• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN LITERATUR. Keadaan banjir informasi atau ledakan informasi (information

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN LITERATUR. Keadaan banjir informasi atau ledakan informasi (information"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN LITERATUR

2.1 Pengawasan Bibliografi

Keadaan ‘banjir informasi’ atau “ledakan informasi” (information

explosion) mengakibatkan melimpahnya informasi dalam bentuk tercetak maupun

tidak tercetak dalam berbagai bidang ilmu. Kemajuan di bidang keilmuan mendorong para akademisi menuliskan hasil penelitiannya atau laporannya atas pengamatan pada objek tertentu. Dengan demikian, mulailah muncul literatur-literatur ilmiah berupa jurnal, buku, dan media ilmiah tercetak lainnya. Keadaan tersebut berpengaruh pada institusi-institusi pengolah informasi yang disebut pusat informasi.

Pusat informasi, sebuah istilah yang mewakili perpustakaan, dan pusat informasi lain, serta penerbit jasa sekunder, memainkan peran yang sangat penting dalam siklus transfer informasi. Lewat kebijakan pengadaan dan penyimpanan, perpustakaan menciptakan suatu arsip permanen berisi hasil-hasil karya berbagai dan suatu koleksi rekaman informasi yang dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya.

Memang tidak ada perpustakaan yang mampu memiliki semua terbitan yang ada. Namun, jika itu hal yang memungkinkan, maka tidak ada satu orang pun yang mampu membaca atau memanfaatkan semua informasi tersebut, bahkan pada bidang sesempit apa pun. Untuk membantu orang mencari dan memilih informasi yang paling sesuai yang dibutuhkannya, maka diperlukan pencatatan

(2)

yang sistematis namun menyeluruh. Tak hanya itu, perpustakaan dan pusat informasi pun turut mencatat dan mengawasi informasi pada literatur-literatur melalui pengatalogan, klasifikasi, pengindeksan, dan prosedur-prosedur lain yang sejenis. Pencatatan ini yang dikenal dengan pengawasan bibliografi. Suatu pengawasan yang tidak dapat dilakukan oleh hanya satu orang. Peran penting ini dimainkan oleh badan atau organisasi yang bergerak di bidang jasa pembuatan indeks dan abstrak dan penerbit bibliografi nasional. Karena itu tiap negara perlu melakukan pencatatan baik tingkat nasional berupa Pengawasan Bibliografi Nasional.

Pengawasan bibliografi ialah usaha pengembangan dan pemeliharaan suatu sistem pencatatan bagi semua bentuk bahan, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan, yang berbentuk bahan tercetak, bahan audiovisual maupun bentuk lain, yang menambah khazanah pengetahuan dan informasi. Ini merupakan terjemahan bebas dari definisi yang disebutkan Library Association pada tahun 1964, dan dikutip oleh Davinson (1981: 7): Istilah “pengawasan” yang dipakai di sini hanya menandai sebuah usaha untuk memastikan semua bahan pustaka dikumpulkan informasinya tanpa ada usaha dalam penyeleksian. Definisi lainnya adalah dari International Encyclopedia of Information and Library Science yaitu, pengawasan bibliografi merupakan hasil cipta, pengembangan, pengorganisasian, pengaturan, dan pemanfaatan dari cantuman-cantuman yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan bahan pustaka apa yang ada di perpustakaan atau pangkalan data, yang kemudian dapat digunakan untuk memfasilitasi

(3)

Menurut Dady Rachmananta dalam makalahnya yang berjudul

Bibliographic Control in Indonesia: Past, Present, and Future, pengawasan bibliografi sangat penting dalam menyediakan layanan pada masyarakat umum, yaitu dengan mendaftarkan bahan pustaka dalam tata cara penulisan sebuah bibliografi sehingga pengguna informasi dapat mengetahui keberadaan bahan pustaka tersebut.

Dalam istilah sederhananya pengawasan bibliografi adalah suatu konsep pendaftaran dokumen tercetak atau dalam bentuk dari pengetahuan terekam lainnya yang menyediakan akses ke informasi yang penting. Atau dengan kata lain, ia merupakan kumpulan dari bibliografi yang kegunaannya tak berhenti sampai di situ saja. Hal ini terkait dengan era informasi, dimana informasi adalah produk utama yang bernilai sehingga menjadi aspek dasar dan fundamental pada ekonomi global. Selain itu, akses terhadap informasi merupakan prasyarat berpartisipasi dalam kancah dunia ekonomi global yang kian kompetitif. Pengawasan bibliografi tingkat nasional dibutuhkan untuk mengidentifikasi informasi terekam pada berbagai jenis bahan dan terdapat pada media apapun serta menyediakan akses ke informasi tersebut.

Pengawasan ini perlu agar informasi rekam dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kemajuan segala bidang, bidang sains dan teknologi, ilmu sosial, humaniora, maupun semua aspek kehidupan sehari-hari, sangat bergantung dari adanya sumber ilmu pengetahuan dan informasi yang dikelola dengan baik sehingga dapat diakses dengan mudah dan cepat apabila diperlukan. Tujuan

(4)

pengawasan bibliografi tercapai lewat organisasi bibliografi atau organisasi informasi.

Hasil dari organisasi informasi adalah berbagai sarana temu kembali informasi (information retrieval tools) atau juga disebut sarana bibliografi (bibliographic tools). Di lingkungan perpustakaan, sarana ini dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis sarana, yaitu bibliografi, indeks, dan katalog. Pada skripsi ini, pembahasan hanya dikhususkan mengenai bibliografi, maka selanjutnya sarana bibliografi lainnya tidak dibahas.

2.2 Pengawasan Bibliografi di Indonesia

Pengawasan bibliografi secara nasional di Indonesia tidak terlepas dari upaya Indonesia untuk turut serta mewujudkan Universal Bibliographic Control (UBC). UBC adalah sebuah konsep pengawasan bibliografi secara internasional yang lahir pada konferensi yang diadakan pada tahun 1977 oleh IFLA (International Federation of Library Associations). UBC merupakan gagasan dari IFLA yang didukung sepenuhnya oleh UNESCO (United Nations for Educations,

Scientific and Cultural Organisation) yaitu salah satu organisasi bawahan Perserikatan Bangsa Bangsa yang membidangi masalah pendidikan, keilmuan dan budaya. Tujuan dari UBC adalah terwujudnya pertukaran data bibliografi nasional antar negara yang dihimpun oleh agen bibliografi nasional di negara tersebut, dengan maksud agar tidak terjadi duplikasi pencatatan bibliografis.

(5)

bersangkutan, biasanya adalah Perpustakaan Nasional dari negara yang bersangkutan. Pusat deposit ini bertugas mencatat setiap terbitan yang dikeluarkan di negaranya sesuai dengan standar deskripsi bibliografi internasional yang disepakati, kemudian menerbitkannya dalam bentuk bibliografi nasional yang terbit secara teratur. Dalam rangka terwujudnya pengawasan bibliografi nasional, perlu adanya Undang-undang Deposit, yaitu undang-undang yang mewajibkan setiap penerbit untuk menyerahkan satu atau lebih karya terbitannya kepada badan/lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai pusat deposit.9

Di Indonesia, lembaga yang paling bertanggung jawab dalam hal pengawasan bibliografi adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Dalam melaksanakan tugasnya, PNRI didukung Undang-undang RI No. 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Undang-undang ini seringkali disebut sebagai Undang-Undang-undang Deposit yang berlaku di Indonesia. Melalui undang-undang tersebut setiap penerbit diwajibkan menyerahkan dua kopi dari setiap bahan (buku) yang diterbitkannya ke PNRI sebagai koleksi nasional. Pelaksanaan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 70/1991.

Dari hasil serah simpan itulah PNRI dapat memantau dan kemudian mencatat seluruh buku atau bahan lainnya yang terbit di Indonesia. Pencatatan dilakukan dan diterbitkan dalam bentuk Bibliografi Nasional Indonesia (BNI),

Katalog Dalam Terbitan (KDT), dan Daftar Karya Cetak dan Karya Rekam

Indonesia.

9

Tan, Chek Neng. "The Prospect for UBC in Sotheast Asia" Libri 29 (4) 1979 yang dikutip oleh Prasetiawan, Imam Budi (2005)

(6)

Dalam hal bibliografi, pendapat Malcles yang dikutip oleh Imam Budi Prasetiawan (2005) mengatakan bahwa bibliografi nasional merupakan sumber resmi untuk statistik produksi buku dan sumber informasi untuk penelitian bagi setiap orang yang ingin mengikuti arus terbitan, baik untuk tujuan perdagangan maupun tujuan ilmiah.

Meskipun negara-negara asing banyak yang melakukan pengawasan bibliografi terbitan Indonesia, masih ada badan atau lembaga dalam negeri yang melakukan pengawasan bibliografi terbitan Indonesia.

Badan atau lembaga dalam negeri yang melaksanakan pengawasan bibliografi di Indonesia adalah :

1. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (sejak 1980), sedangkan sebelumnya adalah Kantor Bibliografi Nasional (sejak 1953). Pengawasan bibliografi yang dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional terutama adalah monograf, yaitu dengan menerbitkan Bibliografi Nasional Indonesia yang terbit tiga bulan sekali.

2. PT. Gunung Agung, melalui seksi bibliografinya telah menyelesaikan suatu bibliografi retrospektif (1945-1954) namun tidak diterbitkan. Kemudian pada tahun 1966 kegiatan pencatatan bibliografi diserahkan pada Yayasan Idayu yang kemudian menerbitkan Berita Bibliografi setiap bulan (sejak 1955). Pencatatan yang dilakukan Yayasan Idayu menekankan bentuk monograf.

3. PDIN-LIPI ( Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional - Lembaga Ilmu Pengetahuan

(7)

Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI) juga berjasa ikut melaksanakan pengawasan bibliografi terutama untuk pengawasan:

• Indeks Artikel Majalah Ilmiah,

dengan menerbitkan Indeks Majalah Ilmiah (Index of Indonesian Learned

Periodicals) pada tahun 1960, awalnya terbit setiap tahun tapi sejak tahun 1975 terbit dua tahun sekali.

• Laporan Penelitian,

dengan menerbitkan indeks retrospektif yang terdiri dari dua jilid, yaitu : - Indeks Laporan Penelitian dan Survei Jilid I. 1950 – 1977

Berisi terbitan dari badan internasional mengenai Indonesia, lembaga nondepartemen dan perguruan tinggi.

- Jilid II. 1950– 1977. Merupakan daftar terbitan laporan penelitian dan survei yang

dihasilkan oleh departemen - departemen dan badan- badan yang berada di bawah lingkungan departemen. Sejak 1978, Majalah Indeks ini terbit setahun sekali.

• Disertasi.

dengan menerbitkan Katalog Induk Disertasi Indonesia (KIDI).Terbitan pertama entri yang berhasil dikumpulkan 1.449 buah. Suplemen – suplemen KIDI dari waktu ke waktu akan terus diterbitkan untuk melaporkan perkembangan baru.

Sejarah perkembangan Bibliografi Nasional Indonesia 1. Masa awal 1953 - 1967

(8)

Bibliografi Nasional Indonesia (selanjutnya disebut BNI) sebagai instrumen pengawasan bibliografi terbitan Indonesia berperan sangat penting. BNI terbit pertama kali pada tahun 1953 dengan judul Berita Bulanan dan diterbitkan oleh Kantor Bibliografi Nasional.

Untuk menelusuri sejarah BNI, tentu tidak lepas dari sejarah badan yang menerbitkannya. Diawali dengan suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh

UNESCO Research Library and Bibliographical Development di Jakarta yang kemudian menyarankan kepada menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan ( PP & K) agar dibentuk Kantor Bibliografi Nasional. Pada tanggal 1 Januari 1953 Kantor Bibliografi Nasional (selanjutnya disingkat KBN) didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri PP dan K no. 46860/Kab tanggal 19 Desember 1952 berkedudukan di Bandung. Kemudian pada tahun 1954 KBN dimasukkan dalam Biro Perpustakaan demi efisiensi kerja dan pengelompokan kembali badan-badan yang bekerja dalam bidang yang sama di bawah lingkungan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, dan setelah re-organisasi KBN pindah dari Bandung ke Jakarta. Sejak tahun 1963, Berita Bulanan terbit dengan judul Bibliografi Nasional Indonesia.

Manfaat dari diterbitkannya BNI, terinci di dalam halaman pendahuluan dari setiap terbitan BNI, sebagai berikut

1. Mendaftarkan secara lengkap dan sistematis semua bahan pustaka yang diterbitkan di Indonesia;

(9)

3. Membantu perpustakaan-perpustakaan dalam bidang pengolahan bahan pustaka, katalogisasi dan klasifikasi, menjamin keseragaman.

4. Memberikan informasi bibliografi guna studi dan riset.

5. Memberikan data statistik tentang dunia penerbitan di Indonesia. 6. Sebagai alat referens yang penting dalam pelayanan.

7. Sebagai sarana tukar menukar informasi bibliografi dengan luar negeri

Pada tahun 1967 KBN turun statusnya dan menjadi subbagian dari Pembinaan dan Pengawasan Perpustakaan Sekolah dan Umum, Biro Perpustakaan dan Pembinaan Buku. Dengan terbentuknya Lembaga Perpustakaan pada tanggal 6 Desember 1967 dengan S.K. No. 059/1967 maka status KBN lebih sesuai dengan fungsinya.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa sepanjang tahun 1953 - 1967, BNI telah berganti penerbit sebanyak dua kali, yaitu :

1. 1953 - 1963 BNI diterbitkan oleh Kantor Bibliografi Nasional, dengan judul

Berita Bulanan.

2. 1963 - 1967 BNI diterbitkan oleh Biro Perpustakaan dengan judul Bibliografi Nasional Indonesia.

2. Masa 1967 - 1980

Lembaga Perpustakaan mengalami perubahan dalam struktur organisasinya pada tahun 1968. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PP & K No. 066/1968, KBN merupakan bagian dari lembaga ini. Menurut Surat Keputusan Menteri P & K no. 079/0/th. 1975 yang mengatur tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada bab IX.

(10)

Lembaga Perpustakaan berubah nama menjadi Pusat Pembinaan Perpustakaan. Demikian halnya dengan bagian Bibliografi Nasional berubah menjadi bidang Bibliografi dan Deposit.

Jadi sepanjang tahun 1968 - 1980 BNI telah berganti penerbit sebanyak dua kali, yaitu :

1. 1968 - 1975 BNI diterbitkan oleh Lembaga Perpustakaan

2. 1975 - 1980 BNI diterbitkan oleh Pusat Pembinaan Perpustakaan 3. Masa 1980 - sekarang

Dengan berdasarkan Surat Keputusan Menteri No 0164/0/1980 tanggal 17 Mei 1980, Perpustakaan Nasional RI didirikan, bidang bibliografi dan deposit Pusat Pembinaan Perpustakaan diintegrasikan ke dalam wadah Perpustakaaan Nasional RI. Sejak saat itu Bibliografi Nasional Indonesia sampai sekarang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI.

Dengan didirikannya Perpustakaan Nasional, Bibliografi Nasional memiliki wadahnya yang tepat dan tetap, sesuai dengan tugas, fungsi serta peranannya. Perpustakaan Nasional dengan Bibliografi Nasional Indonesianya, bukanlah satu-satunya badan yang melaksanakan pengawasan bibliografi di Indonesia. Namun ada juga sebuah yayasan swasta nasional yang bergerak di bidang pencatatan data bibliografi, yaitu Yayasan Idayu yang turut berperan serta dalam melaksanakan fungsi pengawasan bibliografi di Indonesia. Yayasan yang berkantor di Gedung Kebangkitan Nasional pada April 1974 ini juga melakukan berbagai kegiatan seperti antara lain perpustakaan, mengumpulkan koleksi

(11)

buku-buku tentang Indonesia, tokoh-tokoh terkemuka Indonesia, koleksi foto, filateli, mikrofilm dan penerbitan.

2.3 Perkembangan Buku Islam

Buku Islam (Kitab) adalah istilah yang digunakan pada buku-buku yang membahas Islam, baik dari segi agama, budaya, literatur, dan sebagainya yang dimanapun itu berada. Pada dunia Islam, perkembangan penulisan dan penerbitan buku sudah dimulai sejak masa-masa awal perkembangan Islam itu sendiri. Pederson (1996: 13) mengungkapkan bahwa berdasarkan ekspedisi Neihbur ditemukan fakta bahwa sebenarnya catatan tertulis sudah ada sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, tetapi perkembangan buku di dunia Arab sebenarnya berakar dari Islam.

Perkembangan buku di dunia Islam berawal dengan penulisan Al-Qur’an yang sudah dimulai sejak zaman Rasulullah (Hakim, 2006: 152), meskipun masih dalam bentuk lembaran atau catatan-catatan lepas (Sunanto, 2003: 23). Selanjutnya kodifikasi Al-Qur’an dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar (632-634 H). Utsman bin Affan (644-656 H), dan dalam sepanjang sejarah Islam selanjutnya pengajaran Al-Qur’an secara lisan tetap dilaksanakan tetapi tetap dibarengi dengan upaya penulisannya. Berdasarkan kenyataan inilah maka Pederson (1996: 31) berpendapat bahwa literatur dan kesusasteraan Arab dimulai dengan lembaran-lembaran suci tersebut.

Perkembangan ilmu fiqh pada tahap berikutnya menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan buku di dunia Islam. Selain itu, dikembangkan pula ilmu-ilmu lain seperti nahwu (tata bahasa Arab), yang dasar-dasarnya dibangun

(12)

oleh Ali bin Abi Thalib dan kemudian disempurnakan oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali (Sunanto, 2003: 30).

Peradaban Islam mencapai puncak keemasan pada zaman Dinasti Abbasiyah (750 M). Kekhalifahan menaruh perhatian sangat besar pada pengembangan Islam. Puncak periode ini sekitar 500 disiplin ilmu pengetahuan menarik perhatian umat Islam. Selanjutnya, terjadilah upaya-upaya menerjemahkan dan menyerap pengetahuan dari peradaban lain, seperti Peradaban Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Dalam waktu singkat, buku-buku dalam bahasa-bahasa yang berkembang pada peradaban-peradaban di atas diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Prioritas penerjemahan pada waktu itu ditekankan pada subjek-subjek yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan praktis, seperti pengobatan, matematika, dan astronomi yang diperlukan dalam praktek keagamaan. Setelah menerjemahkan, dimulailah proses selanjutnya yaitu menyaring, menganalisis, serta akhirnya menerima atau menolak pengetahuan tersebut. Hal ini dilakukan agar perkembangan pengetahuan selalu sejalan dalam koridor Islam. Dengan kegiatan penerjemahan ini maka dalam kurun dua abad, harta karun klasik yaitu berbagai literatur yang lengkap telah tersedia dalam bahasa Arab, meliputi pengetahuan Yunani dan sumbangan Helenistik. Pada gilirannya literatur-literatur tersebut mampu memenuhi kebutuhan intelektual bagi peradaban baru, sehingga Islam berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa dalam bidang intelektual, seni, dan ilmu pengetahuan pada masa antara tahun 800 hingga 1600 M. Bahkan pada abad ke-12 peradaban Islam telah sangat maju

(13)

universitas besar dan beberapa kota seperti Damaskus, Kordoba, Bagdad, dan Kairo dijadikan pusat budaya dan perdagangan (Turner, 2004: 38 dan 41). Pada saat inilah buku merupakan media utama dalam menyampaikan gagasan para ilmuwan Islam. Pada mulanya buku dibuat dari kertas perkamen dan lontar yaitu pada abad ke-8 M. Kemudian, umat Islam mendapatkan seni membuat kertas melalui bangsa Cina dan memproduksinya (Pollard: 1993). Menjelang akhir abad ke-9 kertas telah menjadi media standar yang bermanfaat untuk komunikasi tertulis bahkan untuk pembungkus barang-barang belanjaan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan produksi kertas memunculkan profesi baru dalam khazanah Islam. Profesi tersebut dinamakan warraq. Warraq adalah penyalin naskah atau buku. Mereka menyalin naskah dengan cepat dan akurat. Industri penerbitan buku dipelopori oleh warraq. Mereka bekerja dalam sebuah sistem kerja sama yang saling menguntungkan antara para penulis dengan pihak penerbit. Seorang penulis yang ingin menerbitkan bukunya akan menghubungi satu atau dua orang warraq . Buku terebut akan dipublikasikan di masjid atau sebuah toko buku terkemuka tempat penulisnya mendiktekan bukunya pada hari dan waktu yang telah ditentukan. Pembacaan itu akan membutuhkan waktu selama berbulan-bulan. Selama itu, warraq yang telah ditunjuk akan selalu hadir. Pada saat buku tersebut selesai, naskah dalam tulisan tangan diserahkan kepada sang penulis untuk diperiksa dan diperbaiki. Buku tersebut bisa beredar di masyarakat hanya bila telah mendapat izin final dari pengarangnya, dan bebas disalin dari naskah aslinya. Pengarang, menurut perjanjiannya dengan warraq, akan menerima royalti. Industri penerbitan yang mendominasi wilayah

(14)

kekhalifahan Muslim, mulai abad ke-8 sampai dengan abad ke-15. Hingga pada puncaknya, dalam setahun terbit puluhan ribu buku (Sardar, 2001: 78-83).

Dari uraian di atas jelas bahwa kegiatan tulis menulis dan penerbitan buku memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah Islam, bahkan menurut Pederson (1996: 57) selain di dunia Islam jarang ada suatu kebudayaan dimana kegiatan tulis-menulis memiliki peran yang sangat penting. Menurut Pederson (1996: 34) pada waktu itu kegiatan pencatatan atas literatur-literatur yang berkembang juga telah mulai dilakukan, misalnya upaya yang dilakukan Ibnu Nadim. Pada tahun 987 H beliau telah mengadakan penelitian seputar literatur-literatur tersebut dan menghasilkan sebuah karya yang berjudul Fihrist (indeks). Hal tersebut merupakan upaya untuk melestarikan kekayaan intelektual yang telah dicapai umat Islam.

Penerbit, sebagaimana definisinya tercantum pada Harrods Librarian’s

Glossary and Reference Book, adalah orang, firma atau badan korporasi yang bertanggung jawab dalam menempatkan buku di pasaran, hal inilah yang membedakannya dengan percetakan. Penerbit dan percetakan mengkin mempunyai persamaan arti, Namur dalam perbukuan modern biasanya tidak. Firma yang menangani penerbitan Kadang-kadang disebut sebagai publishing

house atau publishing firm.

Dalam pengertian yang sederhana, seperti yang tecantum pada Oxford

Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1995: 937), penerbit adalah seseorang atau perusahaan yang menerbitkan buku, surat kabar, majalah, dan lain

(15)

sebagainya, maka siapapun atau organisasi manapun sepanjang ia menerbitkan suatu penerbitan maka layak disebut sebagai penerbit bagaimanapun kondisinya.

Pada The New Book of Knowledge (1997: 523), usaha penerbitan adalah bisnis yang menyediakan kata-kata tercetak bagi masyarakat dalam bentuk buku, majalah, maupun surat kabar yang merupakan tiga bentuk dasar penerbitan, dan bisnis penerbitan ini melibatkan ribuan orang baik sebagai penulis, editor, dan lain sebagainya, Penerbit berbeda dengan percetakan, meskipun terkadang terjadi dimana penerbit adalah juga percetakan, tetapi dalam dunia buku modern tidaklah selalu demikian.

Menurut jenisnya ada beberapa macam penerbit seperti yang diuraikan dalam The New Book of Knowledge (1997: 523), di antaranya adalah: a) trade

book publishing, yang biasanya menrbitkan buku-buku fiksi, biografi, sejarah, puisi, buku anak-anak, dll., b) textbook publishing, yang biasanya menerbitkan buku-buku pelajaran yang diperlukan bagi sekolah-sekolah, dan bekerjasama dengan para ahli pendidikan guna menetapkan standar buku mereka c) scientific

and technical publishing, biasanya menyediakan informasi tentang berbagai perkembangan baru dalam bidang ilmiah dan teknik serta secara umum dibantu oleh seseorang dengan latar belakang ilmiah dan teknik, d) university press, yaitu

publishing house yang berada dalam naungan universitas, biasanya menerbitkan karya akademik, buku teks untuk universitas, dan memperdagangkan buku-buku yang dirasa memiliki nilai khusus.

(16)

2.3.1 Perkembangan Penerbitan Buku Islam di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Tak hanya itu, bahkan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Data Departemen Agama10 menyebutkan bahwa pada tahun 2005, jumlah umat Islam Indonesia mencapai 182.083.594 juta jiwa. Sedangkan pada sebuah website yang menunjukkan total populasi muslim seluruh dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2006 penduduk muslim Indonesia berjumlah 195.272 (dalam ribuan) juta jiwa.Jumlah inilah menunjukkan Indonesia memiliki penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, yaitu bila dibandingkan dengan negara lain berpenduduk mayoritas muslim seperti Pakistan (157.528, dalam ribuan, juta jiwa), India (154.504, dalam ribuan, juta jiwa), serta Bangladesh (127.3286, dalam ribuan, juta jiwa).11

Di Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini jumlah penerbit telah cukup banyak. Sebagian penerbit tersebut bergelut dalam penerbitan buku-buku umum, dan sebagian lain berkonsentrasi pada jenis penerbitan tersebut seperti buku-buku teks sekolah, ensiklopedi, atau buku-buku keagamaan saja, misalnya buku-buku Islam.

Penerbitan Islam adalah pencetakan dan peredaran buku-buku oleh kaum muslim yang bertemakan Islam. Penerbitan Islam berkembang pada Abad Pertengahan hingga akhir abad kesembilanbelas. Dari permulaan yang sederhana, penerbitan Islam tumbuh dan kemudian membanjiri dunia penerbitan di Timur

(17)

Tengah. Pencetakan dan peredaran buku-buku ini sendiri merupakan salah satu jenis usaha yang terlambat perkembangannya di dunia Islam. Salah satu alasannya adalah keberatan para penguasa dan ulama terhadap hal ini. Ibrahim Muteferrika, seorang pelopor usaha percetakan dan penerbitan buku di Timur Tengah, menghabiskan waktu lebih dari satu dekade untuk meyakinkan penguasa Dinasti Utsmani dan para ulama bahwa usaha ini bukanlah sesuatu yang membahayakan bagi kebudayaan dan peradaban Islam. Ibrahim menegaskan bahwa Dinasti Usmani dan kaum muslim pada umumnya akan memperoleh banyak manfaat dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan buku-buku mengenai keislaman ini. Dalam pembelaannya terhadap usaha pencetakan dan peredaran buku-buku Islam, Ibrahim Muteferrika menyatakan bahwa kaum Muslim lebih unggul dibanding kaum Nasrani dan Yahudi dalam memelihara kitab suci, tetapi tidak dalam hal pemeliharaan buku-buku. Banyak buku karangan ilmuan muslim yang musnah akibat invasi bangsa Mongol dan terusirnya kaum muslim dari Spanyol. Ia juga menekankan manfaatnya bagi kaum muslim: harga buku lebih murah dan buku lebih cepat tersebar, sehingga lebih banyak dibaca dan dipelajari oleh kaum muslim.(Esposito, 2001: 302-306)

Kondisi penerbitan di Indonesia banyak diwarnai oleh penerbitan yang bernuansa keagamaan terutama agama Islam. Berdasarkan data yang diperoleh dari IKAPI diketahui bahwa hingga tahun 2008 jumlah anggota IKAPI adalah 691 penerbit. Dari jumlah tersebut 137 penerbit di antaranya adalah penerbit yang terbitan utamanya adalah buku-buku keagamaan. Penerbit buku agama (umum) berjumlah 36 penerbit, penerbit buku agama Islam berjumlah 86, penerbit buku

(18)

agama Kristen/Katolik berjumlah 11, dan penerbit buku agama Hindu/Budha berjumlah 4 penerbit. Geliat perkembangan buku-buku Islam di Indonesia dalam dua puluh lima tahun terakhir dapat dilihat dari uraian historis di bawah ini: A. Penerbitan Buku Islam Indonesia 1950-1969

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Maka wajar saja apabila kegiatan perbukuan di Indonesia banyak diwarnai oleh penerbitan bernuansa ke-Islaman. Di Indonesia penerbitan buku-buku Islam sebenarnya telah tumbuh dan berkembang sejak lama. Pada tahun 1949 misalnya telah lahir Penerbit Ma’arif dengan terbitan utama Al-Qur’an. Kemudian pada tahun 1951 Abdul Manaf Zamzami yang lebih dikenal sebagai Amelz mendirikan penerbit Bulan Bintang, dengan buku pertama berjudul

Islam dan Sosialisme karya HOS. Cokroaminoto. Selanjutnya Bulan Bintang banyak menerbitkan buku-buku terjemahan dan karya-karya tokoh Islam nasional seperti Hasbi As-Shiddieqy, A. Hasjmy, Hamka, Syafruddin Prawiranegara, dll. Dalam perjalanannya, Bulan Bintang menjadi penerbit Islam paling penting pada periode 1960-an hingga 1970-an.

B. Penerbitan Buku Islam Indonesia 1970-1989

Pada akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an kita dapat menyaksikan suatu gelombang baru pergerakan dinamis pemuda Islam di Indonesia.12 Hal ini dapat terlihat pada kalangan mahasiswa muslim Indonesia terutama di Jakarta. Masjid-masjid di dalam maupun di sekitar kampus semarak oleh kegiatan

(19)

keislaman seperti Masjid Salman (ITB), Arief Rahman Hakim (UI), Al-Ghifari (IPB), dan Jama’ah Shalahudin (UGM). Aktivitas keislaman yang mereka lakukan tidak hanya sebatas ritual seperti sholat dan membaca Al-Qur’an. Lebih dari itu mereka juga mengembangkan aktivitas sosial dan dan intelektual, mahasiswa-mahasiswa muslim ini banyak mempelajari Islam dengan cara berbeda dengan para pendahulunya. Mereka banyak mengkaji berbagai jenis buku pemikiran Islam dari negara-negara Islam lain seperti Mesir, Iran, Arab Saudi, dan negara lainnya. Pada era ini, H.A. Malik Fadjar13 mengatakan bahwa kampus dan kelompok terpelajar Muslim sudah banyak berkenalan dengan pemiliran Maududi, Maryam Jameelah, Hasan Al Banna, Shariati, dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan mengakses ilmu dari pemikir-pemikir Islam tersebut sangatlah sulit dilakukan bila tidak ada usaha penerjemahan terhadap karya-karya mereka. Maka pada saat inilah muncul beberapa penerbit buku Islam. Penerbit-penerbit ini menawarkan karya-karya terjemahan buku-buku pemikiran Islam dari berbagai tokoh di dunia Islam. Karena para pemikir tersebut memiliki metodologi serta visi keilmuan yang beranekaragam, maka muncullah dinamika intelektual yang positif di kalangan pemuda Islam Indonesia. Selanjutnya, hadirnya penerbit-penerbit buku Islam ini berperan sebagai stimulus pergerakan pemuda Islam Indonesia. Serta buku-buku Islam yang telah diterbitkan menjadi bahan rujukan kaum intelektual muda Islam saat itu hingga kini.

(20)

Azyumardi Azra memaparkan gejala yang tampak jelas terjadinya pertumbuhan literatur Islam justru di awal 1980-an. Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta ini memaparkan bahwa perkembangan yang terjadi tidak lepas dari pengaruh revolusi Iran tahun 1979 yang menimbulkan perhatian dan minat masyarakat terhadap Syiah dan cendekiawan Syiah, seperti Ali Syariati dan Syekh Syaid Nasir. Dari minat kepada kedua cendekia tersebut selanjutnya merambah kepada para pemikir Islam yang lainnya. Sementara kegairahan tengah berlangsung, di saat yang bersamaan kegairahan terhadap suasana keislaman pun tengah tumbuh subur di negeri ini. Suasana inilah yang mendorong lahirnya penerbit-penerbit buku Islam. Di antara sekian banyak penerbit Islam yang ada di Indonesia, empat di antaranya lahir dari nuansa keislaman di kampus-kampus yaitu Pustaka Salman (1980), Shalahudin Press (1983), Mizan (1983), dan Gema Insani Press (1986).

Dari keempat penerbit tersebut yang kemudian berkembang menjadi besar hingga sekarang adalah Mizan dan Gema Insani Press. Bahkan kedua penerbit ini hingga kini merupakan dua penerbit Islam terbesar di Indonesia. Sementara Shalahuddin Press yang diprakarsai oleh para mahasiswa UGM yang sangat aktif dan dinamis, telah berhenti menerbitkan buku pada tahun 1988-1989 diperkirakan akibat masalah manajerial7. Selain itu, Pustaka Salman yang telah menerjemahkan berbagai karya penting Fazlur Rahman (tokoh neomodernis Islam asal Pakistan), dan karya Edward Said seperti ”Orientalisme”, kondisinya telah merosot sejak

(21)

Buku-buku seperti pemikiran dan politik Islam, ekonomi Islam, seni dan budaya Islam, filsafat Islam, dan sebagainya sudah banyak terbit dan beredar di masyarakat. Mizan adalah satu contoh dari penerbit yang memiliki ciri khas dalam penerbitan mengenai pemikiran-pemikiran dalam Islam tersebut. Di samping itu, juga terjadi kemajuan dalam hal penyajian informasinya maupun artistiknya. Beberapa penulis yang muncul pada tahun-tahun tersebut di antaranya adalah Amien Rais, Nurcholish Madjid, A.M. Saefuddin, Jalaluddin Rakhmat, Kuntowijoyo, Harun Nasution, M. Dawam Raharjo, M. Quraish Shihab, dan lain-lain. (Maryam, 2006: 59-71).

C. Penerbitan Buku Islam Indonesia 1990-2000

Tradisi keilmuan Islam ini terus bergulir seiring dengan perjalanan waktu. Penerbitan buku Islam terus mengalami peningkatan pada tahun 1990-an. Bahkan makin marak pada awal tahun 2000. Penerbitan buku Islam di Indonesia telah berkembang baik dari sisi kuantitas dan kualitas isi dari pengetahuan sesuai konteks tersebut sejak tahun 1998. Buku terjemahan dalam konteks Islam seperti

Marx tentang agama, karya Karen Amstrong mengenai Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, buku-buku tentang sufisme dan lainnya melaju sesuai dengan publikasi dari pengembangan originalitas buku-buku Islam seperti Negara

Tuhan: A thematic Encyclopedia oleh A.Maftuh Abegebriel, Sufism in Java: The

role of the pesantren in the maintenance of Sufis in Java oleh Zulkifli. Judul-judul buku tersebut mengekspresikan isi pada tiap karya yang mencoba meraih pengembangan pengetahuan Islam seperti Sufisme atau Tassawuf. Bidang ilmu

(22)

dalam Islam ini pernah dilarang untuk diperbincangkan di depan publik sebelum tahun 1998 sampai pada pergantian rezim kekuasaan pemerintahan (Lawanda, 2006).

Keadaan ini amat berbeda dibandingkan pada jaman Orde Baru, ketika para pemikir dan aktivis Islam terpaksa diam-diam menerbitkan buku mereka. Dalam ulasan tentang perbukuan Islam di Indonesia, Peeters (1998) menyatakan, yang dikutip Pendit (2007), bahwa sejak 1980-an sebenarnya sudah ada upaya dari para intelektual yang baru pulang dari belajar di Timur Tengah untuk menerjemahkan karya-karya penulis Islam bagi kepentingan dakwah. Penerbit Ishlahy yang didirikan oleh Abdi Sumaithi (kini dikenal dengan sebutan Abu Ridho), seorang aktivis dakwah Islam, menerbitkan karya-karya Hasan Al Banna, Musthafa Masyhur, dan Sa’id Hawwa. Karya Sayyid Quthb, Ma’alim fit Thariq diterjemahkan sebagai Petunjuk Jalan oleh Rahman Zainuddin dan diterbitkan oleh Media Dakwah. Banyak dari buku ini kemudian masuk ke kampus dan menjadi buku bacaan inti dari para pendakwah yang berbasis di kampus.

Ketika pemerintahan Orde Baru menganggap gerakan-gerakan dakwah ini mengganggu ketertiban, penerbitan buku-buku Islam sempat terganggu dan oplah mereka pun terbatasi. Ketika Orde Baru tumbang, penerbit-penerbit buku Islam bermunculan kembali. Salah satu yang sukses dan bertahan sejak dulu adalah Penerbit Mizan dari Bandung.

Analisa mengenai perbukuan Islam Indonesia yang terkait dengan kondisi politik, sosial budaya dan ekonomi dengan dapat dilihat dari hal-hal di bawah ini:

(23)

Pertama, Era Reformasi juga menyentuh bidang informasi yang terlihat pada konteks kekuasaan penyelenggara negara. Pemerintahan pasca reformasi di Indonesia didominasi oleh para alim ulama (Kyai/Mullah), cendikiawan Muslim dan kelompok penganut demokrasi. Tampuk kekuasaan demikian mengubah pendekatan pemerintah dalam mendidik masyarakatnya. Dengan demikian, tingkat pendidikan semakin maju dan masyarakat semakin sadar kebutuhannya akan ilmu di era informasi kini. Tak hanya itu, situasi ini dapat ditunjukkan dengan adanya kebebasan dalam pengembangan serta akses ke sumber pengetahuan Islam. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya terbitan yang terkait dengan ataupun mengenai Islam telah diterbitkan sejak Era Reformasi dan pada saat itulah menjadi masa berkembangnya penerbitan buku Islam.

Kedua, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam semakin meningkat dalam hal kesadaran beragama. Masyarakat Muslim Indonesia mulai menunjukkan minat mereka untuk membaca buku-buku agama. Hal ini dikarenakan orang Indonesia ingin menemukan akar budayanya, yaitu Islam. Sejak dulu mereka beragama Islam tetapi belum sempat mendalaminya.14 Bukan saja buku-buku agama yang memuat petunjuk dan ajaran agama, tetapi segala macam buku yang berkaitan dengan Islam pun mulai mendapat tempat di pasaran. Kebebasan dalam menerbitkan buku dengan segala jenis isi ini ikut dipromosikan pula oleh majalah-majalah khusus Islam yang dapat mengalahkan kepopuleran majalah umum. Contohnya adalah majalah Sabili sebuah majalah yang diterbitkan pada tahun 1989 tetapi diberangus di masa Orde Baru, namun pada tahun

(24)

2000 bisa mencapai oplah 120.000 menyaingi majalah Tempo atau majalah populer Gadis. (Damanik: 2002)

Ketiga, penerjemahan buku-buku Islam menjadi kegiatan yang semarak dan digemari hasilnya oleh pembaca. Buku-buku Islam terjemahan menjadi populer dikarenakan pada masa Orde Baru masyarakat tidak dapat leluasa menuruti selera intelektualnya. Atas dasar itu, banyak penerbit memanfaatkan kesempatan ini menerbitkan buku-buku terjemahan. Hal ini dimaksudkan tidak hanya sebagai lahan bisnis yang menguntungkan, buku juga dianggap sebagai jembatan untuk mengetahui informasi atau perkembangan Islam di negara-negara lain. Buku-buku terjemahan yang dipasarkan di Indonesia sebagian besar berasal dari negeri-negeri Arab juga dari akademisi atau orientalis Barat. Tak hanya itu, ternyata buku-buku terjemahan juga menyemai lahirnya buku-buku Islam yang ditulis asli dalam bahasa Indonesia oleh para akademisi dan penulis di Indonesia. Kemudian pada akhirnya buku Islam menjadi media atas kebebasan belajar ilmu-ilmu Islam baik dalam format buku tercetak maupun format elektronik yang dikenal dengan sebutan electronic book atau e-book. (Lawanda: 2006)

2.4 Buku Islam pada Bibliografi Nasional Indonesia

Terbitan yang didaftar ke dalam Bibliografi Nasional Indonesia adalah buku, laporan penelitian, buku teks, bacaan anak-anak, terbitan pemerintah (pusat maupun daerah), risalah konferensi, terbitan berkala, dan peta, yang tidak dimasukkan adalah komik, poster, majalah hiburan dan karya lain yang tidak atau kurang memiliki nilai informasi atau sejarah. Semua publikasi tersebut diperoleh

(25)

dari hasil Undang Undang RI No. 4 tahun 1990, program hadiah, pembelian, dan tukar-menukar.

BNI mencatat cantuman informasi buku-buku yang terbit di Indonesia dan didaftarkan oleh penerbitnya dari seluruh subjek. Subjek-subjek buku tersebut didasarkan pada sistem klasifikasi yang digunakan ialah Dewey Decimal Classification, edisi ke 21. Selain itu, dipakai juga Perluasan dan Penyesuaian Notasi untuk beberapa bagian dalam Dewey Decimal Classification yang khusus berkaitan dengan Indonesia. 15

Penambahan jumlah penerbit Islam tentu berbanding lurus dengan pertambahan produksi buku-buku Islam, baik buku-buku terjemahan maupun karya-karya asli penulis Indonesia. Kemunculan buku-buku Islam tersebut semakin memperkaya khazanah intelektual muslim khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Khazanah tersebut seharusnya terekam dan terkontrol secara baik melalui pengawasan bibliografi.

Dengan demikian, BNI juga meliputi pencatatan atau pengawasan bibliografi buku Islam yang terbit di Indonesia. Hal ini dikarenakan buku-buku Islam adalah produk budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Beban yang akan dihubungkan ke sekunder trafo arus menentukan daya aktif dan reaktif di terminal sekunder yang berhubungan dengan burden trafo arus, nilai VA dari tiap beban

Pada pembaharuan-pembaharuan, perluasan atau prubahan-perubahan sebagian banguna-bangunan yang telah ada seperti dimaksud ayat (2) Pasal ini yang harus dikerjakan dengan

Hasil orientasi dari ketiga dosis menunjukkan yang paling efektif menimbulkan efek tonik yaitu royal jelly 7 mg (p<0,05) dengan kontrol negatif aquadest 0,5 mL, peningkatan

NAMA PEGAWAI N.I.P / N.R.K STAPEG/KOJAB/GOL STW JUAN JIWA GAPOK TUNRI TUNAK T.J.U T.P.P PENGHASILAN TUNJAB TUNFUNG BULAT TUNRAS TUNPPH JUMKOT POTONGAN POTRAS IURAN WAJIB POTPPH

Penyimpangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Perusahaan Jasa Konstruksi Asing dan/atau perwakilannya serta pelanggaran semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan

Ida Bagus Antariksa, selaku Kepala Sekolah SD Tarsisius II, , yang telah dengan baik hati memberikan waktu dan tenaganya serta memberikan kesempatan bagi penulis untuk

Perilaku seks pranikah mahasiswa kost dengan induk semang dan tanpa induk semang bukan di tempat umum ... Perilaku seksual yang dilakukan di

a.  3,5 jam  b.  4 jam   c.  4,5 jam   d.  5 jam  e.