• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. ANALISIS PERAN GENDER DALAM RUMAHTANGGA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR USAHATANI KELUARGA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR

USAHATANI KELUARGA

Dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai hasil analisis peran gender

(perempuan dan laki-laki) menurut konsep-konsep yang dikemukakan oleh Ellis

(1988), terutama terkait pembagian tenaga kerja dan alokasi waktu berdasar

gender, yaitu pada sub bab 6.1., 6.2. dan 6.3. Dengan analisis ini, diharapkan akan

diperoleh gambaran menyeluruh mengenai peran perempuan dan laki-laki dalam

rumahtangga pertanian. Dalam bagian 6.4. dibicarakan mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar

usahatani keluarga.

Ellis (1988) menyebut perempuan sebagai the invisible peasant.

Dalam masyarakat pertanian, perempuan berkontribusi dalam pekerjaan fisik

produksi pertanian, sekaligus menyangga kehidupan rumahtangga pertanian

dalam banyak hal. Meskipun peran perempuan sangat besar, namun analisis

ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat.

Hal ini disebabkan karena sebagian besar data aktivitas ekonomi perdesaan

yang dipublikasikan, diperoleh dari sensus dengan laki-laki kepala

rumah-tangga sebagai sumberdata utama. Karena itu, peran perempuan dalam

pekerjaan usahatani, pengolahan pangan dan banyak kegiatan produktif

lainnnya adalah underestimate. Dalam hal ini, asumsi neoklasik menganggap

rumahtangga sebagai satu unit analisis, dimana keputusan perilaku ekonomi

(2)

6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender

Konsep pemisahan tenaga kerja (gender division of labor)

digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki

dalam ekonomi pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya

perbedaan biologis diantara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat,

kebiasaan sosial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku

individual (Ellis, 1988). Oleh karena itu, dengan anggapan bahwa pembedaan

tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan

biologis, konsep gender digunakan sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali

aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat.

6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga

Seperti juga di daerah lain, dalam rumahtangga pertanian di Kabupaten

Konawe Selatan, melakukan pekerjaan di dalam usahatani keluarga merupakan

aktivitas penting yang dilakukan petani dan keluarganya, baik itu dalam usahatani

pangan (padi, jagung, sayuran), perkebunan maupun perikanan (darat dan laut).

Suami dan isteri yang menjadi fokus dalam penelitian ini, melakukan

pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani dengan aktivitas yang relatif berbeda. FAO (Undated)

menjelaskan bahwa di pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang

bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Pada beberapa kasus, perempuan

dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam

produksi hasil panen, peningkatan peternakan, perikanan, dan pemanfaatan hutan.

Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab

yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan.

(3)

keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan

mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi

pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil

dengan menggunakan teknologi rendah.

Hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian menunjukkan

bahwa umumnya laki-laki melakukan pekerjaan yang relatif banyak

membutuhkan curahan tenaga yang besar, sebaliknya perempuan melakukan

pekerjaan yang relatif sedikit membutuhkan curahan fisik. Misalnya dalam

usahatani pangan, umumnya laki-laki melakukan pekerjaan mengolah lahan,

memperbaiki pematang, memupuk dan memberantas hama penyakit, sedangkan

perempuan lebih banyak melakukan kegiatan penanaman padi, penyiangan gulma

pada usahatani pangan, dan pemanenan.

Pada usahatani kebun, laki-laki merupakan pihak yang umumnya

melakukan pembuatan lubang untuk penanaman bibit tanaman, penyiapan lahan,

membuat ajir untuk tanaman merica, melakukan pemangkasan dahan pohon

kakao, dan pembersihan gulma. Sedangkan perempuan lebih banyak melakukan

pemanenan dan penanganan pasca panen, hingga pemasaran hasil.

Dalam rumahtangga nelayan, laki-laki umumnya melakukan kegiatan

penyiapan peralatan tangkap ikan, penangkapan dan atau pemancingan ikan, baik

di laut maupun di danau, lalu juga melakukan pemasaran hasil yang diperoleh.

Perempuan umumnya menyiapkan bekal makanan untuk suami, juga melakukan

pemasaran terhadap hasil ikan yang diperoleh, dan penanganan pasca panen.

Hasil di atas secara umum menunjukkan bahwa suami merupakan pelaku

(4)

temuan Sitepu (2007) dan Hendratno (2006) bahwa kegiatan usahatani didominasi

laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira (1985) berpendapat bahwa dilihat dari

aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak

dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan

oleh perempuan (isteri). Todaro (1998) mengemukakan perempuan memegang

peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam

kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan

menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi

pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka

tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Untuk melihat lebih jauh

mengenai peran perempuan dalam aktivitas di rumahtangga, pada bagian di bawah

ini akan disajikan analisis terkait alokasi waktu gender (perempuan dan laki-laki)

dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.

6.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga

Selain melakukan pekerjaan dalam usahatani keluarga, perempuan dan

laki-laki juga melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif di dalam rumahtangga,

demi keberlangsungan kehidupan keluarga. Meskipun pekerjaan rumahtangga

lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri), namun suami juga terlibat dalam

melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, meski dengan alokasi waktu yang lebih

sedikit. Seperti juga di daerah lain, nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah ini

memang memberi tanggung jawab yang besar kepada isteri dalam penyelesaian

pekerjaan-pekerjaan reproduksi dalam rumahtangga. Sedangkan suami hanyalah

membantu sekedarnya saja. Hasil penelitian Ariyanto (2004) menguatkan hal ini,

(5)

reproduksi dibandingkan laki-laki. Bahkan Setyawati (2008) menegaskan bahwa

laki-laki hanya melakukan aktivitas produksi dan sosial kemasyarakatan. Terkait

hal ini, Maume (2006) menyatakan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih

dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme.

Hasil di atas bertentangan dengan temuan Lewin-Epstein dan Stier (2006),

dimana perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit

dalam pekerjaan rumahtangga, sedangkan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih

terpisah, mirip di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda

dalam karakteristik demografi. Hasil studi Binswanger dan Rosenzweig (1981)

menyimpulkan bahwa pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial

budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga

kerja (division of labor), ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar.

Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan

yang dilakukan responden dalam rumahtangga antara lain adalah mencuci

pakaian, memasak, mengurus anak, menyiapkan bekal untuk ke kebun,

mengambil air, membersihkan pekarangan, mencari sayur ke kebun, ke warung,

dan menyetrika. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa suami juga

melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut (meski dengan porsi waktu yang jauh

lebih sedikit), kecuali mencari sayur ke kebun. Memasak, mengurus anak,

mencuci, dan membersihkan pekarangan merupakan kegiatan utama yang

dilakukan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, disamping

pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya.

Disini nampak besarnya peran perempuan dalam pencapaian ketahanan

(6)

seluruh anggota rumahtangga. Mulai dari mencari bahan pangan di kebun,

menyiapkannya, dan menghidangkan makanan. Keseluruhan proses tersebut

sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan alokasi

waktu dan tenaganya, perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, karena

secara tradisional perempuan memegang tanggung jawab yang besar dalam

pemenuhan pangan seluruh anggota rumahtangga.

Peran tersebut sesuai dengan pendapat Todaro (1998) bahwa peran penting

perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun

terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk

mencari (membeli), memasak, serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu

pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga

ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya.

Ini sesuai dengan FAO (Undated) bahwa peran perempuan lainnya adalah

dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui

penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin

penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu

konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah, dan memelihara

buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara

universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh

anggota keluarga.

Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai penerima gaji, perempuan

bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai

penghasil, maka sebagai penerima penghasilan, perempuan tetap berkewajiban

(7)

mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Ketika

perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka

dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan

kualitas gizi anggota keluarga (FAO, Undated).

Perempuan merupakan penghasil pendapatan (income earners), baik yang

diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani. Perempuan mempunyai

tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam

mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan

pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan, yaitu

dalam memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari

kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan

makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan (Horenstein, 1989).

Dengan pembahasan yang dilakukan di atas dapat dikatakan bahwa peran

perempuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga, nampaknya

sepele dan tidak bernilai ekonomis, namun ternyata sangatlah menentukan

pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani. Dengan ditunjang oleh

penghasilan yang diperolehnya sendiri dan dari suami, serta kemampuan

mengelola pendapatan tersebut, dibarengi dengan curahan fikiran dan tenaga

dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, maka kemungkinan untuk

mencapai ketahanan pangan rumahtangga akan lebih besar. Dengan demikian

tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peran perempuan tersebut sangat

menentukan kualitas kehidupan anak dan anggota keluarga secara keseluruhan.

Peran yang dilakukan saat ini akan memberi dampak pada kehidupan seluruh

(8)

6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga

Karena kebutuhan keluarga yang meningkat, sementara pendapatan dari

usahatani keluarga tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh keperluan dalam

rumahtangga, mendorong perempuan dan laki-laki untuk bekerja lebih giat

(Suprihatin, 1986). Karena kesempatan kerja di sektor pertanian yang sangat

terbatas di perdesaan, sehingga perempuan hanya bisa menjadi buruh tanam atau

panen di usahatani tetangga. Kesempatan kerja ini menjadi semakin langka,

karena masa tanam dan panen paling tidak hanya dapat dilakukan dua kali dalam

setahun, yaitu sesuai dengan musim tanam untuk tanaman pangan.

Laki-laki nampaknya mempunyai kesempatan kerja yang lebih beragam,

karena dapat memperoleh upah dari pekerjaan-pekerjaan, seperti buruh cangkul,

buruh nelayan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa. Karena

pertimbangan fisik, maka suami tidak hanya dapat bekerja di usahatani pangan,

namun juga di perkebunan atau menjadi buruh nelayan, dimana

pekerjaan-pekerjaan ini relatif lebih sering dilakukan.

6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian

Karena dorongan untuk memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan seluruh anggota keluarga dan didorong oleh kurangnya kesempatan

kerja dan atau berusaha di sektor pertanian, maka perempuan dan laki-laki

beru-paya mencarinya di luar sektor pertanian. Untuk itu, perempuan menjadi

pedagang, baik di rumah maupun di pasar (menjual sayur dan sembako), menjadi

guru, tukang pijat, guru mengaji, bahkan ada yang ikut mendulang emas. Di sisi

lain, responden laki-laki umumnya menjadi tukang ojek, membuat atap, buruh

(9)

Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian ini umumnya merupakan

pekerjaan-pekerjaan yang tidak melibatkan aspek upah, tetapi lebih merupakan usaha

mandiri yang dikelola responden dengan keterbatasan modal dan pengetahuan.

Dengan demikian, hasil yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh

besar-kecilnya modal yang ditanamkan dan kemampuan manajerial dari responden.

Pekerjaan-pekerjaan upahan seperti menjadi Satpam dan guru mengaji sangat

jarang dan memerlukan persyaratan yang umumnya tidak dimiliki responden.

6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender

Dalam rumahtangga petani, disamping lahan sebagai aset paling berharga,

juga waktu (24 jam) yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki

merupakan sumberdaya keluarga yang dapat dialokasikan pada berbagai aktivitas,

baik untuk pekerjaan di dalam rumahtangga, di usahatani maupun pada berbagai

kegiatan di luar usahatani. Alokasi waktu pada berbagai kegiatan tersebut,

disamping untuk tujuan ekonomi, kepentingan sosial, dan leisure.

Dengan menghitung dan membandingkan pola curahan kerja (waktu)

antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas produktif dan

reproduktif, maupun leisure, akan dapat diketahui gambaran mengenai posisi dan

status sosial perempuan dan laki-laki dalam perekonomian rumahtangga. Ini akan

mempertajam konsepsi peran masing-masing gender dalam rumahtangga, serta

dalam masyarakat secara lebih luas. Ini sesuai dengan pendapat (Doyle, 1985

dalam Sajiharjo, 1990) bahwa analisis gender merupakan suatu analisis tentang

hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Dengan

demikian, analisis gender dapat digunakan untuk mengamati hubungan

(10)

Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini, akan dilakukan

pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki

dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan leisure, yang akan dianalisis secara

deskriptif kualitatif berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Ellis (1988).

Analisis yang dilakukan adalah dengan membandingkan alokasi waktu dari semua

kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang dipilah

menurut kegiatan (1) dalam usahatani keluarga, (2) pertanian di luar usahatani

keluarga, (3) kerja di luar pertanian, (4) pekerjaan rumahtangga, (5) waktu luang,

dan (6) istirahat. Hasil analisis secara ringkas mengenai aktivitas perempuan dan

laki-laki yang dilakukan selama 24 jam terakhir disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas 24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

Kategori Desa/ Kelurahan

Kelompok Aktivitas

Perempuan Laki – Laki Jumlah Jam Kerja Persentase (%) Jumlah Jam Kerja Persentase (%) Rawan Pangan n=136

Kerja di usahatani kel. Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian Pekerjaan rumahtangga Waktu luang Istirahat Jumlah 1.63 0.04 0.74 5.38 6.26 9.96 24.00 6.79 0.17 3.08 22.42 26.08 41.50 100.00 5.65 0.68 1.51 0.63 6.39 9.14 24.00 23.54 2.83 6.29 2.63 26.63 38.08 100.00 Tahan Pangan n=49

Kerja di usaha tani kel. Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian Pekerjaan rumahtangga Waktu luang Istirahat Jumlah 3.81 0.35 1.48 3.81 5.13 9.42 24.00 15.88 1.46 6.17 15.88 21.38 39.25 100.00 7.31 0.20 0.37 1.37 5.35 9.41 24.00 30.46 0.83 1.54 5.71 22.29 39.21 100.00

(11)

6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga

Pada tabel di atas tampak untuk daerah rawan pangan, besar alokasi waktu

perempuan untuk kegiatan dalam usahatani keluarga (on-farm activities) rata-rata

hanya sebesar 1.63 jam atau hanya 6.79 persen dari total 24 jam yang dimiliki.

Sedangkan laki-laki mengalokasikan 5.65 jam dari waktunya untuk mengelola

usahatani keluarga, atau sekitar 23.54 persen dari 24 jam yang dimilikinya. Hasil

ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani keluarga secara langsung masih

didominasi oleh suami, sedangkan isteri perannya lebih kecil. Hasil penelitian

Soepriati (2006) memper-kuat hal ini bahwa peran istri pada usahatani lebih

kecil dibandingkan suami.

Hasil analisis menunjukkan keadaan yang agak berbeda untuk desa tahan

pangan, dimana alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam usahatani keluarga

lebih tinggi dibandingkan di desa rawan pangan, yaitu mencapai 3.81 jam (15.88

persen) untuk perempuan dan 7.31 jam (30.46 persen) untuk laki-laki. Ini

menun-jukkan bahwa di desa tahan pangan, para responden memberi perhatian yang

be-sar terhadap usahatani keluarga, dan usahatani ini bisa diandalkan sebagai sumber

penghidupan yang utama dalam pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga.

Hal ini diperkuat dengan data bahwa dari keseluruhan responden

penelitian (n=190), hanya 75 orang isteri (39.47 persen) yang bekerja atau

membantu suami secara langsung dalam usahatani keluarga. Jumlah responden

perempuan yang tidak ikut bekerja dalam usahatani keluarga mencapai 60.53

persen. Temuan Kimhi dan Rapaport (2004) sejalan dengan hasil penelitian ini,

bahwa penawaran tenaga kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki, baik di

(12)

Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, hasil di atas

mirip keadaannya dengan responden di desa rawan pangan, dimana hanya sekitar

31.43 persen dari 140 responden perempuan yang bekerja langsung dalam

usahatani keluarga. Bandingkan dengan responden di desa tahan pangan (n=50),

yang persentase partisipasi perempuan dalam usahatani keluarga mencapai 62

persen. Rendahnya curahan waktu perempuan dalam usahatani keluarga adalah

karena responden perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk

pekerjaan domestik dalam rumahtangga, seperti mengurus keperluan anak dan

suami, memasak, dan kegiatan lainnya, termasuk menyiapkan berbagai keperluan

suami untuk bekerja di usahatani, misalnya untuk bekal makan siang.

Hasil-hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan temuan Sitepu (2007) yang

menunjukkan pola relasi gender yang umumnya didominasi oleh laki-laki dan

Hendratno (2006) yang hasil penelitiannya membuktikan adanya dominasi suami

dalam kegiatan produksi.

6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar Usahatani Keluarga

Alokasi waktu perempuan dan laki-laki untuk kegiatan pertanian di luar

usahatani keluarga (off-farm activities) merupakan curahan waktu paling kecil

diantara keenam kelompok aktivitas, baik di daerah rawan pangan maupun di

daerah tahan pangan. Di desa rawan pangan, alokasi waktu perempuan hanya

sebesar 0.04 jam (0.17 persen), sedangkan laki-laki adalah 0.68 jam (2.83 persen).

Alokasi waktu perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi dibandingkan

responden di desa rawan pangan, yaitu mencapai 0.35 jam (1.46 persen),

sedangkan laki-laki lebih rendah, yaitu 0.20 jam (0.83 persen). Hasil ini juga

(13)

keluarga. Hal ini memang fenomena yang umum terjadi di perdesaan, dimana

kesempatan kerja yang tersedia sangat terbatas. Inilah salah satu yang mendorong

arus urbanisasi ke kota-kota besar, dalam rangka mendapatkan alternatif

pendapatan dari berbagai kegiatan informal di perkotaan.

Padahal sebenarnya, alokasi waktu di luar usahatani keluarga sebenarnya

bisa menjadi alternatif penting dalam perolehan pendapatan, seperti yang

dikemukakan oleh Newman dan Canagarajah (2000) bahwa aktivitas di luar

usahatani penting karena dapat menyebabkan penurunan kemiskinan rumahtangga

petani di Ghana dan Uganda.

6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian

Seperti juga di sektor pertanian, sektor non pertanian di desa juga tidak

cukup menyediakan kesempatan bagi para responden untuk bekerja, baik di

desa-desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya

alo-kasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi non pertanian

(non-farm activities). Dalam hal ini, perempuan mengalokasikan waktunya hanya

sebe-sar 0.74 jam (3.08 persen), sedangkan laki-laki mencapai 1.51 jam (6.29 persen).

Keadaannya agak lebih baik bagi perempuan di daerah tahan pangan,

dimana alokasi waktu perempuan dalam kegiatan non pertanian mencapai 1.48

jam (6.17 persen). Kebalikannya bagi para suami, alokasi waktunya hanya

mencapai 0.37 jam atau hanya 1.54 persen dari total waktu yang dimilikinya.

Ini menunjukkan adanya kesempatan bekerja dan atau berusaha yang lebih

besar bagi perempuan di daerah tahan pangan. Hal ini diindikasikan oleh

Setyawati (2008), yang menunjukkan peran yang dilakukan perempuan selain

(14)

aktivitas produktif (bekerja), serta melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan.

Sitorus (1994) menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga

nelayan miskin sangatlah besar, yaitu disamping bekerja di dalam usahatani

keluarga dan atau usahatani tetangga, juga di luar sektor pertanian atau perikanan.

Pentingnya aktivitas di luar pertanian sebagai sumber pendapatan bagi

rumahtangga telah banyak diketahui. Oleh karena itu, alokasi waktu responden

yang ditujukan untuk kegiatan di luar pertanian merupakan upaya untuk

memperoleh pendapatan yang lebih besar bagi rumahtangganya. Mishra et al.

(2002) dalam Goodwin dan Mishra (2004) menyatakan bahwa 92 persen

pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari non usahatani.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di luar pertanian adalah berjualan

di pasar, membuka kios sembako dan menjual makanan bagi perempuan,

sedang-kan bagi laki-laki adalah mengojek, menjual di pasar dan menambang emas.

6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga

Alokasi waktu perempuan yang rendah dalam usahatani keluarga, maupun

dalam kegiatan ekonomi lainnya, ternyata karena perempuan lebih banyak

mengalokasikan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam

rumah-tangga (housework, or domestic activities), seperti memasak, mencuci, mengurus

anak, termasuk menyiapkan berbagai keperluan suami untuk ke kebun, misalnya

untuk bekal makan siang. Waktu yang dialokasikan responden perempuan di desa

rawan pangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga mencapai 5.38

jam atau 22.42 persen dari total waktunya, sedangkan laki-laki sangat sedikit,

yaitu hanya sebesar 0.63 jam (2.63 persen). Hasil ini sesuai temuan Soepriati

(15)

daripada suami, bahkan Koesoemowidjojo (2000) menyimpulkan bahwa sekitar

29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja

di sektor publik.

Keadaan yang mirip terjadi juga di desa tahan pangan meski ada sedikit

peningkatan dalam alokasi waktu suami dalam pekerjaan rumahtangga dan

menurunnya alokasi waktu perempuan dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.

Ini berarti bahwa di daerah tahan pangan, peran perempuan dan laki-laki dalam

penyelesaian pekerjaan rumahtangga lebih berimbang. Hasil ini sesuai dengan

temuan Megawangi dan Sumarwan (1996), yaitu pada daerah yang berbeda peran

suami dalam rumahtangga bisa berbeda, di Sulawesi Utara suami lebih banyak

terlibat dalam pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan suami pada

rumah-tangga di Jawa Timur. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dalam rumahrumah-tangga

responden, para lelaki lebih banyak memusatkan kegiatannya pada pengelolaan

usahatani keluarga, sedangkan perempuan alokasi waktunya lebih pada tanggung

jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik di dalam rumahtangga.

Kurangnya responden laki-laki yang membantu melakukan pekerjaan

dalam rumahtangga adalah karena mereka menganggap itu adalah pekerjaan

perempuan dan anak-anak di rumah. Terkecuali bila isteri dalam kondisi yang

tidak mampu melakukannya, misalnya setelah melahirkan atau dalam keadaan

sakit, maka suami akan membantu pekerjaan rumahtangga.

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat di Kabupaten

Konawe Selatan, pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga terutama masih

menjadi tanggung jawab isteri. Sedangkan kegiatan mencari nafkah, terutama

(16)

inisiatif dan keinginan kuat dari isteri sendiri untuk menambah penghasilan.

Dengan adanya tambahan penghasilan, maka kebutuhan pangan dalam

rumah-tangga akan lebih terjamin ketersediaannya. Namun terdapat juga beberapa orang

responden yang harus bekerja mencari nafkah sendiri, karena suaminya sakit.

Meskipun kegiatan dalam rumahtangga tidak menghasilkan pendapatan

tunai, namun perempuan menganggap bahwa pekerjaan dalam rumahtangga

merupakan pekerjaan yang penting, terutama ketika anak-anak masih berumur di

bawah 10 tahun. Temuan ini sesuai dengan teori Becker (1981) tentang nilai

waktu perempuan, dimana pada saat tertentu nilai waktu perempuan lebih tinggi

daripada upah di pasar tenaga kerja atau penghasilan yang mungkin diperoleh bila

melakukan aktivitas di luar pekerjaan domestik, sehingga mereka lebih memilih

mencurahkan waktunya dalam pekerjaan domestik, daripada bekerja di luar

rumah. Hal ini senada dengan Cunningham (2001), bahwa keputusan untuk

berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai

maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran

dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi

daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar (pekerjaan rumahtangga), maka

individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001).

Terkait dengan alokasi waktu perempuan, Alvarez dan Miles (Undated)

menyebutkan bahwa temuan-temuan empiris dari berbagai kajian di negara maju

secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan tetap merupakan penanggung

jawab atas pekerjaan rumahtangga. Para responden perempuan di Kabupaten

Konsel juga menganggap bahwa pekerjaan rumahtangga merupakan kewajiban

(17)

sebagai pencari nafkah. Kecuali dalam kondisi suami sakit, maka isteri

mempunyai peran yang lebih berat, karena disamping tetap harus merawat suami

dan mengerjakan berbagai pekerjaan domestik, juga tetap harus mencari nafkah

untuk keperluan keluarga.

Terkait ketimpangan gender dalam rumahtangga di lokasi penelitian,

meskipun perempuan telah ikut mencari nafkah, namun tanggung jawab utama

dalam penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga tetap menjadi tugas isteri.

Ini adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, karena faktor budaya

yang masih kuat di kalangan masyarakat, yang beranggapan bahwa tugas utama

penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga adalah tanggung jawab perempuan.

6.2.5. Aktivitas Waktu Luang

Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas waktu luang (leisure) adalah

sholat, menonton, mengunjungi tetangga yang sakit, dan ‘ngobrol’ dengan tamu

atau tetangga. Dalam hal ini, alokasi waktu perempuan dan laki-laki, baik di desa

tahan pangan maupun di desa rawan pangan, tidak menunjukkan perbedaan yang

menyolok. Alokasi waktu perempuan di desa rawan pangan untuk aktivitas ini

sebesar 6.26 jam (26.06 persen) dan laki-laki sebesar 6.39 jam (26.63 persen). Di

desa tahan pangan, alokasi waktu perempuan untuk kegiatan ini adalah sebesar

5.13 jam (21.38 persen), sedangkan laki-laki sebesar 5.35 jam (22.29 persen).

Hasil ini menunjukkan bahwa waktu yang dialokasikan untuk kegiatan

leisure cukup seimbang bagi seluruh responden di kedua wilayah penelitian, baik

laki-laki maupun perempuan. Menurut Apps (2004), disamping konsumsi, waktu

yang dialokasikan untuk leisure merupakan salah satu indikator kesejahteraan.

(18)

responden telah menikmati waktu yang cukup untuk aktivitas yang disukainya.

Nampaknya, tingginya alokasi waktu untuk leisure bagi responden di lokasi

penelitian, tidak menunjukkan bahwa mereka telah sejahtera, namun lebih

disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha yang tersedia.

6.2.6. Istirahat

Istirahat merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap manusia.

Secara normal, waktu yang cukup untuk istirahat adalah sekitar 1/3 dari total

waktu yang dimiliki, atau 8 jam. Nampaknya porsi waktu untuk istirahat

merupakan alokasi waktu paling tinggi diantara seluruh kelompok aktivitas

responden. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh responden

dikedua lokasi penelitian telah menikmati istirahat yang cukup, yang mencapai 9

jam lebih dalam sehari-semalam. Besarnya alokasi waktu untuk istirahat ini bisa

saja bukan hal yang diinginkan oleh responden, namun disebabkan oleh ketiadaan

lapangan kerja dan atau berusaha yang umumnya terjadi di perdesaan.

Dilihat dari aspek gender, tidak ada perbedaan menyolok antara waktu

istirahat yang dialokasikan oleh laki-laki dan perempuan dalam aktivitasnya

selama 24 jam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal kesempatan

untuk menikmati istirahat, tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga

Dalam rumahtangga pertanian, salah satu aspek penting dalam analisis

gender menurut Ellis (1988) adalah terkait kontrol terhadap sumberdaya dan

pendapatan rumahtangga. Terkait ketahanan pangan, Horenstein (1989)

menjelas-kan bahwa keputusan mengenai apa dan berapa banyak tanaman yang

(19)

mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan

tersebut digunakan, merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan

dalam rumahtangga.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penanggung jawab utama seluruh

kegiatan dalam usahatani keluarga adalah laki-laki (suami), baik rumahtangga di

desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hasil ini sesuai dengan hasil

pembahasan pada bagian sebelumnya, di mana laki-laki merupakan pihak yang

lebih banyak mengalokasikan waktunya dalam pelaksanaan aktivitas usahatani

keluarga. Hasil pengolahan data mengenai pihak-pihak yang menjadi pengambil

keputusan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani dan produksi usahatani di

Kabupaten Konawe Selatan disajikan dalam Tabel 13.

Tabel 13. Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani dan Pengambil Keputusan terhadap Hasil Produksi Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Desa/ Kelurahan Pengambil Keputusan Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani Keluarga Pengambil Keputusan terhadap Produksi Usahatani Jumlah Responden Persentase (%) Jumlah Responden Persentase (%) Rawan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 123 11 1 3 5 143 86.01 7.69 0.70 2.10 3.50 100.00 72 38 3 2 25 140 51.43 27.14 2.14 1.43 17.86 100.00 Tahan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 50 2 0 0 2 54 92.59 3.70 0.00 0.00 3.70 100.00 8 8 4 8 1 29 27.59 27.59 13.79 27.59 3.45 100.00

(20)

Sementara itu, hanya sekitar 3.00 persen responden perempuan yang

mempunyai tanggung jawab terhadap seluruh aktivitas dalam usahatani keluarga,

baik di desa tahan pangan maupun rawan pangan. Hasil ini juga sesuai dengan

temuan pada bahasan sebelumnya bahwa alokasi waktu perempuan dalam

aktivitas usahatani keluarga lebih kecil dibandingkan laki-laki.

Terkait keputusan terhadap produksi usahatani yang diperoleh keluarga,

apakah akan dikonsumsi atau dijual, serta berapa bagian yang akan dikonsumsi

atau dijual, nampaknya suami merupakan penentu keputusan yang lebih dominan

di desa rawan pangan (51.43 persen) dibandingkan dengan responden di desa

tahan pangan (27.59 persen). Ini dapat menjadi gambaran terjadinya subordinasi

perempuan oleh pihak laki-laki, yaitu bahwa status sosial perempuan lebih rendah

dibandingkan laki-laki. Hasil temuan ini juga menegaskan kembali mengenai

budaya patrilineal yang terjadi dalam masyarakat Konawe Selatan, seperti juga

yang umum ditemui di daerah lain di Indonesia, dimana hubungan

lelaki-perempuan dicerminkan oleh kontrol lelaki atas harta, sumberdaya, dan

pendapatan rumahtangga pertanian, disamping juga atas aspek-aspek kehidupan

perempuan lainnya.

Khusus di desa tahan pangan, terdapat keseimbangan peran antara suami

dan isteri dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan produksi usahatani

keluarga. Nampaknya, hasil ini juga mendukung temuan-temuan sebelumnya

mengenai peran perempuan yang cenderung meningkat dalam usahatani keluarga

di desa tahan pangan dibandingkan di desa rawan pangan. Artinya, di desa tahan

(21)

laki-laki, namun perempuan memiliki peran yang lebih seimbang dengan laki-laki

dalam pengelolaan usahatani keluarga.

Terkait keputusan dalam proses penjualan hasil usahatani dan alokasi

penggunaan dari pendapatan usahatani tersebut, ringkasan hasilnya disajikan

dalam Tabel 14. Informasi dalam tabel tersebut mengindikasikan bahwa dalam

keputusan terkait proses penjualan hasil usahatani, baik di desa rawan pangan

maupun tahan pangan, peran bersama antara suami dan isteri lebih dominan

dibandingkan peran masing-masing gender, yaitu di desa rawan pangan mencapai

44.59 persen dan 48.78 persen didesa tahan pangan. Ini berarti bahwa dalam hal

proses penjualan produk usahatani, suami, dan isteri lebih kompromistis

dibandingkan pada keputusan lainnya dalam proses produksi usahatani keluarga.

Tabel 14. Pihak Penentu dalam Proses Penjualan Hasil dan Alokasi Pendapatan Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

Kategori Desa/ Kelurahan Pengambil Keputusan Penentu Keputusan Penjualan Hasil Usahatani Penentu Alokasi Penggunaan Pendapatan Usahatani Jumlah Responden Persentase (%) Jumlah Responden Persentase (%) Rawan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 12 33 0 0 29 74 16.22 44.59 0.00 0.00 39.19 100.00 15 27 0 0 28 70 21.43 38.57 0.00 0.00 40.00 100.00 Tahan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 8 20 1 0 12 41 19.51 48.78 2.44 0.00 29.27 100.00 4 22 0 0 11 37 10.81 59.46 0.00 0.00 29.73 100.00

(22)

Hal yang juga menarik dari tabel di atas, yaitu bahwa peran perempuan

secara sendiri di kedua lokasi penelitian terkait pengambilan keputusan dalam

proses penjualan hasil usahatani adalah lebih dominan dibandingkan laki-laki.

Namun bila dipilah menurut lokasi penelitian, peran perempuan secara sendiri

dalam proses penjualan hasil usahatani lebih besar untuk responden di desa rawan

pangan daripada responden perempuan di desa tahan pangan.

Dari hasil penjualan produk usahatani, akan diperoleh pendapatan

usahatani yang merupakan hasil kerja bersama anggota keluarga, terutama suami

dan isteri. Hasil pendapatan ini dapat digunakan untuk memenuhi berbagai

keperluan rumahtangga. Dalam hal ini, penentu utama penggunaan pendapatan

usahatani di desa rawan pangan adalah perempuan (40 persen), sedangkan di desa

tahan pangan diputuskan atas kompromi bersama suami dan isteri, yaitu mencapai

59.46 persen. Ini menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan peran antara

laki-laki dan perempuan dalam kontrol terhadap pendapatan usahatani keluarga.

Terkait ketahanan pangan, dengan besarnya kontrol perempuan terhadap

pendapatan yang diperoleh keluarga, maka ini akan berdampak besar terhadap

ketahanan pangan rumahtangga. Seperti diketahui bahwa perempuan merupakan

penanggung jawab utama dan pihak yang terlibat langsung dalam pengadaan,

pengolahan, penyimpanan dan penyiapan pangan dalam rumahtangga, sehingga

dengan kontrol atas pendapatan yang dimilikinya, akan memberinya keleluasaan

dalam keseluruhan proses penyediaan dan konsumsi pangan untuk seluruh

ang-gota keluarga. Ini sesuai temuan FAO (Undated) bahwa bila perempuan

mempu-nyai kontrol terhadap pendapatan, maka ini akan dapat mempertahankan tingkat

(23)

6.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Gender untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga

Pada rencana awal penelitian, kajian ini sebenarnya untuk menduga

faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan gender (perempuan dan laki-laki) untuk

masuk atau tidak masuk ke pasar kerja. Setelah pengambilan data di lapangan,

ternyata hanya 22.16 persen dari keseluruhan responden yang benar-benar

menerima upah dari aktivitas kerja yang dilakukan. Artinya, kurang dari separuh

dari total responden yang terlibat dalam pasar kerja yang melibatkan variabel

upah. Sebagian responden lainnya, yaitu sekitar 20.62 persen dari total responden

melakukan pekerjaan atau usaha mandiri di luar usahatani keluarga untuk

memperoleh pendapatan, antara lain mengojek motor, berdagang, menambang

emas, buruh bangunan, buruh nelayan, dan membuat atap. Pekerjaan-pekerjaan

tersebut dilakukan diluar sistem upah, sehingga dalam penelitian ini, digunakan

pendapatan/hari dari aktivitas yang dilakukan di luar pertanian sebagai proksi dari

upah di luar pertanian. Pengukuran seperti ini juga digunakan oleh Castagnini et

al. (2004).

Dalam bagian ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang secara

signifikan mempengaruhi keputusan masing-masing perempuan dan laki-laki

untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga. Menurut Kimhi

(1996) dalam Kimhi dan Rapaport (2004), variabel demografi rumahtangga

mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Disamping variabel demografi

(Mangkuprawira, 1985), alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam mencari

nafkah juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ekologi.

Secara khusus, Widarti (1998) menunjukkan bahwa keputusan perempuan

(24)

dan adanya anak berumur di bawah lima tahun di rumah. Variabel terakhir ini

berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga

kerja. Hal senada dikemukakan Damanik (2003) bahwa faktor utama yang

mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan,

karena penghasilan yang diperoleh suami masih kurang dalam memenuhi

kebutuhan keluarga. Sedangkan faktor pendorong bagi perempuan untuk tidak

bekerja adalah karena perempuan harus mengasuh anak di rumah.

6.4.1. Analisis Keputusan Kerja Perempuan

Pada awalnya diduga bahwa peluang perempuan untuk bekerja atau tidak

bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel tingkat upah

di sektor pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur

ketika pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit,

ukuran rumahtangga, jumlah anak di rumah yang berumur < 10 tahun,

pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy kesempatan

kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan

untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani, penerimaan total

usahatani, dan dummy pembeda desa.

Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model

persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga

menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini

ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori,

jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen

(25)

Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model

persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa

peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga

dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan

perempuan, (3) dummy keterampilan yang dimiliki, (4) dummy keluarga masuk

garis kemiskinan atau tidak, (5) usia saat pertama menikah, (6) jumlah anak di

rumah yang berusia < 10 tahun, dan (7) dummy pembeda desa/kelurahan tahan

pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan

perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode

MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 8 dan 9.

Dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga

maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi

keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan

bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup

bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya

sebesar 82.21

Dari tujuh variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat

empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang perempuan

untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan

95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendidikan perempuan, (2) pendidikan laki-laki,

(3) dummy keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa/kelurahan . Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan

pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1.

1

Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang

perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 82.2 persen

(26)

tahan pangan dan rawan pangan. Sedangkan variabel : (1) usia perempuan ketika

pertama menikah, (2) dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak, dan (3)

jumlah anak di rumah yang berusia < 10 tahun, pengaruhnya tidak signifikan

terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani

keluarga. Hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan

perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga ringkasannya disajikan dalam

Tabel 15 berikut ini.

Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009

No. Variabel Parameter Estimasi

P-Value Nilai Marginal

Effect (ME) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PddP PddL KETp UMp1 Ymis DAn D 0.2436 -0.2184 1.5354 0.6904 0.9686 -0.0292 1.2477 1 0.0178* 0.0338* 0.0310* 0.1856 0.1172 0.9137 0.0332* 0.0600 -0.0539 0.2239 0.1536 0.1932 -0.0073 0.2163 Keterangan :

* Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 dimana :

KETpn = Dummy perempuan memiliki keterampilan tertentu (ada=1;

tidak ada=0) Ymisn

bila ≤ Rp.182,000/bulan

= Dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak

(Bila pendapatan/kapita rumahtangga > Rp.182,000/bulan=1,

2

=0)

UMpn1n= Dummy usia menikah (UMpn1=1 bila menikah ketika usia < 19

tahun dan Lainnya=0)

Up1n = Dummy usia perempuan saat penelitian (Upn1=1 bila usia 15-24

tahun, Lainnya=0)

DAn = Jumlah anak berumur < 10 tahun di rumah (jiwa)

D1n

2

Garis kemiskinan versi BPS = Rp 182 000/bulan/orang

= Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0)

(27)

Variabel pendidikan perempuan mempunyai pengaruh yang signifikan dan

positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar

usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan perempuan adalah sebesar

0.060. Ini berarti bahwa jika pendidikan perempuan bertambah satu tahun, maka

peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan meningkat

sebesar 0.060. Hasil ini sangat logis, karena dengan meningkatnya pendidikan,

maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk

berparti-sipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya. Karena dengan

meningkat-nya pendidikan, perempuan akan memiliki kapabilitas yang lebih baik, sehingga

ketika masuk ke dunia kerja akan lebih mudah diterima dan bila berusaha secara

mandiri, maka ia akan mampu mengelola usahanya tersebut dengan lebih baik.

Hasil ini sejalan dengan temuan Kimhi dan Rapaport (2004) bahwa faktor

pendidikan memiliki efek yang positif terhadap pekerjaan di luar usahatani, tetapi

tidak berpengaruh terhadap pekerjaan dalam usahatani. Ini dapat terjadi, karena

hal-hal yang dipelajari di bangku pendidikan formal, tidak terkait langsung

dengan pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani. Alasan lain adalah bahwa aktivitas

dalam usahatani tidak memerlukan tingkat pendidikan formal tertentu, tetapi dapat

dipelajari dan dilakukan dengan relatif lebih mudah.

Adanya keterampilan khusus yang dimiliki perempuan mempunyai

pengaruh yang signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja

di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy keterampilan

perempuan adalah sebesar 0.224. Ini berarti bahwa jika perempuan memiliki

keterampilan khusus, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani

(28)

Hasil ini sangat logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang

dimiliki, maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk

berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah

maupun mengelola suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh

pekerjaan yang lebih besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya

seseorang juga akan memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang

yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian,

seseorang yang memiliki keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk

menyelenggarakan suatu usaha mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik,

karena ia mengetahui cara-cara menjalankan usaha tersebut.

Dari keseluruhan responden perempuan (n=194), hanya 7.22 persen yang

memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan menjahit,

membuat kue, dan mengajar (guru). Sedangkan 92.78 persen diantaranya tidak

mempunyai keterampilan khusus. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan

tahan pangan, maka keadaannya juga cukup memprihatinkan. Dari keseluruhan

responden perempuan di desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 5.56 persen

yang memiliki keterampilan. Persentase perempuan yang tidak memiliki

keterampilan jauh lebih besar, yaitu sebesar 94.44 persen. Sedangkan di desa

tahan pangan (n=50), persentase perempuan yang memiliki keterampilan khusus

lebih besar, yaitu sebesar 12 persen. Dari gambaran di atas nampak adanya

korelasi positif antara keterampilan perempuan dengan partisipasinya dalam

aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ketika jumlah responden yang

mempunyai keterampilan khusus cukup rendah, maka partisipasinya pada

(29)

Variabel pendidikan laki-laki (suami) mempunyai pengaruh yang negatif

dan signifikan terhadap peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani

keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan laki-laki adalah sebesar -0.054. Ini

berarti bahwa jika pendidikan suami bertambah satu tahun, maka peluang

perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan menurun sebesar 0.054.

Hasil ini dapat saja terjadi, yaitu ketika pendidikan suami meningkat, maka

isterinya dilarang untuk berpartisipasi pada kegiatan ekonomi di luar usahatani

keluarga. Pola-pola seperti ini bisa berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda,

karena sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kondisi suatu masyarakat pada

saat tertentu.

Variabel dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan

berpengaruh signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja di

luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy pembeda desa adalah

sebesar 0.216. Ini berarti bahwa di desa tahan pangan, responden perempuan

mempunyai peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani keluarga

sebesar 0.216. Perlu dijelaskan bahwa dua desa/kelurahan yang masuk kategori

tahan pangan dalam penelitian ini, merupakan daerah yang relatif lebih maju

dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian. Di

kedua kelurahan ini (salah satu kelurahan ini merupakan ibu kota Kecamatan

Laeya), disamping usahatani sawah dan perkebunan yang memberikan hasil

cukup tinggi bagi petani, juga terdapat beberapa kantor instansi pemerintah dan

sekolah-sekolah (SD, SMP dan SMA).

Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan

(30)

Sarana dan prasarana yang terdapat di daerah tahan pangan antara lain adalah

jalan beraspal yang merupakan jalan provinsi, sehingga arus lalu lintas sangat

lancar. Disamping itu juga terdapat irigasi yang dilengkapi saluran primer dan

sekunder, pasar, Koperasi Unit Desa, dan sumber penerangan dari PLN. Ini

merupakan faktor pendorong untuk lebih berkembangnya perekonomian di daerah

ini, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih besar

bagi warga masyarakatnya.

6.4.2. Analisis Keputusan Kerja Laki-Laki

Seperti juga pada model keputusan perempuan untuk berpartisipasi di

pasar kerja, pada rencana awal penelitian ini beberapa variabel yang diduga

mempengaruhi keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi

diluar usahatani keluarga adalah variabel-variabel tingkat upah di sektor

pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur ketika

pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit, ukuran

rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy

kesempatan kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa,

pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani,

penerimaan total usahatani, dan dummy pembeda desa.

Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model

persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga

menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini

ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori,

jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen

(31)

Dengan melakukan beberapa kali spesifikasi kembali terhadap model

persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa

peluang laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga

dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendapatan/kapita, (2) umur, (3) usia saat

pertama menikah, (4) dummy kesempatan kerja di desa, (5) dummy keterampilan

yang dimiliki, dan (6) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan

pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan laki-laki untuk bekerja di

luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode MLE, masing-masing

disajikan dalam Lampiran 10 dan 11.

Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga

maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi

keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan

bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup

bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya

sebesar 92.93

Dari enam variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat

empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang laki-laki

untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan

90 persen dan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 10 persen dan 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendapatan/kapita

rumahtangga, (2) dummy tidaknya kesempatan kerja di desa, (3) dummy ada-. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan

pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1.

3

Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 92.9 persen

(32)

tidaknya keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa tahan pangan

dan rawan pangan. Dua variabel lainnya, yaitu umur laki-laki saat penelitian dan

umur laki-laki saat pertama menikah tidak mempunayi pengaruh yang signifikan

terhadap keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi diluar

usahatani keluarga. Ringkasan hasil analisis disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009

No. Variabel Parameter Estimasi

P-Value Nilai Marginal

Effect (ME) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ykap Uln UMln DKKln KETln D -0.0000003 -0.0268 0.0710 5.5445 1.0523 1.7981 2 0.0657** 0.2438 0.2447 <.0001* 0.0425* 0.0079* -0.0000001 -0.0067 0.0177 0.0215 0.2019 0.2192 Keterangan :

* Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 ** Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.10 dimana :

Ykap = Pendapatan/kapita (Rp/orang/tahun) Ul = Umur laki-laki saat penelitian (tahun) UML = Umur pertama menikah (tahun)

DKKL = Dummy kesempatan kerja laki-laki (1 = ada; 0 = tidak ada)

KETl = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) D2

Dari Tabel 16 nampak bahwa pada taraf kepercayaan 90 persen, variabel

pendapatan per kapita keluarga berpengaruh signifikan dan negatif terhadap

keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa

bila pendapatan/kapita dalam keluarga meningkat, maka peluang laki-laki untuk

bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan berkurang. Nilai ME dari

variabel pendapatan/kapita adalah sebesar -0.0000001, ini berarti bahwa jika = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan

(33)

pendapatan/kapita bertambah Rp. 1 000 000, maka peluang laki-laki untuk bekerja

di luar usahatani keluarga akan berkurang sebesar 0.1. Hal ini dapat saja terjadi,

yaitu bila responden telah merasa bahwa pendapatan yang diperoleh sekarang

telah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ketika pendapatan per

kapita meningkat, responden akan mengurangi alokasi waktunya pada kegiatan di

luar usahatani keluarga.

Pada taraf kepercayaan 95 persen, variabel dummy kesempatan kerja di

desa berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja

di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa bila laki-laki (suami) merasa bahwa

ada kesempatan kerja di desanya, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha

di luar usahatani keluarga akan meningkat. Nilai ME dari variabel dummy

kesempatan kerja laki-laki adalah sebesar 0.022, ini berarti bahwa jika ada

kesempatan kerja di desa, maka peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani

keluarga akan bertambah sebesar 0.022.

Hasil ini sangat logis terjadi. Fenomena kurangnya kesempatan kerja di

perdesaan tentu saja merupakan sesuatu yang sudah banyak diketahui, sehingga

ketika ada kesempatan kerja di daerahnya, maka responden akan memiliki

peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani.

Dari tabel di atas nampak bahwa pada taraf kepercayaan 95 persen,

variabel keterampilan yang dimiliki suami berpengaruh signifikan dan positif

terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti

bahwa bila suami mempunyai keterampilan tertentu, maka peluang laki-laki untuk

bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan lebih tinggi. Nilai ME dari

(34)

laki-laki mempunyai keterampilan, maka peluangnya untuk bekerja di luar usahatani

keluarga akan bertambah sebesar 0.202.

Seperti juga pada persamaan keputusan perempuan, hasil ini juga sangat

logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang dimiliki, maka akan

memberikan peluang yang lebih besar bagi laki-laki untuk berpartisipasi dalam

aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah maupun mengelola

suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih

besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya seseorang juga akan

memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang yang tidak mempunyai

keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian, seseorang yang memiliki

keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk menyelenggarakan suatu usaha

mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik, karena ia mengetahui cara-cara

menjalankan usaha tersebut.

Dari keseluruhan responden laki-laki (n=194), sebanyak 34.54 persen yang

memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan pertukangan

(kayu dan batu), memanjat kelapa, membuat atap dan guru mengaji. Sedangkan

65.46 persen diantaranya tidak mempunyai keterampilan khusus.

Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka

keadaannya juga mirip dengan yang dialami perempuan, yaitu kurangnya

partisipasi laki-laki pada kegiatan ekonomi di luar pertanian, meskipun nilainya di

atas persentase partisipasi perempuan. Dari keseluruhan responden laki-laki di

desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 29.86 persen yang memiliki

keterampilan, sedangkan yang tidak memiliki keterampilan jauh lebih besar, yaitu

(35)

tinggi, yaitu sebesar 48 persen, sekitar 52 persen lainnya tidak berpartisipasi

dalam aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga.

Seperti juga pada model keputusan perempuan, dalam analisis inipun

nampak adanya korelasi positif antara keterampilan laki-laki dengan

partisipasinya dalam aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ketika jumlah

responden yang mempunyai keterampilan khusus meningkat, maka partisipasinya

pada aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga juga meningkat.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan sebesar 95

persen, variabel dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan

berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di

luar usahatani. Ini berarti bahwa bila responden tinggal di desa tahan pangan,

maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan

meningkat. Nilai ME dari variabel dummy adalah sebesar 0.219, ini berarti bahwa

jika responden tinggal di desa tahan pangan, maka peluang laki-laki untuk bekerja

di luar usahatani keluarga akan bertambah sebesar 0.219.

Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan

memang jauh lebih baik dibandingkan dengan desa-desa di daerah rawan pangan.

Ini menjadi salah satu dorongan untuk lebih berkembangnya perekonomian di-

daerah tersebut, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, Sumarsono (2002:202-203) menyatakan bahwa “campur kode terjadi apabila penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa

Karya tersebut menyatakan bahwa seseorang lebih mudah untuk memilih dan menggunakan kata-kata umum, yang lebih familiar dari pada kata- kata yang tidak dikenalnya, dengan

Fungsi peran serta masyarakat menurut Koesnadi Hardjasoemantri (Rianto, 2005:37) dalalm pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peran serta masyarakat

Rekayasa domain adalah aktivitas mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menyimpan pengalaman dalam membangun sistem-sistem atau bagian-bagian dari sistem-sistem pada domain

Mardalisa (NIM:10030191), Persepsi Masyarakat Terhadap Efektifitas Trans Padang Di Kota Padang, Skripsi, Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera

Foodstagramming digambarkan sebagai kegiatan menggugah foto makanan berbagai media sosial termasuk Instagram .Hampir semua pengguna Instagram terutama mahasiswa

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: rata-rata kriteria pemahaman konsep peserta didik kelas XI SMA Negeri 1

Heuristik adalah tahapan mencari dan mengumpulkan sumber- sumber yang relevan dengan topik dan judul penelitian, sejarah sosial masyarakat Nagari Lagan Mudik