• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institusi-Maret 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institusi-Maret 2008"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI MARET 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari

berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal

penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka

saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-

download

berita dari

situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas

diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam

pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap

penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

Pertanyakan Parpol di DPR Otomatis Ikut Pemilu 2009 --- 1

Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Segera Revisi UU Otonomi --- 3

UU Pemilu Dari Partai untuk Partai? --- 4

(Tak) Berharap pada UU Pemilu

---

6

"Smart Card" dan Pemiskinan Rakyat --- 8

Hari Ini, "Voting" RUU Pemilu --- 10

Lima Cagub Bakal Bersaing dalam Pilkada NTT --- 12

Paripurna RUU Pemilu Alot--- 13

Parpol Baru, buat Elite atau Rakyat? --- 15

Pilkada Maluku, Para Raja Diminta Tak Berpihak --- 18

UU Pemilu Bakal Menuai "Judicial Review"--- 19

DPD Setujui Materi Tambahan Revisi UU Pemda --- 21

UU Pemilu Akhirnya Disahkan --- 22

Drama Paripurna RUU Pemilu --- 23

Presiden Yakin Angka Kemiskinan Menurun --- 25

Segera Tuntaskan UU Pengadilan Tipikor --- 27

Mengobral Janji Politik

---

29

Yang Tersisa di Balik Pengesahan UU Pemilu --- 32

DPRD DIY Tak Anggarkan Pilkada --- 35

Kemiskinan Bukan Diperdebatkan--- 36

UU Pemilu 2009 Paling Kompromistis --- 37

Hegemoni Partai Politik --- 38

Menjadi Pemilih Kritis --- 40

Papua Barat Diakomodasi dalam Revisi UU Otsus --- 42

UU Otsus Papua Harus Ditinjau Ulang

---

43

Kebijakan Publik Pro-"Poor" --- 44

Pilkada Lebak, Incumbent Didukung Parpol Besar --- 47

Parpol Harus Bekerja Keras --- 48

PP No.2/2008 lebih banyak menuai rugi --- 52

Dosa Politik(us) --- 53

Pengentasan Kemiskinan bukan Barang Dagangan --- 56

(4)

Jadwal Pilkada Sumsel Belum Ditentukan --- 60

Pilgub, Wahana Menyejahterakan Masyarakat --- 61

Dua UU Terkait Pemilu Tidak Sinkron --- 62

Revisi UU Pemda Dikebut --- 63

Konsolidasi Demokrasi --- 64

Pilkada Sumsel Tanpa Tanpa Quick Count

---

67

Rumusan Baru Kriteria Kemiskinan --- 68

Sekali Lagi tentang PP No. 2/2008 --- 70

Kemenangan Perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung --- 72

Pelestarian Hutan Diminati Berbagai Kelompok --- 74

Misi dan Visi Calon Presiden Harus Dapat Diukur --- 76

Lima Daerah Serentak Pilkada di Sulawesi Selatan --- 78

Puluhan Pengacara Desak Pencabutan PP No2/2008 --- 79

Otsus Gagal Lindungi Rakyat Papua --- 80

Politik tanpa Imajinasi --- 81

Kandidat Pilkada Jateng Terus Bermunculan --- 83

Putusan PK dan Pilkada Sulsel --- 84

Menyoal Kemiskinan di Jabar

---

86

Bila Perppu Papua Barat Diterbitkan --- 89

LSI Prediksi Golput Pilkada Jabar Tinggi --- 91

RUU AP Perlu Segera Disahkan --- 92

Kampanye dan Pesta Rakyat --- 93

Agenda Pembenahan Regulasi Otda 2008 --- 96

Tetapkan Pilkada Malut --- 98

Amerika "Intip" Pilkada Jabar --- 99

(5)

Pe r t a n y a k a n Pa r pol di D PR Ot om a t is I k u t Pe m ilu

2 0 0 9

Parpol Baru Ancam Gugat ke MK

[JAKARTA] Partai politik (parpol) baru akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar membatalkan UU Pemilu yang baru. Pasalnya, dalam RUU Pemilu yang baru, salah satu isinya menetapkan parpol yang tidak lolos ketentuan Electoral Threshold (ET) tiga persen pada Pemilu 2004 namun memiliki kursi di DPR, otomatis menjadi peserta Pemilu 2009.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kristen Demokrat (PKD) Tommy Sihotang, dan Sekjen DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerinra) A Muzani, di Jakarta, Jumat (29/2) malam.

Menurut Tommy, apa yang diputuskan DPR terkait dengan lolosnya partai-partai kecil itu telah menzalimi demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia. DPR seharusnya memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. "Kenyataannya DPR sudah membuat keputusan yang mencederai demokrasi itu sendiri," katanya.

Dia menjelaskan, jika memang itu diberlakukan, seharusnya parpol-parpol baru yang lolos verifikasi, administrasi, dan mendapat status badan hukum dari Departemen Hukum dan HAM, otomatis juga harus menjadi peserta pemilu 2009 tanpa harus melalui verifikasi faktual oleh KPU. "Prinsipnya parpol baru dan parpol lama sama-sama berbadan hukum. Jadi kami meminta hak yang sama pula," tambah Tommy.

Jika nantinya parpol baru yang sudah berbadan hukum tetapi tidak otomatis menjadi peserta Pemilu 2009, PKD akan memelopori parpol-parpol baru menggugat ke MK, agar membatalkan UU Pemilu yang baru.

Senada dengan itu, A Muzani, juga mendukung langkah PKD untuk menggugat ke MK. "Kami akan berkoordinasi dengan parpol-parpol baru untuk menggagalkan keputusan tersebut," ujar Muzani.

Dia menilai, keputusan yang diambil DPR itu merupakan langkah mundur, karena tidak konsisten menjalankan UU yang mereka buat sendiri. Seharusnya DPR lebih bijak dalam mengambil keputusan. Apalagi MK sudah menolak gugatan parpol-parpol kecil tentang ET 3 persen.

Sementara itu, sejumlah parpol yang memperoleh kursi di DPR, dan dipastikan ikut Pemilu 2009 meskipun tidak lolos ET 3 persen, berencana mencabut berkas-berkas partainya yang akan diverifikasi Depkumham. Salah satunya adalah Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Mereka menyatakan siap mencabut berkas pendaftaran maupun penyerahan kelengkapan syarat verifikasi di Depkumham, terkait dengan telah disepakatinya di tingkat lobi fraksi di DPR, bahwa mereka menjadi peserta Pemilu 2009.

Meski demikian, PKPB masih menunggu pengesahan resmi RUU Pemilu di DPR. "Kami siap menarik pendaftaran baru PKPB untuk dimintakan status badan hukum di Depkumham. Secara lisan kami sudah menyampaikan soal itu ke Depkumham. Tinggal menunggu ketok palu di DPR. Jika seperti itu keputusannya, kami akan langsung tarik pendaftaran. Jika tidak pun, kami siap untuk diverifikasi," ujar Sekjen PKPB Mayjen Marinir (Purn) Hartarto.

(6)

Suara Pembaruan Sabtu, 01 Maret 2008

Selain PKPB, ungkapnya, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Bintang Reformasi (PBR) juga akan mencabut berkas verifikasi.

"Dagang Sapi"

Secara terpisah, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menduga ada intervensi dari pemerintah, sehingga proses voting atas RUU Pemilu gagal dilakukan pada Kamis (28/2) lalu. Dia menilai, tidak ada alasan yang kuat terkait penundaan itu.

Menurut dia, pernyataan Bung Hatta puluhan tahun lalu seperti mendapatkan bukti, yakni, "Jangan sampai parpol menjadi tujuan dan negara menjadi alatnya". Kepentingan parpol terasa lebih kuat dibanding kepentingan bangsa dan negara.

Sementara Ketua Partai Hanura, Fuad Bawazier menduga ada politik "dagang sapi" dalam penundaan pengesahan RUU Pemilu tersebut, terutama dengan memasukkan 10 parpol yang tidak lolos ET sebagai peserta Pemilu 2009. Kecaman senada dikemukakan Ketua Umum Partai Pemuda Indonesia Hasanuddin Yusuf, yang menilai DPR tidak lagi peka dengan aspirasi rakyat.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irmadi Lubis juga berpendapat, semangat efisiensi tidak tampak dalam pembahasan RUU Pemilu. Dikhawatirkan, RUU itu kualitasnya tidak lebih baik dari UU Pemilu yang lama.

"Yang terjadi kan 'dagang sapi', sehingga lebih banyak kepentingan antarpartai di DPR. Ini membuat masyarakat semakin skeptis, semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga DPR," katanya.

Dia mengakui, DPD sebagai peserta pemilu perorangan mempelajari berbagai kemungkinan termasuk kemungkinan untuk mengajukan uji materi ke MK.

(7)

Kom isi Pe m e r in t a h a n D a la m N e ge r i Se ge r a Re v isi

U U Ot on om i

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Chozin Chumaidy mengungkapkan, komisi DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria tersebut akan segera menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, tiga hal utama akan menjadi fokus dalam revisi UU 32/2004.

Pertama, untuk memberikan payung hukum bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada. Kedua, mengisi kekosongan hukum UU 32/2004 tersebut, seperti pengisian kekosongan wakil kepala daerah. "Saat ini, terdapat delapan wakil kepala daerah yang kosong karena menggantikan posisi kepala daerah yang meninggal atau berhenti," ujar Chozin kepada Jurnal Nasional, Ahad (3/2).

Ketiga, pengaturan pilkada agar lebih jujur dan adil. Dengan ketentuan bahwa incumbent harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, jika yang bersangkutan mencalonkan lagi sebagai kepala daerah. Menurut Chozin, hal ini perlu diatur agar ada fairness dalam pelaksanaan pilkada dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan.

(8)

Kompas Senin, 03 Maret 2008

U U Pe m ilu D a r i Pa r t a i u n t u k Pa r t a i?

Syamsuddin Haris

Jika tidak ada aral melintang, RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR hari Senin ini. Masih adakah harapan rakyat bagi terwujudnya perubahan dalam desain undang-undang yang baru?

Setelah berbulan-bulan disiapkan pemerintah dan berbulan-bulan pula dibahas oleh Panitia Khusus DPR, kita tampaknya harus siap menerima kenyataan bahwa tak banyak yang baru dalam UU Pemilu Legislatif 2009 ini. Perubahan yang cukup positif barangkali hanya berkaitan dengan cara pemberian suara yang amat primitif, yakni mencoblos dengan paku, yang diubah menjadi menandai atau mencontreng dengan alat tulis.

Perubahan-perubahan selebihnya, seperti tercermin dari hasil 22 kali negosiasi dan lobi antarfraksi di berbagai hotel berbintang di seputar Jakarta, terkait tarik-menarik kepentingan partai besar, menengah, dan partai kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi peningkatan kualitas representasi di satu pihak, dan kualitas akuntabilitas para wakil di lain pihak.

Transaksi kepentingan

Sebenarnya ada semangat perubahan di balik beberapa isu krusial yang telah disepakati partai-partai, seperti besaran daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi merupakan langkah maju dibandingkan 3-12 kursi seperti pemilu sebelumnya karena akan berimplikasi pada berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR. Dengan demikian, fragmentasi partai di DPR sedikit berkurang sehingga pemerintahan yang lebih efektif dapat diwujudkan.

Namun, sayangnya langkah maju tersebut harus ”tercederai” oleh kesepakatan lain, yakni membolehkan semua partai yang memperoleh kursi DPR hasil Pemilu 2004—meskipun gagal mencapai electoral threshold 3 persen—untuk langsung ikut Pemilu 2009. Partai-partai mementahkan kembali kesepakatan yang telah tercantum dalam UU No 12 Tahun 2003 demi transaksi atau pertukaran kepentingan di antara para politisi partai itu sendiri.

Negosiasi, lobi, dan pertukaran kepentingan di antara para politisi sebenarnya wajar dan sah-sah saja di dalam sistem demokrasi. Akan tetapi, jika transaksi kepentingan itu berorientasi jangka pendek, yakni semata-mata demi pembagian kekuasaan di antara partai-partai, tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama. Persoalannya, rakyat dan bangsa ini sudah terlalu lelah dengan perilaku para politisi partai yang terlalu sibuk ”berpolitik” sehingga lupa dengan mandatnya memperjuangkan kepentingan rakyat.

Isu krusial yang tersisa

(9)

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kualitas representasi dan kedaulatan rakyat, penentuan calon terpilih tahap pertama dengan BPP (bilangan pembagi pemilihan) 30 persen yang diikuti tahap kedua atas dasar suara terbanyak jelas lebih maju ketimbang atas dasar nomor urut. Partai-partai yang masih mempertahankan nomor urut sudah saatnya berkorban, bukan untuk partai-partai yang berbeda pandangan, melainkan terutama untuk demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Apabila prinsip proporsionalitas, representasi, dan kedaulatan rakyat sejak awal menjadi dasar kesepakatan partai-partai dalam membahas RUU Pemilu, sebenarnya tidak perlu waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. Selain itu, dana yang dikeluarkan untuk membiayai 22 kali negosiasi dan lobi di hotel berbintang tentu bisa dialokasikan, misalnya, untuk nasi bungkus para pengungsi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Langkah mundur

Beberapa isu lain yang terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kesepakatan partai-partai dalam RUU Pemilu ini dapat dikatakan cenderung mundur dibandingkan UU No 12 Tahun 2003 yang digantikannya. Sebagai wakil daerah, setiap calon anggota DPD semestinya berdomisili di daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”

Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya sebagai representasi daerah-daerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta. Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.

Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat kekuasaan para politisi partai?

Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”.

(10)

Kompas Senin, 03 Maret 2008

( Ta k ) Be r h a r a p pa da U U Pe m ilu

M Qodari

Pasca-Pemilu 2004, apa kelemahan utama sistem politik dan sistem pemilu Indonesia yang dapat diidentifikasi?

Pertama, pemerintahan yang kurang efektif. Kedua, kinerja partai, politisi, dan anggota parlemen yang kurang memuaskan masyarakat. Kedua soal inilah yang seharusnya ada di kepala Panitia Khusus UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang baru saat mereka membahas RUU itu.

Beberapa poin yang krusial dan menjadi perdebatan antar- fraksi di DPR telah disepakati, antara lain: pertama, soal jumlah anggota DPR (maksimal 560 orang); kedua, alokasi kursi tiap daerah pemilihan (3-10 kursi); ketiga, pembatasan peserta pemilu (electoral threshold atau ET 3 persen dan parliamentary threshold atau PT 2,5 persen); dan keempat, cara pemberian suara dengan memberi tanda.

Sementara itu, beberapa poin krusial yang belum disepakati mencakup: pertama, penghitungan sisa suara (apakah tuntas di daerah pemilihan atau dibawa ke provinsi). Kedua, penentuan calon anggota legislatif terpilih (disepakati yang perolehan suaranya di atas 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih langsung terpilih, tetapi jika ada lebih dari satu orang yang perolehannya di atas 30 persen menjadi soal apakah yang menentukan adalah nomor urut atau suara terbanyak).

Upaya mengefektifkan sistem pemerintahan membutuhkan banyak variabel. Di satu sisi, pucuk pimpinan pemerintahan (presiden) harus tegas dan pandai menggalang dukungan partai- partai di parlemen. Di sisi lain, jumlah partai politik di parlemen perlu disederhanakan. Lebih ideal jika partainya presiden menjadi partai terbesar di parlemen. Dengan kondisi ini, diasumsikan keputusan politik lebih mudah dicapai dan didukung parlemen.

Penyederhanaan partai

Kesatuan antara partai pemenang pemilu presiden dan partai pemenang pemilu legislatif lebih bisa dipastikan bila pelaksanaan pemilu presiden didahulukan dari pemilu legislatif. Sekuen ini akan memberi dampak ”gerbong kereta” (bandwagon effect) pada pemilih. Sayang, opsi ini tidak didukung mayoritas partai di DPR sehingga kandas di jalan.

Opsi yang dipilih DPR untuk membangun pemerintahan yang lebih efektif adalah dengan menyederhanakan sistem kepartaian. Ada dua cara penyederhanaan: pertama, dengan ET 3 persen dan PT 2,5 persen (ET adalah batas perolehan suara untuk bisa otomatis ikut pemilu berikutnya, sementara PT adalah batas perolehan kursi untuk bisa mengirimkan wakil di DPR pusat). Kedua, dengan mengecilkan jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) dari sebelumnya 3-12 menjadi 3-10 kursi per daerah pemilihan.

(11)

Partai-partai non-ET tetapi punya kursi di DPR juga amat terbantu oleh pasal peralihan dalam UU pemilu baru yang memungkinkan mereka otomatis ikut Pemilu 2009 tanpa harus ”ganti baju”. Jadi, mereka tidak harus memulai sosialisasi nama dan tanda gambar dari nol. Pasca- Pemilu 2009, upaya penyederhanaan kepartaian sulit terwujud karena PT tidak diberlakukan untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, meski tidak punya kursi di parlemen pusat, partai-partai ini tetap punya kursi di parlemen daerah. Kursi di daerah ini akan menjadi ”ventilator” yang memperpanjang usia partai-partai gurem.

Kedua, penyederhanaan lewat penciutan jumlah kursi di dapil tampaknya juga sulit terwujud. Memang jumlah kursi per dapil turun dari 3-12 ke 3-10. Penurunan ini diduga tidak terlalu signifikan untuk menurunkan jumlah partai peraih kursi di DPR/DPRD. Dengan perubahan ini, terjadi pergeseran dapil 2004 ke 2009 yang menimbulkan masalah akuntabilitas politik caleg terpilih Pemilu 2004 terhadap konstituennya di dapil lama.

Banyak variabel

Soal memperbaiki kinerja partai politik, politisi, dan anggota legislatif, banyak variabel yang memengaruhi. UU Partai Politik yang sudah disahkan tidak menjamin. Memang UU itu lebih merinci tugas dan fungsi parpol, khususnya dalam pendidikan politik dan perekrutan politik. Namun, semua tugas dan perincian di UU No 2/2008 bersifat amat normatif sehingga harus kembali pada pengurus partai, caleg, dan UU lain untuk memperkuatnya.

Sayang, UU Pemilu baru tidak mengompensasi kelemahan UU No 2/2003. Aturan penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih, misalnya, mengharuskan caleg meraih minimal 30 persen BPP menurut simulasi Center for Electoral Reform (Cetro) membuat mayoritas anggota DPR/D mungkin akan terpilih melalui mekanisme nomor urut. Ini tidak jauh berbeda dengan mekanisme Pemilu 2004 yang mensyaratkan 100 persen BPP agar caleg otomatis lolos ke parlemen.

Jika mekanisme ini yang berlaku, mayoritas caleg akan bere- but mencari perhatian elite pimpinan partai ketimbang turun ke pemilih karena nasib mereka lebih ditentukan nomor urut dalam surat suara ketimbang jumlah dukungan mereka di masyarakat.

Hal lain, rencana perubahan cara memilih dari mencoblos ke memberi tanda berisiko menambah suara rusak meskipun dapat menghemat anggaran pemilu.

(12)

Kompas Senin, 03 Maret 2008

" Sm a r t Ca r d" da n Pe m isk in a n Ra k y a t

Ilyani S Andang

Rencana pemerintah membatasi pembelian premium dengan smart card sekali lagi merupakan pukulan bagi konsumen. Setelah kenaikan harga BBM tahun 2005 yang berdampak kian beratnya biaya hidup, pemerintah merencanakan ”pemaksaan pembelian BBM tanpa subsidi”.

Meski keputusan ini untuk mobil pribadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), akhirnya rakyat juga yang menderita. Dapat saja kebijakan itu ”dianggap” tidak berkaitan dengan masyarakat miskin karena masyarakat miskin sudah tidak punya daya beli. Kelas menengah yang masih mempunyai daya beli kian diturunkan tingkat kesejahteraannya dengan pembatasan subsidi BBM itu.

Ini sungguh berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan yang didapat para anggota DPR, pihak eksekutif, dan yudikatif. Tidak terlihat sensitivitas untuk ”mengencangkan” ikat pinggang di kalangan para pejabat itu.

Dengan beban biaya hidup yang kini kian tinggi, pembatasan premium akan semakin menambah biaya hidup konsumen. Pada data Indeks Tendensi Konsumen (ITK), yaitu survei rumah tangga berpendapatan menengah ke atas di Jabodetabek oleh BPS, tahun 2006 saja menunjukkan, pada triwulan III tahun 2006 nilai indeks konsumsi transportasi konsumen semakin tinggi (138,18).

Biaya transportasi masyarakat Jakarta pada 2003 sudah mencapai 30 persen dari penghasilan (sumber: Center for Indonesian Regional & Urban Studies/ CIRUS). Ini sudah jauh dari angka ideal, yaitu 10-15 persen.

Sementara kondisi tabungan rumah tangga menurun secara signifikan dengan indeks 60,11. Penurunan ini terjadi karena semakin tingginya biaya yang dikeluarkan untuk transportasi.

Angkutan umum minim

Bagaimana dengan kendaraan umum? Daya dukung transportasi umum tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen Jabodetabek. Utamanya masyarakat yang datang ke Jakarta dari wilayah Bodetabek pada siang hari yang mencapai 6-7 juta orang, sementara daya dukung angkutan umum hanya 20 persen untuk bus kota dan 2 persen untuk kereta api (sumber CIRUS).

Bahkan, 2 persen untuk kereta api itu dapat dilihat dalam kondisi yang amat tidak aman karena pada jam sibuk pagi dan sore hari, konsumen amat padat hingga ke atap kereta api. Inikah potret yang diharapkan pemerintah dialihkan ke pelayanan transportasi publik? Menghadapi risiko kematian, pelecehan seksual, kecopetan, dan terpapar polusi yang parah di transportasi publik?

(13)

Memiskinkan rakyat

Jadi, pembatasan premium akan kian memiskinkan rakyat. Kebutuhan hidup akan kian membengkak. Padahal, masyarakat sudah amat terbebani tingginya biaya kebutuhan pokok. Tahun 2006, kenaikan harga beras mencapai 25 persen, harga minyak goreng naik mencapai 60 persen (sumber BPS). Data BPS DKI Jakarta 2006 menyebutkan, masyarakat telah terbebani biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi. Tahun 2006 pengeluaran masyarakat DKI untuk pendidikan naik 21 persen dan untuk kesehatan naik 8,5 persen.

Perlu diingat, masyarakat kelas menengah bukan masyarakat yang disubsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Apakah pemerintah berniat menurunkan taraf kehidupan kelas menengah menjadi masyarakat miskin sehingga mereka berhak mendapat subsidi? Jika begitu, apa arti tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyat? Jika terjadi defisit APBN, tidak adakah cara yang lebih cerdas bagi pemerintah untuk mengatasi masalah yang dihadapi tanpa membebani rakyat? Bagaimana dengan dana kasus BLBI dan koruptor lainnya?

Akan tetapi, jika defisit APBN sudah demikian parah, tidakkah penghematan dilakukan lebih dulu oleh para pejabat? Berilah contoh terbaik lebih dulu, setelah itu mungkin rakyat masih mau berkorban.

(14)

Pikiran Rakyat Senin, 03 Maret 2008

H a r i I n i, " V ot in g" RU U Pe m ilu

GARUT, (PR).-

Perbedaan pandangan antarfraksi di DPR tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu untuk merevisi UU No. 12/2003 tentang Pemilu akan diselesaikan melalui voting dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (3/3) ini. Setelah voting dilaksanakan, diharapkan RUU tersebut bisa disahkan menjadi UU.

Demikian dikemukakan anggota DPR RI Dr. Mohammad Mahfud M.D. kepada wartawan di sela-sela kegiatan "Sosialisasi Putusan MPR RI" di Gedung Pendopo Garut, Sabtu (1/3) sore. "Besok Senin (hari ini-red.) harus jadi! Apa pun keputusannya," ujarnya menegaskan.

Mahfud mengatakan, selama ini memang terjadi perdebatan antarfraksi di DPR terkait RUU Pemilu. Menurut dia, perdebatan tersebut wajar karena politik adalah adu kekuatan kepentingan. "Namun, kalau kepentingan tak bisa dipertemukan, ya di-voting, dan itu akan dilakukan Senin sebagai putusan sidang terakhir untuk RUU Pemilu," kata Mahfud yang juga anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB).

Dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (28/2) lalu, DPR gagal mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU. Ada dua materi yang belum selesai, yakni penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih. Dalam mekanisme penghitungan sisa suara, masih diperdebatkan apakah akan ditarik ke provinsi atau kembali ke daerah pemilihan.

Menurut Mahfud, saat ini ada dua peta kekuatan yang tarik-menarik di DPR. Ada kubu yang menginginkan sisa suara pemilu habis di daerah pemilihan, dan ada yang menginginkan agar sisa suara diangkat ke provinsi. Kubu yang menginginkan sisa suara habis di daerah pemilihan akan diuntungkan oleh sisa-sisa suara di provinsi. Sedangkan, yang menginginkan suara diangkat ke provinsi diuntungkan dengan sisa suara tidak hilang dan bisa dikompensasikan dengan daerah lain.

Partai-partai yang semula mendukung sisa suara diangkat ke provinsi yaitu Partai Golkar, PDIP, PKS, dan PKB. Namun, belakangan Partai Golkar ternyata berubah dan kepastiannya belum diketahui hingga Senin besok.

Mengenai sikap PKB, Mahfud mengatakan bahwa PKB berkeinginan agar sisa suara diangkat ke provinsi. Pasalnya, kalau dapat diakumulasikan dari sisa suara hasil pemilu lalu, PKB bisa mendapatkan sebanyak 62 kursi di DPRD dan bukan 52 kursi. Partai Golkar bisa memperoleh 140 lebih kursi, dan bukan 128 kursi. PDIP juga dapat memperoleh 130 lebih kursi.

"Akan tetapi, bila besok kalah voting, PKB harus menerima. Itu sebagai konsekuensi aturan main. Masa kita mau mbalelo lagi. Semuanya juga harus menerima bila di-voting Senin. Ada yang menang dan ada yang kalah kan enggak apa-apa," ujarnya.

(15)

Pengingkaran

Sementara itu, DPR dinilai belum siap dalam merancang Undang Undang (UU) Pemilu Legislatif. Rencana adanya ketentuan peralihan yang memungkinkan para parpol yang telah mendapat kursi di DPR bisa langsung menjadi peserta pemilu merupakan pengingkaran terhadap demokrasi. "Hal ini merupakan pengingkaran terhadap cita-cita demokrasi kita, yaitu penyederhanaan partai," ujar Direktur Indonesia Parliamentary Centre (IPC) Sulastio ketika dihubungi "PR" di Jakarta, Minggu (2/3).

DPR pun meminta tim perumus pansus untuk menyelesaikan lampiran daerah pemilihan (dapil). Sulastio mencermati adanya keinginan Pansus DPR untuk ikut menetapkan lampiran UU Pemilu berupa penetapan daerah pemilihan (dapil) yang merupakan ajang kompetisi yang sarat kepentingan bagi para anggota DPR.

"Yang membuat pengesahan RUU Pemilu molor itu karena masalah dapil juga. Ada baiknya jika penetapan peta dapil dilakukan oleh KPU yang notabene lepas dari konflik kepentingan dan memiliki waktu yang lebih luwes untuk melakukannya," kata Sulastio.

Menurut dia, ketentuan penggunaan electoral threshold/ET sebesar 3 persen dan parliamentary threshold/PT minimal 2,5 persen yang dimaksudkan untuk menyederhanakan partai, menjadi tidak berguna. Alasannya, aturan itu bisa dianulir kembali oleh DPR periode 2009 untuk Pemilu 2014.

Menurut Sulastio, berubahnya sebaran kursi per dapil dari 3-12 menjadi 3-10 bukanlah persoalan mudah. Dari penghitungan berdasarkan Pemilu 2004, ada 11 dapil yang memiliki kursi di atas 10. "Dengan ketentuan yang baru ini, seharusnya DPR memiliki sikap apakah menganut Opovov (one person, one vote, one value-red.) atau ada kriteria lain yang ingin dipakai. Kejelasan ini juga akan sangat memengaruhi kinerja KPU dalam menetapkan peta daerah pemilihan," kata Sulastio.

Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, ET 3% terhadap hasil Pemilu 2004 tetap berlaku, dan tercantum dalam RUU Pemilu. Hal itu mengakibatkan ada 2 kategori parpol peserta pemilu, yaitu parpol yang mencapai ET bisa ikut Pemilu 2009, dan parpol yang tidak mencapai ET yang tidak bisa ikut Pemilu 2009.

Ferry mengakui, pada RUU Pemilu yang baru menyebutkan hasil Pemilu 2009 diberlakukan parliamentary threshold (PT) 2,5%. Artinya, parpol peserta pemilu 2009 yang total perolehan suara nasionalnya tidak mencapai PT, tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR hasil Pemilu 2009. Hanya saja, parpol yang bersangkutan tetap dapat ikut pemilu berikutnya tanpa verifikasi lagi. "Jadi ET 3% bagi peserta pemilu 2004 tetap berlaku dan dalam UU ini dimuat secara utuh," kata Ferry.

Ferry menegaskan, pemberlakuan PT terhadap hasil Pemilu 2009 menyebabkan parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak mencapai ET 3%, harus bergabung dengan partai lainnya yang juga tidak mencapai ET 3% untuk bisa ikut Pemilu 2009. Namun, dalam RUU Pemilu ditambahkan dalam ketentuan peralihannya, yakni bagi yang memiliki kursi di DPR dapat langsung ikut Pemilu 2009, sedangkan bagi yang tidak memiliki kursi di DPR cukup menempuh proses verifikasi di KPU (tanpa verifikasi sebagai parpol baru).

(16)

Suara Pembaruan Senin, 03 Maret 2008

Lim a Ca gu b Ba k a l Be r sa in g da la m Pilk a da N TT

[KUPANG] Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Timur (NTT) memperkirakan lima paket calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) akan bersaing dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) awal Juni 2008. Demikian Juru bicara KPU NTT, Hans Christian Louk kepada SP di Kupang, Senin (3/3) pagi.

Dikatakan, perkiraan itu berdasarkan perolehan suara dan atau jumlah kursi partai politik (parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT. Kalau ada parpol yang bergabung dengan Partai Golkar atau Partai Demorkasi Indo- nesia Pembaruan (PDI-P) dalam mengusung salah satu paket calon, tentunya jumlah paket calon tidak akan mencapai lima paket.

Partai Golkar yang memiliki 21 kursi di DPRD NTT, menyusul PDI-P dengan 12 kursi, memenuhi persyaratan perolehan suara sekurang-kurangnya 15 persen atau setara dengan 9 kursi, sehingga kedua parpol itu dapat mengajukan paket calonya sendiri.

Sementara parpol lain yang memiliki kursi di DPRD NTT, harus berkoalisi untuk memenuhi syarat untuk bisa mengajukan satu paket calon.

Dijelaskan, parpol yang memiliki kursi di DPRD NTT seperti PPDI (4 kursi), PKB (4) dan PPD (1) apabila berkoalisi, sudah memenuhi syarat untuk mengajukan satu paket. Sementara PDS (4), Demokrat (2), PKPI (2) dan PPP (1) dapat mengajukan satu paket serta Partai Pelopor (2, PNBK (1), PPDK (1) ditambah parpol yang tidak memiliki kursi dapat berkoalisi untuk mengajukan satu paket.

Belum Terbentuk

Sementara itu, sebanyak 79 dari 259 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), untuk Pilkada NTT, hingga berita ini diturunkan belum terbentuk. Padahal, batas waktu pembentukan PPK sebelumnya dijadwalkan 26 Februari 2008, kemudian digeser ke 2 Maret 2008. Hal tersebut diungkap Anggota KPU NTT, Jos Dasi Djawa secara terpisah.

Dikatakan, faktor geografis dan kondisi cuaca yang memburuk dalam beberapa pekan terakhir, menjadi kendala pembentukan PPK. Seperti di Pulau Sabu yang terdiri dari lima wilayah kecamatan, hingga kini belum terbentuk karena kondisi cuaca yang belum memungkinkan adanya petugas datang ke pulau tersebut untuk pembentukan PPK.

(17)

Pa r ipu r n a RU U Pe m ilu Alot

D ise pa k a t i, pe ngga bunga n di provinsi ha nya a t a s sisa sua ra ya ng k ura ng da r i 5 0 pe r se n

SP/YC Kurniantoro

Ketua DPR Agung Laksono (kedua dari kanan) bersama wakil pemerintah, antara lain Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa (kiri), Menteri Dalam Negeri Mardiyanto (kedua dari kiri), dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, menunggu rapat paripurna yang molor di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/3).

[JAKARTA] Sidang paripurna dengan agenda pemberian persetujuan DPR atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Senin (3/3), berjalan alot untuk menentukan satu dari dua opsi. Opsi satu, sisa suara dibagi habis di dapil dengan penggabungan di provinsi hanya atas sisa suara yang kurang dari 50 persen, sedangkan opsi dua, dengan sisa suara kurang dari 30 persen.

Saat voting, opsi satu didukung Fraksi Partai Golkar (106) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (106), Fraksi Kebangkitan Bangsa (49), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (41), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (13), Fraksi Partai Bintang Reformasi (6). Opsi satu didukung 320 suara.

Opsi dua didukung Fraksi Partai Demokrat (59), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (43), Fraksi Partai Amanat Nasional (51), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (5), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (9). Opsi ini didukung 167 suara. Sedangkan 2 suara lagi abstain.

Sebelumnya, voting atas RUU Pemilu hanya menyisakan dua materi, yakni soal sisa suara dan penentuan calon terpilih. Untuk materi penentuan calon terpilih, pimpinan DPR, fraksi, dan pemerintah, pada rapat konsultasi, Minggu (2/3) malam, sepakat penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut.

Sedangkan untuk materi sisa suara, hingga akhir pekan lalu hanya muncul dua opsi, yakni digabung ke provinsi (opsi satu) atau dibagi habis di dapil dengan penggabungan di provinsi hanya atas sisa suara yang kurang dari 30 persen (opsi dua). Dalam perkembangannya, pada opsi dua muncul satu lagi opsi tambahan, yakni penggabungan sisa suara di provinsi hanya atas sisa suara yang kurang dari 50 persen.

Khusus menyangkut sisa suara, Fraksi Partai Golkar pada mulanya berada pada kubu yang mendukung opsi satu, bersama Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FDI-P), FKB, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD), dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR).

Sedangkan, Fraksi Partai Demokrat yang dikenal sebagai fraksi pemerintah mendukung opsi dua, bersama Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Kalau opsi satu yang menang voting, ketiga fraksi itu akan banyak kehilangan kursi di DPR.

Munculnya satu lagi opsi untuk materi sisa suara diduga kuat akibat intervensi pemerintah, yang berhasil mengundurkan pelaksanaan voting dari Kamis (28/2) menjadi Senin (3/3). Seperti diketahui, dalam rapat paripurna yang berakhir Kamis (28/2) malam, DPR memutuskan menunda pelaksanaan voting atas dua materi RUU Pemilu hingga Senin (3/3) pagi.

(18)

Suara Pemabaruan Senin, 03 Maret 2008

Berkaitan dengan munculnya opsi baru, anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pataniari Siahaan menyatakan pelaksanaan voting kemungkinan ditunda lagi selama satu minggu. "Kalau voting ditunda lagi, ini menunjukkan DPR tidak memperhatikan kepentingan rakyat," katanya di Jakarta, Senin.

"Swinger"

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan yang berasal dari Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan pihaknya tidak akan bersikukuh pada satu opsi, yakni digabung ke provinsi (opsi pertama). FPG, kata Ferry, bersikap swinger atas materi tersebut. Maksudnya, FPG bisa menerima pilihan mana pun yang disepakati saat voting.

Khusus menyangkut opsi dua, ada beberapa fraksi menawarkan angka selain 30 persen, yakni 40 persen atau 50 persen. Penetapan angka itu akan berpengaruh terhadap perolehan kursi di parlemen.

Sebagai ilustrasi, di satu dapil BPP ditetapkan 100.000 suara. Dengan menerapkan penggabungan sisa suara di provinsi (opsi satu), parpol yang memperoleh suara di atas 100.000 langsung mendapat satu kursi dan sisa suaranya digabung ke provinsi nantinya. Sementara bagi parpol yang memperoleh suara di bawah 100.000 sama sekali tidak memperoleh kursi, kecuali jika digabung di provinsi.

(19)

Pa r pol Ba r u , bu a t Elit e a t a u Ra k y a t ?

Pengantar

Menjelang Pemilu 2009, partai politik (parpol) baru pun bermunculan. Di antara parpol-parpol itu, ada yang memang baru pertama kali ingin ikut pemilu, tetapi ada juga yang sekadar ganti nama. Wartawan SP Steven S Musa menurunkan laporan di seputar motivasi pendirian parpol, apakah betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat atau hanya sekadar tunggangan para elite.

SP/YC Kurniantoro

Petugas mendata berkas verifikasi partai politik di Departemen Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (27/2).

Hari Rabu (27/2) lalu, terjadi hiruk-pikuk di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) sejak pagi hingga malam hari. Maklum, saat itu merupakan hari terakhir parpol untuk melengkapi persyaratan guna diverifikasi secara administratif agar bisa memperoleh status badan hukum.

Berbagai model dan cara diperlihatkan parpol-parpol tersebut untuk menunjukkan eksistensinya. Ada yang hanya membawa massa dengan jumlah sedikit, tetapi ada pula yang membawa massa dengan jumlah banyak. Tetapi yang jelas, mereka semua harus membawa berkas yang dibutuhkan. Tepat pukul 00.00 WIB, Kamis (28/2), sebanyak 47 parpol baru maupun parpol baru, namun bermuka lama, melengkapi persyaratan yang dibutuhkan.

Jumlah parpol sebanyak itu menunjukkan antusiasme warga untuk berperan aktif dalam dunia politik. Terlepas dari semrawutnya sebagian besar manajemen parpol baru, kehadiran mereka sesungguhnya mencerminkan keinginan mewujudkan sebuah negara dan masyarakat yang dicita-citakan.

Parpol memang menjadi media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik, serta ikut menentukan siapa yang menjadi penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan di daerah. Karena pada prinsipnya keanggotaan parpol terbuka bagi semua warga negara sehingga anggotanya bisa berasal dari berbagai unsur bangsa, maka parpol dapat juga menjadi sarana integrasi nasional.

Untuk memperjuangkan cita-citanya, parpol berupaya mencari dan mempertahankan kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif melalui pemilu. Apa pun sistem pemilu yang dianut, parpol peserta pemilu berperan dalam proses pencalonan anggota yang akan mengisi jabatan legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif.

Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan jika sebagian parpol menghalalkan berbagai cara untuk bisa meraih kekuasaan dan kedudukan penting di negara ini.

SP/YC Kurniantoro

(20)

Suara Pembaruan Senin, 03 Maret 2008

Janji

Memang pada masa awal pendiriannya, setiap parpol memiliki visi dan misi yang ideal, yakni memperjuangkan aspirasi rakyat dan juga ingin memperbaiki kondisi bangsa. Namun sayang, begitu memegang kekuasaan, idealisme yang semula digenggam erat, seolah terlepas, berganti dengan nafsu ingin mempertahankan kekuasaan tersebut. Mereka pun melupakan janji-janji yang ditebar selama kampanye untuk memikat pemilih.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika ruangan tempat pendaftaran parpol di Depkumham dipenuhi janji-janji parpol yang sedang mendaftar. Hampir sebagian besar mereka menjawab dengan lantang bahwa partai merekalah yang akan memperjuangkan nasib bangsa ini.

Mungkin tidak semua parpol bertingkah seperti itu. Banyak juga parpol baru yang berusaha belajar dari pengalaman parpol-parpol sebelumnya yang telah menimbulkan trauma masyarakat.

Ada elite yang menjamin parpolnya tidak akan berkelakuan, seperti parpol-parpol sebelumnya. Misalnya Partai Kristen Demokrat (PKD), tidak segan-segan membuang kadernya jika berkelakuan buruk saat duduk di parlemen. "Di PKD tidak ada tempat bagi bandit-bandit politik," tegas Ketua Umum DPP PKD Tommy Sihotang.

Tommy mengungkapkan PKD akan menjadi partai alternatif dan harapan baru bagi konstituen yang mayoritas beragama Kristen. Apalagi, kata Tommy yang berprofesi sebagai pengacara, banyak konstituen Kristen mengalami trauma dan kecewa terhadap partai-partai yang sebelumnya juga mengklaim bernapaskan Kristen. "Kita tidak mau memanfaatkan kondisi tersebut. Tetapi kita yakin, konstituen partai yang frustrasi, pasti akan ke kami," ujar dia.

Kenapa Tommy merasa yakin terhadap partainya? Menurut dia, orang yang berpolitik harus selalu mengabdi pada keyakinannya.

Begitu juga dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menjamin partainya tidak akan bertingkah seperti parpol-parpol sebelumnya. Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani menyatakan pihaknya mendirikan partai tersebut karena bangsa Indonesia saat ini sudah kehilangan kedaulatannya. "Selama ini kita selalu diatur oleh impor. Atas dasar itulah, kami ingin memperbaiki bangsa ini," ujar Muzani.

Dia mengungkapkan, pembentukan partainya diawali oleh gerakan-gerakan kaum muda yang ingin memajukan bangsa ini.

Lain halnya dengan Partai Republika Nusantara (Republikan). Menurut salah seorang Ketua DPP Republikan, Anton Suseno, partainya akan berupaya memperoleh ISO 2000 dari sisi manajemen. Anton yang juga mantan atlet tenis meja nasional itu mengungkapkan jika nanti kader partainya berkelakuan buruk, masyarakatlah yang akan mencabut ISO tersebut.

"Bukan masalah jamin atau tidak menjamin, kalau memang kami menjadi partai yang buruk dan melupakan konstituen, silakan masyarakat mencabut ISO kami," kata dia.

(21)
(22)

Suara Pembaruan Senin, 03 Maret 2008

Pilk a da M a lu k u , Pa r a Ra j a D im in t a Ta k Be r pih a k

[AMBON] Para Raja se-Provinsi Maluku diminta menjaga independensi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Maluku Juli 2008. Para Raja yang secara adat disebut Latupati tersebut juga diharapkan menjadi penjaga negeri (desa) karenanya mereka harus berdiri di atas semuanya dan tidak memihak dalam proses pilkada.

"Mereka tidak boleh terlibat dalam politik praktis jelang pilkada. Para Majelis Latupati se-Maluku harus benar-benar independen dan betul-betul dapat membawa se-Maluku menjadi yang lebih baik lagi di waktu yang akan datang," kata Gubernur Maluku Karel Albert Ralahallu kepada SP, di Ambon, Minggu (2/3).

Harapan ini kiranya dapat diteruskan oleh para Raja yang negerinya terjauh dari kota Ambon. Para Latupati harus mensosialisasikan semua yang mereka putuskan dalam kebijakan program pada musyawarah besar Latupati se-Maluku, baru-baru ini.

Ralahallu menambahkan, agar rakyat tahu keberadaan mereka, dan mereka lebih berfungsi lagi untuk tanggung jawab Maluku ke depan.

"Kepala latupati sama saja dengan mengemban tugas Gubernur, mereka harus membentuk pranata adat. Di dalam Latupati terkandung sebuah komitmen pemangku adat untuk melakukan penyeimbangan dilihat sebagai sosio- politik," katanya.

(23)

U U Pe m ilu Ba k a l M e n u a i " Ju dicia l Re v ie w "

[JAKARTA] Meski belum disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belum disahkan pemerintah, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD dipastikan bakal menuai peninjauan kembali (judicial review). Beberapa persoalan yang telah disepakati fraksi-fraksi DPR dalam RUU Pemilu dinilai tidak adil dan melanggar aturan sebelumnya.

Salah satu masalah yang dianggap tidak adil adalah soal 16 partai politik (parpol) di DPR yang secara otomatis bisa ikut Pemilu 2009.

Meski beberapa parpol hanya memperoleh satu atau dua kursi di DPR pada Pemilu 2004, mereka dapat langsung ikut pemilu tanpa perlu proses verifikasi kembali.

"Dari yang saya tahu, beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat dan beberapa parpol baru mempertimbangkan untuk mengajukan judicial review atas UU Pemilu jika disahkan seperti yang telah disepakati DPR," ujar Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Jeirry Sumampow dalam suatu diskusi di Jakarta, Sabtu (1/3).

Menurut dia, partai-partai yang hanya mendapat satu atau dua kursi di DPR pada pemilu sebelumnya dapat dikatakan tidak layak untuk ikut pemilu 2009. Sebelum ikut pemilu, mereka harus melakukan konsolidasi partai.

"Apalagi, pada UU 12/2003 tentang pemilu, salah satu pasal mengatur tentang electoral threshold (ET) 3 persen. Beberapa partai di DPR saat ini terkena aturan itu, sehingga mereka harus mendaftar ulang dengan nama baru. Kalau pada UU Pemilu yang baru nanti mereka tetap bisa ikut, apa gunanya aturan tentang electoral threshold itu?" tanya Jeirry.

Menurut dia, aturan yang membolehkan 16 parpol di DPR ikut pemilu merupakan bentuk kompromi para elite politik di Senayan. Kompromi seperti itu dinilai tidak adil dan merugikan partai-partai baru.

Dikatakan, jika ET yang ada pada UU 12/2003 diberlakukan, maka hanya tujuh parpol di DPR yang boleh langsung ikut pemilu. Oleh karena itu, Jeirry mengatakan organisasinya mendukung penolakan parpol gurem di DPR bisa langsung ikut pemilu.

Meski demikian, dia mengakui kalau judicial review terhadap UU Pemilu yang baru akan memakan waktu yang lama. Hal itu juga akan mengganggu kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mempersiapkan pemilu. Oleh karena itu, dia mengimbau para elite untuk membatalkan aturan yang membolehkan parpol yang tidak lolos ET bisa langsung ikut pemilu.

Parpol Lokal

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay mengatakan kehadiran parliamentary threshold (PT) pada RUU Pemilu membuka peluang bagi parpol lokal.

(24)

Suara Pembaruan Senin, 03 Maret 2008

Dia juga mengingatkan partai-partai politik bahwa kehadiran PT membuat mereka harus bekerja lebih keras lagi dalam mendapatkan dukungan rakyat berupa suara pada pemilu nanti. Jika dilihat dari jumlah suara sah pada pemilu 2004, hanya ada tujuh parpol yang bisa memenuhi PT 2,5 persen.

"Keberadaan PT itu menguntungkan partai-partai yang sudah ada di DPR. Misalnya, Partai Golkar. Jika pada pemilu lalu mereka mendapatkan 127 kursi, maka pada pemilu mendatang mereka paling tidak mendapat tambahan menjadi 162 kursi," ujar Hadar.

Dalam diskusi itu, anggota KPU I Gusti Putu Artha mengingatkan parpol untuk memperhatikan syarat-syarat untuk bisa lolos verifikasi di KPU. Menurut dia, banyak hal-hal sepele yang terkadang dilupakan parpol dalam memenuhi syarat-syarat untuk bisa lolos ikut pemilu.

(25)

Legislatif Jakarta | Selasa, 04 Mar 2008

D PD Se t u j u i M a t e r i Ta m ba h a n Re v isi U U Pe m da

by : Abdul Razak

WAKIL Ketua Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hariyanti Syafrin menyatakan setuju perlunya pembahasan empat materi tambahan yang diusulkan pemerintah dalam revisi Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah atau UU Pemda. Menurut senator asal Lampung ini, DPD telah memberikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemda yang disampaikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Perlu lah, empat materi tambahan itu dibahas, terutama soal calon incumbent, banyak hal krusial dan menimbulkan persoalan. Incumbent yang mencalonkan diri banyak yang menggunakan fasilitas negara dan jabatan," ujar Hariyanti kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Senin (3/3).

Menurut Hariyanti, ada beberapa kekhawatiran kalau calon incumbent tidak mengundurkan diri. Antara lain, seseorang yang masih menjabat sebagai kepala daerah tentunya memiliki kekuasaan terhadap pejabat yang ada di bawahnya. Hal ini akan memengaruhi netralitas birokrasi selama berlangsungnya pemilihan kepala daerah (pilkada).

Netralitas birokrasi ini, jelasnya, akan berefek pada pelayanan publik ke masyarakat. Penggunaan fasilitas-fasilitas pemerintah oleh calon incumbent juga tidak dapat dihindari. Hal-hal tersebut memungkinkan tidak adanya fair play antara calon incumbent dengan lawan politiknya.

Selain itu, terbuka peluang adanya konflik di masyarakat karena menang atau kalahnya calon incumbent. Apabila menang, mungkin saja ada perasaan tidak adil dari lawannya dan menuai protes. Ini akan menyebabkan ketidakstabilan dalam pemerintahan dan masyarakat. "Melihat itu semua, untuk menjadikan iklim demokratis benar-benar hidup di masyarakat, maka aturannya yang terdapat di dalam UU 32/2004 perlu direvisi. Kandungan Pasal 58 UU tersebut perlu diperluas dengan memberikan persyaratan tambahan perlunya calon incumbent mengundurkan diri sebelum ikut dalam proses pilkada,"

Seperti diketahui, dalam rangka merevisi UU Pemda sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan dalam pilkada, pemerintah mengusulkan beberapa materi perubahan yang perlu juga dibahas. Materi-materi tersebut mencakup pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah, peninjauan kembali jadwal pilkada bulan Desember 2008 dan perluasan integrasi pemilu gubernur dengan pemilu bupati/wali kota, serta ketentuan tentang kepala daerah atau wakil kepala daerah incumbent yang akan dicalonkan kembali harus mengundurkan diri.

Hariyanti juga mengungkapkan, pandangan yang diajukan pemerintah terhadap revisi UU 32/2004 sejalan dengan yang pandangan yang diusulkan DPD, terutama terkait dengan syarat bagi calon perseorangan. "Yang diusulkan DPD tidak terlalu memberatkan calon dan lebih realistis dibanding yang disampaikan DPR," katanya.

(26)

Pikiran Rakyat Selasa, 04 Maret 2008

U U Pe m ilu Ak h ir n y a D isa h k a n

Alok a si Ku r si D PR RI u n t u k Ja ba r M e n j a di 9 1

JAKARTA, (PR).-

Setelah mengalami dua kali penundaan, RUU tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang akan menggantikan UU No. 12/2003, akhirnya disetujui DPR dan Pemerintah untuk disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (3/3). Proses pemungutan suara terbanyak (voting) tak terelakkan lagi untuk menyepakati RUU Pemilu legislatif itu.

Pimpinan Rapat yang juga Ketua DPR RI Agung Laksono mengatakan, sebelumnya ada dua materi krusial RUU Pemilu yang belum disepakati DPR. Dua materi itu adalah penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih.

Rapat Paripurna DPR menyetujui opsi jika sisa suara kurang dari 50% dari bilangan pembagi pemilih (BPP) di daerah pemilihan (dapil), sisa suara itu dikumpulkan dan dihitung di provinsi. "Satu materi telah disepakati, yakni penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut sehingga materi di-voting adalah penghitungan sisa suara," kata Agung.

Sebelum voting, ada dua opsi mengenai penghitungan sisa suara itu. Opsi A, sisa suara kurang dari 50% dari BPP di daerah pemilihan ditarik ke provinsi. Opsi B, sisa suara kurang dari 30% BPP di daerah pemilihan ditarik ke provinsi.

Voting DPR dilakukan secara terbuka. Setiap anggota DPR memberikan pilihan opsi dengan cara berdiri. Sebanyak 320 anggota DPR dari total 489 yang hadir dalam rapat paripurna memilih pilihan opsi A. Sisanya, sebanyak 167 anggota memilih opsi B dan 2 anggota Fraksi PDS menyatakan abstain.

Konfigurasi suara opsi A didukung 106 anggota FGolkar, 106 (FPDIP), 49 (FKB), 40 (FPKS), 13 (Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi/BPD) dan 6 (Fraksi Partai Bintang Reformasi/PBR). Sementara Opsi B sebanyak 59 (FPD), 43 (PPP), 51 FPAN, dan 5 FPBR, serta 9 FPDS. Dua anggota F PDS memilih abstain.

Sementara itu, pemerintah menyepakati pengesahan UU itu dengan beberapa catatan. Menurut Mendagri Mardiyanto, pemerintah sejak awal berargumentasi penghitungan sisa suara habis di daerah pemilihan. Begitu juga dengan penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak.

Alokasi kursi Jabar

Sementara itu, alokasi kursi DPR RI untuk Jabar untuk Pemilu 2009 bertambah menjadi 91 kursi. Penambahan itu merupakan dampak dari perubahan jumlah alokasi kursi DPR RI yang tadinya 550 menjadi 560.

(27)

D r a m a Pa r ipu r n a RU U Pe m ilu

Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (RUU Pemilu) akhirnya disahkan menjadi undang-undang (UU) dalam rapat paripurna DPR, Senin (3/3). Pengesahan RUU yang sudah molor sejak Kamis itu pun ternyata tak berjalan mulus.

Alot. Kata itu mungkin yang paling tepat. Namun ternyata bukan hanya alot, karena pengesahan kemarin diwarnai intervensi Presiden Yudhoyono, justru ketika Mendagri Mardiyanto menyampaikan pendapat akhir pemerintah.

Intervensi itu terlihat sangat mencolok karena dilakukan setelah voting berlangsung dan pemerintah boleh disebut kalah. Memang tidak ada kalah-menang. Hanya saja keinginan pemerintah dan Presiden Yudhoyono berikut fraksinya, Fraksi Partai Demokrat, tidak terwujud dalam voting atas sisa suara.

Namun, tudingan intervensi langsung dibantah Mensesneg Hatta Rajasa. "Apabila terjadi perubahan yang fundamental, kami harus konsultasi dengan Presiden," katanya. Menjelaskan pidato Mendagri yang terhenti sampai dua kali, menurut Hatta karena pimpinan sidang, Agung Laksono, tidak menawarkan kesempatan konsultasi pada pemerintah. Hal itu, katanya, adalah soal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan.

"Maka kami meminta langsung ke pimpinan dan naik ke atas untuk konsultasi, itu biasa saja sesuai mekanisme yang berjalan," kata Hatta yang menjamin tidak ada intervensi dari Presiden yang disebutnya sebagai negarawan.

Hatta juga meminta tidak perlu ada spekulasi terjadi perpecahan antara Partai Golkar dan Partai Demokrat atau perpecahan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Ini kan hanya proses pengambilan keputusan, bisa saja begini, jangan terlalu jauh melihatnya. Ini pure masalahnya sesuai fraksi masing-masing," kata Hatta.

Dua Opsi

Rapat paripurna yang digelar sejak pukul 09.00 WIB, sebenarnya tinggal memilih dua opsi atas materi sisa suara. Opsi A, 50 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) di daerah pemilihan sisa suara dikumpulkan ke provinsi. Opsi ini didukung Fraksi Partai Golkar (106 suara), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (106), Fraksi Kebangkitan Bangsa (49), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (41), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (13), dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (6 suara), dengan 320 suara. Sedangkan opsi B, 30 persen BPP di daerah pemilihan sisa suara dikumpulkan ke provinsi, didukung Fraksi Partai Demokrat (59), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (43), Fraksi Partai Amanat Nasional (51), Fraksi Partai Bintang Reformasi (5), Fraksi Partai Damai Sejahtera (9 suara, 2 abstain).

Voting hanya atas satu materi itu sebenarnya bagi DPR adalah kemajuan, mengingat pada Kamis pekan lalu, ada dua materi yang harus divoting. Materi pertama adalah soal penentuan calon terpilih, apakah dikembalikan pada nomor urut atau suara terbanyak jika ada lebih dari satu caleg yang memperoleh suara di atas 30 persen dari BPP. Namun fraksi-fraksi sepakat memilih kembali ke nomor urut.

(28)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Konsultasi pimpinan fraksi dengan pimpinan DPR ternyata berjalan alot. Skorsing rapat paripurna yang disepakati 10 menit molor hingga lebih dari satu jam, sebelum akhirnya divoting juga. Voting atas materi sisa suara akhirnya dimenangi Fraksi Partai Golkar dan pendukungnya. Sebelum memberikan persetujuan atas RUU itu, Mendagri terpaksa dua kali turun podium untuk berkonsultasi dengan Mensesneg dan Menkumham, bahkan ketiganya harus berkonsultasi langsung dengan Presiden Yudhoyono di Departemen Koperasi dan UKM.

Terkait hal itu, Ketua DPR Agung Laksono mengaku baru pertama kali melihat pemerintah membuat pengesahan suatu RUU tertunda. Mestinya, kata anggota DPR lain yang meminta namanya tidak disebut, menteri berkonsultasi dengan Presiden, sebelum pendapat akhir pemerintah disampaikan. "Sangat tidak elegan dan terasa kurang ada koordinasi dan soliditas," katanya.

(29)

Pr e side n Ya k in An gk a Ke m isk in a n M e n u r u n

Rumgapres/Abror Rizki

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mencicipi kue semprong dan melihat mi instan lokal yang terbuat dari terigu dan ketela, di kantor Menneg Koperasi dan UKM, Jakarta, Senin (3/3) siang, seusai rapat terbatas. Sekitar 40 persen di antara produk tersebut merupakan hasil dari usaha kecil dan menengah.

[JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakin, tingkat pengangguran dan kemiskinan tahun ini dan tahun depan menurun, kecuali kalau ada masalah baru yang memukul perekonomian Indonesia. Keyakinan itu didasarkan pada sejumlah program pemerintah, termasuk melalui program usaha mikro, kecil, dan menengah.

"Data menunjukkan terjadi pengurangan atas hal itu," kata PresidenYudhoyono setelah memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (3/3).

Dalam jumpa pers setelah pertemuan tersebut, PresidenYudhoyono didampingi Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Budiono, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan Menteri Kooperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadarma Ali, menyebut contoh kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, seperti program-program subsidi, program kebijakan harga untuk tidak memberatkan orang miskin.

Selain itu, biaya sekolah gratis untuk kelompok miskin, biaya kesehatan gratis, dan sejumlah langkah lain yang akan dijalankan secara simultan. Jumlah anggaran untuk program-program ini tiap tahun akan terus meningkat.

"Upaya menggerakkan sektor riil juga akan sangat membantu menciptakan lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah orang miskin," katanya.

Diakui, ada sektor riil yang pertumbuhannya cepat dan ada yang lamban. "Pemerintah akan fokus menggerakkan sektor-sektor riil yang pertumbuhannya lamban. Antara lain, menciptakan iklim investasi yang lebih bagus, mengeluarkan kebijakan yang lebih kondusif, termasuk kebijakan pajak, dan lain-lain," katanya.

Tetapi selebihnya, dunia usaha diharapkan betul-betul bisa menjalankan usahanya. Dengan demikian, sektor ril betul-betul bergerak.

Kewajiban pemerintah memastikan dari segi kebijakan, segi iklim bisnis, peraturan, birokrasi yang efktif, perizinan. "Ini yang terus kita perbaiki dari tahun ke tahun. Ini kondisi yang sangat penting, ruang yang sangat penting bagi pertumbuhan sektor ril," ujar Presiden.

Hapus

Pada kesempatan itu, Presiden Yudhoyono juga menekankan bahwa dirinya sudah memutuskan menghapus tunggakan kredit usaha tani. Tetapi, kebijakan itu harus dikonsultasikan dengan DPR, sebelum dijalankan bersama pihak-pihak lain seperti perbankan.

(30)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Presiden Yudhoyono menambahkan, dalam rapat tersebut, juga diputuskan supaya mempermudah pemberian kredit senilai Rp 5 juta-10 juta, atau di bawah Rp 50 juta kepada pengusaha kecil dan menengah dari pada kredit-kredit besar.

(31)

Se ge r a Tu n t a sk a n U U Pe n ga dila n Tipik or

[JAKARTA] Pemerintah dan DPR diminta untuk menuntaskan pembuatan Undang-undang (UU) tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2008. Hal itu sesuai dengan batas waktu yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

"Ingat, MK memberi batas waktu sampai dengan 2008 untuk menyelesaikan UU tersebut. Kalau belum selesai, Pengadilan Tipikor dihapus," kata Kepala Divisi Penegakkan Hukum dan Advokasi LBH Jakarta, Hermawanto kepada SP di Jakarta, Senin (3/3).

Dalam putusannya pada pertengahan 2006, MK menyatakan bahwa tidak benar pengaturan mengenai Pengadilan Tipikor dimasukkan dalam UU 30/2002 tentang KPK. Untuk itu, MK menugaskan DPR dan pemerintah untuk membuat UU Pengadilan Tipikor secara tersendiri dan harus selesai dalam batas waktu tiga tahun sejak putusan itu dibacakan.

Kalau dalam batas waktu itu belum juga selesai, maka pengadilan Tipikor dihapus, dan semua perkara korupsi yang berasal dari KPK disidangkan di pengadilan umum.

Hermawanto mengatakan pembentukan UU Pengadilan Tipikor merupakan amanat konstitusi. Pembentukan itu juga amanat UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Pengadilan Tipikor dibentuk karena pengadilan umum tidak becus menangani kasus korupsi. Hakim-hakimnya mudah disuap," kata dia.

Ditegaskan, percuma KPK ada kalau Pengadilan Tipikor tidak ada. "Jika hasil penyelidikan dan penyidikan KPK dibawa pengadilan umum, sebagai besar koruptor akan bebas," kata dia.

Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan mengatakan selesai atau tidak UU Pengadilan Tipikor bergantung kepada pemerintah. "Saya dengar draf RUU Pengadilan Tipikor masih dibahas di Departemen Hukum dan HAM. Kalau pemerintah cepat bawa ke DPR, cepat juga selesainya," kata dia.

Namun, Trimedya mengatakan tidak setuju dengan keberadaan pengadilan Tipikor. Pasalnya, kata dia, posisi pengadilan itu belum jelas. "Apa pengadilan tersebut berada di bawah MA? Kalau di bawah MA, mengapa komposisi hakim cuma dua hakim karier, sementara hakim ad hoc ada tiga orang," kata dia.

Alasan lain adalah anggaran yang minim untuk MA, yang cuma sekitar Rp 6 triliun setahun. "Menurut saya, idealnya adalah sepuluh persen dari APBN," kata dia.

Keluarkan Perppu

Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Denny Indrayana meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pengadilan Tipikor. Hal itu harus dilakukan untuk mengantisipasi DPR dan pemerintah tidak menuntaskan pembuatan UU Pengadilan Tipikor sampai batas waktu yang diberikan MK.

(32)

Suara Pembaruan Selasa, 04 Maret 2008

Ia menegaskan keberadaan KPK sejak awal mengusik banyak pihak, terutama para koruptor. Oleh karena itu, mereka melakukan sejumlah gerakan, seperti melakukan uji materiil UU 30/2002 tentang KPK, sehingga MK memutuskan pengaturan pengadilan tipikor tidak benar dimasukkan dalam UU KPK.

Sejumlah anggota DPR dan pakar ilmu hukum yang prokoruptor juga mengeluarkan pendapat bahwa korupsi bukan kejahatan luar biasa. Upaya lain adalah DPR memilih pimpinan KPK yang sangat tidak kredibel dan tidak berintegritas.

"Banyak orang tahu, keberadaan salah satu pimpinan KPK sekarang ini untuk melemahkan KPK," kata Denny. Upaya terakhir adalah berusaha menggagalkan pembuatan UU Pengadilan Tipikor, dengan berbagai cara.

Denny meminta Presiden untuk menyadari semua skenario itu. "Presiden harus konsisten dengan pernyataannya bahwa ia akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya," kata Denny.

Senada dengan itu, pakar Ilmu Hukum Pidana dan Pencucian Uang dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengatakan sejak awal para koruptor ingin KPK dan pengadilan Tipikor ditiadakan. Menurut dia, advokat hitam merasa gerah dengan keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor. Mereka sudah tidak bisa menyogok hakim dan jaksa.

(33)

M e n gobr a l Ja n j i Polit ik

Oleh ATIP TARTIANA

Barang obralan biasanya berharga miring, lebih murah bila dibanding harga produk sejenis yang masih baru. Karena murahlah, orang-orang justru banyak yang tertarik dan membelinya, sekalipun produk yang ditawarkan sang pengobral berkualitas amat rendah alias sulit dipertanggungjawabkan. Bagi sang pengobral, tak peduli produknya dinilai murahan, yang terpenting diminati banyak orang.

Banyak politisi atau calon politisi tampaknya menyadari keampuhan strategi obral barang murahan. Pada saat-saat tertentu, mereka bahkan berlomba-lomba menerapkan strategi obral barang layaknya penjual produk pakaian. Barang yang diobral tentunya bukan berupa produk-produk yang biasa dijual di supermarket atau pedagang kaki lima, tapi berupa janji-janji politik. Tidaklah mengherankan bila banyak politisi menjadi demikian akrab dengan aksi obral janji politik.

Namun demikian, tidak seperti mengobral barang yang bisa dilakukan setiap saat, aksi obral janji-janji politik biasanya dilakukan ketika seseorang memiliki kepentingan politik besar dengan target kursi kekuasaan seperti ketika hendak menjadi calon pemimpin negara, kepala daerah (kepda), atau ketua partai politik (parpol) besar. Aksi obral janji politik tentunya mereka lakukan pada masa kampanye pemilihan. Bahkan tidak jarang pula seseorang mengobralkan janji-janji politiknya jauh menjelang masa kampanye pemilihan.

Janji-janji politik yang diobralkan calon pemimpin atau kepda biasanya berupa isu-isu yang sangat populis. Contohnya sangat banyak, di antaranya isu pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga menengah atas, menurunkan harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari hingga tingkat yang sangat rendah, dan menghapus pengangguran dengan mempekerjakan seluruh sarjana dan lulusan SMA berbagai jurusan. Isu-isu lainnya yang biasanya laku dijual sang kandidat ialah memberantas korupsi di lingkungan pemerintahan atau lembaga legislatif, membersihkan mafia peradilan, atau menghapus pungli di lingkungan birokrasi dan kepolisian.

Isu-isu tersebut dinilai sangat populis karena merupakan harapan sekaligus tuntutan banyak orang, selain desakan kuat kelas menengah seperti kalangan intelektual, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan media massa. Karena itulah, isu-isu populis dianggap para politisi sebagai komoditas politik yang sangat mahal sekaligus strategis untuk ditawarkan (diobralkan) kepada masyarakat banyak pada masa kampanye.

Panggung politik

(34)

Pikiran Rakyat Rabu, 05 Maret 2008

Gejala politik ini bisa kita tengok dengan menggunakan paradigma dramaturgi Erving Goffman. Dalam teorinya, Goffman membagi kehidupan sosial dalam dua wilayah yaitu wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region). Wilayah depan adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau bergaya bagaikan memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara (front stage). Wilayah belakang adalah tempat atau peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan, ibarat belakang panggung (back stage) tempat pemain sandiwara bersantai, bersolek, dan berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.

Aksi-aksi genit yang biasa dimainkan di front stage sesungguhnya sudah bisa kita saksikan pada saat menjelang atau masa kampanye pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Barat (Jabar). Di panggung depan, tiga pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) belakangan ini terlibat dalam persaingan memainkan peran-peran "menggoda" sekaligus berusaha menunjukkan karakter-karakter menarik yang boleh jadi bertolak belakang dengan peran-peran biasanya atau karakter aslinya.

Aksi-aksi tersebut mereka lakukan misalnya dengan rajin mengunjungi serta membantu para korban bencana alam, penderita sakit, penduduk miskin di daerah sangat terpencil, atau siswa-siswi dari keluarga tak mampu di sekolah-sekolah dengan bangunan yang nyaris roboh karena kusen-kusennya telah keropos dimakan rayap. Suatu tindakan yang sebelumnya sangat jarang dilakukan --untuk tidak mengatakan tidak pernah sama sekali.

Berbagai aksi simpatik dengan metode dramaturgi sebagaimana yang pernah dikuliahkan Erving Goffman tentunya sah-sah saja dilakukan para cagub/cawagub Jabar. Bukankah setiap cagub/cawagub harus senantiasa tampil baik hingga melahirkan kesan manis di hadapan calon konstituennya? Lagipula, mana mungkin sang cagub/cawagub akan tampil apa adanya, apalagi jauh lebih buruk daripada sosok aslinya. Sejurus dengan itu, mana ada calon pemilih nantinya akan memilih cagub/cawagub penyandang citra buruk.

Asal tahu saja, meski seorang cagub/cawagub sangat dikenal (populer), sikap konstituen --terutama masyarakat melek politik-- dalam menjatuhkan pilihannya sangat ditentukan oleh faktor "kesukaan" terhadap sang calon. Cagub/cawagub dengan kesan dan citra buruk di mata konstituen, meski amat populer, tentunya tidak akan disukai sekaligus tidak akan dipilih pada saat pencoblosan suara.

Janji politik

Mengobral janji politik saat kampanye pesta demokrasi, secara pragmatis, memang dianggap cukup efektif untuk menggiring dukungan hingga mampu mengakumulasi suara yang cukup signifikan. Karena itu, dalam jangka pendek, mengobral janji politik dipandang sangat menguntungkan sang calon dalam mencapai target politiknya. Namun demikian, dalam jangka panjang, janji politik yang diobral saat kampanye sesungguhnya bukanlah langkah strategis. Sebaliknya, terlalu mengumbar janji-janji politik di hadapan calon konstituen ibarat menanam bom yang sewaktu-waktu bisa meledak sekaligus menghancurkan dirinya di kemudian hari seandainya dia ditakdirkan terpilih menjadi pemimpin negara atau kepda.

(35)

Janji-janji politik yang pernah diobralkan seorang pemimpin saat kampanye bisa menjadi bumerang tidak hanya karena faktor ketidakmampuan dirinya dalam mengelola institusi pemerintahan, tapi juga karena janji politik yang diobralkannya kepada konstituen tak sejalan dengan sikap politik partai politik (parpol) atau kelompok-kelompok kepentingan pendukungnya.

Seorang gubernur, misalnya, bagaimanapun, pada saat pencalonan pasti memiliki deal (kesepakatan-kesepakatan) politik dengan elemen-elemen politik, terutama elite parpol pendukungnya. Ketika deal politik berseberangan dengan janji-janji politik terhadap konstituen, seorang pemimpin dihadapkan pada dua opsi: mengikuti tuntutan konstituen atau menuruti keinginan elite parpol pendukungnya. Masalahnya, memilih salah satu saja bisa berakibat fatal terhadap posisi politiknya, apalagi tidak mengikuti keduanya!

Ketidaksanggupan seorang penguasa memenuhi janji-janji politiknya akan berakibat menyusutnya legitimasi politiknya yang berarti pula menggiring tuntutan rakyat terhadap dirinya agar turun dari kursi kekuasaan sebelum masanya. Demikian pula, ketidakmampuan seorang penguasa memenuhi deal politik dengan elite parpol besar akan berakibat berkurangnya dukungan dan bahkan melahirkan resistensi parlemen (wakil rakyat) terhadap dirinya sehingga bisa mengganggu ritme sistem pemerintahan yang dipimpinnya.

Bagaimanapun, berjalannya fungsi kekuasaan politik seorang gubernur dan wagub meniscayakan dukungan rakyat dan berbagai organisasi sosial politik, terutama parpol. Dukungan rakyat terhadap pemerintah bisa diterjemahkan dalam berbagai bentuk, di antaranya ikut menjaga kelestarian dan keasrian lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya, atau kreatif menciptakan lapangan pekerjaan, alih-alih berperilaku destruktif yang justru mengancam stabilitas politik dan solidaritas sosial.

Dukungan parpol bisa diterjemahkan dalam bentuk masukan-masukan konstruktif melalui fraksi-fraksi di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), alih-alih memprovokasi kalangan grass root (masyarakat bawah) untuk menurunkan kepala daerah di tengah jalan.

Karena itulah, Cagub/Cawagub Jabar semestinya berhati-hati saat berkampanye agar tidak terjebak janji-janji dan deal politik yang tidak realistis. Lagipula, kini rakyat tak perlu janji, tapi bukti!***

(36)

Pikiran Rakyat Rabu, 05 Maret 2008

Ya n g Te r sisa di Ba lik Pe n ge sa h a n U U Pe m ilu

Oleh H. Dadang Iskandar

Meskipun berkesan lamban dan dua kali mengalami penundaan, RUU tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menggantikan UU No. 12/2003, akhirnya disetujui oleh DPR dan Pemerintah menjadi UU, melalui proses "voting". Sebelumnya, ada dua opsi materi yang cukup krusial dalam RUU Pemilu yang belum disepakati DPR, yakni soal penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih. Namun, hal tersebut berakhir disetujui melalui "voting". Sebanyak 320 anggota DPR dari total 489 yang hadir dalam rapat paripurna memilih opsi A. Sisanya, sebanyak 167 anggota memilih opsi B dan 2 anggota Fraksi PDS menyatakan abstain.

Disetujuinya UU Pemilu diharapkan tak jadi hambatan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009. Keterlambatan pembahasan RUU Pemilu tentu bisa dimaklumi, sebab selain sarat dengan berbagai kepentingan politik juga terjadi perbedaan pandangan antara beberapa fraksi, terutama soal batas ambang suara. Kini, kesepakatan dari beberapa fraksi di DPR dan pemerintah tersebut tinggal diimplementasikan saja.

Mengikuti lakon politik di DPR dalam konteks penyelesaian RUU Pemilu 2009, banyak pelajaran berharga bisa kita petik bagi bangsa ini. Perihal aturan, misalnya, terkesan agak berlebihan dan sangat mungkin membuka peluang terjadinya kecurangan. Sebab, UU itu dibuat kurang transparan dan hanya berdasarkan asumsi orang-orang yang terlibat dalam pansus dan bukan dari pendekatan fakta. Misalnya perihal quick count yang akhirnya disetujui. Yang dikhawatirkan apabila anggota Pansus RUU Pemilu kurang memahami arti quick count. Ini yang repot. Hasil quick count yang diketahui dengan cepat bisa jadi akan mengurangi kegigihan para saksi di lapangan dalam mengawal proses penghitungan suara. Padahal, proses penghitungan ini penting dan harus dijunjung tinggi guna kepentingan publik, bukan demi internal calon atau parpol.

Publik yang ingin tahu hasil penghitungan manual, tentulah tak bisa dibebani aturan itu karena memang bukan bebannya. Publik tak mungkin mencari tahu sendiri. Mungkin ini yang menjadi kelemahan parpol. Ini juga yang menjadi kekhawatiran publik. Publik khawatir aturan itu memiliki celah bagi terjadinya kecurangan dalam pemilu mendatang.

Perlu disadari, quick count dibuat untuk dijadikan penghitungan pembanding dengan hasil penghitungan yang dilakukan KPU atau KPUD. Hal ini tiada lain agar ada sistem yang sistematis yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Kalau tak ada quick count bagaimana? Tentuya, semua tidak akan tahu hitungan KPU benar atau tidak. Yang jelas, quick count merupakan bagian dari partisipasi masyarakat untuk menjaga kualitas pemilu yang tampaknya belum disadari benar oleh anggota DPR.

(37)

Sistem ini juga jauh lebih adil daripada pembatasan 3 sampai 12 alokasi kursi. Hal ini dikarenakan jumlah alokasi kursi yang didapat dari hasil pembagian tersebut merepresentasikan besaran tingkat keterwakilan pemilih dalam jumlah kursi di parlemen. Sementara itu, alokasi 3 sampai 12 kursi untuk setiap daerah pemilihan akan menciptakan disproporsionalitas keterwakilan. Hal tersebut ditandai dengan tidak adanya ketidaksesuaian antara jumlah pemilih dengan jumlah alokasi

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Manfaat Bank Sampah Induk Sicanang untuk lingkungan menjadikan lingkungan sehat, misalnya ada aqua bekas yang dibuang keparit akan menjadi wabah penyakit namunsetelah ada

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu pada paragraf [3.5] angka 1, para Pemohon dalam petitum angka 5, menyatakan Pasal 117 ayat (1) huruf b

Explanatory research ditujukan untuk mengetahui besar kecilnya hubungan dan pengaruh antara variabel-variabel penelitian (Sugiyono, 2008:11). Variabel bebas dalam penelitian

Selanjutnya dari legenda tersebut menginspirasi serta merangsang hasrat penyaji untuk dijadikan sebagai ide dalam bentuk komposisi musik yakni kisah kasih antara sangkuriang

Judul PUPR Gandeng 40 Bank Salurkan FLPP Tanggal Jumat, 22 Desember 2017 Media Investor Daily (Halaman,

Sistem proteksi disebut juga sebagai alat pengaman adalah suatu alat yang berfungsi melindungi atau mengamankan suatu sistem penyaluran tenaga listrik dengan

Skripsi dengan judul Analisis Pengelolaan Laboratorium dan Sistem Evaluasi Kegiatan Praktikum Fisika dalam Proses Pembelajaran (Studi Kasus pada SMP Pondok Modern

ü Standar Eropa ini menetapkan persyaratan keselamatan dan kinerja untuk desain, perakitan dan pengujian sepeda balap maupun rakitan,. dan juga pedoman untuk