsa puluhan ternak warga dan kehadirannya di seputar pemukiman tentu saja meresahkan masyarakat. Hampir bisa dipastikan setiap pukul 19.00 hingga dini hari dua ekor harimau itu kerap berseliweran di daerah permukiman warga. Bahkan sebagian besar siswa SD di wilayah tersebut tidak berani lagi bersekolah karena harimau tersebut berkeliaran tanpa ada yang bisa menjamin keselamatan mereka. Saat ini masyarakat juga merasa telah terjadi pengurangan akses pemanfaatan sumberdaya air dalam

(17)

hal ini sungai, laut/pantai, dan pelarangan dilakukan (oleh pihak PT Adhiniaga Kreasi Nusa yang tergabung dalam Artha Graha Group milik pengusaha Tommy Winata).

Pengurangan akses sumberdaya air juga dirasakan oleh masyarakat atas pemanfaatan sarana dermaga umum yang dibangun pada jaman pemerintah kolonial Belanda, padahal dermaga ini merupakan pintu utama ekonomi masyarakat Marga Belimbimg di Pengekahan, sebagai sarana kapal-kapal pengangkut hasil bumi (kopi, lada, dan kakao) menuju Kotaagung atau Tanjungkarang. Adanya tanda larangan memanfaatkan sungai karena adanya buaya yang diliarkan oleh pihak perusahaan juga dirasakan masyarakat sebagai pengurangan akses masyarakat atas sumberdaya air yang selama ini telah

mereka manfaatkan.

Masalah lain yang dihadapi masyarakat adalah rencana relokasi warga Marga Belimbing di enclave Pengekahan yang akan dipindahkan ke wilayah lain. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat telah melayangkan surat kepada Menteri Kehutanan terkait rencana relokasi ini. Usulan tukar guling lahan tersebut sesuai dengan luas lahan enclave milik masyarakat Pengekahan, yaitu 1.200 hektare dengan lokasi baru seluas 1.200 hektare di Pekon Sumberejo yang diusulkan untuk ditukar guling. Lokasi yang diusilkan sebagian termasuk dalam kawasan TNBBS dan sebagian masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas. Namun, untuk memudahkan k e p e n g u r u s a n ,

(18)

Diskusi dimulai dengan testimony masyarakat yang memaparkan sejarah keberadaan masyarakat di enclave pengekahan dan juga kondisi dan situasi yang dirasakan masyarakat saat ini. Kemudian Ir. Iman Santoso MSc selaku koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure mengulas dan memberikan tanggapan atas testimony masyarakat. Diskusi dipandu oleh Ichwanto Buyung salah satu anggota tim pengekahan yang juga anggota WG-Tenure.

Menanggapi testimony dari masyarakat, selaku Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure, Ir. Iman Santoso, MSc menyampaikan beberapa pandangan, antara lain adalah:

 Terkait permasalahan belum sepakatnya batas enclave, masyarakat sebaiknya bertemu dan mendiskusikan batas dengan tim panitia tata batas yang diketuai oleh Bupati. Tim Panitia Tata Batas yang seharusnya bertanggungjawab terhadap terjadinya perbedaan batas wilayah enclave ini. Dalam kesepakatan antara warga marga belimbing dengan Pemerintah Belanda saat itu terdapat salah satu butir yang dirasakan multi tafsir. Perbedaan persepsi inilah yang seharusnya dibicarakan antara masyarakat dengan Tim Tata Batas.

 Disampaikan bahwa keresahan yang dirasakan oleh masyarakat di enclave Pengekahan sangat dapat dimaklumi. Papan-papan larangan yang dipasang dirasakan ikut memicu keresahan yang dirasakan masyarakat. Menyikapi hal tersebut disarankan agar masyarakat dapat membuat catatan resmi sehingga dapat disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Saat ini keresahan warga hanya bisa ditangkap dari media-media yang memberitakan kasus pengekahan.

 Terkait dengan keresahan warga menyikapi rencana relokasi, disampaikan bahwa sangat dapat dimengerti keinginan warga Pengekahan untuk bertahan di wilayah enclave mereka, mengingat sejarah panjang seperti yang disampaikan dan ikatan emosional masyarakat atas wilayahnya. Namun disampaikan pula bahwa relokasi bisa dipikirkan sebagai salah satu jalan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, salah satu yang perlu Pengekahan, Pekon Way Haru, Kecamatan BeIimbing

Bengkunat, Lampung Barat (Lambar), menyatakan niatnya untuk tetap mempertahankan tanah adat marga Belimbing dan tempat tinggal serta kebun yang selama ini mereka tempati di perkampungan sah (enklave) hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Tokoh adat Dusun Pengekahan, Kusairi Gelar Raja Muda Marga, bersama wakil warga setempat, Mat Yani, didampingi beberapa aktivis LSM dari Watala dan Kawan Tani, di Sekretariat Aliansi Jurnalis. Independen (AJI) Bandar Lampung, Jumat, menyatakan hingga kini kalau harus memilih, mereka kebanyakan akan tetap bertahan hidup di sana dan mempertahankan eksistensi marga dan tanah adat yang selama ini telah turun-temurun dikelola mereka. "Sekarang kami resah setelah adanya desakan dari Pemkab Lampung Barat melalui camat untuk menandatangani kesediaan pindah dari tempat itu," ujar Kusairi. Padahal kepada warga belum dijelaskan dan disepakati sebelumnya, kemana mereka akan dipindahkan serta kompensasi ganti rugi yang harus diterima.

WG-Tenure pada tanggal 25 September yang lalu mendukung kegiatan diskusi yang diadakan oleh Tim Peduli Pengekahan dengan tema kasus tenurial dan pengusiran masyarakat adat marga belimbing di enclave pengekahan. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang telah disusun oleh Tim Peduli Pengekahan untuk memperjuangkan hak masyarakat adat marga belimbing di enclave pengekahan. Diskusi bertujuan untuk membangun kepedulian masyarakat luas terhadap perlindungan keberadaan masyarakat adat Marga Belimbing di enclave Pengekahan Pekon Way Haru Kec. Bengkunat Belimbing Kab. Lampung Barat, terutama dari pihak akademisi, NGO's dan aktifis pers.

Sikap masyarakat ini dipertegas dengan dimuatnya Surat Pernyataan Terbuka pada beberapa media lokal tentang Sikap Masyarakat Adat Marga Belimbing atas Penguasaan Wilayah Enclave/Dusun Pengekahan Pekon Way Haru Kecamatan Bengkunat Belimbing, Lampung Barat yang isinya menyatakan sikap untuk tetap bermukim dan mempertahankan hak-hak kehidupan masyarakat di Enclave/Dusun Pengekahan Pekon Way Haru yang wilayahnya dikelilingi oleh TNBBS.

(19)
(20)

Pelatihan

Rapid Land Tenure Assessment

” di Sumatera Barat:

Mengkaji Penguasaan Ulayat (Sumber Daya Alam) dengan Cepat

Oleh : Gamma Galudra (ICRAF)

Sebagai salah satu bentuk pengembangan dan penyempurnaan metode Rapid Land Tenure Assessment

(RaTA), alat analisis ini dicoba untuk diperkenalkan di Sumatera Barat bersama mitra kerja Q-Bar dalam bentuk seminar pelatihan yang bertemakan “Mengkaji Penguasaan Ulayat (Sumber Daya Alam) dengan Cepat” di Batusangkar tanggal 11-13 Mei 2008. Seminar ini dihadiri oleh 17 peserta baik dari LSM setempat seperti WALHI, PBHI, dan LBH serta wali/perwakilan Nagari seperti Guguk Malalo, Paninggahan, Sumpur dan Simarasok. Produk akhir dari pelatihan ini bukan hanya sekedar memberikan pemahaman kepada para peserta tentang masalah konflik tenurial, namun juga menjelaskan lebih baik bentuk dan sistem penguasaan tanah ulayat di Sumatera Barat serta bentuk dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Pelatihan ini diawali dengan perkenalan dan diskusi tentang RaTA, cara penggunaannya dan hasil akhir dari metode tersebut. Dari berbagai diskusi, para peserta menyadari bahwa konflik tenurial bukan hanya terjadi akibat kompetisi klaim atas sumber daya alam, namun oleh perbedaan kepentingan para pemangku kebijakan. Akibat yang terakhir inilah yang seringkali menyebabkan tumpang tindih klaim. Pelatihan tersebut memberikan

pemahaman bahwa tidak semua peserta memahami berbagai penyebab konflik tenurial yang ada di Indonesia.

Pelatihan kemudian berlanjut kepada analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis) beserta basis klaimnya. Satu Nagari, yaitu Nagari Guguk Malalo, dijadikan ilustrasi bagaimana RaTA menganalisis pemangku kepentingan dan basis klaimnya berdasarkan informasi dan jabaran umum dari peserta. Dari ilustrasi tersebut,

RaTA

(Rapid Land Tenure Assessment)

Sebuah upaya pembelajaran pemahaman konflik atas penguasaan sumberdaya alam.

ICRAF bekerja sama dengan WG-Tenure, Q-Bar, RMI, dan HuMA melaksanakan pelatihan/training RATA dan mengimplementasikan metode ini di beberapa dearah. Kegiatan ini merupakan bagian dari project yang didukung pendanaannya oleh Partnership Governance Reform (PGR). Rapid Land Tenure Assessment (RATA) dikemas dalam buku panduan ringkas yang dikembangkan oleh ICRAF bersama mitranya dan merupakan suatu alat untuk membantu meretas jalan bagi penyelesaian berbagai konflik tumpang tindih penguasaan tanah secara cepat. RaTA sebagai sebuah piranti sistematis mampu menilai, menganalisis, memahami, dan menjelaskan secara ringkas suatu masalah dan/atau konflik sistem penguasaan tanah yang tumpang tindih dan kompleks.

Dua lokasi dijadikan sebagai tempat dilakukannya pelatihan/training RATA yaitu Padang dan Ciamis, serta implementasi RATA di Ekosistem Halimun Jawa Barat.

Berikut petikan laporannya !!

(21)

Pelatihan

“Rapid Land Tenure Assessment”

di Desa Margaharja, Ciamis 28-29 Juli 2008

Oleh: Martua Sirait

Pandangan ini yang sering mengemuka dari para petani ketika mendengar bahwa “katanya” tanah yang dikelolanya adalah Kawasan Hutan atau mungkin dibebani ijin Kehutanan atau Perkebunan. Berbekal rumor katanya tersebut, cukuplah untuk mematahkan semangat petani dalam mengelola lahannya dengan orientasi jangka panjang, menanami tanahnya dengan tanaman jangka pendek,menengah dan jangka panjang tanaman berkayu.

Di masa lalu, dengan pengetahuan yang dimilikinya pada umumnya petani paham betul sejarah tanahnya, siapa yang punya, dari mana didapat, mana batas batasnya, dan apa bentuk pengelolaannya. Tetapi dengan banyaknya kegiatan dan alokasi tanah oleh pemerintah maupun pemodal, kontrol petani atas informasi tanah menjadi semakin tipis, apalagi tingkat

Didieu cenah tanah Perum, lamun diditu cenah nu Kehutanan, kabeulah ditu deui cenah nu Perkebunan, naha tanah anu saya jadi euweuh?” (disini katanya tanah Perum, kalau disitu katanya tanah Kehutanan, sebelah sana katanya punya Perkebunan, kenapa tanah saya jadi hilang?)Itulah pernyataan salah satu peserta pelatihan.

partisipasi rakyat dalam proses pembuatan kebijakan sangat terbatas. Sehingga rumor katanya sang menejer (petani dipinggir hutan) tadi berlakudalam mengelola tanahnya.

Rumor ini perlu dijawab dengan kejelasan bagi para pihak di mana sebenarnya Kawasan Hutan Negara itu, dimana Tanah Negara lainnya, apa dokumen pendukungnya, apakah rencana pemerintah mengenai tanah tersebut dan apa bentuk ijin yang sudah diterbitkan diatasnya. Data tersebut perlu di verifikasi dan ditumpang tindihkan dengan pemahaman rakyat atas wilayah kelolanya, sehingga didapat suatu peta permasalahan penguasaan tumpang tindih tanah di wilayahnya secara terstruktur berkaitan dengan tata kuasa, tata kelola, dan tata ijin sehingga dapat diambil keputusan yang tepat (lihat gambar di samping).

(22)
(23)

Hasil Kajian

Tumpang Tindih Pengelolaan Sumberdaya Alam

di Kawasan Ekosistem Halimun

(

Implementasi RATA di Kabupaten Lebak

)

Oleh: Bagus Priatna

Kawasan hutan Halimun yang sekarang ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak

merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Keberadaan kurang lebih 100.000 jiwa penduduk dalam kawasan baik masyarakat asli (adat kasepuhan) maupun masyarakat lokal dan pendatang menjadi persoalan tersendiri selain keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kepentingan investasi pertambangan untuk eksploitasi sumberdaya alam Halimun pun tidak kunjung reda sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda, hal yang secara prinsip bertentangan dengan kepentingan konservasi kawasan. Pada sisi lain, hak-hak masyarakat (adat dan lokal) tidak diperhatikan dalam perebutan sumberdaya alam tersebut. Pengakuan masyarakat adat kasepuhan misalnya tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.

Untuk melihat secara lebih dekat bagaimana kondisi yang terjadi di lapangan, dalam tulisan ini terdapat beberapa lokasi yang dijadikan kajian dalam persoalan sumberdaya alam di Halimun. Setelah sebelumnya dilakukan assesment terhadap beberapa komunitas di Kabupaten Lebak dilakukan untuk menentukan lokasi Studi RaTA (Rapid Land Tenure Assessment). Kompleksitas persoalan tenurial dan keterwakilan issu serta para pihak yang terlibat adalah pertimbangan dalam assesment ini, selain kesediaan dari komunitas. Kajian yang dilakukan untuk melihat sejauh mana klaim yang kemudian juga legalitas, atau pada perkembangannya disebut persepsi legalitas (sesuatu yang mendorong berani untuk mengklaim) di masyarakat atas sumberdaya alam. Disisi lain klaim atau persepsi legalitas ini bisa juga didasari oleh sains, salah satunya melalui fakta sejarah untuk kasus di Kawasan Halimun. Tidak hanya dari masyarakat, persepsi legalitas dalam pengelolaan sumberdaya alam pun diperoleh dari pemerintah daerah setempat dan TNGHS.

Persepsi Masyarakat

Persepsi legalitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui metode RaTA ini dilakukan di 4 lokasi adat di Kabupaten Lebak, yaitu Kampung Ciburial, Kampung Babakan Ciomas, Desa Cirompang, dan Kasepuhan Cisitu.

A. Kampung Ciburial

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Halimun Selatan yaitu di Kampung Ciburial Desa Mekarsari Kabupaten Lebak-Banten, mengalami masalah sampai saat ini terkait dengan kehadiran pihak Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten yang memperoleh kewenangan untuk mengelola kawasan hutan. Sebagian lahan yang dijadikan sandaran hidup masyarakat berada di dalam kawasan hutan wilayah kelola Perum Perhutani. Persoalan mulai muncul pada saat tata batas kawasan hutan, salah satunya adalah tidak ada keterlibatan masyarakat dalam penentuan tata batas. Meskipun Perhutani memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk mengelola lahan garapannya yang ada di dalam kawasan, akan tetapi dari sisi (komoditi) jenis tanaman terjadi perbedaan kepentingan antara

masyarakat dengan Perhutani. Perhutani menginginkan komoditi yang mempunyai nilai ekonomi cukup produktif serta jenis yang homogen, sementara masyarakat mempunyai kepentingan lain, dimana pengetahuan adat tidak menginginkan tanaman homogen. Masyarakat lebih cenderung memilih tanaman campuran (kayu-buah), dan tanaman pangan sebagai representatif ngebon (Kebon), dengan pertimbangan nilai ekonomi dan sumber-sumber air untuk ekologi sawah. Sekaligus menjadi sandaran utama kelompok perempuan Peran pemerintah lokal dalam hal ini pemerintahan desa (Desa dan BPD), belum dapat dirasakan terhadap apa yang diinginkan dan diupayakan oleh masyarakat Kampung Ciburial. Padahal

dukungan tersebut sangatlah penting, mengingat masyarakat mempunyai sejarah Kondisi Lahan Garapan Masyarakat

Bagu

s

Priatna,

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

1) Aplikasi yang dibangun akan memiliki antarmuka yang mudah digunakan (user friendly).. 2) Aplikasi akan menampilkan tampilan teknik dasar gerakan karate dalam bentuk

Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dosis sari buah nanas dan variabel tergantung yaitu efek analgesik dan antiinflamasi sari buah nanas.. Data kuantitatif

(4) Menghitung persentase perolehan data untuk masing-masing kategori, yaitu hasil bagi frekuensi pada masing-masing kategori dengan jumlah responden, dikali seratus

Kesimpulan Tugas Akhir ini adalah sensor kompas dapat bekerja secara akurat, radio frekuensi YS-1020UB dapat bekerja dengan baik dan dapat menerima maupun

Dalam menilai agility yang telah diberikan pada kedua latihan tersebut di atas, maka untuk membuktikan apakah ada perbedaan efektifitas dari kedua latihan tersebut

Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 17 Tahun 2001 tentang Retribusi Penggunaan Jalan dan Bongkar Muat Barang, untuk ketentuan yang mengatur ijin bongkar muat

Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Profitabilitas Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek

Dari hasil wawancara peneliti melihat bahwa partisipasi Masyarakat Masbagik Selatan cukup tinggi yaitu mancapai angka 97,25% masyarakatnya yang mengunakan hak