• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMANS PEDET SAPI PERAH DENGAN PERLAKUAN INDUK SAAT MASA AKHIR KEBUNTINGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMANS PEDET SAPI PERAH DENGAN PERLAKUAN INDUK SAAT MASA AKHIR KEBUNTINGAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMANS PEDET SAPI PERAH DENGAN PERLAKUAN

INDUK SAAT MASA AKHIR KEBUNTINGAN

(Dairy Calf Performance Cow Fed High Quality Diet

During Late Pregnancy)

UTOMO, B.1, S. PRAWIRODIGDO1, SARJANA1 dan SUDJATMOGO2

1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

2

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRACT

This study was performed in Semarang District to evaluate growth performance of calf delivered by the dairy cow fed high quality diet during dry period. The experiment used 18 of the first parity cow of 8 months pregnancy. The cows were allotted to receive either one of three experimental diets. The diets contained 12%, 14%, and 16% crude protein (for Diet 1, Diet 2, and Diet 3, respectively). The study employed a completely randomized design with 6 replications. Measurements were taken for feed consumption, body weight gain of the cow, and birth weight, body length, hearth girth (HG), and bone legs length (BLL) of calf. Results of the study showed that dry matter intake of the cow fed Diet 1 (6.86 kg), Diet 2 (6.88 kg), and Diet 3 (6.93 kg) were significantly (P < 0.05) different. The significant (P < 0.01) distinction between average birth weight of calf delivered by the cow consuming Diet 1 (30.80 kg), Diet 2 (35.88 kg), and Diet 3 (38.18 kg). The average calf HG of the cow fed Diet 1 (74.08 cm) was lower that those of fed Diet 2 (74.6 cm), and Diet 3 (76.97 cm) were significantly (P < 0.01) different; however there was no significant difference between the calf HG of Diet 2 and Diet 3. The calf front BLL of Diet 1 (41 cm) was shorter (P<0.01), than those of Diet 2 (45 cm), or Diet 3 (45.75 cm), but there was no significant different between Diet 2 and Diet 3. As well, the rear BLL of calf delivered by the cow fed Diet 1 (45.67 cm) was shorter (P < 0.01) and from the dams fed either Diet 2 (49 cm), or Diet 3 (50.33 cm). Similarly, there was no significant different between the calf’s rear BLL from the cow fed Diet 2 and Diet 3. In conclusion, the cow fed diet containing 14% crude protein produced the best performance of calf.

Key Words: Dairy Cow, Dairy Calf Performance, Late Pregnancy

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di Kabupaten Semarang, dengan tujuan untuk mengetahui performans pedet yang dilahirkan dari sapi perah pada masa akhir kebuntingan yang mendapat perlakuan ransum berkualitas baik. Materi pengkajian terdiri atas 18 ekor induk sapi perah dengan umur kebuntingan 8 bulan dan periode lakstasi I, dialokasikan kedalam tiga perlakuan ransum. Perlakuan (P) 1, dengan protein kasar (PK) 12%, P2. 14% PK dan P3. 16% PK. Penelitian menggunakan Rancangan Percobaan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Variabel yang diamati adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, bobot lahir pedet, panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak dan panjang tulang kaki (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering P1, P2 dan P3 adalah 6,86 kg, 6,88 kg dan 6,93 kg (P > 0,05). Rata-rata pertambahan bobot badan harian induk untuk P1, P2, dan P3 adalah 0,792 kg, 1,104 kg dan 1,110 kg (P < 0,05). Rata-rata bobot lahir pedet P1, P2, dan P3 adalah 30,08 kg, 35,88 kg dan 38,18 kg (P < 0,01). Rata-rata ukuran lingkar dada pedet P1, P2, dan P3 adalah 74,08 cm, 74,60 cm dan 76,97 cm (P > 0,05). Rata-rata panjang badan P1 (53,17 cm) lebih pendek (P < 0,01) dari pada P2 (57,05 cm) dan (P3 60,28 cm), tetapi antara pada P2 dan P3 tidak berbeda nyata. Secara konsisten rata-rata tinggi pundak pedet untuk P1 (67,26 cm) juga lebih rendah (P < 0,01) dari pedet P2 (71,25 cm), dan P3 (72,92 cm), namun antara pedet P2 dan P 3 tidak berbeda nyata. Pola yang sama menunjukkan bahwa rata-rata PTK depan (41,00 cm) dan PTK belakang (45,67 cm) P1 lebih pendek (P < 0,01) dari pada PTK depan (45,00 cm) dan PTK belakang (49,00 cm) P2, maupun PTK depan (45,75 cm) dan PTK belakang (50,33 cm) P3. Dalam hal tersebut perbedaan PTK pedet P2 dan P3 juga tidak nyata. Disimpulkan bahwa performans pedet sapi perah dari induk yang mendapat pakan dengan kandungan 14% protein kasar menunjukkan penampilan yang terbaik.

(2)

PENDAHULUAN

Pemeliharaan sapi perah pada umumnya bertujuan untuk memperoleh susu dan anak sapi (pedet). Produksi susu yang diperoleh merupakan hasil harian bagi peternak sapi perah, sedangkan pedetnya dapat digunakan sebagai ternak pengganti atau dapat dijual sewaktu-waktu apabila peternak membutuhkan uang tunai. Namun demikian, di tingkat petani ternak kematian pedet masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 7 – 27%. Tingginya angka kematian pedet diantaranya dipengaruhi oleh bobot lahir rendah dan sistem pemeliharaan setelah lahir yang kurang baik.

Pemberian ransum dengan kualitas baik pada saat induk bunting tua dapat berpengaruh terhadap peningkatan bobot lahir, dan akan terjadi sebaliknya apabila kekurangan, seperti bobot lahir pedet rendah, kondisi lemah dan tingkat kematian tinggi. Ransum dengan kualitas baik dimungkinkan dapat mencukupi ketersediaan nutrisi yang diserap oleh foetus pada fase pertumbuhan. Pada periode umur kebuntingan kedelapan sampai partus, merupakan pertumbuhan foetus yang cepat dan mencapai puncak. Pertumbuhan yang terjadi selama akhir kebuntingan adalah peningkatan berat foetus, dimana berat foetus dapat mencapai 60% dari bobot pedet pada waktu lahir.

Disisi lain, selama ini petani ternak tidak memberikan pakan yang baik terhadap ternaknya saat kering kandang, bahkan mengurangi kuantitas pakan yang diberikan. Petani ternak beranggapan bahwa sapi perah yang tidak menghasilkan susu (tidak diperah) pada saat kering kandang, pakan yang diberikan cukup seadanya. Hal tersebut merupakan anggapan yang harus diluruskan, mengingat keadaan ini apabila dibiarkan dapat berakibat buruk terhadap ternak dimasa mendatang. Melihat kenyataan tersebut, maka dilakukan pengkajian untuk mengetahui performans pedet yang dilahirkan dari induk yang mendapat ransum berkualitas baik pada saat induk sapi perah kering kandang.

MATERI DAN METODE

Pengkajian ini dilakukan pada kelompok tani ternak (KTT) sapi perah Desa Samirono,

Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Materi ternak sapi perah yang digunakan sebanyak 18 ekor pedet yang berasal (dilahirkan) dari 18 ekor induk sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH). Materi induk sapi perah tersebut, pada saat pengkajian dimulai umur kebuntingan telah mencapai 8 bulan dan periode laktasi ke satu. Pada umur kebuntingan kedelapan induk mulai diberi perlakuan ransum, yaitu perlakuan (P) 1 dengan kandungan protein kasar (PK) 12%, perlakuan 2 dengan PK 14% dan perlakuan 3 kandungan PK 16%. Ransum yang diberikan berupa konsentrat dan rumput gajah dan pemberiannya dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pemberian ransum pada induk sampai beranak, yaitu kurang lebih selama dua bulan dan anak sapi (pedet) yang dilahirkan dari masing-masing perlakuan ditimbang serta diukur bagian tubuh yang diperlukan. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Variabel yang diamati meliputi: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, bobot lahir pedet, panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak dan panjang tulang. Data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan sidik ragam (YITNOSUMARTO, 1993), dan bila terdapat perbedaan maka dilakukan Uji Ganda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan pertambahan bobot induk pada akhir kebuntingan

Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi bahan kering (BK) induk sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) pada akhir masa kebuntingan masing-masing untuk perlakuan P1, P2 dan P3 adalah sebesar 6,86 kg/ekor/hari, 6,88 kg/ekor/hari dan 6,93 kg/ekor/hari (Tabel 1). Hasil analisis statistik terhadap konsumsi BK antar perlakuan tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal ini mungkin karena tingkat palatabilitas antara ransum P1, P2 dan P3 sama. Disebutkan oleh LUBIS (1963) bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi BK adalah tingkat palatabilitas, kondisi pakan dan bobot badan ternak. Persentase konsumsi BK antara P1, P2 dan P3 pada akhir masa

(3)

Tabel 1. Rata-rata konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian induk pada akhir kebuntingan

Perlakuan Uraian

P1 P2 P3 Rata-rata konsumsi bahan kering (kg) 6,86 ± 0,57a 6,88 ± 0,25a 6,93 ± 0,37a

Rata-rata pertambahan bobot badan harian (kg) 0,792 ± 0,32a 1,104 ± 0,14b 1,110 ± 0,17b Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)

kebuntingan relatif sama yaitu 1,75%, 1,74% dan 1,75% dari bobot badan. Persentase konsumsi BK yang diperoleh masih lebih rendah dari yang dilaporkan oleh SYARIEF dan SUMOPRASTOWO (1990) yaitu bahwa kebutuhan BK ransum sapi perah kurang lebih 2 – 4% dari bobot badan. Rendahnya konsumsi BK pada masing-masing perlakuan kemungkinan disebabkan menyempitnya kapasitas rumen sapi perah akibat semakin bertambahnya ukuran foetus. Selama kebuntingan rumen menyempit karena terdesak oleh pertumbuhan foetus, sehingga kapasitas rumen turun sampai 30% (SALISBURY dan VANDEMARK, 1985).

Pertambahan bobot badan induk sapi perah PFH pada akhir masa kebuntingan untuk perlakuan P1, P2 dan P3 masing-masing adalah sebesar 0,792 kg/ekor/hari, 1,104 kg/ekor/hari dan 1,110 kg/ekor/hari seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan induk sapi perah antara perlakuan P1 dengan P2 dan P1 dengan P3 berbeda nyata (P < 0,05), sedangkan perlakuan antara P2 dengan P3 tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal ini diduga adanya hubungan antara kualitas ransum yang dikonsumsi dengan pertumbuhan induk pada masa akhir kebuntingan. Hasil penelitian PUTU

et al. (1999) menunjukkan bahwa pemberian

pakan konsentrat tambahan pada saat dua bulan sebelum kelahiran dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertambahan bobot badan harian ternak sapi. TILLMAN et al. (1998), menyatakan bahwa faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, yaitu bila kualitas pakan baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup maka pertumbuhan ternak menjadi cepat dan akan terjadi sebaliknya bila pakan yang diberikan berkualitas jelek. Disamping itu kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan foetus P2 dan P3 lebih baik sebagai akibat suplai nutrisi yang cukup, hal ini dicerminkan

dari bobot lahir pedet. Hasil penelitian PANJAITAN et al. (1999), menunjukkan bahwa pada akhir kebuntingan terjadi perubahan nyata pada foetus yang dipengaruhi oleh nutrisi dan kesehatan induk.

Bobot lahir pedet sapi perah

Hasil kajian yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir pedet untuk perlakuan P1, P2 dan P3 adalah 30,08 kg/ekor, 35,88 kg/ekor dan 38,18 kg/ekor seperti terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis statistik bahwa bobot lahir pedet sapi perah untuk P1 dengan P2 dan P1 dengan P3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05), sedangkan P2 dengan P3 tidak berbeda nyata (P > 0,05). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan foetus selama prenatal P2 dan P3 lebih baik. Hasil tersebut membuktikan bahwa ransum perlakuan yang berkualitas baik adalah P2 dan P3 dengan kandungan protein lebih dari 14% akan dapat meningkatkan pertumbuhan foetus. Bobot lahir ditentukan oleh kondisi pertumbuhan prenatal, yang ditunjang suplai nutrisi dari induk serta kemampuan induk untuk menggunakannya. HAFEZ (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan prenatal dipengaruhi oleh hereditas, paritas, nutrisi induk, perkembangan embrio dan endometrium sebelum implantasi serta ukuran tubuh. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akhir masa kebuntingan terjadi pertumbuhan foetus yang cepat dan mencapai puncak pada dua bulan akhir kebuntingan. Pemberian pakan berkualitas baik selama akhir masa kebuntingan dapat meningkatkan bobot lahir 5 – 8% dari bobot induk (NGGOBE et al., 1994).

Pada akhir kebuntingan pemberian pakan tambahan sangat dibutuhkan sebab masa kritis ternak bunting yaitu sekitar dua bulan sebelum dan dua bulan setelah beranak (WINUGROHO, 1994). Hasil penelitian PANJAITAN et al. (1999), menjelaskan bahwa pemberian

(4)

Tabel 2. Rata-rata bobot lahir dan ukuran tubuh pedet sapi perah

Perlakuan Uraian

P1 P2 P3 Rata-rata bobot lahir (kg) 30,08 ± 2,76a 35,88 ± 1,67b 38,18 ± 4,91b

Rata-rata lingkar dada (cm) 74,08 ± 1,96a 74,60 ± 1,82a 76,97 ± 3,36a Rata-rata panjang badan (cm) 53,16 ± 3,61a 57,05 ± 2,01b 60,28 ± 2,73b

Rata-rata tinggi pundak (cm) 67,25 ± 2,36A 71,25 ± 2,18B 72,92 ± 1,36B Rata-rata panjang tulang kaki

Kaki depan (cm) 41,00 ± 2,07A 45,00 ± 1,87B 45,75 ± 1,67B Kaki belakang (cm) 45,67 ± 1,89A 49,00 ± 1,41B 50,33 ± 1,83B

Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01)

suplemen pada akhir kebuntingan dapat meningkatkan bobot lahir. Penelitian PUTU et

al. (1999) juga memberikan hasil yang sama,

bahwa pemberian pakan konsentrat pada akhir kebuntingan dapat meningkatkan bobot lahir.

Lingkar dada pedet

Rata-rata lingkar dada pedet sapi perah saat lahir pada perlakuan P1, P2 dan P3 masing-masing adalah 74,08 cm, 74,60 cm dan 76,97 cm seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal ini kemungkinan selama akhir masa kebuntingan pertumbuhan yang terjadi adalah

hiperplasia yaitu pertambahan jumlah sel yang

mengakibatkan pertambahan bobot badan lebih cepat daripada pertumbuhan hipertropi atau pertambahan ukuran yang menyebabkan memanjangnya tulang rusuk dada. Disamping itu rongga dada yang berisi organ tubuh termasuk jantung dan paru-paru belum berfungsi secara optimal (ANGGORODI, 1994). Keadaan tersebut diduga dapat menyebabkan rongga dada belum berkembang dan belum melebar sehingga ukuran lingkar dada pedet saat lahir relatif hampir sama.

Panjang badan pedet

Panjang badan pedet sapi perah saat lahir rata-rata untuk P1, P2 dan P3 masing-masing adalah 53,16 cm, 57,05 cm dan 60,28 cm (Tabel 2). Berdasarkan hasil analisis statistik,

bahwa ukuran panjang badan pedet saat lahir pada perlakuan P1 dengan P2 dan P1 dengan P3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05), sedangkan perlakuan P2 dengan P3 tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0,05). Pada Tabel 2 terlihat bahwa ukuran panjang badan pedet P2 dan P3 lebih tinggi daripada P1, hal ini diduga karena P2 dan P3 mendapat suplai pakan berkualitas baik. Menurut ANGGORODI (1994), bahwa pakan dengan kandungan protein yang cukup dapat berfungsi memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi dan merupakan penyusun hormon. Dimana salah satu akibat dari pertumbuhan tulang adalah memanjangnya panjang badan. Ransum berkualitas baik yang dikonsumsi ternak terutama protein dapat merangsang sekresi hormon, diantaranya adalah hormon progesteron. HASRATI (2001), melaporkan bahwa progesteron berfungsi dalam pertumbuhan masa uterus, sehingga dapat menyebabkan peningkatan hormon laktogen placenta yang berpengaruh terhadap hormon pertumbuhan dan hormon tersebut berperan dalam menginduksi panjang badan serta bobot foetus.

Tinggi pundak pedet

Hasil kajian yang diperoleh rata-rata ukuran tinggi pundak pedet sapi perah saat lahir untuk P1, P2 dan P3 masing-masing adalah 67,25 cm, 71,25 cm dan 72,92 cm (Tabel 2). Berdasarkan analisis statistik menunjukkan bahwa rata-rata ukuran tinggi

(5)

pundak pedet untuk P1 dengan P2 dan P1 dengan P3 berbeda sangat nyata (P < 0,01), tetapi P2 dengan P3 tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan tinggi pundak foetus P2 dan P3 lebih cepat. Besarnya selisih ukuran tinggi pundak kemungkinan disebabkan oleh pengaruh protein ransum yang dikonsumsi P2 dan P3 lebih banyak. Sehingga akan menyebabkan proses ossifikasi tulang (kaki) foetus lebih cepat. Hal ini akan berpengaruh terhadap ukuran tinggi pundak pedet saat lahir. Protein akan merangsang pertumbuhan sel-sel dalam tubuh termasuk pertumbuhan tulang (ANGGORODI, 1994).

Panjang tulang kaki

Ukuran panjang tulang kaki pedet sapi perah saat lahir, untuk tulang kaki bagian depan rata-rata sebesar 41,00 cm, 45,00 cm dan 45,75 cm, sedangkan tulang kaki belakang 45,67 cm, 49,00 dan 50,33 cm, masing-masing untuk perlakuan P1, P2 dan P3 seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ukuran panjang tulang kaki pedet bagian depan maupun belakang pada P1 dengan P2 dan P1 dengan P3 terdapat perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01), tetapi antara P2 dengan P3 tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hasil yang diperoleh memberikan gambaran bahwa dengan pemberian ransum berkualitas baik dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan kaki pada masa pertumbuhan foetus. Pertumbuhan tulang terjadi pada daerah

epiphysial cartilago (FRANDSON, 1996).

Ukuran kaki pedet yang baru lahir relatif panjang, dan kaki berkembang lebih awal dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain karena salah satu fungsi kaki adalah sebagai penyangga tubuh. TAYLOR (1994) menyatakan bahwa pada saat pedet lahir proporsi ukuran kepala dan kaki lebih besar serta ukuran tubuh relatif kecil.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dengan perlakuan induk sapi perah saat kering kandang dapat meningkatkan: 1). pertambahan bobot badan

induk, 2). bobot lahir pedet, 3). ukuran panjang badan pedet saat lahir, 4). ukuran tinggi pundak pedet saat lahir, 5). ukuran panjang kaki pedet saat lahir, dan 6). tidak berpengaruh terhadap ukuran lingkar dada pedet saat lahir.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGORODI, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia Jakarta.

FRANDSON, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke 4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Lea and Febiger, Philadelpia.

Hasrati, E. 2001. Performans Pedet Sapi Perah yang Dilahirkan oleh Sapi Dara dan Laktasi Akibat Penyuntikan PMSG. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

LUBIS, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT Yasaguna Pembangunan, Jakarta.

NGGOBE, M., B. TIRO dan R.B. WIRDAHAYATI. 1994. Pemberian suplement pada akhir masa kebuntingan terhadap bobot lahir, produksi susu induk dan kematian anak sapi bali pada musim kemarau. Pros. Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan. Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. SBPTP. Kupang.

PANJAITAN, T.S, W. ARIEF, A. SAUKI, A. MUZANI, I. BASUKI dan A.S. WAHID. 1999. Pengaruh pemberian tambahan pakan pada induk bunting dan setelah melahirkan terhadap pertumbuhan anak, birahi kembali dan keberhasilan IB pada usaha peternakan sapi potong di pulau Lombok. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor.

PUTU, I-G., P. SITUMORANG, A. LUBIS, T.D. CHANIAGO, E. TRIWULANINGSIH, T. SUGIARTI, I.W. MATHIUS dan B. SUDARYANTO. 1999. Pengaruh pemberian pakan konsentrat tambahan selama dua bulan sebelum dan sesudah kelahiran terhadap performans produksi dan reproduksi sapi potong. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor.

SALISBURRY, G.W. dan N.I. VANDEMARK. 1985. Fisiologi reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(6)

TAYLOR, R.E. 1994. Beef Production and Management Decision. 2th Ed. Macmillan

Publishing Company, New York.

TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

WINUGROHO, M. 1994. Strategi penanggulangan bahan pakan di musim kemarau. Pros. Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan. Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian.

YITNOSUMARTO, S. 1993. Percobaan Perancangan, Analisis, dan Interpretasinya. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hari ini, seramai 300 Person Under Surveillance (PUS) telah mendaftar masuk di hotel untuk menjalani kuarantin, menjadikan jumlah keseluruhan PUS di 38 buah hotel dan

(Cuprum Clorid) grade : analitik. Variabel penelitian dalam hal ini adalah laju alir sebagai variabel bebas, temperatur, tegangan listrik dan konsentrasi larutan sebagai variabel

Tabel diatas menunjukan bahwa nilai koefisien determinasi yang ditunjukan dengan R², namun karena dalam penelitian ini menggunakan variabel independen lebih dari satu, maka

Bagi saya, ketidakadilan global terasa semakin menyesak dada ketika janji semangat Bandung yang menuntut kemerdekaan bagi semua bangsa-bangsa di Asia Afrika masih menyisakan sebua

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik

Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah (SMA/SMK) di Kecamatan Mijen Kota Semarang Kurun Waktu 2011-2014.. Semarang : Universitas

,QGRQHVLD PHQMDGLNDQ 3DQFDVLOD VHEDJDL VDWX VDWXQ\D DVDV GDODP NHKLGXSDQ EHUPDV\DUDNDW EHUEDQJVD GDQ EHUQHJDUD 3HUPLQWDDQ 3UHVLGHQ 6RHKDUWR LQL WHQWX EHUVHQWXKDQ ODQJVXQJ GHQJDQ

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada bagian awal, seyogyanya kepada Notaris sebagai jabatan kepercayaan yang diwajibkan menjaga rahasia jabatannya