• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Perjanjian Kerjasama Pengangkutan Limbah B3 (Fly Ash) pada Perusahaan Pengangkutan (Studi Perjanjian Kerja Sama PT. Trans Multi Cargo dan PT. Ivo Mas)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata yang berisi tentang

pengaturan mengenai perikatan.Pada pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata

bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan,baik karena

undang-undang.BW (K.U.H. Perdata) sebagai undang-undang mulai berlaku atau diumumkan

secara resmi pada tanggal 30 April 1847 (St. No.23/1847).Dari tahun

pengundangannya jelas dapat kita ketahui,BW yang dalam Buku III mengatur Hukum

Perjanjian adalah undang-undang produk kolonial Belanda8

A.Pengertian Perjanjian

Untuk mengetahui arti sebenarnya dari suatu perjanjian tidaklah mudah karena

banyak pendapat para ahli-ahli hukum didalam memberikan rumusan perjanjian

tersebut.Dengan adanya berbagai pendapat tentang rumusan dari perjanjian

tersebut.Penulis merasa perlu memberikan beberapa pengertian perjanjian menurut

para sarjana.

Buku III KUH Perdata bebicara tentang perikatan (Van Verbibtenissen) yang

memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan

8

(2)

beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan

undang-undang.9

Menurut Prof.Dr.Wrijono Prodjodikoro Perjanjian adalah : “Sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak

menuntut janji itu.”10

Menurut Abdul Kadir Muhammad, SH. Bahwa : “Perjanjian adalah suatu

perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk saling

melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”11

Menurut M. Yahya Harahap,SH ,perjanjian atau Verbintenis mengandung

pengertian: “Suatu hubungan Hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau

lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 12

9

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,2009,hlm 39.

10

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas hukum perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm 7

11

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,PT.Alumni, Bandung, 1986, hlm 78

12

M.Yahya Harahap, Op.Cit.,hlm.6.

Secara harafiah kata “verbintenis”yang merupakan pengambilalihan dari kata

“obligation” dalam Code Civil Perancis dengan demikian berarti perikatan adalah

(3)

Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak

dalam hubungan hukum perikatan tersebut.Kitab Undang-undang Hukum Perdata

tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah “perikatan”.Diawali dengan

ketentuan pasal 1233, yang menyatakan bahwa.“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi

karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara

sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.13

Oleh karena itu prestasi dapat dirumuskan secara luas sebagai “sesuatu yang

diberikan, dijanjikan, atau dilakukan secara timbal balik.Perbuatan, sikap tidak Dari beberapa pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas dapat

disimpulkan bahwa wujud pengertian perjanjian itu sendiri yaitu, hubungan hukum

antara dua orang atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban dipihak

lain untuk memenuhi suatu hal (prestasi) yang telah disepakati.

Perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap pihak yang

berjanji untuk mematuhi prestasi kepada pihak lainnya, begitupula pihak lainnya

harus memperoleh pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.

13

(4)

berbuat, atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi janji yang telah dibeli

oleh pihak lainnya itu.”14

Adapun bunyi dari pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah sebagai berikut :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Prestasi ini adalah “objek” tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan

tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.Prestasi harus berwujud dan

mempunyai nilai; jika tidak demikian, maka tidak ada perjanjian.

Dari pengertian yang telah dikemukakan para sarjana di atas, maka dalam buku

III kitab undang-undang hukum perdata terdapat rumusan tentang perjanjian itu, yang

diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata

15

1. Didalam KUH Perdata disebutkan “Merupakan perbuatan” menurut handri

raharjo makna ini terlalu luas, seharusnya dipersempit dengan “Merupakan

perbuatan hukum”

Namun menurut Handri Raharjo ada beberapa kelemahan dalam definisi

perjanjian menurut KUH Perdata tersebut diantara nya:

14

Ibid.,hlm.99.

15

(5)

2. Dari pengertian diatas juga ditemukan “Yang mengikatkan dirinya hanya 1

pihak , hal tersebut kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian

sepihak, seharusnya “saling mengikatkan diri”.

3. Apa yang menjadi tujuan tidak jelas, seharusnya diperjelas.

Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian menurut Handri Raharjo adalah :

“Suatau hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat

antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka(para

pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang

satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum lainnya berkewajiban

untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah

disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.” 16

Dari rumusan itu dapat kita ketahui ada dua pihak dalam suatu perikatan, yaitu

pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.Pihak yang berhak dinamakan pihak

berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan

dinamakan pihak berhutang atau “debitur”.Dalam hal ini kedua belah pihak memiliki

hubungan hukum dengan arti jika pihak debitur tidak melakukan kewajibannya untuk

memenuhi hak kreditur, maka pihak kreditur dapat melakukan tuntutan kepada pihak

debitur. Dengan kata lain bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum untuk

16

(6)

memenuhi suatu prestasi, prestasi adalah suatu hal tertentu yang patut dipenuhi

menurut undang-undang.

Menurut pasal 1338 KUH Perdata: semua persetujuan yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan begitu segala sesuatu yang telah dibuat didalam suatu persetujuan

berlaku sebagai suatu undang-undang atau aturan bagi para pihak yang turut sepakat

dalam penyusunan perjanjian tersebut.Dengan berlakunya segala sesuatu tersebut

sebagai suatu undang-undang maka apabila ada pihak yang melakukan suatu hal

sebagaimana dilarang didalam suatu perjanjian, pihak lainnya dapat melakukan

penuntutan untuk mendapatkan pertanggungjawaban atas hal tersebut.

Persetujuan yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Dan tentunya persetujuan yang telah disepakati

tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam pasal 1338

kitab undang-undang hukum perdata.

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh

hukum.Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan

menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah,

(7)

Oleh karena itu hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang

bisa timbul dengan sendirinya.Hubungan tersebut timbul karena adanya “tindakan

hukum”.Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan

hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang

lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain berkewajiban untuk

melaksanakan prestasi.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa prestasi adalah sebuah “objek”

dan kreditur berhak atas prestasi yang diperjanjikan dan debitur wajib melaksanakan

prestasi tersebut. Jika demikian inti dari suatu perjanjian tiada lain adalah prestasi.

Jika undang-undang telah menetapkan pihak kreditur adalah yang berhak atas prestasi

dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka inti dari perjanjian ialah

prestasi itu sendiri.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1234 BW, prestasi yang diperjanjikan itu ialah

untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.Memberikan

sesuatu dalam pasal 1235 adalah kewajiban si berutang untuk menyerahkan

kebendaan yang bersangkutan. Dalam hal berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

bisa bersifat postif dan negatif

Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan/berbuat

sesuatu.Hal ini timbul misalnya dalam perjanian kerja seperti diatur dalam pasal 1603

(8)

memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu.Sewa-menyewa sebagaimana

diatur dalam pasal 1550 BW merupakan salah satu perjanjian dengan prestasi negatif.

Tentang objek perjanjian harus dapat ditentukan adalah sesuatu yang logis dan

praktis. Tidak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal

demikian. Itulah sebabnya pasal 1320 BW menentukan bawah objek perjanjian harus

memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu seperti yang dirumuskan dalam pasal

1320 BW, yaitu suatu hal tertentu dan merupakan suatu sebab yang halal.17

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, agar perjanjian itu memenuhi

kekuatan hukum yang sah, objek perjanjian tersebut haruslah objek yang dengan

hukum atau undang-undang serta aturan yang berlaku tidak melarang.Karena suatu

perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan

nilai-nilai kesusilaan.

Jikalau objek yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah nyata dilarang

oleh undang-undang maka perjanjian dengan demikian “tidak sah” karena objek

perjanjian merupakan syarat yang mengikat perjanjian tersebut.Sehingga suatu

perjanjian dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum jika objek yang

diperjanjikan melanggar undang-undang dan aturan yang berlaku.

18

Oleh karena itu prestasi yang dilaksanakan debitur harus benar-benar sesuatu

yang dapat dilaksanakan.Dengan maksud adalah bahwa hal yang diwajibkan untuk

17

M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT.Alumni,Bandung,1986,.,hlm.10.

18

(9)

dilaksanakan oleh debitur haruslah hal yang memang mungkin dapat

dilaksanakan.Misalnya mengangkut barang dari Pekanbaru ke Medan melalui darat

dalam tempo 2 jam.Hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil dapat dilaksanakan

oleh pihak debitur.

Akan tetapi dalam mempersoalkan masalah prestasi yang tidak mungkin ini,

harus dibedakan antara prestasi yang pada dasarnya benar-benar tidak mungkin

dilakukan, dengan prestasi yang memang debitur tidak sanggup untuk memenuhinya.

Dengan membedakan ketidak mungkinan yang terdapat dalam prestasi itu sendiri

dengan ketidak mungkinan yang berasal dari debitur itu sendiri, secara teoritis dan

praktis harus dibedakan antara :

1. Ketidak mungkinan subjektif hanya didasarkan pada anggapan subjektif

debitur. Ketidak mungkinan yang subjektif tidak menyebabkan batalnya

perjanjian; melainkan perjanjian tetap sah.

2. Ketidak mungkinan yang objektif. Dalam hal ini prestasi tidak mungkin

dilaksanakan debitur sekalipun dengan alat dan perhitungan yang benar-benar

cermat. Seperti pada contoh diatas.19

Jikalau perjanjian yang prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan sejak dari

semula membuat persetujuan, perjanjian yang demikian dengan sendirinya dianggap

“tidak berharga” , dan tidak ada kewajiban debitur untuk memenuhinya. Sebab

ketidak mungkinan itu telah menghapuskan kewajiban itu sendiri. Hal ini telah

19

(10)

menjadi prinsip umum dalam kehidupan hukum, yang berbunyi: “imppossibilium

nulla obligation est.” , artinya “ketidak mungkinan meniadakan kewajiban”20

Untuk membedakan antara “absolute overmacht” dan “ relative overmacht”

pada absolute overmacht pelaksanaan perjanjian sama sekali tidak mungkin dapat Sesuai dengan prinsip umum dalam kehidupan hukum bahwa ketidak

mungkinan meniadakan kewajiban, maka resiko yang timbul akibat ketidak

mungkinan; tidak dapat dibebankan kepada pihak debitur.Sebab perjanjian demikian

tidak mempunyai akibat perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.Dengan

catatan bahwa ketidak mungkinan yang mengakibatkan perjanjian sejak dari awal

adalah tidak sah dan tidak mengikat, ialah ketidak mungkinan melaksanakan prestasi

yang diperjanjikan.

Jika pada saat perjanjian tersebut dibuat, prestasi tersebut memang benar-benar

mungkin dapat dilaksanakan,kemudian oleh karena suatu hal menjadi tidak mungkin,

maka perjanjian tersebut tetap sah dan berharga. Adapun masalah sampai dimana

pengaruh kejadian yang menyebabkan ketidak mungkinan melaksanakan prestasi,

persoalan ini termasuk ruanglingkup “overmacht” atau “keadaan memakasa” .

Jika prestasi secara mutlak tidak bisa dilaksanakan , maka debitur tidak

dianggap merugikan kreditur, jika hal itu terjadi karena “keadaan memaksa” pihak

debitur harus dengan jelas membuktikan kebenaran dari overmacht tersebut. Karena

kemungkinan itu baru terjadi pada saat sebelum atau pada waktu hendak melakukan

pemenuhan prestasi.

20

(11)

dilaksanakan oleh debitur. Pada relative overmacht pelaksanaan perjanjian masih

mungkin dilakukan tapi dengan menanggung kerugian yang sangat berat bagi pihak

debitur.21

Dalam Hukum Perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas

perjanjian ada lima, yaitu :

Namun dalam hal relative overmacht yang menimbulkan kerugian besar, tidak

dianggap sebagai alasan overmacht yang membebaskan debitur untuk melaksanakan

prestasi.Sebab kerugian seperti itu dalam perikatan merupakan resiko. Bahwa setiap

orang yang sepakat untuk membuat suatu perjanjian harus sudah siap memperkirakan

segala resiko yang akan terjadi.

Akan tetapi dalam memperhitungkan resiko kerugian yang terjadi, pada

prakteknya selalu dibebankan kepada kedua belah pihak antara kreditur dan debitur;

jika benar keadaan yang menimbulkan overmacht tadi tidak dapat diperhitungkan

sejak awal.Harus diingat dengan jelas bahwa keadaan-keadaan yang bersifat pribadi

tidak dapat diperhitungkan sebagai alasan overmacht.

22

1. Asas kebebasan berkontrak.

Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan

siapapun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar

21

Ibid.,hlm.13.

22

(12)

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (pasal 1337 dan 1338

KUH Perdata)

Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi

relatif(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang

menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalm hukum

perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat

memaksa) dinamakan hukum pelengkap karena pihak boleh membuat

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum

perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka

mereka(para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam

hala ini Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk :

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun.

c) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak

melanggar undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan.

2. Asas konsensualisme.

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320,Pasal

1338 KUH Perdata) Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para

(13)

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servanda).

Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi yang membuatnya (Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata).

4. Asas itikad baik (Togue dentrow).

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata). Itikad baik ada dua, yakni:

a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun rumah. Si

A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran habis maka

diganti cap semut oleh si B.

b) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh, si A

ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (berpenampilan seperti

preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga yang

sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal

atau barang tidak legal.

5. Asas kepribadian (personalitas)

Pada umumnya tidak seorang pendapat mengadakan perjanjian kecuali

untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH

Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

B.Jenis- Jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan

(14)

pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat

mengadakan perjanjian dengan, mengeyampingkan peraturan-peraturan perjanjian

yang ada. Oleh karena itu para pihak yang hendak mengadakan perjanjian , berhak

untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam KUH

Perdata.

Perjanjian dapat dibedakan menururut berbagai cara, yaitu:

1. Perjanjian menurut sumbernya :

a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga misalnya, perkawinan.

b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian

yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.

c) Perjanjian obligatoir , adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.

d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.

e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.

2. Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi :

a) Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur

dalam KUH Perdata. Yang termasuk kepada perjanjian ini misalnya,

perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan lain-lain.

b) Perjanjian tidak bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang

tidak diatur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang

menentukan sendiri perjanjian itu. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan

yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi

(15)

3. Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak

tertulis dan perjanjian tertulis. Yang termasuk perjanjian lisan adalah:

a) Perjanjian konsensual dan perjanjian real.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya

persetujuan kehendak antara para pihak.

b) Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian disamping adanya

persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas

barangnya.Contohnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan,

perjanjian pinjam pakai dan sebagainya.

Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu :

a) Perjanjianstandar atau baku adalah perjanjian tertulis yang berbentuk

tertulis berupa formulir yang isinya telah di standarisasi (dibakukan)

terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat massal,

tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki

konsumen.

b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan

formalitas tertentu, misalanya perjanjian perdamaian yang harus

secara tertulis, perjanjian hibah dengan akta notaris. 23

23

(16)

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ditinjau dari segi

prestasi perjanjian, dapat dibagi antara “perjanjian untuk memberikan sesuatu” ,

“melakukan sesuatu”, “tidak melakukan sesuatu”.

Selain jenis-jenis perjanjian yang telah disebutkan di atas, hukum perdata juga

mengenal beberapa jenis perjanjian yang lainnya, yaitu :

1. Perjanjian Positif dan Negatif.

Perjanjian positif dan negatif ini adalah pembagian perjanjian yang

ditinjau dari segi “isi” prestasi yang harus dilaksanakan.

Suatu perjanjian disebut positif apabila pelaksanaan prestasi yang

dimaksud dalam isi perjanjian merupakan “tindakan positif”, baik berbuat

sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau melakukan sesuatu.

Dan yang disebut dengan perjanjian negatif adalah, apabila prestasi yang

menjadi maksud perjanjian merupakan sesuatu tindakan ngatif hal ini terdapat

pada persetujuan yang berupa “tidak melakukan sesuatu” (niet te doen).24

2. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada

satu pihak saja, sedangkan dilain pihak hanya ada haknya saja.Contohnya

perjanjian hibah, hadiah, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma.Sedangkan

perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban

kepada kedua belah pihak. Contohnya

24

(17)

Perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, dan sebagainya.

Didalam KUH Perdata Buku III diatur berbagai persetujuan tertentu, seperti

jual beli,sewa menyewa,tukar menukar barang, pemberian kuasa, perjanjian

perburuhan, pemborongan kerja dan lain-lain.

Lalu dari peraturan tersebut timbul pertanyaan, apakah perjanjian pengangkutan

dapat dikategorikan kepada salah satu dari perjanjian tertentu yang ada dalam KUH

Perdata. Menurut HMN. Purwosujtipto,SH. Bahwa perjanjian pengangkutan tidak

termasuk kedalam salah satu perjanjian tertentu yang diatur dalam KUH Perdata.

Demikian juga pendapat Prof. Wirjonoprodjodikoro,SH. 25

25

HMN.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku III Hukum Pengangkutan,Djambatan, Jakarta,1987, hlm 187.

Persamaan antara perjanjian pengangkutan dan pemberian kuasa hanya terdapat

dalam hal unsur menyuruh orang lain mengerjakan Sesutu bagi kepentingan pihak

yang menyuruh. Tetapi perbedaannya sangat mendasar. Bahwa dalam pemberian

kuasa, ada hubungan yang hakiki dan erat antara yang memberi kuasa dan yang diberi

kuasa dalam suatu perbuatan tertentu sehingga dengan perbuatan tersebut timbul

hubungan hukum antara si pemberi kuasa sendiri, dan penyuruhan orang lain pada

hakekatnya hanya dilakukan dalam hal si pemberi kuasa berhalangan atau keberatan

untuk melakukan perbuatan itu sendiri.

Jadi dalam hal pemberian kuasa perlu dibuat suatu pasal-pasal yang jelas

mengenai hubungan antara pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa.Hal

(18)

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian pengangkutan tidak

termasuk kepada perjanjian-perjanjian tertentu seperti yang diatur dalam KUH

Perdata,akan tetapi merupakan jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUH

Dagang.

Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya

memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaan itu dapat dilihat dalam tabel dibawah

ini:26

Perjanjian Perikatan

Perjanjian menimbulkan perikatan Perikatan adalah isi perjanjian

Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar

Perikatan merupakan pengertian yang abstrak ( hanya dalam pikiran)

Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua,

artinya:Akibat hukum dikehendaki kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksakan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 sehingga bukan pernyataan sepihak, dan

merupkan perbuatan hukum.

Bersegi satu, hal ini berarti belum tentu menimbulkn akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut dimuka pengadilan (hutang karena judi) pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah 1 maka merupakan pernyataan sepihak dan merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum)

26

(19)

C.Syarat-syarat Perjanjian

Seperti kita ketahui bahwa hukum perjanjian diatur dalam buku III KUH

Perdata, yang terdiri dari 18 bab. Dari 18 bab ini diklasifikasikan menjadi

ketentuan-ketentuan umum dan ketentuan-ketentuan khusus.

Ketentuan umum diatur mulai dari Bab I s/d Bab IV, sedangkan ketentuan

khusus diatur mulai dari Bab V s/d Bab XVIII KUH Perdata.

Berlakunya ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus dapat

dibatasi sepanjang hal-hal yang sudah diatur secara khusus pula.Jika belum diatur

secara khusus, maka berlaku ketentuan umum.Hal ini dapat diketahui dari ketentuan

pasal 1319 KUH Perdata dan pasal 1 KUH Dagang.

Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan : “Semua persetujuan, baik yang

mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama

tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat didalam bab ini dan

bab yang lalu.”27

27

R.Subekti, R.Tjitorosudibio,Op.Cit.,hlm.305.

Yang dimaksud dengan “dalam bab ini dan bab yang lalu”dalam pasal ini

adalah bab II tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari perjanjian dan bab I

(20)

Pasal I KUH Dagang menyatakan : “Kitab Undang-undang hukum perdata

berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang ini, sekedar di

dalam kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus menyimpang”.28

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

Karena KUH Dagang mengatur tentang perikatan, maka kitab undang-undang

hukum perdata yang dimaksud dalam pasal ini mengenai Bab I tentang perikatan

yang dilahirkan dari perjanjian, Bab III tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan

demi undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 1352 dan 1353, pada bab IV

tentang hapusnya perikatan.

Mengenai penerapan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama

tidak perlu diperlakukan lagi. Jika mengenai satu hal belum diatur secara khusus,

maka ketentuan-ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diperlakukan.

Misalnya dalam KUH Dagang sudah diatur secara khusus dan terperinci

mengenai peraturan tertentu, tetapi syarat-syarat sah perjanjian tidak disebutkan maka

berlaku pasal 1320 KUH Perdata.

Berkenaan dengan perjanjian, pasal 1320 KUH Perdata menentukan

syarat-syarat bagi sah nya suatu perjanjian yaitu:

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

3. Suatu hal tertentu ;

4. Suatu sebab yang tidak halal.29

28

(21)

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi

untuk mengadakan suatu perjanjian penulis akan membahas syarat- syarat tersebut

secara satu persatu.

A. Sepakat (toestemming).

Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan

perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak.

Unsur kesepakatan :

1. Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan

penawaran.

2. Acceptasi (penerimaan) adalah pihak yang menerima penawaran.

Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi, ada beberapa macam

teori/ajaran yaitu:

1. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak

pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima

penawaran tersebut.

2. Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak

yang dinyatakan itu dikirim oleh phak yang menerima tawaran.

3. Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun

29

(22)

penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara

langsung.)

4. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak

yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Kesepakatan penting karena itu merupakan awal terjadinya perjanjian, sepakat

harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan.

Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni disebut dengan cacat kehendak

(kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat

kehendak )Pasal 1321 KUHPerdata):

1. Kekhilafan (Pasal 1322 KUHPerdata)

Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi

kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai

orangnya atau objeknya.

2. Paksaan (Pasal 1323-1327)

Paksaan bukan karena kehendak diri namun dipengaruhi oleh orang

lain, yang dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa

dirinya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani

atau ancaman yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang

(23)

3. Penipuan (Pasal 1328 KUHPerdata)

Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran

yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain

bergerak untuk menyepakati.30

B. Kecakapan

Setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan

perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh

kecakapan dan kewenangan hukum.Kecakapan berbuat adalah kewenangan

untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.

Perbedaan diantara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah

bila kewenangan hukum maka subjek hukum adalah hal pasif sedang pada

kecakapan berbuat subjek hukummnya aktif.

Siapa yang cakap berbuat?

1) Pasal 1330 KUHPerdata

Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda).

2) Pasal 330 KUHPerdata

Sehat akal pikiranya (tidak ditaruh dibawah pengampuan).

3) Pasal 47 UNdang-undang No.1 Tahun 1974.

Tidak dilarang undang-undang.

30

(24)

Dulu perempuan termasuk kepada orang yang tidak cakap berbuat, tetapi hal ini

sudah dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1963.Dengan demikan maka orang yang

tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum).

Siapa yang tidak cakap berbuat?

1) Mereka yang belum cukup umur

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap

berusia 21 tahun dan belum menikah.Agar mereka yang belum dewasa

dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh

wali/perwalian.

2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan.

Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat

pribadinya dianggap tidak cakap. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap

tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) :

a. Keadaan dungu.

b. Sakit ingatan/gila/mata gelap.

c. Pemboros dan pemabuk.

Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya

permohonan yang diajukan oleh keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari

kejaksaan (Pasal 434-435).31

31

(25)

C. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d

1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal

tersebut

1. Objek yang akan ada.

2. Objek yang dapat diperdagangkan32

D. Suatu sebab yang halal.

.

Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para

pihak mengadakan perjanjiannya.Halal adalah yang tidak bertentangan

dengan undang-undnag, ketertiban umum, dan kesusilaan.33

Seperti pada pasal 1320 yang menyebutkan bahwa “sepakat mereka yang

mengikat dirinya”.Pihak-pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus mencapai

kata sepakat.Perundingan adalah tindakan yang mendahului tercapainya persetujuan

tersebut.Selagi pihak-pihak mengadakan perundingan, di situ belum dikatakan ada Dalam ilmu hukum dua syarat pertama dikenal dengan nama syarat subjektif

oleh karena berhubungan dengan subjek perjanjian. Berdasarkan rumusan-rumusan

pasal 1322, pasal 1327, pasal 1328, pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, bahwa jika syarat subjektif yang tidak dipenuhi, ternyata tidak mengkibatkan

perjanjian batal demi hukum.Melainkan harus dimintakan pembatalannya.

32

Ibid.,hlm.56.

33

(26)

persetujuan, setelah perundingan selesai, tawaran pihak yang satu diterima oleh pihak

yang lainnya, artinya telah tercapai kesepakatan tentang pokok perjanjian, maka

ketika itulah terjadi persetujuan.

Dan pada syarat selanjutnya yang harus dipenuhi dalam pemenuhan

syarat-syarat perjanjian adalah “kecakapan untuk membuat suatu kesepakatan”.Diawal

pembahasan telah ditegaskan bahwa perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya

hubungan hukum antara dua orang atau lebih.Dengan arti bahwa pendukung hukum

perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.Masing-masing orang

dalam perjanjian tersebut menduduki tempat yang berbeda satu orang menjadi pihak

kreditur dan seorang lagi sebagai debitur.

Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.Kreditur mempunyai

hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi tersebut.Beberapa

orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi

sahnya perjanjian.Hal seperti ini biasa terjadi pada “percampuran hutang”

sebagaimana diatur dalam pasal 1436 BW.

Maka dengan sesuai teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari :

1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan.

a) Natururlijke persoon atau manusia tertentu.

b) Rechts persoon atau badan hukum34

34

(27)

2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain

tertentu. Misalnya,seorang menyewa rumah A. Penyewa bertindak atas

keadaan dan kedudukannya sebagai penyewa rumah A, bukan atas nama

inpersoon, tapi atas nama A sebagai pemilik sesuai dengan keadaanya

sebagai penyewa. Untuk lebih jelas nya dapat dilihat dalam ketentuan pasal

1576 BW.35

3. Persoon yang dapat diganti

Untuk persoon atau kreditur yang dapat diganti berarti kreditur menjadi

subjek semula, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur

baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk

perjanjian “atas nama”.36

A. Individu sebagai persoon yang bersangkutan.

Tentang siapa-siapa yang dapat menjadi debitur, sama keadaanya dengan

orang-orang yang dapat menjadi kreditur; yaitu :

a) Natuurlijke persoon

b) Rechts persoon

B. Seorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu.

35

Ibid.,hlm.16.

36

(28)

C. Seorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitur semula, baik

atas dasar bentuk perjanjian maupun izin dan persetujuan kreditur.37

Sedangkan kedua syarat yang disebutkan terakhir, dikenal dengan istilah syarat

objektif, karena berkaitan dengan objek dari perjanjian, yang tanpa keberadaannya,

perjanjian itu tidak pernah ada.

Selanjutnya terhadap pemenuhan syarat objektif, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal

1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:

“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa sutu

kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi hubungan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja

jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Ini berartidalam suatu perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk

memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan untuk tidak

berbuat sesuatu, senantiasa haruslah ditentukan terlebih dahulu kebendaan yang akan

dijadikan objek dalam perjanjian, yang selanjutnya akan menjadi objek dalam

perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara para pihak yang

37

(29)

membuat perjanjian tersebut. Meskipun secara prinsip dikatakan bahwa kebendaan

tersebut haruslah sudah ditentukan.38

1. Bukan tanpa sebab;

Syarat objektif kedua berhubungan dengan sebab yang halal, yang dalam

ketentuan Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa yang

disebut dengan sebab yang halal adalah:

2. Bukan sebab yang palsu;

3. Bukan sebab yang terlarang.

Secara prinsip dapat kita katakana bahwa apa yang dinamakan dengan sebab

yang halal tersebut bukanlah pengertian sebab yang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari kita, yang menunjuk kepada sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya

sesuatu peristiwa hukum, berubahnya keadaan hukum, dilakukan atau

dilaksanakannya suatu perbuatan hukumtertentu. Hukum tidak pernah berhubungan

dan tidak perlu mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu perjanjian, melainkan

cukup bahwa prestasi yang dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam

perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak mengandung unsur-unsur yang

bertentangan dengan undang-undang,kesusilaan dan ketertiban umum.39

Untuk syarat “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”.Syarat ini berkaitan

dengan objek perjanjiannya atau prestasi yang diperjanjikan.Dalam pasal 1320 KUH

38

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja,Perikatan Pada Umumnya,PT.Raja Grafindo Pusaka,Jakarta,2004.,.hlm.30.

39

(30)

Perdata menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu

harus objek tertentu.Atau sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu

seperti yang dirumuskan dalam pasal 1333 BW.40

a. Kesusilaan yang dengan tegas dilarang undang-undang. Misalnya,

membunuh, menyuruh berzina atau memperkosa dan lain-lain. Hal-hal seperti

ini jelas bertentangan dengan undang-undang.

Jika objek perjanjian yang dimuat

dalam perjanjian tidak menjelaskan suatu hal tertentu tersebut dengan jelas dan

pasti.Maka dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika objeknya tidak

tertentu, atau tidak diketahui dengan pasti.

Syarat tentang hal objek perjanjian harus adalah sebab yang halal, objek yang

diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan dan juga

kesusilaan yang berlaku.Syarat perjanjian yang melanggar kesusilaan bertentangan

dengan ketentuan pasal 1254 BW, pasal tersebut memuat kata kesusilaan. Kesusilaan

yang dimaksud bukan hanya yang bertentangan dengan undang-undang saja, tapi

segala sesuatu yang tidak “senonoh” atau “tidak layak” dalam pergaulan hidup

bermasyrakat.Jika pada prakteknya, adanya suatu perjanjian dengan objek yang

dengan jelas dan pasti melanggar kesusilaan.Maka perjanjian tersebut dapat

dinyatakan batal demi hukum. Yang dimaksud dengan kesusilaan yang dapat

membatalkan perjanjian adalah:

40

(31)

b. Bertentangan dengan “kepatutan” yang telah menjadi adat kebiasaan dalam

kehidupan masyarakat. Misalnya, melarang orang untuk kawin dengan alasan

dan tujuan untuk menguntungkan pihak lain. Contoh, A bersedia memberikan

mobil mewah kepada B dengan syarat B tidak boleh kawin. Tentunya syarat

seperti ini bertentangan dengan adat dan kepatutan.41

Dengan demikian jelaslah bahwa tanpa adanya kebendaan tertentu yang

menjadi objek perjanjian, prestasi, atau kewajiban atau utang tidak pernah

ada.Diantara para pihak yang menyatakan kehendaknya tersebut.Dan bahwa

syarat-syarat dalam perjanjian yang telah dijelaskan diatas.harus dipenuhi, agar sebuah

perjanjian dinyatakan sah dan berkekuatan hukum

41

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi dalam Islam seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan lembaga-lembaga Islam lain seperti perbangkan Islam, asuransi syariah, reksadana syariah

[r]

didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahas pendidikan dari sudut pandang proses kerjasama antar manusia dalam mengembangkan potensi peserta didik melalui

Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Daerah Kabupaten Asahan 2011. Universitas

The analyst(s) named in this report certifies that all of the views expressed by the analyst(s) in this report reflect the personal views of the analyst(s) with regard to any and

Hasil penelitian ini menunjukkan sistem penataan arsip sudah berjalan dengan baik ,bidang Catatan Sipil Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Tebing Tinggi menggunakan

The analyst(s) named in this report certifies that all of the views expressed by the analyst(s) in this report reflect the personal views of the analyst(s) with regard to any and

But, then, accord- ing to Madjid (1992:25), the value of meaning and purpose are not automatically positive, because whatever ideologies or ways of life have possibil- ity to