• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Daun Rami dan Pemanfaatannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Daun Rami dan Pemanfaatannya"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Daun Rami dan Pemanfaatannya Taksonomi Tanaman Rami

Rami adalah tanaman tahunan berumpun yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina ini secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L.). Sistem perakaran (dimorfis) yang dimiliki rami memiliki dua fungsi yakni sebagai akar reproduksi (rhizom) yang menjalar di bawah permukaan tanah dan akar umbi sebagai penyimpan cadangan makanan. Daun rami berbentuk seperti jantung dengan bagian bergerigi halus. Daun rami banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk hijau. Tanaman rami dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah, namun hanya dapat tumbuh ideal pada ketinggian diatas 700 m dpl (dataran tinggi) dengan rata-rata curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun. Suhu ideal yang diinginkan rami berkisar 20o-27o C (Budi et al., 2005). Pada kondisi ideal, tanaman rami dapat dipanen 5-6 kali/tahun (Balai Penelitian Ternak, 2012). Adapun sistematika botani tanaman rami berasal dari divisi magnoliophyta (Angiospermae), kelas magnoliosida, dan termasuk bangsa Urticales (tanaman berbunga) dalam keluarga Urticaceae (Budi, 2005). Tanaman rami satu keluarga dengan tanaman mamaki (Pipturus albidus) dan aljai (Debregeasia caeneb). Beberapa varietas rami yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain adalah Pujon10, Florida, dan Lembang. Saat ini rami telah dikembangkan di Malang, Wonosobo, Garut, Sukabumi dan Bogor meskipun dalam luasan yang terbatas.

(2)

4 Morfologi Daun Rami

Daun rami berbentuk seperti hati, dengan ukuran yang relatif cukup besar dibandingkan dengan daun tanaman lain yang sejenis dengan panjang daun (lamina) 7,5-20 cm, lebar 5-15 cm, dan cenderung berkerut. Daun berwarna hijau muda sampai hijau tua, tergantung varietas, umur, perawatan, dan sistem budi daya. Secara garis besar, ada dua kelompok tanaman rami, yaitu rami putih yang memiliki lapisan bawah daun berwarna putih keabuan dan mengkilap, serta rami hijau dengan lapisan bawah daun berwarna hijau dengan ukuran daun yang lebih kecil. Daun rami sedikit berbulu pendek sehingga terkesan agak kasar, namun relatif lunak dan tidak berkayu (Balai Penelitian Ternak, 2012).

Pinggir daun bergerigi lancip hingga tumpul berwarna seperti warna laminanya. Tulang daun berwarna hijau muda sampai hijau tua atau merah muda hingga merah tua. Tangkai daun (petiole) berwarna hijau muda hingga hijau tua serta merah muda hingga merah tua. Panjang petiole sekitar 3-12 cm, ada yang lebih pendek dari panjang daun, tetapi ada yang hampir sama dengan panjang daun, tergantung dari macam klonnya. Sudut daun (daun-daun bagian atas) berkisar antara 50°-120° (agak tegak sampai terkulai) (Budi et al., 2005).

Potensi Produksi

Budidaya tanaman rami ini merupakan usaha yang menjanjikan. Menurut FAO (2012) tanaman rami per hektar dapat menghasilkan hijauan hingga 300 ton bahan segar/tahun atau setara dengan 42 ton bahan kering (BK). Produksi hijauan rami di Indonesia berasal dari setiap kali pemotongan atau panen. Sebanyak 44% dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun, sehingga setiap tahun dapat dihasilkan daun segar sebanyak 14ton/ha (Balai Penelitian Ternak, 2012). Dari tanaman hijau rami sebanyak 66.286 kg diperoleh 26.514 kg (40%) daun hijau dan dari daun hijau ini diperoleh 1.856 kg (7%) tepung daun kering (Tirtosuprobo, 2011). Daun rami memiliki potensi yang besar untuk pakan hijauan kaya protein, baik untuk ternak ruminansia (sapi, domba dan kambing) maupun nonruminansia (seperti unggas) dan kelinci. Perontokan daun perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak batang sebagai bahan baku serat. Perontokan akan mengurangi bobot batang, sehingga dapat menurunkan biaya pengangkutan batang dari kebun ke tempat pengolahan. Bila satu hektar tanaman rami dapat menghasilkan 14 ton hijauan segar

(3)

5 per tahun, dan proporsi daun rami dalam ransum ternak ruminansia sekitar 30-40%, maka setiap hektar tanaman rami dapat menunjang 2-4 ekor sapi atau 15-25 ekor domba (Balai Penelitian Ternak, 2012). Tepung daun rami dapat menggantikan tepung daun alfalfa. Substitusi tepung daun alfalfa dengan tepung daun rami sampai 9% dalam pakan tidak menunjukkan perbedaan pengaruh berdasarkan parameter angka kematian, pertumbuhan dan bobot ayam (Mehrhof et al., 1950). Sebagai komponen ransum unggas, pemanfaatan daun rami belum banyak dilaporkan. Namun diyakini, dengan teknik pengolahan yang benar menjadi bentuk tepung dapat dijadikan komponen ransum, dengan tetap memperhatikan kandungan serat kasar sebagai pembatas (Mathius dan Sinurat, 2001).

Kandungan Nutrient Daun Rami

Tanaman rami memenuhi semua unsur-unsur utama atau nutrien makro yang dibutuhkan ternak, antara lain protein kasar 16,35%, lemak kasar 6,36%, serat kasar 13,61% dan abu 20,50% (Despal et al. 2011). Menurut de Toledo et al. (2008) kandungan protein kasar daun rami berkisar 19% sedangkan alfalfa sebesar 20%.

Daun rami merupakan hasil sampingan dari tanaman rami yang batangnya digunakan sebagai bahan baku industri kapas dan tekstil. Daun rami memiliki potensi sebagai pakan ternak karena kandungan nutriennya yang cukup baik. Kandungan protein kasar daun rami mencapai 21%, lemak kasar 4%, serat kasar 20%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 46% dan mineral Ca 5,74% (Duarte et al., 1997).

Tabel 1. Kandungan nutrien daun rami dengan hijauan tropis lain.

Sumber : Veloso et al. (2000)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Veloso et al. (2000), pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar protein daun rami juga lebih besar dibandingkan dengan legum Kompone n Kandungan Nutrient (%) Daun Rami (Boehmeria nivea) Kacang Hiris (Cajanus cajan) Glycine (Neotonia wightii) Petai Cina (Leucaena leucocephala) Daun Singkong (Manihot esculenta) Protein Kasar 27,58 19,98 26,01 25,45 37,63 Lemak Kasar 9,7 6,9 5,08 9,82 5,86 Abu 18,02 4,38 8,64 9,82 6,86

(4)

6 tropis seperti petai cina, kacang hiris dan Glycine. Kadar abu daun rami lebih besar dibandingkan daun singkong, petai cina, kacang iris dan glycine.

Pemanfaatan Daun Rami

Daun rami memiliki potensi yang besar untuk pakan, baik untuk ternak ruminansia (sapi, domba dan kambing) maupun nonruminansia (seperti unggas) dan kelinci. Perontokan daun perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak batang sebagai bahan baku serat. Penelitian awal untuk memanfaatkan daun rami sebagai pakan hijauan telah dilakukan antara lain untuk kelinci, domba, sapi potong, sapi perah, dan ayam. Ternyata pemberian rami dalam jumlah tertentu dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup, produksi susu maupun telur. Untuk ternak ruminansia, pemberian daun rami lebih dari 50% total ransum tidak memberi pengaruh yang negatif. Hal ini berarti daun rami cukup berpotensi sebagai alternatif bahan pakan hijauan dan dapat merupakan bagian dari ransum. Ditinjau dari kandungan protein kasarnya, tidak mustahil daun rami dapat dipakai sebagai substitusi sebagian pakan konsentrat atau bahan pakan lain sumber protein (Balai Penelitian Ternak, 2012).

Daun rami sebagai produk sampingan dalam pertanian rami berpotensi sebagai pakan ternak, dalam penelitian de Toledo et al. (2008) rami dapat menggantikan alfalfa sebanyak 15% dalam pakan kelinci dengan rata-rata pertambahan bobot badan 26,4 g/hari, dengan rasio konversi pakan 3,30. Bila substitusi dalam pakan mengandung rami dan alfalfa masing-masing 7,5% dapat meningkatkan rata-rata pertambahan bobot badan sebesar 28 g/hari, dengan rasio konversi pakan 3,34. Penelitian Duarte et al. (1997) dengan menggunaan daun rami sampai 20% dalam pakan tidak menunjukkan perubahan yang berarti pada pertumbuhan tikus (Rattus norvegicus), substitusi sampai dengan 40% dapat menyebabkan kematian pada tikus. Substitusi daun rami pada pakan perlu suplementasi metionin, fosfor dan tembaga.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Veloso et al. (2000) kadar protein kasar daun rami lebih tinggi dibandingkan dengan petai cina. Uji kecernaan dengan metode in sacco pada ternak sapi dari ras Zebu jantan dengan fistula, untuk membandingkan kecernaan potensial dan kecernaan efektif antara rami dengan beberapa hijuan lainnya seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

(5)

7 Tabel 2. Kecernaan daun rami dibandingkan dengan hijauan lainnya

Parameter Petai Cina (Leucaena leucocephala) Kacang Hiris (Cajanus cajan) Glycine (Neonotonia wightii) Rami (Boehmeria nivea) Daun Singkong (Manihot esculenta) Kecernaan Potensial (%) 81 57,76 65,82 86,72 77,62 Laju Degradasi (%/h) 7,2 2,5 18,2 9,9 9,7

Sumber : Veloso et al. (2000)

Kadar nutrien daun rami lebih besar dibandingkan dengan seluruh bagian tanaman rami (Tuyen, 2007). Penelitian secara in vivo yang dilakukan oleh Tuyen et al. (2007) menunjukkan angka kecernaan antara tanaman rami utuh, daun rami segar dan daun rami yang telah dikeringkan pada ternak kambing seperti digambarkan pada Tabel 3. Daun rami segar secara umum memiliki kecernaan lebih besar dibandingkan tanaman rami utuh dan daun rami yang dikeringkan. Daun rami segar memiliki kecernaan yang tinggi sehingga penggunaannya sebagai pakan ternak sebaiknya dalam keadaan segar.

Tabel 3. Kecernaan bagian-bagian dari tanaman rami dengan metode in vivo

Bagian Tanaman Kecernaan (%)

Bahan Kering Protein Kasar Bahan Organik Serat Kasar

Tanaman rami 55,5 75,9 66,1 44,2

Daun Rami Segar 62,5 80,9 78,5 70,4

Daun Rami Kering 54,4 60,6 63,1 65,8

Sumber : Tuyen et al. (2007)

Daun rami sebagai limbah pertanian rami sebagai pakan dapat meningkatkan pertumbuhan pada domba Texel di Wonosobo (Kuntjoro et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun belum dapat menggantikan fungsi konsentrat, penambahan limbah rami sebanyak 10%, 20% dan 30% pada pakan dapat meningkatkan pertumbuhan bobot tubuh domba masing-masing sebesar 186,67 g/hari, 153,34 g/hari dan 103,34 g/hari. Perlakuan pada penelitian ini adalah P1 hanya diberikan hijauan, P1 konsentrat tanpa penambahan rami, P2 90% konsentrat dengan penambahan 10% hay rami, P3 80% konsentrat dengan penambahan 20% rami dan P4 70% konsentrat dengan penambahan 30% hay rami. Penambahan daun

(6)

8 rami juga meningkatkan statistik vital pada dalam dada domba sebesar 1,20 cm, 0,95 cm dan 0,90 cm; panjang tubuh 0,05 cm, 1,00 cm dan 0,75 cm; dalam dada 1,50 cm, 0,15 cm dan 0,3 cm. Sementara itu penambahan limbah rami pada pakan ternak hanya dapat meningkatkan penambahan ukuran statistik vital dalam dada pada pemberian rami 30% sebesar 0,15 cm.

Daun rami juga berpotensi untuk dikonsumsi oleh manusia sebagai sumber antioksidan selain teh hijau. Daun rami mengandung zat antioksidan polyphenol 149 mg/g, nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada teh hijau yang mengandung kadar polyphenol 10,98 mg/g. Selain kandungan antioksidan polyphenol yang tinggi, daun rami juga mengandung antioksidan flavonoid 49 mg/g (Lee et al., 2009). Ekstrak tanaman rami dalam bidang medis juga bermanfaat sebagai hepatoprotektif karena dapat mengurangi efek kerusakan dan sirosis hati akibat infeksi virus hepatitis B (Chang et al. 2008).

Teknik Preservasi Hijauan

Dari setiap kali pemotongan atau panen, hampir 44% dari total biomassa yang dihasilkan adalah daun, sehingga setiap tahun dapat dihasilkan daun segar sebanyak 14 ton/ha (Balai Penelitian Ternak). Potensi kuantitas daun rami yang cukup besar ini, perlu adanya teknik pengawetan untuk menjaga kualitas nutrient daun rami dalam kondisi segar. Kadar nutrient daun rami segar lebih baik dibandingkan daun rami yang sudah dikeringkan (Tuyen et al. 2007).

Pada penelitian Despal et al. (2011), diketahui bahwa proses ensilasi daun rami dengan bahan aditif gaplek menghasilkan silase daun rami berkualitas baik. Ensilasi daun rami dengan bahan aditif berupa pollard, jagung, dedak dan onggok menghasilakn silase daun rami cukup baik. Penelitian Safarina et al. (2009) menyatakan bahwa silase daun rami yang diuji secara in vitro menghasilkan kecernaan bahan organik lebih dari 72%. Angka tersebut mengindikasikan bahwa silase daun rami merupakan pakan yang fermentabel dan tinggi kecernaannya. Dengan demikian daun rami berpotensi digunakan sebagai pakan ternak ruminansia.

Teknik preservasi hijauan secara umum dibagi atas dua yaitu silase dan hay. Silase merupakan teknik preservasi hijauan dengan cara fermentasi hijauan pada kondisi kadar air yang cukup tinggi. Hay adalah teknik preservasi dengan cara mengeringkan hijauan (FAO, 2012). Silase didasarkan pada fermentasi alami asam

(7)

9 laktat dimana BAL (Bakteri Asam Laktat) memfermentasi gula atau karbohidrat mudah terlarut menjadi produk utamanya asam laktat secara anaerob. Fermentasi umumnya berlangsung secara anaerobik di dalam wadah yang disebut silo. Pada lingkungan seperti ini, fermentasi asam laktat menyebabkan kondisi lingkungan yang asam (pH sekitar 4) yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk sehingga silase dapat disimpan dalam waktu lama tanpa mengalami pembusukan (McDonald et al. 1995). Jika ensilasi tidak berlangsung dengan benar, maka banyak produk lain yang akan dihasilkan seperti asam butirat dan silase berkualitas rendah serta tidak palatable (Moran, 2005).

Proses pembuatan silase, secara garis besar terdiri dari empat fase : (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Setiap fase mempunyai ciri khas, sebaiknya diketahui agar kualitas hijauan sejak panen, pengisian ke dalam silo, penyimpanan dan periode pemberian pada ternak dapat terpelihara dengan baik agar tidak terjadi penurunan kualitas hijauan tersebut. Prinsip pembuatan silase menurut Muck (2011), adalah pemeliharaan lingkungan aerobik dan fermentasi gula.

Homo-fermentasi lactobacilli memegang peranan aktif pada kualitas silase. Khususnya Lactobacillus plantarum diketahui sebagai mikroorganisme homo-fermentatif pada silase dan suatu strain khusus yang berasal dari material tanaman. Beberapa jenis lactococci juga berperan untuk membuat kondisi asam pada silase pada tahap awal fermentasi. Kemudian lactobacilli menjadi mikroorganisme yang dominan untuk menyebabkan suasana asam pada silase. Beberapa hal yang penting untuk menghasilkan silase berkualitas tinggi adalah kandungan bahan kering sekitar 35 – 40%, cukup mengandung gula (lebih dari 2% BS), rapat dan cepat ditutup (kedap udara) suhu penyimpanan untuk homofermentatif LAB (McDonald et al., 1995).

Penyiapan silase berkualitas tinggi tidak mudah, tergantung dari keberadaan LAB alami. Penambahan aditif silase perlu dilakukan jika LAB rendah. Aditif silase LAB atau media yang baik untuk pertumbuhan LAB seperti WSC tinggi dan DM yang sesuai dapat meningkatkan kualitas silase (McDonald et al. 1995).

Menurut Moran (2005), ada 9 tahap pembuatan silase berkualitas yaitu 1) pemanenan hijauan ketika produksi berlimpah dan kualitas tinggi, 2) kandungan

(8)

10 bahan kering hingga 30%, 3) penambahan bahan mudah difermentasi pada saat membuat silase, 4) pemotongan hijauan 1 – 3 cm sebelum diensilasi, 5) pemadatan hijauan sebisa mungkin, 6) pemasukan hijauan ke silo secepat mungkin, 7) kedap udara sesegera mungkin, 8) penjagaan kondisi silo kedap selama proses fermentasi, dan 9) pengeluaran silase dari penyimpanan minimum 20 cm setiap hari.

Fase ensilasi menurun Moran (2005) terdiri dari fase aerobik, fase fermentasi, fase stabil dan fase anaerobik. Hijauan di daerah tropis kurang cocok untuk dibuat silase karena kandungan karbohidrat terlarut airnya yang rendah. Namun, pelayuan dan penambahan substrat yang fermentable sebelum ensilasi yang akan menghasilkan silase yang baik dengan menurunkan kapasitas buffer, dan proteolisis (Titterton dan Pareeba, 2000).

Macam-macam Bentuk Silo

Dengan jumlah produksi hijauan yang cukup tinggi per luasan lahan tanaman rami, perlu silo yang besar untuk dapat mengawetkan daun rami tersebut menjadi silase. Jenis silo yang digunakan akan memengaruhi kualitas fisik dan kimia dari silase (Kizilsimsek et al., 2005). Pada umumnya terdapat berbagai jenis silo yang dapat digunakan sesuai kebutuhan seperti trench silo, bunker silo, weenie bags dan plastic wrapped (Perry et al., 2003).

Trench Silo

Silo jenis ini biasanya terdiri atas galian tanah ke arah sisi. Trench silo memiliki berbagai ukuran tergantung kondisi lahan.Trench silo biasanya dibuat menyempit pada bagian bawah dengan tujuan efektivitas pemadatan materi silase. Lantai dan dinding trench biasanya dibuat dari beton kokoh. Secara khas pada trench silo, lantai dibuat miring dengan tujuan drainase pada proses ensilasi. Bahan silase yang telah dipadatkan kemudian ditutup dengan plastik lalu diberi pemberat oleh tanah, ban bekas, papan atau bahan lainnya. Silo jenis ini dapat digunakan untuk membuat silase dengan kuantitas yang sangat besar dan waktu penyimpanan yang lebih lama. Silase dapat digunakan dengan pengeluaran silase secara bertahap tanpa merusak bagian lain dari silase (Perry et al. 2003). Menurut Ensminger (1977) trench silo merupakan silo yang ekonomis karena biaya pembuatannya yang murah dan

(9)

11 konstruksi yang paling mudah dibuat. Berikut adalah gambar trench silo pada Gambar 2.

Gambar 2. Trench silo

Sumber : http://www.alsconcreteproducts.com/bunkersilo.htm Bunker Silo

Silo ini biasanya digunakan pada lahan datar dan berkerikil. Bunker silo digunakan sama seperti trench, perbedaan terdapat pada bagian depan terdapat diatas tanah dan bagian belakang silo terdapat dibawah tanah. Bunker silo merupakan silo tipe semi-underground, sebagian terletak agak kedalam lapisan tanah dan sebagian lainnya muncul kepermukaan tanah.

Weenie Bags

Silo ini merupakan silo bukan permanen, biasanya hanya digunakan satu kali. Penggunaan weenie bags merupakan alternatif pembuatan silase yang cukup mahal. Namun, kualitas silase dapat lebih terjaga karena udara yang berada di dalam weenie bags sangat terbatas. Proses penanganan silase pada weenie bags pun lebih mudah. Plastic-wrapped Bales

Silo ini hampir sama dengan weenie bags, dimana plastik digunakan untuk membatasi akses oksigen ke dalam silase selama proses ensilasi. Pada proses ini mesin pemotong membantu dalam proses pemasukan bahan kedalam plastik. Proses ini dapat digunakan dengan direct-chopped. Silo ini disimpan diluar ruangan dengan berbagai kondisi lingkungan dan cuaca. Beban yang cukup berat pada silo ini sehingga membutuhkan bantuan penggunaan tractor front-end loader. Pada beberapa

(10)

12 negara, penyimpanan plastic-wrapped bales ini menjadi sangat penting untuk menghindari gangguan dari burung yang akan melubangi plastik.

Tower Silo

Conventional Upright. Pada masa-masa sekarang ini, silo jenis ini dikonstruksi dari beton bertulang. Silo ini berbentuk silinder dan memiliki atap untuk melindungi kelebihan bahan. Silo ini juga dilengkapi dengan rangkaian pintu ukuran 2 x 1, yang terletak setiap 4 kaki antar sisi silo. Untuk pengambilan silase ini menggunakan mesin dan diambil dari bagian atas. Jika silo ini ingin digunakan kembali maka perlu dikosongkan terlebih dahulu bahan sebelumnya.

Airtight Sealed Silo. Silo ini mirip dengan jenis conventional upright. Silo ini dibuat dari bahan metal. Ukuran diameter silo ini biasa 18 – 40 kaki dan tinggi 40 – 100 kaki. Hijauan yang dapat dibuat silase efektif pada silo ini dengan bahan kering 25% - 75%.

Silo tersebut dapat dikelompokkan menjadi silo permanen dan portabel. Pembuatan silase dapat dilakukan di dalam semacam sumur yang disebut ”Pit Silo”; lubang di tanah yang bentuknya memanjang yang disebut ”Trench Silo” atau bangunan yang menjulang diatas tanah yang berbentuk bundar, baik dari beton maupun plat besi yang disebut ”Tower Silo”. Paling murah adalah trench silo atau pit silo. Tetapi perlu diperhatikan bahwa tempat pembuatan trench silo atau pit silo tersebut harus di tanah miring atau tinggi hingga tidak tergenang air waktu hujan, karena genangan air dalam silo tersebut dapat membawa akibat buruk terhadap silase yang dibuat. Lubang silo hendaknya jangan kerembesan air untuk menghindari tergenangnya air di dalam silo dapat dibuatkan lapisan beton dari dinding silo tersebut, atau dibuat silo yang tidak terlalu dalam (trench silo) dan dibuatkan saluran-saluran penyalur air di sekitarnya hingga tidak merembes ke dalam silo (Siregar, 1996).

Trench dan bunker merupakan silo yang dapat digunakan untuk membuat silase dengan kuantitas yang sangat besar dan waktu penyimpanan yang lebih lama. Silase dapat digunakan dengan pengeluaran silase secara bertahap tanpa merusak bagian lain dari silase. Bag silo adalah silo untuk membuat silase dengan kuantitas yang lebih kecil serta lebih mudah ditangani namun kurang ekonomis (Perry et al.,

(11)

13 2003). Produksi daun rami yang tinggi tentunya memerlukan silo dengan kapasitas yang besar dan ekonomis.

Kualitas silase pada bag silo lebih mudah dikontrol dibandingkan dengan trench silo. Pada penelitian Kizilsimsek et al. (2005), membandingkan kualitas silase antara silo skala besar seperti trench dan bunker dengan silo skala kecil seperti bag silo. Hasil menunjukkan bahwa kualitas fisik silase antara kedua jenis silo tidak berbeda nyata. Demikian juga pada parameter kimia menunjukkan bahwa silase dari kedua jenis silo memiliki kualitas yang tidak berbeda. Daun rami dengan produksi yang tinggi sehingga perlu preservasi dalam kondisi segar untuk dapat mempertahankan kualitasnya. Trench silo dapat menjadi pilihan dalam mempertahankan kualitas daun rami dengan proses ensilasi.

Kualitas Silase

Keberhasilan pembuatan silase tergantung pada tiga faktor utama yaitu populasi bakteri asam laktat, sifat-sifat fisik dan kimiawi bahan hijauan yang digunakan dan keadaan lingkungan. Kualitas silase yang dihasilkan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: hijauan yang digunakan, zat aditif dan kadar air di dalam hijauan tersebut. Kadar air yang tinggi mendorong pertumbuhan jamur dan menghasilkan asam butirat, sedangkan kadar air yang rendah menyebabkan suhu di dalam silo lebih tinggi sehingga mempunyai resiko yang tinggi terhadap terjadinya kebakaran. Keberadaan dan keadaan BAL alami yang cukup baik dalam proses ensilasi atau penambahan aditif silase berupa BAL atau bahan yang mengandung sumber gula dan bahan kering yang sesuai dapat menghasilkan silase berkualitas baik (McDonald et al., 1995). Proses pelayuan dan penambahan bahan lain yang mengandung gula juga dapat menghasilkan silase berkualitas baik. Hal ini terutama perlu dilakukan pada hijauan tropis yang memiliki karbohidrat terlarut air dalam jumlah sedikit (Titterton dan Pareeba, 2000). Selain itu, silase yang dibuat juga harus kedap udara dan suhu penyimpanan yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat homofermentatif (McDonald et al., 1995).

Pada penelitian Despal et al. (2011), parameter yang diamati untuk mengetahui kualitas daun rami antara lain a) karakteristik fisik silase meliputi perubahan warna, aroma, tekstur dan keberadaan mikrob pembusuk; b) karakteristik

(12)

14 fermentatif silase, yaitu nilai pH, kehilangan BK, perombakan protein, karbohidrat mudah larut air dan profil asam organik yang dihasilkan dari ensilasi; c) karakteristik utilitas silase daun rami secara in vitro ditentukan berdasarkan fermentabilitas bahan organik membentuk volatile fatty acid (VFA), fermentabilitas protein menghasilkan amonia (NH3), kecernaan BK dan bahan organik (BO).

Karakteristik Fisik

Karakteristik fisik silase meliputi perubahan warna, aroma, tekstur dan keberadaan mikroba pembusuk. Menurut Saun & Heinrich (2008), warna silase berkualitas baik adalah berwarna normal seperti kuning kehijauan sampai agak coklat (Tabel 4). Bila silase berwarna kecoklatan menandakan terjadi reaksi karamelisasi sehingga bahan kering dalam silase banyak terdegradasi. Parameter berikutnya yaitu aroma silase. Aroma silase berkualitas baik adalah berbau asam segar. Secara umum silase yang baik mempunyai ciri-ciri yaitu rasa dan bau asam, tetapi segar dan enak. Bau asam yang timbul disebabkan oleh pembentukan asam-asam organik seperti asam-asam laktat, asetat dan butirat dari degradasi pati pada proses ensilasi (Siregar, 1996).

Tabel 4. Karakteristik Aroma dan Warna Silase

Aroma Warna Sebab

Asam kekuningan asam asetat

Alkohol normal ethanol

Sharp sweet normal asam propionat

Rancid butter kehijauan asam butirat

Karamel/tembakau coklat kehitaman temperatur yang tinggi Sumber : Saun & Heinrich (2008).

Tekstur dan kelembaban silase juga menjadi parameter fisik silase. Tekstur silase yang baik adalah remah dan tidak menggumpal. Kelembaban silase dapat bervariasi pada bagian-bagian silase yang dibuat pada bunker silo. Keberadaan jamur (molds) pada silase dapat mengindikasikan bahwa silase terlalu lembab, jamur tidak akan tumbuh pada kelembaban kurang dari 15% (Saun & Heinrich, 2008).

(13)

15 Karakteristik Fermentatif

Karakteristik fermentatif silase, yaitu nilai pH, kehilangan BK, perombakan protein, karbohidrat mudah larut air dan profil asam organik seperti kadar volatile fatty acid (VFA) yang dihasilkan dari ensilasi. Nilai pH pada silase berkualitas baik yaitu berkisar antara 3,8 – 4,8. Kadar air bahan akan berkorelasi negatif terhadap nilai pH. Kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan pH lebih lambat sehingga terjadi proteolisis oleh bakteri Clostridia (Saun & Heinrich, 2008).

Kehilangan bahan kering dapat terjadi akibat degradasi bahan kering selama proses ensilasi. Pada fase awal ensilase dalam kondisi masih aerobik dan pH normal, mikroba pendegradasi masih dapat merombak bahan kering dan nutrien pada bahan. Perombakan protein merupakan salah satu parameter untuk mengetahui kualitas silase. Protein yang mengalami proteolisis dapat dilihat melalui banyaknya kadar amonia (NH3) pada fase awal ensilasi yaitu fase aerobik. Pada fase ini proses proteolisis terjadi karena pH normal dan keberadaan bakteri Clostridial. Amonia yang terbentuk akan memengaruhi penurunan pH pada silase sehingga protein dalam hal ini dapat menimbulkan buffering capacity pada proses ensilasi. Kadar NH3 pada silase diharapkan kurang dari 8 - 10% (Saun & Heinrich, 2008).

Parameter lainnya antara lain kadar VFA, VFA menggambarkan proses fermentasi pada ensilasi. Penting untuk memahami bahwa tingkat VFA akan sangat bervariasi berdasarkan spesies tanaman, bahan kering saat panen, alami dan menambahkan populasi bakteri, bidang kerugian respirasi, cuaca dan sinar matahari sebelum panen, dan yang paling penting yang gula isi tanaman setelah mencapai struktur penyimpanan. Kadar VFA pada silase hijauan basah berkualitas baik yaitu antara 10 – 14%, sedangkan pada silase bijian yaitu antara 2 – 4% (Saun & Heinrich, 2008).

Parameter lain untuk karakteristik fermentatif yaitu kadar karbohidrat mudah larut (water soluble carbohydrate). Karbohidrat mudah larut ini akan digunakan sebagai prekursor bagi mikroba fermentatif untuk menghasilkan asam-asam organik sehingga menurunkan pH silase. Penambahan WSC dapat mempercepat pembentukan asam-asam organik untuk menurunkan pH sehingga menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk. Kadar WSC normal pada silase yaitu 1 – 3% (Seglar et al., 2003).

(14)

16 Karakteristik Utilitas

Karakteristik utilitas silase daun rami secara in vitro ditentukan berdasarkan fermentabilitas bahan organik membentuk volatile fatty acid (VFA), fermentabilitas protein menghasilkan amonia (NH3), kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO). VFA (Volatile Fatty Acid) atau asam lemak terbang merupakan sumber energi utama bagi ruminansia dan merupakan hasil akhir dari fermentasi gula, selain energi buat ternak ruminansia VFA juga merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan organik oleh mikroorganisme pada proses ensilase. Menurut McDonald et al (1995) pakan yang masuk kedalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Dalam rumen karbohidrat pakan mengalami tiga tahap pencernaan enzim-enzim yang dihasilkan mikroba rumen. Tahap pertama karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan pentosa.

Protein yang masuk kedalam rumen akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, kemudian dihidrolisis menjadi asam amino dan secara cepat akan dideaminasi menjadi amonia. Asam amino dan amonia akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Proporsi protein yang didegradasi dalam rumen pada umumnya sekitar 70-80% dan untuk protein yang sulit dicerna sekitar 30-40%. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 yang tinggi didalam rumen (McDonald et al., 1995).

Produksi amonia (NH3)dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan. Produksi amonia juga dipengaruhi oleh sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald, 1995).

Gambar

Gambar 1. Tanaman Rami
Tabel 1. Kandungan nutrien daun rami dengan hijauan tropis lain.
Tabel 3. Kecernaan bagian-bagian dari tanaman rami dengan metode in vivo
Gambar 2. Trench silo
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai refleksi, guru membimbing peserta didik untuk membuat kesimpulan tentang pelajaran yang baru saja berlangsung serta menanyakan kepada peserta didik apa

SMB atau Server Message Block adalah protokol untuk transfer file dilingkungan Windows yang berada pada layer …… dalam TCP/IP model.. Physical address dari Network Interface Card

Dari Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kemampuan menyelesaikan soal-soal peserta didik kelas X IPA SMA Negeri 1 Dua Pitue masih berada pada kategori sedang

Aspek-aspek yang membentuk minat membaca komik Jepang pada diri seseorang merupakan penjabaran dari aspek-aspek minat, yang meliputi kesadaran akan manfaat objek minat, perhatian

Persentase sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi sesuai bidangnya 06 Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Tingkat ketepatan pelaporan capaian Capaian Kinerja

Hal ini terkadang menyebabkan pasien menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam diri pasien akibat penyakitnya itu

Kebudayaan Melayu Riau yang dibahas dalam penelitian ini tidak terlepas dari pandangan hidup, kesenian, sastra, kuliner, upacara adat, peralatan (teknologi),

Setelah dilakukan perhitungan terhadap data jumlah keluhan hardware bulan sebelumnya pada perangkat komputer dengan menggunakan 6 himpunan fuzzy dan panjang