• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan hukum bagi konsumen1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha2. Oleh karena

itu, akhirnya naskah akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen pada tanggal 20 April 1999.3

Undang-undang perlindungan konsumen (yang selanjutnya akan disebut UUPK) memberikan jaminan atas hak-hak konsumen. Sehingga kedudukan konsemen dengan pelaku usaha yang sebelumnya tidak seimbang sekarang menjadi setara. Walaupun demikian, pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas ekonominya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang seminimal mungkin terkadang masih mengesampingkan hak-hak konsumen yang telah tercantum dalam UUPK. Aktifitas demikian mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Meskipun mengalami kerugian, konsumen tidak pernah melakukan gugatan kepada pihak pelaku usaha karena jumlah nominal

1 Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka (2) UUPK).

2

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, bik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Pasal 1 angka (3) UUPK).

3 Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Substansi Hukum, Struktur

Hukum Dan Kultur Hukum Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

(2)

kerugian yang dialami tidak sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan untuk melakukan gugatan ke pengadilan.

UUPK memberikan pilihan kepada para pihak secara sukarela untuk menyelesaian sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu : pertama, melalui luar pengadilan. penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara konsiliasi

atau mediasi atau arbitrase (choice of forum).4 Kedua, penyelesaian sengketa

melalui pengadilan. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UUPK. Karena UUPK ini hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum peraturan hukum acara seperti dalam Herziene

Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

tetap berlaku.5

BPSK sangat sesuai untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan nilai kerugian yang kecil karena penyelesaian sengketa yang dilakukan secara cepat, mudah dan biaya murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputuskan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan

diterima.6 Mudah karena prosedur administrasi dan proses pengambilan keputusan

yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan

4 Pasal 52 huruf (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2004, h. 165. 6 Pasal 55 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen

(3)

sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.7 berdasarkan hal tersebut

BPSK dapat dikatakan mirip dengan lembaga Small Claim Court.8

Secara umum Small Claim Court dipergunakan untuk menyebutkan lembaga penyelesaian perkara perdata (civil claims) bersekala kecil dengan cara sederhana, tidak formal, cepat dan biaya murah. Small Claim Court pada umumnya terdapat di negara-negara yang memiliki latar belakang tradisi hukum

common law.9 Di berbagai negara, perkara-perkara konsumen merupakan perkara yang diselesaikan oleh lembaga yang disebut sebagai Small Claim Court (USA),

Small Claim Tribunal (New Zealand, Hong Kong), The Consumer Claim Tribunal

(Australia), dan The Market Court (Finlandia, Swedia).10

Prosedur penyelesaian sengketa konsumen yang ada pada negara-negara di atas juga seperti BPSK, yaitu sederhana, mudah, dan cepat. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua pihak maka putusan tersebut bersifat final dan

mengikat, sehingga perkara tersebut tidak perlu diajukan ke pengadilan.11

7 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta: kencana, 2008, h. 75 dikutup dari Yusuf Shofie

dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Penerbit: Piramedia, Jakarta tahun 2004, hlm. 17.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Aman Sinaga, proses penyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena di BPSK hanya dikenal surat Pengaduan Konsumen dan Jawaban Pelaku Usaha, kecuali untuk sengketa yang diselesaiakan dengan cara arbitrase pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian. Kesederhanaan proses tersebut paling menonjol dapat dilihat jika sengketa konsumen diselesaikan dengan cara konsiliasi dan mediasi. Aman Sinaga,

BPSK Tempat Menyelesaiakan Sengketa Konsumen Dengan Cepat dan Sederhana, Media

Indonesia, 27 Agustus 2004, Sumber: Kumpulan Kliping Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

8 Vide Bab II D. 9

Ibid., h. 86 dikutip dari Diklat pengembangan SDM bagi anggota BPSK tingkat pemula, Jakarta 30 September-1 Oktober 2003, yang dikutip oleh J. Widijantoro dan Al Wisnubroto laporan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Atma jaya Yogyakarta tahun 2004, h. 43.

10

Ibid., h. 92 dikutip dari Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Ketiga, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1994, h. 396.

11

(4)

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen

(selanjutnya disingkat dengan BPSK).12 Selain bertugas menyelesaikan masalah

sengketa konsumen BPSK juga bertugas memberikan konsultasi perlindungan

konsumen.13 BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah tingkat II

(kabupaten/kota) untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.14

Anggota BPSK terdiri dari tiga unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen,

dan unsur pelaku usaha.15

Putusan majelis BPSK sebagai hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan mekanisme Alternatif Dispute Resolution, yaitu konsiliasi

atau mediasi atau arbitrase, bersifat final dan mengikat.16 Final mengandung arti

bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir, sedangkan mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak

yang diwajibkan untuk itu.17 Prinsip res judicata pro veritate habetur,

menyatakan bahwa suatu prinsip yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Berdasarkan prinsip tersebut, putusan BPSK harus dipandang sebagai putusan

yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde).18

12 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 13 Abdul Halim Barkatulah, Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa Media, 2010

(selanjutnya disebut Abdul Halim Barkatullah I), h. 90.

14 Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 15

Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen

16 Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 17 Antonius Sahadi, Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Mekanisme Konsiliasi,

Mediasi, Arbitrase Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Penelitian Mandiri,

Universitas Sriwijaya, April 2009, h. 73

18

(5)

Menurut penjelasan pasal 54 ayat (3) UUPK yang dimakud dengan putusan majelis bersifat final dan mengikat adalah bahwa dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Maksudnya para pihak tidak dapat mengajukan banding dan kasasi di BPSK, akan tetapi dengan menafsirkan secara sistematis dengan pasal 56 ayat (2) UUPK para pihak dapat melakukan upaya hukum atas putusan BPSK melalui Pengadilan Negeri dan wajib mengeluarkan putusan atas keberatan tersebut paling lambat 21

(dua puluh satu) hari.19

Hal ini memperlihatkan bahwa pembuat undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa konsumen

ini.20 Artinya kekuatan putusan dari BPSK secara yuridis masih digantungkan

pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar final21 dan mengikat.

Putusan BPSK tidak benar-benar mengikat, menurut penulis berdasarkan pasal 56 ayat (1)UUPK menyatakan bahwa dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan BPSK sebagaimana dimaksud pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Namun pada pasal 56 ayat (2) UUPK masih dimungkinkannya para pihak untuk mengajukan keberatan kepada PN paling lambat 14 setelah menerima putusan pemberitahuan putusan tersebut. Atas putusan BPSK dapat diajukan upaya keberatan jika memenuhi syarat-syarat yang telah diatur pada

Pasal 6 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2006.22

19 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen 20 Ibid., h. 262.

21

Muskibah, Analisis Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=11871&val=873, diunduh pada tanggal 19 Juni 2015 pukul 08:02:16.

(6)

BPSK memiliki kewenangan mengeluarkan suatu putusan yang menyatakan ada atau tidaknya kerugian yang timbul dan mengharuskan pihak yang memenuhi isi putusan karena sifat putusan BPSK final dan mengikat. Namun kedudukan BPSK pada sistem peradilan di Indonesia tidak termasuk dalam 4 lingkungan peradilan yang diatur pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya muncul isu terkait kedudukan BPSK. Akan tetapi dari perluasan sistem peradilan sehingga dapat diketahui kedudukan BPSK berada pada posisi sebagai lembaga negara bantu dalam bidang peradilan atau quasi peradilan. Berkaitan dengan itu sifat putusan BPSK final dan mengikat pada hakekatnya tidak final dan mengikat karena tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan isu pokok sebagai berikut:

Pertentangan antara sifat putusan BPSK yang “final dan mengikat” dengan kemungkinan mengajukan upaya keberatan atas putusan BPSK tersebut ke Pengadilan Negeri.

Berdasarkan isu pokok diatas dapat diuraikan menjadi beberapa isu sebagai berikut:

1. Apakah sifat dan kewenangan BPSK termasuk sebagai quasi peradilan dalam sistem peradilan nasional?

2. Apakah BPSK sama dengan Small Claim Court?

3. Apakah makna final dan mengikat dalam putusan BPSK sesuai dengan makna putusan pengadilan?

(7)

C. Tujuan

Memperhatikan latar belakang, rumusan masalah seperti yang telah dikemukakan terdahulu, maka penelitian ini bertujuan untuk:

Untuk mengetahui dan memahami mengenai sifat dan kewenangan BPSK sebagai quasi peradilan dalam sistem peradilan nasional.

Untuk mengetahui dan memahami mengenai makna final dan mengikat dalam putusan BPSK berdasarkan makna putusan pengadilan

D. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

Diharapkan dapat menemukan preskripsi mengenai kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai quasi peradilan dan sifat putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

E. Metode Penelitian

Untuk melakukan penelitian yang baik dan terarah, maka penulis akan menggunakan metode penelitian untuk mendapatkan informasi yang tepat dari berbagai aspek dan sumber mengenai permasalahan yang hendak dijawab.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu

(8)

hukum yang dihadapi.23 Di dalam penelitian terdapat beberapa pendekatan-pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekan undang-undang (statute approach), Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari dan memahami mengenai kandungan filosofis yang ada dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen, yaitu keadilan. Pendekatan komparatif (comparaative approach), pendekatan ini dilakukan untuk membandingkan pengaturan hukum di Indonesia dengan di negara-negara lain yang berkaitan dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari tentang konsep final dan mengikat atas suatu putusan dari pandangan para sarjana dan doktrin hukum. pendekatan-pendekatan di atas oleh penulis digunakan untuk memberikan pemahaman yang tepat sebagaimana seharusnya sifat final dan mengikat atas putusan BPSK terkait dapat dilakukannya upaya keberatan.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan:

1. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h. 35.

(9)

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.24 Berdasarkan masalah di atas bahan hukum primer adalah sebagai berikut:

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

c) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/Kep/10/2001 tentang pengangkatan, Pemberhentian Anggota Sekretariat BPSK.

d) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.

2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelsan mengenai bahan-bahan hukum primer, meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.25

F. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibagi secara sistematis dalam 4 (empat) bab. Masing-masing bab memuat penjelasan ruang lingkup dan permasalahan yang diteliti. Urutan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

24 Ibid., h. 141.

(10)

I. BAB I PENDAHULUAN

Akan ditulisn mengenai latar belakang permasalahan yang akan dibahas yakni menjelaskan mengenai permasalahan pada BPSK. Selain itu, dalam bab ini juga akan membahas mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian.

II. BAB II SIFAT DAN KEWENANGAN BPSK SEBAGAI QUASI

PERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL

Akan diuraikan mengenai BPSK dengan lebih mendalam

menggunakan beberapa pendekatan untuk menganalisis

kewenangan BPSK yang bersifat mengadili dengan sistem peradilan. Sehingga dapat diketahui kedudukan BPSK sebagai quasi peradilan dalam sistem peradilan. pada bab ini juga melakukan pendekatan perbandingan antara BPSK dengan Small

Claim Court.

III. BAB III FINAL DAN MENGIKAT DALAM PUTUSAN BPSK

Akan menguraikan mengenai konsep final dan mengikat secara teoritis dengan mengacu pada hukum acara yang berlaku dan atas dasar itu akan diketahui hakekat sifat final dan mengikat putusan BPSK.

(11)

IV. BAB IV PENUTUP

Akan menguraikan kesimpulan dan saran penulisan ini yang mengafirmasi tesis atau argumentasi penulis bahwa BPSK merupakan lembaga quasi peradilan dan pada hakekatnya sifat putusannya tidak final dan mengikat. Penulis juga memberikan rekomendasi supaya menegaskan kedudukan BPSK dalam sistem peradilan dan merevisi Pasal-Pasal pada UUPK, terutama terkait putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat.

Referensi

Dokumen terkait

sebagai tersangka pada tanggal 22 Februari 2013, Kompas memuat beberapa berita terkait Hambalang, namun sepanjang periode itu Kompas belum menyebut-nyebut nama Anas se-

bahan yang tidak dapat dicerna dengan baik dan meningkatkan protein serta vitamin pada pakan yang digunakan pada Tabel 9 dapat dilihat bahwasanya dengan

Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang dimaksud dengan hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik Pinus merkusii Jung et de Vriese yang berlokasi di Kebun Benih Jember serta kekerabatan dengan yang berasaldari Hutan

Dalam hal ini pasien telah didiagnosis perdarahan post partum dini dikarenakan menurut definisinya perdarahan post partum (PPP) dini adalah perdarahan lebih

Kegiatan penyediaan ruang terbuka hijau itu sendiri yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembuatan taman kota atau hutan kota baru di Kota Tegal..

Pada tahap implementasi ini akan menerapkan hasil dari tahap perancangan yang telah dilakukan dan nantinya dicocokan dengan proses pembuatan sistem informasi layanan surat

Meskipun penggunaan internet banking berguna namun bila terdapat kelemahan didalamnya maka dapat mengurangi nilai guna dari suatu internet banking .Hasil penelitian