• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Avian Influenza"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksi pada unggas yang disebabkan virus infuenza. Virus avian influenza, virus RNA yang termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus tersebut dapat menginfeksi beragam spesies termasuk unggas, babi, kuda, hewan air dan manusia. Berdasarkan struktur antigen permukaan yaitu hemaglutinin (H) dan neuroaminidase (N) maka virus avian influenzadapat dibagi menjadi beberapa subtipe, yaitu 16 subtipe H (1–16) dan 9 subtipe N (1–9) (Swayne 2008).

Patogenisitas virus AI bervariasi dan umumnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Secara alami LPAI dapat berubah menjadi HPAI atau sebaliknya. Perubahan ini dapat terjadi akibat adanya mutasi ataupun reassortment genetik (antigenic drift dan antigenic shift). Perubahan ini dapat memunculkan strain baru yang lebih virulen dan dapat terjadi dalam waktu beberapa bulan (Damayanti et al. 2004)

Virus AI memiliki amplop sehingga dapat diinaktivasi dengan bahan pelarut organik dan deterjen, chemical inactivants seperti formalin, asam encer, eter, bahan yang mengandung yodium, amonium kuartener, klorin, natrium hipoklorit dan senyawa fenol (Swayne 2008). Virus AI mudah mati apabila berada diluar tubuh unggas kecuali jika dilindungi oleh bahan organik seperti feses, leleran hidung atau mulut. Virus ini juga mudah mati oleh pemanasan 56○C selama 3 jam, 60○C selama 30 menit dan 80○C selama 1–3 menit. Virus AI dapat bertahan hidup di air sampai dengan 4 hari pada suhu 22○C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0○

Penularan virus AI terjadi melalui transmisi horizontal secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui unggas peliharaan yang terinfeksi dan burung liar (Cardona et al.2009) dan secara tidak langsung melalui manusia, kandang, air, pupuk, pakan, benda-benda mati (sepatu, pakaian dan peralatan) yang terkontaminasi virus (Swayne 2008).

C. Di dalam feses unggas virus AI masih tetap infektif selama 32 hari (Dharmayanti et al. 2004; Suarez 2008).

(2)

Penyebaran Avian Influenza

Sejak terjadi wabah AI pada akhir tahun 2003, sebanyak 62 negara telah melaporkan keberadaan AI baik pada unggas maupun burung liar (FAO 2010). Di Eropa, penyebaran virus AI sangat erat kaitannya dengan musim dan keberadaan burung migran (FAO 2010; Ward et al.2008; Yee et al.2009). Peningkatan kasus AI saat musim dingin terutama di Eropa Tengah dan Timur yang sebagian besar terjadi pada burung-burung liar (FAO 2010).

Secara umum kasus AI di Asia meningkat pada pertengahan tahun 2009– 2010 (FAO 2010) dengan beberapa variasi status negara terkait keberadaan kasus AI. Beberapa negara asia seperti Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam adalah negara bebas sehingga fokus utama yang dilakukan adalah pencegahan terhadap masuknya penyakit dan kesiapsiagaan untuk deteksi dini AI. Negara dengan status wabah sporadik yaitu Kamboja, Laos dan Myanmar. Negara-negara tersebut industri perunggasannya belum berkembang, wabah sporadik terjadi sebagai akibat kejadian berulang dari virus yang belum berhasil sepenuhnya dieliminasi atau menyebar melalui unggas terinfeksi yang dilalulintaskan antar negara. Negara dengan status endemis AI yaitu Indonesia, China, Vietnam, Mesir dan Bangladesh (FAO 2010). Di negara-negara tersebut AI menyebar secara luas diikuti peningkatan kasus pada manusia sehingga pengendalian dan pemberantasan AI sangat penting untuk mencegah penyebaran dan dampak yang lebih buruk seperti pandemi AI.

Wabah AI di Indonesia dimulai pada awal Agustus 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan beberapa provinsi di Indonesia. Dalam kurun waktu beberapa bulan (Agustus 2003–Februari 2004) telah terjadi kematian unggas sebesar 4 859 911 atau sebesar 6.4% dari populasi unggas di seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Lampung (Ditkeswan 2009). Sampai saat ini, AI telah menyebar di 32 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Provinsi Gorontalo merupakan provinsi yang terakhir tertular pada Februari 2011, sehingga hanya Provinsi Maluku Utara yang masih bebas dari AI (Ditkeswan 2011).

(3)

Selama kurun waktu 7 tahun dari November 2003 sampai dengan Juni 2010 telah dilaporkan 500 kasus AI (H5N1) pada manusia dari 15 negara dengan CFR (case fatality rate) 59% dan Indonesia merupakan negara dengan CFR tertinggi yaitu 83% (137 orang meninggal dari 166 orang yang positif kasus AI) (FAO 2010). Kasus AI tertinggi di Indonesia terjadi di Provinsi Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta dan Banten.

Faktor risiko penularan kasus AI pada manusia kontak langsung dengan unggas (53%), kontak dengan lingkungan terkontaminasi (34%) dan belum diketahui faktor risikonya (13%). Sampai saat ini kasus AI pada manusia karena penularan dari unggas ke manusia, belum ditemukan bukti penularan dari manusia ke manusia (Depkes RI 2008).

Pengendalian Avian Influenza

Secara nasional pengendalian AI telah dilaksanakan dan manjadi program strategis nasional di Indonesia. Peraturan pemerintah terkait pengendalian AI telah ditetapkan seperti Peraturan Presiden RI nomor 7 tahun 2006 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (avian influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi dan Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (avian influenza). Kerjasama lintas sektoral juga telah difasilitasi dengan melibatkan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Depkes RI (2008) menyatakan ada sepuluh strategi pengendalian AI, yaitu:

1 Pengendalian penyakit pada hewan. 2 Penatalaksanaan kasus pada manusia. 3 Perlindungan kelompok risiko tinggi.

4 Survailans epidemiologi pada hewan dan manusia. 5 Restrukturisasi sistem industri perunggasan.

6 Komunikasi risiko, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat. 7 Penguatan dukungan peraturan.

8 Peningkatan kapasitas. 9 Penelitian kaji tindak. 10 Monitoring dan Evaluasi.

(4)

Kesepuluh strategi pengendalian tersebut merupakan gabungan strategi pengendalian AI pada manusia dan unggas. Secara khusus Kementerian Pertanian juga telah mencanangkan pengendalian AI pada unggas yang dikenal dengan sembilan langkah strategis yang meliputi: (1) peningkatan biosekuriti, (2) depopulasi (pemusnahan terbatas atau selektif) di daerah tertular, (3) vaksinasi, (4) pengendalian lalu lintas keluar masuk unggas, (5) survailans dan penelusuran (tracking back), (6) pengisian kandang kembali (restocking), (7) pemusnahan menyeluruh (stamping out)

Pengendalian AI pada unggas tidak hanya berlaku di peternakan tetapi pada setiap usaha peternakan unggas, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas, pakan, peralatan, kendaraan dan semua hal terkait unggas dan produknya (Ditkeswan 2009). Pengendalian tidak hanya melibatkan unsur pemerintah tetapi juga lembaga swasta, tenaga ahli, peternak, pengusaha industri perunggasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat luas.

di daerah tertular baru, (8) peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) dan (9) monitoring, pelaporan dan evaluasi. Implementasi sembilan langkah strategis tersebut adalah berupa prosedur operasional standar pengendalian penyakit avian influenza (Ditjennak 2009).

Pengendalian AI juga memerlukan dukungandata dan kajian epidemiologik untuk mengetahui distribusi geografik kasus AI, zoning, mendeteksi tingkat kekebalan kelompok pasca vaksinasi dan faktor–faktor risiko terkait kejadian AI (Tabbu 2005) sehingga dapat diambil kebijakan yang efektif dan efisien sesuai kebutuhan per wilayah.

Kajian epidemiologik, penelitian dan monitoring terkait AI telah banyak dilakukan tetapi masih tingginya kasus AI sampai dengan saat ini menunjukkan banyaknya faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian AI. Faktor–faktor tersebut seharusnya diteliti lebih mendalam yang memungkinkan adanyapola kejadian dan faktor risiko spesifik yang berbeda antar daerah.

Pola Kejadian Penyakit Avian Influenza

Pola kejadian adalah analisis kejadian penyakit dalam rentang waktu tertentu karena penyakit tidak terjadi secara acak dan menunjukan mekanisme penyebaran penyakit (Ward et al. 2008). Penyebaran virus AI di beberapa negara

(5)

menunjukan keterkaitan erat wabah AI dengan musim, suhu, perayaan, burung-burung migran, unggas air, lalu lintas unggas, dan produknya (Ward et al.2008; Minh et al. 2009).

Di Eropa kejadian AI erat kaitannya dengan keberadaan burung-burung migran. Beberapa wabah AI di Rusia, Kazakhstan dan Turki terkait erat dengan keberadaan burung migran (Yee et al. 2009). Hasil analisis spasial wabah AI di Rumania tahun 2005 sampai dengan 2006 menunjukkan keterkaitan wabah dengan keberadaan burung-burung migran saat musim gugur dan dingin; transportasi dan lalu lintas unggas domestik saat musim panas dan semi (Ward et al. 2008).

Secara umum di Asia, pasar unggas hidup berperan besar dalam penyebaran AI. Analisis filogenetik dan investigasi epidemiologik di sejumlah negara menunjukan penyebaran AI lebih dominan disebabkan lalu lintas unggas dibanding keberadaan burung liar (Smith et al. 2006). Kasus di China dan Vietnam menunjukan bahwa ada keterkaitan yang erat perdagangan ilegal, transportasi unggas ilegal dan burung eksotik dengan wabah AI (Yee et al. 2009). Hasil analisis spasial dan temporal di Vietnam menunjukan penyebaran AI merupakan kombinasi dari penyebaran lokal dan jarak jauh. Beberapa kasus menunjukan keterkaitan yang erat dengan perayaan Vietnamese New Year (Januari dan Februari) dan musim pernikahan (Oktober sampai April) (Minh et al. 2009).

Hasil analisis spasial dan temporal di Indonesia menunjukkan bahwa adanya saling ketergantungan spasial antar kabupaten yang berdekatan sebagai akibat lalu lintas unggas dan pasar unggas hidup (Farnsworth et al. 2011) sehingga penyebaran AI antar area menjadi tinggi. Keberadaan jalan dan tofografi wilayah juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kasus AI (Loth et al. 2011; Gilbert dan Pfeiffer 2012). Hasil analisis kasus AI dari tahun 2008-2010 menunjukkan adanya kenaikan kasus pada interval Januari–Maret dan April–Juni dengan peluang terjadinya kasus tertinggi di Provinsi Lampung yaitu 0.7 dan terendah di Provinsi Bali yaitu 0.17 (Farnsworth et al. 2011).

(6)

Faktor Risiko terhadap Kejadian Penyakit Avian Influenza

Faktor risiko adalah faktor–faktor yang berpengaruh terhadap penularan suatu penyakit (Thursfield 2005). Faktor tersebut terdiri dari faktor inang, lingkungan dan daerah yang disidik untuk melihat hubungannya dengan infeksi AI pada unggas. Ada beberapa faktor risiko terkait kasus AI seperti faktor individu atau karakteristik peternak, manajemen peternakan, kesehatan unggas, dan biosekuriti (Tabbu 2005; FKH IPB dan Deptan RI 2005; Widiasih et al. 2006; Siahaan 2007). Secara umum faktor risiko terkait kasus AI di Asia adalah kepadatan populasi penduduk dan unggas, keberadaan dan panjang jalan, jumlah itik, dan intensitas tanaman padi serta biosekuriti yang buruk (Sturm-Ramirez et al. 2005; FAO 2010; Gilbert dan Pfeiffer 2012).

Berdasarkan kajian FKH IPB dan Deptan RI (2005) di Sumatera dan Kalimantan faktor risiko terhadap kemungkinan pemaparan virus AI yaitu pengendalian lalu lintas ternak, sanitasi (kebersihan kandang, halaman kandang, tempat pakan dan tempat minum ternak), dan tindakan karantina. Nilai Odds Ratio (OR) untuk pengendalian lalu lintas unggas disekitar kandang 1.75, OR sanitasi (kebersihan kandang) 1.64, dan OR tindakan karantina 2.69.

Kajian FKH UGM dan Deptan RI (2006) menyatakan bahwa faktor jenis peternakan, sistem pemeliharaan ayam, adanya hewan pengerat, burung liar, masa istirahat kandang, kepulangan petugas kandang yang memiliki unggas, pembeli ayam dan pupuk yang bebas keluar masuk kandang berasosiasi dengan kejadian AI di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Faktor-faktor tersebut memiliki asosiasi yang bervariasi dengan kejadian AI. Keberadaan burung liar, hewan pengerat, kepulangan petugas kandang berperan terhadap penularan AI. NilaiOR untuk keberadaan burung liar disekitar kandang adalah 24, kepulangan petugas kandang 2.65, kepulangan petugas kandang yang memiliki unggas 3.37, pembeli ayam yang bebas keluar masuk kandang 1.12, dan pembeli pupuk yang bebas keluar masuk kandang 1.17 (Widiasih et al. 2006).

Kepadatan penduduk, jalan, dan keberadaan sawah berperan sebagai faktor risiko terhadap kejadian penyakit AI di Jawa Barat. Nilai Risk Ratio (RR) untuk masing – masing variabel yaitu kepadatan penduduk 1.23 (Selang Kepercayaan

(7)

(SK): 1.13–1.34), kepadatan jalan 1.47 (SK: 1.25–1.73) dan keberadaan sawah 1.014 (SK: 1.000–1.029) (Yupiana et al. 2010).

Kajian AI pada unggas air menunjukkan bahwa faktor risiko terkait AI yaitu kebersihan kandang, tempat pakan dan minum. Nilai OR untuk masing–masing variabel yaitu kebersihan kandang adalah 4.33 (sangat kotor), tempat pakan 7.9 dan tempat minum 3.24 (FKH IPB dan Deptan RI 2006). Menurut Siahaan (2007) kondisi biosekuriti yang rendah menyebabkan risiko pemaparan AI 5.59 kali lebih besar dibanding tingkat biosekuriti yang cukup.

Peternakan Sektor 4 dan Perannya dalam Penyebaran AI

Industri peternakan di Indonesia, berdasarkan sistem produksinya dibagi menjadi 4 sektor, yaitu: sektor 1 (industri besar terintegrasi dengan biosekuriti yang tinggi), sektor 2 (peternakan komersil dengan skala usaha yang lebih kecil dari sektor 1 dan memiliki biosekuriti menengah sampai tinggi), sektor 3 (peternakan komersil kecil dan memiliki biosekuriti rendah), dan sektor 4 (peternakan rakyat dengan tata laksana tradisional dan non komersil dengan pemeliharaan unggas bersama atau dekat dengan pemilik) (FAO 2009a). Sebagian besar peternak di Indonesia adalah peternak usaha kecil atau sektor 4 dengan populasi 1-100 ekor sehingga kematian akibat wabah AI sangat berpengaruh perekonomian dan kesejahteraan rakyat (Yusdja et al. 2008).

Sistem produksi dengan biosekuriti yang rendah menyebabkan sektor 4 sering mengalami serangan penyakit. Karena itu sektor 4 sering dianggap sebagai sumber dan penyebab wabah penyakit seperti AI. Wabah AI terjadi pertama kali pada peternakan komersil di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan beberapa provinsi di Indonesia (FKH UGM dan Deptan RI 2006). Sektor 4 sebagai sektor yang memiliki biosekuriti rendah tertular dan menerima dampaknya sampai dengan saat ini.

Beberapa kajian menunjukan keterkaitan antara peternakan unggas komersil dengan kasus AI di sektor 4. Loth et al. (2011) menyatakan kepadatan populasi unggas komersil memiliki asosiasi yang kuat dengan kasus AI di sektor 4. Kepulangan petugas kandang dari peternakan komersil yang memiliki unggas dirumahnya merupakan faktor risiko terjadinya AI di dusun tersebut (Widiasih et

(8)

al. 2006). Ketika AI telah sampai di sektor 4 maka penyebarannya menjadi sangat mudah dan cepat karena rendahnya biosekuriti (praktik sanitasi, isolasi dan pengawasan lalu lintas yang buruk), tinggi lalu lintas unggas dan orang (Yusdja et al. 2008), dan keberadaan pasar unggas hidup (Samaan et al. 2011)

Oleh karena itu pemerintah dan FAO merancang program untuk pengendalian AI di sektor 4 dengan program Participatory Disease Surveillance Response (PDSR). Aktivitas petugas PDSR dirancang partisipatif dalam masyarakat dengan kombinasi survailans aktif tertarget (targeted active surveillance), survailans pasif, dan merespon laporan dari peternak apabila ada kematian AI dengan menguji unggas mati dengan uji cepat AI, melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), desinfeksi berupa penyemprotan dan stamping out apabila memungkinkan (FAO 2009b).

Program PDSR ini telah menjangkau 71 038 desa dari 448 kabupaten dan kota di Indonesia dengan insidensi penyakit 0.4 desa terinfeksi per 1000 desa yang disurvailans (FAO 2010). Hasil analisis berdasarkan data PDSR di Indonesia menunjukkan bahwa kasus AI di sektor 4 pada tingkat desa memiliki hubungan yang nyata dengan populasi penduduk, populasi unggas komersial, lalu lintas (panjang jalan), pasar, ketinggian, dan intensitas panen (Loth et al. 2011). Adapun hubungan kepadatan penduduk dan unggas dengan peluang terjadinya kasus AI adalah hubungan non linier (Farnsworth et al. 2011).

Analisis Spasial dan Temporal

Analisis spasial dan temporal adalah satu diantara studi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola kejadian berdasarkan tempat dan waktu. Analisis ini berbasis sistem informasi geografis sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat dengan pemetaan kasus tergantung kebutuhan (Durr dan Gatrrell 2004). Beberapa variasi analisis yaitu pemetaan penyakit, mengidentifikasi faktor risiko dan korelasinya, membuat modelling terhadap kasus penyakit tertentu, memprediksi kasus, dan pola kejadian penyakit (Kulldorff 2010; Ward dan Carpenter 2000). Analisis tersebut telah banyak digunakan untuk pengendalian penyakit seperti malaria (Sudarnika et al.

(9)

2010), demam berdarah, tuberkulosis (Allepuz et al. 2008), dan Neospora caninum (Loobuyck et al. 2009).

Satu diantara metode yang dipakai untuk analisis spasial dan temporal adalah prospective space-time scan statistics yang dikembangkan oleh Kulldorf pada tahun 1997. Metode ini menghasilkan analisis secara spasial yaitu mendeteksi pengelompokan daerah (clustering area) yang memiliki intensitas kejadian paling tinggi dalam waktu tertentu dan mengevaluasi signifikansinya secara statistik (Farnsworth dan Ward 2009) serta analisis temporal yaitu analisis pola kejadian berdasarkan waktu (Ward dan Carpenter 2000). Data yang digunakan adalah data kasus, populasi dan koordinat kasus selama periode waktu tertentu (Kulldorf 2010).

Analisis spasial menghasilkan analisis berupa clustering area yang berfungsi sebagai petunjuk bagaimana penyakit berproses dalam dimensi waktu tertentu sehingga dapat dideteksi hotspot area yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk terjadi lagi dimasa yang akan datang (Ward dan Carpenter 2000). Hasil analisis yang diperoleh adalah clustering area dengan empat kategori yaitu kluster primer (most likely cluster), kluster sekunder (secondary cluster), kasus rendah (low rate),dan tidak ada kasus (no case). Pada masing-masing clustering area tersebut diperoleh nilai risiko relatif (RR), jumlah kasus, nilai dugaan kasus dan signifikansinya (nilai p).

Kluster primer atau disebut juga sebagai hotspot area merupakan wilayah atau lokasi yang memiliki kecenderungan tinggi untuk terjadinya kasus kembali. Lokasi ini harus menjadi perhatian dan prioritas pengendalian penyakit terutama target untuk survailans. Kluster sekunder adalah kluster pendamping kluster primer yang menjadi prioritas kedua untuk pengendalian. Kecenderungan untuk terjadinya kasus kembali ini biasanya dinyatakan dengan risiko relatif (RR). Risiko relatif (RR) adalah perkiraan risiko terjadinya kasus AI didalam area kluster dibanding diluar area kluster. Nilai p yang dihasilkan, dihitung menggunakan pendekatan monte carlo sehingga dapat diketahui signifikan atau tidaknya nilai RR di area tersebut (Kulldorf 2010).

Analisis temporal menghasilkan time frame dan risiko kejadian penyakit berdasarkan waktu kejadian dalam hal ini bisa musim, bulan ataupun minggu

(10)

tergantung keperluan. Analisis temporal biasanya dalam jangka waktu tertentu sehingga dapat dideteksi dan diprediksi kecenderungan pola kejadian (Ward dan Carpenter 2000; Kulldorff 2010).

Studi Kasus Kontrol

Studi kasus kontrol merupakan satu diantara studi observasional analitik yang dirancang untuk melihat hubungan asosiasi. Kajian ini dirancang dengan menyeleksi dua grup sebagai grup kasus dan grup kontrol. Kasus adalah populasi yang memiliki suatu hasil jadi tertentu yang sedang diteliti misalnya gejala, keluhan atau hasil laboratorium. Kontrol adalah populasi pembanding yang tidak menderita penyakit tertentu (Dohoo et al.2003).

Pada kajian ini kelompok hewan yang sakit (kasus) dan kelompok hewan tidak sakit (kontrol) diseleksi dan dibandingkan terhadap pengaruh hadirnya faktor risiko atau pajanan. Studi ini bersifat retrospektif yaitu dari penyakit menuju kepajanan atau determinan (Pfeiffer 2010). Rancangan pemilihan kasus dan kontrol pada studi ini dapat berpadanan (matched case control) atau tidak berpadanan (unmatched case control).

Studi kasus kontrol banyak digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan faktor penyembuh suatu penyakit. Kelebihan studi ini, relatif lebih murah dan cepat dibanding kohort dan cross sectional serta dapat menilai beberapa faktor risiko sekaligus. Namun, kelemahannya studi ini tidak efisien untuk menyelidiki pajanan yang jarang, tidak banyak manfaatnya untuk tujuan deskriptif dan sering terjadi bias informasi karena berdasarkan data dan ingatan responden (Pfeiffer 2010).

Sumber data untuk kasus dapat dipilih antara lain dari pasien rumah sakit atau klinik hewan, laboratotium diagnostik, dan data survailans sedangkan sumber data untuk kontrol dapat dipilih dari pasien yang menderita penyakit lain di rumah sakit atau klinik hewan tersebut, hewan lain di peternakan sama, dan peternakan lain yang dekat dengan peternakan kasus (Dohoo et al. 2003). Pemilihan kasus dan kontrol tergantung dari apa yang menjadi subjek penelitian dan faktor pajanannya sehingga penentuan disain dan definisi kasus dan kontrol menjadi sangat penting.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Setelah software Pelaksana berhasil booting dari komputer (client) yang akan digunakan oleh peserta uji, maka hal pertama yang harus dilakukan

Erechtheum Erechtheum Erechtheum adalah suatu Kuil bersifat ion yang berdiri utara untuk Parthenon pada [atas] Athens' Acropolis.. yang ditantang Oleh [tanah/landasan] tidak

Benturan kepentingan yang muncul dari adanya penggabungan 2 (dua) fungsi yang berbeda didalam satu lembaga merupakan suatu kenyataan dan pengalaman yang terjadi di beberapa

Pada pembahasan ini dijabarkan tentang kesalahan penggunaan kata penghubung “ 和 ” dan “ 跟 ” berdasarkan hasil data yang telah dianalisis sebelumnya meliputi

Object: dalam scene terdapat dua orang yang berbeda kebudayaan sedang duduk bersama yang ditandai dari cara makan seorang wanita berkulit putih dan bermata

Pasca Operasi Pembebasan Irak (Operation Iraqi Freedom/OIF) yang terjadi pada pertengahan 2003, Amerika Serikat dan koalisinya serta berbagai bantuan organisasi

Satuan kajian atau unit analisis penelitian tersebut adalah wacana lisan dan tulis dari empat elit politik yang saling bersaing dan bertikai selama