• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN TINDAK TUTUR PENOLAKAN GURU DAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS X SMA LABORATORIUM UNDIKSHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN TINDAK TUTUR PENOLAKAN GURU DAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS X SMA LABORATORIUM UNDIKSHA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN TINDAK TUTUR PENOLAKAN GURU DAN SISWA

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS X SMA

LABORATORIUM UNDIKSHA

I Pt. Gd. Sutrisna

1

, I N. Suandi

2

, Ida Bagus Putrayasa

3 1,2,3

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Pendidikan Ganesha

Singaraja, Indonesia

e-mail: putugede_sutrisna@yahoo.com, nengah_suandi@yahoo.ac.id,

ibputra@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk tindak tutur penolakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA Laboratorium Undiksha, (2) bentuk tindak tutur penolakan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA Laboratorium Undiksha, (3) strategi tindak tutur penolakan guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA Laboratorium Undiksha, dan (4) strategi tindak tutur penolakan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA Laboratorium Undiksha. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan rancangan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah (1) guru bahasa Indonesia kelas X SMA Laboratorium Undiksha dan (2) siswa kelas X SMA Laboratorium Undiksha. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Data dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif dengan menggunakan prosedur sebagai berikut (1) reduksi data, (2) klasifikasi atau deskripsi data, dan (3) penyimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) bentuk tindak tutur penolakan guru ditemukan tiga jenis, yaitu tuturan bermodus deklaratif 13 tuturan (43,33%), tuturan bermodus interogatif 5 tuturan (16,67%), tuturan bermodus imperatif 12 tuturan (40%). (2) bentuk tindak tutur penolakan siswa ditemukan tiga jenis, yaitu tuturan bermodus deklaratif 24 tuturan (80%), tuturan bermodus interogatif 2 tuturan (6,67%), tuturan bermodus imperatif 4 tuturan (13,33%). (3) strategi yang digunakan guru dalam penyampaian tindak tutur penolakan ditemukan dua jenis, yaitu startegi langsung 11 tuturan (36, 67%), dan strategi tidak langsung 19 tuturan (63,33%). (4) strategi yang digunakan siswa dalam penyampaian tindak tutur penolakan ditemukan dua jenis, yaitu strategi langsung 20 tuturan (66,67%) dan strategi tidak langsung 10 tuturan (33,34%). Penggunaan strategi penyampaian tindak tutur penolakan disesuaikan dengan bentuk tuturan yang digunakan.

Kata Kunci: tindak tutur penolakan, pembelajaran, bahasa Indonesia

Abstract

The aims of this study is to describe several things; 1) the form of teachers’ refusal in teaching activities in SMA Laboratorium Undiksha, 2) the form of students’ refusal in learning activities in SMA Laboratorium Undiksha, 3) teachers’ refusal strategy in Indonesian language learning activity of 10th

grade students in SMA Laboratorium Undiksha, and 4) 10th grade students’ refusal strategy in Indonesian language learning activity in SMA Laboratorium Undiksha. To reach those aims, this study is designed in the form of descriptive qualitative. The subjects of the study are; 1) Indonesian language teachers of 10th grade in SMA Laboratorium Undiksha, 2) 10th grade students of SMA Laboratorium Undiksa. Data collection in this study is using observation and interview. Data analysis that used in this study is using descriptive technique, that use several procedures, namely; 1) data reduction, 2) classification or data description, and 3) conclusion. The result of the study shows that; 1) there are three forms of teachers’ refusal, such as 13 refusals in the form of declarative (43,33%), 5 refusals in the form of interrogative (16,67%), 12 refusals in the form of imperative (40%). 2) there are

(2)

three forms students’ refusal, such as 24 refusals in the form of declarative (80%), 2 refusals in the form of interrogative (6,67%), 4 refusals in the form of imperative (13,33%). 3) there are 2 strategies that used by the teachers in conveying the refusal, namely 11 refusals in deductive strategy (36,67%), and 19 refusals in inductive strategy (63,33%). 4) there are 2 strategies that used by the students in conveying the refusal, such as 20 refusals in deductive strategy (66,67%), and 10 refusals in inductive strategy (33,34%). The use of refusal conveying strategy is appropriated with the form of language used.

Key words: refusal learning, Indonesian language

PENDAHULUAN

Menolak bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan karena

menolak pada hakikatnya dapat

mengancam muka mitra tutur. Oleh karena itu, dalam tindak tutur menolak penutur berusaha menyelamatkan muka mitra tutur. Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan kesantunan yang pada prinsipnya ditujukan untuk mengurangi akibat yang tidak menyenangkan terhadap muka mitra tutur. Untuk meminimalkan tindakan mengancam muka mitra tutur, penutur harus mengacu pada prinsip kesantunan. Di dalam model kesantunan

Leech (1983), bahwa dalam

menyampaikan maksud, perlu

menggunakan kata-kata yang halus agar hubungan yang harmonis antara penutur dan mitra tutur tetap terjalin. Dengan diketahuinya tindak tutur penolakan, guru dan siswa lebih mengenal variasi tindak tutur penolakan. Dengan demikian,

pembelajaran di kelas tidak

membosankan dan lebih variatif, sehingga materi pelajaran dapat tersampaikan dengan jelas serta tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.

Pada dasarnya, tindak tutur penolakan merupakan salah satu fungsi tindak tutur yang diutarakan oleh Searle

(1969). Searle dalam teorinya

mengatakan fungsi tindak tutur penolakan adalah fungsi khusus tindak tutur asertif.

Tindak tutur asertif bermaksud

menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang diungkap. Dalam hal ini, tindak tutur penolakan jelas digunakan untuk menolak sebuah pernyataan tertentu. Secara khusus, Searle memodifikasi tindak tutur ilokusi yang dipopulerkan oleh Austin. Searle juga berpendapat bahwa setiap tindak tutur memiliki makna tindakan. Lebih jauh. Searle juga beranggapan bahwa

tindak tutur ilokusi merupakan bagian sentral dari tindak tutur.

Secara leksikal, penolakan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI,2008) berarti proses atau cara penolakan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan tindak tutur penolakan merupakan cara untuk mengungkapkan rasa tidak setuju terhadap sesuatu yang diungkapkan. Tindak tutur penolakan juga dapat dilihat sebagai sebuah ekspresi penutur dalam menanggapi situasi pembicaraan yang berlangsung. Oleh karena itu, tindak tutur penolakan ini dapat dikatakan sebagai sebuah ekpresi penutur untuk menyatakan sikap tidak setuju terhadap sebuah situasi tuturan tertentu.

Tindak tutur penolakan sering digunakan guru ataupun siswa dalam proses pembelajaran, seperti saat berdiskusi ataupun memecahkan suatu permasalahan yang terjadi saat proses belajar mengajar di kelas. Tindak tutur penolakan merupakan bagian tindak tutur asertif. Searle (1979) mengatakan tindak tutur penolakan adalah menyampaiakan sesuatu berkaitan dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang diungkap.

Penggunaan bahasa dapat berupa

wacana ataupun percakapan yang

diwujudkan menggunakan satu atau banyak tuturan. Tiap tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur mempunyai makna atau maksud dengan tujuan tertentu. Makna atau maksud dan tujuan tuturan itu menyatakan tindakan. Maksud dan tujuan yang menyatakan tindakan yang melekat pada tuturan itu disebut dengan tindak tutur. Richard

(1995:6) menyatakan bahwa dalam

kaitannya dengan kegiatan bertutur sebagai aktivitas komunikasi, kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur

(3)

atau kegiatan menggunakan tuturan disebut tindak tutur.

Penggunaan bahasa sesuai

konteks oleh guru dan siswa di kelas secara terus-menerus dilakukan untuk menciptakan interaksi sosial yang baik dan komunikatif. Penggunaan bahasa sebagai interaksi sosial di kelas secara nyata diwujudkan dengan penggunaan tuturan secara resiprokal antara guru dan siswa. Dalam konteks pembelajaran di

kelas, baik guru maupun siswa

membangun komunikasi sosial yang komunikatif. Guru dan siswa merancang komunikasi dengan menggunakan tindak tutur yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Searle (dalam Leech, 1993:327) mengklasifikasikan fungsi tindak tutur menjadi lima macam, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur komisif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur deklaratif.

Tindak tutur menolak dapat diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif. Tuturan bermodus deklaratif adalah tuturan yang secara konvensional

digunakan untuk menyampaikan

informasi. Tuturan introgatif adalah tuturan yang secara konvensioanal digunakan untuk bertanya. Tuturan imperatif adalah tuturan yang secara umum digunakan untuk memerintah.

Menolak merupakan salah satu fungsi tindak tutur asertif. Menolak tidak selamanya dilakukan secara terang-terangan atau langsung, melainkan dengan cara tak langsung agar orang yang mengajak atau menawari sesuatu tidak tersinggung. Biasanya penolakan itu disampaikan dengan alasan yang masuk akal, lengkap dengan alasan.

Saat melakukan penolakan baik guru kepada siswanya maupun siswa terhadap guru, dan siswa terhadap siswa lainnya seharusnya dapat menghidupkan

komunikasi yang efektif dalam

pembelajaran. Komunikasi efektif yang

dimaksud adalah penolakan yang

dilakukan secara santun tanpa

menimbulkan respons negatif. Respons yang negatif itu seperti rasa jengkel, emosi, dan meyinggung perasaan. Oleh sebab itu, dalam melakukan penolakan

baik guru maupun siswa harus

diperhatikan bentuk dan strategi yang digunakan dalam melakukan

penolakan.

Dalam pengertian umum,

kesantunan (politiness), kesopan

santunan, atau etiket adalah tatacara, adat atau kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat.Kesantunan berbahasa

adalah aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut tatakrama.Kesantunan ini perlu dimiliki oleh setiap orang untuk mempertahankan

hidupnya.Lakoff mendefinisikan

kesantunan sebagai sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk

mempermudah interaksi dengan

memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfrontasi yang selalu ada dalam semua pergaulan (interchange) manusia (Kunjana, 2005).

Kehidupan berbahasa dalam

bermasyarakat merupakan satu kunci untuk memperbaiki atau meluruskan tata cara berkomunikasi. Dewasa ini sering

kita dengar kebanyakan orang

menggunakan bahasa yang sopan.

Bahasa tersebut dapat memancing emosi

seseorang sehingga menimbulkan

keributan atau perselisihan.

Penggunaan strategi tindak tutur langsung ataupun strategi tindak tutur tidak langsung sangat bergantung pada konteks. Jika guru kurang memerhatikan hal tersebut, kuantitas, relevansi, dan

kejelasan pesan akan terganggu.

Akibatnya, efektivitas interaksi dan komunikasi yang terjadi tidak dapat berlangsung secara maksimal. Guru dan siswa memilih strategi untuk menolak sesuatu dapat dengan menggunakan tuturan langsung atau juga tuturan tidak langsung. Pemilihan strategi ini juga didasari oleh situasi ketika tuturan berlangsung. Guru dan siswa dapat saja melakukan penolakan secara langsung bila ingin menyampaikan dengan lugas dan mudah dimengerti. Guru dan siswa juga bisa melakukan strategi penolakan secara tidak langsung apabila mereka ingin menjaga perasaan mitra tutur mereka.

(4)

Tindak tutur penolakan, pada dasarnya akan muncul apabila terjadi komunikasi dua arah secara aktif. Situasi komunikasi aktif ini apabila dikaitkan dalam konteks pembelajaran akan terjadi saat siswa melakukan diskusi. Secara logika, tindak tutur penolakan akan banyak terjadi dalam situasi ini. Sedangkan dalam kegiatan lain, tindak tutur penolakan akan jarang muncul karena tidak terjadi komunikasi intesif antarsiswa. Akan tetapi, data di lapangan menunjukkan penolakan dapat dilakukan

para siswa pada semua kegiatan

pembelajaran. Tidak hanya pada diskusi antarsiswa, kegiatan interaksi dengan

guru pun bisa membuat siswa

melontarkan tindak tutur penolakan. Selain itu, segala bentuk komunikasi verbal yang terjadi dapat ditanggapi oleh siswa. Mulai dari penolakan terhadap materi atau penolakan terhadap hal-hal tertentu.

Kondisi real di lapangan, guru dan siswa dalam pembelajaran baik dalam penyampaian materi maupun berdiskusi atau interaksi edukatif berjalan

menggunakan bentuk dan strategi

penolakan dengan prilaku menyimpang dalam berinteraksi. Contohnya, siswa

melakukan penolakan ketika guru

menyuruh siswa menjawab soal. Siswa terkadang acuh tak acuh dengan tuturan

yang disampaikan gurunya. Siswa

menganggap guru layaknya sebagai seorang teman, sehingga tuturan yang disampikan menyimpang dari kesantunan. Hal tersebut mencerminkan bahwa siswa melakukan penolakan secara tidak santun dalam pembelajaran. Dalam hal ini, seharusnya seorang guru memberikan

penekanan yang santun terhadap

penolakan yang dilakukan oleh siswanya. Penolakan dilakukan dalam pembelajaran untuk menciptakan interaksi yang komunikatif antara guru dan siswa dalam pembelajaran.

Penolakan yang terjadi dalam

sebuah pembelajaran dimungkinkan

apabila terjadi interaksi yang baik antara seluruh komponen antara guru kepada siswa, siswa kepada siswa, atau siswa kepada guru. Apabila komunikasi ketika

pembelajaran hanya satu arah,

komunikasi yang terjalin tidak berjalan

dengan baik. Sayangnya, kebanyakan siswa di sekolah masih takut untuk melakukan komunikasi aktif ketika pembelajaran berlangsung. Para siswa memilih untuk menjadi pasif untuk memberikan rasa aman. Hal ini tentu mengganggu komunikasi aktif yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Siswa dan guru diharapkan untuk saling mengisi demi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.

Penelitian yang berjudul

“Penggunaan Tindak Tutur Penolakan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas X SMA Laboratorium Undiksha” perlu dilakukan karena dapat berguna untuk memperluas wawasan penelitian yang telah ada. Di samping itu, penelitian mengenai tindak tutur penolakan jarang ada yang meneliti. Jadi, hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru dan siswa yang dijadikan masukan dalam menggunakan tindak tutur penolakan yang dapat menciptakan situasi komunikasi yang lebih efektif dan komunikatif dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan hal yang telah disampaikan sebelumnya, terdapat empat masalah yang ingin dipecahkan, yaitu (1) bagaimanakah bentuk tindak tutur penolakan guru? (2) bagaimanakah

bentuk penggunaan tindak tutur

penolakan siswa? (3) bagaimanakah strategi penggunaan tindak tutur penolakan guru? dan (4) bagaimanakah strategi penggunaan tindak tutur penolakan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk penggunaan tindak tutur penolakan guru, (2) bentuk penggunaan tindak tutur penolakan guru (3) strategi penggunaan tindak tutur penolakan guru, dan (4) strategi penggunaan tindak tutur penolakan siswa.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

rancangan deskriptif. Rancangan

penelitian ini dipilih karena rancangan penelitian ini menggambarkan secara utuh pola tindak tutur penolakan yang dilakukan guru dan siswa selama

pembelajaran bahasa Indonesia.

(5)

menggambarkan bentuk, dan strategi tuturan penolakan guru dan siswa.

Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas X 1 dan X 4 SMA Laboratorium Undiksha. Dalam penentuan subjek, peneliti menggunakan teknik sampling bertujuan (purposive sampling) dan teknik sampling acak random. Dengan menggunakan teknik sampling bertujuan, peneliti menggunakan kelas X1 sebagai subjek. Kelas X1 peneliti pilih karena kelas tersebut paling representatif untuk mewakili populasi. Disebut representatif, karena kelas X1 merupakan kelas unggulan dari kelas yang lainnya. Dengan teknik samping acak, peneliti menggunakan undian untuk memilih subjek berikutnya. Setelah pengundian dilakukan, kelas X 4 terpilih sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian guru dalam penelitian ini disesuaikan dengan guru yang mengajar di kelas X1 dan kelas X4. Pemilihan kelas X ini berdasarkan tingkat perkembangan psikologis mereka. Anak-anak kelas X masih mengalami masa penyesuaian lingkungan di sekolah tingkat atas sehingga siswa akan lebih banyak melakukan aktivitas verbal di dalam kelas dengan guru.

Sementara itu, objek dalam penelitian ini adalah tindak tutur penolakan guru dan siswa yang meliputi bentuk tindak tutur penolakan, dan strategi tindak tutur penolakan guru dan siswa dalam pembelajaran di kelas. Sejalan

dengan rumusan masalah, objek

penelitian secara khusus adalah bentuk tindak tutur penolakan guru dan siswa, strategi penyampaian tindak tutur

penolakan guru dan siswa dalam

pembelajaran bahasa Indonesia. Peneliti akan mencatat dan merekam ujaran yang ada selama proses percakapan antara guru dan siswa. Proses perekaman sendiri dilakukan tanpa harus mengganggu

pembelajaran ataupun merekayasa

kondisi pembelajaran. Selanjutnya, peneliti akan menganalisis tuturan guru dan siswa yang mengandung penolakan.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi (1) metode observasi dan (2) metode wawancara. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi nonpartisipatif. Metode ini dipilih karena peneliti ingin melihat

situasi pembelajaran alami yang dilakukan oleh guru dan siswa tanpa ada intervensi. Untuk mendapatkan situasi pembelajaran yang alami tentu peneliti harus mengambil jarak dengan subjek penelitian sehingga tercipta situasi yang diinginkan. Metode observasi digunakan untuk melihat langsung tuturan yang diungkapkan oleh guru dan siswa. Selain mengamati tuturan secara langsung, metode observasi

dilakukan untuk melihat situasi

percakapan sehingga peneliti dapat menentukan unsur penolakan dari tuturan guru dan siswa. Situasi yang alami dan sebenarnya hanya akan dapat diketahui dengan melihat langsung ketika proses belajar mengajar berlangsung di dalam kelas.

Metode wawancara peneliti

gunakan untuk mengetahui ada tidaknya unsur kesengajaan dalam setiap tuturan yang diucapkan oleh siswa. Selain itu, peneliti menggunakan metode wawancara

ini untuk mengetahui tujuan

pengungkapan tuturan itu yang

sebenarnya. Penggunaan metode ini tentu

diharapkan mampu melihat

kecenderungan tindak tutur penolakan yang muncul dalam sebuah pembelajaran. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik gabungan antara analisis kualitatif dan kuantitatif. Teknik deskriptif kualitatif adalah suatu teknik

menganalisis data dengan cara

menginterpretasikan data yang diperoleh dengan kata-kata. Teknik deskriptif kualitatif juga sering diartika sebagai

teknik yang tidak mengadakan

perhitungan atau hanya menggunakan kata-kata (meleong dalam Jabrohim (ed), 2001:23). Teknik dekriptif kuantitatif dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih cermat dalam perhitungan jumlah kemunculan fungsi-fungsi dan bentuk-bentuk tuturan yang ditemukan. Suandi (2008), menyatakan jika dibandingkan dengan analisis kualitatif, analisis kuantitatif mampu memperlihatkan hasil yang lebih cermat. Penggunaan teknik kuantitatif ditujukan untuk menggolongkan jawaban-jawaban yang diperoleh dan menghitung jumlah kemunculan sebuah jawaban dari seluruh temuan data.

Data-data yang terkumpul dari hasil observasi dan wawancara dianalisis

(6)

melalui langkah-langkah, seperti (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini mencakup empat hal, yaitu (1) bentuk tindak tutur penolakan yang dilakukan guru, (2) bentuk tindak tutur penolakan yang dilakukan siswa, (3) strategi yang digunakan guru untuk mengungkapkan tindak tutur penolakan, (4) strategi yang digunakan siswa untuk mengungkapkan tindak tutur penolakan.

Dalam pembelajaran di kelas, bentuk penolakan guru bervariasi. Bentuk penolakan tersebut dapat berupa tuturan yang bermodus deklaratif, imperatif, dan interogatif. Tuturan tersebut disampaikan secara langsung maupun tidak langsung yang secara operasional dinyatakan guru terhadap siswa. Jika diurut dari jumlah dari jumlah terbesar sampai terkecil, tampak bahwa dalam tindak tutur penolakan kemunculan bentuk tuturan deklaratif berjumlah 13 (43,33%) tuturan. Kemunculan bentuk tuturan interogatif berjumlah 5 (16,67%) tuturan, serta bentuk terakhir, yaitu imperatif berjumlah 12 (40%) tuturan. Dengan demikian, tampak bahwa semua bentuk tindak tutur yang dikemukakan Wijana muncul dalam aktivitas pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Laboratorium Undiksha.

Berdasarkan hasil penelitian, bentuk tindak tutur penolakan siswa dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (1) tuturan bermodus deklaratif, (2) tuturan bermodus interogatif, dan (3) tuturan bermodus imperatif. Jumlah kemunculan bentuk tuturan penolakan siswa ini bervariasi. Jika diurutkan berdasarkan jumlah kemunculannya dari terbanyak sampai terkecil, didapatkan bentuk tuturan bermodus deklaratif sebanyak 24 tuturan (80%), bentuk tuturan bermodus imperatif sebanyak 4 tuturan (13,33%), dan bentuk tuturan bermodus interogatif sebanyak 2 tuturan (6,67%).

Berbagai macam bentuk tuturan penolakan yang diungkapkan oleh guru dan siswa selama pembelajaran sesuai dengan kebutuhan komunikasi yang terjadi. Dalam hal ini, bentuk tindak tutur penolakan yang diungkapkan guru dan

siswa dalam pembelajaran berkaitan dengan kegiatan belajar formal seperti diskusi, presentasi, dan penjelasan materi.

Selain dalam kegiatan formal

pembelajaran, bentuk tuturan penolakan yang diungkapkan siswa juga digunakan dalam kondisi semiformal dan tidak formal seperti saat awal pembelajaran, jeda pembuatan tugas dan situasi lain.

Pemilihan strategi penyampaian tuturan juga berkaitan erat dengan bentuk tuturan yang diungkapkan oleh siswa baik itu tuturan dengan modus deklaratif, interogatif, maupun imperatif. Strategi yang ditemukan sesuai dengan hasil penelitian adalah tuturan bermodus deklaratif berstrategi langsung, tuturan bermodus deklaratif berstrategi tidak langsung, tuturan bermodus interogatif berstrategi tidak langsung, tuturan bermodus imperatif berstrategi langsung, dan tuturan imperatif berstrategi tidak langsung.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat lima variasi strategi penggunaan tuturan penolakan guru sesuai dengan bentuk tuturan. Kelima variasi tersebut adalah strategi langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif, strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif, strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

interogatif, strategi langsung

menggunakan tuturan bermodus imperatif, dan strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif. Jika diurut berdasarkan jumlah kemunculannya, maka didapatkan hasil dari penggunaan terbesar sampai yang terkecil yaitu, strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif sebanyak 7 tuturan (23,33%), strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif sebanyak 7 tuturan (23,33%), strategi langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif sebanyak 6 tuturan (20%), strategi langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif sebanyak 5 tuturan (16,67%), strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

interogatif sebanyak 5 tuturan (16,67%), dan. Penggunaan tuturan penolakan dengan berbagai strategi ini tentu telah disesuaikan dengan konteks pembicaraan saat pembelajaran berlangsung.

(7)

Berdasarkan hasil penelitian, siswa

mengungkapkan tuturan penolakan

menggunakan strategi yang bervariasi. Pemilihan strategi ini sesuai dengan kondisi, konteks, serta mitra tutur siswa. Selain itu, pemilihan strategi penyampaian tuturan juga berkaitan erat dengan bentuk tuturan yang diungkapkan oleh siswa. Baik itu tuturan dengan modus deklaratif, interogatif, maupun imperatif. Strategi yang ditemukan sesuai dengan hasil penelitian adalah tuturan bermodus deklaratif berstrategi langsung, tuturan bermodus deklaratif berstrategi tidak langsung, tuturan bermodus interogatif berstrategi tidak langsung, tuturan bermodus imperatif berstrategi langsung, dan tuturan imperatif berstrategi tidak langsung.

Jika diurut berdasarkan jumlah kemunculannya, maka didapatkan hasil dari penggunaan terbesar sampai yang terkecil yaitu, strategi langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif sebanyak 18 tuturan (60%), strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif sebanyak 6 tuturan (20%), strategi langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif sebanyak 2 tuturan (6,67%), strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

interogatif sebanyak 2 tuturan (6,67%), dan strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif sebanyak 2 tuturan (6,67%). Penggunaan tuturan penolakan dengan berbagai strategi ini tentu telah disesuaikan dengan konteks

pembicaraan saat pembelajaran

berlangsung.

Pemilihan strategi langsung, biasanya disertai dengan penggunaan bahasa yang lugas baik dalam bahasa formal, agak formal, maupun tidak formal. Pemilihan strategi langsung dengan pemakaian bahasa lugas dimaksudkan agar lawan tutur mudah untuk menangkap maksud yang ingin diutarakan oleh penutur. Sedangkan pemilihan strategi tidak langsung, biasanya disertai dengan bahasa yang tidak terlalu lugas dan

terkesan memiliki maksud yang

tersembunyi. Pemilihan strategi tidak langsung ini memberikan kesan bahwa penutur tetap menjaga kesantunan saat

menolak pendapat karena menolak

dengan cara langsung sehingga mampu merusak hubungan baik antara penutur dan mitra tutur.

Hasil penelitian di atas

menunjukkan bahwa untuk

mengungkapkan tindak tutur penolakan,

guru dan siswa lebih banyak

mewujudkannya melalui tuturan bermodus deklaratif. Pemilihan tuturan bermodus deklaratif untuk mengungkapkan tindak tutur penolakan ini bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas terhadap penolakan yang dilakukan mitra tutur. Dengan memberikan informasi yang jelas, mitra tutur akan mudah memahami maksud yang diungkapkan oleh penutur. Selain pemilihan tuturan bermodus deklaratif, guru dan siswa juga cenderung menggunakan penggunaan bahasa yang lugas dengan implikasi langsung. Penggunaan bentuk tuturan penolakan ini juga menggunakan berbagai macam ragam bahasa mulai dari ragam bahasa formal, ragam bahasa kurang formal, dan ragam bahasa tidak formal. Penggunaan

ragam bahasa ini disesuaikan

berdasarkan situasi pembelajaran di kelas. Hal itu sejalan dengan yang dikatakan Wijana (2010: 28), untuk berbicara secara sopan, perintah atau penolakan dapat diutarakan dengan dengan kalimat berita (deklaratif) agar orang yang ditolak atau diperintah tidak merasa ditolak atau diperintah. Di samping itu, menurut Ibrahim (1993:212), wacana guru di kelas dicirikan oleh tindak

tutur yang mencakup memberikan

informasi, memberi penjelasan,

memberikan definisi, bertanya,

memberikan perintah, dan memberikan koreksi. Hal ini sesuai dengan tugas seorang guru dalam mengelola kelas yaitu mengarahkan atau menugasi siswa untuk melakukan tugas tertentu dalam aktivitas belajar-mengajar. sehingga, guru akan menggunakan tuturan yang bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif.

Hasil penelitian tadi didukung oleh hasil penelitian Ni Made Yeni Handayani

(2010) yang hasil penelitiannya

mencangkup: (1) kalimat berdasarkan bentunya, (2) kalimat berdasarkan maknanya yang meliputi kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Kalimat berdasarkan bentuknya yang

(8)

paling menddominasi dalam penelitian Yeni (2010) dalam implikasi pragmatis tindak tutur adalah kalimat deklaratif (berita), hal ini terjadi karena pelaku komunikasi masih memegang prinsip kesopanan dalam berkomunikasi. Penutur merasa lebih sopan jika menggunakan maksud dengan menggunakan kalimat deklaratif terutama dalam menyampaikan penolakan.

Selanjutnya, penggunaan bentuk tuturan penolakan ini tetap memerhatikan kaidah-kaidah prinsip kesopanan. Tuturan penolakan yang diungkapkan oleh guru dan siswa tidak serta merta melupakan aspek kesopanan atau kesantunan. Penggunaan prinsip kesantunan ini didominasi oleh penaatan terhadap skala peringkat sosial antara siswa dan guru. Penerapan skala peringkat sosial terlihat

dari penggunaan kata sapaan,

penggunaan kata ganti, dan pilihan kata ketika melakukan penolakan. Penggunaan skala peringkat sosial ini dilakukan untuk

memberikan penghormatan terhadap

mitra tutur yang dianggap memiliki keudukan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Lakoff (dalam Kunjana, 2005:70) yang menyatakan bahwa definisi kesantunan budaya Asia cenderung

menekankan pada rasa hormat.

Penggunaan prinsip kesantunan ini selain memerhatikan konteks pembicaraan, penutur juga akan menggunakan bentuk tuturan yang wajar serta disesuaikan dengan mitra tuturnya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Brown dan Levinson (1978) (dalam Wijana,

1996:64) yang menyatakan bahwa

penutur mempergunakan strategi yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Penaatan terhadap prinsip kesantunan menunjukkan adanya keinginan untuk tetap menjaga hubungan baik antara penutur dan mitra tutur meskipun penutur mengutarakan penolakan terhadap mitra tutur.

Hasil penelitian ini juga

menemukan strategi yang digunakan guru dan siswa untuk menyampaikan tuturan

penolakan ketika pembelajaran

berlangsung. Berdasarkan data penelitian, strategi yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua jenis strategi yaitu strategi langsung dan strategi tidak

langsung. Selanjutnya, strategi

penyampaian tuturan penolakan ini disesuaikan dengan bentuk tuturan yang digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat siswa menggunakan strategi langsung untuk mengucapkan tuturan penolakannya. Penggunaan strategi langsung ini bertujuan agar mitra tutur

lebih mudah memahami apa yang

diingikan oleh penutur. Selain itu, penggunaan strategi langsung juga memberikan kesan yang tidak bertele-tele dan tidak perlu pemahaman konteks khusus untuk memahami apa yang dimaksud oleh penutur. Penggunaan strategi langsung ini sejalan dengan yang

diungkapkan oleh Searle (dalam

Murtinich, 2001) yang menyatakan bahwa strategi langsung yang digunakan dalam menyampaikan fungsi tindak tutur oleh penutur terhadap mitra tutur menggunakan tuturan dengan makna yang jelas atau yang merealisasikan makna dengan

memfungsikan tuturan secara

konvensional, baik yang bersifat linguistik maupun nonlinguistik.

Akan tetapi, selain penggunaan strategi langsung, penggunaan strategi tdak langsung juga terbilang cukup sering digunakan. Penggunaan strategi tindak langsung ini didominasi oleh tuturan yang dilakukan oleh guru. Penggunaan strategi tidak langsung ini bertujuan untuk menjaga perasaan mitra tutur agar tidak menimbukan

kesalahapahaman yang membuat

hubungan keduanya menjadi renggang. Selain itu, penggunaan strategi tidak langsung ini juga menunjukkan adanya keinginan penutur untuk menyembunyikan maksud yang sesungguhnya sehingga perlu pemahaman konteks yang jelas untuk mengetahui maksud yang sebenarnya dari pemakaian strategi tidak langsung ini.

Secara umum, memang dapat dikatakan penggunaan strategi tidak langsung ini bertujuan untuk menjaga kesopanan dan menjaga agar tidak terjadi ketersinggungan antara kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan pendapat Searle (dalam Murtinich, 2001) yang mengatakan dalam penggunaan strategi tidak langsung, Pn mengekspresikan tindak tutur dengan cara memfungsikan tuturan secara tidak konvensional dan umumnya motivasi dan

(9)

tujuan pengutaraannya adalah kesopanan, walaupun tidak sepenuhnya demikian. Pendapat Searle ini juga diperkuat oleh Blum-Kulka (1989) yang menyatakan bahwa tindak tutur diungkapkan secara langsung agar mudah dipahami oleh mitra tutur. Tindak tutur diungkapkan secara tidak langsung khusus digunakan bertujuan untuk menghindari konflik, menjalin hubungan harmonis, memperluas topik, menjalin kerja sama atau solidaritas sosial,dan mengupayakan agar komunikasi tetap menyenangkan.

Dominannya penggunaan bentuk

deklaratif secara langsung

menggambarkan pula bahwa dominannya penggunaan strategi langsung dalam menyampaikan tuturan penolakan selama pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Brown dan Levinson (1978) bahwa tuturan yang dinyatakan penutur kepada mitra tutur menggambarkan strategi penggunaan tindak tutur. Adanya penggunaan bentuk dan strategi langsung dalam pembelajaran di kelas, disebabkan oleh adanya upaya penutur menjelaskan materi agar mudah atau segera dimengerti oleh mitra tutur. Penggunaan bentuk dan strategi tindak tutur penolakan secara

langsung yang dominan dalam

pembelajaran sesuai dengan pendapat Blum-Kulka (1989) yang menyatakan bahwa tindak tutur diungkapkan secara langsung agar mudah dipahami oleh mitra tutur.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan masalah yang

diajukan, hasil kajian terhadap tindak tutur penolakan guru dan siswa selama pembelajaran bahasa Indonesia di kelas X SMA Laboratorium Undiksha, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Bentuk tindak tutur penolakan yang digunakan

guru selama pembelajaran bahasa

Indonesia berlangsung meliputi tuturan bermodus deklaratif, tuturan bermodus

imperatif, dan tuturan bermodus

interogatif. Kemunculan bentuk tindak tutur penolakan yang paling dominan

adalah bentuk tuturan bermodus

deklaratif, kemudian imperatif, dan interogatif. (2) Bentuk tindak tutur penolakan yang digunakan siswa selama

pembelajaran bahasa Indonesia

berlangsung meliputi tuturan bermodus deklaratif, tuturan bermodus imperatif, dan tuturan bermodus interogatif. Kemunculan bentuk tindak tutur penolakan yang paling dominan adalah bentuk tuturan bermodus deklaratif, kemudian imperatif, dan interogatif. (3) Strategi yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua jenis strategi, yaitu strategi langsung dan strategi tidak langsung. Berdasarkan temuan di lapangan, ditemukan lima strategi penyampaian tuturan penolakan yang dilakukan guru. Strategi tersebut meliputi, strategi langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif, strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif, strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

interogatif, strategi langsung

menggunakan tuturan bermodus imperatif, dan strategi tidak langsung menggunakan

tuturan bermodus imperatif. (4)

Berdasarkan temuan di lapangan,

ditemukan lima strategi penyampaian tuturan penolakan yang dilakukan siswa. Strategi tersebut meliputi, strategi langsung menggunakan tuturan bermodus deklaratif, strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

deklaratif, strategi tidak langsung

menggunakan tuturan bermodus

interogatif, strategi langsung

menggunakan tuturan bermodus imperatif, dan strategi tidak langsung menggunakan tuturan bermodus imperatif.

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang perlu disampaikan adalah (1) Dalam upaya mewujudkan komunikasi yang efektif, sudah sepatutnya guru dan siswa menggunakan bentuk dan strategi penyampaian tindak tutur penolakan secara variatif dengan catatan tetap

memerhatikan prinsip kesantunan

berbahasa. Dengan demikian, materi pelajaran akan mudah tersampaikan dan tujuan pembelajararan yang diinginkan dapat dicapai; (2) Demikian pentingnya memadukan bentuk dan strategi tindak tutur penolakan, sudah sepatutnya guru dan siswa dapat menggunakan tindak tutur penolakan dengan baik sehingga kondisi kelas menjadi kondusif dan

pembelajaran di kelas tidak

membosankan; (3) Perlu dilakukan sejumlah penelitian lanjutan dengan

(10)

mengkaji tindak tutur penolakan yang seperti tindak tutur penolakan nonverbal, dampak tindak tutur penolakan, dan kesantunan tindak tutur penolakan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin. 2008. Penggunaan Tindak Tutur dalam Percakapan Kelas. Disertasi

(tidak diterbitkan). Malang:

Universitas Negeri Malang.

Blum-Kulka, Shoshana. 1989. Playing it

Safe: The Role of Conventionality

Indirectness. Dalam Shoshana

BlumKulka, Juliane Hous, Gabriele Kasper (Eds.), Cross Cultural Pragmatics: Request and Apologies.

Nowood: Ablex Publishing

Coorpotaion.

Grice, H, P. 1975. Logic and

Conversation. Dalam Martinich, A,

P. (Ed). 2001. The Philosophy of

Language. New York: Oxford

University Press.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1993. Kajian tindak

Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.

Jabrohim (ed). 2001. Metodelogi

Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Hanindita.

Leech, Geoffrey (Ed). 1993.

Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan

M.D.D. Oka. The Principles of

Pragmatics. 1983. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia.

Richard, Jack C. 1995. Tentang

Percakapan. Terjemahan Ismari.

Surabaya: Airlangga University Press.

Searle, John R.1979. Taxonomy of

Illocutionary Act. Dalam Martinich

A.P. The Philosophy of Language. 2001. Fourth Edition. New York: Oxford University Press.

Suandi, I Nengah. 2008. Pengantar

Metodelogi Penelitian Bahasa.

Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.

Wijana, I Dewa Putu. 2010. Analisis

Wacana Pragmatik. Surakarta:

Referensi

Dokumen terkait

STRATEGI GUBERNUR UNTUK MENEMPATKAN KECAMATAN SEBAGAI PUSATN PERTUMBUHAN EKONOMI KERAKYATAN/ MENDAPAT DUKUNGAN PULA DARI KOMUNITAS SENIMAN// YATI PESEK MISALNYA// SANGAT

Semoga dengan pengamatan ini dapat menjadi acuan ilmu keperawatan dengan kesehatan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat, khususnya orang tua dari anak

demikiaa saat masyarakat diselimuti oleh sinrasi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi maausia dan penindasan maka Geteia pedu tampil membantu dan mendidik masyarakat supaya

yang telah memberikan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya yang begitu luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implementasi Kegiatan Ta’lim Dalam

In 1988, an exhaustive study of MBA internships at Associ- ation to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB) accredited programs was published (McCaskey, 1988).. This

11 Bahwa benar berdasarkan keterangan Terdakwa dengan diperkuat oleh keterangan Saksi-1 dan Saksi-2 dipersidangan setiap anggota Denmako Koarmatim yang akan tidak

Dalam konteks penelitian ini, maka yang dimaksud dengan sikap pengemudi angkutan taksi (taksi blue bird) adalah ungkapan perasaan seorang pengemudi terhadap

PROJECT MILESTONE in 1 st Semester National Commitment from stakeholders WS MCQ review, IBA, CBT Center in national & regional; Standard Setting WS OSCE