• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi-September 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institusi-September 2008"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI SEPTEMBER 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a ft a r I si

Memetakan Kekuatan Partai Politik 2009 --- 1

Politik dan Demokrasi Ekonomi --- 4

Siapa Mengawasi Hakim Konstitusi? --- 6

Pertarungan Kredibilitas --- 8

Suara Terbanyak pada Pemilu Legislatif 2009 --- 10

Jalan Buntu Demokrasi --- 13

Keraton Siapkan Draf RUU Keistimewaan DIY --- 15

Draf RUUK DIY Tidak Sesuai UUD 1945 --- 16

Pilgub Jatim Putaran II Dilaksanakan 4 November --- 18

UU BHP dan Liberalisasi Pendidikan --- 19

Antusiasme Warga di Pilkada Tetap Tinggi --- 21

Wujudkan Pilkada Damai --- 22

Duduk Soal Perda Syariah--- 24

Pilkada Sumsel Jadi Ajang Pertarungan Lembaga --- 27

Bersaing Ketat, Hasil Penghitungan Cepat Pilkada Sumsel --- 28

RUU Pilpres, Rangkap Jabatan Belum Disepakati --- 30

Pembayaran Bantuan Langsung Tunai Tahap II Ditunda --- 32

Pengumuman Hasil Pilkada Maju--- 33

Hasil Pilkada Sumsel Diumumkan 9 September --- 35

Pilkada Sumba Tengah Digelar Pagi Ini --- 36

Tim Pemenang Anggap Lawannya Tak Puas pada Hasil Pilkada Lampung --- 37

Desk Pilkada Pastikan Tak Menyimpang --- 38

Warga Parimo, Sulteng Tolak Hasil Pilkada --- 39

Pilkada Lampung Utara Kisruh --- 40

Tahapan Pilkada Istirahat Sementara --- 41

Hormati Hasil Pilkada Sumsel --- 42

Revisi UU Migas Perlu Dicermati --- 43

Kurniantoro - Ruyandi Hutasoit RUU Pilpres --- 44

Parpol di Aceh Sepakati Pilkada Damai --- 45

Silakan Bahas RUU Rahasia Negara Seusai Pemilu 2009 --- 47

(4)

Tolak RUU Anti-Pornografi --- 52

UU Kesehatan Tak Kunjung Selesai --- 54

Pemerintah Terbitkan PP Pengendalian Intern --- 56

Susun DPS Bisa Pakai Data Pilkada --- 57

MK Gelar Uji Materi UU Pemilu --- 58

Politisi Tanpa Ideologi --- 59

Pemilu yang Letih Isu --- 61

Lampung Distribusikan BLT Tahap II --- 63

Perda Tanah Ulayat di Sumbar Masih Bias --- 64

Awas Perangkap UU Pornografi --- 65

Baleg Kembalikan Revisi Terbatas UU Pemilu --- 68

Dilanjutkan, Proses Pilkada Rote Ndao --- 69

RUU Pornografi, Ancaman Kriminal bagi Perempuan --- 70

Tolak RUU BHP --- 73

Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita: RUU Pornografi Harus Hormati Pluralisme --- 75

Menunda RUU Pilpres Tak Logis --- 77

Pilkada Nabire, Sebuah "Rekor" dan Kebangkitan Perempuan --- 79

Setelah Disahkan, UU BHP Akan Diuji Materi --- 80

Uji Coba RUU Pornografi --- 81

Lentera Nilai Pilkada Cacat Hukum --- 84

DPRD Bali Temui Presiden dan DPR --- 85

Tempatkan RUU secara Berimbang --- 87

(5)

Kompas Senin, 01 September 2008

M e m e t a k a n Ke k u a t a n Pa r t a i Polit ik 2 0 0 9

Senin, 1 September 2008 | 00:18 WIB

BAMBANG SETIAWAN

Pemilu 2009 tak hanya akan ditentukan oleh penguasaan wilayah partai politik, tetapi juga oleh aspek-aspek kualitatif parpol. Kepercayaan dan harapan terhadap parpol yang terbangun oleh menguatnya soliditas, ideologisasi, dan kepemimpinan parpol akan turut menentukan.

Jumlah partai politik tidak menyebabkan berkurangnya penetrasi partai besar, tetapi lebih berpengaruh pada partai kecil.

Semakin banyak partai, penguasaan wilayah oleh partai kecil semakin sulit. Hal ini terbukti dari konsentrasi yang cenderung mengelompok pada sedikit partai dalam Pemilu 1999. Dari 313 wilayah kabupaten/kota, hanya enam partai dari total 48 partai yang mampu memenangi wilayah. Sebaliknya, dalam Pemilu 2004 jumlah partai berkurang menjadi 24, tetapi terdapat 16 partai yang mampu merebut wilayah.

Jika ditotal, jumlah penguasaan wilayah kabupaten/kota oleh dua partai besar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar, pada Pemilu 1999 mencapai 89,4 persen atau 280 wilayah, dan pada Pemilu 2004 mencapai 81,8 persen atau 360 kabupaten/kota. Pergeseran kekuatan paling signifikan juga hanya terjadi pada Partai Golkar dan PDI-P.

Kalau pada Pemilu 1999 PDI-P mampu menguasai 53 persen atau 166 dari 313 kabupaten/kota, pada Pemilu 2004 hanya mampu meraih 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota. Sebaliknya, Partai Golkar, yang tadinya terpuruk dan hanya menguasai 36,4 persen, dalam pemilu terakhir mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota. Meskipun secara nasional perolehan suara Partai Golkar turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, sebaran wilayah yang mampu dimenangi partai berlogo beringin ini semakin banyak.

Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangi Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangi 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai kecil lainnya.

Meski hingga Pemilu 2004 penguasaan wilayah masih didominasi Partai Golkar dan PDI-P, penguasaan wilayah belum tentu menjadi variabel yang menjamin perolehan suara besar. Banyak soal harus diperhatikan, seperti tumbuhnya wilayah hotspot atau sentral penyebaran akibat kemenangan sebuah partai dalam pilkada. Selain itu, juga oleh tingkat pengenalan publik terhadap partai, kepercayaan dan penilaian pemilih terhadap partai, serta dinamika partai.

Wilayah hotspot bisa menjadi titik sentral yang berpotensi menambah kepercayaan partai dan pemilih untuk mengubah peta kekuatan wilayah. Bahkan, pengaruhnya mungkin akan menyebar di wilayah sekitarnya. Kemenangan sebuah partai dalam pilkada di wilayah yang menjadi basis partai lain maupun basis massanya menjadi variabel yang layak diperhitungkan.

(6)

Kompas Senin, 01 September 2008

Sementara kemenangan PDI-P dalam Pilkada Jawa Tengah bisa berimbas ke wilayah Jawa Timur yang saat ini relatif mencair. Keretakan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa, yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur dalam pemilu sebelumnya, bisa menjadi peluang bagi PDI-P untuk menguat di wilayah ini.

Jika Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dikuasai PDI-P serta Jawa Barat dan Banten oleh PKS, lumbung suara untuk Partai Golkar akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pengenalan partai

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, awal Agustus lalu, terlihat bahwa pengenalan publik terhadap partai-partai baru masih berada di bawah rata-rata. Hanya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang tercatat berada di atas 50 persen. Partai Hanura pernah didengar oleh 67,9 persen responden dan Partai Gerindra oleh 60,3 persen. Kedua partai ini juga lebih terkenal dibandingkan dengan sejumlah partai lama, seperti PKPB, PKPI, Partai Pelopor, PDK, PPD, maupun PPDI.

Penetrasi iklan di media, bisa jadi, turut mendongkrak popularitas Partai Hanura dan Gerindra. Meski demikian, pengenalan nama partai ternyata tidak identik dengan pengenalan terhadap nama ketua umumnya. Responden yang mampu menyebutkan secara spontan ketika diajukan pertanyaan apakah mengetahui nama Ketua Umum Partai Hanura hanya 36,7 persen dan Partai Gerindra hanya 2,2 persen.

Belum lekatnya nama partai dengan nama ketua umumnya juga dialami partai lama, termasuk Partai Demokrat yang nama ketua umumnya hanya dikenal 4,9 persen responden. Bahkan, nama Ketua Umum Partai Golkar hanya diketahui 49,2 persen responden. Pengenalan publik paling tinggi adalah pada nama Ketua Umum PDI-P, yang diketahui 79,5 persen responden.

Nama ketua umum

Namun, pengenalan nama ketua umum tidak menjamin penetrasi yang kuat untuk menggaet pemilih. Masih ada soal lain yang selayaknya diperhatikan, yakni kepercayaan, soliditas, wacana penguatan ideologi, dan kepemimpinan.

Hingga saat ini hanya 54,7 persen responden yang merasa aspirasi politiknya sesuai dengan salah satu partai yang resmi mengikuti Pemilu 2009. Sisanya, 13,2 persen menyatakan tidak ada partai yang sesuai dan 32,1 persen belum tahu mana partai yang sesuai dengan aspirasi politiknya. Di antara 34 partai politik, PDI-P, PKS, dan Partai Demokrat dianggap sebagai partai yang paling sesuai dengan aspirasi mereka.

(7)

Kompas Senin, 01 September 2008

Dinamika partai

(8)

Kompas Senin, 01 September 2008

Polit ik d a n D e m ok r a si Ek on om i

Senin, 1 September 2008 | 00:20 WIB

Ahmad Erani Yustika

Sudah sebulan ini, gempita pasar politik (political market) di Indonesia sudah dimulai. Hal itu ditandai 38 partai politik mengikuti pemilu.

Sebelumnya, telah terdapat iklan beberapa calon kandidat presiden dengan memanfaatkan banyak media. Pasar politik ini berlangsung panjang, hingga April 2009 saat dilangsungkan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Usia pasar politik pun kian besar jika ditambah pemilihan presiden-wakil presiden yang kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran. Dengan demikian, seluruh kegiatan itu mungkin akan berakhir Oktober 2009 (saat pelantikan presiden baru).

Dalam sistem ekonomi pasar, pembukaan pasar (ekonomi) yang luas terbukti mendonorkan keragaman tawaran barang/jasa. Pertanyaannya, apakah pasar politik kali ini akan menyodorkan aneka gagasan atau platform menarik?

”Platform” ekonomi

Ada banyak aspirasi perubahan yang diinginkan rakyat. Namun, disepakati, isu ekonomi menjadi prioritas masyarakat. Kini semua pihak mengetahui, ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah ada pada bidang ekonomi. Maka, kandidat/partai yang mampu memberi optimisme terhadap perbaikan ekonomi berpeluang besar untuk diterima rakyat.

Pada titik itulah, platform ekonomi menjadi simpul terpenting untuk mengaitkan partai politik dengan konstituennya melalui pasar politik. Sayang, platform ekonomi justru menjadi titik terlemah partai politik di Indonesia sehingga pasar politik gagal menjadi medium pertukaran yang efektif antara partai politik (supplier) dan rakyat (demander).

Ada banyak parpol yang menawarkan platform ekonomi, tetapi hanya satu-dua parpol yang platform-nya bisa diapresiasi. Selebihnya, platform ekonominya terjebak dalam bentuk ”orasi” yang amat normatif, tanpa ada kejelasan apa yang mau diperbuat dengan ekonomi di masa depan.

Kondisi itu bisa karena dua hal.

Pertama, partai politik tidak memiliki basis ideologi yang kuat sehingga bisa memandu dalam mendesain visi pembangunan ekonomi pada masa depan (setidaknya dalam lima tahun). Hal ini menyebabkan platform yang muncul selalu bersifat klise dan normatif.

Kedua, parpol tidak memiliki bahan baku informasi (data) akurat tentang kebutuhan nyata yang diinginkan rakyat. Implikasinya, platform ekonomi yang dijual berjarak dengan rakyat, tidak orisinal, dan normatif. Hasilnya, jumlah partai amat banyak, tetapi mandul dalam menciptakan platform ekonomi.

Demokrasi ekonomi

Saat ini topik demokrasi ekonomi amat aktual karena ada realitas ekonomi yang mencemaskan di Indonesia.

(9)

Kompas Senin, 01 September 2008

Kedua, ketimpangan kepemilikan/penguasaan lahan yang memprihatinkan, mencapai 0,7 (amat timpang). Padahal, lahan (tanah) merupakan salah satu faktor produksi paling penting dalam kegiatan ekonomi, selain modal, tenaga kerja, dan teknologi.

Ketiga, terjadi penumpukan modal pada segelintir orang. Rilis data majalah Forbes Asia akhir tahun 2007 menyebutkan, total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 27,86 miliar dollar AS (Rp 259,098 triliun). Jumlah itu ekuivalen dengan 33,93 persen APBN 2007.

Seharusnya, data-data itu menjadi bahan baku yang baik untuk menyusun platform (demokrasi) ekonomi karena sebagian besar persoalan ekonomi bersumber dari sana. Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapat tempat penting dalam wacana pembangunan karena ada dua perkembangan yang berkaitan. Pertama, pengalaman historis para buruh dalam mengajukan tuntutan, lebih sering hanya mendapat janji-janji tentang kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Kedua, ada kesadaran yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan dengan kapitalisme (Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapat ruang yang laik dalam kapitalisme karena sistem terakhir ini mengandaikan pemusatan pengambilan keputusan cuma pada segelintir pemilik kapital.

Dengan karakteristik semacam itu, proyek demokrasi ekonomi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dielaborasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.

Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih menggambarkan pembagian faktor produksi yang adil.

Kedua, mencegah munculnya praktik rente ekonomi yang menyumbat peluang bagi masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi.

Ketiga, mengamalkan kebijakan land reform secara tuntas sehingga terbuka peluang bagi rakyat (petani) untuk mengakumulasi kesejahteraan.

Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi melalui beragam skema, misalnya subsidi, pajak progresif, dan program social security.

Parpol yang bisa menyuarakan hal ini berpotensi meraup dukungan karena paralel dengan suara hati rakyat.

(10)

Kompas Senin, 01 September 2008

Sia p a M e n g a w a si H a k im Kon st it u si?

Senin, 1 September 2008 | 00:20 WIB

Yohanes Usfunan

Ke depan, pimpinan Mahkamah Konstitusi bukan hanya bisa bicara dan sebagai selebriti, tetapi harus bisa membawa MK sebagai institusi tepercaya. Hakim konstitusi pada hakikatnya adalah hakim.

Seorang hakim tidak saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang terpenting juga menjaga independensi. Demikian dikatakan hakim konstitusi Mukthie Fadjar dan Akil Mochtar (Kompas, 20/8).

Hakim konstitusi

Pernyataan kedua hakim konstitusi itu mengakui dan menegaskan posisi hakim konstitusi sebagai hakim sesuai Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945. Isinya, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Penegasan serupa terkait pertanyaan, siapa berwenang mengawasi hakim konstitusi? Keutusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No 22/ 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) dan UU No 4 /2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memangkas sejumlah pasal tentang wewenang pengawasan KY. Pengawasan KY bertujuan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim sesuai Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945. Salah satu butir putusan MK menyebutkan, hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi KY.

Dalam putusan MK (h 174) disebutkan, hakim konstitusi tak diawasi KY karena masa jabatannya lima tahun setelah itu kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi KY karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tak melibatkan KY. Argumen lain, hakim konstitusi tidak diawasi KY karena jika diawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara.

Argumentasi itu menunjukkan, pertama MK tak konsisten dengan pernyataan sikap yang selalu menegaskan lembaga negara ini independen dan imparsial. Artinya, MK dalam menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun, lembaga lain, dan dengan cara apa pun. Pasal 2 UU No 24/2003 tentang MK menegaskan, MK salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kedua, lembaga negara terkesan tidak merespons syarat transparansi dan akuntabilitas dalam penciptaan pemerintahan yang bersih yang gencar dilaksanakan sesuai tuntutan reformasi.

Ketiga, Indonesia sedang giat memberantas korupsi dan mafia peradilan (judicial corruption) sehingga tanpa perkecualian semua lembaga dan pejabat negara wajib terbuka dan mempertanggungjawabkan semua kebijakan.

(11)

Kompas Senin, 01 September 2008

Kelima, pengawasan KY berhubungan dengan perilaku seorang hakim yang secara preventif bermanfaat mencegah penyalahgunaan wewenang dalam memutus perkara.

Keenam, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan sehingga hakim konstitusi yang menjadi bagian dari hakim wajib diawasi KY. Secara historis dalam risalah perubahan UUD 1945 pun, tidak ditemukan adanya rumusan yang mengatakan, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Maka, secara konstitusional hakim konstitusi adalah hakim menurut Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945.

Konsekuensi putusan MK itu menghambat KY menjalankan wewenang pengawasan terhadap hakim yang dilaporkan terlibat judicial corruption. Pengawasan merupakan unsur penting dalam pemerintahan yang bersih dan demokratis untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Selain itu, judicial corruption menghambat komitmen pemerintah memberantas korupsi.

DPR

Revisi UU KY yang sedang dibahas badan legislasi DPR perlu merumuskan kembali pengawasan KY terhadap hakim konstitusi. Tujuannya, pertama sebagai antisipasi mencegah hakim konstitusi dari kemungkinan terlibat mafia peradilan. Kedua, DPR diharapkan segera mengesahkan revisi UU KY agar wewenang pengawasan KY terhadap hakim terlaksana optimal. Ketiga, revisi itu diharapkan memberi wewenang langsung kepada KY untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang terlibat mafia peradilan. Sebelumnya wewenang KY hanya sebatas mengungkap, memeriksa kesalahan hakim, dan merekomendasikan kepada MA dan MK agar menjatuhkan sanksi. Sanksi kepada hakim yang terbukti kesalahannya berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemecatan.

(12)

Suara Pembaruan Senin, 01 September 2008

Pilp r e s 2 0 0 9

Pe r t a r u n g a n Kr e d ib ilit a s

E m r u s

Pemilihan presiden (pilpres) tidak lama lagi. Pada 2009 rakyat menentukan siapa presiden ketujuh. Para kandidat mulai berbenah. Mereka menyusun strategi "perang" menjadi presiden. Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri sendiri serta saingan potensial.

Saat ini mereka telah saling serang dengan senjata komunikasi politik memanfaatkan media komunikasi massa secara optimal baik yang dibayar melalui iklan, kegiatan profesional, maupun kolaborasi politik dengan penyelenggara media. Pada babak penyisihan ini, mereka mengangkat isu dikotomi tua dan muda. Pada pertandingan berikutnya, boleh jadi mereka mengangkat tema lain untuk menarik simpati masyarakat dan sekaligus mengeliminasi calon lain.

Pertandingan komunikasi politik ini bertujuan menghancurkan kredibilitas saingan, sekaligus membangun citra pribadi pada masyarakat, khususnya pada calon pemilih. Tujuan akhir dari "perang" ini mendulang suara pada Pilpres 2009 untuk merebut kursi presiden. Merebut kekuasaan. Menikmati kekuasaan.

Boleh jadi rakyat kelas bawah tetap menderita. Sebab pada saat kampanye, semua kandidat pasti menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat kelas bawah ini. Padahal, siapapun memimpin bangsa ini lima tahun kedepan tidak mempengaruhi secara signifikan upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Sebab, persoalan utama bangsa kita bukan pada siapa memimpin, tetapi lebih pada sistem.

Program Pembangunan

Oleh karena itu, diperlukan perubahan secara total untuk menata sistem ketatanegaraan yang melahirkan manusia Indonesia memiliki integritas dan nasionalisme yang tinggi. Jadi, pertarungan kredibilitas para kandidat presiden antara kaum muda dan tua pada hakikatnya merebut kursi kepresidenan untuk menikmati kekuasaan. Sehingga tidak mengherankan pertarungan semacam ini bertujuan menghancurkan karakter seseorang.

Untuk itu, masyarakat tidak boleh hanyut pada pertarungan yang tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan. Untuk memahami pertarungan kredibilitas yang sedang diwacanakan oleh para kandidat tua dan muda, tulisan ini mengurai makna kredibilitas dari perspektif komunikasi, sehingga masyarakat dapat menilai pertandingan yang sedang dipertontonkan oleh para kandidat presiden.

Kredibilitas sebagai realitas sosial dapat berubah-ubah. Ia dapat dibangun dan dapat dihancurkan melalui proses komunikasi politik. Iklan-iklan politik yang semarak di televisi, saat ini, sebagai contoh membangun kredibilitas tokoh politik. Jadi, kredibilitas seseorang bukanlah bawaan lahir, bukan juga datang dengan sendirinya, tetapi sebagai hasil dari rekayasa sosial. Karena itu, kredibilitas seorang tokoh di mata masyarakat adalah persoalan persepsi. Bisa saja seorang tokoh kredibel pada suatu masyarakat tertentu, tetapi tidak untuk masyarakat lain.

(13)

Suara Pembaruan Senin, 01 September 2008

Pertarungan kredibilitas ibarat petinju di atas ring, menyerang adalah salah satu pertahanan yang sangat baik. Cairnya kredibilitas membuat para kandidat presiden saling "serang" dan secara simultan membangun kredibilitas diri sendiri.

Para kandidat presiden pada Pilpres 2009 berusaha semaksimal mungkin memenangkan pertandingan kredibilitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menyusun strategi dan jurus-jurus komunikasi politik yang andal dengan berbasis pada konstruksi kredibilitas.

Salah satu faktor dominan, khususnya di Indonesia, kredibilitas kandidat presiden sangat menentukan efektivitas komunikasi politik untuk merebut simpati masyarakat. Burgoon (1974) berkata: we are all aware that some people are more effective communicators than others.

Dari perspektif komunikasi, pengaruh kredibilitas komunikator politik memegang peranan penting dalam komunikasi politik yang efektif. Lebih 2000 tahun yang lalu, Aristoteles menulis, kredibilitas tokoh, termasuk kandidat presiden, menyangkut tiga hal yaitu ethos, memiliki kecerdasan, niat baik dan keterbukaan; logos, mampu memberikan argumentasi yang logis; dan pathos, dapat membangkitkan emosi khalayak. Inilah yang membedakan kandidat satu dengan kandidat lain. Burgoon menggambarkan kredibilitas sebagai 'good' man, or a 'credible' speaker or a 'charis- matic' leader.

Faktor Kontribusi

Paling sedikit lima faktor berkontribusi membangun kredibilitas. Pertama, seorang dianggap memiliki pengetahuan luar biasa mengenai permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Misalnya, masa Orde Baru berhasil mengangkat isu ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai faktor utama membangun Indonesia.

Kedua, terkesan sebagai orang baik, rendah hati, dan sangat dapat dipercaya. Sebaliknya, sese- orang dinilai memiliki karakter buruk, pasti memiliki kredibilitas sangat rendah. Misalnya, tokoh muda yang menjadi bakal kandidat presiden menuduh tokoh tua telah gagal membawa Indonesia dari keterpurukan. Iklan politik bertema "generasi baru membawa perubahan baru" sudah bertaburan pada berbagai media massa. Pesan komunikasi politik semacam ini tidak lain bertujuan "membunuh" kredibilitas tokoh yang lebih tua di mata masyarakat calon pemilih 2009.

Ketiga, kandidat harus terkesan tenang, mampu meyakinkan dan tidak tampak berada dalam tekanan, sekalipun menghadapi permasalahan yang luar biasa, seperti tuduhan yang dapat membunuh karakter. Dalam hal ini pengelolaan kesan, merupakan hal penting bagi setiap kandidat. Keempat, memiliki perilaku disukai. Orang yang disukai lebih mudah mempersuasi daripada orang yang kurang disukai. Untuk dapat disukai seorang kandidat harus mampu memahami kondisi permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia, saat ini. Oleh karena itu, tidak usah heran kalau antarkandidat selalu saling "menyerang" bahwa kandidat lainnya sudah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kelima, diartikan sebagai se- orang yang terbuka, dinamis dan proaktif. Kandidat yang memiliki kesan semacam itu lebih disukai daripada pendiam. Konstituen yang akan memilihnya mempunyai harapan membawa kemajuan. Masyarakat cenderung meragukan kandidat presiden pendiam.

(14)

Suara Pembaruan Senin, 01 September 2008

Su a r a Te r b a n y a k p a d a Pe m ilu Le g isla t if 2 0 0 9

SP/YC Kurniantoro - Akbar Tandjung

Oleh Akbar Tandjung

Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR Periode 1999-2004

Suara terbanyak menjadi pilihan sejumlah parpol pada saat menetapkan calon anggota legislatif (caleg) yang mereka ajukan pada Pemilu Legislatif 2009. Parpol-parpol yang sudah menyatakan pilihannya itu, antara lain, PAN, PBR, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Golkar.

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu disebutkan secara tegas, anggota legislatif yang bakal duduk di DPR ditentukan berdasarkan nomor urut yang diajukan parpol. Besar-kecilnya nomor urut dengan demikian sangat menentukan sukses tidaknya caleg tersebut menuju gedung DPR. Sebaliknya, dengan mekanisme suara terbanyak, caleg dengan nomor urut besar (bawah) tetap berpeluang menjadi anggota DPR asal mampu mengumpulkan dukungan suara terbanyak. Sukses tidaknya caleg sangat bergantung pada kerja kerasnya meraih suara pemilih.

Pilihan sejumlah parpol untuk berbeda dengan ketentuan UU Pemilu menimbulkan konsekuensi terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tidak bisa lain, kecuali bekerja berdasarkan UU Pemilu.

Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan parpol dan sistem pemilu kita? Apa implikasi keputusan penerapan suara terbanyak tersebut dan bagaimana beda kepentingan parpol peserta pemilu dapat diakomodasi?

Persaingan Ketat

Suara terbanyak yang dipilih sejumlah parpol mengindikasikan semakin ketatnya persaingan antarparpol dan antarcaleg pada Pemilu Legislatif 2009. Pemilu yang akan digelar 9 April tersebut di- ikuti 38 parpol, terdiri dari 16 parpol lama yang memiliki kursi di DPR, 18 parpol baru yang lolos seleksi KPU, serta empat parpol yang memenangkan gugatan di Peng- adilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Banyaknya parpol peserta pemilu tentu semakin menyulitkan perjuangan mereka meraih kursi di parlemen. Padahal, pada saat yang sama citra parpol sedang kurang positif di mata masyarakat. Ini terjadi akibat konflik internal yang melanda sejumlah partai dan kurang terpujinya perilaku sebagian anggotanya, sebagaimana kerap diberitakan berbagai media massa.

Demikian pula nyaris tiadanya perbedaan yang tegas garis perjuangan parpol semakin menyulitkan mereka membangun ciri khas partainya. Karena itu tidak mudah dipahami masyarakat mengapa harus banyak parpol bila di antara mereka tidak ada perbedaan signifikan. Dengan begitu, parpol manapun yang berkuasa tampaknya akan sama saja solusinya terhadap permasalahan dan kebijakan yang mereka tawarkan kelak.

(15)

Suara Pembaruan Senin, 01 September 2008

Bertolak dari itu, suara terbanyak menjadi alternatif baru dalam meraih simpati rakyat. Melalui suara terbanyak diharapkan parpol dan calegnya dapat lebih mendekatkan diri kepada rakyat. Caleg yang terpilih dengan demikian hanya mereka yang benar-benar dikenal di daerahnya. Tanpa terkecuali pula, semua caleg harus bekerja keras mengenalkan dirinya kepada calon pemilih. Dengan cara ini, diharapkan tidak ada lagi caleg beruntung yang duduk di kursi legislatif karena kelebihan suara.

Bagi parpol sendiri, mekanisme suara terbanyak akan menggeser konflik penentuan caleg dari DPP ke tingkat grass root, persaingan antarcaleg. Konsekuensinya, parpol lebih banyak berperan sebagai kendaraan politik yang hanya aktif pada saat pemilu. Lebih dari itu, para caleg harus bersaing untuk memenangi suara. Semakin dikenal dan kompeten seseorang semakin besar peluangnya meraih dukungan suara rakyat. Ini logika pasar dari demokrasi yang kita terapkan.

Banyaknya artis terjun ke dunia politik dan maraknya iklan politik tidak lepas dari perkembangan demokrasi ini. Meski banyak kritik dilontarkan, namun artis atau tokoh yang telah dikenal pada praktiknya memang lebih efektif dalam meraih suara pemilih. Dalam pemilu langsung demikian figur memang lebih menentukan dibanding mesin parpol. Oleh karena itu, ke depan parpol harus memikirkan peran kader-kadernya dalam kehidupan demokrasi yang terus berubah.

Revisi UU Pemilu

Penerapan suara terbanyak sangat ideal dan akan meningkatkan citra parpol di mata masyarakat. Mekanisme ini dimungkinkan karena adanya klausul pada Pasal 218 UU No 10 Tahun 2008 yang mengatur pengunduran diri caleg. Karena itu sejumlah parpol yang menggunakan suara terbanyak meminta bakal calegnya menandatangani perjanjian internal partai sebelum benar-benar diajukan sebagai caleg. Intinya, caleg akan menyatakan mengundurkan diri dari caleg jadi apabila tidak memperoleh suara terbanyak.

Setelah caleg mundur, parpol akan menarik namanya dari KPU dan mengganti dengan caleg peraih suara terbanyak. Bila yang meraih suara terbanyak caleg nomor bawah, katakan nomor urut tiga, maka para caleg nomor urut lebih kecil satu dan dua harus mengundurkan diri. Inilah yang harus diatur melalui mekanisme internal partai, karena UU menetapkan caleg terpilih adalah yang meraih 30 persen BPP dalam pemilu.

Sekilas, mekanisme internal partai ini tampak akan menyelesaikan persoalan perebutan nomor kecil di internal parpol. Namun, bagaimana bila kemudian terjadi sesuatu terhadap peraih suara terbanyak tersebut. Katakan diangkat menjadi menteri, lantas nomor urut berapa yang akan menggantinya? Begitu pula bila terdapat sisa suara, akankah mekanisme suara terbanyak masih berlaku atau sebaliknya parpol akan kembali kepada nomor urut?

Selanjutnya terkait masalah perundangan, apakah ketentuan internal partai ini cukup kuat dan dipatuhi para caleg? Jika tidak, saya khawatir suara terbanyak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, mengingat ketentuan internal parpol tidak dapat mengalahkan ketentuan UU. Begitu pula jika terjadi perselisihan di internal parpol maka akan sulit bagi parpol dan lembaga terkait menyelesaikannya. Ujung-ujungnya perpecahan internal parpol yang tentu tidak positif bagi perkembangan demokrasi kita.

(16)

Suara Pembaruan Senin, 01 September 2008

(17)

Kompas Selasa, 02 September 2008

Ja la n Bu n t u D e m ok r a si

Selasa, 2 September 2008 | 00:57 WIB

Boni Hargens

Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais bakal tampil di panggung pemilihan presiden 2009. Lengkaplah potret elite lama di etalase politik nasional.

Dari sudut hak politik, siapa pun boleh mencalonkan atau dicalonkan. Namun, dominasi elite lama di pentas politik kebangsaan dan rumitnya aktualisasi politik kaum muda menjelang Pemilu 2009 melengkapi kotak pandora demokrasi di Indonesia. Lalu, apa yang dapat dikatakan tentang politik di Tanah Air?

Sulit diukur

Mungkin pekerjaan paling rumit bagi ilmuwan sosial-politik saat ini adalah merumuskan postulasi ilmiah yang akurat soal dinamika demokrasi di Indonesia, apalagi jika bertendensi mengukur kuantitatif kemajuan demokrasi seperti obsesi Inkeles (On Measuring Democracy, 1991). Inkeles terbukti gagal di Afrika, sebagaimana studi Staffan I Lindberg (2002), di mana demokrasi sulit terukur. Masalahnya ada pada penyebaran tak merata demokrasi dan laju transisi yang acak di berbagai negara.

Di Indonesia, masalahnya lebih dari sekadar ketidakjelasan laju transisi. Yang paling mendasar adalah tidak adanya substansi demokrasi, yang dalam terminologi Diamond (2008) disebut ”roh demokrasi” (the spirit of democracy). ”Roh” tak hanya berbicara soal nilai keadilan, kesejahteraan, kedaulatan rakyat, atau kesetaraan, tetapi juga visi, dorongan, keyakinan, dan komitmen untuk berbakti kepada publik.

Fenomena golput di berbagai pilkada sejak tahun 2005—yang lahir sebagai kecenderungan politik baru—tak terpisahkan dari penyelenggaraan demokrasi yang krisis substansi. Golput jelas ancaman serius Pemilu 2009 (di sini kita tak bicara golput teknis karena buruknya pendataan pemilih).

Masalahnya, apakah pemilu menghasilkan perubahan substansial? Pertanyaan ini tak pernah terselesaikan dengan pemilu berulang-ulang dan melelahkan. Maka, kesimpulan dialog publik ”Problematika Penyelenggaraan Demokrasi Elektoral” yang digelar Pusat Pengkajian Strategis Merdeka di Jakarta (23/8/2008) amat kontekstual. Demokrasi di Indonesia mengalami degradasi mutu dan Pemilu 2009 sulit berkualitas (Kompas, 25/8). Degradasi terkait kepemimpinan yang kurang adaptif dengan tuntutan dan tantangan politik yang ada.

Oleh karena itu, pada dua aras dapat ditemukan alasan degradasi kualitas demokrasi.

(18)

Kompas Selasa, 02 September 2008

Kedua, para elite politik gagal merumuskan definisi yang jelas dan pasti tentang ideologi, visi, dan misi politik. Indikasi paling jelas ditemukan dalam lobi koalisi. Meski lobi strategis setelah pemilu legislatif April 2009, dan belum ada partai yang menyepakati rekan koalisi, namun sudah ada manuver. Konon, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) hendak ”kawin” lagi dengan Partai Golkar. Jika perkawinan kedua itu terjadi, PDI-P rela jatuh pada lubang yang sama setelah perkawinan tahun 2004 saat Golkar tak mampu membuktikan kesetiaannya. Apakah ini masalah?

Machiavelli

Sebagai seni segala kemungkinan, politik memungkinkan apa pun terjadi sehingga perkawinan PDI-P-Golkar pun bukan masalah. Namun, rakyat bisa menilai, proses politik di tingkat elite yang power-oriented dan menghalalkan segala cara merupakan jalan menuju kebuntuan fatal.

Padahal, Machiavelli, setidaknya dalam pembacaan Pocock (The Machiavellian Moment: Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, 1975), menjustifikasi penghalalan segala cara karena konteks politik Italia masa itu, di mana kaum Republikan bertikai soal instabilitas politik mereka sendiri. Jika Machiavelli menolak penghalalan segala cara, Italia bisa hancur di tangan para tentara bayaran atau berakhir di tangan rezim hipokrit. Inilah yang Pocock sebut sebagai the machiavellian moment.

Indonesia tidak sedang dalam ”Momen Machiavelli”. Kita sudah 63 tahun berdemokrasi tetapi tendensinya mau mengekalkan strategi Machiavellian yang temporal.

Nasib demokrasi elektoral di Indonesia yang masih dimonopoli elite lama dan transisi yang tidak disertai perubahan paradigma politik di teras elite, pada titik tertentu berdampak fatal dalam arah ganda. Pertama, fatal untuk politisi karena kebangkrutan demokrasi menyuburkan perilaku golput yang paling ditakuti politisi dalam pemilu. Arah kedua, membunuh inspirasi dan imajinasi sebagian rakyat yang masih percaya politik.

Pada arah pertama, kita mungkin tak begitu tertarik untuk peduli. Namun, pada arah kedua, karena menyangkut masa depan politik dan peradaban demokrasi, kita semua harus peduli. Maka, segenap elemen harus mendorong terjadinya perubahan dan hal itu bisa dilakukan dengan menentukan pilihan yang tepat pada pemilu.

(19)

Suara Pembaruan Selasa, 02 September 2008

Ke r a t on Sia p k a n D r a f RUU Ke ist im e w a a n D I Y

[YOGYAKARTA] Pihak Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat menganggap draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) yang diusulkan pemerintah pusat belum setara dengan kehendak rakyat. Keluarga Keraton menyiapkan draf RUUK DIY, yang akan dibawa GBPH Joyokusumo untuk diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

GBPH Yudhaningrat, dari keluarga Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, di Yogyakarta, Senin (1/9) menjelaskan, draf versi keraton tersebut sebagai bahan pertimbangan bagi DPR dalam menyusun Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY. Draf yang diajukan pemerintah tidak sesuai dengan perjalanan sejarah pembentukan DIY yang terdiri dari kerajaan Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat dengan Kadipaten Puro Pakualaman.

Yudhaningrat tidak setuju dengan lembaga Pararadya, termasuk posisi Sultan dan Paku Alam yang seharusnya menjadi kepala daerah diganti menjadi lembaga Pararadya.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Gandung Pardiman pun berpendapat bahwa draf dari pemerintah, berbeda dengan aspirasi rakyat DIY, yakni soal masa jabatan gubernur dan wakil gubernur.

Rakyat Yogyakarta ingin Sultan dan Paku Alam kembali menjadi gubernur dan wakil gubernur tahun 2008-2013. "Hal itu tidak ada dalam draf RUUK. Kami akan bertemu DPR lagi untuk membahas ini, sekaligus mendukung draf yang diusung Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat," katanya.

Pemilihan

Wakil Ketua Komisi A DPRD DIY Arif Rachman Hakim menjelaskan, empat klausul draf RUUK DIY yang diserahkan Sekretaris Negara ke DPR secara tegas menyebutkan, tata pemerintahan DIY yang demokratis diwujudkan melalui pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara politik dan pemerintahan dengan Kesultanan dan Pakualaman, Pemerintahan Provinsi DIY terdiri atas Pararadya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD DIY.

Dikatakan, Pararadya merupakan satu-kesatuan lembaga yang berfungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY yang berkedudukan di atas gubernur dan mempunyai hak protokoler seperti menteri.

Kedudukan Sultan sebagai Pararadya justru berada di atas kedudukan gubernur. Pararadya memiliki wewenang mengontrol kinerja gubernur dan wakil gubernur dan DPRD, katanya.

(20)

Suara Pembaruan Rabu, 03 September 2008

D r a f RUUK D I Y Tid a k Se su a i UUD 1 9 4 5

[YOGYAKARTA] Draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) yang diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, Jakarta sangat berbeda dengan yang dikirimkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, sebagai gambaran aspirasi rakyat. Draf itu tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

"Dalam draf RUUK yang dikirimkan ke DPR sama sekali tidak disinggung keberadaan Paku Alaman yang ikut dalam DIY. Dalam UUD 1945 Pasal 18 b, negara mengakui daerah-daerah otonom yang bersifat khusus," kata Anggota DPRD DIY Deddy Suwandi SR kepada SP, di Yogyakarta, Rabu (3/9) pagi.

Selain itu, tambahnya, draf tersebut, banyak yang bertentangan dengan UU Nomor 3/1950 tentang Keistimewaan DIY. Pasal 1 UU No 3/1950 berbunyi daerah yang meliputi Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman ditetapkan menjadi DIY setingkat dengan provinsi.

"Dengan demikian pemerintah sudah melakukan intervensi dengan memberikan draf yang berisi ketentuan pemisahan antara kepala keperintahan dan kepala daerah. Sri Sultan sebagai raja di Yogyakarta tidak lagi menjabat sebagai gubernur," katanya.

Dengan draf ini, pemerintah pusat telah menjuruskan atau mengembalikan DIY menjadi pemerintahan monarki, yang sebelumnya sudah dihapus dengan kehadiran UU No 3/1950 tersebut. Kalau tidak segera dirumuskan secara benar hal tersebut akan menimbulkan rusuh di masyarakat yang secara garis besar menghendaki Sultanku adalah gubernurku.

Menurut Deddy, Menteri Dalam Negeri secara implisit telah menentukan bahwa DIY harus menjalankan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti daerah lain, dengan memisahkan kedudukan kepala pemerintahan dan kepada daerah. Wacana itulah yang muncul dan ditanggapi masyarakat sebagai hal yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.

"Rakyat Yogya tetap bersikukuh mempertahankan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai pasangan pemimpin tertinggi di DIY. Kalau tidak, maka kondisi tidak mengenakkan akan terjadi di DIY," katanya.

Sebenarnya, tambahnya, hal-hal krusial dalam RUUK bukan hanya pada posisi dan kedudukan raja dan gubernur, tetapi juga pada kondisi tanah Keraton, termasuk di dalamnya kinerja birokrasi yang sesungguhnya memang harus berbeda dengan daerah lainnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Suparman Marzuki mengatakan, sampai saat ini persiapan pilkada nol persen, meski masa jabatan gubernur dan wakil gubernur akan berakhir 8 Oktober mendatang. Namun, kalau dipaksakan pilkada digelar, banyak kelompok akan memboikot Pilkada DIY," ujarnya.

Reaksi Keras

Dikatakan, opsi yang ditawarkan pemerintah pusat dalam draf RUUK DIY sudah memancing reaksi keras masyarakat. Dengan tidak mendudukkan Sri Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakilnya, dianggap telah menodai keistimewaan.

(21)

Suara Pembaruan Rabu, 03 September 2008

Suparman mengaku tidak bisa memutuskan dan Pilkada DIY memang tidak akan mungkin digelar dalam waktu dekat. "Persiapannya minimal 6 bulan sebelum hari H. Sekarang tinggal satu bulan lagi, ya tidak mungkin," katanya.

(22)

Suara Pembaruan Rabu, 03 September 2008

Pilg u b Ja t im Pu t a r a n I I D ila k sa n a k a n 4 N ov e m b e r

[SURABAYA] Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) mengajukan usulan kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri), agar pelaksanaan pemilihan gubernur (pilgub) putaran kedua berlangsung 4 November. Sedangkan anggarannya telah disepakati Rp 265 miliar.

"Dalam rapat pleno, lima anggota KPU Jatim, sepakat mengajukan satu tanggal 4 November 2008,'' kata Ketua KPU Jatim, Wahyudi Purnomo di Surabaya, Selasa (2/9).

Dikatakan, usulan disampaikan juga kepada KPU kabupaten/kota, Penjabat Gubernur dan Desk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim. Alasannya, tanggal itu merupakan jarak aman karena tidak bertepatan dengan Ramadan, Idul Fitri, pelaksanaan pemilihan wali kota di empat kota yakni Mojokerto, Madiun, Kediri dan Probolinggo pada Oktober. Juga pemberangkatan kloter pertama jamaah ibadah Haji, pada 5 November.

Ketua Divisi Anggaran KPU Jatim, Yayuk Wahyungsih mengatakan, Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jatim sepakat anggaran pilgub putaran kedua Rp 265 miliar.

Dari jumlah tersebut sebesar Rp 222 miliar untuk KPU. Sedangkan untuk Panitia Pengawas Rp 10 miliar, dan Biaya Pengamanan Rp 31 miliar, Sekretariat Desak Pilkada Rp 750 juta, Posko Desk Rp 240 miliar dan sosialisasi pilgub oleh Dinas Infokom Rp 250 juta.

(23)

Suara Pembaruan Rabu, 03 September 2008

UU BH P d a n Lib e r a lisa si Pe n d id ik a n

Pengantar

Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas rancangan undang-undang ( RUU) badan hukum pendidikan (BHP) dan sudah masuk dalam tahap perumusan, dan sinkronisasi. Artinya, tinggal setahap lagi, RUU itu bisa disetujui menjadi undang-undang dan disebut sebagai bagian dari reformasi pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hanya saja, regulasi tersebut tetap dikhawatirkan banyak kalangan yang peduli dengan dunia pendidikan nasional, karena dianggap akan menjadi legalisasi liberalisasi pendidikan. Tanggung jawab negara membiayai pendidikan akan makin lepas, sehingga akses orang miskin akan pendidikan makin kecil. Wartawan SP, Willy Masaharu dan Marselius Rombe Baan menyoroti masalah tersebut dalam tulisan berikut.

SP/Charles Ulag - Bambang Sudibyo

Undang-Undang (UU) 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi (PT) harus otonom. Itu berarti, PT harus mampu mengelola lembaga dan dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan, sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.

Otonomi sangat dibutuhkan oleh sekolah atau madrasah, terutama oleh PT agar tumbuh dan berkembang kreativitas, inovatif, bermutu, fleksibilitas, dan bermobilitas yang merupakan prasyarat agar ilmu, teknologi, dan seni dapat berkembang secara paripurna.

Pada gilirannya, perkembangan ilmu, teknologi, dan seni tersebut akan memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.

Untuk mewujudkan otonomi tersebut, maka UU Sisdiknas menentukan bahwa penyelenggara dan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan (BHP). Artinya, sekolah atau madrasah serta PT akan otonom bila secara hukum diberi status sebagai badan hukum, yaitu pemilik hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban pendirinya.

Saat ini, DPR dan pemerintah sedang membahas rancangan undang-undang (RUU) BHP untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas tersebut. Namun, dalam perjalanannya, pembahasan RUU BHP kerap menimbulkan pro dan kontra.

Banyak kalangan pengamat dan praktisi pendidikan yang mengkhawatirkan adanya agenda liberalisasi pendidikan di balik BHP tersebut. Tak kurang pengamat pendidikan Darmaningtyas dari Perguruan Taman Siswa dan Prof HAR Tilaar serta Prof Dr Winarno Surakhmat berkali-kali mengingatkan bahwa RUU BHP tersebut akan mengarahkan dunia pendidikan Indonesia ke komersialisasi. Mereka mencontohkan beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang tidak lagi menjadi kampus orang-orang desa, karena porsi anak-anak berprestasi dari keluarga miskin sudah sangat minim.

(24)

Suara Pembaruan Rabu, 03 September 2008

Meski demikian, pemerintah dan DPR tetap bersikeras menilai bahwa RUU BHP tidak seperti yang dikhawatirkan itu. "Saya tegaskan kembali, BHP tidak akan pernah meliberalisasikan pendidikan nasional," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, seusai memberikan pengarahan dalam Rapat Kerja Nasional Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Kopertis wilayah I-XII, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia mengemukakan, pada prinsipnya, BHP merupakan satu bentuk reformasi dalam bidang pendidikan. Menurutnya, kriteria reformasi di bidang pendidikan adalah akuntabilitas, transparansi, nirlaba, dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan, termasuk PT.

Mendiknas menegaskan, keberadaan UU BHP, bukan ditujukan komersialisasi pendidikan. Komersialisasi baru terjadi kata Mendiknas, jika sudah ada profit making. "UU mengatakan silakan mencari sisa lebih, tapi kalau sudah ada sisa harus diinvestasikan balik untuk pendidikan," katanya.

Dikatakan, banyak beranggapan munculnya UU BHP justru menciptakan komersialisasi pendidikan. "Sikap seperti itu tidak benar. Justru setelah ada UU itu satuan pendidikan dapat menekan biaya pendidikan, sehingga memberikan kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan murah. Mari dibuktikan dulu manfaatnya. Jangan terlalu berprasangka," katanya.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Dikti Depdiknas) Fasli Jalal, dalam suatu kesempatan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengemukakan, UU Sisdiknas menegaskan bahwa BHP berprinsip nirlaba. Ini berarti, semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan satuan pendidikan di dalam BHP. "UUD 1945 serta UU Sisdiknas menjamin alokasi 20 persen dari APBN dan APBD untuk mendanai pendidikan, sehingga pemerintah tidak lepas tanggung jawab dan akan tetap mendanai penyelenggaraan pendidikan.

Ditanyakan akses bagi kelompok yang kurang beruntung dalam memperoleh pendidikan, dia menegaskan, BHP juga memegang asas berkeadilan. Yakni, memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, agama, serta kemampuan ekonomi.

"Sehingga, mereka yang berasal dari golongan kurang mampu bisa tetap bersekolah. Kan sudah ditegaskan dalam pasal mengenai pendanaan," katanya.

SP/YC Kurniantoro

Kampus Universitas Indonesia, di Jalan Salemba, Jakarta. Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang BHP menjadi UU nanti dikhawatirkan akses orang miskin ke perguruan tinggi makin kecil.

Kelas Dunia

Menurut pemerintah, perubahan format PT menjadi BHP memungkinkan otonomi

seluas-luasnya. Dengan demikian, misalnya, rektor akan lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi.

(25)

Kompas Kamis, 04 September 2008

An t u sia sm e W a r g a d i Pilk a d a Te t a p Tin g g i

Kamis, 4 September 2008 | 01:46 WIB

Palembang, Kompas - Di tengah-tengah keterbatasan Panitia Pemungutan Suara dan ketidakberesan distribusi logistik, sebagian masyarakat tetap antusias menyukseskan pencoblosan Pilkada Gubernur Sumsel, Rabu (4/9) ini. Hal itu terlihat dari semangat warga saat bergotong-royong mendirikan tempat pemungutan suara atau TPS pada H-1.

Menurut pantauan Kompas, gotong-royong mendirikan TPS ini tetap berlangsung meski hujan deras melanda sebagian besar Kota Palembang. Umumnya, pendirian TPS ini berakhir pada siang-sore hari. Seusai pendirian TPS, sejumlah warga terlihat berjaga-jaga dan menunggu kelengkapan logistik di TPS yang bersangkutan.

Menurut Rizal Pahlevi, salah satu anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) di TPS 26 Kelurahan Puncak Sekuning, pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumsel ini sebenarnya dibayangi ketidaksiapan administratif dan logistik.

”Bayangkan saja, hingga H-1 ini belum semua kartu pemilih dan undangan yang sampai. Namun, karena sudah diberi tahu pihak KPU Sumsel bahwa bisa menggunakan KTP, persoalan inti relatif bisa ditangani,” katanya.

Karena ketiadaan undangan, Rizal menjelaskan bahwa pihaknya melakukan pendistribusian undangan secara internal kepada warga pencoblos di TPS 26 tersebut. Tujuannya agar warga yang mencoblos di TPS 26 tahu lokasinya dan tidak mencoblos di TPS lainnya.

”Bagi warga yang belum mendapatkan kartu pemilih, harus menunjukkan undangan dari PPS beserta kartu identitas atau KTP yang masih berlaku,” ungkap Rizal.

TPS 30 yang berlokasi di Kelurahan Ilir Barat I belum selesai didirikan hingga pukul 17.00. Meski demikian, anggota PPS, Komar Hidayat, mengatakan, Rabu malam TPS dipastikan sudah siap. Sepanjang Rabu malam sejumlah pemuda juga akan berjaga-jaga di TPS sambil menunggu datangnya logistik, sekaligus menjaga keamanannya.

(26)

Kompas Kamis, 04 September 2008

W u j u d k a n Pilk a d a D a m a i

Le b ih d a r i 7 .0 0 0 Sa k si D it e r j u n k a n k e Se m u a TPS d i Su m se l

Kamis, 4 September 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - Tim sukses pasangan calon gubernur-wakil gubernur Alex Noerdin-Eddy Yusuf dan Syahrial Oesman-Helmy Yahya mengajak seluruh warga untuk mewujudkan pilkada damai. Apa pun hasil pilkada, suara rakyat hasil pencoblosan hari ini, Kamis (4/9), harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Menurut Ketua Tim Pemenangan Pilkada Sumsel Pasangan Syahrial Oesman-Helmy Yahya (Sohe) Ibnu Hajar Dewantara, Rabu di Palembang, meski hingga H-1 proses Pilkada Sumsel masih diwarnai ketidakberesan distribusi logistik, dia tetap optimistis proses pencoblosan berlangsung aman.

”Secara internal, kami telah mengadakan pertemuan membahas pencoblosan. Hasilnya, keputusan apa pun akan kami hormati dan junjung tinggi. Kami mengimbau segenap kader dan warga agar mewujudkan proses Pilkada Sumsel yang damai,” katanya.

Kepada pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ibnu Hajar mengharapkan agar benar-benar menjaga hasil pencoblosan suara dari rakyat Sumsel. Hasil tersebut harus dijaga kerahasiaannya sehingga bisa dijadikan sebagai dasar membuat keputusan menang atau kalah.

”Perkiraan persaingan perolehan suara akan sangat ketat sehingga kami berharap KPU benar-benar profesional setiap membuat keputusan dan penghitungan suara,” kata dia.

Gunakan hak

Anggota Tim Pemenangan Pasangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf (Aldy) Rokian Cik Ubir mengimbau seluruh masyarakat agar menggunakan hak pilih mereka sebaik-baiknya. Alasannya, hal tersebut jelas sangat lebih baik ketimbang tidak menggunakan hak suaranya atau golput.

”Itu imbauan kami kepada warga. Sedangkan kepada kader dari internal maupun pasangan lawan, kami juga mengimbau agar menegakkan perilaku jujur dan adil di pilkada. Janganlah kita mengajari rakyat berbuat curang,” ucap dia.

Selama proses kampanye dan masa tenang kemarin, Rokian menjelaskan sempat terjadi hal-hal yang mengarah pada munculnya kecurigaan ke perilaku yang tidak baik. Jika benar, hal-hal ini tentunya akan mencoreng pelaksanaan pilkada.

Saksi diterjunkan

Agar potensi kecurangan di TPS bisa ditekan, Rokian menjelaskan bahwa tim Aldy juga sudah menggelar rapat internal tentang pembentukan saksi TPS. Hasilnya, tim Aldy akan menerjunkan lebih dari 4.000 orang saksi di lapangan.

”Dengan jumlah saksi itu, tim Aldy akan menempatkan 2-3 saksi di setiap TPS yang ada di Sumatera Selatan. Mereka bertugas memantau proses penghitungan suara rakyat agar tidak tercecer,” katanya.

(27)

Kompas Kamis, 04 September 2008

(28)

Seputar I ndonesia Kamis, 04 September 2008

D u d u k Soa l Pe r d a Sy a r ia h

Thursday, 04 September 2008

Sebagai bukan ahli hukum, saya tidak tahu apakah hal yang seperti ini (bermunculannya perda- perda syariah) merupakan perkembangan yang merisaukan atau bukan bagi Indonesia dan demokrasi yang sedang tumbuh.

Akan tetapi, sebagai orang yang mengamati Islam dalam konteks pembangunan politik Indonesia, ada beberapa catatan yang dapat diberikan. Dalam konteks perundang-undangan Islam di tingkat nasional, menarik melihatnya sebagai bentuk akomodasi parsial negara terhadap Islam.

Hal ini merupakan penafsiran paling memungkinkanbagirumusanbahwaIndonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.Rumusan ini terinspirasi dari sebagian isi preambule UUD 1945 dan beberapa pasal di dalam UUD 1945,khususnya yang berkaitan dengan agama.Lebih mencolok lagi,ini merupakan kelanjutan logis dari adanya Kementerian Agama.

UUD pada dasarnya mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya.Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya di dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Jika mereka percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong tangannya, secara teoretis mereka diperbolehkan oleh UUD 1945 untuk menjalankan ajaran atau pemahaman keagamaan seperti itu. Demikian pula dengan soal perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya.

Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Islam,dalam jumlah yang amat banyak, menganut paham bahwa orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Bisa saja mereka berpaham bahwa orang yang mencuri diputus kekuasaannya atau kesempatannya untuk mencuri.

Akan tetapi, karena negara Indonesia bukan negara teokrasi atau negara agama, tidak serta-merta pandangan mengenai paham keagamaan seperti itu bisa dilaksanakan.Pernah ada orang yang memotong jari anaknya yang mencuri,dia dikenai hukuman.

Demikian pula ketika Ja’far Umar Thalib menghukum rajam salah seorang pengikutnya, yang mengaku berbuat zina,dan minta dirajam,yang bersangkutan juga dikenai hukuman. Untuk menghindari hal yang sedemikian ini, agar terdapat keserasian hukum antara pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan KUHAP, negara perlu ikut mengatur kehidupan beragama.

Hingga kini yang paling memungkinkan untuk diatur atau diakomodasi oleh negara adalah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti telah disebutkan di atas.Itu pun,menurut Munawir Syadzali,bersifat ”sukarela”.Mereka yang tidak merasa nyaman bisa pergi ke lembaga peradilan umum.

Sementara syariat Islam yang berkaitan dengan hukum pidana sulit atau tidak bisa diakomodasi. Pertimbangan-pertimbangan politik mengharuskan negara untuk melakukan akomodasi seperti itu.Itu semua dilakukan dalam rangka mencari jalan tengah, jalan yang paling memungkinkan seperti dalam kasus Aceh.

(29)

Seputar I ndonesia Kamis, 04 September 2008

Tidak banyak daerah yang diberi kewenangan khusus. Meski demikian, reformasi dan perkembangan politik pascamundurnya Presiden Soeharto mengharuskanpemerintahpusatuntuk memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah–– kecuali beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan moneter/fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi,agama,dan politik luar negeri.

Perkembangan politik demokrasi membangkitkan kemandirian daerah, termasuk dalam menyusun peraturan daerah. ”Perda syariah” (saya tidak tahu pasti apakah istilah ini benarbenar dipakai oleh pemerintah kabupaten dan kota) harus diletakkan dalam konteks ini.

Dalam pandangan daerah, meski tidak lepas dari motivasi- motivasi politik, jika pusat memiliki kewenangan membuat undangundang yang berbau syariat Islam dan Aceh juga demikian pula adanya,apa ”salahnya” (dalam pengertian diskriminasi, mengancam NKRI, bertentangan dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila,berlawanan dengan hak asasi manusia/HAM) jika daerah juga membuat perda yang berbau syariah?

*** Tentu, tidak semua ”perda syariah” itu masuk akal atau penting bagi kemajuan suatu daerah. Bahkan, mungkin saja perda-perda itu justru menghambat perkembangan daerah. Melarang wanita untuk keluar rumah setelah pukul 9 malam adalah jenis peraturan daerah yang tidak masuk akal.

Demikian pula keharusan untuk bisa membaca Alquran atau menjadikan kemampuan membaca Alquran sebagai faktor dalam menentukan posisi birokratis seorang pejabat publik. Dalam konteks yang telah disebutkan, tidak bisa perda-perda tersebut serta-merta dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila atau UUD 1945.

Tidak pula bisa dipandang sebagai hal yang otomatis membahayakan NKRI atau bertentangan dengan HAM.Saya tidak yakin aturan-aturan tersebut dibuat untuk dikenakan kepada semua penduduk daerah.

Soal membaca Alquran atau berbusana muslim pasti diperuntukkan bagi pegawai-pegawai muslim. Meski demikian, penting juga para pembuat perda itu diingatkan bahwa apa yang disebut busana muslim juga sesuatu yang multitafsir––karenanya tidak bisa dipaksakan.

Tata cara berpakaian dalam Islam, bukan dalam ibadah ritual tertentu seperti ketika melaksanakan sembahyang atau haji, lebih disemangati oleh prinsip decency, kesopanan, dan kewajaran sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Dalam hal-hal tertentu di pemerintahan dibolehkan adanya peraturanperaturan yang bersifat spesifik atau berlaku khusus.

Sebab hal ini berkaitan dengan posisi-posisi khusus yang mengharuskan kemampuan spesifik. Soal kemampuan membaca Alquran, misalnya. Bisa saja hal ini diberlakukan dalam posisi-posisi tertentu yang berkaitan dengan soal agama Islam.

Misalnya, soal posisi imam besar sebuah masjid negara. Demikian pula hakim-hakim yang mengurusi soal keagamaan Islam.Juga bagi mereka yang memiliki kewenangan untuk menikahkan atau menceraikan warga negara menurut hukum Islam.

Akan tetapi,meskipun boleh,pencantuman persyaratan khusus juga tidak mesti harus diadakan. Tanpa aturan khusus,orang yang bakal diberi jabatan imam besar pasti adalah orang yang bacaan Alqurannya istimewa. Dalam konteks jabatan seperti itu,kemampuan tersebut sudah bersifat inheren.

(30)

Seputar I ndonesia Kamis, 04 September 2008

*** Untuk itu,saya ingin mengajak kita semua melihat persoalannya secara lebih pas.Semuanya harus diletakkan dalam aturan main dan realitas politik yang ada.

Kenyataan bahwa UUD 1945 mencantumkan bab soal agama (dengan segala tafsirannya)–– bahwa pemerintah pusat beserta DPR juga mengundangkan sesuatu yang sebanding dengan ”perda syariah”, bahkan lebih luas cakupannya dan bahwa Aceh merupakan daerah yang kental warna perda syariatnya–– hendaknya itu semua menjadi pertimbangan penting di dalam melihat kasus ”perda syariah”.

Jika ”perda syariah” dilihat dari kacamata melawan atau menentang Pancasila dan UUD 1945 atau bahkan mengancam atau membahayakan kelangsungan NKRI atau secara ideologis dan teritorial bertentangan dengan NKRI,bagaimana UUPA, dan undang-undang Islam lain yang disahkan DPR itu harus dilihat? Demi keadilan,bukankah kita harus melihatnya dalam kacamata yang sama?

Bersediakah kita melihat bahwa UUPA atau undang-undang tentang zakat, infak, dan sedekah dalam konteks membahayakan NKRI? Sebaliknya, para pelopor ”perda syariah” yang sebagian besar justru bukan para aktivis partai Islam hendaknya menahan diri untuk tidak menonjolkan simbol.

Jika ”perda syariah” itu (hanya) sibuk mengatur soal baju, lama waktu baca Alquran, atau keharusan salat berjamaah, hal tersebut justru mereduksi makna syariat dalam kehidupan muslim. Jika itu yang dilakukan, sebenarnya ”perda syariah” yang seperti itu bertentangan dengan trademark ”Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam”.

Mestinya, tanpa harus menciptakan hal-hal yang tidak perlu, para pembuat perda itu merumuskan peraturan yang dengan semangat prinsip dan etika Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memerangi kebodohan, dan membuat masyarakat lebih mampu mengarungi kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang masih serbatidak pasti ini.

Apa yang disebut dengan ”perda syariah” mestinya diuji dari segi isi, kepatutan, dan kelayakannya. Bukan dari sifat simbolik yang menyertainya, terlebih jika hal tersebut terkait dengan bias ideologis dan politis yang ada dalam sejarah kita.

Bisa saja sebuah daerah membikin perda yang isinya adalah keharusan untuk memperkuat cinta Tanah Air, sebab cinta Tanah Air itu bagian dari iman.Tanpa memakai kata sifat syariah, perda seperi ini oleh sebagian orang pasti akan dilihat sebagai perda syariah.

Pengaitan, secara sadar atau tidak sadar, perda syariah dengan perlawanan atau pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hanya akan membuka stigma lama yang sudah secara susah payah kita usahakan untuk selesai–– meski belum tuntas.

Membuka stigma sejarah lama, yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila,inilah sebenarnya yang bisa mengancam kelangsungan NKRI.(*)

Prof Dr Bahtiar Effendy

(31)

Kompas Jumat, 05 September 2008

Pilk a d a Su m se l Ja d i Aj a n g Pe r t a r u n g a n Le m b a g a

Su r v e i

Jumat, 5 September 2008 | 01:11 WIB

Palembang, Kompas - Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Selatan yang diikuti Alex Noerdin-Eddy Yusuf dan Syahrial Oesman-Helmy Yahya bisa dibilang menjadi ajang pertarungan lembaga survei.

Dalam perhitungan cepat (quick count) yang dilakukan tiga lembaga survei seusai pencoblosan Kamis (4/9), Lembaga Survei Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia yang bekerja sama dengan Jaringan Isu Publik menyebutkan Alex-Eddy unggul. Sebaliknya, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) menyatakan Syahrial-Helmy yang meraih suara terbanyak.

Menurut perhitungan cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful Mujani, Alex- Eddy (Aldy) meraih 52,12 persen suara, sedangkan Syahrial-Helmy (Sohe) 47,88 persen suara.

Sementara itu, Lingkaran Survei Indonesia pimpinan Denny JA yang bekerja sama dengan Jaringan Isu Publik menyebutkan Aldy memperoleh 51,22 persen suara, sedangkan Sohe 48,78 persen suara.

Hasil yang berlawanan ditunjukkan Puskaptis. Menurut lembaga ini, Sohe unggul dengan meraih 51,11 persen suara, sedangkan Aldy hanya 48,89 persen suara.

Saiful Mujani dalam siaran pers menjelaskan, perhitungan cepat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia mengambil sampel di 400 tempat pemungutan suara (TPS). Namun, sampai pukul 21.00 baru 394 TPS (98,5 persen) yang hasilnya dapat terkirim ke Palembang, Sumsel. Margin error 1-2 persen, sedangkan tingkat partisipasi pemilih 73,94 persen.

(32)

Suara Pembaruan Jumat, 05 September 2008

Be r sa in g Ke t a t , H a sil Pe n g h it u n g a n Ce p a t Pilk a d a

Su m se l

[PALEMBANG] Penghi- tungan cepat (quick count) yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menempatkan pasangan gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Alex Noerdin - Eddy Yusuf (Aldy) pada posisi tertinggi dalam perolehan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) Sumsel yang dilaksanakan Kamis (4/9) dan diikuti 5,2 juta pemilih.

Namun, dalam penghitungan cepat yang dilakukan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) yang bermarkas di Kota Palembang, justru menempatkan calon gubernur Syahrial Oesman dan Helmy Yahya (Sohe) sebagai pasangan yang unggul.

Pasangan Aldy dan Sohe memang terlihat dalam data penghitungan cepat terjadi persaingan ketat. Berdasarkan LSI pimpinan Syaiful Mujani, pasangan Aldy memperoleh suara 51,91 persen, sedangkan pasangan Sohe mendapat 48,09 persen. Hasil hitung cepat LSI versi Denny JA yang bekerja sama dengan Jaringan Isu Publik juga memenangkan pasangan Aldy yang memperoleh suara 51,22 persen mengungguli pasangan Sohe yang memperoleh suara 48,78 persen.

Belum Terima Laporan

Sementara itu, penghitungan cepat Puskaptis, pasangan Sohe unggul dengan suara 51,11 persen, sementara pasangan Aldy memperoleh suara 48,89 persen.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel Syafitri Irwan, Jumat (5/9) pagi mengatakan pihaknya belum menerima laporan hasil Pilkada Sumsel dari kabupaten dan kota.

"Ini belum jadwalnya. Kita baru akan umumkan hasil pilkada 14 September mendatang. Kita belum menerima angka penghitungan dari kabupaten/kota sampai hari ini. Jadi tunggu saja sampai jadwalnya. Kita minta masyarakat agar sabar dan tenang. Kondisi Sumsel harus kondusif ," katanya.

Direktur Eksekutif Puskaptis, Husin Yazid mengatakan, pasangan Sohe unggul di enam kabupaten/kota di Sumsel seperti Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, OKU Selatan, Musi Rawas, OKU (Induk), Palembang, dan Prabumulih. Dari enam kabupaten/kota itu hanya di kabupaten OKU, OKU Timur, dan Prabumulih, pasangan Sohe unggul dibandingkan pasangan Aldy.

Dia mengatakan, penghitungan cepat dilakukan berdasarkan suara yang dikirim relawan Puskaptis dari 600 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 120 desa/kelurahan di 60 kecamatan dan 15 kabupaten/kota.

"Metode penghitungan cepat yang kami terapkan adalah multistage random sampling," ujarnya.

(33)

Suara Pembaruan Jumat, 05 September 2008

(34)

Suara Pembaruan Jumat, 05 September 2008

RUU Pilp r e s

Ra n g k a p Ja b a t a n Be lu m D ise p a k a t i

[JAKARTA] Masalah apakah seorang calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) masih boleh merangkap jabatan sebagai ketua/pengurus partai politik jika terpilih menjadi salah satu pasal yang krusial. Klausul itu masih diperdebatkan dalam pembahasan di Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres).

Sampai Kamis (4/9) malam, RUU yang sangat ditunggu-tunggu publik tersebut masih terus mensinkronisasikan pasal-pasal dari RUU tersebut. Tim Sinkronisasi RUU Pilpres yang melibatkan pemerintah dan anggota DPR dalam Pansus RUU Pilpres, baru menyelesaikan separuh atau 111 dari 264 pasal yang sudah disepakati dalam RUU tersebut.

Anggota Pansus RUU Pilpres, Lena Maryana mengatakan, Jumat (5/9), masalah syarat pendidikan tak lagi dipersoalkan. Semua fraksi sepakat pendidikan capres/cawapres minimal SLTA.

Tapi, masih terdapat tiga pasal yang sangat krusial yang disepakati harus dibawa ke tingkat lobi DPR dan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan. Tiga pasal tersebut yakni tentang syarat pengajuan calon presiden, penetapan waktu mundurnya menteri yang mencalonkan diri sebagai capres/cawapres, dan soal presiden/wapres terpilih apakah masih boleh merangkap jabatan sebagai ketua/pengurus parpol.

Disebutkan, Fraksi Partai Golkar (FPG) tetap bertahan dengan syarat pengajuan capres/cawapres harus oleh parpol yang memperoleh 30 persen suara pada pemilu legislatif. Sedangkan, fraksi-fraksi lain tetap pada syarat 15 persen. Mengenai syarat menteri harus mundur, masih tarik-menarik, apakah waktu mundur itu 9 bulan sebelum jadwal pencalonan atau pada saat mencalonkan diri.

Mengenai jabatan rangkap di parpol, Fraksi PKS mengusulkan capres/cawapres jika terpilih tak boleh lagi jadi pengurus parpol. Alasannya, rangkap jabatan itu dapat mengganggu kinerja mereka sebagai pemimpin bangsa.

"Seorang presiden atau wapres sudah menjadi milik bangsa, bukan lagi milik parpol. Jadi, biarkan mereka sepenuhnya memikirkan masalah bangsa, tak perlu lagi disibukan mengurus persoalan partainya," kata Ketua Fraksi PKS Mahfuz Sidiq, Jumat pagi. Menurut Lena, fraksi yang bertahan agar presiden/wapres walaupun terpilih tapi tetap bisa merangkap jabatan di parpol adalah FPG dan FPDI-P.

Voting

Dari tiga pasal krusial itu, ujar Lena, masalah syarat pengajuan capres/cawapres yang kelihatannya paling sulit disepakati secara musyawarah mufakat. "Kelihatannya pasal itu akan diselesaikan lewat voting," katanya.

Beberapa pasal yang juga masih disinkronisasikan adalah soal perlukah capres/cawapres untuk menyampaikan pidato tentang penilaian mereka atas hasil-hasil pemilu. FPKS, kata Lena, menginginkan ada klausul pidato capres/cawapres tentang penilaian atas hasil-hasil pemilu.

(35)

Suara Pembaruan Jumat, 05 September 2008

Mengenai capres/cawapres yang harus melakukan debat publik, Wakil Ketua Pansus RUU Pilpres, Andi Yuliani Paris mengatakan, akhirnya disepakati debat publik sebanyak lima kali. Dalam draf awal diusulkan 12 kali. Lalu, dalam perkembangannya menjadi 8 kali dan akhirnya pada pembahasan saat ini disepakati 5 kali.

(36)

Kompas Sabtu, 06 September 2008

Pe m b a y a r a n Ba n t u a n La n g su n g Tu n a i Ta h a p I I

D it u n d a

Sabtu, 6 September 2008 | 00:56 WIB

Palembang, Kompas - Pihak Kantor Pos Besar Kota Palembang memutuskan untuk menunda pembayaran bantuan langsung tunai atau BLT tahap kedua kepada 99.396 rumah tangga miskin di Palembang yang semula direncanakan pada 8 September 2008. Penundaan hingga waktu yang ditentukan kemudian tersebut dilatarbelakangi alasan belum selesainya proses administrasi rekening di Bank Rakyat Indonesia atau BRI.

Hal itu diutarakan Kepala Kantor Pos Besar Kota Palembang Gustap PM Marpaung dan Humas Kantor Pos Palembang Wahyu Suardhana kepada wartawan, Jumat (5/9) di Palembang.

Dia mengatakan, urusan administratif yang belum tuntas menyebabkan mekanisme pencairan dana dari pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan dan Departemen Sosial, ke rekening PT Pos belum dapat terlaksana.

”Kami minta dimaklumi karena pada dasarnya PT Pos hanya bertindak sebagai pelaksana alias juru bayar saja yang siap menyalurkan jika dana sudah diterima. Pengumuman penyalurannya akan dikonfirmasikan secepatnya,” kata Gustap.

Sebelum Lebaran

Wahyu menambahkan, PT Pos dan Dinas Sosial Kota Palembang menargetkan bahwa penyaluran dana BLT tahap II bisa dimulai sekaligus diselesaikan sebelum Lebaran tiba. Hal ini bertujuan untuk membantu meringankan perekonomian 99.396 warga miskin penerima bantuan tersebut.

Mengenai loket pembayarannya, Wahyu menjelaskan bahwa BLT tahap II ini akan dibayarkan melalui 12 kantor pos cabang yang ada di seluruh Kota Palembang. Ini juga termasuk Kantor Pos Besar Kota Palembang yang terletak di Jalan Merdeka.

”Dibukanya 12 kantor pos sebagai loket pembayaran BLT tahap II bertujuan untuk memudahkan para penerima BLT dalam mengambil uang tunainya,” kata Wahyu.

Agar semua calon penerima BLT tahap II bisa mengambil haknya, Gustap menjelaskan bahwa dana yang akan dibayarkan tidak akan hangus dalam waktu sehari saja, melainkan masih bisa diambil hingga akhir tahun atau akhir Desember 2008.

(37)

Kompas Senin, 08 September 2008

Pe n g u m u m a n H a sil Pilk a d a M a j u

Tim Sukses Syahrial-Helmy Minta KPU Sumsel Netral

Senin, 8 September 2008 | 00:49 WIB

Palembang, Kompas - KPU Sumatera Selatan memutuskan, penetapan hasil penghitungan suara Pilkada Sumsel dimajukan dari 14 September 2008 menjadi 12 September atau paling lambat 13 September. Pertimbangannya, proses penghitungan suara di KPU kabupaten/kota bisa selesai lebih cepat dari perkiraan.

”Empat kabupaten bahkan sudah melaksanakan (rapat) pleno, yakni KPU (Komisi Pemilihan Umum) Musi Rawas, Musi Banyuasin, Empat Lawang, dan Ogan Komering Ulu,” demikian penjelasan anggota KPU Sumatera Selatan Helmi Ibrahim, Minggu (7/9).

Keputusan KPU mempercepat penetapan hasil penghitungan suara itu, ujarnya, sudah disosialisasikan ke semua kabupaten/kota. Dengan demikian, hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota harus sudah diserahkan ke KPU provinsi paling lambat Selasa.

15 kabupaten/kota

Hingga kemarin, menurut Helmi, KPU Sumsel sudah menerima hasil perhitungan suara Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas, Empat Lawang, dan Ogan Komering Ulu. ”Kemungkinan Minggu (kemarin) ini hasil perhitungan suara di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan Komering Ulu Timur, dan Kota Prabumulih masuk. Hasil penghitungan suara di Kota Palembang diperkirakan masuk Senin (hari ini),” katanya. Saat ini tercatat 15 kabupaten/kota di provinsi tersebut.

Diminta komentarnya tentang banyaknya spanduk ucapan selamat terhadap pemenang Pilkada Sumsel, Helmi hanya bisa mengimbau agar para pendukung kedua kandidat gubernur-wakil gubernur Sumsel bersabar dan menghormati kesepakatan bersama. ”KPU memiliki otoritas untuk menetapkan pemenang pilkada. Jadi, tolong hormati KPU,” katanya.

Sekarang ini cukup banyak spanduk yang berisi ucapan selamat terhadap kedua pasang kandidat gubernur-wakil gubernur Sumsel. Seolah-olah kedua pasang kandidat tersebut merupakan pemenang pilkada. Di kediaman kandidat gubernur bahkan ada sejumlah karangan bunga yang berisi ucapan serupa.

Hal itu tentunya tak lepas dari penghitungan cepat yang dilakukan tiga lembaga survei, 4 September. Persisnya, pada hari pencoblosan pilkada.

Penghitungan cepat yang

Referensi

Dokumen terkait

DAN I I ” , kami bermaksud melakukan pembuktian kualifikasi terhadap dokumen yang Saudari ajukan pada :.. Hari :

TELKOM Tbk CABANG SOLO telah dilaksanakan dengan berpedoman pada Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993

Cakupan imunisasi dasar di Kabupaten Pidie Jaya secara umum masih termasuk rendah yaitu 68,94% dibandingkan dengan target nasional yaitu 90% dan masih menjadi masalah kesehatan

Hasil wawancara dengan Bapak Syarifuddin, Selaku Kepala Dinas Sosial Kota Binjai, Senin 08 Juli 2019 Jam 09.30.. Memfasilitas keinginan, minat dan bakat yang terpendam bagi

 Program perawatan yang melibatkan semua pihak yang terdapat dalam suatu perusahaan untuk dapat saling bekerja sama dalam menghilangkan break down , mengurangi waktu down time

Manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab. menurut hukum internasional tanpa dibuktikan

Sebagaimana dijelaskan pada rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain adalah bagaimana pendekatan dakwah Kyai Khoiron di lokalisasi Surabaya, maka pendekatan dakwah

Perlakuan kedua Media Tanam (M), terdiri dari M1 (Media Tanah), M2 (Media Pasir), M3 (Media Lumpur), M4 (Kombinasi Media Tanah dan Pasir), dan M5 (Kombinasi Media Lumpur dan