BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan. Sementara TB paru adalah infeksi paru oleh M. Tuberculosis (Dorland, 2002).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi menular yang menyerang paru, disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meskipun bakteri tersebut menyebabkan infeksi yang serius pada paru, tetapi infeksi TB dapat terjadi di bagian tubuh lain (Pomeranz, 2007).
2.2. Epidemiologi
Tuberkulosis adalah masalah global dengan insidens sekitar 9 juta kasus pada tahun 2010 dan diantaranya adalah anak usia dibawah 15 tahun sekitar 10%. Penyakit ini biasanya terjadi di daerah yang jumlah penduduknya ramai, daerah tunawisma, dan daerah yang penduduknya banyak kurang gizi (Batra, 2011).
Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia di bawah 15 tahun, 63% di antaranya berusia di bawah 5 tahun. Pada survei nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia di bawah 15 tahun menderita TB. Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (tahun 1983-1993) didapatkan 171 kasus TB anak usia di bawah 15 tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5%-7%. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia di bawah 15 tahun adalah 40%-50% dari seluruh jumlah populasi (Rahajoe, 2008).
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Berdasarkan data WHO memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas (Rahajoe, 2008).
2.3. Faktor risiko
Faktor risiko timbulnya infeksi TB paru pada anak umumnya adalah anak yang kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis TB, lingkungan yang kurang ventilasi, kurangnya paparan sinar ultraviolet, lingkungan yang tidak sehat (higienis dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan dan penjara) (Batra, 2011).
Penderita TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Anak yang berusia ≤5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada usia dewasa 5-10% (Raharjoe, 2012).
Anak terinfeksi TB tidak selalu mengalami sakit TB. Infeksi TB merupakan penyakit TB yang tidak memiliki gejala dan tanda klinis penyakit TB tetapi kuman TB telah menginfeksi jaringan, sedangkan sakit TB merupakan penyakit TB yang memiliki gejala dan tanda klinis penyakit TB. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berkembanganya infeksi TB menjadi sakit TB, yaitu penurunan sistem imun akibat malnutrisi, penggunaan terapi steroid,
kemoterapi kanker, kanker darah, infeksi non-TB seperti campak, varisela, dan pertusis, serta infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Batra, 2011).
Status gizi merupakan salah satu faktor pendukung yang mempengaruhi penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu dengan perekonomian rendah akan tidak dapat mencukupi gizi untuk tumbuh kembang anak, sehingga mereka hanya memberi makanan tanpa mengetahui kecukupan dari nilai gizinya. Kecukupan gizi pada anak sangat penting karena dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap suatu penyakit (Rinawati, 2010).
Penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi TB di Gambia mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki-laki dan perempuan tidak berbeda sampai remaja, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki-laki. Hal ini diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat (Kartasasmita, 2009).
Pencegahan dengan imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, sehingga mampu mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar. Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis adalah vaksinasi Bacillus
Calmette-Guerin (BCG), yang telah diwajibkan di 64 negara dan direkomendasikan di
beberapa negara lainnya. Indonesia telah melaksanakan vaksinasi BCG sejak tahun 1952. Vaksinasi BCG diberikan secara dini (segera sesudah lahir). Infeksi TB banyak terjadi pada anak–anak yang sejak semula menghasilkan uji Mantoux positif tetapi tetap divaksinasi BCG, sehingga kemungkinan diantara mereka sudah menderita TB sebelum divaksinasi (Murniasih, 2009).
Vaksinasi BCG dapat menghindarkan terjadinya TB paru berat pada anak, tuberkulosis milier yang menyebar keseluruh tubuh dan meningitis tuberkulosis yang menyerang otak (TB ekstra paru), yang keduanya bisa menyebabkan kematian pada anak. Anak yang tidak mendapat vaksin BCG akan berisiko tinggi untuk menderita penyakit TB (Haq, 2010).
2.4. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer Ghon (Raharjoe, 2008). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. TB endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular (Raharjoe dan Setyanto, 2012).
̩Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis) (Raharjoe, 2008).
dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (Raharjoe, 2008).
2.5. Diagnosis
2.5.1. Manifestasi Klinis
Gejala umum pada TB anak adalah sebagai berikut:
a. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi. b. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak baik dengan adekuat (failure to thrive).
e. Lesu dan malaise.
f. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare (Raharjoe, 2012).
Tabel 2.1. Frekuensi gejala dan tanda TB paru sesuai kelompok usia
Kelompok umur Bayi Anak Remaja
Gejala Demam Keringat malam Batuk Batuk produktif Hemoptisis Dispnu Sering Sangat jarang Sering Sangat jarang Tidak pernah Sering Jarang Sangat jarang Sering Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sering Jarang Sering Sering Sangat jarang Sangat jarang
Tanda Ronki basah Mengi Fremitus Perkusi pendek Suara napas berkurang Sering Sering Sangat jarang Sangat jarang Sering Jarang Jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Jarang Jarang Jarang Jarang
Sumber: berdasarkan Marais JB, Gie RP, Simon H, Beyers Nulda, R. Donald peter, dan starke JR. Childhood Pulmonary Tuberculosis Old wisdom and New Challenges, 2006.
2.5.2. Penegakan Diagnosis
Diagnosis TB pada anak sulit karena anak berusia di bawah 10 tahun biasanya tidak dapat membatukkan sputum untuk dikirim ke laboratorium untuk mengkonfirmasi adanya kuman TB. Oleh karena itu, penegakan diagnosis dapat dilakukan berdasarkan gambaran klinis, berat badan menurun, riwayat kontak dengan pasien dewasa TB menular yang keseluruhannya dapat diketahui melalui anamnesis (WHO, 2012).
Hal lain yang dapat mendukung diagnosis pasti TB dengan uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada, serta ditemukannya M. Tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak (Raharjoe, 2008)
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis tuberkulosis anak UKK Pulmonologi PP IDAI (2005) Parameter 0 1 2 3 Kontak TB Uji tuberkulin Berat badan (BB)/ keadaan gizi Demam tanpa sebab jelas Batuk Pembesaran kelenjar limfe, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut,
Tidak jelas Laporan
keluarga, BTA (-), atau tidak tahu BB/TB <90% atau BB/U <80% ≥ 2 minggu ≥ 3 minggu Ukuran ≥ 1 cm, jumlah ≥1, tidak nyeri Ada pembengkakan Kavitas (+), BTA tidak jelas Klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60% BTA (+) Positif (≥10mm, atau ≥5 mm pada imun osupresi)
falang Foto rontgen toraks Normal/ tidak jelas Infiltrat, pembesaran kelenjar, konsolidasi segmental/lobar, atelektasis Kalsifikasi + infiltrat, pembesaran kelenjar + infiltrat
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Jika dijumpai skrofuloderma, pasien langsung didiagnosis tuberkulosis. Berat badan dinilai saat pasien datang.
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >6 (skor maksimal 13)
Pasien usia bawah lima tahun (balita) yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Sumber: UKK Pulmonologi IDAI, 2005
2.6. Penatalaksanaan
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase lanjutan. Pemberian panduan obat ini ditunjukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan (Raharjoe, 2008).
Tabel 2.3. Obat Antituberkulosis yang bisa dipakai dan dosisnya
Nama obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) Dosis maksimal (mg per hari) Efek samping Isoniazid Rifampicin** Pirazinamid Etambutol Streptomicin 5-15* 10-20 15-30 15-20 15-40 300 600 2000 1250 1000
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan
Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan
lapang pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik *Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampicin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari
** Rifampicin tidak boleh dicarik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampicin. Rifampicin diabsobsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan) Sumber: Raharjo NN, Setiawati L. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak, 2012
Sebagian besar dari studi pengobatan pada anak telah menggunakan 6 bulan Isoniazid (INH) dan Rifampicin (RIF) ditambah selama 2 bulan pertama dengan Pirazinamid (PZA). Kombinasi ketiga jenis obat ini memiliki tingkat keberhasilan sekitar >95% dan laju reaksi obat yang merugikan sekitar <2%. Kebanyakan penelitian pengobatan dosis intermiten pada anak-anak telah
menggunakan pemberian obat setiap hari selama 2 minggu pertama sampai 2 bulan. Directly Observed Treatment (DOT) harus selalu digunakan dalam mengobati anak-anak (CDC, 2003).