• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1 Serapan Anggaran Pemerintah Daerah

Serapan anggaran merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan anggaran yang telah direncanakan/dianggarkan sebelumnya. Melaksanakan anggaran sebagaimana yang direncanakan merupakan tugas penting dalam sistem pemerintahan. Dengan melaksanakan anggaran sebagaimana yang direncanakan artinya pemerintah mampu memaksimalkan pelayanan publik melalui kegiatan ataupun belanja. Setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan daerah berlomba-lomba untuk mencapai target anggaran dan memaksimalkan pelayanan publik , namun demikian pada kenyataan nya pada akhir tahun tingkat serapan anggaran masih rendah dan banyak daerah yang tidak mampu mencapai targetnya.

Menurut Abdullah (2016), ada beberapa penyebab rendahnya serapan anggaran pemerintah daerah, yaitu:

1. Penetapan anggaran yang terlambat sehingga proses pembayaran biaya-biaya rutin dan kegiatan menjadi terlambat sehingga pada akhir tahun anggaran persentase serapan anggaran tidak sesuai dengan target yang direncanakan. 2. Tidak lengkapnya petunjuk teknis/ pedoman pelaksanaan anggaran yang

menyebabkan keragu-raguan dalam melaksanakan anggaran karena meskipun anggaran telah ditetapkan dengan perda namun tidak dilengkapi petunjuk teknis berupa Pergub/Perbup/Perwal. Sehingga banyak kegiatan yang telah selesai dilaksanakan dikemudian hari menjadi temuan pemeriksaan karena pelaksanaan dan pertanggungjawabannya dianggap tidak sesuai dengan peraturan.

(2)

3. Terlalu banyak proyek titipan atau penumpang gelap. Kegiatan yang dibiayai dengan anggaran daerah harus terdaftar dalam RKPD, disepakati dalam PPAS dan tercantum dalam lampiran APBA/APBK. Kegiatan titipan ini pada akhirnya membebani pelaksanaan anggaran.

4. Jumlah pagu yang terlalu besar dikarena kan adanya mark upataupun ketidak akuratan perencanaan.

5. Hambatan dalam pelaksanaan kegiatan seperti keterlambatan dan kendala dalam proses lelang, hambatan birokrasi dan lainnya.

6. Tidak adanya insentif yang menjadi pendorong semangat kerja. 7. Kualitas Sumber daya manusia yang tidak memadai

8. Pengawasan yang kurang optimal

2.1.2. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) menurut Abdullah (2013) merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menurut Tanjung (2009), SiLPA didefenisikan sebagai selisih antara surplus/defesit dengan pembiayaan neto. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Permendagri 13/2006adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.SILPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah, karena SILPA hanya akan

(3)

terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dansekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan(Kusnandar dan Siswantoro, 2012).

SiLPA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit APBD akibat dari usaha peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sesuai penjelasan dalam PMK No.45/PMK.02/2006. Jika SiLPA daerah cukup besar dan diperkirakan mampu membiayai seluruh Belanja Daerah maka untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan pelayanan publik tidak harus menunggu bantuan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dana Transfer dapat dialokasikan untuk belanja operasional dan belanja tak terduga daerah. Di samping itu jumlah SiLPA suatu daerah dapat juga mengindikasikan sejauh mana Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran daerah secara efisien dan ekonomis dalam setiap anggaran belanja daerah. Menurut Tanjung (2009) bahwa kelebihan SiLPA yang cukup besar dapat mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak tepat dalam menganggarkan anggaran belanja daerah sehingga seharusnya kelebihan penganggaran tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang berguna untuk penyediaan pelayanan publik pada tahun berjalan menjadi tertunda.

2.1.3. Perubahan Anggaran

Perubahan anggaran dalam pemerintahan atau PAPBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah untuk menyesuaikan rencana keuangan nya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.

(4)

Sebagaimana yang dikatakan Abdullah (2014) bahwa perubahan anggaran daerah dilakukan untuk tujuan menyesuaikan anggaran berjalan terhadap perubahan-perubahan terkini, termasuk perubahan-perubahan dalam perundang-undangan dan kebijakan pemerintah pusat.

Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda antara lain :

2.1.3.1. Perubahan atas Pendapatan

Anggaran pendapatan akan berubah dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan terkini.

1. Perubahan atas alokasi anggaran belanja

Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berdasarkan penyebabnya adalah:

1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SiLPA tahun lalu definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA tahun berikutnya.

2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran. Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah.

(5)

3. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama.

2.1.3.2. Perubahan dalam pembiayaan

Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan alokasi belanja.

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu modal dasar bagi pemerintah daerah dalam mendapatkan dana dalam memenuhi belanja daerah, dan merupakan usaha daerah dalam memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana (subsidi)

(6)

dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya sebagai perwujudan desentralisasi. PAD dapat dijadikan sebagai indikator dalam menilai tingkat kemandirian suatu daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Semakin tinggi rasio PAD dibandingkan dengan total pendapatan makin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah.

Menurut Halim (2001), PAD adalah penerimaan daerah yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bratakusumah (2005), PAD sebagai pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan untuk guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah tersebut.

Menurut Mardiasmo (2002:132), PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 1, PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. PAD merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar Pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Berdasarkan UU nomor 32 tahun 2004 pasal 79 disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:

1. hasil pajak daerah, 2. hasil retribusi daerah,

(7)

3. hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan milik daerah yang dipisahkan,

4. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

1. Pajak Daerah

Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk investasi publik. Pajak daerah adalah pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan sebagai badan hukum publik dalam rangka membiayai rumah tangganya. Dengan kata lain pajak daerah adalah : pajak yang wewenang pungutannya ada pada daerah.

2. Retribusi Daerah

Retribusi adalah pembayaran kepada negara yang dilakukan kepada mereka yang menggunakan jasa-jasa negara, artinya restribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah baik secara langsung maupun tidak langsung oleh karena itu setiap pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang diberikan kepada masyaraakat, sehingga keluasan retribusi daerah terletak pada yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Jadi retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada yang membutuhkan.

Beberapa ciri-ciri retribusi yaitu retibusi dipungut oleh negara, dalam pungutan terdapat pemaksaan secara ekonomis, adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk, retribusi yang dikenakan kepada setiap orang/badan yang menggunakan/mengenyam jasa-jasa yang disediakan oleh negara.

(8)

Dari uraian diatas dapat kita lihat pengelompokan retribusi yang meliputi : 1. Retribusi jasa umum, yaitu: retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan

oleh Pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

2. Retribusi jasa usaha, yaitu: retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta.

3. Perusahaan Daerah

Dalam usaha menggali sumber pendapatan daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang sangat penting dan selalu mendapat perhatian khusus adalah perusahaan daerah.

Perusahaan Daerah adalah kesatuan produksi yang bersifat: a. memberi jasa, b. menyelenggarakan pemanfaatan umum, c. memupuk pendapatan. Tujuan perusahaan daerah untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan kebutuhan rakyat dengan menggutamakan industrialisasi dan ketentraman serta ketenangan kerja menuju masyarakat yang adil dan makmur. Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut perundang-undangan yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan mengusai hajat hidup orang banyak di daerah, yang modal untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.

4. Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

Pendapatan Asli Daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, menurut Devas bahwa : kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II

(9)

mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan bahan jasa. Penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber penerimaan daerah sangat bergantung pada potensi daerah itu sendiri.

Dalam rangka meningkatkan PAD Pemerintah daerah dilarang :

a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan,

b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan impor/ekspor.

2.1.5. Dana Perimbangan

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Menurut Elmi (2002), secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan tranfer dana kepada Pemerintah daerah adalah :

1. Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian “kue nasional” baik vertikal maupun Horizontal.

2. Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian wewenang pengelolaan keuangan negara agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat daerah bersangkutan.

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dana perimbangan adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan Pemerintah daerah dan antar Pemerintah daerah. Adapun komponen dana perimbangan adalah:

(10)

2.1.5.1 Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dari pengertian yang diambil dari UU 33/2004 tersebut, dapat disebutkan bahwa DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal antara daerah, serta memberikan sumber pembiayaan daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa DAU lebih diprioritaskan untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang rendah.Menurut UU 33/2004, porsi DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu, proporsi pembagian DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU bersifat “block grant”, yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah, untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka otonomi daerah.

Dana Alokasi Umum dihitung dengan menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS Alokasi Dasar (AD) dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku. Celah Fiskal (CF) merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal (KbF-KpF). Dengan demikian, daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dengan

(11)

kebutuhan fiskalnya rendah, maka akan memperoleh Dana Alokasi Umum dalam jumlah yang kecil, sebaliknya bagi daerah yang kapasitas fiskalnya rendah dengan kebutuhan fiskal tinggi, maka Dana Alokasi Umum yang akan didapatkan jumlahnya akan besar. Jika dalam perhitungan, menghasilkan celah fiskal negatif, maka jumlah DAU yang diterima oleh pemerintah daerahadalah sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Celah fiskal negatif atau kapasitas fiskal yang lebih besar dari kebutuhan fiskal, menandakan bahwa pendapatan daerah yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dari pemerintah daerah tersebut sudah cukup tinggi, sehingga daerah tersebut lebih sedikit atau tidak membutuhkan alokasi dari pusat untuk membiayai Belanja Daerah.

2.1.5.2 Dana Alokasi Khusus (DAK)

UU 33/2004 Pasal 1 ayat 23 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakanbagian dari anggaran Kementerian Negarayang digunakan untuk melaksanakanurusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. Dana AlokasiKhusus digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antar daerah denganmemberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan,

(12)

infrastruktur, kelautan danperikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup.

2.1.5.3. Dana Bagi Hasil (DBH)

PP 71/2010 menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan salah satu komponen dari Dana Perimbangan yang termasuk dalam kelompok Transfer Pemerintah Pusat. Lebih lanjut,didalam UU No.33/2004 menyebutkan bahwa Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagi hasilkan kepada daerahberdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Adapun yang menjadi sumber Dana Bagi Hasil (DBH), adalah sebagai berikut:

1. Pajak, yang terdiri dari: a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan; c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan PPh Pasal 21 (WPOPDN).

2. Sumber Daya Alam yang terdiri dari: a) Kehutanan; b) Pertambangan Umum;c) Perikanan; d) Pertambangan Minyak Bumi; e) Pertambangan Gas Bumi, dan; f) Pertambangan Panas Bumi.

2.1.6.Waktu Penetapan Anggaran

Proses penyusunan anggaran dimulai dengan penetapan tujuan, target dan kebijakan anggaran. Proses tersebut membutuhkan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kesamaan persepsi antar berbagai pihak tentang apa yang akan dicapai dan keterkaitan tujuan dengan berbagai program yang akan dilakukan, sangat krusial bagi kesuksesan anggaran. Proses panjang dari penentuan tujuan ke pelaksanaan anggaran seringkali melewati tahap yang

(13)

melelahkan, sehingga perhatian terhadap tahap penilaian dan evaluasi sering diabaikan.

Proses penyusunan anggaran diharapkan dapat terlaksana tepat waktu sehingga penetapan anggaran juga akan tepat waktu. Penetapan anggaran yang terlambat dapat menghambat kelancaran pelaksanaan anggaran tahun berkenaan, dikarenakan waktu yang semula dijadwalkan molor dan menggangu seluruh rencana pelaksanaan anggaran. Penetapan anggaran yang terlambat akan membuat waktu yang tersedia untuk melaksanakan anggaran baik itu pendapatan maupun belanja akan semakin sedikit. Hal ini akan berpengaruh pula pada kemampuan pemerintah untuk menyerap anggaran secara maksimal, dan pada akhirnya akan menimbulkan besarnya sisa lebih pembiayaan anggaran pada akhir tahun anggaran. Penetapan waktu anggaran yang terlambat juga merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan anggaran dikarenakan anggaran yang semula telah ditetapkan tidak dapat terlaksana sampai akhir tahun anggaran dan memerlukan perubahan sesuai dengan kondisinya.

Proses penyusunan APBD ( Pasal 17-20 UU Nomor 17/2003 ) dimulai dengan Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan rencana pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap satuan kerja perangkat daerah.Berdasarkan kebijakan umum APBD, strategi dan plafon sementara yang telah ditetapkan pemerintah dan DPRD, kepala satuan kerja perangkat daerah selaku

(14)

pengguna anggaran menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) tahun berikutnya dengan pendekatan berdasarkan kinerja yang dicapai. Rencana kerja dan anggaran selanjutnya disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rencana peraturan daerah tentang APBD tahun berikutnya.Setelah dokumen rancangan PERDA mengenai APBD tersusun, Pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut disertai penjelasan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD. Pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD antara Pemerintah daerah dan DPRD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD. Dalam pembahasan PERDA RAPBD, DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

Berdasarkan pasal 186 UU Nomor 32/2004, rancangan PERDA kabupaten/kota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/ Walikota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan Gubernur kepada Bupati/ Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan PERDA kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD.Pengambilan keputusan mengenai rancangan peraturan daerah tentang APBD dilakukan oleh DPRD selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Apabila DPRD tidak menyetujui rancangan peraturan daerah yang diajukan Pemerintah daerah, maka

(15)

untuk membiayai keperluan setiap tahun Pemerintah daerah dapat dilaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.Rancangan peraturan Kepala Daerah ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Jangka waktu pengesahan ditetapkan paling lama 15 hari terhitung sejak tanggal disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota. Jika sampai dengan batas waktu tersebut belum disahkan oleh pejabat berwenang, maka dianggap telah disahkan dan Kepala Daerah menetapkan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tersebut menjadi Peraturan Kepala Daerah.

Gambaran tahapan dan jadwal proses penyusunan anggaran (APBD) menurut Permendagri No.52 Tahun 2015 dapat dilihat pada lampiran 6.

2.1.7. Teori Keagenan

Teori keagenan (Agency Theory) merupakan teori yang banyak digunakan dalam praktik bisnis di sektor privat maupun sektor publik dewasa ini. Teori ini menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, Sosiologi dan teori organisasi (Halim & Abdullah,2006).

Teori keagenan merupakan sebuah kontrak antara seseorang atau lebih (disebut Principal) yang menunjuk orang yang lainnya (disebut agen) untuk menjalankan layanan sesuai dengan kepentingan prinsipal, yang mencakup pendelegasian beberapa kewenangan pengambilan keputusan kepada agen (Jensen & Meckling,1976).

Pendelegasian wewenang terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agen) untuk bertindak sesuai dengan

(16)

kepentingan prinsipal (Lupia & McCubbins,2000).Dengan adanya pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan tersebut sering kali terjadi konflik berupa asimetri informasi antara agen dengan prinsipal. Konflik yang terjadi dikarenakan manusia adalah makhluk ekonomi yang mempunyai sifat dasar mementingkan kepentingan diri sendiri. Prinsipal dan agen memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi.

Pada sektor publik, khususnya pada Pemerintah daerah di Indonesia, teori keagenan ini telah dipraktikkan sejak diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi tahun 1999 yaitu antara DPRD sebagai legislatif dan prinsipal yang mewakili kepentingan masyarakat dengan Pemerintah daerah sebagai eksekutif dan agen.

Dalam penyusunan anggaran, pihak eksekutif dan legislatif terlebih dahulu membuat kesepakatan tentang Arah dan Kebijakan Umum (AKU) dan prioritas anggaran yang akan menjadi pedoman anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Sebelum anggaran tersebut selanjutnya menjadi Perda, ada proses panjang yang tidak luput dari perbedaan kepentingan antara legislatif dan eksekutif.

Dalam mengusulkan anggaran eksekutif lebih cenderung mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual yang terjadi saat ini (asas maksimal) sedangkan dalam mengusulkan pendapatan eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asal minimal) agar ketika dilaksanakan target tersebut dapat lebih mudah dicapai.

Usulan anggaran yang lebih besar dari kenyataan yang sebenarnya mampu dilaksanakan oleh eksekutif ini berdampak pada serapan anggaran yang tidak optimal sehingga pada akhir periode SILPA Pemerintah daerah menjadi cukup besar.

(17)

Legislatif sebagai prinsipal yang sekaligus sebagai agen bagi pemilihnya, dalam memutuskan program-program dan kegiatan-kegiatan yang ditampung dalam APBD, cenderung memiliki sifat oportunistik. Usulan kegiatan yang dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang teridentifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Namun kenyataanya sering kali legislatif mengusulkan kegiatan yang dapat meningkatkan penghasilannya sehingga dapat memenuhi self-interestnya. Disamping itu ada kecenderungan dimana legislatif memperjuangkan usulan anggaran yang dimaksudkan untuk mengharumkan nama politisi diwilayah tertentu yang hasilnya kelihatan jelas oleh masyarakat yang merupakan target pemilih politisi bersangkutan.

Perbedaan kepentingan legislatif dan eksekutif ini pada akhirnya juga dapat memperlama proses penyusunan anggaran dan memakan waktu yang cukup lama sehingga mempengaruhi ketepatan waktu penetapan anggaran.

2.2. Review Terdahulu (Theoretical Mapping)

Penelitian tentang penyerapan anggaran telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya oleh Siswanto, et al. (2010) melakukan penelitian terhadap rendahnya penyerapan belanja atas tujuh Kementrian/Lembaga (K/L) terbesar pengelola belanja yaitu Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Pertahanan, Kementrian Pekerjaan Umum, Kepoisian, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perhubungan dan Kementrian Keuangan. Dari hasil penelitian ini diperoleh empat faktor penyebab utama rendahnya penyerapan belanja yaitu permasalahan terkait internal K/L, mekanisme pengadaan barang dan jasa, dokumen pelaksanaan anggaran, mekanisme revisi serta permasalahan lain.

(18)

Kuswoyo (2011) melakukan penelitian terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya penumpukan serapan anggaran dan belanja di akhir tahun anggaran pada satuan kerja di wilayah kerja KPPN Kediri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama penumpukan penyerapan anggaran belanja di akhir tahun anggaran adalah faktor perencanaan, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa dan faktor internal satker.

Miliasih (2012) yaitu tentang Analisis keterlambatan penyerapan anggaran belanja satuan kerja kementerian negara/lembaga TA 2010 di wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru. Penelitian dilakukan dengan statistika deskriptif menghasilkan dua faktor utama yang menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran belanja yaitu kebijakan teknis dan kultur pengelolaan anggaran di satuan kerja. Besarnya jumlah satker yang masuk dalam kategori terlambat, menunjukkan pola penyerapan anggaran belanja yang kecil di awal tahun anggaran dan tidak merata sampai dengan triwulan ketiga, dan terjadi penumpukan realisasi anggaran terjadi di triwulan keempat, terutama di bulan Desember. Sedangkan berdasarkan jenis belanja, tingkat penyerapan belanja pegawai cenderung paling stabil setiap triwulannya. Penyerapan anggaran belanja barang, belanja modal dan belanja sosial cenderung rendah di awal tahun tidak merata sampai dengan triwulan ketiga, dan terjadi penumpukan realisasi di triwulan keempat.

Herriyanto (2012) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja kementrian/lembaga di wilayah Jakarta. Dengan menggunakan analisis faktor eksporatori (Eksploratory Factor Analysis-EFA), keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja kementrian/lembaga di wilayah Jakarta di sebabkan oleh beberapa faktor antara

(19)

lain: (1) faktor perencanaan (2) faktor Administrasi (3) faktor sumber daya manusia (4) faktor dokumen pengadaan dan (5) faktor ganti uang persediaan.

Pradana (2013) melakukan penelitian pada Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur tentang pengaruh pendapatan asli daerah dan dana perimbangan terhadap kinerja keuangan dan belanja modal. Indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja keuangan adalah realisasi anggaran, sehingga meskipun tidak serta merta mengaitkan pengaruh dana perimbangan dan pendapatan asli daerah terhadap serapan anggaran, namun terdapat benang merah yang sama dalam penulisan penelitian ini dimana tolak ukur ataupun indikator yang digunakan dan dikembangkan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan anggarannya yang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan dan secara parsial pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan sedangkan dana perimbangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan.

Priatno, et al. (2013) pada Satuan Kerja lingkup pembayaran KPPN Blitar. Penelitian ini menggunakan analisis faktor dan regresi logistik. Dari 15 variabel awal yang dimunculkan, diperoleh 3 faktor yakni faktor adminsitrasi dan SDM, faktor perencanaan, dan faktor pengadaan barang dan jasa. Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor administrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja, sedangkan faktor perencanaan dan faktor pengadaan barang dan jasa yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja.

Penetapan SK Pejabat Pengelola Keuangan di awal tahun dan adanya administrasi yang baik dapat menutupi kendala SDM yang kurang baik pada satuan kerja. Faktor

(20)

perencanaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja sehingga satuan kerja yang memiliki perencanaan yang buruk akan cenderung memperlambat penyerapan anggaran. Faktor-faktor perencaan tersebut antara lain masa penyusunan dan penelaahan anggaran yang terlalu singkat, pejabat pengelolaan keuangan sering mutasi dan pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan DIPA, pagu ang

garan dan keterlambatan penunjukan panitia pengadaan barang dan jasa.

Lestari (2014) Melakukan penelitian berjudul pengaruh alokasi belanja murni dan alokasi belanja perubahan terhadap serapan anggaran kabupaten/kota di Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif anggaran awal terhadap serapan anggaran sedangkan anggaran perubahan berpengaruh positif terhadap serapan anggaran. Hal ini dikarenakan penganggaran yang buruk berdampak pada kinerja keuangan yang tidak mencapai target mencapai target seperti rendahnya serapan anggaran. Penambahan atau pergeseran anggaran juga dimaksudkan untuk membantu realisasi anggaran/ memperkecil varian anggaran sehingga perubahan anggaran semakin mendekati realisasinya.

Abdullah, et al. (2015) melakukan penelitian dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran pemerintah daerah studi pada Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Aceh. Variabel independen yang diteliti yaitu waktu penetapan anggaran, sisa anggaran tahun sebelumnya, dan perubahan anggaran.

Secara bersama-sama, waktu penetapan anggaran, sisa anggaran tahun sebelumnya dan perubahan anggaran berpengaruh terhadap serapan anggaran pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh. Secara sendiri-sendiri, dengan signifikansi 5% hanya faktor sisa anggaran tahun sebelumnya berpengaruh (negatif) terhadap serapan anggaran.

(21)

Tabel 2.2 Review Peneliti Terdahulu Nama

Peneliti Judul Penelitian Variabel Hasil Penelitian

Abdullah, et.al (2015) Faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran Pemerintah daerah studi pada Pemerintah daerah kabupaten/kota di Aceh Variabel Independen : Waktu penetapan anggaran (X1), Sisa anggaran tahun sebelumnya (X2), Perubahan anggaran (X3) Variabel Dependen : Serapan Anggaran (Y)

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama waktu penetapan anggaran, Sisa anggaran tahun sebelumnya, dan perubahan anggaran berpengaruh terhadap serapan anggaran pemerintah di kabupaten /kota di Aceh. Sedangkan secara sendiri-sendiri dengan signifikansi 5% hanya faktor sisa anggaran tahun sbelumnya berpengaruh (negatif) terhadap serapan anggaran, Perubahan anggaran tidak berpengaruh terhadap serapan anggaran dan waktu penetapan anggaran tidak berpengaruh terhadap serapan anggaran.

Siswanto dan Rahayu (2010) Faktor-faktor penyebab rendahnya penyerapan belanja kementrian dan lembaga TA 2010 Permasalahan terkait internal (X1), Mekanisme pengadaan barang dan jasa (X2), Dokumen pelaksanaan anggaran (X3) dan Mekanisme revisi (X4)

Dari hasil penelitian ini diperoleh empat faktor utama rendahnya penyerapan belanja yaitu masalah terkait internal K/L, mekanisme pengadaan barang dan jasa, dan mekanisme revisi.

Kuswoyo (2011) Faktor-faktor penyebab penumpukan anggaran belanja diakhir tahun anggaran pada saruan kerja di wilayah KPPN Kediri Variabel Independen : Perencanaan anggaran (X1),Pelaksanaan anggaran (X2), Pengadaan barang dan jasa (3), Faktor internal satker (X4) Variabel Dependen :Penumpukan anggaran pada akhir tahun (Y)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama terjadinya penumpukan penyerapan anggaran pada akhir tahun disebabkan oleh empat faktor yaitu perencanaan, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa dan faktor internal. Miliasih (2012) Analisis keterlambatan penyerapan anggaran belanja satuan kerja kementeriannegara/l embagaTA 2010 di wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru Variabel Independen : Kebijakan teknis (X1), dan Kultur pengelolaan anggaran (X2) Variabel Dependen : Keterlambatan penyerapan anggaran (Y)

Penelitian ini fokus pada

realisasi anggaran belanja satker di wilayah pembayaran KPPN Pekanbaru. Penelitian ini menyimpulkan 75,25% satker mengalami keterlambatan penyerapananggaran belanja. Penyebab utama keterlambatan terletak pada permasalahaninternal satker. Herriyanto (2012) Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penyerapan anggaran belanja pada satuan

Variabel Independen : Perencanaa, Administrasi (X1), Sumber Daya Manusia (X2),

Dengan menggunakan analisis faktor eksporatori (Eksploratory Factor

Analysis-EFA), keterlambatan

penyerapan anggaran belanja pada satuan kerja kementrian/lembaga di

(22)

kerja Kementerian/Lemba ga di wilayah Jakarta. Dokumen Pengadaan (X3), dan Ganti Uang Persediaan (X4) Variabel Dependen: Keterlambatan penyerapan anggaran (Y)

wilayah Jakarta di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) Faktor perencanaan 42,91% (2) Faktor Administrasi 8,84 % (3) Faktor Sumber Daya Manusia 7,80 % (4) Faktor Dokumen pengadaan 6,47 % dan (5) Faktor Ganti Uang Persediaan sebesar 5,41 % sedangkan sisanya sebesar 28,57 % dijelaskan oleh faktor lain diluar faktor diatas. Direktorat Jendral perbendahar aan kementrian keuangan RI (2012) Monitoring dan evaluasi penyerapan anggaran TA 2011 secara nasional di seluruh wilayah pembayaran KPPN di Indonesia Proses perencanaan anggaran (X1), persiapan pelaksanaan anggaran (X2), pengadaan barang dan jasa (X3), mekanisme pembayaran (X4) dan force majeur(X5)

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa

penyebab utama keterlambatan

penyerapan anggaran terkait proses perencanaan anggaran, persiapan pelaksanaan anggaran, pengadaan

barang dan jasa, mekanisme

pembayaran dan keadaan force majeur.

Pradana (2013)

Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja

keuangan dan

belanja modal studi kasus pada Provinsi Kalimantan timur

Variabel Independen – PAD dan dana perimbangan Dependen variabel- Kinerja keuangan dan belanja modal

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa secara simultan pendapatan asli daerah dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan dan secara parsial pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan dan dana perimbangan bepengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah.

Priatno & Khusaini (2013) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran pada satuan kerja lingkup pembayaran KPPN Blitar. Variabel Independen : Administrasi dan SDM (X1), Perencanaan (X2) dan Pengadaan Barang dan Jasa(X3) Variabel Dependen: Penyerapan Anggaran (Y)

Hasil analisis data menunjukkan bahwa Faktor

adminstrasi dan SDM mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap penyerapan anggaran

satuan kerja, sedangkan faktor perencanaan dan faktor pengadaan barang dan jasa yang

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran satuan kerja. Arif dan Halim (2013) Identifikasi faktor- faktor penyebab minimnya penyerapan APBD di Kabupaten Riau Variabel Independen : Kapasitas SDM (X1), Regulasi (X2), Tender/ lelang (X3), dan Lambatnya pengesahan APBD (X4) Minimnya

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwasannya masing-masing daerah kabupaten memiliki faktor-faktor

penyebab minimnya penyerapan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berbeda-beda, namun ada beberapa faktor yang hampir sama antara daerah yang satu dengan

(23)

penyerapan APBD (Y)

daerah lainnya antara lain faktor regulasi, faktor politik, faktor tender/lelang, faktor komitmen organisasi. Carlin Tasya Putri (2014) Analisa faktor- faktor yang mempengaruhi penyerapananggaran pada satuan kerja perangkat daerah di Provinsi Bengkulu Variabel Independen : Dokumen perencanaan (X1), Pencatatan administrasi (X2), Kompetensi SDM (X3), Dokumen pengadaan (X4) dan Uang Persediaan (X5) Variabel Dependen : Penyerapan Anggaran (Y)

Hasil penelitian dengan regresi linier berganda menunjukkan kompetensi sumber daya manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

penyerapan anggaran, dokumen

pengadaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan anggaran dan uang persediaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

penyerapan anggaran. Dokumen

perencanaan tidak memiliki pengaruh terhadap penyerapan anggaran dan pencatatan administrasi tidak memiliki

pengaruh terhadap penyerapan

anggaran.

Lestari (2014)

Pengaruh Alokasi Belanja Murni dan Alokasi Belanja Perubahan terhadap Serapan Anggaran di Kabupaten/ Kota di Aceh. Variabel Independen: Alokasi BelanjaMurni (X1) Alokasi Belanja Perubahan (X2) Variabel Dependen: Serapan Anggaran (Y)

Hasil Penelitian menunjukan terdapat pengaruh negatif antara Belanja murni terhadap serapan anggaran dan pengaruh positif antara

belanja perubahan dengan serapan anggaran dimana Belanja perubahan

dilakukan diharapkan mampu

mendekatkan anggaran yang

Referensi

Dokumen terkait

Seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film Bab II: Pasal 4, dan Pasal 5, Lembaga Sensor Film memiliki fungsi melindungi masyarakat

Analisis stastistik menunjukkan bahwa kadar protein kuning telur ayam Arab Silver tidak berbeda nyata terhadap ayam Arab Gold, sebab kandungan protein dalam kuning telur

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keberhasilan pelaksanaan teknik isolasi DNA secara tradisional dengan menggunakan bahan berupa sel hati ayam dan

Pengujian kelarutan dan optimasi kompleks antara ibuprofen dengan β-siklodekstrin menggunakan spektrofotometri ultraviolet dengan metode factorial design.. Kompleks

Tujuan dari pengujian ini adalah diharapkan dengan minimal tenaga dan waktu untuk menemukan berbagai potensi kesalahan dan cacat.Harus didasarkan pada kebutuhan berbagai

Selain itu, dikumpulkan pula informasi lainnya mengenai berbagai kondisi di perusahaan manufaktur tersebut sehingga mendapatkan masalah nyata dari hasil pengamatan

Pada dasarnya pemberian insentif atau hadiah pada lembaga keuangan syariah diperbolehkan asalkan pihak koperasi tidak memperjanjikan hadiah tersebut diawal akad dan tidak

Pengimplementasian IFRS yang berbeda-beda di setiap negara dapat memberikan dampak yang berbeda terhadap pengungkapan pada laporan keuangan di setiap negara