• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah wilayah setingkat Provinsi yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain di Indonesia. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dari suatu pemerintahan kerajaan yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang sebelumnya merupakan suatu kerajaan yang masih eksis menjalankan suatu pemerintahan sendiri. Sebagai suatu Negara kerajaan, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman mempunyai sejarah perkembangan yang dimulai sejak terselenggaranya perjanjian Giyanti pada tahun 17555, diikuti dengan berdirinya kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan dalam perkembangan waktu pada Tahun 1812 terbentuk Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah sebagian dari wilayah Kasultanan.

Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman bergabung dengan Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia di proklamirkan. Begitu Republik Indonesia merdeka, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan bergabung sehingga kemudian Presiden Soekarno memberikan Piagam Kedudukan kepada mereka berdua. Sri Sultan HB IX dan Sri

5 Baskoro dan Sunaryo, 2010, Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya Merunut

(2)

Paku Alam VIII menyatakan dengan tegas bahwa mereka berdua adalah Kepala Daerah di Yogyakarta.6

Penggabungan kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan konskwensi adanya perubahan di dalam penyelenggaran suatu pemerintahan Negara termasuk didalamnya perubahan dalam pengelolaan dibidang pertanahan. Pengelolaan pertanahan yang semula dilakukan oleh masing-masing pemerintahan kerajaan (Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman) dengan bergabungnya kedua kerajaan tersebut menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka pengelolaan pertanahan (agraria) menjadi urusan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengelolaan administrasi pertanahan untuk wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman secara tertib telah dimulai sejak tahun 1918 saat dilakukan reorganisasi hukum pertanahan, yakni sejak diterbitkan

Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Paku Alaman

Tahun 1918 Nomor 18 tentang Domeinverklaring Hak Atas Tanah Pemberian, Hak Anggaduh (bezitsrechten) dan Hak Pakai (gebruiksrechten) Atas Tanah yang menjadi dasar Pengelolaan Administrasi Pertanahan. Pada Pasal 1 dalam kedua peraturan ini dimuat ketentuan yang berbunyi “ Hingsun hanglestarekake watone,

sakabehing bumi kang hora hono tondho yektine kadarbe ing liyo mowo wewenang eigendom, dadi bumi kagungane Kratoningsun Ngayogyakarto”.

Ketentuan tersebut mempertegas tentang hak menguasai oleh raja/negara Kasultanan atas tanah di dalam wilayahnya, sekaligus sebagai suatu ketentuan

(3)

formal mengenai adanya domain dari Kasultanan dan Kadipaten atas tanah dalam wilayah kekuasaannya.

Terbitnya Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 18 menjadi dasar pemerintah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman melaksanakan pengelolaan tanah di dalam wilayah Kasultanan dan Kadipaten sekaligus mengawali masa reorganisasi di bidang hukum pertanahan pada kedua wilayah kerajaan, karena setelah itu kemudian disusul terbitnya Rijksblad-Rijksblad yang mengatur mengenai pengelolaan pertanahan. Seperti Rijksblaad Kasultanan Tahun 1925 Nomor 23, Rijksblaad Paku Alaman Tahun 1925 Nomor 25, tentang Bab

Wewenang Bumi, Pranatan Bab Maringi Wewenang Andarbe Bumi lan Nganggo Bumi,, dan Rijksblaad Kasultanan Tahun 1926 Nomor 16 tentang Kadaster, Pepacak-Pepacak Tumrap Panindake Kadaster Jawa, dan Rijksblad-Rijksblad

yang lainnya.

Pada masa sebelum bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia Kasultanan Yogyakarta dalam kedudukannya sebagai suatu lembaga Pemerintahan Kerajaan melaksanakan secara penuh pengelolaan pertanahan di dalam wilayahnya, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pepatih Dalem sebagai pelaksana pemerintahan atas nama Raja. Dalam pengelolaan tanah yang dikuasai oleh / diperuntukan bagi warga pribumi diatur dalam Rijkblad Kasultanan dan

Rijkblad Pakualaman, sedangkan bagi tanah yang dikuasai oleh warga yang

tunduk pada hukum barat berlaku ketentuan Undang-undang Pemerintah Hindia Belanda.

(4)

Setelah bergabung dengan Pemerintah Republik Indonesia diterbitkan Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai dasar hukum terbentuknya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang otonominya termasuk didalamnya dibidang Agraria, maka kewenangan pengelolaan pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1950 dimuat mengenai urusan rumah tangga yang menjadi kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta diantaranya adalah urusan Agraria (tanah). Dalam lampiran UU No 3 tahun 1950 dijelaskan bahwa urusan agraria (tanah) meliputi :

1. penerimaan penyerahan hak “eigendom” atas tanah “eigendom” kepada negeri (medebewind);

2. penyerahan tanah Negara (feheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan atau kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind); 3. pemberian ijin membalik nama hak “ eigendom” dan “opstal” atas

tanah, jika salah satu fihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing (medebewind);

4. pengawasan pekerjaan daerah autonom di bawahnya tentang agraria (sebagian ada yang medebewind) 7

Di dalam rangka melaksanakan kewenangan urusan pertanahan, pemerintah DIY selanjutnya menerbitkan beberapa peraturan daerah yang mengatur mengenai pengelolaan di bidang pertanahan diantaranya Peraturan Daerah No. 4 tahun 1954, Perda No 5 tahun 1954, Perda No. 10 tahun 1954, Perda No. 11 Tahun 1954 dan Perda No. 12 tahun 1954. Terbitnya Perda-Perda tersebut maka kewenangan pengelolaan pertanahan yang semula menjadi kewenangan Kasultanan dan Kadipaten beralih menjadi kewenangan pemerintah Daerah Istimewa Yoyakarta, termasuk didalamnya pengelolaan tanah Kasultanan yang

7 Kristiyani, dkk,1981,Himpunan Peraturan Peraturan Daerah Dll Perihal Tanah,

(5)

dikenal dengan tanah Sultan Grond (SG) dan tanah Kadipaten yang dikenal sebagai tanah Pakualaman Grond (PAG).

Dalam Penjelasan Umum angka 4 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dinyatakan : “Setelah Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 tahun 1950, yang telah ditambah dan diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 tahun 1950, maka kekuasaan (bevoegdheid) mengatur hak atas tanah tersebut di atas berdasar Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1950. pasal 4 ayat (4) beralih dari Pemerintah-Pemerintah Kasultanan dan Paku Alaman kepada Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hak asal-usul ”.8

Beralihnya kekuasaan/kewenangan mengatur hak atas tanah kepada Daerah Istimewa Yoyakarta peran Kasultanan dan Kadipaten dalam pengelolaan pertanahan menjadi hilang, karena lembaga-lembaga pemerintah Kasultanan yang dulu melakukan pengelolaan di bidang pertanahan bergabung menjadi perangkat yang melaksanakan tugas urusan agraria dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya untuk melaksanakan tugas Urusan Agraria dibentuk Lembaga Jawatan Agraria yang dalam perkembangannya sejak tahun 1974 berubah menjadi Direktorat Agraria dan setelah terbentuk Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 berubah menjadi Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta.

Terbitnya Perda No. 5 Tahun 1954 membawa perubahan yang signifikan terhadap hak menguasai/memiliki (domein) dari Kasultanan atas tanah, karena di dalamnya dimuat ketentuan mengenai pemberian hak milik perseorangan turun

8

(6)

temurun kepada warga masyarakat yang semula menguasai tanah dengan hak

anganggo turun temurun.

Ditetapkannya tanah hak masyarakat atas tanah di wilayah luar Kota Yogyakarta dari hak anganggo turun-temurun menjadi hak milik turun-temurun, maka luas tanah Kasultanan yang juga dikenal dengan tanah Sultan Grond tinggal tanah-tanah yang saat ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954 tidak tercatat dalam Register Desa (Buku Letter C) sebagai tanah yang dikuasai masyarakat. Tanah yang tidak tercatat dalam Buku Letter C tersebut antara lain : tanah bekas Recht van Opstal (RvO) bekas Pabrik, tanah wedi kengser (tanah yang ada di pinggir sungai), tanah pangonan ( tanah yang disediakan untuk tempat penggembalaan), tanah oro-oro (tanah yang belum dimanfaatkan di daerah pegunungan Gunung Kidul), dan tanah gisik pasir atau tanah yang berada di sepanjang laut selatan, dan lain-lain.

Beralihnya kewenangan mengatur tanah dari Kasulanan dan Kadipaten menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta dimaknai juga sebagai pengalihan domain atas tanah sehingga tanah-tanah yang masih menjadi domain Kasultanan dianggap menjadi domain dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini berlangsung sampai dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 pada tahun 1984. Setelah berlakunya UUPA pengelolaan pertanahan menjadi kewenangan pusat termasuk di dalamnya tanah-tanah Kasultanan yang sebelumnya dikelola dan diakui sebagai tanah milik Daerah Istimewa Yogyakarta dipersepsikan sebagai tanah negara karena di dalam UUPA tidak dikenal adanya tanah milik suatu daerah.

(7)

Anggapan bahwa tanah Kasultanan sebagai tanah negara telah menimbulkan keberatan dari pihak Kasultanan, karena secara kenyataan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah keberadaan tanah Kasultanan selama ini tetap diakui. Persoalan yang mengemuka terkait dengan tanah Kasultanan tersebut adalah karena tidak adanya ketentuan di dalam UUPA yang mengatur mengenai lembaga Kasultanan sebagai badan hukum yang dapat menjadi subyek hak atas tanah. Hal ini telah menjadi pembicaraan antara pihak Kasultanan bersama pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Pemerintah Pusat diseputar tahun 2000 sehingga pernah diwacanakan terbitnya suatu Keputusan Presiden yang memuat ketetapan lembaga Kasultanan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah.

Keputusan Presiden tersebut pada akhirnya tidak jadi diterbitkan dan sebagai gantinya untuk sementara dalam rangka mengakomodasi persoalan pengelolaan Tanah Kasultanan diterbitkan Surat Kepala Badan Pertanahan No. 570.34-2493 tanggal 21 Oktober 2003, sampai dengan selanjutnya persoalan tersebut dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dalam pembahasan Undang-Undang keistimewaan DIY diinventarisasi bahwa salah satu yang menjadi bagian dari keistimewaan adalah masalah pertanahan khususnya tanah Kasultanan dan Pakualaman. Persoalan pertanahan terkait dengan tanah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman masuk dalam materi Bahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

(8)

Pada tahun 2012 akhirnya Undang-Undang mengenai Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah disahkan dan diterbitkan yaitu Undang-Undang No. 13 tahun 2012. Berkenaan dengan bidang pertanahan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) disebutkan :

(1) Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.

(2) Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan

Penetapan Kasultanan menjadi badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah tentunya akan membawa konsekuensi perubahan dalam pengelolaan tanah Kasultanan, karena sebelumnya hubungan antara Kasultanan dengan tanah adalah hubungan antara suatu lembaga pemerintahan (lembaga publik/lembaga penguasa) dengan wilayah yang dikuasainya sehingga pengelolaan tanah oleh Kasultanan pada saat itu dilakukan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan.

Setelah Kasultanan ditetapkan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak milik atas tanah, maka hubungan antara Kasultanan dengan tanah menjadi lebih bersifat privat. Sehingga sejalan dengan ini maka akan terjadi perubahan pola pengelolaan tanah Kasultanan termasuk kemungkinan-kemungkinan adanya hak-hak yang akan timbul sebagai konsekuensi adanya hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah.

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul dan uraian Latar Belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan di dalam penelitian adalah :

a. Bagaimana pengelolaan Tanah Kasultanan setelah berlakunya UU No. 13 tahun 2012?

b. Hal-hal apa saja yang akan timbul berkenaan dengan pengelolaan tanah Kasultanan setelah berlakunya Undang- Undang No. 13 tahun 2012? C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan sebagaimana tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mendapatkan penjelasan tentang pengelolaan Tanah Kasultanan setelah berlakunya UU No. 13 tahun 2012

b. Mengetahui tentang hal-hal yang akan timbul berkenaan dengan pengelolaan tanah Kasultanan setelah berlakunya Undang- undang No. 13 tahun 2012

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan 1. Kegunaan Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum kenotariatan terkait hukum agraria dan tambahan pustaka bagi siapa saja yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan ini.

(10)

2. Kegunaan Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian dan penulisan tentang tanah Sultan Grond dan

Pakualaman Grond telah dilakukan diantaranya :

1. Penelitian pertama, Tesis dengan judul Status Hukum Tanah-tanah Kraton Yogyakarta Setelah berlaku Keppres Nomor 33 Tahun 1984 di Kotamadya Yogyakarta oleh Sarosa Purnomo Putro tahun 1996.9 Tesis ini mempunyai kesimpulan sebagai berikut : setelah berlakunya Keppres Nomor 33 tahun 1984 maka pihak kraton bertindak sebagai pemilik terhadap tanah-tanah kraton. Namun dalam penggunaan hak atas tanah kraton ini pihak Kraton masih melestarikan status sebagai penguasa yang bertindak demi kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat banyak. Sementara dari segi persepsi masyarakat pemakai tanah kraton mereka menyadari dan membenarkan bahwa tanah yang mereka tempati adalah milik kraton. Pengakuan masyarakat ini menurut Sarosa Purnomo Putro membawa permasalahan

9

Putro, Sarosa Purnomo,1996,Status Hukum Tanah-Tanah Kraton Yogyakarta

Setelah berlakunya Keppres Nomor 33 Tahun 1984 di Kotamadya Yogyakarta, Universitas Gadjah

(11)

karena kraton tidak termasuk badan hukum yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963.

2. Penelitian kedua oleh Rachmat Martanto dengan judul Status Tanah Kraton kaitannya dengan pelaksanaan UUPA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta 10 Rahmat Martanto menyimpulkan bahwa berlakunya UUPA telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar pada hukum adat secara umum, namun kurang pengaruhnya bagi tanah milik kraton yang seharusnya menjadi tanah negara.

3. Hasil penelitian tentang tanah kasultanan yang pernah ada adalah Kewenangan Kraton Yogyakarta dalam Pengaturan Penggunaan Tanah Kraton di Era Otonomi Daerah11. oleh Yohanes Supama. Sebuah tesis di Program Studi Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gajah Mada tahun 2005. Tesis ini mengangkat permasalahan (a) Apakah yang menjadi dasar hukum bagi Kraton Yogyakarta dalam menguasai dan menggunakan tanah-tanah kraton? (b) Apakah pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Kewenangan Kraton dalam pengaturan tanah kraton ini masih ada? (c) Dalam bidang apa saja kewenangan pengaturan penggunaan tanah yang masih ada pada Kraton Yogyakarta ini?

4. Penelitian keempat, sebuah makalah oleh Sarjita, S.H., M. Hum dengan judul Kajian Historis dan Yuridis tentang status tanah Swapraja dan Eks Swapraja dalam Hukum Tanah Nasional (Studi Kasus Pemberian Hak Pakai di Atas

10

Martanto , Rachmat,Status Tanah Kraton kaitannya dengan Pelaksanaan UUPA

di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada

11

Supama, Yohanes, Kewenangan Kraton Yogyakarta dalam Pengaturan Penggunaan Tanah Kraton di Era Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta.

(12)

Tanah Sultan Grond)12 dalam bukunya yang berjudul Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah. Ada empat hak yang dianalis, yaitu : 1) Apakah pemakaian sebutan “tanah swapraja” pada saat ini untuk menyebut tanah-tanah yang dahulu merupakan tanah wilayah/daerah Swapraja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Puro Pakualaman masih dapat dibernarkan; 2) Apakah masalah kewenangan pertanahan (agraria) masih merupakan bagian dari subtansi keistimewaan DIY; 3) Bagaimanakah status tanah-tanah Eks Swapradja dengan diberlakukannya UUPA di DIY, khususnya Diktum Keempat huruf A UUPA; 4) Bagaimanakah konstruksi hukum Tanah Kasultanan dan Tanah Puro Pakualaman dalam hukum Tanah Nasional (UUPA).

Kajian ini menghasilkan kesimpulan, yaitu : 1) Penggunaan sebutan tanah swapradja untuk saat ini sudah tidak tepat, mengingat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tanah-tanah yang dimaksud telah dijadikan sebagai wilayah/daerah dari DIY; 2) Setelah diberlakukannya UUPA di DIY dengan Keppres RI No. 33 Tahun 1984 jo. Perda DIY tahun 1984, maka substansi pertanahan (agraria) bukan lagi menjadi bagian dari substansi keistimewaan DIY; 3) Status tanah eks swapradja Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat dan Puro Pakualaman dengan berlakunya UUPA secara penuh di DIY, maka menjadi tanah Negara; 4) Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai di atas tanah-tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman tidak sesuai

12

Sarjita, 2006, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi

(13)

dengan konstruksi Hukum Tanah Nasional (UU No. 5 Tahun 1960), bahkan dapat memunculkan dualisme hukum yang selam untuk dihapuskan oleh UUPA.

5. Penelitian kelima, thesis oleh Athanasia Dian Shanti dengan judul Konstruksi Hukum Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diatas Tanah Kasultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Analisa Surat Kepala BPN No. 570.342493 tanggal 21 Oktober 2003).13 Sebuah thesis di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada tahun 2009. Mengangkat masalah a) Apa yang melatarbelakangi terbitnya Surat Kepala BPN No. 570.342493 tanggal 21 Oktober 2003)?; b) Bagaimana konstruksu hukum pemberian hak-hak atas tanah di atas Tanah Kasultanan kepada pihak ketiga sesudah terbitnya Surat Kepala BPN No. 570.342493 tanggal 21 Oktober 2003? (b.1) siapa saja yang berhak mendapatkan hak guna bangunan dan hak pakai di atas tanah kasultanan? b.2) Bagaimana mekanisme pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai kepada Pihak Ketiga?); c) hal-hal apa saja yang menjadi hambatan dan potensi permasalahan dalam memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak-hak ketiga di atas Tanah Kasultanan.

Dari beberapa penelitian di atas lebih banyak membahas mengenai status hukum tanah Kasultanan dan status lembaga Kasultanan sebagai subyek hak atas tanah setelah berlakunya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sebagian

13 Shanti , Athanasia Dian, 2009, Konstruksi Hukum Pemberian Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai diatas Tanah Kasultanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Analisa Surat Kepala BPN No. 570.342493 tanggal 21 Oktober 2003), Universitas Gadjah Mada,

(14)

berkesimpulan bahwa tanah Kasultanan menjadi tanah negara dan lembaga Kasultanan belum jelas kedudukannya sebagai subyek hak atas tanah.

Untuk penelitian yang penulis lakukan kedudukan lembaga Kasultanan sebagai subyek hak atas tanah telah jelas yaitu berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012, lembaga Kasultanan telah ditetapkan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek Hak Milik atas tanah Kasultanan (Sultan Grond). Fokus bahasan dalam penulisan ini adalah mengenai bagaimana pengelolaan tanah Kasultanan setelah ditetapkan sebagai Badan Hukum yang dapat menjadi subyek Hak Milik atas tanah.

Dengan perbedaan mengenai status hukum obyek dan subyek dari tanah Kasultanan serta perbedaan pokok bahasannya, maka terdapat perbedaan yang jelas antara penelitian yang sebelumnya dengan yang dilaksanakan oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Terlepas dari pentingnya kegiatan eksperimental dalam rekayasa struktur, percobaan sederhana berikut ingin mempe- lajari perilaku perilaku lentur dan geser dari balok baja

Iako sama nije dosegla jeziĉnu kompetenciju koju je ţeljela, te je ĉesto pisala refleksije o svom lošem hrvatskom jeziku, Dragojla je ipak stekla status osobe

Jika basis data tidak rusak secara fisik tetapi menjadi tidak konsisten, sebagai contoh: sistem crashed sementara transaksi dieksekusi, maka yang perlu dilakukan adalah

Rute sirkulasi darah merupakan yang paling sering terjadi karena hati menerima darah dari arteri hepatika dan vena porta sekaligus. Hepatitis dapat dibedakan

Beranjak dari hal tersebut diatas yang terpenting adalah di madarsah nizhamiyah ini telah melahirkan ahli dan sarjana-sarjana yang terkenal dengan sistem

Dari data di atas maka dapat diketahui bahwa efisiensi rata-rata penggunaan bahan bakar premium yang paling maksimal adalah ketika menggunakan manifold 4 dan dengan penambahan

(2) Perilaku nelayan yang dapat menyebabkan kerusakan fisik habitat ikan (terumbu karang) dianalisis dengan mendata jumlah unit penangkapan rawai dasar yang melakukan

Dukungan sosial dapat bermanfaat dalam menurunkan tingkat stres, karena dukungan sosial dan stres dapat berhubungan yang didukung oleh pernyataan dari Smet (1994)