• Tidak ada hasil yang ditemukan

M01063

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan " M01063"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

74

Makalah Utama

EVOLUSI OTAK DAN KEMAMPUAN MENTAL

MANUSIA

Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc., Ph.D. dan Yulius Y. Ranimpi,M.Si, Psikolog

Universitas Kristen Satya Wacana Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga fkarwur@yahoo.com yyranimpi@yahoo.com

Abstrak

Kapasitas mental yang luar biasa pada manusia hadir melalui sejarah panjang jutaan tahun terakhir dan terkanalisasi dalam sejarah ontogeni. Bukti fosil, DNA dan Protein mengiakan kehadirannya dalam rentang waktu tersebut. Namun artefak hanya bisa menggapainya tidak lebih dari 2–4 ratusan tahun lampau, atau kalau direntang ke kejauhanya sampai pada antara 2–3 juta tahun kepada teknologi batu bersamaan dengan munculnya spesies Homo. Lalu bagaimana dengan mekanisme? Yang kita saksikan dari fosil-fosil ialah bahwa adaptasi terus-tak putus lebih kuat menjelaskan ketimbang proses-proses punctuation. Demikian pula bahwa walaupun sinyal-sinyal gen-gen tunggal mengiakan kejadian rambang tetapi hal itu nampaknya adalah pemicu dari munculnya keanekaragaman, dan mengalami penstrukturan dalam adaptasi jejala molekuler yang berasosiasi kuat dengan modul-modul neuroanatomis di daerah korteks. Faktor lingkungan evolusioner, terutama lingkungan sosial (social brain hypothesis) menyetir dan mensinungi “informasi”, mendorong muncul, tumbuh, berkembang, dan mengalami pencermatan kapasitas dan kualitas mental. Evolusi mental yang berlangsung interaktif itu mengalami kemajuan dalam skala dan intensitas yang kuat menuju Homo simbolicus yang terus menciptakan konvergensi-konvergensi mental aras tinggi termasuk kecakapan berfikir formal, koordinatif-terpadu, merencanakan, dan kesadaran diri.

Pengantar

(2)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

75

sekarang? Tulisan berikut akan berturut-turut mengkaji: (a) Kapasitas mental manusia, mengapa ia amung dan luar biasa di antara tetangganya; (b) kapasitas mental manusia sebagai gejala perkembangan (c) bukti kebudayaan (artifact, dll) dan fosil-fosil Homo (dhi. skull fosil Homo) sebagai penyokong penting bagi interpretasi terhadap [kontinuitas proses] evolusi manusia; (d) struktur internal otak dan fungsinya yang merupakan landasan kritis bagi studi evolusi perbandingan guna menemukan keunikan-keunikan struktur-fungsi otak sebagai respons adaptif yang membuatnya manusia; (e) studi pendasaran molekuler bagi berlangsungnya evolusi ke arah evolusi manusia dengan kapasitas mentalnya yang luar biasa; (f) perkembangan-perkembangan penelitian mengenai bagaimana mental, dan terutama kecerdasan, merupakan respons terhadap tuntutan-tuntutan lingkungan fisikal dan sosial. Di akhir tulisan ini dilakukan sintesis guna menemukan kerangka kerja penelitian lanjut yang penting untuk memadukan fakta-fakta fosil, struktur-fungsi otak, mekanisme-mekanisme molekuler dalam kerangka respons terhadap tuntutan lingkungan fisik dan sosial yang telah bekerja dalam proses evolusi menuju manusia dengan kapasitas mental yang hanya ada pada dirinya.

Kapasitas Mental Manusia

Di bagian dalam dari batok kepala vertebrata (bony cranium), kita menemukan otak sebagai masa yang sangat terorganisir yang tersusun atas miliaran sel saraf yang saling berhubungan (interconnected) serta jaringan-jaringan pendukungnya. Otak dihasilkan dari pembesaran sistem saraf pusat yang berfungsi sebagai pusat koordinasi sistem saraf yang merupakan kelanjutan tak-putus dari sumsum tulang belakang (spinal cord) ke arah ujung kepala (anterior). Otak menganalisis dan memadukan informasi sensorik yang datang dan menghasilkan luaran yang dikirim ke berbagai otot dan kelenjar.

(3)

76

Makalah Utama bersangkutan tidak menggunakan organ otaknya tetapi lebih bermakna atau merujuk kepada persoalan penggunaan salah satu aspek mental manusia yang benar/tepat sesuai tuntutan. Ungkapan ”pakai otak mu!” lebih bermakna ”anda tidak menggunakan pikiran dengan benar!”. Jadi bukan soal otak tetapi soal pikiran, yang memang bahwa semua gejala pikiran mengasumsikan adanya sistem hayati yang disebut otak.

Darwin pernah mengatakan: [‘‘. . . there is no fundamental difference between man and the higher mammals in their mental faculties’’ (p. 35)] Darwin C (1871) Descent of Man (J Murray, London). Pernyataan ini nampaknya harus dikritik. Manusia adalah organisme dengan kapasitas mentalnya yang amung dan luar biasa. Ia memiliki kisaran emosi yang lebar, dan oleh sebab itu memiliki empati, solidaritas, dan cinta. Empatinya bahkan melampaui spesies kita sendiri yang sedih jikalau hewan kesayangannya menuju ajal. Manusia berbahasa, dan oleh sebab itu memiliki pemahaman bersama atas simbol, berkesadaran, dan memiliki perspektif masa depan. Ia bermasyarakat dan menghasilkan kebudayaan. Selain mampu melakukan penilaian baik, buruk, benar, dan salah, manusia juga mampu melakukan penilaian atas dasar indah (beauty) dan jelek (ugly). Hanyalah manusia yang mampu pergi dan mengatakan kebanggaannya kepada orang lain (Rose, 2006) (1) dan/atau meng-ungkapkan perasaan kita dalam bentuk puisi. Adakah spesies lain dari manusia yang melakukan janji dan sumpah setia seperti yang dilakukan oleh Presiden ke-44 Amerika Serikat keturunan Afrika, Barack Obama, dalam pengangkatannya sebagai Presiden?

(4)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

77

diungkapkan oleh filsuf Jerman, Franz Brentano (1874; 1838-1917).

Mental Manusia sebagai Gejala Perkembangan

Kemampauan mental manusia yang luar biasa bukanlah sesuatu yang langsung dipraktekkan sejak lahir. Tahun-tahun pertama hidupnya adalah tahun-tahun yang tak-berdaya (fisik dan mental, kecuali a.l. merengek-rengek, menangis, dan tertawa) yang sebenarnya lalu menuntut belas-kasihan dan oleh sebab itu pengasuhan orang-tua. Ia belum tahu apa itu benar dan apa itu salah. Ia bahkan tidak tahu apa keyakinan agamanya. Oleh pengasuhan ia lolos dari saringan seleksi yang ketat. Potensi genetik yang tersimpan dalam bangunan genetik dan diwariskan oleh nenek-moyang, terekspresi seiring dengan perkembangan. Ia tumbuh, berkembang dan mengalami perubahan kualitas disepanjang hayat, yang tentunya dipengaruhi oleh lingkungan “kini dan disini”. Oleh sebab itu, gejala-gejala tersebut adalah gejala perkembangan wajar dari setiap pribadi manusia, sebagaimana ia tunduk pada hukum pertama sistem hayati bahwa “fenotip adalah hasil dari ekspresi potensi genetik yang berinteraksi dengan lingkungan (fenotip = genetik x lingkungan)”. Lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan fisik dan lingkungan sosial, termasuk nilai-nilai spiritual.

Dalam perspektif evolusi, komponen genetik dan komponen lingkungan berubah sejalan dengan waktu, dan perubahan tersebut merupakan keunikan sejarah evolusi. Jadi, keadaan kini dari komponen genetik maupun lingkungan adalah ujung terdepan dari panah waktu evolusi yang melesat sejak 14.5 miliar tahun lampau. Lesatan waktu tersebut menciptakan syarat perlu dan peluang (necessity and chance) yang kemudian membentuk semua kapasitas hayati, tak terkecuali kapasitas mental manusia. Dengan demikian keadaan sekarang organisme hayati dengan kapasitas-kapasitasnya adalah hasil perjumpaan program genetik dan lingkungan evolusioner (7).

(5)

78

Makalah Utama keterlibatan (participation) dan pertukaran pengetahuan (exchanging knowledge) dalam kelompok-kelompok budaya (kecerdasan kultural). Tomasello et al., menunjukkan bahwa di awal perkembangannya, manusia tidak lebih mampu dari seekor simpanse berumur 10 tahun. Anak berumur 2.5 tahun yang belum melek huruf dan belum sekolah tampaknya memiliki ketrampilan kognitif yang sebanding dengan simpansě dewasa dalam menghadapi dunia fisik. Akan tetapi, anak kecil memiliki kemampuan yang lebih canggih dalam menghadapi realitas sosial. Ia belajar dengan cepat dalam suatu setting sosial. Hal ini selaras pula dengan perkembangan ToM (Theory of Mind) (8) pada manusia yang terjadi sekitar 3–5 tahun (O’Connell and Dunbar, 2003) (9). Menanjak dewasa, perbedaan perilaku antara H. sapiens dengan simpanse menjadi semakin nyata. Ketrampilan kecerdasan sosial yang dimiliki anak di sekitar 3–5 tahun terus mengalami pencermatan selama masa anak-anak selaras dengan peranan interaksi sosial dalam tahapan childhood yang khas manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Bogin (1990) (10).

Jean Piaget (dan rekannya Inhelder) menunjukkan perkembangan intelektual anak yang bertahap mulai dari kandaran sensomotoris, kandaran konkrit, dan kandaran formal, yang terajut dengan pertumbuhan, perkembangan dan kematangan hayati. Teori perkembangan kognitif Piaget telah menjadi landasan penting dalam pengembangan teori perkembangan moral (Lowrence Kohlberg) dan kepercayaan (Faith Development Theory; James Fowler).

Kandaran formal abstrak manusia yang muncul untuk memfasilitasi pertumbuhan pengetahuan baru mulai tampak pada umur 11/12 tahun dan menjadi semakin jelas (mengalami maturasi) pada umur 16/18 tahun (Piaget, Parker & McKinney, 1999) (11) yang terjadi pada saat tercapainya kematangan neuronal dan hormonal (Piaget and Inhelder, 1969) (12). Dari sini kita dapat melihat dengan kepastian bahwa perkembangan otak manusia yang periodenya jauh lebih panjang ketimbang yang ada pada simpanse merupakan landasan penting bagi peningkatan kapasitas belajar dan pembentukan ingatan.

(6)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

79

Gambar 1. Dinamika pematangan gray matter di permukaan korteks da-lam urutan waktu pada anak berumur dada-lam kisaran 5–20 tahun. Gambar ini dikonstruksi dari scan MRI pada anak-anak sehat 5–20 tahun (Gogtay et al., 2004). Warna semakin gray

menunjukkan pematangan. Daerah-daerah fungsi dasar meng-alami pematangan terlebih dahulu dan diikuti oleh pematangan

di daerah lobus frontal dengan fungsi-fungsi aras tinggi (Sum-ber: Toga & Thompson, 2005).

Dalam pengaruh roh evolusi, disiplin ilmu Psikologi mencoba memahami kekompleksitasan perilaku manusia melalui Psikologi Evolusioner. Dalam mengakaji isu itu, Psikologi Evolusioner mendasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut (Buss, 1995; Caporel, 2001):

a. Seleksi Alamiah

(7)

80

Makalah Utama keturunan dibandingkan dengan organisme yang kurang memiliki sifat-sifat yang dapat diwariskan oleh karena sifat-sifat tersebut membantu memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada reproduksi dalam satu lingkungan tertentu. Sirkuit syaraf didisain oleh seleksi alamiah untuk memecahkan problem yang dihadapi nenek moyang selama sejarah evolusioner spesies. Satu problem yang harus dipecahkan berkaitan dengan kelangsungan hidup (survival), misalnya problem “Makanan apa yang harus dimakan?”. Orang memiliki banyak pilihan makanan: ada padi, buah-buahan, kacang, dan daging tetapi ada juga daun-daunan, batu, tanaman beracun, bangkai busuk, dan tahi. Ada ilustrasi mengenai perilaku lalat dan manusia terhadap tahi. Perilaku lalat dan manusia akan berbeda saat menghadapi seonggok tahi bau. Seonggok tahi akan menjadi tempat bagi lalat betina untuk menempatkan telur. Lalat jantan akan suka terbang mengitari onggokan tahi oleh karena mereka dapat memperoleh pasangan di tempat itu. Sebaliknya, seonggok tahi bau akan menimbulkan rasa jijik serta dihindari oleh manusia karena tahi itu dapat merupakan sumber penyakit. Seleksi alamiah dalam kasus ini dapat digambarkan sebagai prinsip “jika makan tahi, maka akan mati”. Sejumlah orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat tahi terasa manis akan suka memakan tahi. Akibatnya, mereka akan terkena penyakit dan kemudian meninggal. Orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang menyebabkan mereka menghindari makan tahi, akan lebih sedikit peluangnya untuk sakit dan akan hidup lebih panjang. Jumlah pemakan tahi akan tinggal sedikit pada generasi selanjutnya dan lama kelamaan akan hilang dari populasi. Tidak ada lagi orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat tahi terasa lezat.

Contoh adaptasi lain: dalam hal reproduksi (pria dan wanita akan cenderung berpreferansi pada lawan jenisnya yang memiliki karakterisitik subur). Dengan demikian telah terjadi semacam proses fit and proper test.

b. Adaptasi

(8)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

81

alamiah. Fungsi adaptasi adalah untuk memecahkan satu problem. Pengertian adaptasi dalam psikologi evolusioner ini berbeda dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai oleh psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya menunjuk pada pengertian yang menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup. Adaptasi diturunkan oleh orang tua kepada keturunannya. Agar supaya adaptasi dapat diwariskan kepada keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor lingkungan turut memainkan peranan penting dalam perkembangannya. Satu karakteristik dinilai sebagai hasil adaptasi jika memenuhi dua criteria: (a) karakteristik tersebut harus secara ajeg muncul dalam bentuk yang lengkap padasaat yang tepat dalam kehidupan organisme, b) karakteristik itu merupakan karakteristik yang tipikal dari semua atau kebanyakan anggota spesies.

c. Mekanisme psikologis sebagai hasil evolusi

(9)

82

Makalah Utama satu prosedur dimana outputnya akan mengatur aktivitas fisiologis, memberikan informasi pada mekanisme psikologis lain atau menghasilkan tindakan, dan memecahkan satu problem adaptif tertentu. Salah satu tugas utama psikologi evolusioner adalah mengidentifikasikan, menggambarkan dan memahami mekanisme psikologis. Fungsi mekanisme psikologis adalah memecahkan problem adaptif khusus.

Berikut contoh mekanisme psikologis yang telah berevolusi serta fungsinya:

1. Rasa takut terhadap ular (menghindari racun)

2. Preferensi pasangan wanita pada sumber daya ekonomis (menyediakan biaya untuk kesejahteraan anak-anak) 3. Preferensi pasangan pria pada sifat

kemudaan, kemenarikan (memilih pasangan yang tingkat kesuburannya tinggi)

4. Prosedur mendeteksi penipu/ditipu (mencegah dieksploitasi dalam kontrak sosial sosial)

Secara prinsip, tidak ada mekanisme psikologis yang bersifat domain-general, justru domain-specifik. Dengan demikian, Psikologi Evolusioner beranggapan bahwa persoalan adaptif itu beragam dan kompleks dan oleh karenanya solusi yang sukses dalam satu persoalan belum tentu sukses pula dalam persoalan yang lain.

(10)
(11)

84

Makalah Utama Gangguan mental terjadi karena manusia tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu juga belum cukupnya waktu yang tersedia bagi manusia untuk berevolusi. Lalu, muncul pertanyaan susulan, mengapa gangguan mental tersebut tetap bertahan? Bukankah seharusnya perilaku yang menyimpang itu harus terhapus atau juga berkurang seiring dengan perjalanan waktu? Menurut Psikologi Evolusioner , perilaku yang menyimpang tetap eksis dikarenakan adanya dugaan terkait dengan gen tertentu dan perilaku menyimpang tersebut dianggap memberi keuntungan (untuk tetap bertahan). Untuk kasus kecemasan dijelaskan bahwa dengan kecemasan individu justru diuntungkan karena dengan kecemasan mereka akan selalu berada dalam posisi siaga (senantiasa waspada) dalam rangka menghadapi suatu ancaman. Kecemasan yang adaptif seperti fobia dimaknai sebagai kelirunya pemaknaan terhadap ancaman. Kecemasan dan takut dianggap merupakan mekanisme psikologis yang diturunkan

.

Sedangkan untuk kasus depresi unipolar, Psikologi Evolusioner menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan suatu mekanisme untuk tetap bertahan dengan cara tidak melakukan apapun dan merupakan respon yang adaptif bagi individu yang kalah dalam persaingan. Untuk kasus depresi bipolar/manic depresif memiliki hubungan yang kuat dengan anggapan bahwa hal tersebut terkait dengan karakterisitik pemimpin yang karismatik juga terkait dengan kreativitas (contoh: W. Churchill, A. Lincoln, Vincent v. Gogh).

Bukti Artefak

Kapan sebenarnya kapasitas mental aras tinggi pada manusia mulai ditabur dan bersemi dalam sejarah evolusi? Memahami sejarah evolusi mengenai kapasitas mental manusia itu dengan menelusuri jejak-jejak kebudayaan yang ia tinggalkan walaupun mengandung keterbatasan yang mungkin sulit terpecahkan, karena tidak atau sedikit membawa bekas, telah diupayakan dengan keras (Leakey, 2003) (15). Masih ada, walaupun sangat sedikit, sisa-sisa kebudayaan masyarakat lampau yang terlacak dalam kebudayaan material hasil kecerdasan manusia (artifact), bahasa dan seni.

(12)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

85

mereka telah memiliki kapasitas mental aras tinggi yang mengisyaratkan bekerjanya akal-budi manusia modern, yakni dunia mental seperti yang kita semua (H. sapiens) alami dewasa ini. Menengok lebih jauh ke masa 100.000 (75.000–135.000) tahun lampau, periode di mana Afrika Barat mengalami kekeringan yang luar biasa (Scholz et al., 2007) (17) dan terjadinya migrasi manusia modern dari Afrika ke benua Asia melalui koridor episode basah di Sahara 120.000 (117 000–130 000 tahun lalu melalui – salah satunya– lembah Nil), masyarakat pantai Afrika dan Asia barat-daya telah membuat manik-manik dari cangkang (Gastropoda) laut yang dengan sengaja dipilih dan dibolongi serta bahkan diwarnai sebagai barang perhiasan pribadi [Gru¨n et al., 2005 (18); Bouzouggar et al., 2007 (19)]. Dengan melihat keluasan wilayah sebaran dan rentang generasi dari kebudayan tersebut, maka praktek tersebut mestinya telah dilestarikan secara kultural karena memiliki arti bagi mereka. Dari kebudayan material tersebut tampak bahwa mereka berinovasi, tahu berdandan, dan memanfaatkan komunikasi simbolik, dan oleh sebab itu memiliki kualitas kepintaran yang tidak jauh dari masyarakat sekarang ini.

Tidak hanya pada Homo sapiens. Artefak yang menunjukkan kecerdasan dapat pula kita telusuri sejak kehadiran Homo habilis di Afrika 2.4 juta tahun lampau dengan budaya Oldowannya, yang mengandalkan aplikasi teknik pembuatan alat batu secara sederhana. Pada fosil tertua Sangiran, yakni H. erectus arkaik yang hidup 1.2–1.6 juta tahun lampau, kemampaun membuat teknologi batu mengalami pencermatan, sebagaimana ditunjukkan oleh temuan artefak Sangiran flake industry pada 3.8 meter di bawah lempung hitam Pucangan yang dilaporkan oleh Harry Widianto pada tahun 2006 (Widianto & Siman-juntak, 2009) (20). Mereka mampu membuat kapak-kapak genggam yang selain sesuai tuntutan fungsional (misalnya tajam) juga sudah mengandung unsur anekaragam dan keindahan (prinsip simetri, lonjong, meruncing pada salah satu bagian). Pada H. erectus kita juga melihat kemampuan dalam berburu yang membutuhkan, teknologi, kerjasama kelompok, dan pemahaman bersama (shared understan-ding).

Bukti-Bukti Fosil Mengenai Peran Otak

(13)

86

Makalah Utama Tetapi harus diingat bahwa mereka berpisah 5.000.000– 7.000.000 tahun lalu saat kapasitas mental mereka tidak mengenal sama sekali siapa mereka, dan apa tujuan mereka berada di dunia ini. Setelah perpisahan itu, kita menyaksikan melalui fosil-fosil yang ditemukan di Afrika dan tempat lain di dunia, termasuk di Sangiran (21) sejumlah organisme dalam rumpun Hominid.

Perjalanan panjang itu (5–7 juta tahun!) melahirkan sejumlah spesies yang dikelompokkan dalam sejumlah genus, yakni: Ardipithecus, Australopithecus, Praeanthro-pus, dan Homo. Yang tertua dari mereka adalah Sahelanthropus tchadensis (berumur 6–7 juta tahun) ditemukan di Chad Afrika Tengah (Brunet, 2002) (22) dan yang termuda adalah Homo sapiens L., yang diduga muncul dalam 200–400 ribu tahun terakhir. Salah satu fosil tertua dari H. sapiens adalah yang ditemukan di Ethiopia (Homo sapiens idaltu) dengan taksiran umur fosil antara 160.000 – 154.000 tahun lalu (White et al., 2003) (23). Dalam genus Homo, terdapat paling tidak 7 spesies, yakni: H. habilis, H. ergaster, H. rudolfensis, H. heidelbergensis, H. erectus, H. neanderthalensis, dan H. sapiens. Dan kini tinggal tinggallah manusia modern, H. sapiens yang hidup dalam kesendiriannya (Tabel).

Tabel 1. Spesies-spesies fosil Hominin yang ditemukan dalam ren-tang 7 juta tahun terakhir

No. Fosil/Spesies Umur fosil

≤ 400 Awash Tengah, Ethiopia

(14)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

87

Disarikan dari Wood and Collard (1999) (24); Alles and Stevenson [2003; 2006) (25); Futuyma (2005) (26); and, Palmer (2006) (27)]

Yang Tampak jelas dari fosil-fosil tersebut ialah munculnya organisme-organisme kerabat manusia modern genus Homo dalam panggung sejarah evolusi setelah 3 juta tahun lalu. Mereka ditandai oleh postur tubuh yang semakin tegap, berjalan dengan kedua kaki (terrestrial bipedalism), serta terbatasnya fasilitas untuk hidup di pohon-pohon (arboreal life). Jempol tangan mereka dapat digerakkan lebih leluasa dan mampu menggapai ujung dari setiap jari-jari tangan mereka. Hal ini memampukan mereka mengembangkan teknologi, seperti teknologi batu.

Memang benar bahwa catatan fosil tidaklah cukup dalam memberikan argumentasi fungsional dari peranan otak bagi fungsi-fungsi mental aras tinggi pada manusia, namun demikian, endocast fosil Homo menunjukkan pentingnya ukuran otak dalam evolusi menuju H. sapiens. Perubahan morfologis yang terkait dengan sejumlah kapasitas penting pada hominin adalah peningkatan volume otak yang luar biasa (Tabel 2), dan otak manusia dewasa adalah salah satu yang terbesar di antara primata, baik dalam pengertian absolut maupun dalam pengertian proporsi relatif (rasio ensefalisasi; EQ). Fosil-fosil hominin yang ditemukan sekitar 2–3 juta tahun lampau volumenya lebih dari 500 cc, yang pembesarannya semakin nyata pada H. ergaster dan mencapai sekitar 1000 cc pada Homo erectus.

Dalam 500.000 tahun terakhir kita menyaksikan fosil-fosil dengan volume otak berukuran 1350-1500 cc pada H. sapiens dan H. neanderthalensis. Namun harus diingat, seperti yang dilaporkan oleh De Miguel & Henneberg (2001) (28), bahwa 90% variasi ukuran otak fosil 12 Paranthropus

552 Tanzania, Ethiopia, and Kenya

14 Homo rudolfensis 2.4 – 1.8

752 Tanzania, Kenya, and Malawi

15 Homo ergaster 1.9 – 1.7

854 Afrika, Asia, Eropa (pinggiran) 16 Homo erectus (1.7) 1.6

– 0.2

1016 Afrika, China, Jawa

17 Homo antecessor 0.7, 0.6 Italy, Spanyol 18 Homo

heidelbergensis

<0.6 Afrika, Eropa, Asia

19 Homo

neanderthalensis

0.25 – 0.029

1512 Semua daratan Eropa, (kecuali Scandinavia)

(15)

88

Makalah Utama hominin terjelaskan oleh umurnya dan hanya 10% karena perbedaan spesies atau galat acak (pengecualian pada fosil-fosil manusia cilik di Liang Bua Flores). Hal ini menunjukkan bahwa fosil manusia lebih mendukung mekanisme evolusi terus-tak putus ketimbang kejadian-kejadian punctuational.

Kalau otak simpansé (Pan troglodytes) hanya berukuran 337 (± 16) cc maka otak manusia modern 3.1 kali lebih besar, yakni ~ 1330 cc (Schoenemann, 1997) (29, 30). Demikian pula bahwa rasio ensefalisasi, yakni perbandingan riil antara berat otak suatu spesies dan berat otak yang diharapkan ukurannya untuk tubuh yang dimilikinya, memberi pendugaan nilai penting dari otak dalam evolusi H. sapiens, seperti dibuktikan oleh adanya korelasi yang kuat antara berat otak dan berat tubuh (r > 95) (Finlay et al., 2001) (31). Nilai EQ H. sapiens mendekati 2 dan semakin berkurang rasionya pada fosil Homo yang berumur lebih tua (ditemukan lebih awal), yakni antara 1 – 1.5. Pada kera besar, EQ bahkan lebih kecil dari 1.0 (Simpanse, 0.7; Gorilla, 0.5, Orangutan, 0.6) (Gilbert et al., 2005) (32). Walaupun demikian ada keraguan apakah nilai EQ memiliki nilai penting dalam kemampuan keperi-kelakuan mamalia termasuk manusia (Schoenemann, 2006) (33).

Apa yang kita saksikan ialah bahwa ada peningkatan mutlak volume otak seiring dengan peningkatan kapasitas mental terutama kecerdasannya. Hal ini mungkin yang menginspirasi Charles Darwin 135 tahun lalu, dan membuat penyimpulan bahwa, “there exists in man some close relation between the size of the brain and the development of the intellectual faculties” (Darwin, 1871. The descent of man. Vol. 1, pp. 145-146) (34). Baginya, peningkatan volume otak berkorelasi kuat positif dengan kapasitas mental. Otak yang lebih besar diduga memiliki neuron yang lebih banyak (Haug, 1987) (35). Ditafsir, korteks tikus memiliki ± 10 juta neuron dan 80 miliar sinapsis, dan korteks manusia memiliki 1010 (miliar) neuron dan 1015 (1 quadrillion) sinapsis, atau 10000 kali lebih banyak dari korteks tikus (Jerison, 1991; Schuz, 2000; Palm, 1989). Peningkatan jumlah neuron dan sinapsis ini juga diikuti oleh perubahan struktur anatomis dan fungsional.

(16)

operasi-Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

89

operasi kognitif lebih efisien dari pada spesies lain: kapasitas pengingatan yang besar, belajar lebih cepat, kegiatan perseptual lebih cepat, melakukan penyimpulan atas dasar pertimbangan yang menyeluruh dan cermat, dan mampu melakukan perencanaan jangka panjang. Apa penyebabnya? Mesti ada tekanan lingkungan spesifik yang mengakibatkan perubahan kemampuan kognitif tersebut demi kelangsungan hidupnya.

Walaupun bukti fosil menyimpulkan bahwa otak manusia bukan saja 3 kali lebih besar dari pada Apes, volume bukanlah satu-satunya tanda yang dapat diandalkan untuk menilai kapasitas mental dan perilaku. Rangka manusia mungil berumur 18.000 thn yang ditemukan 5.9 meter dari permukaan tanah di Liang Bua hanya memiliki volume otak kurang dari 500 cc (Brown et al., 2004; Jacob et al., 2005, dalam Widianto, 2008). Namun demikian, mereka memiliki sejumlah perilaku canggih seperti penggunaan api dan melakukan perburuan dalam tim (Morwood et al., (2005)(36).

Studi neuroanatomis menunjukkan bahwa ada perbedaan-perbedaan kualitatif dan kuantitatif di antara manusia dan kerabatnya. Dalam perjalanan evolusi ada peningkatan ukuran cerebral cortex yang penting bagi munculnya intelegensia (Calvin, 1994) (37). Peningkatan ini terutama terjadi di daerah frontal lobe (38), parietal lobe (39), dan temporal lobe (40). Sebagai konsekuensi, terjadi peningkatan ruang serebral (cerebral hemisphere) dan pelipatan serta pembelitan (twisting and convoluting) cerebral cortex. Volume intrakranium H. floresiensis memiliki kemiripan dengan individu H sapiens yang mikrosefalik, tetapi otak dari H. floresiensis memiliki lobus temporal yang berukuran relatif besar serta lobus frontal yang sangat berlipat-lipat (folded) dan berbelit (convoluted) (Falk et al., 2005) (41), yang keduanya terlibat dalam fungsi-fungsi mental aras tinggi.

Evolusi Struktur Otak

(17)

90

Makalah Utama evolusinya, yang dihadirkan dalam kekinian dalam perjalanan ontogeni, yang dengannya lingkungan eksternal yang dinamis bercumbu dan mengujinya terus-menerus.

Dalam lintasan evolusi yang berujung pada otak manusia dengan kapasitas dan keunikannya, berawal dari terbentuknya tabung saraf (neural tube) dengan ujung kepala yang memiliki reseptor-reseptor penginderaan (sense receptors) dan bebas berkembang. Otak berawal dari membesarnya daerah ujung dari tabung saraf ini, berevolusi menjadi tiga bagian: otak depan (forebrain), tengah (midbrain), dan belakang (hindbrain). Masing-masing bagian ini terkait dengan penginderaan tertentu. Bagian depan untuk mencium, bagian tengah untuk melihat, dan bagian belakang untuk kesetimbangan dan vibrasi (Rose, 2006). Dari bangunan dasar inilah semua otak vertebrata dibangun.

Pada evolusi lanjut, terjadi peningkatan ukuran dan jumlah saraf. Bagian depan menjadi serebrum, yang terdiri atas daerah yang menjorok ke depan (telencephalon) dan daerah belakang (thalamencephalon); otak tengah berevo-lusi menjadi optic tectum; dan otak belakang menjadi serebelum.

Peningkatan ukuran otak menimbulkan masalah rancangan. Semakin banyak neuron semakin kompleks pola saling-hubung di antara mereka. Bagaimana mengemasnya agar tidak terjadi hubungan singkat di antara mereka adalah masalah. Salah satu cara yang ditempuh adalah membungkus setiap akson dengan pelapis nonpolar yang terbuat terutama dari lipid. Lipid ini disebut myelin, yang disintesis oleh sel-sel khas, yang merupakan bagian dari sistem saraf, tetapi bukan sel neuron. Sel ini disebut sel glia. Walaupun demikian, ada pula glia khusus yang mengangkut makanan yang disuplai oleh darah dan membuang kotoran metabolik. Pada otak mamalia, jumlah glia melebih sel-sel neuron.

(18)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

91

satu jawaban dari semakin membesar dan kompleksnya otak mamalia dan primata. Pada manusia, primata lain, dan dolphin, ekspansi korteks diikuti dengan mengerutnya otak, membentuk lembah-lembah dalam yang disebut sulci dan bukit-bukit yang disebut gyri.

Dalam evolusi lanjut, otak semakin membesar, relatif lebih cepat terhadap berat tubuh. Pembesaran ini disertai pemisahan/diferensiasi di antara daerah yang telah ada disertai perubahan-perubahan fungsional, menyebab-kan pada mamalia, hubungan yang sangat kuat antara volume otak dengan jumlah daerah-daerah pembeda di daerah korteks (Chagizi & Shimojo, 2005) (42)

Pada binatang darat, otak bagian depan (forebrain) membesar dengan cepat, diikuti oleh perubahan-perubahan anatomis. Perubahan ini dapat dibedakan secara mikroskopik, dan pemahaman fungsional atas perubahan tersebut telah diketahui (43).

Pada mamalia, yang tentunya termasuk primata dan manusia, telencephalon berkembang sangat luar biasa. Ia berkembang dan berlipat-lipat menjadi ruang serebral (cerebral hemispheres), dan korteksnya terdiri dari sejumlah lapisan sel neuron. Ekspansi terbesar terjadi di daerah neokorteks, terutama ekspansi luas areal. Pembesaran ini menekan pertumbuhan daerah-daerah korteks lama ke bagian dalam dari struktur otak, membengkok dan menjadi yang dinamakan hipokampus (hippocampus). Daerah ini pada manusia memainkan peran sentral dalam ingatan spasial, belajar dan emosi. Ekspansi neokorteks terhadap hipokampus pada lintasan evolusi ke arah manusia dapat dipahami dari rasio kedua organ ini bahwa pada mamalia seperti landak (hedgehog) rasio antara neokorteks dan hippokampus adalah 3:2, sedangkan pada monyet meningkat menjadi 30:1 (Rose, 2005). Pada tataran fungsi, serebrum mengambil alih fungsi koordinasi dan kontrol dari thalamus.

(19)

92

Makalah Utama memberikan arahan pada hubungan fungsional hypothalamus pada manusia dan mamalia, apalagi primata sebagai hewan model.

Pada spesies Homo, ada ciri khas dalam evolusi neokorteks bahwa terjadi pelebaran luas neokorteks dan diferensiasi fungsi. Daerah ini memiliki bangunan neuronal yang disebut daerah-daerah asosiasi (association area) yang tidak memiliki hubungan langsung dengan daerah di luar korteks, tetapi berinteraksi satu sama lain di antara mereka. Mereka berhubungan dengan dunia luar setelah diperantarai oleh beberapa tahapan mediasi neuronal. Pada manusia, daerah-daerah ini termasuk daerah lobus prefrontal (prefrontal lobe) dan daerah-daerah di lobus occipital, lobus temporal, dan lobus parietal.

Dalam kaitannya dengan evolusi fungsi, neokorteks yang terlibat dalam pemrosesan informasi yang canggih mengambil-alih peran thalamus. Daerah ini menerima informasi dari beragam sistem sensor (sensory systems) dan mengaitkannya dengan pengalaman organismal sebelumnya. Korteks serebral yang pada manusia memiliki ketebalan kurang lebih 4 mm, mengandung separuh dari total sel-sel neuron di keseluruhan organ otak, yang diatur dalam 6 lapisan.

Pengamatan mikroskopik terhadap sel-sel penyusun neokorteks tampak jelas bahwa mereka tersusun atas beberapa bentuk sel neuron yang berbentuk piramidal, bintang (stellate) dan keranjang (basket), namun yang terbanyak adalah sel-sel piramidal. Masing-masing bentuk neuron memiliki pola hubungan dan oleh sebabnya fungsi yang khas. Setiap neuron tersambung satu dengan yang lain, baik pada tetangganya atau yang lebih jauh darinya melalui dendrit dan akson-aksonnya. Secara khusus, sel-sel piramidal berfungsi mengirim akson-aksonnya ke jarak yang jauh.

Evolusi Perbandingan Bagian-bagian Otak

(20)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

93

neuroanatomi terlokalisasi di daerah korteks, yakni lapisan terluar dari gray matter dari ruang serebral.

Di daerah korteks serebral, jumlah absolut jaringan korteks berkorelasi dengan sejumlah dimensi perilaku (Schoenemann, 2006) (33). Fungsi-fungsi mental tertentu tertuju kuat pada lokasi tertentu, tetapi aspek kesadaran diri (self) mungkin sulit dilokalisasi karena sinyal-sinyal citra-saraf (neuroimaging) menyebar di banyak lokasi (prefrontal cortex, anterior cingulate, postcentral gyrus, precuneus, occipito-temporal junction, insula, superior parietal lobule) walaupun sedikit bukti menunjukkan peranan temporoparietal junction (TPJ) dalam pengalaman kesadaran seseorang yang memperantarai kesatuan keruangan tubuh dan diri (Blanke et al., 2005) (44)

Karena kekayaannya ketimbang data-data fosil, studi neuroanatomi perbandingan telah memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai perubahan-perubahan otak yang terkait dengan kemampuan mental aras tinggi pada manusia. Ringkasan atas studi-studi evolusi perbandingan neuroanatomis disenaraikan di bawah ini (Schoenemann, 2006).

1. Membandingkan ukuran absolut otak H. sapiens dengan simpanse menunjukkan rasio 3:1 untuk H. sapiens.

2. Ukuran tabung pencium (Olfactory bulb) memiliki ukuran ~1.6 kali, namun kalau angka ini dinormalkan terhadap ukuran tubuhnya maka ukuran ini hanya 30% dari ukuran yang seharusnya.

3. Ukuran serebellum, yang penting dalam pola dan timing dari gerak otot memiliki ukuran ~2.9 kali lebih besar ketimbang simpanse.

4. Korteks visual primer di lobus occipital yang berfungsi untuk pemrosesan aspek-aspek visualisasi memiliki ukuran 1.5 kali lebih besar dari pada simpanse, tetapi sebenarnya hanya 60% dari yang seharusnya menurut ukuran tubuhnya.

5. Lobus temporal, yang berfungsi dalam auditory, memory, emotion, conceptual understanding; languange processing, berukuran lebih besar secara signifikan berdasarkan keseluruhan volume, volume white matter, dan luas permukaan jika dibandingkan dengan primata lain.

(21)

94

Makalah Utama Lobus frontal yang terdiri atas sejumlah daerah fungsional berbeda (45) merupakan 37.7 % dari total bagian otak. Ukurannya minimal 3 kali lebih besar dari pada simpanse dan memiliki volume white matter yang lebih besar di daerah dekat dengan permukaan korteks (kortikal). Gray matter korteks frontal memiliki 3.6 kali lebih besar dari pada rata-rata yang ada pada pongid; tetapi white matter frontal gyral 4.7 kali lebih besar. Jadi rasio white matter terhadap gray matter pada manusia lebih besar. Posthuma et al., (2002) menunjukkan hubungan antara volume gray matter dan g diperantarai oleh satuan umum gen-gen.

7. Daerah prefrontal menurut Broadmann (lihat Deacon, 1007) memiliki ukuran ~2 kali lebih besar dari pada prediksi terhadap ukuran total otak. Demikian pula bahwa manusia memiliki korteks yang lebih convoluted di daerah prefrontal, yang berarti pula dengan volume yang lebih besar. Hal ini ditopang pula oleh studi MRI (magnetic resonance imaging). Kalau volume cerebral nonprefrontal pada manusia hanya 3.7 kali lebih besar dari rata-rata pada P. troglodytes dan P. paniscus maka bagian prefrontal memiliki 4.9 kali lebih besar. Jadi, prefrontal manusia lebih besar baik dalam pengertian total ukuran maupun dalam pengertian alometrik. Mungkin saja ukurannya mendekati indeks 2 dari ukuran prediktif (Avants et al., 2005) (46). Volume gray matter korteks prefrontal adalah 4.8 kali lebih besar pada manusia ketimbang pada simpansé, dan hanya 4.2 di daerah bukan prefrontal. Volume white matter 5.0 kali lebih besar di prefrontal, dan hanya 3.3 di daerah lain. Peranan kritis dari daerah prefrontal dalam memperantarai aktivitas daerah-daerah korteks posterior, yang terletak di belakang prefrontal, menunjukkan bahwa perubahan perbandingan white matter terhadap gray matter di daerah prefrontal terhadap nonprefrontal menunjukkan kepentingannya dalan perilaku.

(22)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

95

besar pada manusia ketimbang yang ada pada pongid (Semendeferi et al., 2001) (49). Apa artinya? Kurang berkembangnya daerah Brodmann 13 tidak berarti kurang berkembangnya aspek perilaku, karena kenyataannya kondisi manusia yang sebenarnya sangat berhubungan dengan interaksi sosial. Peningkatan di daerah Brodmann 10 hampir pasti terkait dengan berbagai dimensi perilaku perencanaan.

Apa yang menjadi setiran-setiran evolusi neuroanatomis di atas? Tuntutan ekologis? Komunikasi simbolik? Kompleksitas sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini akan digumuli pada bagian mekanisme evolusi. Tetapi sebelumnya, bagaimana studi-studi molekuler memberikan perpektif dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Kesatuan Molekuler Manusia dengan Masa Lampau Pada tataran molekuler, kedekatan antara manusia dengan primata yang masih hidup terpatri jelas. Kesamaan urutan DNA antara H. sapiens dan simpanse mencapai 98.7%. Kalau demikian, ”apa kiranya yang menjadi setiran-setiran evolutif yang menyebabkan kedua organisme ini menunjukkan sejumlah konservasi fungsional, namun di pihak lain menunjukkan kapasitas kognitif sosial yang lebih baik pada manusia?”

Dalam perspektif evolusi molekuler, sambil mengapresiasi perbedaan 1% yang membedakan secara struktural gen-gen pada kedua organisme tersebut, analisis tingkat ekspresi gen pada berbagai lokasi fungsional otak menjadi salah satu pintu masuk kritis dalam menjawab mengapa kapasitas kognitif manusia begitu berbeda dan luar biasa dibandingkan dengan simpanse.

(23)

96

Makalah Utama Fosil-fosil manusia purba, terutama Homo neanderthalensis, yang terakhir terlihat sekitar 29.000 tahun lampau di daratan Eropa masih menyisahkan DNA pada tulang-tulangnya. Perbandingan runutan DNA kromosomal dan mitokondrial dengan DNA milik H. sapiens memberikan simpulan bahwa H. sapiens dan H. neanderthalensis memiliki 99.5% kesamaan dalam urutan DNA genomiknya (Hall, 2008) (52). Pangkalan data (database) DNA H. neanderthalensis yang sedang dibangun membantu kita melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada manusia moderen di tingkat genom. Kita mungkin bahkan dapat, oleh pembatas bioetika, mengekspresikan gen-gen H. neanderthalensis pada sistem kultur sel manusia.

Hal yang membuat kita terbelalak adalah temuan-temuan di tingkat protein dan DNA bahwa jarak genom antara manusia modern dan simpansé lebih dekat (dengan tingkat kesamaan DNA genomik 98.7%) ketimbang jarak antara simpanse dengan orangutan dan gorilla (King and Wilson, 1975 (53); Bailey et al., 1991 (54); Enard et al., 2002) (55). Berdasarkan studi mereka terhadap 90.000 pasangan basa dari 97 gen manusia, simpansé, gorilla, dan orangutan, Wildman et al., (2003) (56) menyimpulkan bahwa simpansé harus dimasukkan ke dalam genus Homo karena memiliki kesamaan yang sangat tinggi (99.4%) pada mutasi-mutasi yang secara fungsional penting (mutasi non-sinonim). Perpisahan antara manusia dengan simpansé menurut analisis ini terjadi 5–6 juta tahun lampau (lebih awal 1–2 tahun berdasarkan pendugaan umur fosil). Pada titik inilah kita diberi kesadaran baru bahwa ada jalan masuk ke arah studi molekuler-fungsional untuk menyingkap hubungan antara kita manusia modern dengan organisme lain dalam kerabat Homini, yang sekaligus memunculkan pertanyaan epistemologis dan etik yang menantang.

Keunikan Manusia dan Ekspresi Gen di Otak

(24)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

97

spesies ini bukan terutama oleh perbedaan fungsi-fungsi protein tetapi pada pengendalian sintesis protein tersebut yang dapat berhubungan dengan waktu, lokasi, jumlah, dan kordinasi ketiganya. Oleh sebab itu, King dan Wilson (1975) (57) mengusulkan agar pumpun perhatian penelitian ke depan pada studi yang mendemonstrasikan perbedaan antara apes dan manusia dalam hal waktu ekspresi gen selama proses perkembangan, khususnya selama perkembangan organ-organ yang sangat krusial dalam proses adaptasi manusia seperti organ otak. Tentunya hal ini tanpa harus mengesampingkan peran-peran mutasi pada gen-gen pengkode protein yang terlibat pada fungsi-fungsi otak (Khaitovich et al., (2005) (58).

Menindaklanjuti agenda di atas, Rockman and Wray (2002) (59) melaporkan polimorfisme urutan DNA tuas pengendali bukan pembawa kode genetik (noncoding cis-regulatory DNA sequences) (60) yang lebih tinggi ketimbang polimorfisme aras protein pada manusia (Tabel 2). Mutasi-mutasi yang terjadi di daerah tuas-pengendali (cis-regulatory regions) penting untuk menunjukkan peran tuas-pengendali dalam evolusi manusia karena perubahan tuas pengendali dapat mengubah fungsi gen dengan mengubah ekspresi, waktu, dan lokasi (Wray, 2007) (61).

Studi selanjutnya oleh Kudaravalli et al., (2009) (62) yang menghitung statistik skor haplotipe terpadu (iHS) (63) untuk SNP (single nucleotide polymorphisms) untuk mempelajari sinyal-sinyal polimorfik molekuler pada tingkat populasi manusia sekarang, mengindikasikan bekerjanya seleksi alamiah yang baru dan sedang berlangsung. Mereka menunjukkan bahwa single nucleotide polymorphisms (SNPs) yang mempengaruhi ekspresi gen in cis sering merupakan sasaran penting bekerjanya seleksi alamiah serta memberi argumentasi bahwa seleksi pada aras ekspresi gen penting dalam adaptasi manusia.

(25)

98

Makalah Utama Hal ini memberi penguatan kepada studi mengenai bagaimana perbedaan pola ekspresi gen dari H. sapiens dengan Pan troglodytes mempengaruhi perbedaan dan kesamaan keduanya.

Tabel 2. Distribusi Varian-VarianFungsional Genom Manusia

Tipe varian Jumlah yg diharapkan dari lokasi-lokasi

heterozigot

% gen heterozigot

Tuas pengendali Cis

Biallel 10 700 30.0

SNP 9 700 27.6

SIPUS (Sisip-hapus;(Indel)

900 3.0

Lain-lain 100 0.3

Multiallel 6 500 19.5

Tipe (AC)n 2 600 8.3

Non-(AC)n 3 900 12.2

Keseluruhan tuas pengendali Cis

17 200 43.6

Protein pengkode varian-varian asam amino

7 900 – 12 900 23.2 – 39.9

Sumber: Rockman M.V. and Wray G. A., 2002. Abundant Raw Material for Cis-Regulatory Evolution in Humans. Mol. Biol. Evol. 19:1991–

2004.

Untuk membuktikan adanya perbedaan ekspresi gen antara manusia dan simpanse dan untuk mencari pola-pola penting ekspresi gen yang terkait dengan aspek-aspek fungsional di otak, maka sejumlah analisis ekspresi gen telah dilakukan. Studi aras ekspresi gen neokorteks (67) manusia dan simpansé yang dilakukan oleh Cáceres et al. (2003) (68) didapati paling tidak 169 gen (dengan fungsi dalam kisaran luas) yang menunjukkan perbedaan ekspresi gen, terutama peningkatan ekspresi gen pada korteks manusia. Hal ini diduga terkait dengan aktivitas neuronal yang tinggi pada otak. Hal mana tidak terjadi pada jaringan jantung dan hati. Peningkatan ekspresi gen di otak manusia semestinya memberi landasan bagi aktivitas fisiologi dan fungsi serebral, serta dugaan tingginya aktivitas neuronalnya.

(26)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

99

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang luar biasa dalam kuantitas ekpresi gen di antara jaringan dan spesies yang diperbandingkan, terutama pola ekspresi gen pada tingkat RNA dan protein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam evolusi ke arah manusia ada perubahan pola dan kuantitas ekspresi gen. Perbedaan ini dapat karena duplikasi dan delesi gen, perubahan-perubahan promotor, perubahan dalam aras faktor transkripsi, komposisi seluler dari jaringan dan regulasi ekspresi gen.

Telah pula dilakukan analisis profil ekspresi gen di daerah ACC (anterior cingulated cortex) (70) (Uddin et al., 2004) (71). Daerah ini adalah bagian yang menjembatani paleokorteks dengan korteks (walaupun sebenarnya adalah daerah neokorteks) yang mengandung neuron khusus yang disebut spindle cell pyramidal neurons dan secara fisiologis menunjukkan peningkatan aktivitas apabila seorang individu terlibat dalam kegiatan kognitif seperti dalam pengambilan keputusan (Hartley and Speer, 2000) (72). Dari penelitian Uddin et al. (2004), 16.000 gen dari 45.000 gen penelusur pada chip DNA manusia terdeteksi di daerah ACC (dan 14.000–15.000 untuk gorilla dan simpansé). Hal menarik bahwa profil ekspresi gen simpansé lebih dekat dengan manusia ketimbang gorilla. Lebih lanjut ditemukan pada simpansé, dan terutama manusia, bahwa profil ekspresi meningkat pada gen-gen yang terlibat dalam metabolisme energi aerobik (gen-gen rantai transport elektron) dan gen-gen pensinyalan neuronal. Peningkatan kebutuhan energi metabolik ini yang terkait dengan tingginya aktivitas otak diperkuat pula oleh bukti bahwa rasio sel-sel glia terhadap sel-sel neuron di korteks frontal manusia mengalami peningkatan (1.65 pada Homo sapiens; dan 1.20 pada Pan troglodytes) (Sherwood et al., 2006) (73). Sel-sel glia berperan mengendalikan kecepatan pengambilan glukosa dan fosforilasi dalam rangka asupan energi neuron dalam merespons konsentrasi glutamat dalam sinapsis. Tipe lain dari sel glia berfungsi mensintesis myelin yang membungkus akson di otak agar terfasilitasi propagasi jarak jauh sinyal-sinyal potensial.

Otak dalam Perpektif Evolusi Molekuler

(27)

100

Makalah Utama jejala koekspresi gen antara H. sapiens dan Pan troglodytes seharusnya bisa menjawab mana jejala koekspresi gen (74) yang terkonservasi antara kedua spesies tersebut dan mana yang unik pada otak H. sapiens.

Laporan Oldham et al. (2006) (75) memberikan jawaban-jawaban penting, bahwa: (i) dari 4000 gen yang dipelajari berhasil teridentifikasi 7 modul koekspresi gen di otak manusia, modul tertentu terkonservasi pada kedua spesies, dan modul lain tidak; (ii) modul-modul koekspresi tersebut berkorespondensi dengan struktur otak; (iii) hubungan jejala koekspresi di daerah cerebral cortex kurang terkonservasi ketimbang di daerah subkorteks; (iv) teridentifikasi juga gen-gen yang bertindak sebagai hub; dan (v) koneksi-koneksi jejaring yang khas pada manusia.

Pada tataran molekuler, hal yang harus diberi perhatian adalah kenyataan adanya konservasi protein (struktur-fungsi) yang kuat antara manusia dan simpanse. Salah satu kemungkinan dari rendahnya variabilitas protein di otak adalah karena mekanisme seleksi pada tingkat molekul sebagai wujud dari bekerjanya seleksi alamiah pada sistem interaksi kompleks fungsional unit-unit protein, yang apabila tidak tercapai akan berhadapan dengan persoalan jawaban ”yes” dan ”no”, bertahan hidup atau mati.

Telah ditemukan bahwa sejumlah penyakit kemunduran fungsi saraf (a.l. penyakit Alzheimer yang meningkat tajam seiring dengan umur manusia) akibat dari penyimpangan-penyimpangan pada tingkat protein. Gejalah ini juga tentunya belum sampai pada keadaan ”yes” dan ”no” di atas. Pada alel-alel tertentu, mutasi dapat bersifat lethal pada tahapan yang sangat awal dalam kehidupan organisme. Hal ini tentunya dapat menjadi setiran evolutif penting ke arah pemurnian populasi, karena seleksi alamiah terutama bekerja dengan mengeliminasi alel-alel yang berbahaya (deleterious) tidak terkecuali apakah dalam keadaan heterozigot atau homozigot. Jadi alel-alel berbahaya demikian bagi kelangsungan hidupnya berada dalam frekuensi yang rendah. Seleksi yang bertindak melawan mutan-mutan dalam keadaan demikian disebut pula seleksi pemurnian (purifying selection).

(28)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

101

Perubahan evolusioner ekspresi gen yang tinggi di otak, terutama gen-gen yang terlibat dalam metabolisme aerobik dan fungsi-fungsi neuronal diduga disetir oleh seleksi positif Darwinian (Goodman et al., 2002) (77).

Pertanyaan lanjut yang muncul ialah, ”apakah perkembangan otak masih melakukan proses adapatasi oleh tekanan seleksi positif?” Studi intensif terhadap gen Microcephalin dan ASPM memberikan dugaan bahwa dua gen ini terlibat sebagai determinan ukuran dan perkembangan otak manusia dan kerabatnya (Evans et al., 2005 (78); Mekel-Bobrov et al., 2005 (79), Koiprina et al., 2005 (80)). Demikian pula, keduanya terlibat dalam diferensiasi linguistic tone, yakni perbedaan pengungkapan kata/suku kata berdasarkan perbedaan pola titinada (pitch patterns) pada populasi manusia (Dediu & Ladd, 2007) (81). Salah satu haplotipe (Haplogroup D) Microcephalin yang diduga berasal dari archaic homo 1.1 juta tahun lalu, muncul 37.000 tahun lalu (dan telah mengokupasi 70% populasi dunia) melalui introgresi (perpindahan gen melalui hibridisasi atau silang balik). Uji genetik mutan sinonim terhadap mutan nonsinonim disimpulkan bahwa Microcephalin dan ASPM adalah hasil dari seleksi positif yang kuat (Evans et al., 2005; Mekel-Bobrov et al., 2005; Wang & Su, 2004). Implikasinya ialah bahwa pada otak manusia masih berlangsung evolusi adaptif yang cepat (Mekel-Bobrov et al., 2005), mungkin termasuk perkembangan perilaku simbolik pada spesies manusia antara 14.000–60.000 tahun silam.

Evolusi Jejala Molekuler Tanskala

Apa yang menyebabkan konservasi-konservasi gen tunggal dan jejala koekspresi? Salah satu penjelasan penting adalah apa yang dikenal dengan istilah evolusi jejala tanskala (The evolution of scale-free network). Dalam hal ini, model jejala tanskala dikembangkan untuk menjelaskan perkembangan topologi tanskala dari jejala interaksi-interaksi protein selama evolusi.

(29)

102

Makalah Utama tanskala (Barabasi & Albert, 1999 (82); Barabasi & Oltvai, 2004 (83)).

Di dalam sel, kita menemukan interolog-interolog, yakni conserved protein–protein interaction pairs (Walhout et al. 2000) (84). Hunter et al., (2002) (85) melakukan pemindaian protein berkinerja-tinggi (high-throughput screening of protein) dan menunjukkan bahwa jejala interaksi protein (protein interaction network) yang menopang sebagian besar fungsi-fungsi seluler pada S. cerevisiae memiliki diferensiasi dalam derajat interaksi di antara mereka. Ditemukan bahwa konektivitas dari protein-protein yang terkonservasi dengan baik dalam jejala berkorelasi negatif dengan kecepatan evolusi. Protein dengan interaktor yang lebih banyak berevolusi lebih lambat, bukan karena mereka lebih penting terhadap organisme tetapi karena proporsi yang lebih besar dari pada protein tersebut terlibat langsung dalam fungsinya. Di daerah yang penting tempat berlangsungnya interaksi antarprotein perubahan evolutif mungkin berlangsung melalui koevolusi, yakni bahwa substitusi pada salah satu protein berakibat pada tekanan seleksi yang menyebabkan perubahan-perubahan resiprokal pada pasangan protein yang berinteraksi dengannya. Itu berarti bahwa protein-protein yang berinteraksi, berevolusi dengan kecepatan yang sama.

Prinsip yang sama dengan interologs untuk protein dipelajari juga pada aras perpasangan-perpasangan interaksi pengikatan transkripsional terkonservasi (conserved transcriptional binding interaction pairs), dan dinamakan regulogs (Yu et al. 2004) (86). Keketatan tautan akan mempertahankan jejala dan lemahnya tautan akan mendorong diferensiasi, yang berujung pada pembentukan ciri baru pada pemiliknya pada aras organismal dan perilaku.

Apakah mekanisme seleksi Darwinian adalah satu-satunya gaya yang bekerja pada sistem kompleks seperti otak? Tidak. Seleksi alamiah hanya dapat bekerja karena adanya perbedaan fitness, yang terus-menerus diciptakan melalui mutasi/epimutasi (Nei, 2007) (87). Yang et al., (2003) (88) melaporkan bahwa semakin kompleks suatu organisme semakin kuat pula determinan terjadinya duplikasi gen. Hal ini mendukung adanya direksionalitas.

(30)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

103

dengan mengintroduksikan perubahan-perubahan diskrit dalam ekspresi gen; dan (iii) evolusi memungkinkan munculnya interaksi-interaksi di antara faktor transkripsi dan daerah hilir tuas pengendali. Selanjutnya, studi microarray memberi data yang luar biasa kaya sebagai bukti bahwa ada begitu banyak jejala fungsional antar gen (functional modules (89)), yang pada dirinya merupakan pembatas ke arah perubahan acak. Pada fenomena-fenomena perkembangan yang kompleks muncul rintangan-rintangan yang mempersempit keacakan, seperti yang diajukan oleh Gu & Su (2007) (90) dalam “ tissue-driven hypothesis”.

Kemampuan Mental, Interaksi Ekologis dan Sosial Lihatlah warna-warni ikan karang dan ekosistemnya yang indah! Lihat pula bentuk mulut kupu yang menyesuaikan dengan struktur bunga. Apa kesan anda? Bagaimana pula dengan struktur mulut nyamuk yang menusuk dan menghisap darah manusia? Beradaptasi dengan struktur bunga agar dapat mengeksploitasi madu yang dikeluarkan oleh kelenjar bunga. Hal ini hanya sekedar contoh dari fakta yang hampir tak-berhingga banyaknya. Semuanya itu, sebagaimana teori Darwin terangkan, adalah hasil adaptasi dari organisme tersebut terhadap lingkungannya supaya ia dapat bertahan hidup.

Pertanyaan yang menantang kita ialah: “dengan alasan apa kita dapat jelaskan kemampuan-kemampuan khas manusia seperti kecerdasan, berbahasa, dan kesadaran (diri)? Apa sesungguhnya yang terjadi sehingga organ otak begitu vital terhadap kemampuan-kemampuan tersebut?

(31)

104

Makalah Utama dihasilkan per satuan waktu. (3). Tampaknya terdapat trade-off pada hominid yang berjalan tegak dengan dua kakinya (bipedalisme) antara efisiensi lokomotor dan kemudahan untuk melahirkan (Lovejoy, 1975) (93). (4) Terdapat pula suatu potensi masalah pendinginan oleh karena jaringan otak yang besar. Alternatifnya, individu dengan otak yang kecil akan memiliki keuntungan selektif.

Dengan demikian, sulitlah membayangkan bahwa evolusi otak manusia seperti perbesaran neokorteks dan scale-up keseluruhan organ otak hanyalah suatu konsekuensi dari ukuran tubuh yang membesar (hipotesis epifenomena; Finlay & Darlington, 1995 (94); lihat review, Dunbar & Shultz, 2007) (95). Tentunya pula bahwa otak kita berevolusi juga bukan untuk menjawab teka-teki silang, atau permainan catur (Rose, 2006) (96).

Mesti ada alasan survivability bagi berevolusinya organ otak dengan fungsi-fungsi mentalnya, demi kelangsungan hidup pemiliknya. Apa alasannya? Mungkin, otak besar berguna karena memiliki kemampuan ingatan yang lebih besar, kemampuan merencanakan, dan kemampuan berbahasa. Kemampuan ini hanya relevan secara evolusi kalau kemampuan tersebut mampu mengompensasi biaya yang harus dibayar karena membesarnya otak, yang pada akhirnya bergantung pada ciri ekologis dan sosial tertentu dari populasi tertentu.

Berusaha mencari jawab dalam korelasi antara korelasi genetik (g) dengan volume otak tampaknya ada tetapi tidak cukup. Data neuroanatomis (pada bagian sebelumnya) tampaknya menunjukkan pentingnya melihat fungsi bagian-bagiannya. Misalnya kemampuan ingatan kerja (working-memory abilities) berkorelasi kuat dengan gray matter dari korteks prefrontal. Ukuran korteks frontal juga berkorelasi kuat dengan kemampuan mengekstrak informasi yang relevan di lingkungan (Schoenemann, 2006) (97), perencanaan (Damasio, 1985) (98), ingatan keteraturan serial dan informasi temporal (Fuster, 1985) (99), kebahasaan (Deacon, 1997) (100), serta pemrosesan informasi sosial (de Bruin, 1990) (101). Menurut Schoenemann (2006), adalah penting mempertimbangkan ingatan keteraturan serial dalam evolusi perilaku manusia, karena perilaku manusia yang paling memberikan keuntungan pada manusia modern ini adalah kemampuannya dalam merekonstruksi pemahaman, dan memanfaatkan informasi kausal.

(32)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

105

dengan kompleksitas realitas yang dibangun di otak. Semua kecanggihan teknologi manusia bergantung pada kemampuan ini, dan kausalitas tergantung pada akhirnya kemampuan keteraturan serial kejadian di masa lampau. Tanpa kemampuan ini, tidak mungkin dapat mengonstruksi (dan oleh sebab itu harus mampu mengingat) apa tindakan atau perilaku yang menuju pada hasil yang terkait dengannya. Peningkatan kompleksitas realitas yang dibangun di otak (konseptual) harus ditimpali kepada sifat interaksi sosial manusia dan hal ini mengena dengan evolusi komunikasi simbolik yang mengalami pemodelannya berupa sandi-sandi spasio-temporal kombinatoris (Koch & Laurent, 1999) (104) dalam pengalaman ontogenik.

Lalu, apa setiran yang menyebabkannya? Yang pertama yang harus dikatakan ialah otak dan kemampuan mentalnya, walaupun dengan biaya yang sangat mahal menapaki tanjakan terjal evolusi (antara lain biaya metabolik dari jaringan otak yang mahal), hadir dalam rangka kelangsungan hidupnya, tanpa kecuali pada manusia. Kelangsungan mana diduga terkait dengan batasan-batasan hidup yang melingkupinya: (1) lingkungan fisik dan terutama kemudian (2) tuntutan kompleksitas lingkungan sosial, ataupun (3) reorganisasi internal sistem respons pemrosesan mental kita menghadapi situasi-situasi baru tak-terduga, melalui kreativitas dan inovasi.

Catatan Penutup

Otak terutama cerebral cortex dengan fungsi-fungsi kognitif aras tinggi, adalah hasil dari perjalanan evolusi yang panjang. Namun demikian, otak adalah juga fenomena perkembangan. Fungsinya mengalami pema-tangan dan pencermatan sejalan dengan perkembangan organisme. Ia adalah hasil dari perjumpaan antara struktur dasar yang diberikan evolusi dan pengalaman selama perkembangan ontogenik. Kita telah saksikan, paling tidak pada aras ekspresi gen bahwa manusia memiliki pola ekspresi gen yang khas, demikian juga pada kerabat terdekat manusia, yaitu simpansé. Dengan latar-belakang pola ekspresi gen yang khas manusia itu, sinyal-sinyal perkembangan dan sinyal-sinyal lingkungan fisikal dan kemudian sinyal-sinyal social-kultural serta berbagai umpan-balik positif dan negatif membentuk fungsi-fungsi ”the present state of the brain”.

(33)

106

Makalah Utama dengan desain evolutif, mendeterminasi perilaku-perilaku komunitas. Dari sini pula dapat kita pahami bagaimana evolusi memberi pagar pembatas dan ruang kreativitas, yang dengan mana kultur bekerja membentuk sistem keperikelakuan individual ataupun komunitas.

Referensi dan Catatan

1. Rose S., 2006. The Future of the Brain. Oxford University Press. 344p. 2. ToM (Theory of Mind)1 adalah kemampuan untuk memahami keadaan

mental orang lain dan mempertimbangkan dalam perilakunya (The

ability to understand another individual’s mental state and take it into

account in one’s own behavior, Premack and Woodruff , 19781). 3. Wilardjo L. (2009) mensenaraikan kemampuan manusia itu secara

sistematis dan bertingkat sebagai 4N, yakni naluri, nalar, nurani dan nala.

4. Searle (20001) mengatakan bahwa: the brain has a remarkable capacity to organize very degenerate perceptual stimuli into coherent conscious perceptual forms.

5. Property of mental states by which they are directed at or about objects and states of affairs in the world.

6. Mengaitkan sistem stimulus, tindakan sadar, dan aktivitas otak, Searle (20001) mengatakan bahwa, “as the visual system binds all of

the different stimulus inputs into a single unified visual percept, so the entire brain somehow unites all of the variety of our different stimulus inputs into a single unified conscious experience”. (Searle, JR, 2000. Consciousness. Annu. Rev. Neurosci. 2000. 23:557–578).

7. Sayangnya bahwa apresiasi kita terhadap lingkungan evolusioner ini sangat kecil, bahkan tidak peduli, lalu merusaknya. Dan bahkan dengan kita dibolehkan mengetahui logika dibalik bekerjanya mekanisme-mekanisme genetik dipelataran mekanistik, yang diawali dengan genetika Mendelian, kita sedang mengutak-atik konstruksi evolutif dari sistem genetik tersebut.

8. Kemampuan untuk memahami keadaan mental individu lain dan mempertimbangkannya dalam perilakunya.

9. O’Connell S and Dunbar RIM, 2003. A test for comprehension of false belief in chimpanzees. Evolution and Cognition 9:131-140.

10. Bogin B, (1990). The Evolution of Human Childhood. Bioscience

40:16-25.

11. Cremers A. (Peny.)1988. Jean Piaget, “Antara Tindakan dan Pikiran”. Penerbit Gramedia Jakarta, 307 hal.

12. Piaget J and Inhelder B., 1969. The Psychology of the Child (Translated from French by Helen Weaver). Routledge and Keagen Paul London. 173p.

13. Gogtay N, Lusk L, Hayashi KM, Giedd JN, Greenstein D, et al., 2004. Dynamic mapping of human cortical development during childhood and adolescence. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 101:8174-8179. 14. Toga AW and Thompson PM, 2005. Genetics of Brain Structure and

Intelligence. Annu. Rev. Neurosci. 28:1-23.

15. Leakey R., 2003. Asal-usul manusia (terjemahan dari judul asli “The Origin of Humankind” (1994). Penerbit KPG Jakarta, 221.

16. Petraglia M, Clarkson C, Boivin N, Haslam M, Korrisetar R, Chaubey G, Ditchfield P, Fuller D, James H, Jones S, Kivisild T, Koshy J, Lahr MM, Metspalu M, Roberts R, and Arnold L, 2009. Population increase and environmental deterioration correspond with microlithic

(34)

Cakrawala Pemikiran Teori Evolusi Dewasa ini

107

17. Scholz CA, Johnson TC, Cohen AS, King JW, Peck JA , Overpeck JT,

Talbot MR, Brown ET, Kalindekafe L, Amoako PYO, Lyons RP,

Shanahan TM, Castan˜ eda IS, Heil CW, Forman SL, McHargue LR,

Beuning KR, Gomez J, and Pierson J, 2007. East African

megadroughts between 135 and 75 thousand years ago and bearing on early-modern human origins. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 104: 16416–16421

18. Gru¨n R, Stringer C, McDermott F, Nathan R, Porat N, Robertson S, Taylor L, Mortimer G, Eggins S, McCulloch M (2005). J Hum Evol

49:316–334.

19. Bouzouggar A , Barton N, Vanhaeren M, d’Errico F, Collcutt S , Higham T, Hodge E, Parfitt S, Rhodes E, Schwenninger J, Stringer C, Turner E, Ward E, Moutmir A, and Stambouli A,, 2007. 82,000-year-old shell beads from North Africa and implications for the origins of modern human behavior. Proc. Natl Acad. Sci. USA 104: 9964–9969. 20. Widianto H & Simanjuntak T, 2009. Sangiran menjawab dunia. Balai

Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. 142 hal.

21. Yang berjarak hanya ± 1.5 – 2 jam perjalanan mobil dari Salatiga ke arah Gemolong Sragen.

22. Brunet, M, and 37 others (2002). A new hominid from the upper Miocene of Chad, Central Africa. Nature 418: 145-151.

23. White, T., et al. (2003). Pleistocene Homo sapiens from Middle Awash, Ethiopia. Nature, 423: 742-747.

24. Wood B and Collard M, 1999. The Human Genus. Science 284: 65-71. 25. Alles, D. L. and Stevenson, J. C. (2003). Teaching Human Evolution.

The American Biology Teacher, Vol. 65, No. 5(May), 333-339 (Yang direview kembali pada 10/1/2006; akses via Web).

26. Futuyma DJ, 2005. Evolution. Sinauer Associates, Inc. 603p. 27. Palmer D, 2006. Seven million years, the story of human evolution.

Phoenix, 283p.

28. De Miguel C and Henneberg M., 2001. Variation in hominid brain size: How much is due to method? Homo 52:3-58.

29. Schoenemann PT, 1997. An MRI study of the relation between human neuroanatomy and behavioral ability. PhD diss. Univ. of Calif., Berkeley.

30. Ukuran otak manusia memiliki variasi ukuran yang tinggi dengan rata-rata ~1330 cc dan memiliki ukuran lebih besar 3.1 kali dari simpansé berdasarkan skala alometri otak/ukuran tubuh (Schoenemann, 1997).

31. Finlay B.L. Darlington R.B., and Nicastro N., 2001. Developmental structure in brain evolution. Behav. Brain. Sci. 24:263-308. 32. Gilbert S. L., Dobyns W. B., and Lahn B. T., 2005. Genetic likns

between brain development and brain evolution. Nature Reviews

Advance Online Publication 10 June 2005; doi:10.1038/nrg1634. 33. Schoenemann P. T., 2006. Evolution of the size and functional areas

of the brain. Ann. Rev. Anhropol. 35: 379-406.

34. Darwin, C. (1871) The descent of man. London, UK: Murray. 35. Haug H., 1987. Brain sizes, surfaces, and neuronal sizes of cortex

cerebri: a stereological investigation of man and his variability and a comparison with some mammals (primates, whales, marsupials, insectivores, and one elephant). Am. J. Anat. 180:126-42.

36. Morwood MJ, Brown P, Jatmiko, Sutikna T, Saptomo EW, Westaway KE, Due RA, Roberts RG, Maeda T, Wasisto S, Djubiantono T (2005) Further evidence for small-bodied hominids from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia. Nature 437: 1012–1017.

37. Calvin WH, 1994. The Emergence of Intelligence. Sci. Amer. Oktober 1994: 79-1994.

Gambar

Gambar 1. Dinamika pematangan gray matter di permukaan korteks da-lam urutan waktu pada anak berumur dalam kisaran 5–20 tahun
Tabel 1. Spesies-spesies fosil Hominin yang ditemukan dalam ren-tang 7 juta tahun terakhir
Tabel 2. Distribusi Varian-Varian Fungsional Genom Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Perhatikan gambar pemeriksaan sistem pengisian di bawah ini, apabila hasil pengukuran seperti pada gambar menunjukkan nilai sebesar 0,5 mA, maka kesimpulan dari

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau

Namun pada kenyataannya penggunaan Ruko di Pancoran Glodok sebagai hunian mulai mengalami degradasi sejak Kerusuhan Mei , ada banyak pemilik Ruko yang memilih untuk membeli Rumah

Isikan data-data berikut: (1) Nama/ Judul Kegiatan, misalnya nama kegiatan seperti program kegiatan fasilitasi lembaga atau pemerintah; (2) Tahun, yaitu tahun

Artinya dalam membuat suatu keputusan untuk memecahkan suatu permasalahan yang ditimbulkan dari adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi dibutuhkan informasi

Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam penyusunan KTI bagian hasil dan pembahasan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.. Able

Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok jus bawang putih (Allium sativum Linn) memiliki penurunan jumlah leukosit yang cukup bermakna.Sehingga kesimpulannya

and mandra s.ad.am strings in places where long syllables or jad.d.a aks.aram s ( aks.aram s in which two consonents occur without a vowel in between) without mising the time