• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK HUKUM PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

POLITIK HUKUM PENGAKUAN

KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

DI INDONESIA

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

Dr. Soehartono, S.H., M.Hum

Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum

Mulyanto, S.H., M.Hum

POLITIK HUKUM PENGAKUAN

KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

DI INDONESIA

(5)

Mohammad Jamin, dkk

Politik Hukum Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.

Cetakan 1.Surakarta. UNS Press. 2015. viii + 160 Hal.; 16 x 24.5 cm

POLITIK HUKUM PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT

HUKUM ADAT DI INDONESIA

Hak Cipta©Mohammad Jamin, dkk. 2015

Penulis

Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum Dr. Soehartono, S.H., M.Hum Sri Lestari Rahayu, S.H., M.Hum Mulyanto, S.H., M.Hum

Editor

Anti Mayastuti, S.H., M.H

Ilustrasi Sampul

UNS Press

Penerbit & Percetakan

Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta, Jawa Tengah , Indonesia 57126 Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271-7890628

Website: www_unspress.uns.ac.id Email: unspress_uns.ac.id

Cetakan 1, Edisi 1, Agustus 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

All Right Reserved

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan YME atas karunia-Nya bahan ajar ini dapat dihidangkan dihadapan para pembaca. Bahan ajar (teaching material) berjudul Politik Hukum

Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia

ini merupakan salah satu luaran dari penelitian Hibah Penelitian Strategis Nasional (Stranas) dana dari Dirjen Pendidikan Tinggi 2015, yang berjudul “Model Penguatan Peradilan Adat Sebagai Community Justice System Dalam Upaya Perluasan Akses Keadilan Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa”.

Bahan ajar ini hasil kajian konseptual yang dilakukan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia yang secara konstitusi mendapat perlindungan melalui Pasal 18 B (2) UUD 1945. Jaminan konstitusional tersebut dalam tataran peraturan perundang-undangan masih memerlukan kajian dan perbaikan karena dalam tingkat politik messo belum semuanya sejalan dengan ketentuan dalam konstitusi.

Bahan ajar ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian bagi mahasiswa yang mengkaji Hukum Adat, Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Politik Hukum dan Hukum Dalam Masyarakat. Sekalipun demikian, apa yang dituangkan dalam bahan ajar ini masih perlu pengkajian dan penyempurnaan dalam rangka memperkuat dan memberdayakan masyarakat hukum adat sebagai salah satu entitas hukum di samping entitas negara. Bahan ajar ini diharapkan dapat pula menambah wacana dan pemahaman bagi pada peminat terhadap kajian indigenous people dan hak-hak masyarakat adat.

(7)

para pembaca demi penyempurnaan naskah ini di masa yang akan datang.

Surakarta, Agustus 2015 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

BAB 1 POLITIK HUKUM PLURALISME ... 1

1.1. Pengertian Pluralisme Hukum ... 3

1.2. Keabsahan Peraturan Perundang-undangan . 5 BAB 2 POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM UUD NRI 1945 ... 11

2.1. Landasan Filosofis ... 11

2.2. Landasan Sosiologis ... 20

2.3. Landasan Yuridis ... 24

2.4. Politik Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Mewujudkan Cita Hukum ... 39

BAB 3 POLITIK HUKUM PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT ... 57

3.1. Politik Hukum dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 ... 57

3.2. Unsur-unsur Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ... 59

3.3. Politik Hukum Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berbagai Undang-Undang ... 77

(9)

PERLINDUNGAN MASYARAKAT

(HUKUM) ADAT ... 97

4.1. Nama Rancangan Undang-Undang ... 97 4.2. Materi Pokok yang Diatur ... 100 4.3. Urgensi Peraturan Daerah dalam RUU PMA 122 4.4. Politik Hukum yang Dianut RUU PMA ... 124

BAB 5 IMPLIKASI PENGAKUAN KESATUAN

MASYARAKAT HUKUM ADAT ... 127 DAFTAR PUSTAKA ... 149 TENTANG PENULIS ... 161

(10)

BAB 1

POLITIK HUKUM PLURALISME

Secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) tidak ada satu pasal pun yang substansinya menegaskan politik hukum yang dianut oleh negara Indonesia, sekalipun hal ini tidak berarti UUD NRI 1945 tidak memuat arah dari politik hukum negara.

Secara umum sebagai pijakan untuk memahami adanya politik hukum dalam UUD NRI 1945 adalah Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang menentukan Indonesia ialah negara hukum. Mengacu kepada pandangan Brian Z.Tamanaha, hukum sebagai instrumen pemerintahan tidak saja harus pasti dan dibuat secara demokratis, tapi juga harus adil dan bermanfaat bagi warga negara dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kerangka mewujud-kan hukum yang demikian, maka politik hukum merupamewujud-kan instrumen untuk mewujudkannya.

Sebagaimana dikemukakan Alf Ross1, hukum mempunyai sasarannya dalam dirinya sendiri, yakni untuk menyempurnakan ide keadilan yang melekat dan menjadi sifat hukum. Selanjutnya dikemukakan, politik hukum adalah doktrin tentang bagaimana tujuan hukum ini dicapai. Tentang bagaimana mencapai tujuan hukum itu diperlukan instrumen yakni politik hukum. Tujuan hukum dalam konteks pendekatan alternatif negara hukum, tidak saja keadilan, tapi juga kemanfaatan dan kepastian.

1

Alf Ross, On Law and Justice, (Berkeley & Los Angeles, University of California Press, 1959), hlm. 327.

(11)

Sejalan dengan pandangan Alf Ross tentang politik hukum sebagai doktrin tentang cara mencapai tujuan hukum, maka dapat dikatakan politik hukum merupakan doktrin mengenai cara men-capai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Mengenai cara mencapai tujuan hukum itu diperlukan instrumen yakni politik hukum.

Berdasarkan atas pendekatan alternatif negara hukum dari Brian Z. Tamanaha dan pandangan Alf Ross tentang politik hukum, maka Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 dapat dimaknai sebagai landasan konstitusional politik hukum, dalam rangka pencapaian hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian.

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 dapat dikatakan sebagai landasan formal konstitusional politik hukum, sedangkan landasan materiil konstitusional politik hukum adalah pasal-pasal lainnya tergantung pada substansi politik hukum.

Politik pluralisme hukum, khususnya mengenai kemajemuk-an tatkemajemuk-ankemajemuk-an hukum adat adalah Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan konstitusional ini berisi politik hukum, yakni pernyataan kehendak negara mengenai hukum yang akan berlaku dan arah dari hukum yang hendak diperkembangkan,2 yakni hukum yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik pluralisme hukum, sebagai-mana telah dikemukakan dalam kerangka teoritik, merupakan salah satu bentuk pluralisme hukum.

Sebagaimana diungkapkan oleh John Griffiths, pluralisme hukum adalah dalam suatu lapangan sosial terdapat lebih dari satu tatanan hukum (in social field of more than one legal order).3

2 Teuku Mohammad Radhie, “Pembaharuan & Politik Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional”, Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, sebagaimana dikutip H. Abdurrahman, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1989), hlm. 22.

3

John Griffiths, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism, 1986-nr 24, hlm. 1.

(12)

1.1. Pengertian Pluralisme Hukum

Terdapat 2 (dua) macam pluralisme hukum, yakni pluralisme hukum yang kuat dan pluralisme hukum yang lunak. Pluralisme hukum yang kuat menunjukkan suatu situasi berlakunya berbagai tatanan hukum dan tidak satu pun tatanan hukum yang berposisi menentukan keberlakuan tatanan hukum lainnya. Dalam konsep pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism), berlakunya hukum non-negara (non state law) tidak tergantung pada hukum negara (state law).

Teori yang dikembangkan Sally Falk Moore tersebut merupakan pluralisme hukum yang kuat, yakni mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan memaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label bidang sosial semi-otonom (the semi-autonomous social field). Sally Falk Moore mengemukakan, bahwa bidang sosial semi-otonom memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana yang menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, sekaligus berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas.4

Pluralisme hukum yang lunak disebut juga pluralisme hukum negara, oleh karena tatanan hukum negara yang berposisi menentukan keberlakuan tatanan hukum lainnya, seperti hukum adat. Pluralisme hukum negara merupakan pluralisme hukum sebagai konsep politik hukum, untuk membedakan dengan pluralisme hukum sebagai konsep analistis-komparatif yang menunjuk pada pluralisme hukum yang kuat. Pluralisme hukum yang dikemukakan oleh M.B. Hooker merupakan pluralisme hukum yang lunak. Menurut M.B. Hooker, istilah pluralisme hukum mengacu pada situasi di mana dua atau lebih tatanan hukum berinteraksi (The term ‘legal pluralism’ refers to the situation in which two more laws interact). Salah satu dari tatanan hukum yang disebutnya sebagai sistem hukum nasional merupakan hukum yang

4 Sally Falk Moore, “Law and social change: the semi-authonomous social field as an appropriate subject of study”, dalam Sally Falk Moore, ed., Law as Process: An Anthropological Approach, (London: Routledge & Kagan Paul, 1978), hlm. 55-56.

(13)

BAB 2

POLITIK HUKUM PLURALISME

DALAM UUD NRI 1945

Pembicaraan tentang politik hukum pluralisme dapat ditinjau dari 3 (tiga) ranah landasan keabsahan: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Masing-masing dicermati keberadaan unsur-unsur politik pluralisme hukum, yakni (1) pengakuan kemajemukan tatanan

hukum yang berlaku, beserta komunitas pengembannya; (2) pengakomodasian pluralisme nilai yang tumbuh dan

berkembang dalam komunitas-komunitas masyarakat; dan (3) akses partisipasi dalam pembuatan hukum dalam rangka pengakuan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengakomodasian pluralisme nilai.

2.1. Landasan Filosofis

Pancasila merupakan dasar dari filsafat hukum yang dianut bangsa Indonesia, sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI 1945.15 Alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 menunjukkan suatu politik hukum atau kebijakan hukum Negara Indonesia, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, merupakan sarana hukum bagi Pemerintah Negara Indonesia untuk melaksanakan fungsinya, yakni:

15 Moch. Koesnoe, ““Nilai-Nilai Dasar Tata Hukum Nasional Kita”, dalam Artidjo Alkostar, ed., Identitas Hukum Nasional, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997), hlm. 29, 33.

(14)

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu sendiri disusun berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Itulah fungsi Pemerintah Negara Indonesia dan Dasar Negara Indonesia.16 Wacana tentang dasar filsafat Negara Indonesia memuat di dalamnya baik fungsi maupun dasar negara, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 − sebelum perubahan, yang disebut dengan ”pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam ’pembukaan’ Undang-Undang Dasar”. Sebagai suatu gagasan hukum, ”pokok-pokok pikiran” tersebut tetap relevan digunakan untuk menerangkan cita hukum yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Oleh karena pokok-pokok pikiran itu merupakan ”suasana kebatinan” yang meliputi dasar tata hukum Indonesia yang mewujud pada cita hukum yang menguasai hukum dasar negara Indonesia. Ia tetap relevan sepanjang hukum dasar negara Indonesia yang tertulis adalah UUD NRI 1945, seberapa kalipun diubah.

Pokok pikiran yang pertama dari empat Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut:

1. ”Negara” − begitu bunyinya − ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara menurut pengertian ”pembukaan” itu menghendaki

16Uraian lebih lengkap terdapat pada Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 163, yang merinci dan mensistematisasi alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945.

(15)

persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.

Pokok pikiran tersebut mengandung suatu ide dasar bahwa hukum bersifat melindungi. Sifat hukum yang demikian itu, akhir-akhir ini juga dinyatakan dengan istilah yang lain, yaitu ”mengayomi” atau memberikan ”pengayoman”. Di dalam sejarah pemikiran dan praktik hukum terdapat pikiran yang memberi isi dan sifat hukum dari sifat melindungi dengan berdasar pada persatuan saja, demi persatuan bangsa itu sendiri. Dengan begitu, hukum yang bersifat melindungi hanya melindungi kepentingan totalitas, yaitu kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa saja.17

Perseorangan dan kumpulan-kumpulan orang yang mem-bentuk bangsa tersebut mesti pula dilindungi. Perkataan ”bangsa Indonesia” dalam pokok pikiran pertama itu menunjuk pada orang atau anggota bangsa Indonesia, sedangkan perkataan ”tumpah darah Indonesia” menunjuk pada tanah air Indonesia atau menunjuk pada aspek kewilayahan. Sehingga sifat perlindungan itu adalah kepada segenap anggota bangsa di seluruh wilayah yang berada di bawah yurisdiksi Pemerintah Negara Indonesia. Anggota bangsa pada masing-masing wilayah mempunyai tatanan hukum, yang beragam. Sehingga dalam perlindungan oleh Pemerintah Negara Indonesia termasuk juga perlindungan terhadap keberagaman tatanan hukum itu.

Hal tersebut menunjukkan suatu kebijakan hukum Negara Indonesia, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap keberagaman tatanan hukum itu beserta pengembannya. Dalam konteks kesatuan masyarakat-masyarakat hukum adat, fungsi perlindungan adalah melindungi kesatuan-kesatuan masyarakat-masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, yang salah satunya adalah hak atas keberlakuan hukum adatnya. Dengan perkataan lain, inilah landasan filosofis politik hukum pluralisme, yang mengayomi kemajemukan tatanan hukum.

(16)

Uraian tersebut di atas menunjukkan, dalam Pembukaan UUD NRI 1945 terdapat dasar filosofis bagi pluralisme, termasuk pluralisme hukum atau keberagaman tatanan hukum, sekaligus terdapat dasar filosofis bagi sentralisme. Para pendiri negara yang memahami betul konstelasi ”masyarakat Indonesia” dan menjadi-kan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bagi Negara Republik Indonesia. Namun, tampaknya, sejak itu kongruensi antara aspek kebhinnekaan dan aspek “manunggal dalam ke-eka-an” hingga saat ini masih menjadi masalah yang seperti tidak kunjung selesai.18

Frasa ”manungal dalam ke-eka-an” dapat menimbulkan penafsiran bahwa ”ke-eka-an” itu diturunkan dari kata ”ika” dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kata ”ika” berarti ”itu”, dan kadang-kadang berarti ”ini”.19 Kata ”ke-eka-an” secara leksikal dapat dipahami dibentuk dari kata ”eka”, yang berarti ”satu”, dan kata ”manunggal” berarti ”bersatu”.20

Dengan demikian, ”Manungal dalam keeka- an" berarti bersatu dalam kesatuan. Sekalipun demikian, agar tidak menimbulkan salah penafsiran lebih tepat memahami ada masalah yang tidak kunjung selesai antara kebhinnekaan (perbedaan) dan ke-tunggal-an (kesatuan).

Kebhinnekaan dalam bidang hukum jika dikaitkan dengan aliran filsafat, ia berada dalam ranah aliran filsafat hukum sejarah, namun berdasarkan pada keeka-an, berada pada aliran filsafat hukum positif (positivisme hukum). Menurut filsafat hukum sejarah, hukum sebagaimana menampilkan diri dalam pranata-pranata yang dipraktekkan oleh masyarakat, merupakan refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. Karena itu, hukum tumbuh terus bersama rakyat, berkembang bersamanya, kemudian akhirnya sirna bersama rakyat, ketika rakyat itu kehilangan identitasnya. Dalam konteks ini, ada kemajemukan hukum sesuai dengan identitas dari masyarakat pengemban hukum itu. Ketunggalan dalam bidang hukum berkaitan dengan filsafat hukum positif, yakni hukum hanya

18

Budiono Kusumohamidjojo, Kebhinnekaan Masyarakat di Indonesia:

Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 1

19 L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, (Ende-Flores: Nusa Indah, 1986), hlm. 233; S. Prawiroatmodjo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid I, Edisi ke-2, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm. 166.

(17)

BAB 3

POLITIK HUKUM PENGAKUAN

KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Politik hukum pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat merupakan salah bentuk politik pluralisme hukum, sehingga landasan politik pluralisme hukum berlaku pula sebagai landasan politik hukum pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat. Politik hukum pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagaimana dimaknai Moh. Mahfud MD, ketentuan itu memberi arahan bagi hukum adat untuk dipertahankan selama masih ada dan arahan itu dinyatakan di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.112 Dalam konteks pengemban hukum adat yakni kesatuan masyarakat hukum adat, maka Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 mengandung politik hukum yang memberi arahan bagi pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, termasuk hukum adatnya.

3.1. Politik Hukum dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945

Sebelum perubahan, politik hukum kesatuan masyarakat hukum adat terdapat dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Perbedaan pengaturan dalam 18 UUD 1945 – sebelum perubahan, dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dapat disimak dalam tabel berikut:

(18)

Tabel 7

Perbedaan Pengaturan Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam 18 UUD 1945 – Sebelum Perubahan, dan

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945

PASAL 18 UUD 1945 (SEBELUM PERUBAHAN)

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945

PASAL 18B AYAT (2) UUD NRI 1945 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingati hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa (Pasal 18). Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa (Penjelasan Pasal 18).

Negara mengakui dan meng-hormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut (Penjelasan Pasal 18).

-

Yang dimaksud dengan daerah-daerah yang bersifat istimewa atau mempunyai susunan asli adalah zelfbesturende

landchappen dan volksgemeenschappen,

seperti desa di Jawa dan Bali, negari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang.

-

Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 disebut dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Tanggung jawab untuk memberikan pengakuan dibebankan kepada negara. Undang-undang merupakan instrumen pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Undang-undang yang dimaksud menurut Pasal 18 UUD NRI 1945 adalah undang-undang tentang pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dan segala peraturan negara yang mengenai

(19)

daerah itu (Penjelasan Pasal 18 UUD NRI 1945). Undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 adalah berbagai undang-undang berkenaan dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Tampak perbedaan pada tataran batang tubuh konstitusi, dalam UUD NRI 1945 – sebelum perubahan, instrumen pengakuannya adalah undang-undang tentang pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, sedang dalam UUD NRI 1945 instrumen pengakuannya adalah berbagai undang-undang berkenaan dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Perbedaan lainnya, dalam UUD 1945 – sebelum perubahan, tidak menentukan persyaratan pengakuan,113 sedang dalam UUD NRI 1945, menentukan persyaratan pengakuan (pengakuan bersyarat), yakni (1) masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang sebagai instrumen pengakuan itu sendiri pada hekekatnya merupakan bagian dari pengakuan bersyarat itu.

3.2. Unsur-Unsur Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan arahan kepada negara dalam membentuk undang-undang berkenaan dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengakui dan menghormatinya dengan persyaratan tertentu. Politik hukum pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat, sebagaimana dimuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, memuat elemen-elemen sebagai berikut:

a. negara;

b. mengakui dan dan menghormati;

113 Tapi dalam lapisan undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan pengakuan bersyarat. Pasal 3 UUPA menentukan pelaksanaan hak ulayat dari masyarakat hukum adat, sepasang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

(20)

c. kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

d. sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Berikut penjelasan masing-masing elemen politik hukum pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat, mulai dari negara sebagai subjek yang harus memberikan pengakuan sampai dengan persyaratan pengakuan.

Pertama, negara. Perihal pengertian negara, I Nyoman

Nurjaya mengemukakan bahwa Pemerintah Orde Baru memberi interpretasi sempit dan tunggal atas terminologi Negara (State). Negara pada dasarnya terdiri dari Rakyat dan Pemerintah. Tetapi, selama pemerintahan Orde Baru Negara semata-mata diartikan sebagai Pemerintah (Government) saja, bukan sebagai Rakyat dan Pemerintah.114 Pendapat tersebut dapat dipahami, oleh karena di antara unsur-unsur negara terdapat 2 (dua) subjek yakni Rakyat dan Pemerintah. Dari sudut pandang unsur negara ini, maka semestinya yang dimaksud dengan negara yang diberikan kewenangan tertentu itu adalah dalam pengertian Rakyat dan Pemerintah. Soepomo, di dalam Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 31 Mei 1945 menjelaskan syarat-syarat mutlak (faktor konstitutif) dari sesuatu negara, yaitu harus ada daerah (territory), rakyat, dan harus ada Pemerintah yang daulat (souverein) menurut hukum internasional”.115

G.S. Diponolo mengartikan pemerintah dalam arti luas dan dalam arti sempit sebagai berikut:

Dalam arti luas pemerintah adalah keseluruhan dari badan pengurus negara dengan segala organisasi, segala bagian-bagiannya dan segala pejabat-pejabatnya yang menjalankan tugas negara dari pusat sampai ke

I Nyoman Nurjaya, Magersari: Dinamika Komunitas Petani-Pekerja Hutan dalam Persfektif Antropologi Hukum, (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2005), hlm. 227.

115 Saafroedin Bahar, et.al., eds., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2, (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995), hlm. 31.

(21)

pelosok-pelosok daerah. Dalam arti sempit pemerintah berarti suatu badan pimpinan terdiri dari seorang atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam pelaksanaan tugas negara.116

Di dalam UUD NRI 1945, istilah pemerintahan daerah terdapat dalam Bab VI Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 menentukan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah, menurut Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945 menentukan, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 menunjukkan makna negara meliputi pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Pengertian negara dapat juga ditelusuri dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional terhadap UUD NRI 1945.117

116

G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid 1, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1975), hlm. 53.

117 Pemohonnya, Pemohon I adalah Drs. H. Fathorrasjid, M.Si (Ketua DPRD Jawa Timur) dan Saleh Mukaddar, SH (Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur), Pemohon II adalah Edy Heriyanto, SH (Ketua Satlak Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Rembang Sehat), dan Pemohon III adalah Dra Nurhayati Aminullah, MHP, HIA (Ketua Perhimpunan Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Pasal/ayat yang dimohonkan pengujian dan alasannya adalah Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dan Pasal 52 UU 40/2004 tentang SJSN karena bertentangan dengan: a) Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945; dan b) Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945. Terkutip dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor

(22)

BAB 4

MENGKRITISI RUU

TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT

(HUKUM) ADAT

Dalam kajian berikut akan dikaji gagasan politik hukum yang dianut dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Masyarakat Adat. Sebelum itu, diuraikan terlebih dulu beberapa hal berkenaan dengan RUU ini dalam upaya mendapat pemahaman yang lebih memadai tentang gagasan politik hukum tersebut.

4.1. Nama Rancangan Undang-Undang

Nama Rancangan Undang-Undang yang tercantum dalam Daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 pada Nomor 161 adalah RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.153 Jadi, nama yang digunakan adalah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Materi Uji Sahih Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menggunakan judul Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat. Jadi, nama yang digunakan adalah

153 Badan Legislasi DPR-RI, Daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014, (Badan Legislasi DPR-RI, Jakarta, 2004), hlm. 29. 205 Nama Peraturan Perundang-undangan adalah salah satu bagian dari Judul Peraturan Perundang-undangan. Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang, angka 2 (Pasal 64 ayat (2) UU No 12/2011).

(23)

Perlindungan Masyarakat Adat.154 Pengertian masyarakat adat terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat (selanjutnya disebut RUU PMA), yakni: “Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul leluhur, mempunyai hak-hak yang lahir dari hubungan yang kuat dengan sumber daya alam dan memiliki adat, nilai, dan identitas budaya yang khas yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang ditegakkan oleh lembaga-lembaga adat.155 Terkait dengan definisi “masyarakat adat”, dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat (selanjutnya disebut Naskah Akademik RUU PMA), yang juga merupakan materi uji sahih, dikemukakan bahwa dalam Naskah Akademik ini, istilah Masyarakat Adat dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun), di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, dan politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.156

Nomen Klatur yang digunakan dalam konsep awal RUU PMA adalah Masyarakat Adat, yang berbeda dengan amanat konstitusi. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 mengamanatkan “ … kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat …, yang diatur dalam undang-undang.” Pasal ini juga dicantumkan dalam kolom “Mengingat” RUU PMA. Istilah Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan amanat konstitusi, justru tidak dipertimbangkan untuk dipilih sebagai nama rancangan undang-undang, melainkan yang dipertimbangkan adalah Masyarakat Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Uraian dalam Naskah Akademik

154 Panitia Ad Hoc I DPD RI, Materi Uji Sahih Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia, t.k., 2009), hlm. 1.

155 Panitia Ad Hoc I DPD RI, Materi Uji Sahih Rancangan …, Ibid., hlm. 2.

156

Panitia Ad Hoc I DPD RI, Materi Uji Sahih Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia, t.k., 2009), hlm. 3.4.

(24)

RUU PMA menunjukkan alasan dipilihnya istilah Masyarakat Adat daripada Masyarakat Hukum Adat adalah:

1. Dipandang lebih tepat oleh karena secara sosiologis dan juridis penggunaan masyarakat adat akan dengan sendirinya menunjukkan adanya hukum adat.

2. Penggunaan istilah masyarakat hukum adat tampaknya cakupannya lebih sempit bilamana dibandingkan dengan penggunaan masyarakat adat.

3. Penulis-penulis Indonesia seperti Ifdhal Kasim, Emil Ola Kleden dan Ricardo, tampaknya tidak ragu untuk menyebut masyarakat adat identik dengan indigenous peoples. Misalnya, sebagaimana yang tercantum dalam ratifikasi konvensi internasional tentang Indigenous Peoples Rights. Sebagaimana halnya disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 mendefinisikan bahwa Masyarakat Hukum Adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun dasar keturunan.157

Merujuk pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, yang juga dirujuk dalam Naskah Akademik RUU PMA, justru tatanan hukum adat ada dalam Masyarakat Hukum Adat. Selain itu, alasan “istilah masyarakat hukum adat tampaknya cakupannya lebih sempit bilamana dibandingkan dengan penggunaan masyarakat adat” tidaklah dapat dijadikan alasan untuk memilihnya sebagai nama suatu rancangan undang-undang, manakala rancangan undang-undang bersangkutan memang dimaksudkan untuk melaksanakan suatu ketentuan dalam UUD NRI 1945. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 tegas mengamanatkan “ … kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat …, yang diatur dalam undang-undang.” Pasal ini juga dicantumkan dalam kolom “Mengingat” RUU PMA. Artinya, RUU PMA ini bermaksud melaksanakan ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.

157 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 menggunakan istilah “masyarakat hukum adat” bukan “masyarakat adat”.

(25)

4.2. Materi Pokok yang Diatur

Materi Pokok yang Diatur berkenaan dengan perlindungan masyarakat adat dalam RUU PMA tercantum dalam Bab III sampai dengan Bab VIII, yakni:

Tabel 11

Ikhtisar Materi Pokok yang Diatur dalam RUU Perlindungan Masyarakat Adat

MATERI RINCIAN BAB/PASAL/AYAT

Masyarakat Adat (MA)

 Bab III

 Kriteria masyarakat adat  Pasal 4 (1) & (2)  Penetapan masyarakat

adat sebagai badan hukum

 Pasal 4 (3)  Delegasi pengaturan

kepada PP tentang tata cara penetapan.

 Pasal 4 (4)

Wilayah Adat  Bab IV

 Cakupan dan batas-batas wilayah adat

 Pasal 5  Penyelesaian

perselisih-an perselisih-antarmasyarakat adat dalam menetapkan batas-batas wilayah adat

 Pasal 6 (1), (2) & (3)

Lembaga Adat  Bab V

 Kewenangan lembaga adat

 Pasal 7 (1) & (2)  Tata cara pemilihan,

struktur dan tata kerja lembaga adat

 Pasal 7 (3)  Peradilan lembaga adat  Pasal 8 (1) – (4)

Hak-Hak MA  Bab VI

 Hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak kolektif dan hak individual

 Pasal 9

 Invetarisasi dalam rangka menetapkan hak-hak kolektif dari suatu masyarakat adat

 Pasal 10 (1)

 Tata cara pengaturan dan penetapan hak-hak individual dari anggota masyarakat adat

(26)

BAB 5

IMPLIKASI PENGAKUAN

KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat mencakup: (1) pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum; (2) pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan adat; (3) pengakuan terhadap hukum adat; (4) pengakuan terhadap hak-hak atas harta benda adat, termasuk hak-hak ulayat.

Implikasi hukum198 dari pengakuan tersebut didasarkan pada pandangan Moh. Mahfud MD tentang konsekuensi pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, yakni:

1. Suatu kesatuan masyarakat, diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum sehingga dapat bertindak sebagai subjek hukum yang berbeda dengan individu-individu anggotanya. Status ini menempatkan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang sejajar dengan subjek hukum lain, baik orang maupun badan hukum (publik maupun privat).

2. Terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban, serta dapat melakukan tindakan hukum sebagai satu kesatuan. Masyarakat hukum adat dapat memiliki hak kepemilikan tertentu, seperti atas luas tanah tertentu atau wilayah tertentu (hak ulayat), serta memiliki kewajiban hukum

198

Implikasi hukum berarti akibat hukum. I Made Subawa, “Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”, Disertasi Doktor, (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2003), hlm. 1.

(27)

akibat dari tindakan yang dilakukan. Salah satu contoh bentuk pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah Pasal 51 UU MK yang memberikan hak hukum kepada kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang, dengan kriteria seperti yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.

3. Pada saat terdapat pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan kesatuan masyarakat itu sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan demikian, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga meliputi dan secara langsung merupakan pengakuan negara terhadap eksistensi hukum adat yang dibentuk, berkembang, dan berlaku pada masyarakat tersebut. Konsekuensi pengakuan ini adalah hukum adat ditempatkan sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang harus dibina dan ditegakkan.

4. Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan hukum tata negara adat setempat. Hal ini berarti negara tidak dapat begitu saja memaksakan suatu struktur pemerintahan yang berlaku secara seragam di seluruh wilayah Indonesia.

Uraian lebih lanjut dalam bagian ini ditekankan pada implikasi pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum. Oleh karena merupakan inti dari pengakuan, sedangkan lainnya sebagai implikasi lebih lanjut dari pengakuan sebagai subjek hukum. Pengakuan sebagai subjek hukum bermakna subjek bersangkutan merupakan penyandang hak dan kewajiban yang diakui hukum.

Secara leksikal, subjek hukum adalah pengemban hukum yakni manusia atau badan hukum.199 Pendapat lainnya, subjek hukum adalah manusia yang berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat sedemikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan

199

Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 15, 105.

(28)

kewajiban.200 Intinya, subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum, dalam masyarakat sampai dewasa ini, meliputi manusia (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rehtspersoon). Badan hukum adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Contoh-contoh: suatu perseroan terbatas (PT), suatu yayasan.

Negara adalah juga suatu badan badan hukum.201 Pengertian badan hukum meliputi: (1) perkumpulan orang (organisasi); (2) dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum; (3) mempunyai harta kekayaan tersendiri; (4) mempunyai pengurus; (5) mempunyai hak dan kewajiban; dan (5) dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.202 Secara doktrin, syarat-syarat untuk menentukan adanya kedudukan sebagai suatu badan hukum, yakni: (1) adanya harta kekayaan; (2) mempunyai tujuan tertentu, (3) mempunyai kepentingan sendiri; dan (4) adanya organisasi yang teratur.203

Secara doktrin, kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai kualifikasi sebagai badan hukum, oleh karena kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai harta kekayaan sendiri dan mempunyai organisasi pemerintahan adat yang menyelenggarakan kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan sendiri dengan tujuan kesejahteraan anggotanya.204 Pendekatan doktrin tentang badan hukum, yang mengkualifikasi kesatuan masyarakat hukum adat

200 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 11. 201

Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus …, Op. Cit., hlm. 15, 105. 202 Chaidir Ali, Badan …, Op. Cit., hlm. 21.

203 Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, .Yayasan, dan Wakaf, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 4

204

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur: a) ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); b) ada pranata pemerintahan adat; c) ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; d) ada perangkat norma hukum adat; dan e) khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007, hlm. 165-166. Nomor 6/PUU-VI/2008, hlm. 134-135

(29)

sebagai badan hukum, didukung juga oleh doktrin tentang persekutuan hukum adat yang pada hakekatnya merupakan badan hukum. Beberapa pandangan para ahli hukum adat berikut ini mendukung konstatasi tersebut, yakni:

1. B. Ter Haar Bzn, masyarakat kecil itu dengan hak atas tanahnya, atas air, dan tanamannya, atas bangunannya, benda keramat dan barang milik lainnya, tampak sebagai subjek hukum yang turut serta dalam pergaulan hukum. Ini yang disebut persekutuan hukum, yakni kelompok-kelompok yang teratur dan bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, kekayaan sendiri berupa benda materiil dan nirmateriil.205

2. Sudiman Kartohadiprodjo, pada dasarnya dalam hukum adat tiap manusia merupakan subjek hukum, selain itu persekutuan hukum (desa, kuria, dan lain-lainnya) merupakan suatu subjek hukum. Persekutuan hukum adalah kesatuan orang-orang atau organisasi dari orang-orang, bagaimanapun sederhananya, memiliki pimpinan sendiri yang menjaga dan memelihara tata tertib di dalamnya serta mengurus keselamatan kesatuan keseluruhannya, dan bagaimanapun kecilnya, kesatuan itu mempunyai kekayaan yang mungkin berupa kekayaan berbentuk atau tidak berbentuk, suatu kekayaan yang mungkin hanya merupakan pusaka saja.206

3. R. van Dijk, dalam hidup bersama ini tidak hanya berurusan dengan individu-individu, melainkan dengan sekumpulan orang, seperti subak dan desa, yang bertindak sebagai kesatuan dalam pergaulan hukum, tidak bedanya sebagai manusia. Perikatan manusia semacam itu yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya terikat dalam kesatuan yang bersatu padu dan penuh solidaritas (sama rata, sama rasa), yang anggota-anggota tertentu berkuasa untuk bertindak atas nama kesatuan itu, dan massa anggotanya mempunyai kepentingan

205 B. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hlm. 28.

206

Sudiman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, I Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pembangunan, 1975), hlm. 139, 142.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi. “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, BPHN. Himpunan Bahan Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan Tanggal 1 s/d 20 Juni 1981. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1982.

Abdul Kadir Besar. “Implementasi Citahukum dan Asas-asas Hukum Nasional Sejak Lahirnya Orde Baru” Makalah Seminar “Temu Kenal Cita hukum dan Asas-asas Hukum Nasional”. Jakarta: BPHN, 22-24 Mei 1995.

Abdurrahman, “Peradilan Adat Dalam Perspektif Sistem Peradilan di Indonesia”. Makalah Seminar Arah Peradilan Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan Puslitbang Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI. Surabaya. 20 Juni 2013.Yulia Sugandi, Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES), 2008.

Agung Djojosoekarto, Rudiarto Sumarwono, Cucu Suryaman (ed.). Kebijakan Otonomi Khusus Papua. Jakarta : Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2008. Adnan Buyung Nasution. Aspirasi emerintahan Konstitusional di

Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.

(31)

Afdilah Ismi Chandra. “Dekonstruksi Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Disertasi Doktor. Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, 2008.

Ahmad Azhar Basjir. “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional” dalam Artidjo Alkostar, ed., Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1997.

Agus Sumule, ed., Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Alf Ross. On Law and Justice. Berkeley & Los Angeles: University of California Press, 1959.

Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan Untuk Pembuat Rancangan Undang-Undang. Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2001.

Antonio Pradjasto. “Membela Hak-Hak Asasi Ekonomi dan Sosial”, dalam Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1. Diterbitkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta, Oktober 2003.

A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto, ”Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob” dalam Jurnal HAM, Vol. 4 No. 4. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007.

Audrey R. Chapman. “Indikator dan standar untuk Pemantauan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya”, dalam Jurnal HAM, Vol. 1 No. 1. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003.

Ali Rido. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, dan Wakaf. Bandung: Alumni, 2001.

Badan Legislasi DPR-RI, Daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014. Badan Legislasi DPR-RI, Jakarta, 2004

(32)

B. Ter Haar Bzn. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto). Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

Bagir Manan. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co, 1992.

Bagir Manan. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995.

Bagir Manan. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia Indonesia”, Disertasi, Bandung: Universitas Padjadjaran, 1996.

Bhikhu Parekh. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, (terjemahan C.B. Bambang Kukuh Adi dari judul asli Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory). Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Budiono Kusumohamidjojo. Kebhinnekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo, 2000.

B. Ter Haar Bzn. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

Bryan A. Garner, (eds.). Black’s Law Dictionary, Seventh Edition. St. Paul, Minn: West Group, 1999

Benard L. Tanya; Yoan N. Simanjuntak; Markus Y. Hage. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya: CV Kita, 2006.

C. Herman Pritchett. Constitutional Civil Liberties. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1984.

(33)

Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Decky Natalis Pigay, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Politik Papua, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Ellydar Chaidir. Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007.

F.A.M. Stroink. Pemahaman Tentang Dekonsentrasi. Bandung: Refika Aditama, 2006.

Gde Panetje. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: CV Kayumas, 1986.

Gordon R. Woodman. “Mungkinkah Membuat Peta Hukum?”, dalam Tim Huma (ed.). Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin. Jakarta : Penerbit Huma, 2005. G.S. Diponolo. Ilmu Negara, Jilid 1. Jakarta: PN Balai Pustaka,

1975.

H. Abdurrahman. Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum Nasional Di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 1989Habel Way, Melkias Hetharia dan Marthen Arie. “Kedudukan Hukum Mejelis Rakyat Papua (MRP) Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua”. Makalah, 2009. Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan UU Otonomi Khusus

Papua, Jakarta : Harvarindo, 2007.

Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka”, dalam Kumpulan Karangan. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

H. Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a. Republik Desa: Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa. Bandung: Alumni, 2010.

Hans Kelsen. General Theory of Law and State. Bandung: Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006.

Hari Chand. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur: International Law Book Servis, 1994.

(34)

Hatta. Demokrasi Kita: Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat. Bandung: Segaarsy, 2008.

Hazairin. Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara, 1981.

H.L.A. Hart. The Concept of Law. (Oxford: Oxford University Press, 1986.

Hilman Hadikusuma. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni, 1981.

Hilaire Barnett. Constitutional and Administrative Law, Fourth Edition. London-Sydney: Cavendish Publishing Limited, 2002.

Hikmat Budiman. “Pengantar Minoritas E Pluribus Unum dan Demokrasi”, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak Minoritas: Ethnos, Demos, dan Batas-Batas Multikulturalisme. Jakarta: The Interseksi Foundation, 2009.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1993. I Ngurah Suryawan (ed.). Papua di Garis Batas Perspektif,

Refleksi dan Tantangan. Malang : Setara Press, 2011. I Nyoman Nurjaya. Magersari: Dinamika Komunitas

Petani-Pekerja Hutan dalam Persfektif Antropologi Hukum. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, 2005.

Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (eds). Hak Ekonomi, Sosial, Budaya: Esai-esai Pilihan, terjemahan oleh Tim Penerjemah Elsam. Jakarta : Penerbit ELSAM, 2001. International Labour Office. ILO Convention on indigenous and

tribal Peoples, 1989 (No.169): Amanual 216( International Labour Office, Geneva,2003.

I Made Subawa. “Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan Membentuk Undang-Undang Terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”. Disertasi Doktor. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2003.

(35)

Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (eds). Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITL-Jakarta, 2010.

J.J.H. Brugink. Rechts Reflecties. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Jimly Asshiddiqie. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Jimly Asshiddiqie. “Konstitusi dan Kebhinnekaan”. Makalah Seminar “Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi. Jakarta: International Center fos Islam and Pluralism, 22 Juli 2008.

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Jimly Asshiddiqie. “Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat”, Disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. Bandung: UIN Gunung Djati, 5 April 2008.

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas, 2010. Jimly Asshiddiqie. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi

dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

John Griffiths. “What is Legal Pluralism?”. Journal of Legal Pluralism. 1986. No. 24.

(36)

Kantor Perburuhan Internasional. Konvensi ILO mengenai Masyarakat Hukum Adat, 1989 (No.169) Sebuah Panduan. Jenewa: Kantor Perburuhan Internasional, 2003.

Kantor Perburuhan Internasional. Hak-Hak Masyarakat Adat yang Berlaku: Pedoman untuk Konvensi ILO No. 169. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2010.

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung II MDP Bali, Lampiran, II Keputusan dan Rekomendasi Bidang Pawongan, II.A.1 Keputusan Penjatuhan Pamidanda, huruf d.

L.B. Curzon, Jurisprudence. Estover, Plymouth: M&E Handbooks, 1979.

L. Mardiwarsito. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah, 1986.

LG. Saraswati, et.al. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, dan Kasus. Depok : Filsafat UI Press, 2006.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara Nomor 55/PUU VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Acara Mendengarkan Keterangan pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (V), Jakarta, Selasa, 10 Mei 2011.

Marhaendra Wija Atmaja. “Politik Hukum Kesatuan-Kesatuan Masyarakat ukum Adat: Catatan Kritis atas Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat Adat”, Makalah, Uji Sahih RUU tentang Perlindungan Masyarakat Adat di Bali, diselenggarakan Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 22 Juni 2009.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 007/PUUIII/20

(37)

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

M.B. Hooker. Legal Pluralism: An Introduction to Colonial and Neo-colonial Laws. Oxford : Clarendon Press, 1975.

Moh. Mahfud MD. ”Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD NRI 1945 Menyongsong Globalisasi. Bahan Seminar Awig-Awig II Pemberdayaan Awig-awig Desa Pakraman Di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang Sejahtera”. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2010.

Moch. Said. Pedoman Untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat, Jilid I, Cetakan III. Surabaya: Penerbit Permata, 1961.

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia, 2008.

Mochtar Kusumaatmaja. “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional” dalam Pro Justitia Tahun XV Nomor 1 Januari 1997.

Mohammad Noor Syam. “Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum Sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional”, Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1998.

Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006.

Moh. Koesnoe. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian I (Historis). Bandung: Mandar Maju, 1992.

Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Prapanca, 1959.

M. Solly Lubis. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 1989.

(38)

Oetojo Oesman dan Alfian (eds). Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat, 1992. O. Notohamidjojo. Demi Keadilan dan Kemanusiaan. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1975.

Philipe Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transtition: Toward Responsive Law. New York : Harper and Row, 1978.

Philipus M. Hadjon. “Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Demokratis (Suatu pemikiran dalam usaha meningkatkan perwujudan asas demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia)”, Pidato, diucapkan pada Sabtu 12 Juli 1997 dalam rangka Lustrum III UBHARA SURYA.

R. Boedisoesetya, “Kedaulatan Rakjat Dalam Hukum Positif Indonesia”, Pidato, diutjapkan pada peresmian penerimaan djabatan guru besar luar biasa dalam mata pelajaran hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaja, pada hari Rabu tanggal 10 Nopember 1958 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000.

R. Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003.

R. van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia (terjemahan A. Soehardi). Bandung: Mandar Maju, 2006.

Safroedin Bahar, et.al. (eds.). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Edisi III. Cet.2. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995.

Sally Falk Moore. (ed.). Law as Process: An Anthropological Approach. London: Routledge & Kagan Paul, 1978.Samuel P. Huntington. Gelombang Demokrasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press, 2006.

(39)

Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Satjipto Rahardjo. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

S. Prawiroatmodjo. Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid I, Edisi ke-2.Jakarta: Gunung Agung, 1981.

Sunaryati Hartono Sunario, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1991. Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.

CV Haji Masagung, Jakarta, 1988.

Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Soelistyowati Irianto, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Subekti dan R. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978.

Sudiman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, I Hukum Perdata. Jakarta: PT Pembangunan, 1975.

Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1996.

Surya Prakash Sinha, Jurisprudence: Legal Philosophy in a Nutshell. St. Paul Minn: West Publishing Co., 1993.

(40)

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. PerihalKaedah Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989

Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cetakan III. Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964 Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers,

2010

Soehardjo Sastrosoehardjo. “Upaya Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya” dalam Analisis CSIS, Tahun XXII, No. 1, Januari-Februari 1993, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1982.

T.K. Oommen. Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas. (terjemahan Munabari Fahlesa dari judul asli: Citizenship, Nationality and Ethnicity: Reconciling Competing Identities). Bantul: Kreasi Wacana, 2009.

The Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and The Act Number 24 of 2003 on the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. Jakarta: Secretariat General, 2003. Tim Peneliti Depdagri dan Program S2 Politik Lokal dan Otda

UGM, “Kajian Resolusi Permasalahan Papua Dari Aspek Politik, Hukum dan Pemerintahan”, Laporan Akhir”, (Yogyakarta : Depdagri dan Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, 2003.

Wayan P. Windia, “Beberapa Masukan Untuk Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat”, makalah, disajikan dalam acara Uji Sahih RUU tentang Perlindungan Masyarakat Adat di Bali, diselenggarakan oleh Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah RI bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, bertempat di Hotel Sanur Beach, Sanur Bali, Senin 22 Juni 2009.

Will Kymlicka. Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas (terjemahan Edlina Hafmini). Jakarta: LP3ES, 2002.

(41)

Z.A. Maulani. “Keterbukaan Informasi dan Stabilitas Politik” dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi (eds). Keterbukaan Informasi dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.

(42)

TENTANG PENULIS

Dr. Mohammad Jamin, SH.,MHum. Lahir di Boyolali, 30

September 1961. Pendidikan sejak SD hingga SMA diselesaikan di Boyolali dan menyelesaikan program S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (1985) yang kemudian menjadi tempat mengabdikan diri sebagai dosen sejak Januari 1986. Sebelum menjadi dosen sempat “mampir” sebagai Calon Hakim di PN Tegal (1986). Lulus Program S2 Ilmu Hukum dari Pascasarjana UNAIR Surabaya tahun 1994 dan lulus Program S3 Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tahun 2013 yang diselesaikan-nya dalam masa studi 2 tahun 3 bulan. Sebagai dosen penulis mengajar mata kuliah: Metode Penelitian Hukum, Sosiologi Hukum, dan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. Aktif menulis di media massa sejak mahasiswa S1 dan dimuat Pada Harian PELITA dan SUARA MERDEKA, selain pernah menjadi Penulis tetap Artikel Ilmiah Populer Kolom Khusus WEDANGAN di SUARA MERDEKA (1998 – 2002). Hingga saat ini telah menulis sekitar 275 (Duaratus tujuh puluh lima puluh) artikel lepas di media massa Nasional maupun Lokal.Dalam bidang manajemen pernah dipercaya sebagai Penanggung Jawab DUE-Like Project Prodi Ilmu Hukum (1999 – 2003), Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (2003 – 2007), Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (2007 – 2011). Saat ini dia menjabat sebagai Wakil Rektor UNS Bidang Umum dan Keuangan.

Dr. Soehartono, SH.M.Hum, lahir di Wonogiri, 25 April

1956. Menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum UNS Lulus tahun 1983, S2 di Fakultas Hukum UNAIR Surabaya lulus tahun 1993 dan program doktor di FH UNS lulus tahun 2012. Mengajar di Program S1 dan S2 FH UNS, untuk mata kuliah Hukum Acara PTUN, Hukum Acara Peradilan Agama, Praktik PTUN, Etika dan

(43)

Tanggung Jawab Profesi dan Hukum Acara Perdata. Aktif melakukan penelitian dengan kajian di bidang hukum acara PTUN dan bidang hukum lainnya. Saat ini menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat FH UNS.

Sri Lestari Rahayu, SH.,MHum. Lahir di Balikpapan, 25

Nopember 1959. Menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum UNS lulus tahun 1985 dan S2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, lulus tahun 2009. Mengajar mata kuliah Program S1 untuk mata kuliah: Pengantar Hukum Indonesia Hukum dan Gender Hukum Organisasi Internasional Hukum Penyelesaian Sengketa Hukum Humaniter Sosiologi. Pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional. Terlibat dalam beberapa penelitian yang terkait masyarakat hukum adat dan tergabung dalam Riset Grup Hukum Dan Budaya, berbagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan oleh FH UNS maupun Bagian Hukum Internasional.

Mulyanto, SH. M.Hum. Lahir di Klaten, 10 Desember 1983.

Menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum UNS lulus tahun 2006 dan S2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, lulus tahun 2007. Mengajar mata kuliah Program S1 untuk mata kuliah: Sosiologi Hukum Metode Penelitian Hukum Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional Antropologi Budaya Pendidikan Pancasila. Aktif menulis di berbagai jurnal Ilmu Hukum dan terlibat dalam berbagai penelitian yang di danai oleh Dirjen Dikti dengan kajian di bidang hukum adat dan tergabung dalam Riset Grup Hukum Dan Budaya. Saat ini tengah menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Fakulast Hukum UGM Jogyakarta.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN IPS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

serta memori banding dari Pembanding semula Penggugat dan kontra memori banding dari Terbanding semula Tergugat, Majelis Hakim tingkat banding dapat menyetujui dan

Pengaduan terkait belum adanya dasar hukum atas PNBP yang berasal dari biaya jasa pemeriksaan instalasi calon pelanggan maupun pelanggan PT PLN.. Pembentukan Komite

Penatausahaan Pelaporan Dan Pertanggungjawaban, serta Monitoring dan Evaluasi Belanja Bantuan Sosial (Berita Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015 Nomor 40);6. Peraturan Bupati

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) terhadap kemampuan pemecahan masalah

Sebagaimana telah disampaikan dibagian p e n d a h u l u a n , apa yang dimaksud dengan Pembangunan Nasional Indonesia, dan apa yang diutarakan dalam bab pembahasan bagian

Mahasiswa Agroekoteknologi semester 4 yg memiliki IPS>3.00 bisa ambil mata kuliah : a.. Tataguna dan Kesesuaian Lahan yang ada

Ĥ ari ș ah (pembantu yang diangkat menjadi anak), dan Abu Bakar Siddik (sahabat). Selanjutnya secara perlahan tetapi pasti, pengikut Rasulullah saw. Di antara mereka adalah U¡ man