• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sopiyatun*) Faridah Aini, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB *), Yuliaji Siswanto, SKM., M.Kes. (Epid)*)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sopiyatun*) Faridah Aini, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB *), Yuliaji Siswanto, SKM., M.Kes. (Epid)*)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP

PEMULIHAN REFLEK BERKEMIH PADA PASIEN POST

OPERASI EKSTREMITAS BAWAH DENGAN SPINAL

ANESTESI DI RUANG RAWAT INAP BEDAH

UMUM RSUD TUGUREJO SEMARANG

Sopiyatun*)

Faridah Aini, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB *), Yuliaji Siswanto, SKM., M.Kes. (Epid)*) *) Mahasiswa PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

*) Dosen PSIK STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

ABSTRAK

Terapi kompres hangat pada kulit, khususnya pada organ urogenetalia eksterna menimbulkan sensasi suhu pada ujung saraf permukaan kulit. Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam jalur mesolimbik sistem saraf pusat dan kompres hangat yang lembab efektif meningkatkan sirkulasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan quasy eksperiment dengan Postest Control Group Design,teknik pengambilan data dengan menggunakan accidental sampling dengan 30 sampel terbagi dalam 15 responden kelompok intervensi dan 15 responden kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah lembar observasi. Uji analisis menggunakan Mann-Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi (p value= 0,0001) α = 0,05, dengan rata-rata kurang dari 8 jam sehingga masih normal. Kata Kunci : Kompres hangat, Pemulihan reflek berkemih

ABSTRACT

Warm compress therapy to the skin, especially on the urogenitalia external can cause temperature sensation on the nerve ending on the surface of the skin. This sensation activates dopaminergic transmission in the mesolimbic pathway of the central nervous system and warm moist compress effectively improve the circulation. This research aims to know the effect of warm compress toward urinary reflex recovery on lower extremities post surgery in patients with spinal anesthesia.

The research used Quasy experiment with post test control group design, the technigue used accidental sampling with 30 samples consist of 15 respondents in intervention group,and 15 respondents in control group. Instrumen used for data collection was observation sheet. Test analysis used the Mann-Whitney test. The result of the research indicates that there is effect of warm compress toward urinary reflex

(2)

recovery on lower extremities post surgery patients with spinal anesthesia with P-Value 0,00001(α = 0,05) and the average less then 8 hours so it is normal.

Based on the results of research the hospitalis expected to create Standard Operating System (SOP) to give warm compress as management of urinary reflex recovery on lower extremities post surgery patients with spinal anesthesia and create comfortable atmosphere in the room for the patient during recovery.

Keyword : Warm compresses, Urinary reflex recovery

PENDAHULUAN.

Salah satu jenis anestesi regional yaitu anestasi spinal. Spinal anestesi atau Subarachnoid Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang

subarachnoid untuk mendapatkan

analgesi melalui pungsi lumbal. Obat anestesi ini menginervasi regio tertentu yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer (Mangku & Senapathi, 2010).

Penggunaan obat anestesi dan analgetik narkotik memperlambat kecepatan filtrasi glomerulus, sehingga keluaran urin akan menurun. Adanya peningkatan impuls simpatis terjadi dalam keadaan stres, menyebabkan konstriksi arteriole aferen dan menurunkan aliran darah kedalam

glomerulus sehingga menyebabkan

penurunan GFR, penurunan GFR ini berakibat mengurangi haluaran urin (Syaifuddin, 2011). Apabila pengosongan kandung kemih terganggu, urin akan terakumulasi dan distensi kandung kemih yang berlebihan terjadi, sebuah kondisi yang dikenal sebagai retensi urin. Distensi kandung kemih yang berlebihan menyebabkan buruknya kontraktilitas otot detrusor, sehingga mengurangi urinasi (Kozier, 2010). Obat dan tehnik anestesi pada umumnya dapat menimbulkan retensi urin, karena akibat anastesi ini pasien tidak mampu merasakan bahwa

kandung kemihnya penuh dan tidak mampu memulai atau menghambat berkemih. Anestesi spinal dapat mempengaruhi pengeluaran urin karena menurunkan kesadaran pasien tentang kebutuhan untuk berkemih (Kozier, 2010).

Pasien yang pulih dari anestesi dan analgetik yang dalam seringkali tidak mampu merasakan bahwa kandung kemihnya penuh dan tidak mampu memulai atau menghambat berkemih. Anestesi spinal terutama menimbulkan risiko retensi urin, karena akibat anestesi ini pasien tidak mampu merasakan adanya kebutuhan untuk berkemih dan kemungkinan otot kandung kemih dan otot sfincter juga tidak mampu merespon terhadap keinginan berkemih. Normalnya dalam waktu 6 – 8 jam setelah anestesi, pasien akan mendapatkan kontrol fungsi berkemih secara volunter, tergantung pada jenis pembedahan (Perry & Potter, 2010).

Retensi urin yang tidak segera ditangani menurut Jassim (2009), dapat meningkatkan resiko pembentukan batu ginjal dan infeksi, dan pada akhirnya dapat menyebabkan cedera pada saluran kemih atas. Obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan efek jangka panjang untuk fisiologi ginjal termasuk kemampuan untuk berkonsentrasi urin. Tekanan tinggi retensi kronis dapat menyebabkan kerusakan saluran kemih

(3)

atas. Obstruksi tekanan tinggi dapat menyebabkan perubahan dalam kandung kemih, seperti trabeculation diverticulli, penebalan dinding kandung kemih, dan pada akhirnya terjadi kegagalan otot detrusor. Intravesical tinggi progresif tekanan pada ureter dan ginjal dapat terjadi dan dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis serta penurunan fungsi ginjal.

Beberapa tindakan pencegahan retensi urin pasca spinal anestesi adalah membatasi asupan cairan, mobilisasi dini, kompres hangat di supra pubik, dan penggunaan obat anestesi spinal “short-acting” (Ganulu, Dulger, Zafer, 1999 dalam Akhrita, 2011). Sedangkan menurut Kozier (2010), kompres hangat di supra pubik, pemberian obat kolinergik, manuver crede, dan pemasangan kateter merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin. Latihan mobilisasi dini pada pasien post operasi seringkali menyebabkan trauma karena adanya nyeri yang timbul pasca tindakan pembedahan, sehingga pasien menjadi takut untuk bergerak.

RSUD Tugurejo merupakan salah satu rumah sakit yang ada di wilayah Semarang yang memberikan pelayanan pembedahan pada masyarakat Semarang dan sekitarnya, termasuk prosedur pembedahan pada ekstremitas bawah sering dilakukan di rumah sakit ini. Hasil catatan rekam medik rumah sakit menunjukkan bahwa pada bulan Januari s/d September 2015 telah melayani pasien pembedahan ekstremitas sebanyak 712 pasien dengan 530 (74,43%) pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi dimana 62 (11,6%) diantaranya mengalami retensi urin.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pemberian Kompres Hangat Terhadap Pemulihan Reflek Berkemih Pada Pasien Post Operasi Ekstremitas Bawah dengan Spinal Anestesi di Ruang Rawat Inap Bedah umum RSUD Tugurejo Semarang”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menguji pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang. Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi eksperiment). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy experiment dengan Postest Control Group Design atau pasca tes dengan kelompok eksperimen dan kontrol. Pada rancangan ini kelompok eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pengukuran dilakukan setelah pemberian perlakuan selesai. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara accidental sampling, berdasarkan responden yang ada di RSUD Tugurejo post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi

HASIL PENELITIAN

(4)

Tabel 1

Data karakteristik responden pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi.

Berdasarkan data di atas, karakteristik responden pada usia, jenis kelamin, pemasangan kateter, kepadatan ruang, dan suhu ruangan tampak seimbang dimana jumlah responden tidak mengumpul pada satu kelompok responden. Tetapi pada data asupan cairan dan output urin tampak adanya perbedaan yang signifikan, hal ini dapat disebabkan pada kelompok kontrol mempunyai waktu pemulihan reflek berkemih yang lebih lama sehingga kebutuhan asupan cairan dan urin output akan lebih banyak.

B. Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat.

Tabel 2

Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang tidak dilakukan kompres hangat

Pemulihan Waktu berkemih

f %

Normal 15 100

Tidak Normal 0 0

Berdasarkan hasil analisis di atas, diketahui pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi yang tidak dilakukan kompres hangat di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang 100% normal karena kurang dari 8 jam.

C. Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat

Tabel 3

Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat

Pemulihan Waktu berkemih

f %

Normal 15 100

Tidak Normal 0 0 Berdasarkan hasil analisis di atas, diketahui reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang 100% normal karena kurang dari 8 jam.

D. Pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek

(5)

berkemih ada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi

Tabel 4

Pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi

Pengukuran Median Min-Max P Value Kelompok Intervensi 178 145-280 0,00001 Kelompok Kontrol 391 336-444

Berdasarkan hasil analisis di atas, diketahui reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anastesi spinal yang tidak dilakukan kompres hangat di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang dengan median 391, waktu tercepat 336 menit(5,6 jam) dan waktu terlama 444 menit(7,4 jam), sedangkan pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anastesi spinal yang dilakukan kompres hangat dengan nilai median 178, waktu tercepat 145 menit (2,4 jam) dan waktu terlama 280 menit (4,8 jam).

Hasil pengujian statistik antara kedua variabel dengan pengolahan data dengan menggunakan uji alternatif Mann-Whitney menunjukkan nilai p value 0,00001. Nilai signifikan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu < 0,05. Hasil tersebut mengartikan bahwa ada pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal

anestesi di ruang rawat inap bedah Umum RSUD Tugurejo Semarang karena p value lebih kecil dari 0,05.

PEMBAHASAN

Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang tidak dilakukan kompres hangat

Berdasarkan hasil analisis diketahui reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang tidak dilakukan kompres hangat di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang dengan median 391, waktu tercepat 336 menit(5,6 jam) dan waktu terlama 444 menit (7,4 jam).Dari 15 responden yang diambil sebagai sampel, 100% mengalami pemulihan reflek berkemih < 8 jam sehingga dapat disimpulkan bahwa pemulihan reflek berkemih pada pasien masih dalam batas normal, hanya saja rentang waktu antara pasien post operasi sampai dengan timbulnya reflek berkemih pertama kali membutuhkan waktu lama. Menurut Nursalam (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan klien untuk berkemih diantaranya diet dan asupan, respon keinginan awal untuk berkemih, gaya hidup, stress psikologis, tingkat aktifitas, usia, kondisi penyakit, sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot dan pengobatan.

Pemberian anestesi spinal pada prosedur operasi ekstremitas bawah dapat menyebabkan retensi urin, Latief (2009). Proses miksi pada pasien post operasi tergantung dari utuhnya persarafan dari sfincter uretra dan otot-otot kandung kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris

(6)

ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urin dan distensi kandung kencing. Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan intravena yang banyak, pemasangan kateter kandung kencing mencegah komplikasi ini, dan menurut Baldini (2009) retensi urin merupakan akumulasi urin yang nyata dalam kandung kemih akibat ketidakmampuan pengosongan kandung kemih sehingga timbul perasaan tegang, tidak nyaman, nyeri tekan pada simpisis, gelisah, dan terjadi diaphoresis (berkeringat).

Pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat

Berdasarkan hasil analisis diketahui reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang dengan nilai median 178, waktu tercepat 145 menit (2,4 jam) dan waktu terlama 280 menit (4,6 jam). Pemulihan reflek berkemih dari 15 responden pada kelompok intervensi, 100% normal karena waktu pemulihan < 8 jam.

Usia, jens kelamin, prosedur pemasangan kateter, kepadatan ruang, suhu ruangan, tidak memberi pengaruh terhadap cepatnya pemulihan reflek berkemih. Intake cairan yang masuk peroral keluar melalui urin seluruhnya. Perolehan responden pada kelompok intervensi dimana 8 diantaranya dengan diagnosa fraktur ekstremitas bawah yang dilakukan tindakan orif,

pemulihan reflek berkemih tidak berbeda jauh dengan 7 responden dengan diagnosa medis lain yang dilakukan tindakan.

Cepatnya proses berkemih pada pasien yang diberikan kompres hangat menurut Perry, Anne Griffin, et.all (2005) karena terapi kompres hangat dapat meningkatkan sirkulasi, sedangkan menurut Kozier (2010), kompres hangat yang lembab efektif dapat memberikan stimulus sensorik yang dapat membantu klien untuk relaksasi otot abdomen. Keberhasilan kompres hangat dapat mempercepat pemulihan pasca pembedahan.

Pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi

Hasil pengujian statistik antara kedua variabel dengan pengolahan data dengan menggunakan uji alternatif Mann-Whitney menunjukkan nilai p value 0,00001. Nilai signifikan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu < 0,05. Hasil tersebut mengartikan bahwa ada pengaruh pemberian kompres hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi di ruang rawat inap bedah umum RSUD Tugurejo Semarang karena p value lebih kecil dari 0,05. Adanya perbedaan lama waktu berkemih pada kelompok intervensi dan kontrol dapat disebabkan karena adanya perlakuan kompres hangat, sesuai pendapat Anugraheni dan Wahyuningsih (2014) dalam Indarti (2014), bahwa kompres hangat dilakukan dengan menggunakan buli-buli panas atau kantong air panas terjadi

(7)

pemindahan panas secara konduksi dari buli-buli sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi penurunan ketegangan otot. Kompres hangat memiliki beberapa pengaruh yaitu melebarkan pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah didalam jaringan, efek kompres hangat pada otot dapat menurunkan ketegangan serta dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi darah serta pembuluh kapiler. Efek ini diharapkan akan menyebabkan dilatasi arteriol aferen dan meningkatkan aliran darah ke dalam glomerulus sehingga meningkatkan GFR, peningkatan GFR ini dapat meningkatkan haluaran urin. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian dari Indarti (2014), dalam penelitiannya membuktikan bahwa pemberian kompres hangat juga efektif digunakan untuk menurunkan skala phlebitis dari skala 2 menjadi 0. Hidroterapi dengan air hangat menurut Jenny (2002) dalam Hasmita (2010) dengan suhu 106-110°F (41-43°C). Efek pemberian kompres hangat terhadap tubuh menurut Sjamsuhidajat (2010), dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan sirkulasi. Adanya peningkatan aliran darah ini akan meningkatkan proses metabolisme dari sisa obat anestesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi sehingga dapat mengurangi efek obat anestesi. Dengan adanya penurunan efek obat anestesi tersebut maka dapat mengembalikan impuls sensorik dan motorik yang berjalan diantara kandung kemih, medula spinalis, dan otak sehingga dapat menimbulkan adanya reflek berkemih.

Pemakaian kompres hangat biasanya hanya dilakukan setempat saja pada

bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh-pembuluh darah melebar sehingga akan memperlancar peredaran darah didalam jaringan tersebut. Panas cukup berguna untuk pengobatan, meningkatkan aliran darah ke bagian yang cedera. Apabila panas digunakan selama 1 jam atau lebih maka aliran darah akan menurun akibat refleks vasokontriksi karena tubuh berusaha mengontrol kehilangan panas dari area tersebut. Pengangkatan dan pemberian kembali panas lokal secara periodik akan mengembalikan efek vasodilatasi (Perry & Potter, 2010).

Penelitian yang berjudul perbedaan efektivitas pemberian kompres hangat dan mobilisasi dini terhadap pemulihan kandung kemih pada ibu post sectio

caesarea di RSUD Salatiga

menunjukkan bahwa kompres hangat efektif untuk proses pemulihan kandung kemih dengan waktu paling cepat adalah 68 menit dan pemulihan kandung kemih paling lama adalah 244 menit (Kusumasari, 2014).

Faktor-faktor lain seperti umur, jenis kelamin, pemasangan kateter, kepadatan ruangan, dan suhu ruang tidak mempengaruhi lamanya waktu berkemih pada penelitian ini. Masalah stress psikologis yang menurut Nursalam (2006) meningkatnya stres dapat mengakibatkan seringnya frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas keinginan berkemih dan jumlah urin yang dihasilkan.

KESIMPULAN

1. Reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang tidak dilakukan kompres hangat masih

(8)

dalam batas normal karena waktu pemulihan reflek berkemih kurang dari 8 jam.

2. Reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal yang dilakukan kompres hangat masih dalam batas normal karena waktu pemulihan reflek berkemih kurang dari 8 jam. 3. Ada pengaruh pemberian kompres

hangat terhadap pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi (p value < 0,00001) < 0,05

SARAN

1. Bagi RSUD Tugurejo Semarang Dapat membuat acuan Standar

Operating System (SOP)

penatalaksanaan pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi serta menciptakan suasana ruangan yang nyaman untuk pasien selama masa pemulihan

2. Bagi keperawatan

Perawat dapat memberikan pelayanan pada pasien dengan menggunakan kompres air hangat dalam upaya pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah dengan spinal anestesi

3. Bagi penelitian berikutnya diharapkan mengadakan penelitian tentang pemulihan reflek berkemih pada pasien post operasi ekstremitas bawah yaitu dengan pembatasan asupan cairan dan penggunaan obat “short acting”.

DAFTAR PUSTAKA

Akhrita. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan

Kandung Kemih Pasca

Pembedahan dengan Anestesi

Spinal di IRNA B (Bedah Umum ) RSUP Dr M Djamil Padang. Skripsi. Universitas Andalas

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Baldini G, Bagry H, Aprikian A, Carli F. Postoperative urinary retention:

anesthetic and perioperative

considerations. Anesthesiology.

2009;110:1139–57. http; //www. ncbi. nih. gov / pubmed /19352147 Dahlan. (2011). Statistik Untuk

Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta : Salemba

Medika.

Guyton. (2011). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerjemah : Ermita. Singapura : Elsevier.

Gruendermann, Barbara J dan Billie Fernsebner. (2005). Buku Ajar

Keperawatan Perioperatif.

Terjemahan: Brahm U Pendit ... (et.all ). Jakarta : EGC.

Hasmita. (2010). Efektifitas Bladder Training Sitz Bath terhadap Fungsi Eliminasi Berkemih Spontan pada Ibu Post Partum Spontan Di RSUP H. Adam Malik – RSUD Dr. Pirngadi Medan dan RS Jejaring.

Tesis. Medan : Universitas

Sumatera Utara.

Hidayat. (2014). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika

Hidayat & Uliyah. (2008). Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.

(9)

Indarti. (2014). Pemberian Kompres Hangat Terhadap Penurunan Skala

Phlebitis pada Asuhan

Keperawatan Ny. S dengan

Hipertensi di Intensice Care Unit

(ICU) RSUD Sukoharjo.

http://digilib.stikeskusumahusada.a c.id/gdl.php?mod=browse&op=rea d&id=01-gdl-triindarti-614.

Jassim. (2009). Incomplete Emptying Of The Bladder and Retention Of Urine. Trends in Urology Gynaecology & Sexual Health. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/1 0.1002/tre.110/pdf.

Kozier, Barbara., Erb, Glenora., Berman, Audrey., Synder, shirlee. J. (2010). Buku Ajar

Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses, & Praktik. Edisi 7. Volume 1. Alih bahasa Pamilih Eko Karyuni. Jakarta: EGC.

Kusumasari. (2014). Perbedaan Efektivitas Pemberian Kompres

Hangat dan Mobilisasi Dini

Terhadap Pemulihan Kandung

Kemih pada Ibu Post Sectio Caesarea di RSUD Salatiga. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK).

Latief. (2009). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : FKUI. Mangku dan Senapathi. (2009). Buku

Ajar Ilmu Anstesia Dan Reanimasi. Jakarta :

PT. Indeks.

Nursalam. (2006). Asuhan keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem

Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.

Perry, Anne Griffin, et.all, (2005). Buku Saku Ketrampilan &

Prosedur Dasar, Edisi 5. Jakarta : EGC.

Perry & Potter. (2010). Fundamental Keperawatan. Buku 3 Edisi 7. Singapore : Elsevier, jasa Publikasi Salemba Medika.

Pribakti. (2011). Dasar-Dasar Uroginekologi. Jakarta : Sagung Seto.

Syaifuddin. (2011). Fisiologi Tubuh

Manusia Untuk Mahasiswa

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Sjamsuhidajat. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC Uliyah dan Hidayat. (2008). Praktikum

Keterampilan Dasar Praktik Klinik : Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika

Utama. (2010). Anestesi Lokal dan

Regional Untuk Biopsi Kulit.

Referensi

Dokumen terkait

lalu dijaman keraton ini anak panah juga memiliki nama samaran untuk membedakan juga dengan anak panah lainnya sebut saja contoh nama panca , indra dll disisi lain

1 Menerapkan algoritme genetika untuk mengoptimumkan fuzzy decision tree (FDT) sehingga diperoleh genetically optimized fuzzy decision tree (G-DT) pada data diabetes,

Data yang diambil dari Eurodad, sebuah lembaga masyarakat sipil di Eropa yang membidani isu pembiayaan untuk pembangunan, mencatat investasi asing langsung di negara-negara

Terkait dengan kondisi volatilitas yang meningkat di pasar keuangan global, usaha kami di bawah kerangka ABMI untuk mengembangkan efisiensi dan likuiditas pasar

Adapun tahap yang dilakukan dalam interogasi yaitu meberikan beberapa pertanyaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam tindak pidana tersebut, khususnya tersangka,

Fasilitas ini memungkinkan para pengguna internet untuk melakukan pengiriman (upload) atau menyalin (download) sebuah file antara komputer lokal dengan komputer lain yang

(10) Hasil penelitian Hovanec dan DeLong (1996) mengungkapkan bahwa ditemukan beberapa jenis mikroba yang berperan dalam proses nitrifikasi, baik sebagai pengoksidasi amonia

Institut Teknologi Bandung sebagai perguruan tinggi nasional yang memiliki sumber daya dan pengalaman dalam teknologi pembangkit dan rekayasa energi nuklir memiliki kewajiban