DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KEPUTUSAN GENDER UNTUK BEKERJA DI LUAR
USAHATANI KELUARGA
Dalam bagian ini akan dipaparkan mengenai hasil analisis peran gender
(perempuan dan laki-laki) menurut konsep-konsep yang dikemukakan oleh Ellis
(1988), terutama terkait pembagian tenaga kerja dan alokasi waktu berdasar
gender, yaitu pada sub bab 6.1., 6.2. dan 6.3. Dengan analisis ini, diharapkan akan
diperoleh gambaran menyeluruh mengenai peran perempuan dan laki-laki dalam
rumahtangga pertanian. Dalam bagian 6.4. dibicarakan mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan perempuan dan laki-laki untuk bekerja di luar
usahatani keluarga.
Ellis (1988) menyebut perempuan sebagai the invisible peasant.
Dalam masyarakat pertanian, perempuan berkontribusi dalam pekerjaan fisik
produksi pertanian, sekaligus menyangga kehidupan rumahtangga pertanian
dalam banyak hal. Meskipun peran perempuan sangat besar, namun analisis
ekonomi yang ada belum mampu meliput kontribusi tersebut secara tepat.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar data aktivitas ekonomi perdesaan
yang dipublikasikan, diperoleh dari sensus dengan laki-laki kepala
rumah-tangga sebagai sumberdata utama. Karena itu, peran perempuan dalam
pekerjaan usahatani, pengolahan pangan dan banyak kegiatan produktif
lainnnya adalah underestimate. Dalam hal ini, asumsi neoklasik menganggap
rumahtangga sebagai satu unit analisis, dimana keputusan perilaku ekonomi
6.1. Pembagian Tenaga Kerja Berdasar Gender
Konsep pemisahan tenaga kerja (gender division of labor)
digunakan untuk menjelaskan alokasi aktivitas antara perempuan dan laki-laki
dalam ekonomi pertanian. Pemisahan ini tidak secara alamiah disebabkan adanya
perbedaan biologis diantara keduanya, namun lebih mengacu pada adat istiadat,
kebiasaan sosial, norma, dan kepercayaan yang merupakan ruang lingkup perilaku
individual (Ellis, 1988). Oleh karena itu, dengan anggapan bahwa pembedaan
tenaga kerja perempuan dan laki-laki cenderung ditetapkan secara sosial bukan
biologis, konsep gender digunakan sebagai rujukan makna sosial untuk mengenali
aturan yang berlaku dalam berbagai karakteristik masyarakat.
6.1.1. Pembagian Kerja dalam Usahatani Keluarga
Seperti juga di daerah lain, dalam rumahtangga pertanian di Kabupaten
Konawe Selatan, melakukan pekerjaan di dalam usahatani keluarga merupakan
aktivitas penting yang dilakukan petani dan keluarganya, baik itu dalam usahatani
pangan (padi, jagung, sayuran), perkebunan maupun perikanan (darat dan laut).
Suami dan isteri yang menjadi fokus dalam penelitian ini, melakukan
pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani dengan aktivitas yang relatif berbeda. FAO (Undated)
menjelaskan bahwa di pertanian, perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang
bervariasi, baik antar wilayah maupun negara. Pada beberapa kasus, perempuan
dan laki-laki mempunyai peran yang saling melengkapi, berbagi tugas dalam
produksi hasil panen, peningkatan peternakan, perikanan, dan pemanfaatan hutan.
Pada kasus lain, perempuan dan laki-laki mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang sangat berbeda dalam pemanenan dan peternakan, perikanan, dan kehutanan.
keterlibatan laki-laki lebih diutamakan, khususnya dalam pertanian dengan
mekanisasi tinggi. Tanggung jawab perempuan meningkat terhadap produksi
pangan dalam skala rumahtangga dan pemanenan langsung dalam skala kecil
dengan menggunakan teknologi rendah.
Hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian menunjukkan
bahwa umumnya laki-laki melakukan pekerjaan yang relatif banyak
membutuhkan curahan tenaga yang besar, sebaliknya perempuan melakukan
pekerjaan yang relatif sedikit membutuhkan curahan fisik. Misalnya dalam
usahatani pangan, umumnya laki-laki melakukan pekerjaan mengolah lahan,
memperbaiki pematang, memupuk dan memberantas hama penyakit, sedangkan
perempuan lebih banyak melakukan kegiatan penanaman padi, penyiangan gulma
pada usahatani pangan, dan pemanenan.
Pada usahatani kebun, laki-laki merupakan pihak yang umumnya
melakukan pembuatan lubang untuk penanaman bibit tanaman, penyiapan lahan,
membuat ajir untuk tanaman merica, melakukan pemangkasan dahan pohon
kakao, dan pembersihan gulma. Sedangkan perempuan lebih banyak melakukan
pemanenan dan penanganan pasca panen, hingga pemasaran hasil.
Dalam rumahtangga nelayan, laki-laki umumnya melakukan kegiatan
penyiapan peralatan tangkap ikan, penangkapan dan atau pemancingan ikan, baik
di laut maupun di danau, lalu juga melakukan pemasaran hasil yang diperoleh.
Perempuan umumnya menyiapkan bekal makanan untuk suami, juga melakukan
pemasaran terhadap hasil ikan yang diperoleh, dan penanganan pasca panen.
Hasil di atas secara umum menunjukkan bahwa suami merupakan pelaku
temuan Sitepu (2007) dan Hendratno (2006) bahwa kegiatan usahatani didominasi
laki-laki. Demikian juga Mangkuprawira (1985) berpendapat bahwa dilihat dari
aspek budaya, peran untuk mencari nafkah dalam rumahtangga lebih banyak
dilakukan oleh suami, sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak dilakukan
oleh perempuan (isteri). Todaro (1998) mengemukakan perempuan memegang
peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan
menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi
pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka
tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Untuk melihat lebih jauh
mengenai peran perempuan dalam aktivitas di rumahtangga, pada bagian di bawah
ini akan disajikan analisis terkait alokasi waktu gender (perempuan dan laki-laki)
dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.
6.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga
Selain melakukan pekerjaan dalam usahatani keluarga, perempuan dan
laki-laki juga melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduktif di dalam rumahtangga,
demi keberlangsungan kehidupan keluarga. Meskipun pekerjaan rumahtangga
lebih banyak dilakukan oleh perempuan (isteri), namun suami juga terlibat dalam
melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, meski dengan alokasi waktu yang lebih
sedikit. Seperti juga di daerah lain, nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah ini
memang memberi tanggung jawab yang besar kepada isteri dalam penyelesaian
pekerjaan-pekerjaan reproduksi dalam rumahtangga. Sedangkan suami hanyalah
membantu sekedarnya saja. Hasil penelitian Ariyanto (2004) menguatkan hal ini,
reproduksi dibandingkan laki-laki. Bahkan Setyawati (2008) menegaskan bahwa
laki-laki hanya melakukan aktivitas produksi dan sosial kemasyarakatan. Terkait
hal ini, Maume (2006) menyatakan bahwa kewajiban terhadap keluarga lebih
dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme.
Hasil di atas bertentangan dengan temuan Lewin-Epstein dan Stier (2006),
dimana perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit
dalam pekerjaan rumahtangga, sedangkan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih
terpisah, mirip di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda
dalam karakteristik demografi. Hasil studi Binswanger dan Rosenzweig (1981)
menyimpulkan bahwa pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial
budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga
kerja (division of labor), ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar.
Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan
yang dilakukan responden dalam rumahtangga antara lain adalah mencuci
pakaian, memasak, mengurus anak, menyiapkan bekal untuk ke kebun,
mengambil air, membersihkan pekarangan, mencari sayur ke kebun, ke warung,
dan menyetrika. Dari wawancara dengan responden diketahui bahwa suami juga
melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut (meski dengan porsi waktu yang jauh
lebih sedikit), kecuali mencari sayur ke kebun. Memasak, mengurus anak,
mencuci, dan membersihkan pekarangan merupakan kegiatan utama yang
dilakukan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, disamping
pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya.
Disini nampak besarnya peran perempuan dalam pencapaian ketahanan
seluruh anggota rumahtangga. Mulai dari mencari bahan pangan di kebun,
menyiapkannya, dan menghidangkan makanan. Keseluruhan proses tersebut
sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Dengan alokasi
waktu dan tenaganya, perempuan melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, karena
secara tradisional perempuan memegang tanggung jawab yang besar dalam
pemenuhan pangan seluruh anggota rumahtangga.
Peran tersebut sesuai dengan pendapat Todaro (1998) bahwa peran penting
perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun
terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk
mencari (membeli), memasak, serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu
pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga
ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya.
Ini sesuai dengan FAO (Undated) bahwa peran perempuan lainnya adalah
dalam pengolahan pangan yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan melalui
penurunan kehilangan pangan, penganekaragaman diet, dan mensuplai vitamin
penting bagi tubuh. Perempuan juga bertanggung jawab terhadap waktu
konsumsi, penggilingan, pengasapan ikan dan daging, mengolah, dan memelihara
buah dan sayur yang dihasilkan dari pekarangan rumah, bertanggung jawab secara
universal dalam penyiapan makanan keluarga, dan menjamin kualitas gizi seluruh
anggota keluarga.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagai penerima gaji, perempuan
bertanggung jawab dalam penyediaan pangan untuk keluarga. Jika tidak sebagai
penghasil, maka sebagai penerima penghasilan, perempuan tetap berkewajiban
mereka digunakan untuk membeli makanan bagi anggota keluarga. Ketika
perempuan mempunyai kontrol terhadap kelebihan penghasilan, maka mereka
dapat mempertahankan tingkat kesejahteraan keluarga, khususnya pada perbaikan
kualitas gizi anggota keluarga (FAO, Undated).
Perempuan merupakan penghasil pendapatan (income earners), baik yang
diperoleh dari hasil usahatani maupun non usahatani. Perempuan mempunyai
tanggung jawab utama dalam pembelian makanan, kemampuan mereka dalam
mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan
pangan. Perempuan memegang peranan kritis sebagai penyedia makanan, yaitu
dalam memilih jenis makanan yang tersedia di pasar atau yang dihasilkan dari
kebun, mengalokasikan jumlah makanan untuk anggota keluarga, mempersiapkan
makanan, dan membuat variasi pada setiap makanan (Horenstein, 1989).
Dengan pembahasan yang dilakukan di atas dapat dikatakan bahwa peran
perempuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga, nampaknya
sepele dan tidak bernilai ekonomis, namun ternyata sangatlah menentukan
pencapaian ketahanan pangan rumahtangga petani. Dengan ditunjang oleh
penghasilan yang diperolehnya sendiri dan dari suami, serta kemampuan
mengelola pendapatan tersebut, dibarengi dengan curahan fikiran dan tenaga
dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, maka kemungkinan untuk
mencapai ketahanan pangan rumahtangga akan lebih besar. Dengan demikian
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa peran perempuan tersebut sangat
menentukan kualitas kehidupan anak dan anggota keluarga secara keseluruhan.
Peran yang dilakukan saat ini akan memberi dampak pada kehidupan seluruh
6.1.3. Pembagian Kerja di Luar Usahatani Keluarga
Karena kebutuhan keluarga yang meningkat, sementara pendapatan dari
usahatani keluarga tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh keperluan dalam
rumahtangga, mendorong perempuan dan laki-laki untuk bekerja lebih giat
(Suprihatin, 1986). Karena kesempatan kerja di sektor pertanian yang sangat
terbatas di perdesaan, sehingga perempuan hanya bisa menjadi buruh tanam atau
panen di usahatani tetangga. Kesempatan kerja ini menjadi semakin langka,
karena masa tanam dan panen paling tidak hanya dapat dilakukan dua kali dalam
setahun, yaitu sesuai dengan musim tanam untuk tanaman pangan.
Laki-laki nampaknya mempunyai kesempatan kerja yang lebih beragam,
karena dapat memperoleh upah dari pekerjaan-pekerjaan, seperti buruh cangkul,
buruh nelayan, memperbaiki pematang, dan buruh panjat kelapa. Karena
pertimbangan fisik, maka suami tidak hanya dapat bekerja di usahatani pangan,
namun juga di perkebunan atau menjadi buruh nelayan, dimana
pekerjaan-pekerjaan ini relatif lebih sering dilakukan.
6.1.4. Pembagian Kerja di Luar Pertanian
Karena dorongan untuk memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan seluruh anggota keluarga dan didorong oleh kurangnya kesempatan
kerja dan atau berusaha di sektor pertanian, maka perempuan dan laki-laki
beru-paya mencarinya di luar sektor pertanian. Untuk itu, perempuan menjadi
pedagang, baik di rumah maupun di pasar (menjual sayur dan sembako), menjadi
guru, tukang pijat, guru mengaji, bahkan ada yang ikut mendulang emas. Di sisi
lain, responden laki-laki umumnya menjadi tukang ojek, membuat atap, buruh
Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian ini umumnya merupakan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak melibatkan aspek upah, tetapi lebih merupakan usaha
mandiri yang dikelola responden dengan keterbatasan modal dan pengetahuan.
Dengan demikian, hasil yang diperoleh juga sangat ditentukan oleh
besar-kecilnya modal yang ditanamkan dan kemampuan manajerial dari responden.
Pekerjaan-pekerjaan upahan seperti menjadi Satpam dan guru mengaji sangat
jarang dan memerlukan persyaratan yang umumnya tidak dimiliki responden.
6.2. Alokasi Waktu Berdasar Gender
Dalam rumahtangga petani, disamping lahan sebagai aset paling berharga,
juga waktu (24 jam) yang dimiliki masing-masing perempuan dan laki-laki
merupakan sumberdaya keluarga yang dapat dialokasikan pada berbagai aktivitas,
baik untuk pekerjaan di dalam rumahtangga, di usahatani maupun pada berbagai
kegiatan di luar usahatani. Alokasi waktu pada berbagai kegiatan tersebut,
disamping untuk tujuan ekonomi, kepentingan sosial, dan leisure.
Dengan menghitung dan membandingkan pola curahan kerja (waktu)
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas produktif dan
reproduktif, maupun leisure, akan dapat diketahui gambaran mengenai posisi dan
status sosial perempuan dan laki-laki dalam perekonomian rumahtangga. Ini akan
mempertajam konsepsi peran masing-masing gender dalam rumahtangga, serta
dalam masyarakat secara lebih luas. Ini sesuai dengan pendapat (Doyle, 1985
dalam Sajiharjo, 1990) bahwa analisis gender merupakan suatu analisis tentang
hubungan (relasi) antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial. Dengan
demikian, analisis gender dapat digunakan untuk mengamati hubungan
Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini, akan dilakukan
pengamatan terhadap jenis kegiatan dan alokasi waktu perempuan dan laki-laki
dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan leisure, yang akan dianalisis secara
deskriptif kualitatif berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Ellis (1988).
Analisis yang dilakukan adalah dengan membandingkan alokasi waktu dari semua
kegiatan yang dilakukan perempuan dan laki-laki selama 24 jam, yang dipilah
menurut kegiatan (1) dalam usahatani keluarga, (2) pertanian di luar usahatani
keluarga, (3) kerja di luar pertanian, (4) pekerjaan rumahtangga, (5) waktu luang,
dan (6) istirahat. Hasil analisis secara ringkas mengenai aktivitas perempuan dan
laki-laki yang dilakukan selama 24 jam terakhir disajikan dalam tabel berikut ini :
Tabel 12. Perbandingan Alokasi Waktu menurut Gender dalam Berbagai Aktivitas 24 Jam Lalu di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kategori Desa/ Kelurahan
Kelompok Aktivitas
Perempuan Laki – Laki Jumlah Jam Kerja Persentase (%) Jumlah Jam Kerja Persentase (%) Rawan Pangan n=136
Kerja di usahatani kel. Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian Pekerjaan rumahtangga Waktu luang Istirahat Jumlah 1.63 0.04 0.74 5.38 6.26 9.96 24.00 6.79 0.17 3.08 22.42 26.08 41.50 100.00 5.65 0.68 1.51 0.63 6.39 9.14 24.00 23.54 2.83 6.29 2.63 26.63 38.08 100.00 Tahan Pangan n=49
Kerja di usaha tani kel. Kerja diluar usahatani kel. Kerja diluar pertanian Pekerjaan rumahtangga Waktu luang Istirahat Jumlah 3.81 0.35 1.48 3.81 5.13 9.42 24.00 15.88 1.46 6.17 15.88 21.38 39.25 100.00 7.31 0.20 0.37 1.37 5.35 9.41 24.00 30.46 0.83 1.54 5.71 22.29 39.21 100.00
6.2.1. Aktivitas dalam Usahatani Keluarga
Pada tabel di atas tampak untuk daerah rawan pangan, besar alokasi waktu
perempuan untuk kegiatan dalam usahatani keluarga (on-farm activities) rata-rata
hanya sebesar 1.63 jam atau hanya 6.79 persen dari total 24 jam yang dimiliki.
Sedangkan laki-laki mengalokasikan 5.65 jam dari waktunya untuk mengelola
usahatani keluarga, atau sekitar 23.54 persen dari 24 jam yang dimilikinya. Hasil
ini menunjukkan bahwa pengelolaan usahatani keluarga secara langsung masih
didominasi oleh suami, sedangkan isteri perannya lebih kecil. Hasil penelitian
Soepriati (2006) memper-kuat hal ini bahwa peran istri pada usahatani lebih
kecil dibandingkan suami.
Hasil analisis menunjukkan keadaan yang agak berbeda untuk desa tahan
pangan, dimana alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam usahatani keluarga
lebih tinggi dibandingkan di desa rawan pangan, yaitu mencapai 3.81 jam (15.88
persen) untuk perempuan dan 7.31 jam (30.46 persen) untuk laki-laki. Ini
menun-jukkan bahwa di desa tahan pangan, para responden memberi perhatian yang
be-sar terhadap usahatani keluarga, dan usahatani ini bisa diandalkan sebagai sumber
penghidupan yang utama dalam pemenuhan kebutuhan anggota rumahtangga.
Hal ini diperkuat dengan data bahwa dari keseluruhan responden
penelitian (n=190), hanya 75 orang isteri (39.47 persen) yang bekerja atau
membantu suami secara langsung dalam usahatani keluarga. Jumlah responden
perempuan yang tidak ikut bekerja dalam usahatani keluarga mencapai 60.53
persen. Temuan Kimhi dan Rapaport (2004) sejalan dengan hasil penelitian ini,
bahwa penawaran tenaga kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki, baik di
Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, hasil di atas
mirip keadaannya dengan responden di desa rawan pangan, dimana hanya sekitar
31.43 persen dari 140 responden perempuan yang bekerja langsung dalam
usahatani keluarga. Bandingkan dengan responden di desa tahan pangan (n=50),
yang persentase partisipasi perempuan dalam usahatani keluarga mencapai 62
persen. Rendahnya curahan waktu perempuan dalam usahatani keluarga adalah
karena responden perempuan lebih banyak mencurahkan waktunya untuk
pekerjaan domestik dalam rumahtangga, seperti mengurus keperluan anak dan
suami, memasak, dan kegiatan lainnya, termasuk menyiapkan berbagai keperluan
suami untuk bekerja di usahatani, misalnya untuk bekal makan siang.
Hasil-hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan temuan Sitepu (2007) yang
menunjukkan pola relasi gender yang umumnya didominasi oleh laki-laki dan
Hendratno (2006) yang hasil penelitiannya membuktikan adanya dominasi suami
dalam kegiatan produksi.
6.2.2. Aktivitas Pertanian di Luar Usahatani Keluarga
Alokasi waktu perempuan dan laki-laki untuk kegiatan pertanian di luar
usahatani keluarga (off-farm activities) merupakan curahan waktu paling kecil
diantara keenam kelompok aktivitas, baik di daerah rawan pangan maupun di
daerah tahan pangan. Di desa rawan pangan, alokasi waktu perempuan hanya
sebesar 0.04 jam (0.17 persen), sedangkan laki-laki adalah 0.68 jam (2.83 persen).
Alokasi waktu perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi dibandingkan
responden di desa rawan pangan, yaitu mencapai 0.35 jam (1.46 persen),
sedangkan laki-laki lebih rendah, yaitu 0.20 jam (0.83 persen). Hasil ini juga
keluarga. Hal ini memang fenomena yang umum terjadi di perdesaan, dimana
kesempatan kerja yang tersedia sangat terbatas. Inilah salah satu yang mendorong
arus urbanisasi ke kota-kota besar, dalam rangka mendapatkan alternatif
pendapatan dari berbagai kegiatan informal di perkotaan.
Padahal sebenarnya, alokasi waktu di luar usahatani keluarga sebenarnya
bisa menjadi alternatif penting dalam perolehan pendapatan, seperti yang
dikemukakan oleh Newman dan Canagarajah (2000) bahwa aktivitas di luar
usahatani penting karena dapat menyebabkan penurunan kemiskinan rumahtangga
petani di Ghana dan Uganda.
6.2.3. Aktivitas Ekonomi di Luar Pertanian
Seperti juga di sektor pertanian, sektor non pertanian di desa juga tidak
cukup menyediakan kesempatan bagi para responden untuk bekerja, baik di
desa-desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya
alo-kasi waktu perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi non pertanian
(non-farm activities). Dalam hal ini, perempuan mengalokasikan waktunya hanya
sebe-sar 0.74 jam (3.08 persen), sedangkan laki-laki mencapai 1.51 jam (6.29 persen).
Keadaannya agak lebih baik bagi perempuan di daerah tahan pangan,
dimana alokasi waktu perempuan dalam kegiatan non pertanian mencapai 1.48
jam (6.17 persen). Kebalikannya bagi para suami, alokasi waktunya hanya
mencapai 0.37 jam atau hanya 1.54 persen dari total waktu yang dimilikinya.
Ini menunjukkan adanya kesempatan bekerja dan atau berusaha yang lebih
besar bagi perempuan di daerah tahan pangan. Hal ini diindikasikan oleh
Setyawati (2008), yang menunjukkan peran yang dilakukan perempuan selain
aktivitas produktif (bekerja), serta melakukan pekerjaan sosial kemasyarakatan.
Sitorus (1994) menyebutkan bahwa peran ekonomi perempuan pada rumahtangga
nelayan miskin sangatlah besar, yaitu disamping bekerja di dalam usahatani
keluarga dan atau usahatani tetangga, juga di luar sektor pertanian atau perikanan.
Pentingnya aktivitas di luar pertanian sebagai sumber pendapatan bagi
rumahtangga telah banyak diketahui. Oleh karena itu, alokasi waktu responden
yang ditujukan untuk kegiatan di luar pertanian merupakan upaya untuk
memperoleh pendapatan yang lebih besar bagi rumahtangganya. Mishra et al.
(2002) dalam Goodwin dan Mishra (2004) menyatakan bahwa 92 persen
pendapatan petani di Amerika Serikat berasal dari non usahatani.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di luar pertanian adalah berjualan
di pasar, membuka kios sembako dan menjual makanan bagi perempuan,
sedang-kan bagi laki-laki adalah mengojek, menjual di pasar dan menambang emas.
6.2.4. Aktivitas dalam Rumahtangga
Alokasi waktu perempuan yang rendah dalam usahatani keluarga, maupun
dalam kegiatan ekonomi lainnya, ternyata karena perempuan lebih banyak
mengalokasikan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam
rumah-tangga (housework, or domestic activities), seperti memasak, mencuci, mengurus
anak, termasuk menyiapkan berbagai keperluan suami untuk ke kebun, misalnya
untuk bekal makan siang. Waktu yang dialokasikan responden perempuan di desa
rawan pangan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga mencapai 5.38
jam atau 22.42 persen dari total waktunya, sedangkan laki-laki sangat sedikit,
yaitu hanya sebesar 0.63 jam (2.63 persen). Hasil ini sesuai temuan Soepriati
daripada suami, bahkan Koesoemowidjojo (2000) menyimpulkan bahwa sekitar
29 persen isteri sepenuhnya hanya mengurus rumahtangga, selebihnya bekerja
di sektor publik.
Keadaan yang mirip terjadi juga di desa tahan pangan meski ada sedikit
peningkatan dalam alokasi waktu suami dalam pekerjaan rumahtangga dan
menurunnya alokasi waktu perempuan dalam melakukan pekerjaan rumahtangga.
Ini berarti bahwa di daerah tahan pangan, peran perempuan dan laki-laki dalam
penyelesaian pekerjaan rumahtangga lebih berimbang. Hasil ini sesuai dengan
temuan Megawangi dan Sumarwan (1996), yaitu pada daerah yang berbeda peran
suami dalam rumahtangga bisa berbeda, di Sulawesi Utara suami lebih banyak
terlibat dalam pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan suami pada
rumah-tangga di Jawa Timur. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dalam rumahrumah-tangga
responden, para lelaki lebih banyak memusatkan kegiatannya pada pengelolaan
usahatani keluarga, sedangkan perempuan alokasi waktunya lebih pada tanggung
jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik di dalam rumahtangga.
Kurangnya responden laki-laki yang membantu melakukan pekerjaan
dalam rumahtangga adalah karena mereka menganggap itu adalah pekerjaan
perempuan dan anak-anak di rumah. Terkecuali bila isteri dalam kondisi yang
tidak mampu melakukannya, misalnya setelah melahirkan atau dalam keadaan
sakit, maka suami akan membantu pekerjaan rumahtangga.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat di Kabupaten
Konawe Selatan, pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga terutama masih
menjadi tanggung jawab isteri. Sedangkan kegiatan mencari nafkah, terutama
inisiatif dan keinginan kuat dari isteri sendiri untuk menambah penghasilan.
Dengan adanya tambahan penghasilan, maka kebutuhan pangan dalam
rumah-tangga akan lebih terjamin ketersediaannya. Namun terdapat juga beberapa orang
responden yang harus bekerja mencari nafkah sendiri, karena suaminya sakit.
Meskipun kegiatan dalam rumahtangga tidak menghasilkan pendapatan
tunai, namun perempuan menganggap bahwa pekerjaan dalam rumahtangga
merupakan pekerjaan yang penting, terutama ketika anak-anak masih berumur di
bawah 10 tahun. Temuan ini sesuai dengan teori Becker (1981) tentang nilai
waktu perempuan, dimana pada saat tertentu nilai waktu perempuan lebih tinggi
daripada upah di pasar tenaga kerja atau penghasilan yang mungkin diperoleh bila
melakukan aktivitas di luar pekerjaan domestik, sehingga mereka lebih memilih
mencurahkan waktunya dalam pekerjaan domestik, daripada bekerja di luar
rumah. Hal ini senada dengan Cunningham (2001), bahwa keputusan untuk
berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai
maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran
dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi
daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar (pekerjaan rumahtangga), maka
individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001).
Terkait dengan alokasi waktu perempuan, Alvarez dan Miles (Undated)
menyebutkan bahwa temuan-temuan empiris dari berbagai kajian di negara maju
secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan tetap merupakan penanggung
jawab atas pekerjaan rumahtangga. Para responden perempuan di Kabupaten
Konsel juga menganggap bahwa pekerjaan rumahtangga merupakan kewajiban
sebagai pencari nafkah. Kecuali dalam kondisi suami sakit, maka isteri
mempunyai peran yang lebih berat, karena disamping tetap harus merawat suami
dan mengerjakan berbagai pekerjaan domestik, juga tetap harus mencari nafkah
untuk keperluan keluarga.
Terkait ketimpangan gender dalam rumahtangga di lokasi penelitian,
meskipun perempuan telah ikut mencari nafkah, namun tanggung jawab utama
dalam penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga tetap menjadi tugas isteri.
Ini adalah beban ganda yang harus ditanggung perempuan, karena faktor budaya
yang masih kuat di kalangan masyarakat, yang beranggapan bahwa tugas utama
penyelesaian berbagai pekerjaan rumahtangga adalah tanggung jawab perempuan.
6.2.5. Aktivitas Waktu Luang
Kegiatan yang termasuk dalam aktivitas waktu luang (leisure) adalah
sholat, menonton, mengunjungi tetangga yang sakit, dan ‘ngobrol’ dengan tamu
atau tetangga. Dalam hal ini, alokasi waktu perempuan dan laki-laki, baik di desa
tahan pangan maupun di desa rawan pangan, tidak menunjukkan perbedaan yang
menyolok. Alokasi waktu perempuan di desa rawan pangan untuk aktivitas ini
sebesar 6.26 jam (26.06 persen) dan laki-laki sebesar 6.39 jam (26.63 persen). Di
desa tahan pangan, alokasi waktu perempuan untuk kegiatan ini adalah sebesar
5.13 jam (21.38 persen), sedangkan laki-laki sebesar 5.35 jam (22.29 persen).
Hasil ini menunjukkan bahwa waktu yang dialokasikan untuk kegiatan
leisure cukup seimbang bagi seluruh responden di kedua wilayah penelitian, baik
laki-laki maupun perempuan. Menurut Apps (2004), disamping konsumsi, waktu
yang dialokasikan untuk leisure merupakan salah satu indikator kesejahteraan.
responden telah menikmati waktu yang cukup untuk aktivitas yang disukainya.
Nampaknya, tingginya alokasi waktu untuk leisure bagi responden di lokasi
penelitian, tidak menunjukkan bahwa mereka telah sejahtera, namun lebih
disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja dan atau berusaha yang tersedia.
6.2.6. Istirahat
Istirahat merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap manusia.
Secara normal, waktu yang cukup untuk istirahat adalah sekitar 1/3 dari total
waktu yang dimiliki, atau 8 jam. Nampaknya porsi waktu untuk istirahat
merupakan alokasi waktu paling tinggi diantara seluruh kelompok aktivitas
responden. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh responden
dikedua lokasi penelitian telah menikmati istirahat yang cukup, yang mencapai 9
jam lebih dalam sehari-semalam. Besarnya alokasi waktu untuk istirahat ini bisa
saja bukan hal yang diinginkan oleh responden, namun disebabkan oleh ketiadaan
lapangan kerja dan atau berusaha yang umumnya terjadi di perdesaan.
Dilihat dari aspek gender, tidak ada perbedaan menyolok antara waktu
istirahat yang dialokasikan oleh laki-laki dan perempuan dalam aktivitasnya
selama 24 jam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam hal kesempatan
untuk menikmati istirahat, tidak ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
6.3. Kontrol terhadap Sumberdaya dan Pendapatan Rumahtangga
Dalam rumahtangga pertanian, salah satu aspek penting dalam analisis
gender menurut Ellis (1988) adalah terkait kontrol terhadap sumberdaya dan
pendapatan rumahtangga. Terkait ketahanan pangan, Horenstein (1989)
menjelas-kan bahwa keputusan mengenai apa dan berapa banyak tanaman yang
mengenai siapa yang memperoleh penghasilan dan bagaimana penghasilan
tersebut digunakan, merupakan variabel kunci untuk mencapai ketahanan pangan
dalam rumahtangga.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penanggung jawab utama seluruh
kegiatan dalam usahatani keluarga adalah laki-laki (suami), baik rumahtangga di
desa rawan pangan maupun tahan pangan. Hasil ini sesuai dengan hasil
pembahasan pada bagian sebelumnya, di mana laki-laki merupakan pihak yang
lebih banyak mengalokasikan waktunya dalam pelaksanaan aktivitas usahatani
keluarga. Hasil pengolahan data mengenai pihak-pihak yang menjadi pengambil
keputusan dalam pelaksanaan kegiatan usahatani dan produksi usahatani di
Kabupaten Konawe Selatan disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13. Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani dan Pengambil Keputusan terhadap Hasil Produksi Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Kategori Desa/ Kelurahan Pengambil Keputusan Penanggung Jawab Kegiatan Usahatani Keluarga Pengambil Keputusan terhadap Produksi Usahatani Jumlah Responden Persentase (%) Jumlah Responden Persentase (%) Rawan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 123 11 1 3 5 143 86.01 7.69 0.70 2.10 3.50 100.00 72 38 3 2 25 140 51.43 27.14 2.14 1.43 17.86 100.00 Tahan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 50 2 0 0 2 54 92.59 3.70 0.00 0.00 3.70 100.00 8 8 4 8 1 29 27.59 27.59 13.79 27.59 3.45 100.00
Sementara itu, hanya sekitar 3.00 persen responden perempuan yang
mempunyai tanggung jawab terhadap seluruh aktivitas dalam usahatani keluarga,
baik di desa tahan pangan maupun rawan pangan. Hasil ini juga sesuai dengan
temuan pada bahasan sebelumnya bahwa alokasi waktu perempuan dalam
aktivitas usahatani keluarga lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Terkait keputusan terhadap produksi usahatani yang diperoleh keluarga,
apakah akan dikonsumsi atau dijual, serta berapa bagian yang akan dikonsumsi
atau dijual, nampaknya suami merupakan penentu keputusan yang lebih dominan
di desa rawan pangan (51.43 persen) dibandingkan dengan responden di desa
tahan pangan (27.59 persen). Ini dapat menjadi gambaran terjadinya subordinasi
perempuan oleh pihak laki-laki, yaitu bahwa status sosial perempuan lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Hasil temuan ini juga menegaskan kembali mengenai
budaya patrilineal yang terjadi dalam masyarakat Konawe Selatan, seperti juga
yang umum ditemui di daerah lain di Indonesia, dimana hubungan
lelaki-perempuan dicerminkan oleh kontrol lelaki atas harta, sumberdaya, dan
pendapatan rumahtangga pertanian, disamping juga atas aspek-aspek kehidupan
perempuan lainnya.
Khusus di desa tahan pangan, terdapat keseimbangan peran antara suami
dan isteri dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan produksi usahatani
keluarga. Nampaknya, hasil ini juga mendukung temuan-temuan sebelumnya
mengenai peran perempuan yang cenderung meningkat dalam usahatani keluarga
di desa tahan pangan dibandingkan di desa rawan pangan. Artinya, di desa tahan
laki-laki, namun perempuan memiliki peran yang lebih seimbang dengan laki-laki
dalam pengelolaan usahatani keluarga.
Terkait keputusan dalam proses penjualan hasil usahatani dan alokasi
penggunaan dari pendapatan usahatani tersebut, ringkasan hasilnya disajikan
dalam Tabel 14. Informasi dalam tabel tersebut mengindikasikan bahwa dalam
keputusan terkait proses penjualan hasil usahatani, baik di desa rawan pangan
maupun tahan pangan, peran bersama antara suami dan isteri lebih dominan
dibandingkan peran masing-masing gender, yaitu di desa rawan pangan mencapai
44.59 persen dan 48.78 persen didesa tahan pangan. Ini berarti bahwa dalam hal
proses penjualan produk usahatani, suami, dan isteri lebih kompromistis
dibandingkan pada keputusan lainnya dalam proses produksi usahatani keluarga.
Tabel 14. Pihak Penentu dalam Proses Penjualan Hasil dan Alokasi Pendapatan Usahatani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009
Kategori Desa/ Kelurahan Pengambil Keputusan Penentu Keputusan Penjualan Hasil Usahatani Penentu Alokasi Penggunaan Pendapatan Usahatani Jumlah Responden Persentase (%) Jumlah Responden Persentase (%) Rawan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 12 33 0 0 29 74 16.22 44.59 0.00 0.00 39.19 100.00 15 27 0 0 28 70 21.43 38.57 0.00 0.00 40.00 100.00 Tahan Pangan Suami sendiri Suami isteri Suami dominan Isteri dominan Isteri sendiri Jumlah 8 20 1 0 12 41 19.51 48.78 2.44 0.00 29.27 100.00 4 22 0 0 11 37 10.81 59.46 0.00 0.00 29.73 100.00
Hal yang juga menarik dari tabel di atas, yaitu bahwa peran perempuan
secara sendiri di kedua lokasi penelitian terkait pengambilan keputusan dalam
proses penjualan hasil usahatani adalah lebih dominan dibandingkan laki-laki.
Namun bila dipilah menurut lokasi penelitian, peran perempuan secara sendiri
dalam proses penjualan hasil usahatani lebih besar untuk responden di desa rawan
pangan daripada responden perempuan di desa tahan pangan.
Dari hasil penjualan produk usahatani, akan diperoleh pendapatan
usahatani yang merupakan hasil kerja bersama anggota keluarga, terutama suami
dan isteri. Hasil pendapatan ini dapat digunakan untuk memenuhi berbagai
keperluan rumahtangga. Dalam hal ini, penentu utama penggunaan pendapatan
usahatani di desa rawan pangan adalah perempuan (40 persen), sedangkan di desa
tahan pangan diputuskan atas kompromi bersama suami dan isteri, yaitu mencapai
59.46 persen. Ini menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam kontrol terhadap pendapatan usahatani keluarga.
Terkait ketahanan pangan, dengan besarnya kontrol perempuan terhadap
pendapatan yang diperoleh keluarga, maka ini akan berdampak besar terhadap
ketahanan pangan rumahtangga. Seperti diketahui bahwa perempuan merupakan
penanggung jawab utama dan pihak yang terlibat langsung dalam pengadaan,
pengolahan, penyimpanan dan penyiapan pangan dalam rumahtangga, sehingga
dengan kontrol atas pendapatan yang dimilikinya, akan memberinya keleluasaan
dalam keseluruhan proses penyediaan dan konsumsi pangan untuk seluruh
ang-gota keluarga. Ini sesuai temuan FAO (Undated) bahwa bila perempuan
mempu-nyai kontrol terhadap pendapatan, maka ini akan dapat mempertahankan tingkat
6.4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Gender untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga
Pada rencana awal penelitian, kajian ini sebenarnya untuk menduga
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan gender (perempuan dan laki-laki) untuk
masuk atau tidak masuk ke pasar kerja. Setelah pengambilan data di lapangan,
ternyata hanya 22.16 persen dari keseluruhan responden yang benar-benar
menerima upah dari aktivitas kerja yang dilakukan. Artinya, kurang dari separuh
dari total responden yang terlibat dalam pasar kerja yang melibatkan variabel
upah. Sebagian responden lainnya, yaitu sekitar 20.62 persen dari total responden
melakukan pekerjaan atau usaha mandiri di luar usahatani keluarga untuk
memperoleh pendapatan, antara lain mengojek motor, berdagang, menambang
emas, buruh bangunan, buruh nelayan, dan membuat atap. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut dilakukan diluar sistem upah, sehingga dalam penelitian ini, digunakan
pendapatan/hari dari aktivitas yang dilakukan di luar pertanian sebagai proksi dari
upah di luar pertanian. Pengukuran seperti ini juga digunakan oleh Castagnini et
al. (2004).
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang secara
signifikan mempengaruhi keputusan masing-masing perempuan dan laki-laki
untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga. Menurut Kimhi
(1996) dalam Kimhi dan Rapaport (2004), variabel demografi rumahtangga
mempengaruhi penawaran tenaga kerja. Disamping variabel demografi
(Mangkuprawira, 1985), alokasi waktu perempuan dan laki-laki dalam mencari
nafkah juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan ekologi.
Secara khusus, Widarti (1998) menunjukkan bahwa keputusan perempuan
dan adanya anak berumur di bawah lima tahun di rumah. Variabel terakhir ini
berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan menikah di pasar tenaga
kerja. Hal senada dikemukakan Damanik (2003) bahwa faktor utama yang
mendorong perempuan untuk bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan,
karena penghasilan yang diperoleh suami masih kurang dalam memenuhi
kebutuhan keluarga. Sedangkan faktor pendorong bagi perempuan untuk tidak
bekerja adalah karena perempuan harus mengasuh anak di rumah.
6.4.1. Analisis Keputusan Kerja Perempuan
Pada awalnya diduga bahwa peluang perempuan untuk bekerja atau tidak
bekerja di luar usahatani keluarga dipengaruhi oleh variabel-variabel tingkat upah
di sektor pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur
ketika pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit,
ukuran rumahtangga, jumlah anak di rumah yang berumur < 10 tahun,
pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy kesempatan
kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa, pinjam, lahan
untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani, penerimaan total
usahatani, dan dummy pembeda desa.
Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model
persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga
menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini
ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori,
jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen
Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model
persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa
peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga
dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan
perempuan, (3) dummy keterampilan yang dimiliki, (4) dummy keluarga masuk
garis kemiskinan atau tidak, (5) usia saat pertama menikah, (6) jumlah anak di
rumah yang berusia < 10 tahun, dan (7) dummy pembeda desa/kelurahan tahan
pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan
perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode
MLE, masing-masing disajikan dalam Lampiran 8 dan 9.
Dari analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga
maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan
bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup
bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya
sebesar 82.21
Dari tujuh variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat
empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang perempuan
untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan
95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendidikan perempuan, (2) pendidikan laki-laki,
(3) dummy keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa/kelurahan . Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan
pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1.
1
Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang
perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 82.2 persen
tahan pangan dan rawan pangan. Sedangkan variabel : (1) usia perempuan ketika
pertama menikah, (2) dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak, dan (3)
jumlah anak di rumah yang berusia < 10 tahun, pengaruhnya tidak signifikan
terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani
keluarga. Hasil analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga ringkasannya disajikan dalam
Tabel 15 berikut ini.
Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Perempuan untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009
No. Variabel Parameter Estimasi
P-Value Nilai Marginal
Effect (ME) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PddP PddL KETp UMp1 Ymis DAn D 0.2436 -0.2184 1.5354 0.6904 0.9686 -0.0292 1.2477 1 0.0178* 0.0338* 0.0310* 0.1856 0.1172 0.9137 0.0332* 0.0600 -0.0539 0.2239 0.1536 0.1932 -0.0073 0.2163 Keterangan :
* Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 dimana :
KETpn = Dummy perempuan memiliki keterampilan tertentu (ada=1;
tidak ada=0) Ymisn
bila ≤ Rp.182,000/bulan
= Dummy keluarga masuk garis kemiskinan atau tidak
(Bila pendapatan/kapita rumahtangga > Rp.182,000/bulan=1,
2
=0)
UMpn1n= Dummy usia menikah (UMpn1=1 bila menikah ketika usia < 19
tahun dan Lainnya=0)
Up1n = Dummy usia perempuan saat penelitian (Upn1=1 bila usia 15-24
tahun, Lainnya=0)
DAn = Jumlah anak berumur < 10 tahun di rumah (jiwa)
D1n
2
Garis kemiskinan versi BPS = Rp 182 000/bulan/orang
= Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan (Desa tahan pangan=1, desa rawan pangan=0)
Variabel pendidikan perempuan mempunyai pengaruh yang signifikan dan
positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja atau tidak bekerja di luar
usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan perempuan adalah sebesar
0.060. Ini berarti bahwa jika pendidikan perempuan bertambah satu tahun, maka
peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan meningkat
sebesar 0.060. Hasil ini sangat logis, karena dengan meningkatnya pendidikan,
maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk
berparti-sipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya. Karena dengan
meningkat-nya pendidikan, perempuan akan memiliki kapabilitas yang lebih baik, sehingga
ketika masuk ke dunia kerja akan lebih mudah diterima dan bila berusaha secara
mandiri, maka ia akan mampu mengelola usahanya tersebut dengan lebih baik.
Hasil ini sejalan dengan temuan Kimhi dan Rapaport (2004) bahwa faktor
pendidikan memiliki efek yang positif terhadap pekerjaan di luar usahatani, tetapi
tidak berpengaruh terhadap pekerjaan dalam usahatani. Ini dapat terjadi, karena
hal-hal yang dipelajari di bangku pendidikan formal, tidak terkait langsung
dengan pekerjaan-pekerjaan dalam usahatani. Alasan lain adalah bahwa aktivitas
dalam usahatani tidak memerlukan tingkat pendidikan formal tertentu, tetapi dapat
dipelajari dan dilakukan dengan relatif lebih mudah.
Adanya keterampilan khusus yang dimiliki perempuan mempunyai
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja
di luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy keterampilan
perempuan adalah sebesar 0.224. Ini berarti bahwa jika perempuan memiliki
keterampilan khusus, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani
Hasil ini sangat logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang
dimiliki, maka akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah
maupun mengelola suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh
pekerjaan yang lebih besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya
seseorang juga akan memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang
yang tidak mempunyai keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian,
seseorang yang memiliki keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk
menyelenggarakan suatu usaha mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik,
karena ia mengetahui cara-cara menjalankan usaha tersebut.
Dari keseluruhan responden perempuan (n=194), hanya 7.22 persen yang
memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan menjahit,
membuat kue, dan mengajar (guru). Sedangkan 92.78 persen diantaranya tidak
mempunyai keterampilan khusus. Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan
tahan pangan, maka keadaannya juga cukup memprihatinkan. Dari keseluruhan
responden perempuan di desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 5.56 persen
yang memiliki keterampilan. Persentase perempuan yang tidak memiliki
keterampilan jauh lebih besar, yaitu sebesar 94.44 persen. Sedangkan di desa
tahan pangan (n=50), persentase perempuan yang memiliki keterampilan khusus
lebih besar, yaitu sebesar 12 persen. Dari gambaran di atas nampak adanya
korelasi positif antara keterampilan perempuan dengan partisipasinya dalam
aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ketika jumlah responden yang
mempunyai keterampilan khusus cukup rendah, maka partisipasinya pada
Variabel pendidikan laki-laki (suami) mempunyai pengaruh yang negatif
dan signifikan terhadap peluang perempuan untuk bekerja di luar usahatani
keluarga. Nilai ME dari variabel pendidikan laki-laki adalah sebesar -0.054. Ini
berarti bahwa jika pendidikan suami bertambah satu tahun, maka peluang
perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga akan menurun sebesar 0.054.
Hasil ini dapat saja terjadi, yaitu ketika pendidikan suami meningkat, maka
isterinya dilarang untuk berpartisipasi pada kegiatan ekonomi di luar usahatani
keluarga. Pola-pola seperti ini bisa berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda,
karena sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan kondisi suatu masyarakat pada
saat tertentu.
Variabel dummy pembeda desa rawan pangan dan tahan pangan
berpengaruh signifikan dan positif terhadap peluang perempuan untuk bekerja di
luar usahatani keluarga. Nilai ME dari variabel dummy pembeda desa adalah
sebesar 0.216. Ini berarti bahwa di desa tahan pangan, responden perempuan
mempunyai peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani keluarga
sebesar 0.216. Perlu dijelaskan bahwa dua desa/kelurahan yang masuk kategori
tahan pangan dalam penelitian ini, merupakan daerah yang relatif lebih maju
dibandingkan dengan desa-desa rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian. Di
kedua kelurahan ini (salah satu kelurahan ini merupakan ibu kota Kecamatan
Laeya), disamping usahatani sawah dan perkebunan yang memberikan hasil
cukup tinggi bagi petani, juga terdapat beberapa kantor instansi pemerintah dan
sekolah-sekolah (SD, SMP dan SMA).
Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan
Sarana dan prasarana yang terdapat di daerah tahan pangan antara lain adalah
jalan beraspal yang merupakan jalan provinsi, sehingga arus lalu lintas sangat
lancar. Disamping itu juga terdapat irigasi yang dilengkapi saluran primer dan
sekunder, pasar, Koperasi Unit Desa, dan sumber penerangan dari PLN. Ini
merupakan faktor pendorong untuk lebih berkembangnya perekonomian di daerah
ini, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih besar
bagi warga masyarakatnya.
6.4.2. Analisis Keputusan Kerja Laki-Laki
Seperti juga pada model keputusan perempuan untuk berpartisipasi di
pasar kerja, pada rencana awal penelitian ini beberapa variabel yang diduga
mempengaruhi keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi
diluar usahatani keluarga adalah variabel-variabel tingkat upah di sektor
pertanian, tingkat upah di luar pertanian, umur saat penelitian, umur ketika
pertama menikah, pendidikan, dummy akses jalan, dummy akses kredit, ukuran
rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, dummy konservatisme agama, dummy
kesempatan kerja, dummy dukungan pasangan, luas lahan (milik, garapan, sewa,
pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), biaya total usahatani,
penerimaan total usahatani, dan dummy pembeda desa.
Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel dikeluarkan dari model
persamaan, karena terjadi korelasi yang tinggi antar variabel independen, sehingga
menyebabkan performansi model secara keseluruhan menjadi kurang bagus. Ini
ditunjukkan oleh tanda dari beberapa variabel yang tidak sesuai dengan teori,
jumlah variabel yang pengaruhnya tidak signifikan meningkat, serta nilai persen
Dengan melakukan beberapa kali spesifikasi kembali terhadap model
persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa
peluang laki-laki untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga
dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendapatan/kapita, (2) umur, (3) usia saat
pertama menikah, (4) dummy kesempatan kerja di desa, (5) dummy keterampilan
yang dimiliki, dan (6) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan
pangan. Program dan hasil estimasi model keputusan laki-laki untuk bekerja di
luar usahatani keluarga dengan menggunakan metode MLE, masing-masing
disajikan dalam Lampiran 10 dan 11.
Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode penduga
maximum likelihood terhadap model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, dapat dikatakan
bahwa secara umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup
bagus. Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya
sebesar 92.93
Dari enam variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat
empat variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang laki-laki
untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani keluarga pada taraf kepercayaan
90 persen dan 95 persen atau tingkat kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 10 persen dan 5 persen. Keempat variabel tersebut adalah (1) pendapatan/kapita
rumahtangga, (2) dummy tidaknya kesempatan kerja di desa, (3) dummy ada-. Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan
pangan rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1.
3
Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 92.9 persen
tidaknya keterampilan yang dimiliki, dan (4) dummy pembeda desa tahan pangan
dan rawan pangan. Dua variabel lainnya, yaitu umur laki-laki saat penelitian dan
umur laki-laki saat pertama menikah tidak mempunayi pengaruh yang signifikan
terhadap keputusan laki-laki untuk berpartisipasi pada aktivitas ekonomi diluar
usahatani keluarga. Ringkasan hasil analisis disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Laki-Laki untuk Bekerja di Luar Usahatani Keluarga di Konawe Selatan Tahun 2009
No. Variabel Parameter Estimasi
P-Value Nilai Marginal
Effect (ME) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Ykap Uln UMln DKKln KETln D -0.0000003 -0.0268 0.0710 5.5445 1.0523 1.7981 2 0.0657** 0.2438 0.2447 <.0001* 0.0425* 0.0079* -0.0000001 -0.0067 0.0177 0.0215 0.2019 0.2192 Keterangan :
* Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05 ** Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.10 dimana :
Ykap = Pendapatan/kapita (Rp/orang/tahun) Ul = Umur laki-laki saat penelitian (tahun) UML = Umur pertama menikah (tahun)
DKKL = Dummy kesempatan kerja laki-laki (1 = ada; 0 = tidak ada)
KETl = Dummy memiliki keterampilan tertentu (ada=1; tidak ada=0) D2
Dari Tabel 16 nampak bahwa pada taraf kepercayaan 90 persen, variabel
pendapatan per kapita keluarga berpengaruh signifikan dan negatif terhadap
keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa
bila pendapatan/kapita dalam keluarga meningkat, maka peluang laki-laki untuk
bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan berkurang. Nilai ME dari
variabel pendapatan/kapita adalah sebesar -0.0000001, ini berarti bahwa jika = Dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
pendapatan/kapita bertambah Rp. 1 000 000, maka peluang laki-laki untuk bekerja
di luar usahatani keluarga akan berkurang sebesar 0.1. Hal ini dapat saja terjadi,
yaitu bila responden telah merasa bahwa pendapatan yang diperoleh sekarang
telah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ketika pendapatan per
kapita meningkat, responden akan mengurangi alokasi waktunya pada kegiatan di
luar usahatani keluarga.
Pada taraf kepercayaan 95 persen, variabel dummy kesempatan kerja di
desa berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja
di luar usahatani keluarga. Ini berarti bahwa bila laki-laki (suami) merasa bahwa
ada kesempatan kerja di desanya, maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha
di luar usahatani keluarga akan meningkat. Nilai ME dari variabel dummy
kesempatan kerja laki-laki adalah sebesar 0.022, ini berarti bahwa jika ada
kesempatan kerja di desa, maka peluang laki-laki untuk bekerja di luar usahatani
keluarga akan bertambah sebesar 0.022.
Hasil ini sangat logis terjadi. Fenomena kurangnya kesempatan kerja di
perdesaan tentu saja merupakan sesuatu yang sudah banyak diketahui, sehingga
ketika ada kesempatan kerja di daerahnya, maka responden akan memiliki
peluang yang lebih besar untuk bekerja di luar usahatani.
Dari tabel di atas nampak bahwa pada taraf kepercayaan 95 persen,
variabel keterampilan yang dimiliki suami berpengaruh signifikan dan positif
terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di luar usahatani keluarga. Ini berarti
bahwa bila suami mempunyai keterampilan tertentu, maka peluang laki-laki untuk
bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan lebih tinggi. Nilai ME dari
laki-laki mempunyai keterampilan, maka peluangnya untuk bekerja di luar usahatani
keluarga akan bertambah sebesar 0.202.
Seperti juga pada persamaan keputusan perempuan, hasil ini juga sangat
logis, karena dengan adanya keterampilan khusus yang dimiliki, maka akan
memberikan peluang yang lebih besar bagi laki-laki untuk berpartisipasi dalam
aktivitas ekonomi di luar usahataninya, baik di sektor upah maupun mengelola
suatu usaha mandiri. Disamping peluang untuk memperoleh pekerjaan yang lebih
besar, dengan adanya keterampilan khusus tersebut, biasanya seseorang juga akan
memperoleh upah yang lebih tinggi dibanding seseorang yang tidak mempunyai
keterampilan khusus. Di dunia usaha juga demikian, seseorang yang memiliki
keterampilan tertentu, akan lebih mudah untuk menyelenggarakan suatu usaha
mandiri dan mengelolanya dengan lebih baik, karena ia mengetahui cara-cara
menjalankan usaha tersebut.
Dari keseluruhan responden laki-laki (n=194), sebanyak 34.54 persen yang
memiliki keterampilan khusus, yaitu antara lain berupa keterampilan pertukangan
(kayu dan batu), memanjat kelapa, membuat atap dan guru mengaji. Sedangkan
65.46 persen diantaranya tidak mempunyai keterampilan khusus.
Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka
keadaannya juga mirip dengan yang dialami perempuan, yaitu kurangnya
partisipasi laki-laki pada kegiatan ekonomi di luar pertanian, meskipun nilainya di
atas persentase partisipasi perempuan. Dari keseluruhan responden laki-laki di
desa rawan pangan (n=144), hanya sekitar 29.86 persen yang memiliki
keterampilan, sedangkan yang tidak memiliki keterampilan jauh lebih besar, yaitu
tinggi, yaitu sebesar 48 persen, sekitar 52 persen lainnya tidak berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga.
Seperti juga pada model keputusan perempuan, dalam analisis inipun
nampak adanya korelasi positif antara keterampilan laki-laki dengan
partisipasinya dalam aktivitas ekonomi diluar usahatani keluarga. Ketika jumlah
responden yang mempunyai keterampilan khusus meningkat, maka partisipasinya
pada aktivitas ekonomi di luar usahatani keluarga juga meningkat.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pada taraf kepercayaan sebesar 95
persen, variabel dummy pembeda desa tahan pangan dan rawan pangan
berpengaruh signifikan dan positif terhadap keputusan laki-laki untuk bekerja di
luar usahatani. Ini berarti bahwa bila responden tinggal di desa tahan pangan,
maka peluang laki-laki untuk bekerja/berusaha di luar usahatani keluarga akan
meningkat. Nilai ME dari variabel dummy adalah sebesar 0.219, ini berarti bahwa
jika responden tinggal di desa tahan pangan, maka peluang laki-laki untuk bekerja
di luar usahatani keluarga akan bertambah sebesar 0.219.
Keadaan potensi desa/kelurahan dan infrastuktur di daerah tahan pangan
memang jauh lebih baik dibandingkan dengan desa-desa di daerah rawan pangan.
Ini menjadi salah satu dorongan untuk lebih berkembangnya perekonomian di-
daerah tersebut, sehingga dapat menyediakan kesempatan kerja dan berusaha yang