• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

4

Klasifikasi lengkap dari rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus (Gambar 1)

Gambar 1. Rajungan (Portunus pelagicus) (Sumber : Sunarto, 2011)

Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat, jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis diantaranya dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla serrata), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalamus vigil).

(2)

dan gerigi terakhir dinyatakan sebagai tanduk (Gambar 2). Karapasnya tersebut umumnya berbintik biru pada jantan dan berbintik coklat pada betina, tetapi intensitas dan corak dari pewarnaan karapas berubah-ubah pada tiap individu (Kailola, 1993 dalam Kangas, 2000).

Karapas pada Portunus pelagicus merupakan lapisan keras (skeleton) yang menutupi organ internal yang terdiri dari kepala, thorax dan insang. Pada bagian belakang terdapat bagian mulut dan abdomen. Insang merupakan struktur lunak yang terdapat di dalam karapas. Matanya yang menonjol di depan karapas berbentuk tangkai yang pendek (Museum Victoria 2000 dalam Butarbutar 2005).

Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan bahwa rajungan (Portunus pelagicus) memiliki capit yang memanjang, kokoh, berduri-duri dan berusuk-rusuk, permukaan sebelah bawah licin. Tepi posterior dari merus berduri, tepi anterior berduri tajam tiga atau empat buah. Karpus mempunyai duri di bagian dalam dan di bagian luar permukaan sebelah atas dari propundus dihiasi dengan tiga buah garis biasanya bergranula, garis sebelah luar dan tengah berakhir masing-masing dengan sebuah duri.

Hewan ini mencapai panjang 18 cm, capitnya memanjang, kokoh, dan berduri-duri. Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Nontji, 1993). Rajungan mempunyai duri yang panjang yang keluar dari tiap sisi karapas, dan tentu saja Portunus pelagicus biasanya berwarna biru. Meskipun warnanya dapat berkisar dari coklat hingga biru atau bahkan ungu, jantan mempunyai capit yang lebih panjang daripada betina dan biasanya warnanya lebih biru (Abyss, 2001).

(3)

Gambar 2. Bagian-bagian rajungan (Portunus pelagicus) (Sumber : Google)

Keterangan :

1. Capit 2. Kaki jalan 4. Karapas 7. Duri akhir 1a. Daktilus 3. Kaki renang 5. Mata 8. Lebar karapas 1b. Propadus 3a. Merus 6. Antena

Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) adalah warna bintik, ukuran dan warna capit dan apron atau bentuk abdomen. Karapas betina berbintik warna abu-abu atau cokelat. Capitnya berwarna abu-abu atau cokelat dan lebih pendek dari jantan. Karapas jantan berwarna biru terang, dengan capit berwarna biru. Apron jantan berbentuk T. Pada betina muda yang belum dewasa, apron berbentuk segitiga atau triangular dan melapisi badan, sedangkan pada betina dewasa, apron ini membundar secara melebar atau hampir semi-circular dan bebas dari ventral cangkang (FishSA, 2000). Gambar 3 menunjukkan perbedaan karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan dan betina (Gardenia, 2002).

Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar, karapasnya sangat lebar mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capit rajungan panjang dan ramping. Portunus pelagicus berubah warna dari coklat, biru sampai lembayung dengan batasan moulting (Sea-ex, 2001 dalam Gardenia, 2006).

(4)

(a) (b)

Gambar 3. Rajungan (Portunus pelagicus) (a) betina dan (b) jantan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Jenis rajungan yang umum dimakan (edible crab) ialah jenis-jenis yang termasuk cukup besar yaitu sub famili Portuninae dan Podopthalminae. Jenis-jenis lainnya walaupun dapat dimakan, tetapi berukuran kecil dan tidak memiliki daging yang berarti. Jenis-jenis rajungan yang terdapat di pasar-pasar Indonesia adalah rajungan (Portunus pelagicus). Jenis yang kurang umum tetapi masih sering dijumpai di pasar adalah rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalamus vigil), rajungan karang (Charybdis feriatus) (Moosa et al., 1980; Nontji, 1993). Jenis-jenis lainnya yang berukuran cukup besar dan biasa dimakan, tetapi jarang dijumpai dipasar-pasar adalah Charybdis callanassa, Charybdis lucifera, Charybdis natatas, Charybdis tunicata, Thalamita crenata, Thalamita danae, Thalamita puguna, dan Thalamita spimmata (Moosa et al., 1980).

Rajungan jantan memiliki abdomen yang sempit, berbentuk T pada sisi abdomen dan capit berwarna biru. Sedangkan rajungan betina yang belum matang memiliki bentuk abdomen “V” atau rajungan dewasa memiliki bentuk abdomen “U” (Blue Crab Identification, 2001). Pada hewan ini terlihat adanya perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina. Jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dan capit yang lebih panjang dibandingkan dengan rajungan betina (Nontji, 1993). Gambar 4 menunjukan perbedaan antara abdomen rajungan jantan dan rajungan betina (Mexfish, 1999).

(5)

(a) (b)

Gambar 4. (a) Rajungan jantan dan (b) Rajungan betina (Sumber : Mexfish)

2.1.2 Habitat dan Penyebarannya

Rajungan cenderung menyenangi perairan dangkal dengan kedalaman yang paling disenangi berkisar antara 1 sampai 4 meter. Suhu perairan rata-rata 35o Celsius dan salinitas antara 4 sampai 37 ppm (Moosa dan Juwana, 1996).

Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas yang lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan suhu dan salinitas di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985).

Menurut Nontji (1993), rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di lautan terbuka. Pada keadaan biasa rajungan tinggal di dasar perairan sampai kedalaman 65 meter, tapi sesekali juga dapat terlihat di dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus.

Di Indonesia, rajungan tersebar hampir di seluruh perairan Paparan Sunda dan perairan Laut Arafuru dengan memiliki kecenderungan padat sediaan dan potensi yang tinggi, terutama pada daerah sekitar pantai (Martosubroto et al, 1991 diacu dalam Nurhakim, 2001).

(6)

permukaan. Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam setelah umur rajungan cukup untuk menyesuaikan diri pada kondisi suhu dan salinitas perairan (Nontji, 1993). Sedangkan jenis yang termasuk dalam sub famili Podopthalaminae dan Portuninae pada saat dewasa hidup bebas di dasar perairan, terkadang berenang di dekat permukaan (Solihin, 1993).

Menurut Thomson (1974) rajungan sering berenang melewati kapal pada malam hari, sehingga mereka mendapatkan keuntungan untuk ikut bersama. Mereka juga dapat menggali pasir dalam sekejap dan untuk menghindari musuh-musuh mereka. Mereka butuh untuk tetap di permukaan dengan maksud untuk bernapas dan melihat organisme lain atau mangsanya dengan mata pengawasnya yang tajam dan juga menjulurkan antenanya. Seperti binatang laut yang lain, rajungan menemukan daerah estuaria sebagai tempat berkembang biak atau memijah. Kemudian rajungan jarang terlihat membawa telurnya ke daerah estuaria tetapi ke daerah pesisir pantai dekat daerah teluk. Seperti udang-udangan lainnya tumbuh dengan menanggalkan karapasnya secara berkala. Rajungan betina kawin pada saat karapasnya lunak setelah ganti kulit.

Rajungan betina dapat bertelur antara 180.000 sampai 200.000 telur setiap memijah. Pemijahan dapat terjadi lebih dari sekali dalam satu musim dengan menggunakan sperma dari perkawinan yang pertama. Telur akan menetas kira-kira selama 15 hari pada perairan dengan suhu 24o C (West Australia Goverment, 1997 : Sea-ex Australia, 1999).

Solihin (1993) menyatakan, penangkapan rajungan berlangsung sepanjang tahun dan puncak penangkapan terjadi pada bulan Januari sampai Maret, di perairan Cirebon sendiri tidak berbeda dengan musim penangkapan di wilayah lainnya. Musim barat merupakan musim berlimpahnya hasil tangkapan rajungan berbeda dengan musim timur karena hasil tangkapan yang diperoleh pada musim

(7)

ini sedikit. Pembagian musim di perairan Gebang Mekar terdiri dari tiga musim, yaitu musim paceklik pada bulan Oktober dan November, musim peralihan pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September sedangkan musim puncak pada bulan Desember, Januari sampai Mei.

2.2 Alat Tangkap Jaring Kejer 2.2.1 Jaring Kejer

Jaring kejer merupakan jaring yang berbentuk persegi panjang dan terdiri dari satu lapis jaring dan memiliki bagian-bagian, yaitu tali ris atas (head rope), tali pelampung (float rope), pelampung (float), badan jaring (webbing), tali ris bawah (ground rope), pemberat (sinker), tali selambar dan perlengkapan tambahan berupa pelampung tanda dan pemberat tambahan.

Berdasarkan klasifikasi alat penangkapan ikan, jaring kejer diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang tetap, yaitu jaring dasar. Secara umum tetap termasuk kedalam alat tangkap jaring insang (gillnet). Jaring kejer yang digunakan oleh nelayan desa Gebang Mekar untuk menangkap rajungan termasuk kedalam golongan jaring puntal (tangled net) karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapannya tertangkap dengan cara terpuntal/terbelit bagian tubuhnya pada badan jaring (entangled).

Ayodhyoa (1985) mengatakan bahwa gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempuyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, atau dengan kata lain jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh pada arah panjang jaring. Sedangkan menurut Martasugada (2002), jaring insang (gillnet) adalah salah satu alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi panjang di mana mata jaring dari bagian utama mempunyai ukuran yang sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh lenght) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal atau kearah dalam (mesh depth), pada bagian atasnya dilengkapi beberapa pelampung dan di bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat sehingga

(8)

Selain itu, dilihat dari pemasangan jaring di perairan termasuk dalam klasifikasi set gillnet (Nurhakim, 2001). Jaring kejer yang terdapat di Cirebon termasuk pada klasifikasi set gillnet dengan tujuan penangkapannya adalah rajungan (Portunus sp.) (Solihin, 1993). Sadhori (1985) mengatakan bahwa yang dimaksud jaring insang tetap adalah jaring insang setelah dipasang di suatu perairan dibiarkan menetap pada suatu tempat jaring insang tersebut dipasang.

Jaring kejer tergolong jaring dasar yang dilengkapi pelampung dan pemberat yang dapat menghadang ruaya rajungan. Jaring kejer dipasang pada malam hari, sesuai dengan kebiasaan rajungan yang melakukan ruaya pada malam hari. Jaring kejer biasanya ditebar di laut pada sore hari, keesokan harinya sebelum matahari terbit diangkat kembali. (Juwana dan Romimohtarto, 2000).

Martasuganda (2002), menyatakan bahwa jumlah pis disesuaikan dengan besar kapal, modal dan kemampuan nelayan yang mengoperasikannya, tetapi umumnya memakai 10 – 20 pis. Penurunan jaring (setting) dilakukan setelah matahari terbenam dengan cara diset menetap di dasar perairan selama 10 – 12 jam.

2.2.2 Metode Pengoperasian

Pemasangan jaring kejer secara umum adalah dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat dan terpuntal atau entangled pada tubuh jaring. Oleh karena itu, warna jaring sebaiknya disesuaikan dengan warna perairan setempat jaring kejer dioperasikan (Sadhori, 1985). Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa warna jaring di dalam air akan terpengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman air, perairan, transparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain-lain. Selain itu setiap warna memiliki derajat terlihat atau visibilitas yang berbeda bagi ikan, yang dapat

(9)

menjadikan jaring seperti suatu benda penghalang atau penghadang. Dengan demikian, kemungkinan terlihatnya jaring pada siang hari lebih besar dibandingkan pada malam hari, sehingga sebaiknya warna jaring tidak kontras terhadap warna air maupun dasar perairan.

2.2.3 Kapal

Sultan (1986) mengatakan bahwa umumnya gillnet dapat dioperasikan dengan berbagai macam ukuran kapal sesuai dengan ukuran alat tangkap yang digunakan. Mulanya gillnet dioperasikan oleh nelayan kecil menggunakan perahu kecil tanpa motor. Adanya kemajuan dalam bidang motorisasi, maka penggunaan kapal gillnet di Indonesia umumnya telah menggunakan penggerak mesin tempel (outboard engine). Gillnet dengan skala usaha yang lebih besar biasanya menggunakan tenaga penggerak jenis mesin dalam (inboard engine), berkekuatan 13,5 HP dengan bahan bakar solar. Perahu ini termasuk dalam jenis “sope”, memiliki ukuran L × B × D = 11 m × 2,5 m × 1,5 m. mesin pada perahu ini terletak pada sisi kiri kapal, sehingga pengoperasian jaring kejer dilakukan di sisi kanan, baik di buritan maupun di haluan kapal (Suwanda, 2003).

2.2.4 Nelayan

Menurut Sultan (1986), jumlah nelayan setiap kapal gillnet tidaklah sama, bergantung pada ukuran skala usaha. Jenis kapal yang berupa perahu layar motor hanya memerlukan satu atau dua orang nelayan, sedangkan untuk kapal gillnet bermotor memerlukan tiga sampai empat orang nelayan. Pada usaha penangkapan yang lebih besar dengan peralatan di atas kapal lengkap, biasanya menggunakan delapan sampai sepuluh orang anak buah kapal (ABK).

Nelayan yang mengoperasikan jaring kejer di Cirebon biasanya berjumlah 2 – 3 orang. Sebagian besar nelayan jaring kejer merupakan penduduk asli setempat dan nelayan merupakan mata pencaharian utama. Biasanya nelayan yang bekerja dalam satu perahu memiliki hubungan keluarga, seperti anak dan bapak, atau kakak dan adik. Juru mudi dipilih bedasarkan umur yang lebih tua, karena memiliki banyak pengalaman mengenai daerah penangkapan ikan dan teknik

(10)

2.2.5 Sasaran Tangkapan

Pada umumnya ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah jenis ikan yang baik vertical migration maupun horizontal migration-nya tidak seberapa aktif. Dengan kata lain migrasi dari ikan sasaran terbatas pada range layer atau depth tertentu.

Di daerah Cirebon, jaring kejer digunakan untuk menangkap rajungan. Selain rajungan, tertangkap juga berbagai jenis biota seperti mimi (Thacypleus sp.), udang ronggeng (Oratosquilla sp.), cumi-cumi (Loligo sp.) dan keong berduri (Murex sp.) (Juwana dan Romimoharto 2000).

Gambar

Gambar 1. Rajungan (Portunus pelagicus)  (Sumber : Sunarto, 2011)
Gambar 2. Bagian-bagian rajungan (Portunus pelagicus)  (Sumber : Google)
Gambar 3. Rajungan (Portunus pelagicus) (a) betina dan (b) jantan  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Referensi

Dokumen terkait

Pada tanggal 30 September 2009, pinjaman ini dan pinjaman investasi dari bank yang sama (Catatan 15) berdasarkan perjanjian pinjaman dijamin dengan piutang usaha sebesar

(4) Kepala Dinas Peternakan Kabupaten/Kotamadya Dati II atau Kepala Dinas peternakan Propinsi Dati I menyampaikan Rencana kerja tahunan pengawasan obat hewan

Pengujian ini bertujuan untuk menganalisa sistem dalam mendeteksi warna uang kertas dan mengeluarkan suara seperti warna yang dideteksi oleh sensor warna. Peralatan

Asam Oleat merupakan golongan asam lemak yang dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi pada pemberian melalui transdermal, dengan cara berinteraksi dengan lipid pada

selama 20 menit atau di oven. Sterilisasi alat dan bahan yang akan dipergunakan dalam kultur murni ini bertujuan untuk membunuh miroorganisme yang tidak diinginkan

Bertitik tolak dari hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas antibakteri tanaman bidara upas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

Untuk mengetahui komponen yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit buah jeruk manis (Citrus sinensis (L.) Osbeck) yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus

% Jumlah Partisipasi masyarakat yang hadir dalam musrenbang kecamatan dibagi jumlah. masyarakat yang diundang