• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif mengenai Coping Stress pada Eks-Pasukan Perdamaian Garuda Pasca Bertugas di Negara Kongo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Deskriptif mengenai Coping Stress pada Eks-Pasukan Perdamaian Garuda Pasca Bertugas di Negara Kongo"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

187

Studi Deskriptif mengenai Coping Stress pada Eks-Pasukan

Perdamaian Garuda Pasca Bertugas di Negara Kongo

Fendy Adiputra, Evany Victoriana, M.Psi., Psik. dan Ira Adelina, M.Psi., Psik. Fakultas Psikologi, Universitas Krsiten Maranatha, Bandung

Abstract

This research is conducted with the aim to find a description of the coping stress strategies used by the ex-post duty of Garuda Peacekeepers in the Democratic Republic of The Congo. The design used in this study is a descriptive research using a questionnaire. The study involves 80 respondents drawn from a population of 180 people.Measuring instruments used are the Ways of Coping Questionnaire (WCQ) developed by Lazarus and Folkman (1984,) which has been modified by the researcher. The questionnaire consists of 43 items with each item validity between 0.303 to 0.640 and the degree of reliability of 0.790. From the research,it is found out that 46.25% of Garuda peacekeepers post duty in the Democratic Republic of The Congo use both types of stress coping strategies. A total of 28.75% uses stress coping strategies that focus on problem and as much as 25% uses coping strategies focused on emotion. Suggestions for further research is to conduct research on the effectiveness of coping stress strategies in order to obtain an idea of the effective stress coping strategies for the soldier in charge of the country, especially after duty of the Congo. The researcher can also do research on how strong the contribution of degree of stress, work experience in their influence on the use of stress coping strategies.

Keywords: coping stress, garuda peacekeepers

I. Pendahuluan

Penjaga perdamaian merupakan individu yang membantu pihak yang mengalami konflik serta membantu menyelesaikan perbedaan dan sengketa secara damai. Dalam hal ini meliputi prajurit bersenjata, pengamat militer atau polisi sipil. Tugas penjaga perdamaian disini untuk mendorong kelompok yang bermusuhan untuk tidak menggunakan senjata namun tetap menjaga negosiasi untuk damai dalam menyelesaikan sengketa (Johnstone dan Nkiwane,1993 dalam Van Dyk: The South African National Defence Force as Example).

Sejak tahun 1957 Indonesia berperan aktif dalam mengirimkan Pasukan Perdamaian ke daerah konflik diantaranya Mesir, Vietnam, Timur Tengah, Iran, Kuwait, Bosnia, Libanon dan Kongo. Indonesia Telah mengirimkan Pasukan Perdamaian XX-A/MONUSCO (United Nation Organization Stabilization Mission in Democratic Republic of Congo) pada 6 September 2003 hingga Pasukan Perdamaian XX-J/MONUSCO yang telah diberangkatkan ke Kongo pada Desember 2012 yang berjumlah 175 personil.

Pasukan Perdamaian Garuda (selanjutnya disebut sebagai Prajurit) merupakan Pasukan yang dikirim oleh PMPP (Pusat Misi Pasukan Perdamaian) yang memiliki 2 kategori yaitu pengamat misi, serta Pasukan yang menjaga perdamaian. Pengamat misi diantaranya pasukan yang tidak dipersenjatai dan warga sipil yang mengamati serta memonitori persetujuan gencatan senjata, sedangkan Pasukan perdamaian merupakan Prajurit yang dipersenjatai lengkap yang terdiri dari kontingen infanteri, kavaleri (pasukan tank dan kuda) dan medis.

Pasukan perdamaian memiliki 5 tugas pokok diantaranya yaitu perdamaian dan keamanan, ditujukan untuk menghentikan pembunuhan serta kekerasan dengan cara menjaga jalur perbatasan atau jalur penyangga (buffer zone). Patroli, merupakan kegiatan dilakukan secara rutin oleh Pasukan Perdamaian. Fokus dari program perdamaian serta keamanan ini dipusatkan pada beberapa kegiatan,

(2)

188

salah satunya adalah menstabilisasi daerah konflik yakni mengontrol serta mengawasi keadaan di tempat mereka bertugas yang terdiri atas kurang lebih 300,000 pengungsi untuk dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Prajurit Perdamaian Garuda merupakan Pasukan yang netral dan tidak berpihak kepada salah satu kutub dan telah menjalankan keamanan di daerah Kinshasa dan sekarang mulai mendukung institusi pemerintahan dengan cara menjaga serta mengawasi proses pemilihan umum, serta membantu pemerintah dalam memperbaiki keadaan ekonomi negara. Mendukung stabilisasi aturan terutama hukum dan hak asasi manusia, yang ditujukan untuk mengakhiri “budaya yang bebas aturan” seperti menegakan hukum serta menciptakan undang-undang pada pemerintahan (Henri Boshoff: Overview of MONUC’s Military Strategy and Concept of Operation).

Selama penugasan di negara konflik, Prajurit mengalami tekanan serta ancaman yang bersifat menyerang fisik serta psikologis para Prajurit. Ancaman fisik diantaranya kondisi cuaca yang ekstrim, kontak senjata, ancaman serangan yang mendadak dan kegiatan yang rutin yang mengancam yang dilakukan sehari-hari seperti menjaga base penjagaan serta patroli secara rutin. Resiko bertugas di negara konflik adalah terjebak dalam pertikaian di antara fraksi-fraksi atau milisi yang berusaha saling mempertahankan pengaruhnya dengan menggunakan kekuatan senjata. Kontak senjata untuk mempertahankan markas, zona induk serta daerah bebas merupakan sumber stress paling utama pada Pasukan Perdamaian yang paling berdampak pada keadaan fisik Prajurit. Ancaman fisik lain selama berada di Kongo yakni penyakit malaria yang dapat menyerang Prajurit. Cuaca serta iklim yang panas yang berbeda secara signifikan daripada kondisi di Indonesia merupakan ancaman pada stabilitas mekanisme kesehatan tubuh pada Prajurit selama berada di Kongo. Prajurit harus beradaptasi terhadap iklim cuaca di negara tersebut. Suhu di siang hari mampu mencapai 50º C sedangkan di malam hari mencapai 10º C. Binatang buas yang liar berada di daerah gurun diataranya kalajengking, ular berbisa, serta nyamuk malaria menjadi ancaman saat berada dalam daerah konflik tersebut.

Secara psikologis, Prajurit dihadapkan pada waktu yang cukup lama terpisah oleh keluarga, teman, perasaan terisolasi, rasa jenuh dan perasaan yang tak terduga seperti takut, marah, depresi, perasaan tidak tenang dan keapatisan (Kirkland dan Katz (1998) dalam Van Dyk: The South African National Defence Force as Example ). Kirkland dan Katz 1998 berpendapat, Prajurit kadang merasa lebih khawatir terhadap keluarga yang ditinggalnya, daripada keamanan dan kesejahteraan yang Prajurit hadapi di medan perang.

Berdasarkan survey yang dilakukan, 52% Prajurit yang bertugas di Negara Kongo merasa khawatir akan hal tersebut. Kurangnya informasi serta komunikasi menjadi sumber kecemasan yang dihadapi oleh Prajurit kepada keluarga yang ditinggalnya. Pada dasarnya Prajurit siap dengan kondisi yang akan dihadapinya sebelum mereka ditugaskan, namun rasa khawatir terhadap keluarga tetap muncul karena selama proses agenda dalam tugas, prajurit tidak dapat berkomunikasi secara langsung dengan rekan atau keluarga yang mereka tinggalkan (Berdasarkan wawancara terhadap responden pada saat survey awal).

Dalam mengantisipasi segala ancaman dan tekanan pada Prajurit, PMPP (Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia) sebagai institusi yang berwenang terhadap penempatan Prajurit di medan perang senantiasa melakukan proses seleksi dan administrasi yang dilakukan pada calon Pasukan Perdamaian Garuda. Proses seleksi tersebut terdiri atas tes fisik, psikologi, kesehatan, kemampuan bahasa Inggris, dan tes administrasi pendukung lainnya serta melewati pratugas selama kurang lebih satu bulan yang diselenggarakan di Pusdikif Cipatat Bandung, namun tekanan serta tuntutan dalam tugas yang dirasakan oleh Prajurit memungkinkan gangguan serta kondisi stress saat bertugas di Kongo.

Tekanan yang menyerang para pasukan perdamaian di Kongo tersebut mengakibatkan beberapa gangguan secara psikis dan fisik, diantaranya banyak pasukan perdamaian yang luka-luka fisik baik luka ringan maupun luka berat hingga jatuh korban meninggal akibat kontak senjata, tingkat agresi yang meningkat, rasa takut serta cemas yang berlebihan serta gangguan pola makan. Reaksi yang dialami antara lain kekerasan terhadap keluarga, emosi yang tidak terkendali, menarik diri dari lingkungan, murung, depresi hingga phobia (Berdasarkan wawancara dengan Kabintal Kodam Jayakarta).

Beberapa reaksi diatas pada dasarnya terjadi saat Pasukan Perdamaian berada selama kurang lebih 12 bulan bertugas di Kongo. Berdasarkan fenomena, reaksi serta perubahan tingkah laku seperti reaksi agresi yang berlebih seperti kekerasan fisik terhadap rekan/keluarga, pendiam, menarik diri dari lingkungan serta beberapa reaksi lain yang diakibatkan oleh penugasan di Negara Kongo masih terjadi

(3)

189 pada saat Pasukan Perdamaian kembali ke daerahnya masing-masing. Fenomena tersebut dirasakan berbeda dari segi perilaku mereka saat sebelum kepergian dan pasca kepulangan dari medan perang oleh keluarga, rekan anggota dalam Kesatuan.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti yakni melakukan penghitungan rata-rata terhadap 15 Prajurit pasca bertugas di Negara Kongo, terdapat 73.33% responden yang mengalami gangguan pola tidur, seperti terbangun saat malam hari, gelisah, karena teringat rekan yang menjadi korban serta pengalaman kontak senjata selama bertugas di Negara Kongo, sedangkan 26.67% responden mengatakan mampu tidur seperti biasa dan tidak mengalami gangguan pola tidur karena tidak memikirkan pengalaman buruk yang menimpa mereka saat bertugas di Kongo.

Sebanyak 40% responden menyatakan kondisinya lebih mudah marah seperti mudah memarahi dan mengkritik bawahan tanpa sebab, dan 60% responden tetap bersikap koperatif baik dengan atasan maupun rekan didalam Kesatuan karena merasa mampu berpikir secara positif, baik saat atasan menegur atau memberi kritik terhadap Prajurit.

Sebanyak 66.66% responden menyatakan peningkatan detak jantung saat menghadapi atasan maupun sedang di kritik atasan. Sebanyak 66.66% responden menyatakan merasa tegang serta mengeluarkan keringat dingin apabila ditegur serta dikritik mengenai tugas yang diberikan. Hal tersebut juga dialami saat responden bertugas di Kongo saat menjaga zona penyangga dan saat berpatroli. Berbeda dengan 33,34% responden lainnya merasa tidak terjadi peningkatan detak jantung saat harus menghadapi atasan karena mengabaikan segala kritik dari atasan, berfikir positif dan mengambil hikmah dari kritik atau masukan dari atasan. Subjek juga menuturkan saat bertugas di Kongo mengalihkan rasa cemas serta ketegangan mereka dengan berpikir positif, berdoa dan menghibur diri sendiri.

Sebanyak 86.67% responden menyatakan mudah sensitif terhadap kritik serta perkataan rekan yang kurang menyenangkan. Seperti mudah merasa kesal dengan rekan atau atasan yang mengkritik mereka sehingga mereka membicarakan atasan atau rekannya tersebut dari belakang. Sebanyak 13.33% responden menyatakan tidak merasa mudah sensitif terhadap kritikan baik dari atasan maupun dari bawahan subjek.

Simptom-simptom stress yang berbeda-beda pada setiap Prajurit yang berangkat ke Kongo hingga kembali ke tanah air, tidak dapat dibiarkan terlalu lama melanda Prajurit. Strategi penanggulangan stress (coping stress) perlu untuk Prajurit dalam mengatur serta meregulasi pikiran serta perasaannya. Coping stress adalah perubahan kognitif dan tingkah laku yang berlangsung secara terus menerus untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau tekanan yang melampaui sumber daya individu atau dapat membahayakan keberadaan serta kesejahteraan individu. Hal tersebut sangat penting, karena dengan kemampuan strategi penanggulangan stress yang efektif membantu seorang Prajurit untuk menoleransi dan menerima situasi yang menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasai oleh Prajurit (Lazarus dan Folkman, 1984). Oleh karena itu setiap Prajurit memiliki strategi yang berbeda-beda dalam menanggulangi tuntutan serta keadaan stress yang dihadapi.

II. Metodologi Penelitian

2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai strategi-strategi coping stress yang digunakan oleh eks – Pasukan Perdamaian Garuda untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau tekanan yang melampaui sumber daya Prajurit atau dapat membahayakan keberadaan serta kesejahteraan sebagai Prajurit pasca bertugas sebagai Pasukan Perdamaian Garuda di Negara Kongo. Dengan demikian, metode penelitianyang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskrtiptif. Sample dalam penelitian ini terdiri atas 80 Prajurit pasca bertugas di Negara Kongo. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat tes yang mengukur penggunaan coping stress (ways of coping) berdasarkan Lazarus dan Folkman yang dimodifikasi oleh

(4)

190

peneliti. Untuk mengerjakan alat tes ini, subyek diminta untuk memilih salah satu pilihan yang paling sesuai dari 4 opsi pilihan ketika menghadapi situasi dalam keadaan dalam pernyataan tersebut.

Skor didapat dengan menghitung skor total yang diperoleh dari masing-masing jenis strategi coping stress. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi yaitu melakukan penjumlahan terhadap masing-masing aspek terhadap penggunaan coping stress. Hasil pengolahan data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan skor total dari masing-masing jenis strategi coping stress dengan menggunakan norma kelompok sehingga terbagi dua kelompok yaitu tinggi dan rendah dengan cara mencari median dalam skor total. Kemudian membandingkan kategori yang telah diperoleh dari strategi coping stress yang terfokus pada masalah dengan kategori yang diperoleh dari strategi coping stress yang terfokus pada emosi untuk menentukan kecenderungan strategi penanggulangan stress yang digunakan oleh eks-Pasukan Perdamaian Garuda pasca bertugas di Kongo. Hasil yang sudah ada kemudian dikelompokan yang terdiri dari, cenderung menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada masalah, cenderung menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada masalah dan juga emosi, atau cenderung menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada emosi.

2.2 Definisi Operasional

Coping stress adalah tindakan yang dilakukan eks-Pasukan Perdamaian Garuda untuk mengubah cara pikir atau tingkah lakunya secara terus menerus untuk mengatasi sesuatu yang dianggapnya sebagai beban atau merasa membahayakan keberadaannya atau kesejahteraanya sebagai prajurit dengan menggunakan dua strategi penanggulangan stress, yaitu problem-focused form of coping yakni strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah dan emotional-focused form of coping yaitu strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi.

A. Problem - Focused Form of Coping terdiri atas :

1) Planful problem-solving, yaitu seberapa sering eks-Pasukan Perdamaian Garuda melakukan usaha pemecahan masalah dengan tenang dan berhati -hati yang disertai pendekatan analisis untuk pemecahan masalah yang dihadapi.

2) Confrontive coping, yaitu seberapa sering eks-Pasukan Perdamaian Garuda melakukan usaha yang tekun/giat dalam mengubah situasi, memberi kesan pada derajat kebencian, mengambil resiko.

B. Emotion - Focused Form of Coping terdiri atas:

1) Distancing, yaitu seberapa sering upaya eks-Pasukan Perdamaian Garuda berusaha untuk melepaskan diri atau berusaha tidak melibatkan diri dalam masalah, menciptakan pandangan yang positif.

2) Self-control, yaitu seberapa sering eks-Pasukan Perdamaian Garuda berusaha untuk mengatur perasaan diri serta mengatur tindakan diri sendiri.

3) Seeking social support, yaitu seberapa sering upaya eks-Pasukan Perdamaian Garuda berusaha mencari dukungan informasi, mencari bantuan nyata serta mencari dukungan emosional. 4) Accepting responsibility, yaitu seberapa sering eks-Pasukan Perdamaian Garuda

mengakui/menyadari permasalahan yang dialami pada diri sendiri serta berkomitmen untuk mencoba menempatkan sesuatu secara benar.

5) Escape-avoidance, yaitu seberapa sering upaya eks-Pasukan Perdamaian Garuda untuk berharap serta berusaha untuk menghindar dari permasalahan.

6) Positive reappraisal, yaitu seberapa sering eks-Pasukan Perdamaian Garuda menciptakan penilaian positif dengan fokus pada pertumbuhan diri serta sifat keagamaan.

(5)

191 III. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:

Tabel I Strategi Coping Stress

Strategi Coping Stress Jumlah (∑) Persentase (%)

Cenderung fokus terhadap masalah 23 28.75 %

Cenderung fokus terhadap masalah dan emosi 37 46.25 %

Cenderung fokus terhadap emosi 20 25 %

Total 80 100

Tabel II Bentuk Strategi Coping Stress pada Prajurit yang Menggunakan Strategi Coping Stress Cenderung Terfokus pada Masalah

Strategi Coping Stress Cenderung Fokus pada

Masalah

Kategori

Total Tinggi Rendah

∑ % ∑ % ∑ %

Planful Problem Solving 18 78.27 5 21.73 23 100

Confrontive Coping 17 74 6 26 23 100

Tabel III Bentuk Strategi Coping Stress pada Prajurit yang Menggunakan Strategi Coping Stress Cenderung Terfokus pada Emosi

Strategi Coping Stress Cenderung Fokus pada

Masalah Kategori Total Tinggi Rendah ∑ % ∑ % ∑ % Distancing 13 65 7 35 20 100 Self Control 12 60 8 40 20 100

Seeking Social Support 15 75 5 25 20 100

Accepting Responsibility 16 80 4 20 20 100

Escape Avoidance 16 80 4 20 20 100

(6)

192

Tabel IV Bentuk Strategi Coping Stress pada Prajurit yang Menggunakan Kedua Jenis Strategi Coping Stress

Strategi Coping Stress

Kategori

Total

Tinggi Rendah

∑ % ∑ % ∑ %

Strategi Coping Stress Cenderung Fokus pada Masalah

Planful Problem Solving 19 51.35 18 48.65 37 100

Confrontive Coping 20 54 17 46 37 100

Strategi Coping Stress Cenderung Fokus pada Emosi

Distancing 23 62.16 14 37.84 37 100

Self Control 22 59.46 15 40.54 37 100

Seeking Social Support 25 67.56 12 32.44 37 100 Accepting Responsibility 27 72.97 10 27.03 37 100

Escape Avoidance 23 62.16 14 37.84 37 100

Positive Reappraisal 22 59.46 15 40.54 37 100

Tabel V Tabulasi Silang Strategi Coping Stress dengan Derajat Stress

Derajat Stress

Strategi Coping Stress

Total Cenderung Fokus

Pada Masalah

Cenderung Fokus Pada Masalah dan

Emosi Cenderung Fokus Pada Emosi ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % Rendah 5 55.6 3 33.3 1 11.1 9 100 Moderat 6 26.1 13 56.5 4 17.4 23 100 Tinggi 12 25 21 43.8 15 31.3 48 100 Total 23 37 20 80 IV. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti didapat bahwa, 46.25% Prajurit berusaha menanggulangi stress dengan menyelesaikan permasalahan dengan terfokus pada masalah (problem focused coping) dan juga mengatur respon emosionalnya yang diakibatkan oleh stress (emotion focused coping). Sebanyak 28.75% Prajurit lainnya berusaha menanggulangi stress dengan menyelesaikan permasalahan dengan fokus terhadap masalah masalah (problem focused coping) dan 25% Prajurit lainnya berusaha menanggulangi stress cenderung dengan mengatur respon emosionalnya (emotion focused coping) (Tabel I).

Strategi coping stress yang terfokus pada masalah (problem focused coping) adalah strategi yang diarahkan untuk memecahkan masalah yang ada dengan mencari dan memilih berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi serta menyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan, strategi coping stress yang terfokus pada emosi (emotion focused coping) adalah strategi yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap masalah yang dihadapi, yang terdiri dari proses-proses kognitif yang ditunjukan untuk mengurangi tekanan emosional, termasuk strategi-strategi

(7)

193 seperti penghindaran dari keadaan stress yang dihadapi, peminimalisir keadaan yang tidak menyenangkan atau keadaan yang mengancam, menjaga jarak dari sumber permasalahan, perhatian selektif, penilaian yang positif sehingga individu tidak mengubah situasi objektif.

Dalam penelitian ini sebanyak 78.27% Prajurit yang menggunakan strategi problem focused coping, cara yang paling sering dilakukan adalah planful problem solving, yaitu mempertimbangkan usaha-usaha yang terfokus pada masalah untuk mengubah situasi, terutama permasalahan yang disebabkan sebagai seorang Prajurit dan juga menggunakan pendekatan analisis dalam menyelesaikan masalah sebagai seorang Prajurit di Kesatuan (Tabel II).

Sebanyak 80% Prajurit yang menggunakan strategi emotion focused coping, cara yang paling sering digunakan adalah accepting responsibility, yaitu dengan mengakui atau menyadari permasalahan yang dialami sebagai seorang Prajurit serta berkomitmen untuk menempatkan sesuatu permasalahan secara benar dalam menyelesaikan tugas sebagai Prajurit didalam Kesatuan ; escape avoidance yaitu memiliki harapan serta berusaha untuk menghindar dari permasalahan yang dapat menimbulkan keadaan stress didalam Kesatuan (Tabel III).

Setiap individu dapat menggunakan kedua jenis strategi coping stress tersebut (Lazarus & Folkman, 1984: 157). Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat diartikan bahwa 46.25% Prajurit berusaha menanggulangi kondisi stressful dengan berusaha menyelesaikan tugas didalam Kesatuan sebagai Prajurit sekaligus mengatur respon emosional yang dihasilkan selama bertugas sebagai Prajurit didalam Kesatuan (Tabel I).

Usaha-usaha yang lebih sering dilakukan 46.25% Prajurit yang menanggulangi stress dengan berusaha menyelesaikan tugas sebagai Prajurit didalam Kesatuan sekaligus mengatur respon emosionalnya adalah accepting responsibility, yaitu dengan mengakui atau menyadari permasalahan yang dialami sebagai seorang Prajurit serta berkomitmen untuk menempatkan sesuatu permasalahan secara benar dalam menyelesaikan tugas sebagai Prajurit didalam Kesatuan (Tabel IV).

Strategi coping stress dilakukan karena adanya penghayatan stress yang melampaui kemampuan serta kapabilitas individu. Dalam penelitian ini sebanyak 60% Prajurit merasakan stress pada derajat yang tinggi, 28.75% Prajurit merasakan stress pada derajat yang moderat, dan 11.25% Prajurit merasakan stress pada derajat yang rendah.

Prajurit yang tergolong derajat stress yang tinggi merasa dampak stress yang tergolong sering dialami dalam keseharian sebagai Prajurit pasca bertugas di Negara Kongo. Prajurit sering mengalami dampak subjective effects yaitu antara lain kecemasan, agresi, apatis, kebosanan, depresi, kelelahan, frustasi, shame dan guilt, susana hati yang berubah-ubah, mudah marah dan bertempramen buruk, self-esteem rendah, terancaman dan ketegangan, kesepian, kegugupan; behavioral effects, termasuk sering tertimpa kecelakaan, penggunaan obat-obatan, emosi yang meluap-luap, porsi makan yang berlebihan atau kehilangan nafsu makan, minum-minuman keras dan mengkonsumsi rokok yang berlebihan, impulsif, perkataan yang terganggu, tawa gugup, kegelisahan dan gemetar ; cognitive effects, contohnya tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi, sering lupa, hipersensitif terhadap kritik, dan mental blocks; physiological effects, berupa peningkatan glukosa dalam darah, peningkatan denyut jantung nadi dan tekanan darah, kekeringan pada mulut, berkeringat,dilatasi pupil, kesulitan bernafas, merasa panas dan dingin berganti-ganti, kerongkongan merasa tersumbat, mati rasa dan perasaan geli pada anggota tubuh; health effects, yaitu asthma, amenorrhoea, sakit pada bagian dada dan punggung, penyakit jantung koroner, pusing dan pening, dyspepsia, pingsan, sering buang air kecil, migrain dan sakit kepala, neurosa, insomnia, psikosis, gangguan psikosomatis, diabetes mellitus, bisul, dan kelemahan serta kehilangan ketertarikan seksual; organizational effects, terdiri dari absenteeism, kurangnya relasi industrial, produktivitas rendah, tinggi angka kecelakaan, turnover, iklim organisasi yang buruk, antagonisme pada saat bekerja, ketidakpuasaan pada pekerjaan. Prajurit dengan derajat stress yang tergolong moderat, Prajurit kadang-kadang mengalami dampak stress yakni beharioral effects dan health effects sedangkan pada derajat stress yang rendah, Prajurit hanya merasa dampak phsiological effects.

Dikaitkan dengan strategi coping stress yang digunakan, sebanyak 43.8% Prajurit yang merasakan stress pada derajat yang tinggi dan 56.5% Prajurit yang merasakan stress pada derajat yang moderat menggunakan kedua bentuk strategi coping stress, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping sedangkan 55.6% Prajurit yang merasakan stress pada derajat yang rendah, menggunakan strategi problem focused coping (Tabel V).

(8)

194

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Anderson (1977, dalam Lazarus & Folkman, 1984:169) menyatakan bahwa frekuensi penggunaan kedua jenis strategi coping stress dipengaruhi oleh derajat stress yang dirasakan. Dalam keadaan derajat stress yang rendah, individu cenderung menggunakan strategi coping problem focused coping dan emotion focused coping dengan frekuensi yang sama. Individu dengan derajat stress yang tergolong moderat, individu lebih cenderung menggunakan strategi problem focused coping, sedangkan pada derajat stress yang tinggi, individu lebih didominasi menggunakan strategi emotion focused coping

Prajurit dengan derajat stress yang tinggi, sebanyak 43.8% Prajurit menggunakan strategi problem focused coping dan emotion focused coping (Tabel V). Prajurit dengan derajat stress yang tinggi merasakan dampak stress yang dialami seperti sering mengalami semua dampak stress yakni subjective effects, behavioral effects, cognitive effects, physiological effects, health effects, organizational effects sehingga Prajurit berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sekaligus mengatur respon emosional pada saat menyelesaikan tugas di Kesatuan.

Prajurit perlu menanggulangi stress yang dirasakan pasca bertugas di Negara Kongo. Dalam hal ini Prajurit berusaha mengakui dan menyadari permasalahan yang dialami sebagai seorang Prajurit serta berkomitmen untuk mencoba menempatkan sesuatu secara benar dalam menghadapi masalah didalam Kesatuan (Tabel I), dengan strategi tersebut Prajurit dapat menanggulangi stress yang dirasakan dengan tetap menyelesaikan tugas yang dihadapi serta merespon emosional dalam menerima konsekuensi yang harus diterima didalam Kesatuan.

Sebanyak 56.5% Prajurit yang tergolong mengalami derajat stress yang moderat juga menggunakan strategi problem focused coping dan emotion focused coping (Tabel I). Prajurit sering mengalami behavioral effects dan health effects. Prajurit berusaha mengakui dan menyadari permasalahan yang dialami sebagai seorang Prajurit serta berkomitmen untuk mencoba menempatkan sesuatu secara benar dalam menghadapi masalah didalam Kesatuan.

Berdasarkan dampak yang dirasakan dari segi health effects yang, Prajurit merasakan sakit kepala dan pusing saat bertugas didalam Kesatuan pasca bertugas di Negara Kongo sehingga dapat menggangu jam tidur Prajurit atau insomnia. Prajurit juga merasakan gangguan pencernaan dan juga sakit bagian dada dan juga punggung. Prajurit juga merasakan dampak dari perilakunya, seperti emosi yang meledak-ledak pada saat bertugas di Kesatuan serta mengalami gangguan pola makan sehingga merokok berlebihan. Prajurit juga merasakan kegelisahan dan perkataan yang terganggu. Dalam menanggulangi stress yang dirasakan pasca bertugas di Negara Kongo, Prajurit berusaha mengakui dan menyadari permasalahan yang dialami sebagai seorang Prajurit serta berkomitmen untuk mencoba menempatkan sesuatu secara benar dalam menghadapi masalah didalam Kesatuan (Tabel I). Penggunaan strategi tersebut pada Prajurit dapat menanggulangi stress yang dirasakan dan tetap yakin dapat menyelesaikan tugas-tugas serta mengatur respon emosional saat bertugas didalam Kesatuan.

Sebanyak 44.4% Prajurit yang tergolong mengalamai derajat stress yang rendah menggunakan strategi problem focused coping (Tabel I). Prajurit berusaha mempertimbangkan usaha-usaha yang terfokus pada masalah yang dihadapi sebagai Prajurit untuk mengubah situasi yang dihadapi didalam Kesatuan serta menggunakan pendekatan analisis dalam menyelesaikan masalah yang diakibatkan sebagai seorang Prajurit didalam Kesatuan (Tabel IV). dalam hal ini Prajurit hanya merasakan dampak dari segi physiological effects.

Berdasarkan hasil pengolahan data, terdapat faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penggunaan strategi coping stress, yakni pengalaman sebagai Prajurit. Pengalaman sebagai Prajurit mempengaruhi Prajurit dalam mengambangkan keterampilan dalam menyelesaikan tugas serta dalam mengatur respon emosional didalam Kesatuan. Sebanyak 44.4% Prajurit yang bekerja antara 10 hingga 15 tahun dan juga 45% Prajurit yang bekerja lebih dari 15 tahun, menggunakan strategi problem focused coping. Berbeda pada 40% Prajurit yang bekerja kurang dari 10 Tahun, menggunakan strategi emotion focused coping (Lampiran 18).

Pengalaman yang sudah matang serta pengalaman yang sudah lama sebagai Prajurit dapat mempengaruhi Prajurit dalam meningkatkan dan mengembangkan keterampilan Prajurit dalam menggunakan strategi coping stress, hal ini dapat dikarenakan karena usia Prajurit yang memasuki masa dewasa madya berusaha meraih dan mempertahankan kepuasan dalam berkarir sehingga semakin bertambahnya umur Prajurit maka semakin banyak juga pengalaman yang didapat oleh Prajurit yang berada pada masa dewasa madya. Semakin bertambahnya pengalaman serta

(9)

195 keterampilan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan menghasilkan Prajurit dengan dewasa awal menggunakan strategi problem focused coping.

Berbeda dengan Prajurit dengan pengalaman dibawah 10 tahun yang menggunakan strategi emotion focused coping, hal ini dapat dikarenakan Prajurit masih memiliki pengalaman yang belum cukup banyak serta keterampilan yang efektif dalam menyelesaikan setiap tugas yang diberikan. Prajurit lebih menggunakan strategi emotion focused coping karena Prajurit merasa harus menerima setiap konsekuensi yang harus diterima yang berasal dari lingkungan.

Berdasarkan Goral, Kesimci, dan Gencoz (dalam Clinical Psychology and Psychotherapy :172, 2011) memiliki pendapat bahwa penggunaan emotion focused coping lebih adaptif pada kejadian yang tidak dapat dikontrol, seperti pengalaman traumatik serta sakit yang serius, sedangkan problem focused coping lebih adaptif pada kejadian yang dapat dikontrol, seperti adaptasi di lingkungan yang baru. Hal ini dapat menunjang bahwa Prajurit yang bekerja kurang dari 10 tahun menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi kondisi yang tidak dapat dikontrol saat bertugas di Negara Kongo. Berbeda dengan Prajurit yang memiliki pengalaman diatas 10 tahun yang dapat saja mengatur suatu kejadian sehingga Prajurit menggunakan strategi problem focused coping.

V. Simpulan dan Saran

5.1 Simpulan

1. Terdapat 3 strategi coping stress, pada penelitian ini kebanyakan Prajurit pasca bertugas di Negara Kongo, yaitu sebesar 46.25% menggunakan kedua jenis strategi coping stress yaitu problem focused coping dan emotion focused coping yang artinya Prajurit berusaha untuk memecahkan masalah yang ada dengan mencari dan memilih berbagai alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi serta menyelesaikan masalah yang dihadapi dan juga mengatur respon emosional terhadap masalah yang dihadapi. Bentuk yang paling sering dilakukan adalah accepting responsibility.

2. Sebanyak 28.75% Prajurit menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada masalah (problem focused coping). Bentuk yang paling sering dilakukan adalah planful problem solving. 3. Sebanyak 25% Prajurit menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada emosi (emotion problem focused). Bentuk yang paling sering dilakukan adalah accepting responsivility dan escape avoidance.

4. Dilihat keterkaitannya dengan derajat stress yang dialami oleh Prajurit, sebagian besar Prajurit yang mengalami dampak stress yang tergolong moderat yaitu 56.5% menggunakan kedua jenis strategi coping stress yaitu yang terfokus pada masalah (problem focused coping) dan yang terfokus pada emosi (emotion focused coping).

5. Sebanyak 55.6% Prajurit yang mengalami dampak stress yang tergolong rendah menggunakan strategi coping stress yang terfokus pada masalah (problem focused coping).

5.2 Saran

1. Disarankan untuk meneliti mengenai keefektifan dari strategi coping stress sehingga diperoleh gambaran mengenai strategi coping stress yang efektif bagi Prajurit terutama pasca bertugas dari negara Kongo.

2. Disarankan untuk meneliti seberapa kuat kontribusi derajat stress, pengalaman bekerja dalam pengaruhnya terhadap penggunaan strategi coping stress.

Berikut adalah saran yang diberikan bagi pihak eks-Pasukan Perdamaian Garuda:

3. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi Prajurit khususnya Prajurit pasca bertugas sebagai Pasukan Perdamaian Garuda, sehingga dapat lebih memahami serta mengetahui mengenai strategi coping stress yang saat ini digunakan.

(10)

196

4. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi Komandan Batalyon (Danyon) di Kesatuan masing-masing Prajurit, sehingga dapat mengetahui strategi coping stress yang digunakan oleh Prajurit serta membimbing Prajurit agar mampu menanggulangi gejala stress dengan cara mensosialisaikan gejala-gejala stress dan juga faktor-faktor penyebab stress dalam lingkungan Prajurit.

5. Diharapkan penlitian ini dapat dijadikan informasi bagi Kepala Pembinaan Mental (Kabintal), sehingga dapat mengetahui strategi coping stress yang digunakan oleh Prajurit serta membimbing Prajurit agar mampu menanggulangi gejala stress dengan cara mensosialisaikan gejala-gejala stress dan juga faktor-faktor penyebab stress dalam lingkungan Prajurit.

6. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi keluarga Prajurit khususnya Prajurit pasca menjadi Pasukan Perdamaian Garuda di Negara Kongo, agar memahami serta mengetahui mengenai strategi coping stress yang saat ini digunakan oleh Prajurit.

VI. Daftar Pustaka

Clinical Psychology and Psychotheraphy, 172-185 (2011), from Wiley Online : Library

(Wileonlinelibrary.com )

Lazarus, R. S., 1999. Stress and Emotion – A New Synthesis. Springer Publishing Company. Inc, New York. _____________., & Susan Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing

Company.

Van Dyk. GAJ., The Role of Military Psychology in Peacekeeping Operation: The South African National

Defence As An Example. Department of Industrial Psychology, Faculty of Military Science. Stellenbosch

Gambar

Tabel III Bentuk Strategi Coping Stress pada Prajurit yang Menggunakan Strategi Coping Stress  Cenderung Terfokus pada Emosi
Tabel V Tabulasi Silang Strategi Coping Stress dengan Derajat Stress

Referensi

Dokumen terkait

As mentioned earlier, the initiation of this child-friendly village has the support of local government, in this case the Government of Lampung Timur District.. Regent of

bermain peran, bekerja gotong royong; dan (b) beberapa faktor yang mendukung keberhasilan anak mengembangkan bakat seni, yaitu guru memiliki pengetahuan dan pemahaman

Hubungan antara dosen pembimbing dengan kecemasan mahasiswa keperawatan dalam menghadapi tugas akhir skripsi di Fakultas Ilmu Kesehatan UMS didapatkan data bahwa

panjang jaringan BMCA, sehingga nilai arus gangguan hubung singkat pada ujung.. jaringan PKDM lebih besar daripada nilai arus gangguan hubung singkat

hitam, umbi kentang, umbi singkong, umbi suweg, umbi talas, ubi jalar kuning, ubi jalar putih, ubi jalar ungu, umbi uwi, cantel (shorgum) dan sukun. Sampel umbi-umbian diambil

[r]

Pokja Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Banggai Kepulauan pada SKPD Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah

NAMA SISWA ASAL SEKOLAH NILAI.. AKHIR