• Tidak ada hasil yang ditemukan

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE TERHADAP KELIMPAHAN KEPITING

BAKAU (Scylla spp.) DI DESA TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI

TUAN KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA

(The Relationship of Mangrove Density to Mud Crab (Scylla spp.) Abundance in Tanjung Rejo Village Percut Sei Tuan Subdistrict Deli Serdang Regency North Sumatera Province)

Tiur Natalia Manalu1, Yunasfi2, Rusdi Leidonald2

1

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, (Email : [email protected])

2

Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155

ABSTRACT

Mud crab is potential mangrove fishery that have important economic value. Tanjung Rejo Village has broad mangrove that used to support society economy causing degradation mud crab habitat. This study aims to know mangrove ecosystems condition in Tanjung Rejo village and analyze mangrove density effect to mud crab abundance. This study held in February until March 2016. Determination sampling using purposive sampling method and divided into 3 stations with different mangrove density condition. This study analyzed is mangrove ecosystem condition, water quality, mud crab population and mangrove density correlation with mud crab abundance. The results show mangrove density condition in Tanjung Rejo village at station 1 highly density category 2433 trees/ha, at station 2 low density category (damaged) 900 trees/ha and at station 3 medium density category 1000 trees/ha. Regression equation of the influence mangrove trees density and mud crab abundance is Y = 389.3 + 0,0348x. The relationship between mangrove density and mud crab abundance correlation coefficient (r) 0.4970.

Keywords : Mud Crab Abundance, Mangrove, Tanjung Rejo Village, Correlation PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla spp.) adalah salah satu potensi yang ada dihutan mangrove dan belum banyak diketahui. Kepiting bakau termasuk sumberdaya perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mempunyai harga yang mahal. Permintaan yang terus meningkat ini bukan hanya disebabkan oleh rasa dagingnya yang gurih, tetapi juga disebabkan oleh kandungan gizinya yang cukup tinggi. Setiap 100 gram daging kepiting mengandung protein sebesar 13,6 gram, lemak 3,8 gram, karbohidrat 14,1 gram dan air sebanyak 68,1 gram (Afrianto dan Liviawaty, 1992).

Hutan mangrove di kawasan pesisir Percut saat ini telah mengalami degradasi baik secara kualitas dan kuantitas. Dari 12.000 hektar terbentang di pesisir Deli Serdang, lebih dari 70% telah mengalami pengalihan lahan mangrove. Alih fungsi lahan ini disebabkan oleh penebangan kayu illegal, konversi hutan menjadi kolam/tambak, pemukiman, kebun kelapa sawit dan pertanian. Baik secara langsung dan tidak langsung, degradasi hutan mangrove yang telah terjadi berdampak pada kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir Percut baik pengaruh ekonomi, kualitas hidup dan perubahan sosial (Kompasiana, 2014).

(2)

Kerusakan mangrove di kawasan pesisir Percut khususnya di Desa Tanjung Rejo tentunya akan berdampak pada semakin kecilnya area perkembangbiakan populasi kepiting bakau. Dari berbagai ulasan diatas dan belum adanya observasi mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan hutan mangrove Desa Tanjung Rejo terhadap kelimpahan populasi, maka perlu dilakukan kajian apakah kerapatan hutan mangrove berperan penting dalam meningkatkan produksi kepiting bakau di ekosistem hutan mangrove tersebut. Kawasan hutan mangrove dengan kondisi kerapatan yang berbeda (tinggi, sedang dan jarang) diduga akan memiliki nilai atau pengaruh yang berbeda terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya sehingga dengan alasan ini lah dilakukan kajian pada berbagai kondisi kerapatan mangrove yang berbeda.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2016, di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi jenis mangrove dilakukan langsung di lapangan dan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Untuk analisis sampel tanah dikerjakan di Laboratorium Riset dan Teknologi Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System (GPS), kamera, alat tulis, kantong plastik, tali plastik, meteran, buku identifikasi mangrove (Noor dkk., 1999), bubu, kayu/bambu, buku identifikasi kepiting bakau (Kanna, 2002), ember, gunting, termometer, refraktometer, pH meter, jarum suntik, botol winkler, gelas ukur, pipet tetes, toolbox dan sekop.

Bahan yang digunakan adalah ikan gelodok (Periophthalmus sp.) sebagai umpan kepiting bakau, sampel kepiting bakau, sampel tumbuhan mangrove, sampel air dan substrat, aquades, larutan MnSO4, larutan KOH–KI, larutan H2SO4,

larutan Na2S2O3, amilum, kertas label,

karet gelang, spidol dan kertas tisu. Pengukuran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Satuan Alat Tempat

Analisis Fisika Kedalaman air Substrat cm mm Papan berskala Sekop In situ Ex situ Suhu Salinitas 0 C ppt Termometer Refraktometer In situ In situ Kimia pH DO – mg/l pH meter Winkler In situ In situ Deskripsi Area

Lokasi penelitian dan pengambilan sampel berada di hutan mangrove yang termasuk kedalam Kawasan Konservasi Mangrove Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah

purposive sampling yang dibagi menjadi 3

stasiun yang berbeda kondisi kerapatan mangrovenya.

a. Stasiun 1

Pada stasiun ini banyak dijumpai mangrove dengan kondisi yang baik dengan substrat berlumpur. Kawasan ini ditetapkan sebagai daerah perlindungan mangrove. Stasiun 1 terletak pada koordinat 3o 44' 17'' LU dan 98o 46' 14'' BT.

b. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan kawasan rehabilitasi mangrove yang terletak tidak jauh dari daerah pantai. Kondisi kerapatan mangrove tergolong sedang dengan substrat padat. Stasiun 2 terletak pada koordinat 3o 45' 15'' LU dan 98o 45' 39'' BT.

(3)

c. Stasiun 3

Stasiun ini adalah daerah wisata pantai dan terdapat sejumlah pondok sebagai tempat persinggahan para pengunjung atau wisatawan. Pada lokasi ini kondisi kerapatan mangrove tergolong rendah dengan substrat keras. Stasiun 3 terletak pada koordinat 3o 44' 57,3'' LU dan 98o 45' 49,2'' BT.

Pengumpulan Data Mangrove

Pengukuran mangrove dilakukan dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line

Plot) yang mengacu pada KepmenLH No.

201 Tahun 2004. Transek garis ditarik dari arah laut atau bagian terluar dari mangrove hingga mencapai daratan sepanjang 30 meter dan masing-masing sebanyak 3 plot. Kemudian identifikasi langsung setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada pada petak contoh, demikian pula dengan jumlah individu tiap jenisnya. Pada transek pengamatan dibuat petak-petak contoh dengan tingkat tegakan menurut Kusmana (1997):

1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar sama dengan 10 cm pada petak contoh 10 × 10 meter. 2. Pancang, adalah anakan yang memiliki

diameter batang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 × 5 meter.

3. Semai, adalah anakan yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak contoh 2 × 2 meter.

Pengumpulan Data Kepiting Bakau Kepiting Bakau yang diambil sebagai sampel dilakukan di setiap stasiun area dan memakai perangkap kepiting bakau yang disebut bubu, dengan ukuran tinggi 28 cm dan diameter 18,5 cm dengan umpannya berupa ikan gelodok (Periophthalmus sp.) yang dipotong kecil-kecil. Pada setiap masing – masing stasiun pengamatan dipasang bubu sebanyak 50 buah.

Bubu diletakkan di sekitar mangrove yang di transek, peletakannya dilakukan pada saat air surut. Waktu pengambilan bubu dilakukan kembali setelah 2 – 3 Jam. Pengambilan sampel sebanyak tiga kali dalam dua bulan dengan interval waktu ± 15 hari. Sampel kepiting bakau yang tertangkap di identifikasi menggunakan buku identifikasi kepiting bakau dan dihitung jumlahnya.

Pengukuran Kualitas Air

Pengambilan parameter kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu ± 15 hari selama 2 bulan bersamaan dengan dilakukannya penangkapan kepiting bakau. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan masing-masing peralatan yang telah dipersiapkan. Analisis Data

Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove Setelah mengetahui jenis dan jumlah spesies mangrove yang diamati, maka dapat dilakukan perhitungan kerapatan mangrove menggunakan rumus (Kusmana, 1997) sebagai berikut:

1. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif Kerapatan Jenis (K) adalah jumlah tegakan jenis dalam suatu unit area:

Untuk kegiatan analisis berdasarkan kriteria baku kerapatan mangrove dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Baku Kerapatan

Mangrove Kriteria Baku Kerapatan Kerapatan (pohon/ha) Padat Sedang Jarang (Rusak) ≥ 1.500 ≥1.000 – <1.500 < 1.000

(4)

Kerapatan relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan jenis i dan jumlah total kerapatan keseluruhan jenis:

2. Frekuensi Jenis dan Frekuensi Relatif Frekuensi (F) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam semua plot yang diamati dibandingkan dengan jumlah total plot yang dibuat:

Frekuensi Relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i dalam semua plot dibandingkan dengan jumlah total plot yang dibuat:

Kriteria:

0 – 25% = Sangat jarang 25 – 50% = Jarang

50 – 75% = Banyak

> 75% = Sangat banyak

3. Dominansi dan Dominansi Relatif Dominansi (D) adalah luas penutupan jenis ke-i dalam suatu unit tertentu:

Keterangan:

D = Dominansi (penutupan jenis) BA = Luas bidang dasar pohon (

) dengan nilai π = 3.14 A = Luas petak contoh

Dominansi Relatif (DR) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke- i dengan luas total penutupan untuk seluruh jenis:

Kriteria:

Baik = Apabila terdapat > 70% Sedang = Apabila terdapat 50 % < μ <

70%

Rusak = Apabila terdapat < 50% Analisis Kualitas Air

Analisis parameter Fisika-Kimia perairan secara deskriptif, untuk mencari nilai rata-rata dari masing-masing parameter yang telah diukur digunakan panduan formulasi Walpole (1995), berikut ini:

Keterangan:

= Rata-rata pengamatan Xi = Data ke – i

n = Jumlah data Analisis Kepiting Bakau 1. Kelimpahan Biota

Kelimpahan kepiting bakau dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan :

K = Kelimpahan kepiting bakau (ind/ha)

∑ ni = Jumlah individu jenis ke – i A = Luas daerah pengambilan

contoh 2. Kelimpahan Relatif

Kelimpahan relatif kepiting bakau adalah perbandingan antara jumlah individu suatu spesies dengan total keseluruhan sebagai berikut:

(5)

Keterangan :

KR = Kelimpahan relatif

∑ ni = Jumlah individu jenis ke – i ∑ N = Jumlah total seluruh individu Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Kepiting Bakau

Dari data kerapatan mangrove dan kelimpahan kepiting bakau dapat diketahui korelasi antara vegetasi mangrove dengan kepiting bakau menggunakan model regresi sederhana. Rumus yang digunakan adalah :

Y = a + bx Keterangan :

Y = Kelimpahan Kepiting Bakau (ind/ha)

x = Kerapatan Mangrove (ind/ha)

a = Konstanta

b = Slope

Keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi menggambarkan besarnya hubungan antara indeks bebas dengan indeks tetap. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Ekosistem Mangrove 1. Kerapatan

Vegetasi mangrove yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Rejo pada transek sejauh 30 meter diperoleh 5 jenis mangrove yang terdiri atas Avicennia marina, Avicennia

officinalis, Lumnitzera littorea, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata. Mangrove yang ditemukan

dibedakan atas semai, pancang dan pohon. Jenis pohon ditemukan sebanyak 5 spesies dengan total keseluruhan 130 individu, pancang ditemukan sebanyak 4 spesies

dengan jumlah total 50 individu dan semai ditemukan sebanyak 4 spesies dengan jumlah total 17 individu.

Stasiun 1 merupakan kawasan yang kondisi mangrovenya tergolong baik karena masyarakat sekitar menetapkan daerah tersebut sebagai daerah perlindungan mangrove. Jenis mangrove yang ditemukan pada stasiun 1 yaitu A.

marina dan A. officinalis dengan jumlah

vegetasi semai 4 individu, pancang 4 individu dan pohon 73 individu. Kerapatan vegetasi pohon adalah yang terbesar dari semua stasiun dengan nilai 2433 ind/ha, kerapatan vegetasi pancang 533 ind/ha dan kerapatan vegetasi semai 3333 ind/ha dengan nilai kerapatan relatif masing-masing sebesar 38,6% untuk pohon, 8,46% untuk pancang dan 52,91% untuk semai.

Stasiun 2 merupakan kawasan rehabilitasi mangrove, pada stasiun ini ditemukan jenis mangrove A. marina, R.

mucronata dan L. littorea dengan jumlah

vegetasi semai 6 individu, vegetasi pancang 25 individu dan vegetasi pohon 27 individu. Jenis vegetasi pancang banyak ditemukan pada stasiun ini karena telah terjadi kerusakan pada vegetasi pohon mangrove. Kerapatan vegetasi semai adalah 5000 ind/ha, vegetasi pancang 3333 ind/ha dan vegetasi pohon 900 ind/ha dengan kerapatan relatif masing-masing adalah 54,15% untuk semai, 36,10% untuk pancang dan 9,74% untuk pohon.

Stasiun 3 merupakan kawasan wisata mangrove yang berhadapan langsung dengan pantai, pada stasiun ini hanya ditemukan mangrove jenis R.

mucronata dan R. apiculata dengan

jumlah vegetasi semai 7 individu, vegetasi pancang 21 individu dan vegetasi pohon 30 individu. Adapun kerapatan semai adalah 5833 ind/ha, vegetasi pancang 2800 ind/ha dan vegetasi pohon 1000 ind/ha dengan kerapatan relatif sebesar 60,55% untuk vegetasi semai, 29,06% untuk vegetasi pancang dan 10,38% untuk vegetasi pohon. Kerapatan vegetasi

(6)

mangrove pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerapatan Vegetasi Mangrove Stasiun Pengamatan

Secara keseluruhan vegetasi pohon pada stasiun 1 memiliki nilai yang tertinggi yaitu 2433 ind/ha, kemudian stasiun 3 yaitu 1000 ind/ha dan stasiun 2 yaitu 900 ind/ha. Pada kategori pancang stasiun 2 mempunyai kerapatan tertinggi dengan nilai 3333 ind/ha, selanjutnya stasiun 3 yaitu 2800 ind/ha dan yang terakhir stasiun 1 yaitu 533 ind/ha. Pada vegetasi semai stasiun 3 tergolong memiliki kerapatan tertinggi dari stasiun lainnya dengan nilai kerapatan 5833 ind/ha, kemudian stasiun 2 yaitu 5000 ind/ha dan stasiun 1 yaitu 3333 ind/ha. 2. Frekuensi

Berdasarkan hasil pengamatan dari total 3 plot yang dibuat mangrove jenis A.

marina dan A. officinalis pada stasiun 1

masing-masing terdapat pada 2 plot. Jumlah frekuensi jenis A. marina untuk kategori semai yaitu 0.33, kategori pancang yaitu 1,33 dan kategori pohon yaitu 17 dengan nilai frekuensi relatif adalah 1,23% untuk semai, 4,93% untuk pancang dan 62,96% untuk pohon. Sementara jumlah frekuensi jenis A.

officinalis kategori semai adalah 1 dan

kategori pohon yaitu 7,33 dengan nilai frekuensi relatif adalah 3,70% untuk semai dan 27,16% untuk pohon.

Pada stasiun 2 mangrove jenis A.

marina dan R. mucronata tedapat pada 2

plot sementara mangrove jenis L. littorea hanya terdapat pada 1 plot. Jumlah

frekuensi jenis A. marina untuk kategori semai yaitu 1, kategori pancang yaitu 5,33 dan kategori pohon 2,33 dengan nilai frekuensi relatif untuk semai adalah 5,17 %, untuk pancang 27,58% dan untuk pohon 12,06%. Frekuensi jenis R. mucronata untuk semai yaitu 1, kategori

pancang 1,66 dan kategori pohon 5 dengan nilai frekuensi relatif adalah 5,17% untuk semai, 8,62% untuk pancang dan 25,86% untuk pohon. Mangrove jenis L. littorea mempunyai jumlah frekuensi sebesar 1.33 untuk kategori pancang dan 1,66 untuk kategori pohon dengan nilai frekuensi relatif semai adalah 6,89% dan frekuensi relatif pohon adalah 8,62%.

Pada stasiun 3 mangrove jenis R.

mucronata terdapat pada 3 plot sedangkan

jenis R. apiculata hanya terdapat pada 2 plot. Jumlah frekuensi jenis R. mucronata kategori semai yaitu 1,33, kategori pancang yaitu 5 dan kategori pohon yaitu 6,66 dengan nilai frekuensi relatif 6,89% untuk semai, 25.86% untuk pancang dan 34,48% untuk pohon. Frekuensi jenis mangrove R. apiculata untuk kategori semai yaitu 1, kategori pancang yaitu 2 dan kategori pohon yaitu 3.33 dengan nilai frekuensi relatif adalah 5,17% untuk semai, 10,17% untuk pancang dan 17.24% untuk pohon.

3. Dominansi

Di Desa Tanjung Rejo nilai dominansi pohon tertinggi berada pada stasiun 1 yaitu 7,38 m2/ha dengan jenis A.

marina dan 6,44 m2/ha dengan jenis A.

officinalis, masing-masing mempunyai

nilai dominansi relatif sebesar 53,38% dan 46.61%. Selanjutnya pada stasiun 3 yaitu 5,50 m2/ha dengan jenis R. apiculata dan 3,58 m2/ha dengan jenis R. mucronata yang mempunyai nilai dominansi relatif masing-masing sebesar 60.56% dan 39,43%. Stasiun 2 mempunyai nilai dominansi total 10,473 m2/ha dengan jenis

A. marina sebesar 4,02 m2/ha, jenis L.

littorea sebesar 3,34 m2/ha dan jenis R.

(7)

dominansi relatif masing-masing sebesar 38,41%, 31,90% dan 29.68%.

Parameter Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air diperoleh nilai dari setiap parameter seperti pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan

Parameter Satuan Alat Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Fisika Kedalaman air Substrat cm mm Papan berskala Sekop 17 Lempung berpasir 26 Pasir berlempung 67 Pasir berlempung Suhu Salinitas 0 C ppt Termometer Refraktometer 27,30 25,00 30,35 25,00 31,70 24,00 Kimia pH DO - mg/l pH meter Winkler 6,72 3,80 6,53 4,40 6,63 5,00 Pengukuran kedalaman perairan

menggunakan papan berskala dan waktu pengukuran dilakukan pada saat pasang tertinggi air laut berdasarkan data prediksi elevasi air laut oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Hasil pengukuran diperoleh kedalaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 67 cm dan yang terendah terdapat pada stasiun 1 dengan kedalaman 17 cm. Stasiun 3 mempunyai kedalaman perairan tertinggi karena perbedaan waktu pengambilan data pada saat pasang.

Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan sekop, kemudian substrat dimasukkan kedalam kantong plastik dan dianalisa di laboratorium untuk dilihat ukuran diameter sedimennya. Hasil laboratorium menunjukan pada stasiun 1 mempunyai substrat lempung berpasir namun pada stasiun 2 dan 3 mempunyai substrat pasir berlempung. Stasiun 2 dan 3 mempunyai substrat pasir berlempung karena terletak lebih ke arah darat sehingga partikel-partikel pasir akan terbawa oleh air laut pada saat surut.

Suhu perairan diukur dengan menggunakan alat termometer pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengukuran yang diperoleh pada stasiun 1 mempunyai suhu sebesar 27,30 0C, stasiun 2 yaitu 30,35 0C dan stasiun 3 yaitu 31,70 0C. Stasiun 1 mempunyai suhu yang terendah

karena pada stasiun ini penetrasi cahaya sulit menembus kedalam perairan mangrove akibat terhalang oleh banyaknya vegetasi mangrove, sementara stasiun 2 dan 3 mempunyai suhu yang tinggi diakibatkan cahaya tidak terhalang untuk menembus langsung perairan mangrove karena vegetasi mangrove lebih sedikit.

Salinitas merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi proses biologis dalam tubuh kepiting bakau, secara langsung akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan tingkat konsumsi makanan. Pengukuran salinitas menggunakan alat refraktometer kemudian hasil yang diperoleh akan tertera pada skala. Pada setiap stasiun pengamatan memperlihatkan hasil pengukuran yang diperoleh tidak jauh berbeda. Salinitas yang tertinggi berada pada stasiun 1 dan 2 yaitu 25 ppt dan yang terakhir stasiun 3 yaitu 24 ppt.

Derajat keasaman (pH) perairan diukur dengan menggunakan alat pH meter yang dicelupkan kedalam perairan sehingga diperoleh hasil sesuai yang tertera di alat. Stasiun 1 memperlihatkan pH perairan sebesar 6,72, stasiun 2 sebesar 6,53 dan stasiun 3 sebesar 6,63. Ketiga stasiun mempunyai nilai pH yang tidak jauh berbeda dan dikategorikan dalam kondisi perairan asam.

(8)

Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilapangan mengikuti metode kerja winkler yang menggunakan larutan kimia MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, dan

amilum. Dihitung volume Na2S2O3 yang

terpakai sebagai nilai DO. Pada stasiun 1 mempunyai nilai DO sebesar 3,80 mg/l, stasiun 2 sebesar 4,40 mg/l dan stasiun 3 sebesar 5,00 mg/l. Nilai DO stasiun 1 tergolong rendah karena memiliki substrat lempung berpasir dan keadaan perairan relatif tenang sehingga sulit terjadi pertukaran oksigen di udara (difusi).

Kepiting Bakau 1. Kelimpahan Jenis

Jenis kepiting bakau yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Rejo ada 3 yaitu: Scylla

serrata, Scylla transquebarica dan Scylla oceanica yang dijumpai pada setiap

stasiun pengamatan. Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau dari setiap stasiun disajikan pada Tabel 4 seperti dibawah ini.

Tabel 4. Jumlah Hasil Tangkapan Kepiting Bakau Stasiun Jenis Kepiting Bakau Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata 1 S. serrata 14 9 8 10 S. transquebarica 19 21 17 19 S. oceanica 11 13 15 13 Jumlah 44 43 40 42 2 S. serrata 18 5 12 12 S. transquebarica 12 9 10 10 S. oceanica 7 10 17 11 Jumlah 37 24 39 33 3 S. serrata 20 15 14 16 S. transquebarica 11 6 13 10 S. oceanica 14 11 16 14 Jumlah 45 32 43 40

Stasiun 1 didominasi oleh jenis S.

transquebarica dengan jumlah rata-rata

sebanyak 19 individu, selanjutnya S.

oceanica yaitu 13 individu dan S. serrata

yaitu 10 individu. Kelimpahan total kepiting bakau pada stasiun 1 sebesar 470 ind/ha dengan kerapatan pohon mangrove 2433 ind/ha. Besarnya kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini didukung oleh kondisi mangrove yang tergolong padat sesuai dengan KepmenLH No 201 tahun 2004.

Pada stasiun 2 jenis kepiting bakau yang tertangkap mempunyai jumlah rata-rata yang tidak jauh berbeda, yaitu jenis S.

serrata 12 individu, S. transquebarica

dengan jumlah 10 individu dan S. oceanica yaitu 11 individu. Kelimpahan total kepiting bakau pada stasiun ini sebanyak 370 ind/ha dengan kerapatan pohon

mangrove 900 ind/ha. Sedikitnya kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini berbanding lurus dengan kerapatan mangrove yang dalam kondisi jarang (rusak) yang mengakibatkan menurunnya jumlah kepiting bakau.

Stasiun 3 mempunyai jumlah rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau tertinggi jenis S. serrata sebanyak 16 individu, kemudian jenis S. oceanica 14 individu dan yang terakhir S. transquebarica 10 individu. Kelimpahan

total kepiting bakau pada stasiun ini mencapai 478 ind/ha dengan kerapatan pohon mangrove 1000 ind/ha. Kelimpahan kepiting bakau per jenis pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 2.

(9)

Gambar 2. Kelimpahan Kepiting Bakau Setiap Jenis Stasiun Pengamatan

2. Kelimpahan Relatif

Pada stasiun 1 kelimpahan relatif kepiting bakau jenis S. serrata sebesar 24,40%, jenis S. transquebarica sebesar 44,88% dan jenis S. oceanica sebesar 30, 70%. Pada stasiun 2 kelimpahan relatif kepiting bakau jenis S. serrata sebesar 35%, jenis S. transquebarica sebesar 31% dan jenis S. oceanica sebesar 34%. Pada stasiun 3 kelimpahan relatif kepiting bakau jenis S. serrata sebesar 40,83%, jenis S.

transquebarica sebesar 25% dan jenis S. oceanica sebesar 34,16%, jumlah keseluruhan ditemukannya semua jenis adalah 100%.

Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Kepiting Bakau

Untuk melihat keterkaitan antara kerapatan pohon mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau digunakan analisis statistik regresi linier sederhana menggunakan Excel yang disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan Kerapatan Pohon

Mangrove dengan

Kelimpahan Kepiting Bakau

Pengaruh antara kerapatan pohon mangrove dan kelimpahan kepiting bakau diperoleh persamaan regresi Y = 389,3 + 0,0348x artinya setiap kenaikan kerapatan mangrove 1 satuan akan meningkatkan kelimpahan kepiting bakau sebesar 0,0348 atau kerapatan mangrove sebanyak 1000 satuan meningkatkan kelimpahan kepiting bakau sebesar 34,8 individu. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,4970 artinya hubungan antara kerapatan mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau tergolong lemah yaitu sebesar 49,70%.

Pembahasan

Kondisi Ekosistem Mangrove 1. Kerapatan

Kerapatan mangrove pada stasiun 1 tergolong baik karena banyak dijumpai vegetasi pohon dan semai dengan nilai kerapatan sebesar 2433 ind/ha dan 3333 ind/ha. Nilai kerapatan relatif dari semua vegetasi mangrove adalah 100%. Menurut KepmenLH No 201 tahun 2004 suatu kawasan mangrove kerusakannya dapat diketahui dengan melihat vegetasi pohon dibandingkan dengan luas plot pengamatan. Kerapatan > 1000 ind/ha dikategorikan dalam kondisi baik. Stasiun 1 merupakan daerah perlindungan mangrove, dimana vegetasi pohon mangrove yang tumbuh dijaga dan dilindungi komunitasnya sehingga ditemukan dalam jumlah yang banyak.

Pada stasiun 2 kerapatan vegetasi semai lebih tinggi yaitu 5000 ind/ha dengan jenis A. marina dan R. mucronata, pada vegetasi pancang nilai kerapatan sebesar 3333 ind/ha dan vegetasi pohon 900 ind/ha dengan jenis A. marina, R.

mucronata dan L. littorea. Menurut

KepmenLH No 201 tahun 2004 dengan nilai kerapatan semai 5000 ind/ha dan vegetasi pancang 3333 ind/ha termasuk dalam kategori padat, sedangkan nilai kerapatan vegetasi pohon 900 ind/ha termasuk dalam kategori jarang (rusak).

(10)

Stasiun 3 termasuk mempunyai kondisi kerapatan mangrove yang baik pada vegetasi semai dan pancang karena mempunyai nilai kerapatan >1000 ind/ha sesuai dengan KepmenLH No 201 tahun 2004. Nilai kerapatan vegetasi semai adalah 5833 ind/ha dan vegetasi pancang 2800 ind/ha, sedangkan vegetasi pohon mempunyai nilai kerapatan 1000 ind/ha yang tergolong dalam kondisi kerapatan sedang. Stasiun ini merupakan kawasan wisata pantai yang hanya ditemukan jenis mangrove R. mucronata dan R. apiculata, pada stasiun juga dilakukan penebangan pohon mangrove untuk mendirikan

pondok-pondok wisata yang

mengakibatkan sedikitnya jumlah vegetasi pohon.

2. Frekuensi

Dari semua stasiun yang paling banyak ditemukan adalah jenis A. marina yang terdapat pada stasiun 1 dan 2 dan jenis mangrove R. mucronata yang terdapat pada stasiun 2 dan 3. Jenis mangrove A. officinalis hanya ditemukan pada stasiun 1 dan R. apiculata hanya terdapat pada stasiun 3, sementara mangrove jenis L. littorea hanya ditemukan pada stasiun 2 plot ke tiga. Stasiun 2 dan 3 merupakan kawasan mangrove yang terletak lebih ke arah darat yang dekat dengan aktivitas masyarakat. Mangrove jenis R. mucronata ditemukan pada kedua stasiun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bengen (2004), bahwa lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp., di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp., dan Xylocarpus sp., zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.

Frekuensi relatif terbesar berada pada stasiun 1 yaitu jenis pohon A. marina sebesar 62,96% dengan kriteria banyak ditemukan, kemudian jenis pohon R.

mucronata yang terdapat pada stasiun 3

sebesar 34,48% dengan kriteria jarang ditemukan dan yang terakhir jenis pancang

A. marina sebesar 27,58% yang terdapat

pada stasiun 2 dengan kriteria jarang

ditemukan. A. marina merupakan jenis mangrove yang mempunyai nilai frekuensi relatif tertinggi dari jenis lainnya karena merupakan jenis vegetasi yang mampu beradaptasi terhadap substrat atau kondisi lingkungannya.

3. Dominansi

Dominansi pohon terbesar berada pada stasiun 1 yaitu 13.83 m2/ha dengan jenis A. marina dan A. officinalis. Besarnya dominansi pada stasiun ini karena merupakan daerah perlindungan mangrove yang mempunyai jumlah pohon mangrove yang banyak dengan rata-rata diameter 15 – 17 cm. Pada stasiun 3 memiliki nilai dominansi pohon paling rendah yaitu 9,08 m2/ha dengan jenis R.

apiculata dan R. mucronata. Rendahnya

nilai dominansi pohon pada stasiun ini adalah karena mempunyai pohon mangrove yang sejenis dan jumlah yang sedikit dengan rata-rata diameter pohon 11 – 15 cm.

Dominansi relatif terbesar ditemukan pada stasiun 3 jenis R.

apiculata sebesar 60,56% yang termasuk

dalam kategori dominansi sedang. A.

marina mempunyai nilai dominansi relatif

sebesar 53,38% yang termasuk dalam kategori dominansi sedang terdapat pada stasiun 1. Stasiun 2 mempunyai dominansi relatif untuk semua jenis mangrove yang dikategorikan rusak karena nilainya < 50 %. Rendahnya nilai dominansi relatif pada stasiun 2 disebabkan seragamnya kondisi dan jumlah jenis mangrove yang ditemukan sehingga tidak dijumpai ada yang mendominasi.

Parameter Kualitas Air

Kedalaman perairan pada setiap stasiun mempunyai perbedaan sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada daerah perlindungan mangrove stasiun 1 yang mempunyai kedalaman 17 cm diperoleh hasil tangkapan kepiting bakau dengan ukuran kerapas yang lebih kecil dibandingkan dengan stasiun 3 yang

(11)

merupakan kawasan wisata pantai dengan kedalaman 67 cm yang memiliki ukuran kerapas yang lebih besar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hill (1982), bahwa di bagian depan perbatasan zona intertidal pada saat pasang tinggi, kepiting bakau yang tertangkap mempunyai lebar karapas 4 – 19 cm, sedangkan di daerah perlindungan hutan mangrove mempunyai lebar karapas 2 – 8 cm.

Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa dalam melangsungkan perkawinan, kepiting bakau terlebih dulu akan melepaskan karapasnya (moulting) dan sebelum moulting kepiting tersebut akan masuk dalam lubang yang mempunyai substrat lunak hingga karapasnya kembali mengeras. Substrat pada stasiun 1 adalah lempung berpasir dan substrat pada stasiun 2 dan 3 adalah pasir berlempung. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun 1 merupakan habitat yang mendukung kepiting bakau dalam tingkah laku pemijahannya karena mempunyai susbtrat yang lunak sementara stasiun 2 dan 3 kurang disukai karena mempunyai substrat yang tergolong kasar. Suhu perairan pada setiap stasiun berkisar antara 27,30 – 31,70 0C, dan dikategorikan dalam kondisi suhu yang dapat ditoleransi oleh kepiting bakau. Cholik (2005), menyatakan bahwa suhu yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau adalah 18 – 35 0C, sedang suhu yang ideal adalah 25 – 30 0C. Suhu perairan pada stasiun 2 dan 3 berada pada kisaran yang tinggi yaitu 30,35 0C dan 31,70 0C, suhu tersebut tentunya akan mempengaruhi reaksi metabolisme dalam tubuh kepiting bakau yang menyebabkan peningkatan laju konsumsi pakan sehingga ukuran kepiting bakau yang ditemukan pada kedua stasiun ini lebih besar.

Desa Tanjung Rejo memiliki salinitas perairan yang tidak jauh berbeda pada saat pengamatan yaitu 24 – 25 ppt. Ketiga stasiun tersebut tidak dijumpai adanya aliran air tawar sehingga salinitas air laut yang masuk ke hutan mangrove adalah yang mendominasi. Salinitas dengan kisaran 24 – 25 ppt dikategorikan

sesuai untuk kehidupan kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan Kathirvel dkk (1999), bahwa kepiting bakau hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 0 – 45 ppt. Salinitas optimum untuk pertumbuhan kepiting bakau dalam kegiatan budidaya adalah antara 15 – 35 ppt.

Wahyuni dan Ismail (1987), menjelaskan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu daerah yang bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. pH yang diperoleh dari hasil pengukuran selama dilapangan pada ketiga stasiun pengamatan yaitu 6,53 – 6,72, nilai tersebut sesuai untuk kehidupan kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan organisme yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga masih dijumpai pada berbagai kondisi dengan pH perairan yang berbeda.

Stasiun 1 mempunyai nilai DO yang rendah yaitu sebesar 3,80 mg/l karena memiliki substrat lempung berpasir dan keadaan perairan relatif tenang sehingga tidak terjadi pertukaran oksigen di udara. Stasiun 2 mempunyai DO sebesar 4,40 mg/l dan stasiun 3 sebesar 5,00 mg/l karena masih dipengaruhi oleh arus dan gelombang pantai dengan substrat pasir berlempung. Menurut Kordi (2000), kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa stasiun 1 mempunyai kandungan oksigen terlarut yang kurang sesuai untuk kepiting bakau sementara pada stasiun 2 dan 3 termasuk kategori yang sesuai untuk kehidupan kepiting bakau.

Kepiting Bakau 1. Kelimpahan

Stasiun 1 didominasi oleh jenis S.

transquebarica dengan jumlah rata-rata

sebesar 19 individu, banyaknya jenis ini ditemukan karena menyukai habitat hutan mangrove lempung berpasir. Pada stasiun 2 jenis kepiting bakau yang tertangkap

(12)

mempunyai jumlah yang tidak jauh berbeda sebanyak 10 – 12 individu, ketiga jenis tersebut dapat bertahan hidup pada substrat mangrove pasir berlempung. Stasiun 3 mempunyai jumlah rata-rata hasil tangkapan kepiting bakau tertinggi jenis S. serrata sebanyak 16 individu. S.

serrata merupakan jenis kepiting bakau

paling banyak ditemukan di hutan-hutan mangrove Indonesia.

Kelimpahan total kepiting bakau pada stasiun 1 sebesar 470 ind/ha dengan kerapatan pohon mangrove 2433 ind/ha. Banyaknya kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini didukung oleh kepadatan mangrove yang tinggi. Kelimpahan total kepiting bakau pada stasiun 2 sebanyak 370 ind/ha dengan kerapatan pohon mangrove 900 ind/ha. Sedikitnya kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini dipengaruhi oleh kerapatan mangrove yang dalam kondisi jarang (rusak). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kholifah dkk (2014), di Kampung Gisi Desa Tembeling Kabupaten Bintan, diperoleh kepadatan kepiting bakau sebesar 140 ind/ha pada kerapatan mangrove yang tinggi (2520 ind/ha), sedangkan pada kerapatan mangrove yang jarang (989 ind/ha) hanya ditemukan kepadatan kepiting bakau sebesar 111 ind/ha.

Pada stasiun 3 ditemukan kelimpahan total kepiting bakau yang terbesar dari semua stasiun yaitu mencapai 478 ind/ha dengan kerapatan pohon mangrove sebesar 1000 ind/ha yang tergolong dalam kondisi sedang. Besarnya nilai kelimpahan kepiting bakau pada stasiun ini dikarenakan ukuran mata jaring bubu yang digunakan nelayan sesuai untuk menangkap ukuran kepiting bakau dewasa yang habitatnya di perairan pantai pada saat pasang. Sementara pada stasiun 1 ukuran mata jaring bubu yang digunakan kurang sesuai untuk menangkap kepiting bakau karena pada habitat mangrove lebih di dominasi oleh kepiting bakau berukuran juvenile hingga remaja.

2. Kelimpahan Relatif

Kelimpahan relatif S. serrata yang terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu sebanyak 40,83%, kelimpahan relatif S.

transquebarica terdapat pada stasiun 1

yaitu 44,88% dan S. oceanica sebesar 34,16% yang ditemukan pada stasiun 2. Kisaran nilai kelimpahan relatif dari masing-masing spesies tergolong rendah dan tidak ditemukan adanya jenis yang mendominasi pada setiap stasiun. Hal ini dikarenakan kehidupan semua jenis kepiting bakau bergantung pada habitat mangrove, pada saat juvenile hingga remaja kepiting bakau akan menetap di hutan mangrove dan saat dewasa akan berpindah ke perairan laut untuk memijah. Kepiting bakau akan kembali lagi ke hutan mangrove pada siang hari mengikuti pergerakan pasang surut air laut.

Hubungan Kerapatan Mangrove dengan Kepiting Bakau

Hasil analisis regresi linear menggambarkan pengaruh kerapatan mangrove dan kelimpahan kepiting bakau dengan persamaan Y = 389,3+0,0348x. Koefisien korelasi (r) sebesar 0,4970 menerangkan hubungan antara kerapatan mangrove dan kelimpahan kepiting bakau di Desa Tanjung Rejo hanya 49,70% yang tergolong lemah. Faktor lainnya yang diduga menyebabkan hubungan kerapatan mangrove terhadap kelimpahan kepiting bakau di stasiun pengamatan berkorelasi lemah adalah penggunaan alat tangkap bubu dengan ukuran mata jaring yang kurang sesuai digunakan untuk menangkap semua ukuran kepiting bakau di habitat mangrove sehingga kurang optimal untuk menggambarkan hubungan yang sebenarnya di lapangan.

Strategi Pengelolaan Mangrove

Penebangan hutan mangrove, konversi lahan dan pembuangan limbah ke ekosistem mangrove akan mengakibatkan degradasi hutan mangrove di pesisir Percut khususnya Desa Tanjung Rejo yang tidak

(13)

hanya berdampak pada ekonomi masyarakat, tetapi juga mengakibatkan hilangnya habitat sumberdaya perikanan kepiting bakau yang dalam siklus hidupnya bergantung pada ekosistem mangrove. Diperlukan strategi pengelolaan mangrove seperti penetapan kawasan konservasi, pelarangan penebangan hutan, pemanfaatan kawasan yang tidak melebihi daya dukung dan tidak mencemari ekosistem mangrove dengan membuang limbah sembarangan.

Tingkat persaingan yang tinggi antar nelayan yang memanfaatkan sumberdaya kepiting yang sama mendorong untuk mengupayakan penangkapan yang intensif sehingga mengakibatkan terjadinya overfishing.

Maka diperlukan peraturan pembatasan ukuran penangkapan kepiting bakau melalui kerja sama pengelolaan maupun melalui kearifan lokal masyarakat untuk melindungi populasi dari kepunahan. Adanya sejumlah tambak yang ditemukan di hutan mangrove Desa Tanjung rejo turut meningkatkan penghasilan masyarakat, maka untuk menjamin keberlanjutannya dapat diterapkan sistem silvo-fishery. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Kerapatan pohon mangrove di Desa Tanjung Rejo pada stasiun 1 adalah 2433 ind/ha yang termasuk dalam kategori padat. Pada stasiun 2 kerapatan pohon mangrove tergolong jarang (rusak) yaitu 900 ind/ha. Pada stasiun 3 kerapatan pohon mangrove tergolong sedang yaitu 1000 ind/ha.

2. Pengaruh kerapatan pohon mangrove dan kelimpahan kepiting bakau diperoleh persamaan regresi Y = 389 + 0,0348x. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,4970 artinya hubungan antara kerapatan mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau tergolong lemah yaitu sebesar 49,70%.

Saran

Perlu dilakukan kajian lanjut mengenai hubungan kerapatan mangrove terhadap kelimpahan kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap bubu yang mempunyai ukuran mata jaring yang disesuaikan untuk menangkap semua ukuran kepiting bakau di habitat mangrove dan lebih diperhatikan lagi penggunaan umpan serta kondisi pasang surut air laut sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius. Yogyakarta.

Bengen, D. G. 2004. Mengenal dan Memelihara Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Cholik, F. 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. Central Research Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi. Jakarta.

Hill, B. J. 1982. Effect of the Temperature on Feeding and Activity Crab

Scylla serrata. Mon. Biol. 59: 189

– 192.

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta.

Kathirvel, M., S. Srinivasagam dan S. Kulasekarapandian. 1999. Manual on Mud Crab Culture. Central Institute of Brackishwater Aquaculture (Indian Council of Agricultural Research). CIBA Special Publication. No.7.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004. Tentang

(14)

Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kompasiana, 2014. Kompasiana 16

Desember 2014 Tanam 20.000

Pohon Mangrove untuk

Membangun Perisai di Pesisir

Percut. Diakses dari

www.kompasiana.com [07 September 2015].

Kusmana, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IF. Bogor. Pagcatipunan, P. 1972. Observation on the

Culture of Alimango, Scylla

serrata at Camarines Norte (Philippines), pp. 362-365. In T.R.V. Pillay, (ed). Coastal Aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (Books). Manila.

Soim, A. 1999. Budidaya Kepiting Bakau. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wahyuni, I. S dan W. Ismail. 1987. Beberapa Kondisi Lingkungan Perairan Kepiting Bakau (Scylla

serrata, Forskal) di Perairan

Tanjung Pasir, Tangerang. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 38 : 59-68.

Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistik [Terjemahan dari Introduction to Statistic 3 rd Edition]. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Kerapatan Vegetasi Mangrove    Stasiun Pengamatan
Gambar  2.  Kelimpahan  Kepiting  Bakau  Setiap  Jenis  Stasiun  Pengamatan

Referensi

Dokumen terkait

Hemat penulis, di era digital seperti saat ini maka pustakawan harus banting stir dari yang semula hanya mengelola koleksi dalam artian fisik menjadi lebih makro yaitu

Hasil yang didapat menunjukkan pada glukosa dan maltosa isolat bakteri bersifat positif karena warna pada media yang digunakan berubah dari hijau menjadi kuning

karena ena sif sifat at yan yang g dim dimili ilikin kinya, ya, ant antena ena mik mikros rostri trip p san sangat gat ses sesuai uai deng dengan an keb kebutu utuhan

Dalam penelitian ini peneliti menjadikan para kaum gay yang berinteraksi pada aplikasi Jack’D sebagai subjek dari objek penelitian yakni Pola Interaksi Sosial. Jika

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen yaitu penelitian eksperimen sesungguhnya ( True Experimental Research ). Variabel terikat dalam

Analisis daya terima produk biskuit yang diperkaya tepung daun kelor pada penelitian ini dilakukan dengan cara 3 metode uji organoleptik yaitu metode uji tingkat

Apabila probabilitas tingkat signifikansi uji F-hitung lebih kecil dari tingkat signifikansi tertentu yakni 5%, maka pengaruh variabel independen yaitu gaya

Penelitian ex post facto ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh disiplin belajar, lingkungan sosial dan variasi gaya mengajar guru terhadap hasil belajar