• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BBM INDUSTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KETENTUAN TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PENGANGKUT DALAM PERJANJIAN PENGANGKUTAN BBM INDUSTRI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.32 Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut

32

(2)

pendapat yang banyak dianut (communis opinion doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”.33

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.34 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.35 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.36

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.37

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana hukum karena masih

33

Ibid., hal. 97-98

34 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36. 35 R. Setiawan, Op. Cit., hal. 49.

36 Sri Sofwan Masjchoen, Op. Cit., hal. 1. 37

(3)

mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak

(4)

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya ”sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.38

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.39

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan

38

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.

39 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti,

(5)

paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Sobekti,40 yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

40

(6)

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa ”belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.41 Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia

41

(7)

yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertenu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

(8)

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertenu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendoron orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu

(9)

perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,42 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilaran oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia suah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk

42 Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

(10)

melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

3. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. 2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi

dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.43

Pasal 1234 KUH Perdata, membagi perikatan menjadi 3 (tiga) macam: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

43 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung,

(11)

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam perjanjian dilihat dari lainnya, di sini, R. Subekti,44 membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:

1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu

44

(12)

barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4) Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

(13)

Selanjutnya, menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut pelbagai cara, di antaranya adalah perjanjian timbal balik, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.45 Demikian halnya perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan pihak pengangkut dengan pembeli BBM dari Depo Pertamina merupakan perjanjian timbal balik.

Perjanjian pengangkutan merupakan consensuil (timbal balik) dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu, dan pengiriman barang (pemberi order) membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui bersama, disini

kedua belah pihak mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.46

Hubungan kerja antara pengirim dan pengangkut sebagai pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah consensual berdiri sama tinggi bukan merupakan geocordineerd karena di sini tidak terdapat pula hubungan pemborongan menciptakan hal-hal baru mengadakan benda baru, dimana dalam Pasal 1617 KUH Perdata yang merupakan penutup dari bagian ke 6 Titel VIIa, yang isinya kewajiban bagi pengangkut.47

45 Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III…,op. cit., hal. 90-93. 46

J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 20.

47

(14)

4. Hapusnya suatu perjanjian

Tentang hapusnya perjanjian yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur pada titel ke-4 dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya menghapus seluruh perjanjian, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.

B. Ketentuan Tentang Hak dan Kewajiban Pengangkut Dalam Perjanjian

Pengangkutan BBM Industri

1. Isi Perjanjian Pengangkutan BBM Industri

Perjanjian pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) Industri antara pihak pengangkut BBM dengan pihak perusahaan pembeli BBM dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis sehingga mengikat para pihak sesuai hak dan kewajiban yang dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan Perjanjian Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 001/PABBM/TPL/I/2010, antara PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan PT. Yunita Permai Budiman, yang dijadikan objek penelitian, kedudukan para pihak sebagai berikut:

(15)

a. PT. Toba Pulp Lestari Tbk, sebuah perusahaan (industri) yang berkedudukan di Medan, Sumatera Utara, Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Firman Purba, yang bertindak sebagai Direktur perseroan tersebut, untuk selanjutnya disebutkan sebagai pihak Pertama.

b. PT. Yunita Permai Budiman, sebuah perusahaan (pengangkutan/mobil tangki) yang berkedudukan di Medan, Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Mayline Rotua Gultom, yang bertindak sebagai Direktur perusahaan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

Kedua belah pihak dengan ini terlebih dahulu menerangkan setuju dan sepakat untuk mengikatkan diri satu dengan yang lainnya dalam perjanjian Pengangkutan Bahan Bahan Minyak Industrial Diesel Oil (IDO), Marine Fuel Oil (MPO) dan Solar (selanjutnya dalam perjanjian disebut Bahan Bakar Minyak dari Depo Pertamina di Belawan ke lokasi Pihak Pertama yaitu pabrik yang terletak di Sosor Ladang, Desa Pengombusan, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir dan/atau Sektor Aek Nauli dan/atau Sektor Habinsaran dan/atau Sektor Tarutung dan/atau Sektor Tele yang telah ditentukan pihak Pertama.

Substansi perjanjian sebanyak 14 (empat belas) pasal yang terdiri dari:

a. Maksud Dan Tujuan Angkutan (Pasal 1); b. Jangka Waktu (Pasal 2)

(16)

d. Pajak-Pajak (Pasal 4)

e. Kewajiban Para Pihak (Pasal 5)

f. Kualitas Dan Kuantitas Penerimaan Bahan Bakar Minyak (Pasal 6)

g. Teknis Perhitungan Penyusutan Serta Batas Toleransi Penyusutan untuk Lokasi Pabrik di desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir (Pasal 7)

h. Teknis Perhitungan Penyusutan Serta Batas Toleransi Penyusutan untuk Lokasi Sektor Aek Nauli, Sektor Habinsaran, Sektor Tele dan Sektor Tarutung (Pasal 8)

i. Tata Cara Penyerahan Minyak (Pasal 9) j. Jaminan (Pasal 10)

k. Sanksi Dan Denda (Pasal 11) l. Berakhirnya Perjanjian (Pasal 12) m. Force Majeure (Pasal 13)

n. Perselisihan (Pasal 14).

Perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan PT. Yunita Permai Budiman yang dijadikan objek penelitian di atas, dibuat secara tertulis dengan judul ”Perjanjian Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 001/PABBM/TPL/I/2010”, yang pada bagian pertama terlebih dahulu disebutkan para pihak yang melakukan perjanjian, dalam hal ini para

(17)

pihak tersebut keduanya adalah merupakan badan hukum sehingga dalam pelaksanaan perjanjian tersebut diwakili Direktur masing-masing perusahaan.

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak/perjanjian dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam perjanjian ini dapat berupa orang perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum.48

Dalam melakukan perjanjian, pihak-pihak yang terlibat tersebut dapat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri, namun dapat pula bertindak atas nama sendiri tetapi untuk kepentingan orang lain bahkan dapat bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.

Untuk lebih memperjelas hal tersebut di atas, di bawah ini masing-masing diberikan contoh sebagai berikut:

a. Dalam hal seseorang melakukan kontrak dengan bertindak untuk dan atas namanya sendiri adalah jika orang itu berkepentingan sendiri dalam membuat kontrak/perjanjian dan ia sendiri cakap menurut hukum untuk melakukan perjanjian tersebut.

b. Seseorang bertindak atas nama sendiri, namun untuk kepentingan orang lain jika ia merupakan seorang wali yang bertindak atau melakukan perjanjian untuk kepentingan anak yang ada di bawah perwaliannya.

48

(18)

c. Seorang yang bertindak untuk dan atas nama orang lain kalau ia seorang pemegang kuasa dari orang lain untuk melakukan perjanjian.49

Dalam hal yang merupakan pihak dalam perjanjian adalah badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka yang mewakili badan usaha tersebut tergantung dari bentuk badan usahanya. Kalau yang merupakan pihak adalah persekutuan firma (Fa), secara hukum setiap anggota sekutu berhak mewakili firma tersebut, kecuali kalau para sekutu itu sendiri menentukan lain, sedangkan dalam persekutuan komanditer (CV) yang berhak mewakili dalam membuat perjanjian adalah para sekutu pengurusnya. Apabila yang melakukan perjanjian adalah badan hukum, maka yang mewakili adalah siapa yang ditentukan dalam undang-undang untuk mewakili badan hukum tersebut atau siapa yang ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.50 Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan yang berhak mewakili badan hukum adalah Direktur Perseroan. Oleh karena itu dalam perjanjian pengangkutan BBM Industri antara PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan PT. Yunita Permai Budiman yang dijadikan objek penelitian kedua perusahaan tersebut adalah badan hukum sehingga diwakili oleh Direktur masing-masing perusahaan.

49 Ibid., hal. 7-8. 50

(19)

Selanjutnya, perjanjian pengangkutan BBM tersebut terdiri dari 14 (empat belas) pasal yang mengatur maksud dan tujuan angkutan, jangka waktu, ongkos angkutan dan pembayaran, pajak-pajak yang timbul, kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian, baik itu mengenai sanksi dan denda, cara berakhirnya perjanjian, serta perselisihan yang mungkin dapat terjadi.

Pada umumnya kerangka kontrak/perjanjian terbagi atas tiga bagian utama, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi, dan penutup. Apa yang dimuat dalam masing-masing bagian tersebut tentu saja tidak sama pentingnya antara satu perjanjian dengan perjanjian lainnya, karena biasanya perjanjian yang sederhana tidak begitu banyak hal yang dicantumkan dalam bagian pendahuluan begitu pula dalam bagian penutup sedangkan pada bagian isilah yang biasanya diatur berbagai hal yang dikehendaki oleh para pihak, baik itu yang merupakan unsur esensialis maupun unsur aksaidentalia.51

Banyak macam syarat yang dicantumkan dalam pasal-pasal tentang persyaratan yang diinginkan oleh para pihak biasanya sangat tergantung pada besarnya nilai perjanjian atau rumitnya permasalahan pada perjanjian tersebut. Namun, yang paling penting harus diingat bahwa unsur esensial dari perjanjian tersebut harus dicantumkan dalam perjanjian sedangkan unsur lainnya boleh saja

51

(20)

tidak dimuat karena walaupun tidak diatur oleh para pihak, undang-undanglah yang mengaturnya.52

Adapun maksud dan tujuan perjanjian yang dilakukan para pihak, yaitu antara PT. Toba Pulp Lestari Tbk dengan PT. Yunita Permai Budiman terlihat dalam Pasal 1 Perjanjian Pengangkutan BBM No.001/PABBM/TPL/I/2010, sebagai berikut:

1) Pihak Pertama (PT. Pulp Putra Lestari Tbk) menunjuk dan menyerahkan kepada Pihak Kedua (PT. Yunita Permai Budiman) yang menerima dan menyatakan kesanggupannya melakukan pekerjaan mengangkut Bahan Bakar Minyak berdasarkan Delivery Order (DO) yang dikeluarkan Pertamina yang diberikan Pihak pertama, dari tempat pemuatan Depo Pertamina di Belawan ke lokasi Pihak Pertama yaitu pabrik yang terletak di Sosor Ladang, Desa Pengombosan, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir dan/atau Sektor Aek Nauli dan/atau Sektor Habinsaran dan/atau Sektor Tarutung dan/atau Sektor Tele yang ditentukan Pihak Pertama.

2) Pengangkutan dan kapasitas Bahan Bakar Minyak yang diangkut Pihak Kedua tersebut di atas harus sesuai dengan Delivery Order (DO) dan atau Nota Penyerahan Bahan Bakar Minyak dan atau Surat Pengantar Pengiriman (SPP) Bahan Bakar Minyak yang dikeluarkan Pertamina.

52

(21)

3) Pengangkutan Bahan Bakar Minyak dilakukan oleh Pihak Kedua setiap hari sebagaimana tercantum dalam Delivery Order yang dikeluarkan oleh Pertamina. Demikian juga untuk hari Minggu maupun hari besar dan atau hari libur jika diperlukan Pihak Pertama.

Dari bunyi Pasal 1 Perjanjian Pengangkutan BBM di atas terlihat bahwa maksud dan tujuan perjanjian yang dilakukan para pihak adalah pengangkutan BBM yang dibeli perusahaan industri (pabrik) PT. Toba Pulp Lestari dari Depo Pertamina yang akan diangkut oleh perusahaan pengangkut PT. Yunita Permai Budiman ke lokasi pabrik.

Selanjutnya tentang berakhirnya perjanjian pengangkutan BBM Industri itu diatur para pihak dalam Pasal 12 Perjanjian Pengangkutan BBM, sebagai berikut:

1) Perjanjian ini berakhir dalam hal terjadi salah satu kejadian sebagai berikut: a. Lewatnya jangka waktu dan tanpa adanya perpanjangan;

b. Kesepakatan para pihak untuk mengakhiri Perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu;

c. Pembubaran/likudasi salah satu pihak berdasarkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan sempurna;

d. Salah satu pihak wanprestasi atau lalai melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian;

e. Perusahaan industri berhak untuk membatalkan dan mengakhiri perjanjian ini secara sepihak dan atau tidak akan melakukan segala pembayaran yang masih harus dilakukan perusahaan industri kepada

(22)

perusahaan pengangkut BBM ataupun kedua hal tersebut sekaligus dalam hal perusahaan pengangkut BBM dan/atau pekerjanya melakukan penggelapan, penipuan, persekongkolan, pemberian, penyuapan uang, komisi dan/atau materi kepada pekerja perusahaan industri atau pemberian dalam bentuk apapun atau tindakan lain yang dapat disamakan dengan korupsi dan/atau kolusi menurut pengertian umum;

f. Apabila perusahaan industri menilai kekurangan jumlah minyak sering terjadi maka perusahaan industri dapat membatalkan secara sepihak surat perjanjian ini dan perusahaan industri dapat seketika menunjuk pihak lain untuk melaksanakan pengangkutan;

2) Pengakhiran Perjanjian yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini tidak melepaskan kewajiban Pihak yang melakukan wanprestasi untuk mengganti setiap Kerugian yang diderita pada Pihak lainnya.

3) Para Pihak sepakat melepaskan penerapan Pasal 1266 dan 1267 Undang-Undang Perdata Republik Indonesia.

2. Bentuk Perjanjian Pengangkutan BBM Industri

Pada umumnya perjanjian tidak terikat terhadap suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan.53

53

(23)

Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya (bestaarwaarde) itu.54

Selanjutnya, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, di antaranya perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst). Perjanjian bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasrkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. Kemudian di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak berbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij

otonom.55

Pasal 1319 KUHPerdata menegaskan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama

54 Ibid., hal. 65-66. 55

(24)

tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja.

Sifat terbuka dari KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Suatu perjanjian pada dasarnya harus memuat beberapa unsur perjanjian yaitu:56

1) Unsur essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan di dalam suatu perjanjian;

2) Unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian;

3) Unsur accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian.

56

(25)

KUHPerdata memberikan kebebasan bagi para pihak untuk melakukan perjanjian, namun demikian KUHPerdata juga membedakan jenis dari pada perjanjian tertulis (akta) tersebut secara otentik dan akta dibawah tangan yang dilakukan para pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1874 ayat 1 KUH Perdata57 akta dibawah tangan adalah:

1) tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan;

2) tidak dibuat dan ditandatangani dihadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak;

3) secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat, meliputi surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, lain-lain tulisan yang dibuat tanpa pejabat umum

Singkat kata, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan Akta Otentik disebut Akta Dibawah Tangan atau dengan kata lain, segala jenis kata yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, termasuk rumpun Akta Dibawah Tangan.58 Sedangkan yang dimaksudkan dengan akta otentik dapat dilihat dari bunyi Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan, suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan

57 Pasal 1874 ayat 1 KUH Perdata berbunyi : Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan

adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

58

(26)

pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat (misalnya Notaris yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris).

Perjanjian pengangkutan BBM Industri yang dilakukan perusahaan industri PT. Pulp Lestari Tbk dengan perusahaan angkutan BBM (mobil tangki) PT. Yunita Permai Budiman yang dijadikan objek penelitian merupakan perjanjian tertulis yang dibuat secara dibawah tangan. Hal ini terlihat dari perjanjian tersebut hanya ditandatangani kedua belah pihak yang berperjanjian, dalam hal ini diwakili Direktur masing-masing perusahaan (badan hukum) tersebut. Perjanjian tersebut tidak dibuat oleh atau dihadapan Notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk itu.

Perjanjian dibawah tangan merupakan perjanjian yang hanya ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Akibatnya, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan. Sedangkan perjanjian yang dibuat dan oleh Notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka Notaris. Jenis dokumen

(27)

ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.59

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perjanjian pengangkutan BBM Industri yang dijadikan objek penelitian dilakukan secara dibawah tangan. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa perjanjian pengangkutan BBM Industri itu tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak sah. Perjanjian pengangkutan BBM itu adalah sah karena para pihak mengakui keberadaan dari isi perjanjian tersebut, tetapi perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang berperjanjian saja. Akibatnya perjanjian yang dibuat secara dibawah tangan itu harus diotentikkan ulang (penetapan pengadilan) oleh para pihak apabila hendak dijadikan alat bukti bersengketa di pengadilan. Oleh karena itu menurut penulis sebaiknya para pihak dalam melakukan perjanjian pengangkutan BBM industri dilakukan secara Notaril atau dihadapan Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sehingga perjanjian itu menjadi suatu akta otentik sehingga tidak hanya mengikat para pihak yang berperjanjian tetapi juga mengikat pihak ketiga serta memiliki kekuatan pembuktian sempurna apabila bersengketa di hadapan Pengadilan.

59 Salim H.S., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika Jakarta,

(28)

3. Kekuatan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan BBM Indsutri

Kekuatan hukum para pihak dalam suatu perjanjian selain daripada ada kata sepakat oleh para pihak dalam perjanjian itu, maka harus juga dilihat keseimbangan hak dan kewajiban dari pada pihak dalam perjanjian tersebut.

Pasal 486 KUHD menyatakan bahwa perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan barang/penumpang yang diangkut, mulai saat diterimanya barang hingga saat diserahkannya barang tersebut.

Dari ketentuan tersebut terlihat adanya unsur perjanjian penitipan yang bersifat “riil” yang artinya hal itu baru akan terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan sesuai Pasal 1694 dan Pasal 1698 KUHPerdata yang berbunyi:

1) Perjanjian terjadi, apabila seorang menerima barang dari seorang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asal.

2) Persetujuan ini tidaklah telah terlaksana selain dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau dipersangkakan.

Jadi tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya yaitu sudah dilahirkan pada saat tercapainya sepakat tentang hal-hal pokok dari perjanjian.60 Selanjutnya pengangkut dipersamakan dengan kewajiban seorang yang harus memberikan

60

(29)

suatu barang berdasarkan suatu perikatan untuk memberikan sesuatu yang diatur dalam Pasal 1235 KUHPerdata yaitu: “Kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik”. Juga diatur pada Pasal 1243 KUHPerdata tentang penggantian kerugian: “Apabila pengangkut melalaikan kewajibannya, maka pada umumnya akan diwajibkan membayar penggantian biaya, rugi, dan bunga”. Hal tersebut sama dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 468 ayat 2, 3 KUHD, yang menyatakan: “Pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan , atau karena terjadi kerusakan pada barang itu. Dia juga harus bertanggung jawab untuk perbuatan dari segala mereka yang dipekerjakannya, dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut.

Kewajiban penerima titipan adalah menyimpan atau memelihara barang yang dititipkan/luas kewajiban penyimpanan tergantung dari: isi persetujuan yang telah dijanjikan, serta maksud dan sifat kontrak itu sendiri.

Pasal 1706 KUHPerdata menjelaskan bahwa si penerima titipan diwajibkan merawat barang yang dipercayakan padanya, memeliharanya sedemikian rupa seperti barang milik sendiri. Selanjutnya Pasal 1707 KUHPerdata, pemeliharaan harus dilakukan secara hati-hati:

a. Jika penitipan dilakukan atas penerimaan pihak penerima titipan b. Jika penerima titipan mendapat upah

(30)

c. Jika penitipan dibuat terutama untuk kepentingan penerima titipan sendiri. d. Jika dalam persetujuan ditegaskan, bahwa penerima titipan bertanggung

jawab atas segala kelalaian dalam pemeliharaan.61

Yang dimaksud lebih hati-hati adalah menaruh perhatian lebih besar dalam arti memelihara barang sejak diterima sampai dengan diserahkannya dalam keadaan baik oleh pengangkut.62

Dengan demikian pada ketentuan di atas secara umum telah disebutkan kewajiban-kewajiban para pihak dalam perjanjian pengangkatan barang yang harus diterapkan dalam dalam perjanjian pengangkatan BBM Industri.

Pada Perjanjian Pengangkutan BBM Industri yang dijadikan objek penelitian ditentukan kewajiban para pihak sebagai berikut:

Kewajiban PIHAK PERTAMA:

1. Melakukan pembayaran ongkos angkut kepada PIHAK PERTAMA Kewajiban PIHAK KEDUA:

1. PIHAK KEDUA setiap saat wajib untuk menyediakan armada angkutan berupa mobil tangki minyak berkapasitas antara lain: 12.000 (duabelas ribu) liter dan atau 16.000 (enambelas ribu) liter dan atau 18.000 (delapanbelas ribu) liter dan atau 21.000 (duapuluhsatu ribu) liter dan ukuran lainnya untuk mengangkut Bahan Bakar Minyak dari Depo Pertamina Belawan ke lokasi PIHAK PERTAMA yaitu pabrik yang terletak di Sosor Ladang, Desa Pangombusan, Kecamatan Porsea, Toba Samosir dan atau Sektor Aek Nauli dan atau Sektor Habinsaran dan atau Sektor Tarutung dan atau Sektor Tele yang telah ditentukan PIHAK PERTAMA.

2. Mobil tangki yang dipergunakan PIHAK KEDUA harus memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah khususnya syarat mobil pengangkutan Bahan Bakar Minyak dan atau telah disetujui oleh Pertamina sebagai mobil pengangkutan Bahan Bakar Minyak;

61 M. Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian,..Op. Cit., hal. 283 62

(31)

3. PIHAK KEDUA wajib menyerahkan Keterangan Pengujian yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan UPT Metrologi Medan serta melampirkan tabel level volume per centimeter (cm) setiap mobil tangki.

4. Pada setiap armada angkutan berupa mobil tangki minyak PIHAK KEDUA harus diberi nama PT. YUNITA PERMAI;

5. PIIIAK KEDUA bertanggungjawab penuh terhadap setiap kecelakaan baik yang menimpa karyawan PIHAK KEDUA maupun pihak-pihak lainnya sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini;

6. PIHAK KEDUA menanggung dan bertanggung jawab atas gaji, lembur, askes, asuransi, biaya operasional dan biaya-biaya lain supir/kernet dalam melaksanakan pengangkutan Bahan Bakar Minyak baik terhadap mobil tangki dan supir/kernet selama perjanjian ini berlangsung dan membebaskan PIHAK PERTAMA dari segala kewajiban tersebut;

7. PIIIAK KEDUA bertanggung jawab atas keselamatan mobil tangki, supir dan kernet selama perjanjian ini berlangsung;

8. PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas segala biaya kerusakan dan/atau pemeliharaan mobil tangki termasuk Bahan Bakar, Spare-parts dan lain-lain kebutuhan mobil tangki selama perjanjian berlangsung;

9. PIHAK KEDUA juga berkewajiban mengganti/menyediakan segera mobil tangki pengganti apabila mobil tangki yang dipergunakan mengalami kerusakan yang dalam jangka waktu 24 jam tidak dapat diperbaiki, demikian juga supir dan kernet segera diganti apabila berhalangan dalam jangka waktu 2 x 24 jam kerja;

10. PIHAK KEDUA bertanggung jawab sepenuhnya tentang jumlah barang yang diangkut sebagaimana tercantum pada Delivery Order (DO) dan atau Nota Penyerahan BBM dan atau Surat Pengantar Pengiriman (SPP) BBM yang dikeluarkan Pertamina maupun mutu/kwalitas minyak, tidak dicampur air, minyak lampu atau benda-benda lainnya;

11. PIHAK KEDUA wajib memberikan informasi/laporan setiap hari kepada PIHAK PERTAMA pada jam 16.00 WIB tentang Nomor Polisi mobil tangki yang membawa BBM untuk memudahkan penjagaan terhadap keamanan minyak yang diangkut.

12. Seluruh karyawan PIHAK KEDUA yakni: supir, pembantu supir/kernek wajib mematuhi tata tertib dan peraturan-peraturan serta ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan PIHAK PERTAMA baik yang telah ada maupun yang akan diadakan di kemudian hari, terutama tentang keselamatan kerja sewaktu berada di lokasi milik PIHAK PERTAMA.

(32)

13. PIHAK KEDUA sebagai pengangkut bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan Bahan Bakar tersebut yang diangkut selama dalam perjalanan dan apabila terjadi kehilangan atau kekurangan atau kecelakaan di jalan sehingga minyak tertumpah/berkurang maka PIHAK KEDUA wajib membayar dengan uang tunai senilai/sesuai harga beli PIHAK PERTAMA dan PIHAK PERTAMA dibebaskan dari tuntutan pihak ketiga akibat kecelakaan tersebut.

14. PIHAK KEDUA tidak dibenarkan untuk mangalihkan/memindahkan pelaksanaan pengangkutan ini kepada pihak lain.63

Dari kewajiban-kewajiban para pihak di atas dapat ditarik pemahaman bahwa hak dari PT. Toba Pulp Lestari Tbk sebagai perusahaan industri pemilik BBM (dibeli dari Pertamina) adalah sebagai berikut:

1) Berhak memperoleh BBM yang diangkut dalam keadaan baik (tidak berkurang baik dari segi volume maupun kualitas BBM sesuai dengan Delivery Order dari Pertamina) sampai ke tempat tujuan yang telah diperjanjikan.

2) Berhak untuk meminta ganti rugi apabila BBM yang diangkut tidak sesuai

Delivery Order dari Pertamina (volume maupun kualitas BBM).

Sedangkan yang menjadi hak dari PT. Yunita Permai Budiman, perusahaan pengangkut BBM adalah menerima ongkos kirim sesuai yang diperjanjikan.

Kemudian di dalam perjanjian pengangkatan BBM itu ditentukan perusahaan angkutan PT. Yunita Permai Budiman harus menjaga dengan baik BBM yang diangkutnya sampai ke tempat tujuan di lokasi perusahaan industri PT. Toba Pulp Lestari Tbk, dan pihak pengangkut bertanggung jawab atas

63 Pasal 5 Perjanjian Pengangkutan Bahan Bakar Minyak No. 001/PABBM/TPL/I/2010

(33)

volume atau kualitas BBM yang diangkut sesuai yang telah ditentukan. Sebaliknya pihak pengangkut berhak untuk menerima ongkos kirim BBM tersebut dari pihak perusahaan industri.

Pada perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan para pihak tersebut menimbulkan akibat hukum pada pihak pengangkut dan pengirim sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak (adanya kata sepakat), yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian timbal balik yaitu pengirim mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan, penyelenggara angkutan memperoleh hak menerima pembayaran ongkos kirim (jasa pengangkutan) dengan

kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan sesuai dengan yang

diperjanjikan.

Perjanjian pengangkutan BBM yang dilakukan para pihak yang dijadikan objek penelitian telah menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila dilihat materi hak dan kewajiban yang dicantumkan dalam perjanjian tersebut kekuatan hukum para pihak dalam perjanjian tersebut tidak seimbang. Di mana pada pada Pasal 5 point 13 perjanjian pengangkutan BBM yang dijaikan objek penelitian di atas, ditentukan pengangkut bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan Bahan Bakar tersebut yang diangkut selama dalam perjalanan dan apabila terjadi kehilangan

(34)

atau kekurangan atau kecelakaan di jalan sehingga minyak tertumpah/berkurang maka pengangkut wajib membayar dengan uang tunai senilai/sesuai harga beli perusahaan industri dan perusahaan industri dibebaskan dari tuntutan pihak ketiga akibat kecelakaan tersebut. Kemudian sanksi dan denda ini dipertegas dalam Pasal 11 perjanjian pengangkutan BBM tersebut dalam hal volume minyak berkurang maka perhitungan denda yang dikenakan oleh perusahaan industri kepada pengangkut dihitung dari jumlah volume minyak yang kurang dikalikan dengan harga beli perusahaan industri per liter yang berlaku pada saat itu. Jadi secara tegas adanya ketetapan ganti rugi yang dibebankan kepada pihak pengangkut jika volume dan kualitas BBM berkurang sesuai yang telah ditentukan dalam Delivery Order dari Depo Pertamina tersebut.

Sebaliknya, hak pihak pengangkut dalam Pasal 1 perjanjian penganguktan BBM tersebut memang telah ditentukan untuk menerima pembayaran ongkos kirim dari pihak perusahaan industri, dan dipertegas dalam Pasal 3 perjanjian, bahwa pembayaran ongkos kirim selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah penagihan dilakukan pengangkut pada perusahaan industri. Akan tetapi jika terjadi keterlambatan pembayaran dari jangka waktu yang telah ditentukan tidak ada pasal yang mengatur sanksi dan denda yang dapat dikenakan bagi pihak perusahaan industri dalam perjanjian tersebut.

(35)

Dengan demikian perjanjian pengangkutan BBM yang dijadikan objek penelitian tersebut kekuatan hukum para pihak tidak seimbang, karena dalam perjanjian hanya mengatur sanksi dan denda bagi pihak pengangkut sedangkan sanksi dan denda bagi pihak perusahaan industri tidak ada diatur.

Referensi

Dokumen terkait

D. Suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para. pihak mengadakan perjanjiannya.Halal adalah yang

Dan untuk dapat melakukan perjanjian tukar menukar, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang dijanjikan untuk ditukar, dan syarat harus sebagai pemilik tersebut berlaku

Dimaksud dengan tujuan yang hendak dicapai disini terutama adalah memenuhi kebutuhan para pihak. Kebutuhan pihak hanya akan dicapai atau dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan

Bilamana dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu

Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang

Cacat kehendak ( wilsgebreken ) adalah kekurangan dalam kehendak orang atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya persesuaian kehendak dari

Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikat diri untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau

Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan ( tidak tertulis ) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat