• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untitled Document

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Untitled Document"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Ilmiah

USAHA KECIL MENENGAH (UKM)

DAN OTONOMI DAERAH

Oleh :

Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN

(2)

KATA PENGANTAR

Keberadaan UU Penghapusan KDRT sungguh menggembirakan, karena sarat

dengan janji yang diharapkan dapat meminimalisasi keberadaan KDRT.

Implementasi, itulah yang selalu menjadi masalah atas segala peraturan yang ada di

negeri ini, termasuk yang terkait dengan upaya mereduksi terjadinya KDRT. Keraguan

atas implementasi UU Penghapusan KDRT ini cukup beralasan karena masih kurangnya

pemahaman masyarakat bahkan aparat bahwa KDRT merupakan sebuah bentuk tindak

kriminal. Masih banyak menganggapnya sebagai masalah pribadi sehingga kurang

berempati pada korban, banyak perempuan yang karena ketidakberdayaannya menjadi

enggan melapor bila mengalami kekerasan. Tidak dipungkiri bahwa UU Penghapusan

KDRT merupakan terobosan penting dalam upaya menghapuskan kejadian kekerasan

dalam rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diiringi dengan upaya serius dari kita semua untuk mengimplementasikannya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Medan, Oktober 2007 Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan Penulisan 4

BAB II UKM DAN OTONOMI DAERAH 5

2.1. Profil dan Sebaran Usaha Kecil 5

2.2. Mengapa UKM Perlu Dikembangkan 6

2.3. Perlunya UKM Sebagai Prioritas Program Pembangunan 8

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah 10

2.5. Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian 15

BAB III PEMBAHASAN 17

3.1. Kebijakan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah 17 3.2. Pola Pembinaan UKM dalam Rangka Otonomi Daerah 20 3.3. Prospek Pengembangan UKM di Era Otonomi Daerah 22

3.4. Pengembangan UKM di Indonesia 26

3.5. Strategi Pemberdayaan UKM 34

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 39

4.1. Kesimpulan 39

4.2. Saran 40

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dalam pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan mereka juga cukup terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan perdagangan. Karena itu UKM merupakan aspek penting dalam pembangunan ekonomi yang kompetitif.

Di Indonesia, sumber penghidupan amat bergantung pada sektor UKM. Kebanyakan usaha kecil ini terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil dan garmen, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam. Mereka bergerak dalam kondisi yang amat kompetitif dan ketidakpastian, juga amat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro.

(5)

berjalan. Bagi UKM memiliki kandungan lokal yang besar, kekuatannya untuk bertahan semakin besar. Mereka pun relatif mampu mencapai optimalisasi produksi. Terbukti dari data yang ada, jumlah usaha yang masuk dalam kelompok ini mencapai 40 juta unit, yang 41.000 di antaranya masuk kategori usaha menengah, dan selebihnya usaha kecil.

Pada masa krisis itu kontribusi kegiatan ekspor terbesar diberikan oleh kelompok UKM. Bergugurannya perbankan tidak membuat para pelaku UKM gamang, karena kekuatan modal kerja mereka tidak bergantung sepenuhnya pada lembaga perbankan. mereka mampu hidup dengan modal sendiri, kalau pun ada dukungan bank itu pun jumlahnya tidak besar. Prinsip kata sektor ini begitu fleksibel, sehingga mereka bisa ke luar masuk pasar lokal maupun ekspor lebih cepat. Kegiatan ekspor UKM terbanyak terjadi di sub sektor industri tekstil, produk tekstil, mebel, sepatu, mainan anak-anak, kerajinan kulit, rotan, dan kelapa sawit.

(6)

Menurut data Survei Business Intelegence Report (BIRO) tentang prospek UKM Nasional yang dilaksanakan Februari - April 2001 di wilayah Jabotabek menunjukkan, 80 persen dari UKM memiliki investasi di bawah 1 juta dollar AS, lalu 72,5 persen omzetnya di bawah 1 juta dollar AS. Itu data strata UKM berdasarkan modal. Namun yang lebih menakjubkan adalah, di saat badai krisis menghantam sejak pertengahan tahun 1997 hingga awal tahun 2001, malah muncul 99 UKM yang berorientasi ekspor. Padahal, di lain sisi banyak perusahaan afiliasi konglomerat yang harus dilikuidasi karena tak mampu lagi bertahan. Fakta itu semakin menguatkan dugaan berbagai pihak bahwa sektor ini memang kuat dan fleksibel, jika kita cuplik kembali data BIRO. Menurut survei BIRO diketahui 60 persen UKM memiliki rasio penjualan ekspor lebih dari 40 persen, bahkan 29 persen diantaranya rasio ekspornya diatas 86 persen.

Terpaan badai krisis yang hingga kini belum dapat ditepis seluruhnya itu telah memberi kesadaran akan keberadaan UKM. Bahkan dengan berlebihan beberapa kalangan menjadikannya sebagai monumen bagi dunia usaha dan perbankan, yang selama ini cenderung mengabaikan keberadaannya. Penghargaan yang tinggi terhadap UKM layak diberikan, karena terbukti bank-bank yang berorientasi pada kredit kecil terselamatkan. Berbeda dengan bank-bank yang berorientasi pada konglomerasi, yang harus menjalani "rawat inap" di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) karena harus direstrukturisasi.

(7)

untuk mengangkat sektor UKM ke jenjang yang lebih tinggi dalam kancah perekonomian negeri ini.

Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara Pusat dengan Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan terhadap kelompok usaha kecil dan menengah perlu menjadi perhatian. Pembinaan terhadap kelompok usaha kecil dan menengah bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah.

Walaupun jumlah kelompok UKM serta daya serap tenaga kerja yang cukup besar ternyata perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Kelompok ini hanya selalu menjadi sasaran program pengembangan dari berbagai institusi pemerintah di Pusat maupun di Daerah, namun program pengembangan tersebut belum menunjukkan terwujudnya pemberdayaan terhadap kelompok UKM tersebut.

1.2. Tujuan Penulisan

(8)

BAB II

UKM DAN OTONOMI DAERAH

2.1. Profil dan Sebaran Usaha Kecil

Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta. Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999).

(9)

Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.

Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi).

Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau, diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil, dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas dan kimia relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%.

2.2. Mengapa UKM Perlu Dikembangkan?

(10)

konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).

Dalam konstelasi inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, UKM menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak UKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan UKM akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang, et al.,1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UKM jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di pedesaan, peran penting UKM memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin. Boleh dikata, UKM juga berfungsi sebagai strategi mempertahankan hidup (survival strategy) di tengah krismon.

Kedua, UKM memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada tahun 1990 mencapai US$ 1.031 juta atau menempati rangking kedua setelah ekspor dari kelompok aneka industri. Ketiga, adanya urgensi untuk struktur ekonomi yang berbentuk piramida pada PJPT I menjadi semacam "gunungan" pada PJPT II.

(11)

produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar. Kuncoro (2000) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.

2.3. Perlunya UKM Sebagai Prioritas Program Pembangunan

Peran UKM dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari : 1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai

sektor.

2. Penyedia lapangan kerja yang terbesar.

3. Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat.

4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi, serta

(12)

menumbuhkan wirausaha baru di sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi yang berbasis pengetahuan, teknologi dan sumberdaya lokal.

Pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan investasi yang memadai. Pada kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif sulit menarik investasi dalam jumlah yang besar. Untuk itu, keterbatasan investasi perlu diarahkan pada upaya mengembangkan wirausaha kecil dan menengah. Pembangunan UKM diharapkan lebih mampu menstimulan pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi dalam jangka waktu yang relatif pendek dan mampu memberikan lapangan kerja yang lebih luas dan lebih banyak, sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Pengembangan UKM diharapkan akan meningkatkan stabilitas ekonomi makro, karena menggunakan bahan baku lokal dan memiliki potensi ekspor, sehingga akan membantu menstabilkan kurs rupiah dan tingkat inflasi.

Pembangunan UKM akan menggerakkan sektor riil, karena UKM umumnya memiliki keterkaitan industri yang cukup tinggi. Sektor UKM diharapkan menjadi tumpuan pengembangan sistem perbankan yang kuat dan sehat pada masa mendatang, mengingat non-performing loannya yang relatif sangat rendah. Pengembangan UKM juga akan meningkatkan pencapaian sasaran di bidang pendidikan, kesehatan, dan indikator kesejahteraan masyarakat Indonesia lainnya.

(13)

Pembangunan UKM merupakan salah satu jawaban untuk mewujudkan visi Indonesia yang aman, adil dan sejahtera.

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah, telah diletakkan dasar-dasarnya sejak jauh sebelum terjadinya krisis nasional yang diikuti dengan gelombang reformasi besar-besaran di tanah air. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gelombang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.

(14)

masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.

Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana sebenarnya bukanlah merupakan “barang baru” dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan Otonomi Daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers negara ini telah menuangkan ide-ide Otonomi Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18.

Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan Otonomi Daerah telah dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, Penpres Nomor 6 Tahun 1969, UU Nomor 5 Tahun 1974 dan terakhir dengan UU 22/1999. Selama masa itu pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat Otonomi Daerah antara lain; otonomi daerah yang seluas-luasnya, otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

(15)

daerah sangat besar, sedangkan daerah dengan segala ketidakberdayaannya harus tunduk dengan keinginan pusat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat daerah.

Dengan UU 22/1999 pemberian otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Daerah memiliki kewenangan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Dengan demikian daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan hak kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakan instruksi dari pusat. Sehingga daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan kewenangan Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meliputi :

1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah. 2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi.

3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.

(16)

Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan Daerah, termasuk di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari pengusaha kecil, menengah dan koperasi.

Usaha kecil dan menengah (UKM) idealnya memang membutuhkan peran (campur tangan) pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam peningkatan kemampuan bersaing. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar, lebih pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut. Terdapat karakteristik khusus dari suatu produk yang cocok untuk industri kecil dan ada kelompok produk yang cocok untuk industri besar. Industri kecil tidak akan mampu bertahan pada kelompok produk yang cocok untuk industri besar. Dan sebaliknya, industri besar tidak akan tertarik untuk masuk dan bersaing dalam kelompok produk yang cocok untuk industri kecil, karena pertimbangan efisiensi skala usaha.

(17)

Menurut Haeruman (2000), tantangan bagi dunia usaha, terutama pengembangan UKM, mencakup aspek yang luas, antara lain :

1. Peningkatan kualitas SDM dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi,

2. Kompetensi kewirausahaan,

3. Akses yang lebih luas terhadap permodalan, 4. Informasi pasar yang transparan,

5. Faktor input produksi lainnya, dan

6. Iklim usaha yang sehat yang mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis serta persaingan yang sehat.

Namun permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam upaya pengembangan wirausaha (pengusaha UKM) yang tangguh adalah pemilihan dan penetapan strategi (program) untuk dua kondisi yang berbeda. Kondisi yang dimaksud adalah : (1) mengembangkan pengusaha yang sudah ada supaya menjadi tangguh, atau (2) mengembangkan wirausaha baru yang tangguh.

(18)

yang baik) akan menemui banyak kendala, misalnya : (1) salah sasaran, (2) sia-sia (mubazir), dan (3) banyak manipulasi dalam implementasinya.

2.5. Potensi dan Kontribusi UKM terhadap Perekonomian

Usaha kecil dan menengah (UKM) memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar), pada tahun 2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia. Sedangkan usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan tahunan yang berkisar antara Rp. 1 Milyar dan Rp. 50 Milyar) meliputi hanya 0,14 persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai keseluruhan meliputi 99,9 per sen dari jumlah total usaha yang bergerak di Indonesia.

(19)

PDB. Dengan demikian, nilai tambah bruto total yang dihasilkan UKM secara keseluruhan hampir sebesar 60 persen dari PDB.

Tabel 1. Jumlah tenaga kerja dan kontribusi UKM pada PDB, 1999

Usaha Kecil

(termasuk

mikro)

Usaha

Menengah

Usaha Kecil

Dan Menengah

UsahaBesar Total

Jumlah

Usaha

36.761.689

(99.85%)

51.889 (0.14%)

36.813.588

(99.99%)

1831 (0.01%)

36.816.409

(20)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kebijakan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah

Sejak lama Pemerintah sudah melakukan pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah. Pembinaan terhadap kelompok usaha ini semenjak kemerdekaan telah mengalami beberapa perubahan. Dahulu pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah dipisahkan dengan pembinaan terhadap koperasi. Yang satu dibina oleh Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan sedangkan yang lain dibina oleh Departemen Koperasi. Setelah melalui perubahan beberapa kali maka semenjak beberapa tahun terakhir pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi dilakukan satu atap di bawah Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah.

Berdasarkan kepada PROPENAS (Program Pembangunan Nasional) 2000-2004 ditetapkan program pokok pembinaan usaha kecil dan menengah sebagai berikut: 1. Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif.

Program ini bertujuan untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat untuk berkembangnya UKM. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah menurunnya biaya transaksi dan meningkatnya skala UKM dalam kegiatan ekonomi. 2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif.

(21)

meningkatkan akses UKM terhadap sumber daya produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi.

3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan UKM Berkeunggulan Kompetitif. Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewirausahaan serta meningkatkan dayasaing UKM. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap wirausaha dan meningkatnya produktivitas UKM.

Sebelum dilaksanakannya kebijakan Otonomi Daerah pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi ditangani langsung oleh jajaran Departemen Koperasi dan UKM yang berada di daerah. Sedangkan Pemerintah Daerah hanya sekedar memfasilitasi, kalau tidak boleh dikatakan hanya sebagai penonton. Semua kebijakan dan pedoman pelaksanaannya merupakan kebijakan yang telah ditetapkan dari Pusat, sementara aparat di lapangan hanya sebagai pelaksana. Pembinaan yang diberikan tersebut cenderung dilakukan secara seragam terhadap seluruh Daerah dan lebih bersifat mobilisasi dibandingkan pemberdayaan terhadap usaha kecil dan menengah.

Dalam upaya penguatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam rangka Otonomi Daerah, penting kiranya untuk diperhatikan aspek perbaikan kebijakan. Karena faktor kebijakan sangat menentukan tersedia atau tumbuhnya lingkungan usaha yang kondusif. Kebijakan didefinisikan sebagai ‘satu set keputusan yang saling terkait yang diambil oleh seorang atau sekelompok faktor politik tentang suatu tujuan dan cara mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan itu, secara prinsip, berada dalam wilayah kekuasaan aktor-aktor tersebut’.

(22)

Sedangkan penyusunan kebijakan dimengerti sebagai sebuah rangkaian proses perumusan sebuah masalah publik sampai pada pengambilan keputusan atas pemilihan solusi bagi masalah tersebut dan evaluasi atas berhasil tidaknya keputusan tersebut. Proses ini melalui sebuah siklus sebagai berikut:

Pertama, pembentukan agenda. Adalah tahap ketika sebuah masalah dikenali

dan dirumuskan serta dibawa dari wilayah isu publik menjadi agenda publik secara formal dan menjadi perhatian pemerintah.

Kedua, Formulasi kebijakan. Adalah tahap perumusan dan identifikasi

berbagai pilihan atau usulan solusi yang mungkin dipilih bagi penyelesian masalah.

Ketiga, pengambilan keputusan. Adalah tahap pemilihan salah satu solusi dan penetapannya sebagai kebijakan.

Keempat, Implementasi kebijakan. Adalah tahap pelaksanaan pilihan solusi yang telah ditetapkan.

Kelima, Evaluasi. Adalah tahap untuk menilai efektiftivias, keberhasilan atau kegagalan, sebuah kebijakan. Alat evaluasi termasuk jajak pendapat, judicial review, analisis kebijakan oleh pihak ketiga, audit, dan sebagainya.

(23)

3.2. Pola Pembinaan UKM dalam Rangka Otonomi Daerah

Era otonomi daerah bukan merupakan ancaman bagi upaya pengembangan usaha kecil dan menengah, namun sebaliknya justru memberikan kesempatan dan dukungan bagi pengembangan UKM tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya terbuka kesempatan untuk mengembangkan UKM secara optimal di Daerah.

Dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia di Daerah diharapkan upaya pengembangan UKM akan dapat diwujudkan. Potensi sumber daya alam yang tersedia di daerah menyediakan bahan baku yang cukup memadai bagi pengembangan UKM. Sedangkan potensi SDM di daerah menyediakan tenaga kerja yang secara bertahap dapat ditingkatkan kualitasnya.

Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya maka pembinaan usaha kecil dan menengah harus melibatkan seluruh komponen di Daerah. Peran Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom akan sangat menentukan bagi pembinaan UKM.

(24)

Pola pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah yang ditawarkan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara lain adalah :

 Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah diatur di

dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang meliputi: Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif, Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif secara terpadu dan berkelanjutan.

 Pelaksanaan program-program pengembangan UKM yang disusun dengan

memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing daerah, tuntutan, aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan daerah.

 Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga

keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dan menengah.

 Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu melaksanakan

proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil dan menengah.

 Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan kemampuan

yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil dan menengah dalam rangka meningkatkan daya saing.

 Mensinergikan semua potensi yang ada di daerah untuk meningkatkan

(25)

 Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka memasuki

era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia Pacific

Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada seluruh kelompok

usaha kecil dan menengah.

Melalui pola pembinaan yang dikembangkan tersebut diharapkan akan didapat

outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan pembinaan usaha kecil dan menengah

dengan kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga antara kebijakan Otonomi Daerah dengan pembinaan usaha kecil dan menengah terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi kebijakan Otonomi Daerah akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha kecil, dan menengah serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKM akan mendorong keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

3.3. Prospek Pengembangan UKM di Era Otonomi Daerah

Sebagaimana diketahui bahwa hambatan bagi pengembangan industri dan perdagangan di daerah adalah investasi modal dan penguasaan teknologi. Kondisi stabilitas politik dan keamanan yang kurang kondusif menyebabkan keraguan dan kecemasan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia . Demikian juga dengan keterbatasan penguasaan teknologi menyebabkan kualitas produksi belum memenuhi standar industri internasional.

(26)

kelompok usaha kecil dan menengah mempunyai pondasi yang cukup kuat untuk bertahan dalam goncangan krisis ekonomi yang hebat. Dengan demikian kelompok usaha kecil dan menengah mempunyai prospek yang cukup menjanjikan dalam pengembangan industri dan perdagangan.

Menghadapi persaingan global di era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trade

Area) , APEC ( Asia Pacific Economic Cooperation) maupun WTO (World Trade

Organization) , prospek pengembangan industri dan perdagangan akan lebih cerah jika

diarahkan kepada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Melalui pembinaan secara intensif dari Pemerintah serta pelibatan seluruh komponen perekonomian nasional, maka kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi akan menjadi tulang punggung bagi perekonomian nasional.

Di era Otonomi Daerah sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah pengembangan industri dan perdagangan akan lebih efektif jika diarahkan kepada kelompok usaha kecil dan menengah, karena pada umumnya setiap daerah memiliki kelompok usaha jenis tersebut. Dengan kewenangan yang dimiliki Daerah tersebut setiap daerah akan berupaya melakukan pembinaan terhadap kelompok usaha kecil dan menengah untuk mendukung pengembangan industri dan perdagangan sesuai dengan kondisi potensi dan kemampuan masing-masing daerah.

(27)

Usaha skala kecil yang jumlah sesungguhnya kurang dari 10 persen dari total UKM pun perlu didekati dengan fokus pemberdayaan sebagai upaya (1) Mendorong

survival di tengah persaingan yang pada faktanya sangat ketat dan kurang sehat, (2)

Investasi dan kesediaan menanggung risiko, (3) Penumbuhan kemandirian, (4) Kemampuan menjangkau dan berkiprah di pasar.

Pada skala usaha menengah, meskipun jumlahnya sedikit, peranannya vital untuk menjadi jangkar pemberdayaan UKM dan kerja sama kemitraan dengan usaha besar (UB). Untuk itu, pendekatan pemberdayaan usaha menengah (UM) sangat tepat fokus pada (1) Peningkatan investasi dan pertumbuhan, (2) Advokasi dan konsultasi, (3) Mengembangkan pasar ekspor.

Jika kemitraan antara kelompok usaha kecil dan menengah dengan kelompok usaha besar dapat diwujudkan maka di antara kedua pihak akan dapat ditumbuhkan

simbiosis mualisma dimana terdapat saling ketergantungan diantara kedua belah pihak.

Hal ini akan dapat mendorong percepatan pertumbuhan dan perkembangan kelompok usaha kecil, menengah dan besar secara simultan.

(28)

UKM yang tergantung pada input import mengalami keterpurukan dengan adanya gejolak depresiasi rupiah ini.

Seperti dikemukakan di atas, berhasil tidaknya pelaksanaan pengembangan UKM dalam otonomi daerah tidak saja tergantung kepada kemauan kuat aparatur pemerintahan pusat yang diharapkan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada aparatur pemerintahan di daerah, melainkan terletak pada keprakarsaan dan kesungguhan aparatur di daerah sendiri untuk memberi arti dan meningkatkan kualitas kemandirian daerah itu sendiri. Bahkan, sejatinya kebijakan otonomi daerah itu harus pula diartikan terletak pada kemandirian, keprakarsaan, dan kreatifitas warga masyarakat daerah sebagai keseluruhan. Artinya, otonomi daerah itu bermakna ganda, yaitu otonomi Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat, dan juga otonomi masyarakat di daerah itu dari Pemerintah Daerahnya. Karena itu, agenda otonomi daerah haruslah diimbangi dan dibarengi oleh partisipasi dari bawah, baik dalam arti formal oleh institusi pemerintahan di daerah maupun dalam arti substansial oleh para pelaku ekonomi dan institusi masyarakat di tingkat lokal.

(29)

3.4. Pengembangan UKM di Indonesia

Sebagai sebuah sistem, kebijakan dasar pengembangan UKM dipahami sebagai kebijakan yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan yang merupakan sub-sub sistem. Sub-sub sistem tersebut bisa dipahami sebagai stakeholders yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan terhadap eksistensi dari UKM. Oleh karena itu, untuk mendesain kebijakan dasar pengembangan UKM yang komprehensif, pertama yang harus dilakukan adalah memetakan atau mengidentifikasi kelompok-kelompok yang terlibat dalam formulasi kebijakan dan yang menjadi target dari kebijakan tersebut

(policy formation and target group). Kelompok-kelompok ini merupakan entitas yang

sudah eksis dan terlibat secara intens dengan urusan UKM.

Dari beberapa kajian lapangan yang dilakukan teridentifikasi beberapa stakeholders yang secara significant berpengaruh terhadap program pengembangan SDM UKM; diantaranya: Kantor Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan Dinas Koperasi dan UKM (dalam beberapa Kabupaten dan Kota masuk dalam dinas perekonomian), serta balai latihan koperasi dan UKM. Ketiga stakeholders tersebut mewakili unsur pemerintah (government side). Adapun yang non pemerintah terpetakan LSM, Dekopin, perguruan tinggi, perbankan maupun non perbankan, paguyuban koperasi dan UKM.

(30)

rasionalitas dalam artian sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat pengguna (target

group) dan berkeadilan dalam mendistribusikan nilai-nilai (termasuk di dalamnya

adalah mekanisme yang fair dan transparan dalam pengelolaannya). Untuk mendukung peran ini maka harus ditopang oleh suatu kajian (research) yang sungguh-sungguh. Untuk itu diperlukan adanya suatu data yang valid dan representatif, tidak hanya didasarkan pada asumsi-asumsi yang sering menyesatkan. Keterbatasan rasional

(bounded rationality) yang sering menjadi salah satu ciri kelemahan kebijakan publik

akan dapat dikurangi dengan supply data yang komprehensif dari berbagai sumber. Kedua, Dinas Koperasi dan UKM pada tiap Kabupaten dan Kota adalah avant

garde (ujung tombak) dalam pembinaan UKM di daerah. Otonomi daerah yang

bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, akan memberikan amanah yang sangat besar kepada stakeholder ini. Pada saat sekarang dinas tidak bisa lagi bertumpu pada petunjuk dari instansi di atasnya. Segala sesuatunya tergantung pada inovasi dan kreatifitas masing-masing dinas di daerah. Dalam menjalankan fungsi ini, dinas UKM dan koperasi tetap harus berpegangan pada unsur pemberdayaan masyarakat, pemerintah hanya akan memainkan peran sebagai fasilitator yang menyediakan informasi yang berkaitan dengan kompetensi inti lokal (local core

competency) yang dapat diolah menjadi produk barang dan jasa dan juga informasi

pasar. Dalam beberapa temu muka dengan anggota UKM ditemukan semacam keragaman keluhan yakni masih birokratisnya proses untuk mendapatkan jasa ini dan juga validitas data dan informasi yang sering sudah usang.

(31)

pengetahuan yang up-to date untuk pengembangan bisnisnya. Idealnya antara pemerintah, UKM, dan lembaga pendidikan ada keterkaitan tri partiet. Disini perguruan tinggi akan berperan dalam pengkajian dan penelitian berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan UKM, serta mencetak alumni yang dapat dimanfaatkan oleh UKM.

Keempat, Lembaga Swadaya Masyarakat. Peran LSM adalah berfungsi sebagai pendamping bagi UKM saat berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti pemerintah, perbankan maupun sektor swasta lainnya. Selain itu LSM juga bisa berperan dalam membangkitkan kesadaran sosial dan peranan yang bisa dimainkan olehnya, khususnya dalam menghadapi pengusaha-pengusaha besar. Sehingga kekhawatiran adanya eksploitasi sumber daya akan dapat dikurangi.

Kelima, Lembaga Keuangan (bank maupun non-bank). Lembaga keuangan akan memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan UKM. Berdasarkan kajian dari berbagai negara menunjukkan bahwa UKM adalah unit usaha yang memperoleh keistimewaan (privileges) dari pemerintah dalam permodalannya. Berdasarkan kajian, terlihat bahwa UKM mendapatkan perlakuan yang sama dengan unit bisnis lainnya, akibatnya dalam pengajuan modal ke perbankan sering menemui permasalahan.

(32)

melalui magang ke unit bisnis yang lebih maju. Berdasarkan kajian, permasalahan yang ditimbulkan dari belum tercapainya tujuan instruksional dari diklat, salah satunya adalah pola rekrutmen calon peserta diklat yang masih belum selektif dengan kompetensi yang akan dibangun.

Hal ini yang muncul ke permukaan terkait dengan Otonomi Daerah, kebijakan pengembangan UKM harus diarahkan pada jiwa dari otonomi yakni untuk menciptakan kompetensi lokal dalam rangka meningkatkan daya kompetisi. Oleh karena itu kebijakan yang mengarah pada bentuk-bentuk sentralisasi harus dihindarkan. Implikasinya dalam mendesain kurikulum dalam diklat harus disesuikan dengan kebutuhan dan muatan lokal (local needs).

(33)

Selain itu, dalam masa transisi seperti sekarang ini, masih juga banyak ditemukan berbagai masalah yang menyangkut penataan kelembagaan instansi pembina UKM. Sejak diimplementasikannya UU Otonomi Daerah, urusan terkait dengan pembinaan dan pengembangan UKM menjadi bidang tugas dan kewenangan pemerintah Kota /Kabupaten. Namun dalam implementasinya penyerahan kewenangan termasuk pegawainya tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan di beberapa pemerintah kabupaten/kota. Seringkali pemegang otoritas kebijakan di pemerintah kabupaten dan kota dalam mengangkat pejabat setingkat kepala dinas atau di bawahnya adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki kompetensi dan latar belakang pekerjaan dan pengetahuan yang berkaitan dengan bidang tugas UKM. Pertimbangannya semata hanya untuk mengakomodasi senioritas karyawan. Jelas kebijakan ini akan berdampak kepada efisiensi dan efektifitas dari keberhasilan program dan kebijakan itu sendiri. Selain itu, juga tidak jarang menimbulkan friksi dan gejolak yang kontra produktif antara karyawan `asli` dengan karyawan dari pusat.

Dari paparan permasalahan yang telah diuraikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan berkaitan dengan pengembangan kebijakan dasar UKM.

Pertama, mendesain payung kebijakan yang komprehensif dan aspiratif. Realitas

menunjukkan bahwa dalam pengembangan SDM UKM banyak sekali kelompok yang mempunyai kepentingan dalam kebijakan ini. Untuk menjamin tingkat efektifitas koordinasi dan sinkronisasi, maka kebijakan pengembangan dasar harus berada dalam payung kebijakan yang memiliki daya jangkauan yang luas dan berada di atas peraturan daerah.

(34)

data dan informasi yang berkaitan aspek pengembangan SDM UKM. Data dan informasi yang komprehensif ini akan meredusir aspek penyederhanaan permasalahan. Koperasi dan UKM memang merupakan entitas yang sangat beragam, untuk itu perlu untuk diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya. Pengklasifikasian ini dilaksanakan untuk menjamin adanya efektifitas kebijakan yang dihasilkan.

Kedua, membentuk forum dialog dari berbagai stakeholders. Dalam rangka

mereduksi adanya conflict of interest dan duplikasi kegiatan idealnya ada sinergi masing-masing stakeholders untuk merumuskan kebijakan substantif pengembangan SDM UKM. Namun demikian sering masing-masing stakeholders saling "berebut lahan" dalam menciptakan kegiatan pengembangan. Misalnya antara Dekopin dan Dinas Koperasi, dan antara pemerintah dengan LSM. Dari fakta ini jelas diperlukan adanya suatu kesepakatan wilayah garap (domain) dari masing-masing kelompok yang berkepentingan. Kesepakatan ini akan terbangun apabila ada komitmen untuk berdialog bersama. Dialog ini juga dapat diperluas dengan melibatkan stakeholders lainnya; perguruan tinggi, LSM, dan dunia perbankan. Peran ini pada tahap awal dapat difasilitasi oleh pemerintah.

Ketiga merevitalisasi Lembaga Diklat. Lembaga Diklat adalah memegang posisi

(35)

mencangkokkan mereka pada lembaga bisnis yang lebih unggul dalam rangka transfer pengetahuan (magang).

Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa pengembangan SDM UKM hendaknya jangan diredusir dengan mengadakan diklat saja, pengembangan SDM adalah merupakan sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang mana diklat hanya merupakan salah satunya.

Keempat, penguatan instansi pembina (capacity building). Hal ini dapat

dijalankan dengan mekanisme kerjasama dengan perguruan tinggi dalam rangka peningkatan SDM UKM. Hal lain yang bisa dijalankan dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan pemerintah adalah melalui jalan outsourcing dari organisasi luar. Cara ini digunakan sebagai metode antara untuk menutupi kekurangan dinas koperasi dan UKM dalam menjalankan fungsinya. Hal lain yang masih terkait dengan fungsi fasilitator pemerintah adalah peningkatan kapasitas data dan informasi bisnis yang dapat diakses oleh UKM. Untuk itu perlu dikembangkan sistem informasi bisnis.

Kelima, Memantapkan posisi lembaga diklat UKM di tingkat wilayah. Saat ini

lembaga ini tengah berada dalam masa transisi yang mengarah pada situasi tak bertuan

(stateless). Diklat UKM pada era otonomi daerah adalah masih diperlukan sebagai salah

satu icon dalam menciptakan SDM yang unggul. Oleh karena itu, paling tidak pada tingkat propinsi lembaga ini harus tetap eksis. Keberadaannya pada tingkat propinsi, selain juga dalam rangka efisiensi juga dalam upaya menciptakan kordinasi dan sinkronisasi kebijakan.

(36)

"diusung" oleh kelompok usaha kecil dan menengah, yang sebagian besar berstatus sektor informal, yang dapat bertahan hidup, bahkan mampu memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi walaupun angkanya masih kecil (sekira 1%). Pada tahun 90-an jumlahnya ada sekira 30 juta UKM, sedangkan tahun 2000 berkembang menjadi sekira 40 juta UKM. Terjadi demikian karena banyaknya sektor riil maupun sektor jasa/finansial yang menderita terkena krisis ekonomi sehingga PHK terhadap karyawannya tidak dapat dihindarkan. Para PHK-wan inilah yang berduyun-duyun memasuki sektor informal dengan melakukan berbagai kegiatan di bidang ekonomi.

Posisi sektor informal cukup dilematik, di satu pihak banyak sekali menyandang kelemahan. Ia lemah secara kultural dan juga secara struktural. Sejak dahulu kelompok ini dijadikan katup "pengaman" sektor modern, bahkan keunggulan komparatif sektor modern di Indonesia sebenarnya terjadi berkat "jasa" sektor informal berupa upah rendah, barang-barang konsumsi murah, dan sebagainya.

Ada empat aspek yang harus ditumbuhkan pada sektor informal, yaitu aspek mental, aspek kultural, aspek keterampilan teknis/manajerial, dan aspek bisnis. Keempat aspek tersebut merupakan landasan tumbuhnya budaya bisnis (business culture) pada sektor informal. Aspek-aspek tersebut secara simultan dapat ditumbuhkan melalui penataan kelembagaan kolektif, yaitu koperasi. Hal ini berarti menyangkut sasaran utamanya, yaitu pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi penguatan dan pengembangan usaha kecil menengah harus mendapatkan prioritas tinggi. Pendidikan kewirausahaan adalah human-investment yang bernilai strategis.

(37)

penting kelembagaan UKM sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan atas dasar kekuatan sendiri, perlu terus-menerus dilakukan dan dikembangkan. Mengapa Malaysia dan Thailand lebih maju di dalam mengelola sektor pertaniannya? Alasannya, mereka lebih berhasil di dalam mempersiapkan SDM dan menata kelembagaan ekonomi rakyatnya.

3.5. Strategi Pemberdayaan UKM

Beberapa strategi pemberdayaan yang telah diupayakan selama ini dapat diklasifikasikan dalam:

 Aspek managerial, yang meliputi: peningkatan produktivitas/omset/tingkat utilisasi/tingkat hunian, meningkatkan kemampuan pemasaran, dan pengembangan sumberdaya manusia.

 Aspek permodalan, yang meliputi: bantuan modal (penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha kecil minimum 20% dari portofolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU).

 Mengembangkan program kemitraan dengan usaha besar baik lewat sistem Bapak-Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun subkontrak.

(38)

 Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu lewat KUB (Kelompok Usaha Bersama), KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).

Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan pengembangan usaha kecil. Hanya saja, upaya pembinaan usaha kecil sering tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi mengenai usaha kecil ini pada gilirannya menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sector oriented, di mana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri sendiri.

Akibatnya terjadilah dua hal: (1) ketidakefektifan arah pembinaan; (2) tiadanya indikator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Karena egoisme sektoral/departemen, dalam praktek sering dijumpai terjadinya "persaingan" antar organisasi pembina. Bagi pengusaha kecil pun, mereka sering mengeluh karena hanya selalu dijadikan "obyek" binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung.

Dalam konteks inilah, usulan Assauri (1993) untuk mengembangkan

interorganizational process dalam pembinaan usaha kecil menarik untuk kita simak.

(39)

Indonesia, yang tersebar di 13 propinsi, yang konon diperluas hingga 21 perguruan tinggi pada 18 propinsi. Kegiatan semacam ini ini merupakan suatu terobosan yang tepat mengingat potensi pengusaha kecil di Indonesia sangat memungkinkan untuk dikembangkan.

Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.

Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.

(40)

modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.

Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkualitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

(41)

usaha besar (termasuk BUMN) belum merasakan kehadiran usaha kecil sebagai bagian dari langkah manajemen strategiknya. Mereka membantu dan membina kemitraan semata-mata karena anjuran pejabatnya dan "ketakutan" dengan isyu kesenjangan sosial.

(42)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dalam menghadapi era otonomisasi daerah maka pengembangan UKM diarahkan pada : (1). Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM; (2). Pengembangan lembaga-lembaga financial yang dapat memberikan akses terhadap sumber modal yang transparan dan lebih murah; (3). Memberikan jasa layanan pengembangan bisnis non finansial kepada UKM yang lebih efektif; dan (4). Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri. Berkembang atau matinya usaha kecil menengah dalam era perdagangan bebas tergantung dari kemampuan bersaing dan peningkatan efisiensi serta membentuk jaringan bisnis dengan lembaga lainnya.

(43)

4.2. Saran

(44)

DAFTAR PUSTAKA

1. Aloysius Gunadi Brata, 2003, Distribusi Spasial UKM di Masa Krisis

Ekonomi, Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel - Th. II - No. 8 - Nopember 2003.

2. Asshiddiqie Jimly, 2000, Otonomi Daerah dan Peluang Investasi, Makalah dalam ‘Government Conference’ tentang “Peluang Investasi dan Otonomi Daerah” , Jakarta.

3. Berry, A., E. Rodriquez, dan H. Sandeem, 2001, Small and Medium

Enterprises Dynamics in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies

37.

4. Haeruman, H., 2000, Peningkatan Daya Saing Industri Kecil untuk Mendukung

Program PEL, Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing, Graha Sucofindo,

Jakarta.

5. Hubeis, M., 1997, Manajemen Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi

Melalui Pemberdayaan Manajemen Industri, Orasi Ilmiah, IPB.

6. Kuncoro, M., 2000, Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil di Indonesia, Makalah pada Seminar “A Quest for Industrial District’, STIE Kerja Sama, Yogyakarta. 7. Kuncoro, M., 2002a, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan

Kluster Industri Indonesia, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.

8. Kuncoro, M dan Anggito Abimanyu (1995), Struktur dan Kinerja Industri

Indonesia dalam Era Deregulasi dan Debirokratisasi, Kelola (Gadjah Mada

(45)

9. Kuncoro, M dan PT Asana Wirasta Setia (1997), Pengembangan Pola Pembinan Usaha Kecil dan Masyarakat di Sekitar Obyek dan Kawasan

Pariwisata, PT Asana Wirasta Setia dan Deparpostel, Yogyakarta.

10.Lubis, S.B.Hari., 1986, Manajemen Usaha Kecil, Diktat Kuliah : Program Magister Teknik dan Manajemen Industri, ITB.

11.Muhandri, T., 2002, Karakteristik Produk Pangan yang Sesuai untuk Industri

Kecil, Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri, ITB.

12.Mu’minah, I., 2001, Mempelajari Tarikan Pasar di Pangandaran, Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri, ITB.

13.Pardede, F.R., 2000, Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Kecil di

Indonesia, Tesis Magister Program Studi Teknik dan Manajemen Industri,

ITB.

14.Sulekale Daniel Dalle, 2003, Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi

Daerah , Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th II-No.2-April 2000.

15.Tjahja Muhandri , 2002, Strategi Penciptaan Wirausaha (Pengusaha) Kecil

Menengah Yang Tangguh, Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana /

Gambar

Tabel 1. Jumlah tenaga kerja dan kontribusi UKM pada PDB, 1999

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Guna mendukung kegiatan pembinaan, pengembangan dan pengendalian usaha usaha pariwisata dapat lebih terarah sejalan dengan RPJP Daerah dan RPJM Daerah Kabupaten

Pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah upaya yang dilakukan dalam bentuk pertumbuhan iklim usaha, pembinaan, dan pengembangan usaha, sehingga

Menurut Dinas Peternakan Bogor (2000), kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah

Pembinaan kemintraan usaha mikro kecil dan menengah Jumlah peserta temu usaha bagi UMKM 40 orang 32.015.000 Kasi Pengembangan Usaha Industri. Pengembangan sarana promosi hasil

bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah diperlukan peranan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pembinaan dan Pengembangan Koperasi, Usaha Mikro dan Usaha Kecil

Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha

Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan