• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI BIOETANOL DARI BEBERAPA JENIS KAYU TROPIS MELALUI PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SECARA SIMULTAN M. DAUD"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

FERMENTASI SECARA SIMULTAN

M. DAUD

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

M. Daud

(3)

M. DAUD.Bioethanol Production from Several Tropical Wood Species using Simultaneous Saccharification and Fermentation Processes. Under Direction of WASRIN SYAFII and KHASWAR SYAMSU.

This study aims to determine the best method to produce bioethanol from several wood species using simultaneous saccharification and fermentation (SSF) processes. Four different tropical wood species namely sengon (Paraserianthes

falcataria (L) Nielsen.), gmelina (Gmelina arborea Roxb), pine (Pinus merkusii

Jung. et de Vr.) and oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) were milled to determine their chemical properties before treatments. The first study was conducted to determine the best pretreatment to produce the highest pulp yield and low kappa number and lignin content. The treatments were conducted under three kinds of alkalinity (active alkali) namely 16, 18and 20% and also two kinds of sulfidity namely 20 and 25% using kraft process. The second study was conducted to determine the best method to hydrolyse (saccharification) and fermentation on SSF processes. SSF runs were performed in 500 mLErlenmeyers using a total slurry 200 mL. The substrate and nutrient media were autoclaved (121 oC and 20 minutes). The samples from the best pretreatment method diluted to 2.5% (w/v) of total slurry was used as substrate. The enzyme preparation used commercial cellulase enzyme. The amount of cellulase added were 4 and 8% (w/w) dry mass of samples. In the other hand, the substrate was added with Aspegillus niger. All SSF processes were inoculated with 10% (v/v) yeast Saccharomyces cereviciae. The SSF experiments were run for 96 hours. The results showed that the species of tropical wood affected the chemical properties of samples significantly. The best pretreatment (alkalinity and sulfidity) for sengon, gmelina, pine and oil palm were 18% and 25%, 20% and 25%, 18% and 25%, as well as 16% and 20%, respectively. Total of sugar and reducing sugar tended to decrease with time of cultivation whereas ethanol concentration increase significantly. The growth of

Saccharomyces cereviciaeand Aspergillus nigertended to increase at initial

cultivation and decrease by the end of cultivation.The best method to hydrolyse (saccharification) and fermentation on SSF processes for all tropical wood species were using cellulase 8% of dry mass and 10% (v/v) of Saccharomyces cereviciae which produced the highest bioethanol concentration on gmelina,sengon, pine and oil palm were 0.98; 0.79; 0.57 and 0.51%, respectively with the yields of 10.02,5.39, 7.65, and 3.28% and also productivity 3045.08, 1796.67, 1530.88, and 794.04L/ha per year respectively.

Key words: bioethanol, simultaneous saccharification and fermentation, tropical wood species, cellulase, Saccharomyces cereviciae

(4)

M. DAUD. Produksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan.Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan KHASWAR SYAMSU.

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstraktif, delignifikasi, dan proses hidrolisisnya yang lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Meskipun pada dasarnya harga bahan baku berlignoselulosa pada dasarnya secara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih menemui kendala seperti rendemen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol. Oleh karena itu, untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi.

Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat kimia bahan baku dari beberapa jenis bahan baku dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, menentukan metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis dan fermentasi yang tepat dalam meningkatkan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang diperoleh melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (SSF) dan menganalisis hubungan antara karakteristik bahan baku dan metode dengan pertumbuhan mikroba, gula pereduksi, total gula, kadar dan rendemen etanol selama kultivasi serta menganalisis produktivitas bioetanol beberapa jenis kayu tropis.

Dua jenis kayu tropis cepat tumbuh yang termasuk golongan kayu daun lebar yaitu kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen.), dan gmelina (Gmelina arborea Roxb.), satu jenis kayu daun jarum yaitu pinus (Pinus merkusii Jung. et de Vr.) serta satu jenis tumbuhan monokotil yaitu kelapa sawit (Elaeis

guineensis Jacq.),dianalisis komponen kimianya yang meliputi kelarutan dalam air

dingin dan air panas (TAPPI T 207 0m-93), kelarutan dalam natrium hidroksida 1% (TAPPI T 212 93), kelarutan dalam alkohol benzena (TAPPI T 264 om-88). Selain itu, dilakukan juga penentuan kadar lignin yang didasarkan pada metode lignin klason, kadar holoselulosa, kadar selulosa, dan kadar hemiselulosa. Setelah itu, dilakukanperlakuan pendahuluan (delignifikasi) menggunakan proses kraft dengan menggunakan 3 taraf alkalinitas (16, 18 dan 20%) serta 2 taraf sulfiditas (20% dan 25%). Kemudian dilakukan pengujian terhadap rendemen dan bilangan kappa untuk menentukan perlakuan pendahuluan terbaik untuk bahan baku proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan. Perlakuan pendahuluan terbaik didasarkan pada rendemen pulp tertinggi dan bilangan kappa terendah.

Setelah diperoleh metode perlakuan pendahuluan yang tepat pada masing-masing jenis bahan baku maka dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dengan menggunakan berbagai metode sakarifikasi enzim selulase pada konsentrasi berbeda yaitu (4 dan 8% bobot kering sampel). Selain itu,

(5)

simultan (SSF).SSF dilakukan selama96 jam pada suhu konstan 37 oC untuk sakarifikasi dengan enzim selulase (4 dan 8%) sedangkan sakarifikasi dengan kapang A. niger dilakukan pada suhu 30 oC. Pada akhir fermentasi dihitung kadar

etanol, gula pereduksi, total gula dan jumlah kapang A. niger dan khamir

S. sereviciae.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komponen kimia (kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1%, etanol-benzena, serta kadar lignin, selulosa, holoselulosa dan hemiselulosa) di antara bahan baku. Rendemen pulp sangat dipengaruhi oleh bahan baku, alkalinitas dan sulfiditas serta interaksinya sedangkan bilangan kappa cenderung hanya dipengaruhi oleh bahan bakunya. Mengacu pada rendemen dan bilangan kappa, perlakuan pendahuluan yang optimal untuk produksi bioetanol diperoleh pada proses kraft adalah masing-masing alkalinitas 18% dan sulfiditas 25% pada kayu pinus dan sengon, alkalinitas 20% dan sulfiditas 25% pada kayu gmelina sedangkan pada kelapa sawit alkalinitas 16% dan sulfiditas 20%. Kadar gula total dan gula pereduksi cenderung mengalami penurunan selama kultivasi sedangkan kadar etanol mengalami peningkatan. Pertumbuhan Saccharomyces cereviciae dan

Aspergillus niger cenderung mengalami peningkatan pada awal kultivasi

kemudian mengalami penurunan pada akhir kultivasi. Metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan yang tepat untuk memproduksi bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang optimal adalah dengan menggunakan enzim selulase 8% (w/w) bobot kering dengan penambahan 10% (v/v) Saccharomyces cereviciae yang menghasilkan kadar etanol masing-masing pada kayu gmelina, sengon, pinus, dan kelapa sawit berturut-turut sebesar 0.98, 0.79, 0.57 dan 0.51% (v/v) dengan rendemen masing-masing sebesar 10.02, 5.39,7.65, dan 3.20% (v/v) dan produktivitas berturut-turut sebesar3045.08, 1796.67,1530.88 dan 794.04L/ha per tahun.Kayu gmelina dan sengon sangat prospektif dikembangkan sebagai penghasil bioetanol dan dapat dikembangkan sebagai hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia.

Kata Kunci: bioetanol, sakarifikasi dan fermentasi secara simultan, kayu tropis, selulase, Saccharomyces cereviciae

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

FERMENTASI SECARA SIMULTAN

M. DAUD

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

(8)
(9)

Nama : M. Daud

NRP : E251080011

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Ketua

Prof. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. St., PhD. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu dan TeknologiHasil Hutan

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilakukan untuk menguraikanProduksi Bioetanol dari Beberapa Jenis Kayu Tropis Melalui Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009-Mei 2010, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Rekayasa Bioproses, Laboratorium BIORIN dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan,Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB dan Laboratorium Afiliasi Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia serta Laboratorium Instrumen dan Proksimat Terpadu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara serta seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan kasih sayangnya serta dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. dan Prof. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc. St., PhDselaku pembimbing, Prof. Ir. Suminar S. Achmadi, PhD selaku penguji luar komisi, Ir. Deded Sarip Nawawi, MSc. selaku moderator ujian tesis, dan Dr. Ir. Wayan Darmawan, M. Sc. selaku ketua Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan serta dosen-dosen Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan atas segala ilmunya selama penulis menempuh pendidikan S-2. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada laboran Laboratorium Kimia Hasil Hutan terutama kepada Pak Supriatin, Gunawan dan rekan-rekan mahasiswa bagian kimia hasil hutan serta adik-adik mahasiswa S-1 yang tidak bisa penulis ucapkan satu per satu. Terima kasih juga buat laboran Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB terutama kepada Ibu Emi, Ibu Peppi, Ibu Nia, Pak Asep, serta rekan-rekan seperjuangan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Sherly Marelisa, STP, Prima Widya Pratiwi, STP., Nurhidayah Didu, SPt, MSi. dan Supatmawati, STP, MSi., terima kasih juga kepada laboran Laboratorium Mikrobiologi Pangan terutama kepada Ibu Ari, serta laboran Laboratorium Afiliasi, Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia terutama Pak Ijul dan Pak Fuji atas segala bantuannya selama penelitian.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan terutama kepada Agussalim, S. Hut., Ratih Damayanti, S. Hut., M. Si.dan Malik El Baker, BSc, M.Si, terima kasih juga buat Sri Utami, SP, MSi. serta rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Ucapan terima kasih juga kepada bapak Suhasman, S. Hut., M.Si dan Ibu Andi Detti Yunianti, S. Hut., MP sebagai rekan sekaligus sebagai orang tua penulis selama penulis menempuh pendidikan S-2 di IPB. Ucapan terima kasih juga buat para dosen Fakultas Kehutanan, Universitas

Hasanuddin atas segala dukungannya selama ini terutama kepada Prof. Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc. Ucapan terima kasih buat Saputra S. Hut dan

seluruh saudara angkatku dan rekan-rekan alumni dan adik-adikku mahasiwa Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin dan IPB buat seluruh dukungannya. Ucapan terima kasih juga buat Auliyaa Tsanina Sari, S. Sos. atas segala doa dan motivasinya selama ini. Ucapan terima kasih pula buat Ade Darmansyah, Eldi Arasi, Adly Firma, Frensy Firma, Iwan Wahyu Kaswanto, I Made Sanjaya, Alfa

(11)

selama penulis menempuh kuliah S-2.Terima kasih juga buatserta rekan-rekan Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia dan forum Pascasarjana Sulawesi Selatan, buat anak-anak ikatan keluarga mahasiswa Sulawesi Selatan, rimbawan pecinta alam (RIMPALA) IPB, Tree Climber Organization, Lembaga Studi Ular Indonesia SIOUX, rekan-rekan di Jejak Petualang Indonesia, Walhi dan WWF atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu.

Penelitian ini tidak hanya berhenti sampai di sini, tapi akan terus berkembang seiring dengan semangat kita untuk memberikan yang terbaik bagi hutan dan industri perkayuan serta perkembangan bioenergi di Indonesia demi meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan di Indonesia. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2010 M. Daud

(12)

Penulis dilahirkan di Bisang, Enrekang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 November 1985 dari Ayah Hamasaah dan Ibu Marina. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMUN I Enrekang dengan predikat lulusan terbaik dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur pemantauan bakat dan prestasi (JPBP)Universitas Hasanuddin, dan memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun 2007. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif pada berbagai organisasi diantaranya pengurus Jamaah Mushollah Ulil Albab (JMUA), pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pengurus Biro Khusus Belantara Kreatif (BKBK), dan Wakil Ketua Sylva Indonesia (p.c) UNHAS, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrengpulu (HPMM), anggota Pioneer English Meeting Club (PEMC) Fort Rotterdam, dan pengurus Al Markaz for Khudi Enlightening Studies (MAKES), Makassar, Sulawesi Selatan serta berbagai organisasi dan perkumpulan non profit lainnya. Berbagai prestasi yang pernah diperoleh diantaranya sebagai Penerima Beasiswa Tanabe Foundation dan Maruki Foundation, Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin tahun 2007 serta Wisudawan Terbaik Universitas Hasanuddin tahun 2007.

Penulis menjadi assisten dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2010. Selama menempuh pendidikan S-2 penulis pernah mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi Sekolah Pascasarjana IPB (Prestasi Akademik Gemilang). Aktif di berbagai organisasi di antaranya anggota Forum Wacana Sulsel Sekolah Pascasarjana IPB, anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (Indonesian Wood

Research Society), anggota Forum Teknologi Hasil Hutan, anggota Lembaga

Studi Ular Indonesia SIOUX. Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan menulis pada berbagai seminar nasional maupun internasional.

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI………xi DAFTAR TABEL………...xiii DAFTAR GAMBAR………...………..xiv DAFTAR LAMPIRAN ..………..……… xv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 2 Tujuan Penelitian ... 3 Hipotesis ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Komponen Kimia Kayu ... 4

Selulosa ... 4

Hemiselulosa ... 6

Lignin ... 9

Zat Ekstraktif ... 13

Pemanfaatan Bioetanol sebagai Energi Baru dan Terbarukan ... 14

Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa ... 15

Proses Produksi Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa ... 17

Perlakuan Pendahuluan ... 17

Hidrolisis ... 20

Fermentasi ... 20

Destilasi ... 21

Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan ... 21

Kapang Aspergillus niger ... 22

Khamir Saccharomyces cerveiciae ... 23

Gambaran Jenis Bahan Baku Produksi Bioetanol ... 25

Kayu Pinus (Pinus merkusii Jung et. de Vr.) ... 25

Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) ... 26

Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)... 27

Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ... 28

BAHAN DAN METODE ... 30

Tempat dan Waktu ... 30

Bahan dan Alat ... 30

Metode Penelitian ... 31

Analisis Komponen Kimia Bahan Baku ... 31

Persiapan Bahan Baku ... 36

Penelitian Tahap I (Proses Perlakuan Pendahuluan) ... 38

Penelitian Tahap II (Proses Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan) ... 39

Metode Analisis Selama Kultivasi ... 40

Analisis Data ... 43

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

Sifat Kimia Bahan Baku ... 46

Komponen Non Struktural ... 46

Komponen Struktural ... 47

Rendemen Pulp ... 53

Bilangan Kappa ... 56

Kadar Total Gula ... 60

Kadar Gula Pereduksi dan Kadar Etanol ... 64

Pertumbuhan Mikroba selama Proses SSF ... 69

Rendemen Etanol ... 72

KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

Kesimpulan ... 76

Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil Kelarutan Zat Ekstraktif Bahan Baku ... 46

2 Hasil Analisis Komponen Kimia Primer Bahan Baku ... 48

3 Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku ... 51

4 Perbedaan Rendemen pada Berbagai Bahan Baku ... 55

5 Bilangan Kappa Rata-Rata pada Berbagai Jenis Bahan Baku ... 57

6 Sifat Kimia Pulp Terpilih untuk Proses SSF. ... 60

7 Rendemen Etanol pada Beberapa Jenis Bahan Baku ... 73

8 Produktivitas Beberapa Tanaman Penghasil Bioetanol. ... 75 xii

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur Dasar Selulosa. ... 5

2 Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa. ... 6

3 O-Asetil Galaktoglukomanan dari Kayu Daun Jarum ... 7

4 O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar ... 8

5 Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin. ... 10

6 Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech . ... 10

7 Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum Spruce ... 11

8 Diagram Alir Penelitian ... 42

9 Derajat Kristalinitas Selulosa Berbagai Bahan Baku ... 52

10 Rendemen Hasil Delignifikasi Bahan Baku ... 53

11 Pengaruh Alkalinitas terhadap Rendemen ... 55

12 Bilangan Kappa Bahan Baku ... 57

13 Kadar Lignin Bahan Baku pada Berbagai Perlakuan Alkalinitas dan Sulfiditas 58 14 Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 4% ... 60

15 Total Gula pada SSF dengan Enzim Selulase 8% ... 61

16 Total Gula pada SSF dengan Apergillus niger ... 61

17 Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan Selulase 4% ... 65

18 Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan Selulase 8% ... 65

19 Gula Pereduksi dan Kadar Etanol pada SSF dengan A. niger... 66

20 Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF dengan Enzim Selulase 4% ... 70

21 Pertumbuhan Khamir S. cereviciae pada SSF dengan Enzim Selulase 8% ... 70

22 Pertumbuhan Khamir S.cereviciae pada SSF dengan A. niger dan S.cerevisiae 71 23 Pertumbuhan Aspergillus niger pada SSF dengan A.niger ... 71 xiii

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data Kadar Air Serbuk Bahan Baku ... 87

2 Data Kelarutan Air Dingin Bahan Baku ... 87

3 Data Kelarutan Air Panas Bahan Baku ... 87

4 Data Kelarutan NaOH 1% Bahan Baku ... 88

5 Data Kelarutan Etanol Benzena Bahan Baku... 88

6 Data Kadar Lignin Bahan Baku ... 88

7 Data Kadar Selulosa Bahan Baku ... 89

8 Data Kadar Holoselulosa Bahan Baku ... 89

9 Data Kadar Hemiselulosa Bahan Baku ... 89

10 Data Pengukuran Rendemen Bahan Baku ... 90

11 Data Pengukuran Bilangan Kappa Bahan Baku... 92

12 Data Kadar Lignin Pulp Hasil Delignifikasi ... 94

13 Data Kadar Selulosa Pulp Hasil Delignifikasi ... 94

14 Data Kadar Holoselulosa Pulp Hasil Delignifikasi ... 94

15 Data Kadar Hemiselulosa Pulp Hasil Delignifikasi ... 95

16 Kurva Standar Total gula ... 95

17 Data Mentah Total gula ... 96

18 Kurva Standar Gula Pereduksi ... 100

19 Data Mentah Gula Pereduksi ... 101

20 Pertumbuhan Khamir Saccharomyces cereviciae ... 105

21 Pertumbuhan Aspergillus niger ... 109

22 Kurva Standar Kadar Etanol ... 111

23 Kadar Etanol pada Berbagai Metode SSF ... 112

24 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan Air Dingin. ... 116

25 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan Air Panas. ... 117

26 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kelarutan NaOH 1% ... 118

27 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Selulosa ... 119

28 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Holoselulosa. ... 120 xiv

(18)

29 Analisis Ragam Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Lignin. ... 121

30 Analisis Ragam Rendemen Pulp. ... 122

31 Analisis Ragam Bilangan Kappa Pulp. ... 126

32 Analisis Ragam Kadar Selulosa Pulp. ... 129

33 Contoh Perhitungan Produktivitas Etanol Bahan Baku. ... 131 xv

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan energi dunia akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan bahan energi terutama bahan bakar fosil tersebut telah menyebabkan penurunan cadangan minyak dunia sehingga bahan bakar fosil ini menjadi semakin langka dan harganya pun meningkat secara signifikan. Di sisi lain, perkembangan industri berbahan bakar fosil telah menyebabkan dampak lingkungan dan pemanasan global. Salah satu cara mengurangi krisis energi dan dampak yang diakibatkan oleh penggunaan energi berbahan baku fosil adalah pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati (BBN). Selain dapat diperbaharui, BBN ini juga dapat mengurangi emisi akibat pembuangan gas-gas rumah kaca sehingga dapat mengurangi dampak pemanasan global (Smith et al. 2003, Samejima 2008).

BBN merupakan salah satu sumber energi yang mudah diperoleh di Indonesia. Banyak jenis sumber energi alternatif yang dapat diolah menjadi BBN seperti jarak pagar, kelapa sawit (biodiesel), tebu, ubi kayu dan aren (bioetanol). Selama ini, produksi bioetanol diarahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu, ubi kayu dan jagung. Padahal bahan-bahan tersebut pada dasarnya merupakan sumber pangan yang cukup potensial, sehingga pengembangan bioetanol dari bahan pangan tersebut ke depan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat persaingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, perlu pengembangan bioetanol dari bahan yang bukan merupakan sumber pangan masyarakat yaitu terutama bahan berlignoselulosa sehingga memungkinkan ke depan untuk pemanfaatan limbah-limbah kayu di hutan dan limbah-limbah industri untuk bioenergi serta pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia.

Beberapa bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol di Indonesia adalah tumbuhan berkayu. Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol telah mulai diteliti dan dikembangkan (Ingram 1997, Boussaid et al. 1999, Spagnuolo

(20)

et al. 1999, Smith et al. 2003, Samejima 2008). Bahan berlignoselulosa yang

telah diteliti sebagai penghasil bioetanol adalah bagas (Martinez et al. 2000), jerami (Neureiter et al. 2002) dan kayu (Ingram et al. 1997, Spagnuolo et al. 1999, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1998, Stenberg et al. 1999, Stenberg et

al. 2000).

Harga bahan baku berlignoselulosa pada dasarnya secara ekonomis lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih menemui kendala seperti rendemen bioetanol yang masih rendah dan memerlukan biaya produksi yang tinggi yang terutama diakibatkan oleh rendahnya kerja enzim pada substrat akibat sifat kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat (inhibitors) yang dapat mengurangi fermentabilitas selulosa dan hemiselulosa menjadi etanol (Stenberg et al. 1998, Stenberg et al. 1999). Oleh karena itu, untuk memproduksi bioetanol dari kayu maka diperlukan optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses perlakuan pendahuluan (pretreatment), hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi. Salah satu metode yang dapat meningkatkan produktivitas bioetanol adalah dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi secara simultan atau

simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Rumusan Masalah

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit, yaitu memerlukan proses pendahuluan akibat keberadaan lignin, zat ekstraktif, kristalinitas selulosa dan kehadiran zat penghambat sebagai hasil samping selama proses hidrolisis dan fermentasi. Meskipun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak produktif, namun biaya produksinya masih relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati. Oleh karena itu, tantangan teknologi dalam biokonversi bahan berlignoselulosa tersebut menjadi bioetanol saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses perlakuan pendahuluan, hidrolisis (sakarifikasi) dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol.

(21)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat kimia bahan baku dari beberapa jenis bahan baku dalam hubungannya dengan produksi bioetanol, menentukan metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis dan fermentasi yang tepat dalam meningkatkan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis yang diperoleh melalui proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan, menganalisis hubungan antara karakteristik bahan baku dan metode dengan pertumbuhan mikroba, gula pereduksi, total gula, kadar dan rendemen etanol selama kultivasi serta menganalisis produktivitas bioetanol beberapa jenis kayu tropis.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan komponen kimia (kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin, air panas, NaOH 1%, etanol-benzena, kadar lignin, selulosa, holoselulosa dan hemiselulosa) di antara bahan baku.

2. Bahan baku, alkalinitas dan sulfiditas serta interaksinya berpengaruh terhadap rendemen hasil delignifikasi (pulp) dan bilangan kappa.

3. Metode SSF memberikan pengaruh terhadap kadar dan rendemen bioetanol dari beberapa jenis kayu tropis.

4. Pertumbuhan mikroba, kadar gula pereduksi, dan kadar total gula dipengaruhi oleh bahan baku, metode SSF dan lama kultivasi.

5. Produktivitas bioetanol dipengaruhi oleh jenis bahan baku kayu tropis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi terhadap pemanfaatan kayu dan bahan berlignoselulosa lainnya terutama limbah kehutanan dan pertanian sebagai bahan baku produksi bioetanol dan juga mendorong pengembangan diversifikasi energi dengan pemanfaatan energi alternatif yang baru dan terbarukan yang lebih ekonomis dan lebih ramah lingkungan serta mendorong pengembangan hutan tanaman industri untuk energi di Indonesia.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Komponen Kimia Kayu

Kayu disusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen (Haygreen & Bowyer 1995). Di samping itu, kayu juga mengandung senyawa anorganik yang disebut abu. Abu tersebut mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Komposisi unsur kimia penyusun kayu sangat bervariasi. Secara umum komposisi unsur kimia kayu untuk karbon sekitar 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, nitrogen 0.04-0.1%, dan abu (mineral) 0.2-0.5% (Brown et al. 1952, Haygreen & Bowyer 1993).

Jaringan kayu tersusun dari bahan polimer dalam bentuk fraksi polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin (Sjostrom 1995, Brown et al. 1952, Fengel & Wegener 1995, Eaton & Hale 1993, Haygreen & Bowyer 1993). Komponen polimer ini disebut juga komponen primer karena merupakan komponen utama penyusun dinding sel kayu. Selain komponen primer, kayu juga mengandung berbagai macam bahan organik lainnya dan bahan anorganik yang disebut zat ekstraktif yang terdapat di dalam dinding sel maupun rongga sel. Zat ekstraktif disebut juga komponen sekunder karena keberadaannya di dalam kayu bukan merupakan bagian struktural dari dinding sel. Komponen sekunder yang berupa bahan organik ini dapat diekstraks dari dalam kayu tanpa merusak struktur dinding sel kayu (Fengel & Wegener 1995).

Selulosa

Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit D-anhidro glukopyranosa yang terikat melalui ikatan glikosida β-1-O-4. Gambar 1 menunjukkan struktur dasar selulosa. Jumlah unit-unit glukosa yang menyusun selulosa atau biasa disebut derajat polimerisasi (degree of polymeritation) sekitar 8000-10000 dalam setiap kayu (Eaton & Hale 1993).

Selulosa dibentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses fotosintesis, air (H2O) yang diperoleh dari dalam tanah diangkut oleh xylem bagian luar (kayu gubal) dan karbondioksida (CO2) yang diperoleh dari udara dipadukan menjadi glukosa (C6H12O6) dan oksigen (O2) dengan bantuan sinar matahari. Selanjutnya glukosa

(23)

tersebut diangkut ke pusat-pusat pengolahan yang terletak pada pucuk cabang dan akar (meristem ujung) dan ke lapisan kambium yang menyelubungi batang utama, cabang dan akar. Kemudian dalam suatu proses kompleks, glukosa mengalami modifikasi kimia dengan dilepaskannya satu molekul air (H2O), dan terbentuklah andhidrit glukosa (C6H10O5). Dua unit anhidrid glukosa kemudian saling bersambungan ujung-ujungnya membentuk selobiosa, selanjutnya selobiosa membentuk polimer berantai panjang yang disebut selulosa yang merupakan polimer tersusun dari unit pengulangan dari selobiosa (Haygreen & Bowyer 1993).

Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 1 Struktur Dasar Selulosa

Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan penggelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat (Casey 1980). Dalam produksi bioetanol, selulosa dipertahankan supaya sedikit mungkin mengalami kerusakan selama proses pulping. Semakin tinggi kandungan selulosa suatu bahan diharapkan menghasilkan rendemen etanol yang tinggi pula (Saddler 1993).

(24)

Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tak sempurna menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobiosa. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara asam/basa (Saddler 1993).

Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa, gula heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini relatif berantai pendek dan bercabang. Derajat polimerisasinya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen monosakarida yang menyusun hemiselulosa terdiri atas glukosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa (Eaton & Hale 1993, Barnet & Jeronimidis 2003). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia komponen-komponen gula hemiselulosa.

Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama hemiselulosa kayu daun jarum dengan kayu daun lebar adalah jenis dan jumlah gula penyusun hemiselulosanya. Kayu daun jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi sedangkan kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh hemiselulosa pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglukomanan atau biasa disebut galaktoglukomanan (Gambar 3). Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah O-asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan (Gambar 4).

(25)

Sumber: Fengel & Wegener (1995)

Gambar 2 Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa

Sumber: Fengel &Wegener (1995)

(26)

Sumber: Fengel &Wegener (1995)

Gambar 4 O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar

Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri atas gugus-gugus ikatan asam uronat dan xilosa sangat tahan terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil mudah dihidrolisis oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama lignin (Sjostrom 1995).

Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan pelarut asam maupun basa menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa. Beberapa enzim yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain endo-1,4-β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-D-mannase (mannase). Enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa tersebut dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma spp. dan Aspergillus spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase adalah

(27)

Lignin

Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari unit-unit fenil propana. Meskipun terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen, lignin bukanlah suatu karbohidrat tetapi suatu senyawa fenol. Lignin yang berasal dari kayu daun jarum dan kayu daun lebar mempunyai beberapa sifat kimia yang sama yaitu mempunyai metoksil, hidroksil, dan gugus karbonil serta mempunyai inti fenil dalam rangka fenil propana (Haygreen & Bowyer 1993).

Menurut Eaton & Hale (1993), berdasarkan strukturnya dikenal tiga jenis unit dasar penyusun lignin yaitu p-kumaril alkohol, koniferil alkohol (guaiasil) dan sinapil alkohol (siringil) (Gambar 5). Dikatakan p-kumaril alkohol jika karbon nomor 3 dan 5 tidak mengikat metoksil. Tipe lignin p-kumaril alkohol umumnya ditemukan pada rumput-rumputan. Jika metoksil hanya terikat pada atom karbon nomor 3 (C3) cincin aromatik maka dikatakan guaiasil sedangkan jika karbon nomor 3 (C3) dan 5 (C5) mengikat metoksil maka disebut siringil.

Berdasarkan strukturnya, lignin terdiri atas tiga tipe yaitu lignin guaiasil, lignin guaiasil-siringil dan lignin rumput-rumputan. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu daun jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10%

p-kumaril alkohol. Lignin guaiasil-siringil terdapat pada kayu daun lebar yang

tersusun dari guaisil dan siringil dengan rasio tertentu. Lignin rumput-rumputan terdapat pada rumput-rumputan (graminae) yang tersusun dari sekitar 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% p-kumaril alkohol (Gullichsen & Paulapuro 2000). Kayu daun lebar mempunyai metoksil yang lebih banyak dibandingkan kayu daun jarum (Eaton & Hale 1993). Struktur lignin penyusun kayu lebar dan kayu daun jarum ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7.

(28)

Sumber: Eaton & Hale (1993)

Gambar 5 Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin

Sumber: Eaton & Hale (1993)

Gambar 6 Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech

(29)

Sumber: Eaton & Hale (1993)

(30)

Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel (Haygreen & Bowyer 1995, Siau 1984). Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Di dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan air kayu dan juga memberikan proteksi kayu terhadap organisme perusak kayu. Dalam bidang industri, lignin banyak digunakan sebagai bahan pengikat, dispersan pada industri minyak bumi, bahan penyamak, pengisi bahan dari karet, bahan untuk memperbaiki tekstur tanah, karbon aktif, dan vanilin sintesis (Brown et al. 1952, Bruce & Palfreyman 1998).

Dalam proses pulping, lignin berpengaruh terhadap laju delignifikasi baik dari segi kuantitatif dan kualitatif (Syafii et al. 2009). Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak selama proses pulping akan semakin tinggi pula dan dibutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey 1980). Pada kayu daun lebar, perbandingan antara unit siringil dan guaiasil yang dikenal sebagai S/G rasio juga berpengaruh terhadap laju delignifikasi yang terjadi selama proses pulping. Syafii (2001) dan Syafii et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai S/G rasio maka laju delignifikasinya akan meningkat pula.

Dalam produksi bioetanol, kehadiran lignin dapat menghambat proses degradasi polisakarida menjadi gula-gula sederhana. Oleh karena itu, lignin terlebih dahulu dihilangkan dengan menggunakan perlakuan pendahuluan (Bruce & Palfreyman 1998). Semakin banyak kandungan lignin suatu jenis kayu maka semakin banyak bahan kimia yang digunakan untuk melarutkan lignin pada proses pulping (Biermann 1993).

(31)

Zat Ekstraktif

Secara umum zat ekstraktif adalah bahan yang berinfiltrasi ke dalam dinding sel atau terdapat sebagai endapan pada permukaan rongga sel atau bahan yang mengisi rongga sel yang dapat dikeluarkan/diekstraks tanpa merusak dinding sel, baik dengan pelarut polar maupun pelarut non polar. Dalam arti yang sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik, dan dalam pengertian ini nama ekstraktif digunakan dalam analisis kayu. Senyawa-senyawa karbohidrat dan anorganik yang larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraks (Conner 1977).

Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi mulai kurang dari 1% hingga lebih dari 10% dan dapat mencapai 20% untuk kayu-kayu tropis. Komponen zat ekstraktif dalam kayu dapat menjadi lebih tinggi pada bagian tertentu, misalnya pada bagian pangkal batang, kayu teras, akar dan bagian luka. Jumlah ekstraktif yang relatif tinggi diperoleh dalam kayu tropis dan subtropis tertentu (Zinkel 1978).

Menurut Kimland & Norin (1972), kandungan dan komponen zat ekstraktif berbeda-beda di antara spesies kayu. Variasi ini juga bergantung pada letak geografi dan musim. Zat Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari, jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamella tengah, saluran interseluler dan dinding sel trakeid dan serabut libriform. Zat ekstraktif tidak tersebar merata dalam batang maupun pada dinding serat. Lemak dan esternya terdapat dalam sel parenkim terutama di dalam sel jari-jari. Bagian-bagian yang larut dalam air seperti gula terdapat pada kayu gubal dari batang. Resin banyak terdapat pada pembulu kayu teras. Tanin banyak terdapat dalam kulit kayu. Bahan-bahan mineral terdapat dalam dinding sel kayu.

Keberadaan zat ekstraktif kayu menyebabkan beberapa permasalahan dalam proses pulping seperti dapat meningkatkan komsumsi bahan kimia pemasak dan mengurangi rendemen pulp (Biermann 1993). Selain itu, zat ekstraktif juga dapat menghambat proses hidrolisis selulosa dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol (Saddler 1993).

(32)

Pemanfaatan Bioetanol sebagai Energi Baru dan Terbarukan

Etanol (etil alkohol) adalah zat kimia organik berbentuk cair pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi yang memiliki rumus molekul C2H5OH dengan berat molekul 46.07. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molase), berpati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau bahan berlignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, dan kayu).

Dalam industri, etanol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras serta farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, alkohol terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas industri dengan kadar alkohol 90-94%, kelas netral dengan kadar alkohol 96-99.5% (umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), kelas bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99.5% (Hambali et al. 2007).

Bioetanol sangat berpotensi sebagai bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar fosil. Pemanfaatan bioetanol ini telah terbukti lebih ramah lingkungan. Hasil pembakaran bioetanol ini menghasilkan limbah yang bersih, bilangan oktan yang lebih tinggi, mengurangi emisi gas karbon monoksida dan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar diharapkan dapat mengurangi emisi karbon dioksida yang berpotensi menyebabkan pemanasan global (Smith et al. 2003, Samejima 2008).

Bahan bakar yang dicampur dengan etanol disebut dengan gasohol. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) dan alcohol (bioetanol). Gasohol merupakan campuran bioetanol kering/absolut terdenaturasi dan bensin pada kadar alkohol sampai dengan sekitar 22% volume. Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni (BEX: gasohol berkadar bioetanol X%-volume). Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor bensin, digunakan dalam bentuk nett 100% (B100) atau di-blending dengan premium (EXX). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan premium hanya 87 sampai 88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax (Susmiati 2010).

(33)

Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa

Bioetanol dari bahan berlignoselulosa dikenal juga dengan etanol generasi kedua, sangat intensif diteliti dalam dua dekade terakhir (Yang & Wayman 2007). Produksi bioetanol dari limbah pertanian dan kehutanan telah dicoba dengan menggunakan enzim dari berbagai sumber untuk hidrolisis lignoselulosa dan mikroorganisme yang berbeda untuk fermentasi (Ohgren et al. 2006).

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil bioetanol masih terkendala pada proses pengolahan yang lebih rumit yaitu memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstrakti dan lignin serta proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Meskipun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan tidak produktif, namun biaya produksinya yang relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bergula dan berpati menyebabkan produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa belum dikembangkan secara luas (Bruce & Palfreyman 1998, Miyafuji et al. 2003).

Tantangan utama pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol adalah penemuan metode yang efisien dalam biokonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula. Hasil penelitian (Nakasaki & Adachi 2003) telah menunjukkan bahwa proses konversi secara enzimatis lebih efektif dibandingkan konversi secara kimia. Metode biokonversi yang telah terbukti paling efisien adalah metode yang menggunakan enzim selulase (Nakasaki & Adachi 2003, Yang & Wyman 2005, Dadi et al. 2006). Tantangan lain teknologi dalam biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses hidrolisis dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol, meskipun rendemen glukosa dari hasil hidrolisis saat telah berhasil ditingkatkan sampai mencapai 70% (Kristensen et al. 2006) dan rendemen total etanol dari bahan berlignoselulosa telah mencapai 21% (Mtui& Nakamura 2005).

(34)

Rendahnya rendemen bioetanol dari bahan berlignoselulosa ini disebabkan oleh adanya zat penghambat sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti asam asetat, furan aldehid, vanilin, dan fenol yang dapat menghambat kerja mikroba fermentasi (Martinez et al. 2000, Sun & Cheng 2002, Dadi et al. 2006). Selain itu, adanya interaksi antara enzim dan substrat sangat mempengaruhi proses kerja enzim dalam proses hidrolisis dan fermentasi ini sehingga penemuan metode perlakuan pendahuluan dan teknologi enzim menjadi sangat penting pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol yang lebih efisien dan ekonomis (Mosier et al. 2005).

Beberapa metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode ini dikenal dengan nama simultaneous saccharification and fermentation (SSF). Metode SSF telah berhasil diterapkan pada proses produksi bioetanol dari kayu (Stenberg et al. 1999, Pan et al. 2006, Balat et al. 2008, Modig et al. 2008, Kristensen et al. 2008, Sukumaran et al. 2009). Metode SSF ini lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan metode separate hydrolysis and fermentation (SHF) (Stenberg et al. 1999). Penggunaan SSF juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan metode SHF (Chandel et al. 2007). Pada kondisi substrat dan enzim selulase yang sama metode SHF menghasilkan derajat konversi glukosa menjadi etanol sekitar 40% sedangkan SSF dapat mencapai 60%.

Produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa dengan metode SSF sangat bergantung pada metode perlakuan pendahuluan, hidrolisis serta kondisi media fermentasi yang digunakan. Beberapa penelitian yang telah terbukti dapat meningkatkan rendemen dengan optimalisasi proses perlakuan pendahuluan antara lain dengan pemanasan. Hasil penelitian Ballesteros et al. (1998) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dengan pemanasan dapat meningkatkan rendemen glukosa dari 20% sampai mencapai sekitar 70%. Selain itu, perlakuan pendahuluan lain yang juga efektif adalah pemberian pemanasan dan bahan kimia seperti SO2 (Stenberg et al. 1999), H2SO4, HNO3, HCl (Li et al. 2007), NaOH (Wang et al. 2008), pemanasan dengan Ca(OH)2 (Martinez et al.

(35)

2000, Nilvebrant et al. 2007) dan H2O2 (Thomsen et al. 2006) serta dengan penambahan aditif pada saat hidrolisisi seperti bovine serum albumin (BSA) (Yang & Wyman 2005), 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride (Dadi et al. 2006). Beberapa peneliti juga mencoba mengoptimalkan proses hidrolisisnya yaitu dengan merekayasa kondisi substrat dan konsentrasi selulase (Stenberg et al. 1999, Dadi et al. 2005), pengaturan suhu dan pH media (Olofsson et al. 2008) dan penambahan β-glukosidase (Yang et al. 2006), pemberian enzim xilanase dan feruloil esterase (Tabka et al. 2006) serta penggunaan mikroba yang telah terbukti lebih efektif dalam proses fermentasi glukosa dari bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol.

Beberapa mikroba yang telah banyak dikembangkan dalam proses fermentasi bioetanol menjadi antara lain S. cereviciae (Stenberg et al. 1999, Domingues et al. 1999, Boussaid et al. 1998, Jeppsson et al. 2005, Edgardo et al. 2008, Modig et al. 2008), Zimomonas mobilis (Ingram et al. 1997), Escherichia

coli (Zaldivar & Ingram 1999, Martinez et al. 2000), Corynebacterium glutamicum (Sakai et al. 2007), serta penggunaan strain mikroba hasil rekayasa

bioteknologi seperti Kluyveromyces marxianus CECT 10875 (Ballesteros et al. 2003), Escherichia coli KO11 (Okuda et al. 2007) serta merekayasa tanaman penghasil bioetanol (Ayako et al. 2008).

Proses Produksi Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa

Perlakuan Pendahuluan

Perlakuan pendahuluan sangat diperlukan dalam proses pembuatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa. Perlakuan pendahuluan ini berfungsi untuk menghilangkan lignin, mereduksi sifat kristalinitas selulosa, meningkatkan permukaan kontak enzim, memudahkan hidrolisis selulosa pada proses selanjutnya serta menghilangkan zat ekstraktif yang dapat menghambat kerja enzim dan mikroba (Ingram et al. 1997, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1999). Hasil penelitian Hamelinck et al. (2005) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh menjadi sekitar 90% dari hasil teoritis, sedangkan tanpa perlakuan pendahuluan hasil gula yang diperoleh hanya kurang dari 20%.

(36)

Perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan metode fisis misalnya dengan pemanasan (Stenberg et al. 1999), metode kimia misalnya dengan SO2 pada konsentrasi rendah(Stenberg et al. 1999), pemberian Ca(OH)2 (Martinez et

al. 2000), atau penambahan 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride (Dadi et al.

2006) dan metode biologi atau kombinasi dari ketiga metode ini.

Beberapa metode perlakuan pendahuluan yang sering digunakan secara komersial pada proses pembuatan bioetanol dari bahan berlignoselulosa antara lain: organosolv, steam explotion, dilute acid prehydrolisis dan ammonia fibre

explotion (AFEX) (Ingram et al. 1997, Boussaid et al. 1999, Stenberg et al. 1999,

Pan et al. 2006).

Salah satu metode perlakuan pendahuluan secara kimia adalah fraksinasi. Fraksinasi substrat biasanya menggunakan larutan asam seperti asam sulfat maupun larutan basa seperti natrium hidroksida (Stenberg et al. 1999). Proses utama dalam fraksinasi adalah proses delignifikasi atau lebih dikenal dengan proses pulping. Ada beberapa metode pulping secara kimia yang sering dilakukan yaitu proses kraft (proses sulfat), proses soda dan proses sulfit. Dalam teknologi pulping, proses kraft merupakan metode yang umum digunakan. Proses kraft ini akan menghasilkan pulp yang lebih kuat (kraft dalam bahasa jerman). Proses kraft ini mampu menggunakan lebih banyak jenis kayu (Suratmadji 1994).

Menurut Casey (1980), penggunaan proses kraft mampu mengolah semua jenis bahan baku, bersifat toleran terhadap kayu yang masih mengandung kulit, waktu pemasakan yang lebih pendek, adanya daur ulang sisa pemasakan sehingga biaya lebih murah, menghasilkan kualitas pulp yang sangat prima, serta rendemennya yang tinggi.

Larutan utama dalam proses kraft adalah natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Natrium hidroksida merupakan bahan kimia pemasak utama yang berfungsi untuk mempercepat kelarutan lignin, sedangkan natrium sulfida merupakan komponen aktif tambahan yang berfungsi untuk menggantikan bahan alkali yang hilang selama proses pemasakan sehingga konsentrasi larutan pemasak alkali tetap stabil (Fengel and Wegener 1995).

(37)

Dalam teknologi pulping kraft, adanya penambahan Na2S dapat menyebabkan pembentukan NaSH yang dapat bereaksi dengan lignin, sehingga kelarutan lignin lebih besar. Penambahan Na2S juga memberikan keuntungan karena bahan kimia ini tidak bersifat aktif terhadap selulosa dan hemiselulosa. Hal ini menyebabkan delignifikasi menjadi lebih singkat, dan suhu maksimum dapat diturunkan serta memungkinkan untuk memasak semua jenis kayu.

Penambahan Na2S pada proses kraft menyebabkan perubahan sebagian gugus-gugus ujung aldehida menjadi gugus karboksil yang lebih stabil sehingga mengurangi pelepasan primer polisakarida-polisakarida oleh alkali. Penambahan Na2S pada proses pulping kayu mampu meningkatkan stabilitas sebagian gugus-gugus ujung poliosa tertutama glukomanan, namun tidak berpengaruh terhadap komponen poliosa lainnya, terutama xilan (Sjostrom 1995).

Besarnya persentase bahan kimia pemasak dalam proses kraft sangat berpengaruh terhadap proses delignifikasi. Persentase bahan kimia pemasak biasanya dinyatakan sebagai alkalinitas (alkali aktif) dan sulfiditas. Alkalinitas adalah jumlah NaOH dan Na2S yang digunakan dalam larutan pemasak yang dinyatakan sebagai Na2O sedangkan sulfiditas adalah persentase jumlah Na2S terhadap alkali aktif. Jumlah alkali yang digunakan bergantung pada jenis bahan baku, kondisi pemasakan dan besarnya delignifikasi yang diinginkan. Pemasakan dengan menggunakan alkali tidak hanya menghilangkan lignin, tetapi juga bereaksi dengan karbohidrat. Jika alkali yang digunakan berlebihan dapat menyebabkan degradasi selulosa yang besar sehingga rendemen dan sifat pulp yang dihasilkan mengalami penurunan. Konsentrasi alkali (alkalinitas) yang umum digunakan pada proses kraft berkisar antara 14 sampai dengan 18%. Kisaran sulfiditas yang digunakan dalam proses kraft umumnya berkisar antara 20 sampai dengan 30% dengan nilai yang umum digunakana adalah 25% (Casey 1980).

(38)

Hidrolisis

Proses hidrolisis selulosa menjadi unit-unit glukosa agak rumit dibandingkan dengan bahan berpati karena ikatan selulosa merupakan ikatan beta (β) sedangkan pati berikatan alfa (α). Walaupun demikian proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan melalui proses hidrolisis dengan asam atau pun enzim (Spagnuolo et al. 1999, Domingues et al. 1999, Stenberg et al. 1999). Enzim yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi unit-unit glukosa adalah enzim selulase. Enzim selulase ini dapat disintesis dari berbagai organisme seperti Kluyveromyces

marxianus (Domingues et al. 1999), Trichoderma reesei, T. longibranchiatum

(Ingram et al. 1997), T. viride, Aspergillus niger (Nakasaki & Adachi 2002),

Paenibacillus sp. dan Thermobifida fusca (Sanchez et al. 2004). Fermentasi

Fermentasi adalah proses produksi bioetanol dari gula sederhana dengan menggunakan mikroba (Ingram et al. 1997). Beberapa mikroba yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah Saccharomyces cereviciae, Schizosaccharomyces sp., Candida sp., and Kluyveromyces sp. Dalam bidang

industri, S. cereviciae merupakan khamir yang banyak dikembangkan karena sangat tahan dan toleran terhadap etanol yang tinggi (Domingues et al. 1999, Jeppsson et al. 2005).

Saat ini, salah satu kendala pada proses pembuatan bioetanol dengan menggunakan bahan berlignoselulosa adalah tingginya biaya produksi. Oleh karena itu, salah satu metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi secara simultan (Stenberg et al. 1999, Nakasaki & Adachi 2002). Beberapa jamur lain yang memiliki kemampuan yang tinggi yang dapat digunakan dalam SSF tidak terdapat di alam namun diperoleh dengan teknik isolasi gen seperti S. cereviciae LAC4,

S. cereviciae LAC12 (Domingues et al. 1998), Escherina coli LY01 (Zaldivar et al. 1999), Escherina coli adhE, Zimomonas mobilis pdc (Ingram et al. 1997).

(39)

Destilasi

Destilasi adalah proses pemurnian yang dilakukan untuk memisahkan etanol dari air dan karbon dioksida. Melalui destilasi, pemanasan alkohol pada suhu rentang 78-100 oC akan mengakibatkan etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol hingga mencapai 95%. Lain halnya bila etanol yang dihasilkan mencapai 99,5-100%, maka yang digunakan adalah destilasi absorbent. Destilasi absorbent memiliki pipa yang dindingnya berlapis zeolit (Soerawidjaja 2006).

Sakarifikasi dan Fermentasi Secara Simultan

Secara sederhana proses konversi biomassa lignoselulosa menjadi bioetanol melalui beberapa tahapan utama yang meliputi perlakuan pendahuluan, hidrolisis, fermentasi, dan purifikasi. Proses tersebut dapat dibagi berdasarkan tahapan hidrolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer (dilute-acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), dan hidrolisis enzimatik (enzymatic hydrolysis). Terdapat beberapa variasi teknik hidrolisis enzimatik yang digabungkan dengan tahapan fermentasi, seperti separate atau sequential

hydrolysis and fermentation (SHF), simultaneous saccharification and fermentation (SSF), simultaneous saccharification and co-fermentation (SSCF),

dan consolidated bioprocessing (CBP) (Hamelinck et al. 2005).

Proses sakarifikasi fermentasi simultan adalah proses kombinasi antara hidrolisis selulosa secara enzimatik dengan fermentasi gula yang berkelanjutan, sehingga menghasilkan produk akhir berupa etanol. Proses ini pertama kali dikenalkan oleh Takagi et al. (1977) yang mengkombinasikan hidrolisis menggunakan enzim selulase dan khamir S. cereviseae untuk memfermentasi gula menjadi etanol secara simultan.

Tahap proses SSF ini berlangsung dalam satu reaktor. Khamir yang ditambahkan secara langsung memfermentasi produk gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis oleh komplek enzim selulolitik, sehingga polisakarida yang terhidrolisis menjadi monosakarida tidak berubah kembali menjadi polisakarida. Hal ini menyebabkan laju sakarifikasi dan rendemen etanol yang dihasilkan lebih tinggi dibanding proses yang terpisah. Kelebihan lain proses ini adalah

(40)

penggunaan reaktor tunggal untuk seluruh proses dapat meningkatkan efisiensi biaya dan meminimalkan terjadinya kontaminasi proses dan etanol yang dihasilkan (Ballesteros et al. 2004). Kelemahan proses ini adalah terdapatnya perbedaan kondisi optimum pada proses hidrolisis dan fermentasi. Enzim selulase dalam hidrolisis bekerja optimum pada suhu 45-50 oC, sedangkan S.cereviseae dalam fermentasi optimal antara suhu 30-35 oC.

Bahan berlignoselulosa merupakan salah satu bahan yang telah banyak dikembangkan sebagai penghasil bioetanol dengan menggunakan metode SSF untuk mengurangi biaya produksinya (Spagnuolo 1999). Beberapa bahan berlignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol melalui metode SSF adalah bagas (Martinez et al. 2000), jerami (Neureiter et al. 2002) dan kayu (Bousaid et al. 1999, Stenberg et al. 2000).

Kapang Aspergillus niger

Kapang Aspergillus niger termasuk genus Aspergillus, famili Eurotiaciae dan ordo Eurotiales. Kapang ini memiliki miselium bercabang dan berseptat. Kapang umumnya bersifat aerob dan tumbuh baik pada kisaran suhu 25-30 oC, namun genus Aspergillus dapat tumbuh pada kisaran 35-37 oC. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada suhu 30 oC dengan pH optimum 7,0 atau agak asam dan bersifat tidak tahan panas. Kapang A. niger dalam media pertumbuhan dapat langsung mengkomsumsi molekul-molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang larut disekitar hifa, namun untuk molekul-molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati dan protein harus dipecah terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel.

Pembentukan enzim ekstraseluler A. niger berlangsung lebih baik pada suhu kamar 25-28 oC daripada suhu optimum pertumbuhannya (37.8 oC). Sintesis enzim akan menurun pada suhu lebih dari 30 oC karena energi respirasi lebih banyak digunakan untuk pembentukan spora daripada untuk membentuk miselium.

Kapang A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, anilin, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amilase, glukoamilase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, β-glukosidase, asam glukonat, glukosa

(41)

oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukanohidrolase, β-xilosidase, xilanase dan lipase. Glukoamilase dari A. niger menunjukkan bobot molekul berkisar 54-112 kD dan pH optimum berkisar antara 4,0-5,0. Suhu optimum aktivisai berkisar antara 40-65 oC (Selvakumat et al. 1996).

Khamir Saccharomyces cerveiciae

Khamir S. cerveiciae termasuk dalam kelas Ascomycetes yang dicirikan dengan pembentukan askus yang merupakan tempat pembentukan askospora.

S. cerveiciae memperbanyak diri dengan aseksual yaitu dengan bertunas

(Pelezar & Chan 1986). Dinding sel S.cerveiciae terdiri atas komponen-komponen glukan, manan, protein, kitin dan lemak (Waluyo 2004).

Khamir S.cerveiciae sering digunakan dalam fermentasi etanol karena sangat tahan dan toleran terhadap kadar etanol yang tinggi (12-18% v/v), tahan pada kadar gula yang cukup tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32 oC. Khamir ini mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-35 oC dan tidak aktif pada suhu lebih dari 40 oC. Khamir S. cerveiciae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa (Kunkee & Mardon 1970). Biakan

S. cerveiciae mempunyai kecepatan fermentasi optimum pada pH 4.48

(Harrison & Graham 1970).

Menurut Hagerdal et al. (2001), keunggulan lain dari khamir S.cereviseae adalah toleran terhadap senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa. Meskipun demikian, khamir ini memiliki kelemahan yaitu

S. cerevieae dari galur liar tidak dapat memfermentasi gula C5 (pentosa) seperti:

xilosa, arabinosa, celloligosaccharides, menjadi salah satu kendala pemanfaatannya. Beberapa upaya rekayasa genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang dapat memfermentasi xilosa dan glukosa (Govindaswamy & Vane 2007).

(42)

Khamir S.cerevisiae biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolit utama adalah etanol, CO2 dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Khamir S. cerevisiae memerlukan suhu 30 oC dan pH 4.0-4.5 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan terus meningkat sehubungan proses fermentasi terhambat (Oura 1983).

Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan 0.05-0.10 mmHg, jika lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan cenderung ke arah pertumbuhan sel (Kosaric et al. 1983). Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, kalium, dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen minor, begitu juga dengan mineral seperti Mn, Co, Cu dan Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat, dan vitamin. Substrat yang digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar biasanya telah mengandung nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. Dalam beberapa hal, diperlukan tambahan nutrien dalam bentuk komponen tunggal seperti garam amonium dan kalium fosfat atau dari sumber murah seperti corn steep liquor (Kosaric et al. 1983).

Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO2 reaksi berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0.51 g etanol. Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis. Hal ini disebabkan oleh sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi, yaitu terbentuknya gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5% substrat (Oura 1983). Etanol yang dihasilkan dapat menghalangi fermentasi lebih lanjut saat konsentrasinya mencapai 13-15% volume, tetapi hal ini dipengaruhi suhu dan jenis khamir (Prescott & Dunn 1981).

(43)

Gambaran Jenis Bahan Baku Produksi Bioetanol

Kayu Pinus (Pinus merkusii Jung et. de Vr.)

Berdasarkan sistematika modern, kayu pinus tergolong kingdom Plantae, divisio Spermatophyta, subdivisio Gymnospermae, kelas Coniferae, ordo Pinales, famili Pinaceae, genus Pinus dan spesies Pinus merkusii

(Tjitrosoepomo 2004). Pinus menyebar di daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jawa sebagai hutan tanaman. Pinus dapat tumbuh pada tanah yang jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek (Martawijaya et al. 1989).

Tinggi pohon pinus berkisar antara 20–40 meter dengan panjang batang bebas cabang 2-25 meter. Diameter pohon bisa mencapai 100 cm, tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas serta beralur lebar dan dalam (Martawijaya et al. 1989).

Kayu pinus mengandung 54.9% selulosa, 24.3% lignin, 14.0% pentosan, 1.1% abu, dan 0.2% silika. Kelarutan zat ekstraktif kayu pinus sekitar 6.3% dalam alkohol-benzena, 0.4% dalam air dingin, 3.2% dalam air panas, 11.1% dalam NaOH 1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu pinus sekitar 20300-23200 kJ/kg (Soerianegara & Lemmens 1994).

Pinus banyak digunakan sebagai bahan konstruksi, furniture, vinir, kayu lapis, papan partikel, pulp dan kertas. Pinus juga dapat disadap menghasilkan oleoresin yang dapat diolah lebih lanjut menjadi terpentin dan gondorukem. Pinus biasanya dipanen pada umur 30 tahun untuk menghasilkan hasil yang optimum. Namun untuk keperluan industri pulp dan kertas biasanya pemanenan dilakukan pada umur 15 tahun.

Volume tegakan yang diproduksi dari hutan tanaman kalimantan timur sekitar 200-300 m3/ha. Kerapatan kayu pinus pada kadar air 15% adalah 565-750 kg/m3 (Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenis kayu pinus berkisar antara 0.40-0.75 dengan berat jenis rata-rata sekitar 0.55 (Martawijaya et al. 1989).

(44)

Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

Menurut Martawijaya et al. (1989), kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen dulu dikenal dengan nama Albizia Falcataria (L.) Fosberg dan

Albizzia falcata (L.) Backer. Tanaman ini dalam sistem klasifikasi modern,

tergolong ke dalam famili Mimusoceae. Kayu sengon menyebar seluruh Jawa (hutan tanaman), Maluku, Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya.

Pohon ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah kering maupun becek atau agak asin, dan menghendaki iklim basah sampai agak kering, pada dataran rendah sampai pegunungan sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1989). Curah hujan maksimum untuk pertumbuhan tanaman ini adalah 2000-2700 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur (Soerianegara & Lemmens 1994).

Kayu sengon mengandung 49.4% selulosa, 26.8% lignin, 15.6% pentosan, 0.6% abu, dan 0.2% abu. Kelarutan zat ekstraktif kayu pinus sekitar 3.4% dalam alkohol-benzena, 3.4% dalam air dingin, 4.3% dalam air panas, 19.6% dalam NaOH 1% (Martawijaya et al. 1989). Nilai kalor kayu sengon sekitar 19500-20600 kj/kg (Soerianegara & Lemmens 1994).

Tanaman sengon banyak digunakan sebagai hutan tanaman industri untuk barang kerajinan, furniture, vinir, kayu lapis, flooring, papan serat, papan partikel, papan semen komposit. Kerapatan kayu sengon berkisar 300-500 kg/m3 pada kadar air 12% (Soerianegara & Lemmens 1994). Berat jenisnya berkisar antara 0.24-0.49 dengan berat jenis rata-rata 0.33 (Martawijaya et al. 1989).

Gambar

Gambar 2 Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa
Gambar 4 O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar
Gambar 5  Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin
Gambar 7 Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum Spruce
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini, jumlah individu dengan gangguan spektrum autisme meningkat cukup pesat. Hal ini berarti semakin banyak pula keluarga yang hidup bersama dengan anak dengan gangguan

4al terpe nting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan 'S adalah upaya untuk memenuhi kewajiban ( compliance ). Kewajiban bisa bersumber dari

语言是最 要的交际工 。没 语言世界上的人 人,国 家 国家之间就 可能会交流。掌握一种语言 但能更了解 的 国家的文化和 俗而且 能

bekantan Pulau Curiak, Barito Kuala adalah: 1) kegiatan pengabdian masyarakat untuk penanaman bibit-bibit mangrove rambai ( Sonneratia Caseolaris ) pada lahan- lahan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi psikologi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia, khususnya terhadap Psikologi

Misalnya subjek MF yang mengungkapkan bahwa keluarga lebih mendukung dirinya menikah dengan individu yang juga memiliki hambatan fisik daripada menikah dengan individu

sedangkan pada bobot kering brangkasan pupuk kandang ayam (PA) memberikan rata – rata bobot kering brangkasan tertinggi yaitu 52,48 g yang berbeda dari perlakuan lainnya

Sekarang dapat kita temukan beberapa kasus dalam sebuah keluarga seperti, kekerasan, pengabaian, dan hilangnya waktu dan komunikasi antar anggota keluarga yang