• Tidak ada hasil yang ditemukan

(61 Kali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "(61 Kali)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAKUAN TERHADAP ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM

SELAMA PROSES DIVERSI

SITUASI ABH DI INDONESIA

Secara faktual, tindak kejahatan dengan pelaku anak semakin meningkat. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa pelaku kejahatan anak mengalami peningkatan dari 1.121 pengaduan di tahun 2013 menjadi 1.851 pengaduan di tahun 2014 (meningkat sejumlah 730 kasus) (Susantyo, dkk. 2015). Hampir 52 persen dari angka itu adalah kasus pencurian yang diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, judi, serta penganiayaan. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan bersama pelaku tindak pidana dewasa sehingga rawan mengalami tindak kekerasan.

Sejalan dengan terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang didalamnya tercantum kewajiban untuk mengutamakan pendekatan Restoratif Justice (Keadilan Restoratif) dan Diversi. Diversi bertujuan untuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU No. 11 tahun 2012.

Proses diversi dapat dilakukan pada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selama proses diversi tersebut, mereka perlu mendapatkan perlindungan dan hak-haknya agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini, mereka perlu mendapatkan Perlindungan Khusus, diantaranya memperoleh Perlindungan dan pendampingan dari tenaga professional seperti Pekerja Sosial. Sebagaimana amanat pada Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 59A, bahwa Perlindungan Khusus bagi Anak yang berkonflik hukum dilakukan melalui upaya: a) penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b) pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c) pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan d) pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Data profil anak Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa anak pelaku kejahatan yang mendapatkan putusan pidana penjara sebesar 55,30 persen. Persentase penanganan kasus anak menggunakan pendekatan diversi sebanyak 22,80 persen, kembali pada orangtuanya; putusan anak kembali ke orang tua 8,57 persen, putusan pidana bersyarat 9,02 persen, dan putusan diserahkan ke Panti Sosial atau lainnya sebnyak 2,94 persen. Kondisi Ini menunjukkan sudah adanya keberpihakan dari aparatur penegak hukum terkait dalam menangani kasus anak lebih sebagai upaya mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Namun berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Kesos tahun 2015 tentang kesiapan Kemensos dalam implementasi Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menemukan bahwa setiap Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai lembaga sosial yang berfungsi untuk perlindungan dan rehabilitasi bagi anak berkonflik hukum masih bervariasi sasarannya. Ada yang memiliki tugas dan fungi merehabilitasi bagi

Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016

Menuju Bebas Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Di LAPAS Dewasa pada

Tahun 2018”

Puslitbangkesos

POLICY BRIEF

Terbitnya UU Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang

didalamnya tercantum kewajiban untuk

mengutamakan pendekatan

Restoratif Justice

(Keadilan Restoratif) dan Diversi. Namun

demikian, dari hasil penelitian menunjukan

bahwa masih adanya anak yang berada pada

LAPAS dewasa dengan status tahanan

maupun menjalani hukuman. Penelitian ini

mengemukakan kondisi anak yang berada di

LAPAS dewasa pada tiga daerah penelitian

yaitu Pontianak, Bengkulu dan Kendari.

Lembaga Penyelenggara kesejahteraan sosial

(LPKS) ditujukan untuk meningkatkan

kualitas kehidupan bagi seluruh masyarakat,

termasuk anak yang berhadapan dengan

hukum (ABH). Diperlukan adanya berbagai

upaya

nyata

dari

berbagai

(2)

pelaku, korban dan saksi serta ada yang melaksanakan Perlindungan dan merehabilitasi bagi korban dan saksi saja. Sementara temuan penelitian lain menunjukkan bahwa belum seluruh LPKS Kemensos, siap menerima anak berhadapan dengan hukum, karena keterbatasan sarana dan prasarana termasuk SDM (pekerja sosial ABH). Dengan demikian peluang menempatkan anak di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan selama menjalani proses hukum masih cukup besar, terlebih jika wilayahnya tidak memiliki LPKS atau Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) sebagai Unit Pelaksana Teknis lembaga rehabilitasi bagi anak berhadapan dengan hukum. Mengantisipasi kondisi ini, peran pekerja sosial dan profesi lainnya cukup penting dalam memberikan perlindungan dan pendampingan, termasuk mendorong agar anak mendapatkan proses penyelesaian perkara diluar mekanisme pidana konvensional. dengan cara pengalihan atau diversi. Selama menunggu putusan pengadilan (proses penyidikan, penuntutan dan peradilan) dan mendapatkan pendekatan diversi, idealnya anak ditempatkan di lembaga rehabilitasi sosial atau LPKS bukan berada di dalam LP atau rumah tahanan. Oleh karena itu kajian ini akan mengungkap pelayanan apa saja yang diterima anak selama menunggu atau menjalani proses hukum/diversi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana anak-anak pelaku tindak pidana mendapatkan Perlindungan selama menunggu putusan pengadilan, baik selama proses penyidikan (Kepolisian), penuntutan (Kejaksaan), dan pemeriksaan (Pengadilan) serta selama dalam LP atau rumah tahanan. Bagaimana peran pekerja sosial melakukan pendampingan bagi anak-anak yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan.

Berdasarkan permasalahan diatas penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan menganalisis; Kondisi psikososial ABH selama proses diversi, Kesiapan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai lembaga rujukan untuk diversi ABH, dan Praktek-praktek Pekerjaan Sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum selama proses diversi.

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di tiga provinsi yaitu Bengkulu, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara dengan jumlah sampel sebanyak 68 ABH yang berada di Lapas Curup, LPKA kota Pontianak dan LPKA Kendari. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian terdiri dari anak binaan dan anak tahanan yang ditempatkan di Lapas dewasa. Jumlah responden dan informan anak pada masing-masing provinsi adalah sebagai berikut:

Tabel 1: Jumlah Responden dan Informan anak

No Provinsi RespondeJumlah

n Informan

1. Bengkulu 26 6

2. Kalimantan Barat 28 5 3. Sulawesi Tenggara 14 2

JUMLAH 68 13

Jenis kasus yang diwawancarai terdiri dari kasus pencabulan (7 kasus) dan pencurian (6 kasus). Dari informasi anak yang berada di LAPAS diketahui bahwa ada diantaranya sudah melakukan Diversi namun berlanjut ke proses hukum, karena: :

1. Ganti rugi yang tidak dapat dipenuhi oleh pelaku atas tuntutan korban. 2. Tidak dapat mencapai kesepakatan antara korban dan pelaku

3. Kemarahan keluarga korban atas pembelaan keluarga pelaku.

4. Adanya hukum adat Peohala yang berlaku di kota Kendari yang tuntutannya memberatkan karena menyangkut kehormatan.

KONDISI PSIKOSOSIAL ANAK DI LAPAS

(3)

Hal menarik untuk diperhatikan adalah ada 39,7% anak binaan merasa terbuang dari masyarakat, dan 10,3% menyatakan tidak merasa menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Sejumlah 7,4% merasa senang berada di Lapas dan sebaliknya 76% menyatakan perasaan sedih berada di Lapas.

Namun demikian terdapat kondisi positif pada anak binaan yang dapat dimanfaatkan untuk perubahan perilaku anak bahwa keberadaan mereka di Lapas membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan (94,1%) dan memiliki rencana untuk masa depan (89,7%). Hal tersebut memperkuat kondisi anak menuju perubahan ke arah yang lebih baik terlebih dengan adanya adanya kunjungan dari keluarganya (90%) dapat menjadi salah satu dukungan/suport mental bagi anak.

Relasi sosial selama anak berada dalam Lapas, ditunjukan keakraban dengan staf Lapas (83%) dan tidak pernah konflik dengan teman sesama anak binaan (76,5%), kecuali 22,1% menyatakan pernah konflik dan hampir tiga perempatnya menyatakan tidak pernah mengalami luka karena konflik dengan teman. Berikut kondisi psikososial anak di Lapas.

Tabel 2: Prosentase Kondisi Psikososial ABH

Terdapat beberapa alasan kenapa anak ditempatkan pada Lapas dewasa antara lain:

1. Provinsi belum memiliki LPKA

2. Provinsi tidak memiliki tahanan khusus anak 3. Orang tua tidak menginginkan anak ditempatkan

jauh dari tempat tinggal, karena akan menyulitkan orang tua menjenguk anak.

KONDISI LPKS

Lembaga Penyelenggara Rehailitasi Sosial bagi anak berkonflik hukum, keberadaannya cukup beravariaasi, seperti LPKS di Provinsi Bengkulu berada di lingkungan Balai Pembinaan Anak dan Remaja (BPAR identik dengan PSBR), LPKS di Provinsi Kalimantan Barat berada di lingkungan PSAA Pontianak hanya berbeda di gedung. Sementara LPKS di kota Kendari berada di lingkungan Pondok Pesantren.

Jumlah Klien di LPKS masih terbatas, di Bengkulu ada 3 orang yang terdiri dari 2 anak laki-laki dengan kasus pencabulan dan pencurian, dan 1 anak perempuan dengan kasus korban pencabulan. Masing-masing berusia antara 14 – 16 tahun. Di provinsi Kalimantan Barat ada 1 anak laki-laki berusia 11 tahun dengan kasus pencabulan dengan vonis 9 bulan. Provinsi Sulawesi Tenggara ada 2 klien anak laki-laki masing-masing berusia 15 tahun dengan kasus pencurian dan pencabulan.

Kegiatan anak selama berada di LPKS Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara, mengikuti pendidikan sekolah dan pendidikan keagamaan sebagaimana anak asuh di panti asuhan. Sedangkan di Provinsi Bengkulu hanya menunggu warung “ABH” dan memelihara ayam. Untuk klien perempuan diikutsertakan pada ketrampilan salon. Hanya saja klien perempuan terpaksa dipulangkan ke rumah orang tuanya dikarenakan melanggar aturan panti.

LPKS pada tiga provinsi tidak memiliki petunjuk pelaksanaan dalam menangani ABH. Hal menarik yang ada di LPKS Kendari adalah pengurus LPKS mengganti nama anak selama mereka berada di pesantren, sehingga anak-anak yang lain tidak tahu identitas maupun kasus yang dialami dan, mereka dapat mengikuti kegiatan dengan anak-anak yang lainnya.

Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan di LPKS sangat terbatas. LPKS di provinsi Bengkulu hanya cukup untuk permakanan saja. Berbeda dengan di provinsi Kalimantan Barat, orang tuanya turut membiayai kebutuhan anak sebesar RP. 1.000.000,- / bulan. Sehingga anak masih bisa melanjutkan sekolah dan

Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016

NO KONDISI PSIKOSOSIAL %

1. Tidak dikunjungi keluarga 8,8 %

2. Merasa senang 7,4 %

3. Tidak merasa menyesal 10,3

%

4, Merasa terbuang 39,7

% 5. Sakit dibiarkan sembuh sendiri 9 % 6. Mengalami luka akibat tindakan orang

lain 9,1 %

7. Pernah konflik dg teman 22,4 % 8. Tidak akrab dg pegawai LP 16,2 %

9. Tidak dekat dg Tuhan 5,9 %

10. Pengalaman tidak menyenangkan saat :

a. Penangkapan 52,2

% b. Pemeriksaaan di polisi 26,9 %

c. Persidangan 13,4

(4)

kebutuhan sehari-hari tetap terjamin. Sementara untuk biaya pendidikan anak yang berada di LPKS pondok pesantren ditanggung sepenuhnya oleh Yayasan Pondok Pesantren.

Keberadaan pekerja sosial di LPKS masih sangat terbatas, seperti pekerja sosial di Bengkulu sudah bersertifikat dan selama ini sering bekerjasama dengan Polsek setempat. Sementara LPKS Kendari dan Pontianak belum memahami bagaimana menangani ABH dan belum siap untuk menerima ABH.

Sarana dan prasarana LPKS di tiga provinsi belum memadahi sebagai lembaga rehabilitasi sosial ABH karena tidak memiliki ruangan khusus untuk konsultasi, dan kelengkapan rehabilitasi sosial lainnya. Berada dalam lingkungan terbuka tanpa pengaman, meskipun anak dapat menginap di gedung panti asuhan.

Tabel berikut adalah aspek-aspek yang ditunjukan oleh LPKS pada tiga wilayah penelitian. Tabel 3; Aspek-Aspek LPKS Pada Tiga Wilayah

No ASPEK BENGKULU KALBAR SULTRA

1. JUMLAH ANAK

DAN KASUS 2 laki-laki (14-15th) pelaku pencabulan dan 3. PEDOMAN Belum ada

juklak dan

SDM 1 peksos pahamABH, pengurus LPKS tidak 5. SARPRAS Tidak tersedia

sarpras yg

kegiatan khusus Tidak ada kegiatan khusus Pendidikan pesantren 8. KEKHASAN Eksklusif, tdk

terlibat

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa praktek pekerjaan sosial dalam penanganan ABH sangat bervariasi. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) melakukan assesmen dengan pedoman yang sudah baku lebih banyak ditujukan pada pelaku dan keluarganya. Hasil asessment dituangkan dalam bentuk Penelitian Kemasyarakatan (Litmas). Sementara sSakti peksos dan Peksos di LPKS dinilai cukup memadahi dalam melakukan assesment, selain dari korban dan pelaku juga keluarga dan lingkungan sekitar anak. Hasil assesment dituangkan dalam Laporan Sosial (Lapsos).

(5)

Koordinasi atau kerjasama dengan aparat penegak hukum masih kurang, karena keberadaan Peksos atau Sakti Peksos belum dikenal, peranan dan fungsinya dalam menangani anak berhadapan dengan hukum. Selama ini tidak fokus menangani ABH tetapi juga kasus-kasus anak lainnya.

Dalam praktek penanganan kasus ABH dibutuhkan jejaring dengan berbagai pihak terkait, sementara selama ini Sakti Peksos masih terkendala birokrasi misal untuk melakukan koordinasi dngan instansi laain, selama ini belum mengenal petugas yang memiliki kompetensi penanganan ABH di lingkungan aparat penegak hukum.

Tabel 4; Praktek Pekerjaan Sosial

No PROVINSI PK BAPAS PEKSOS LPKS

SAKTI PEKSOS

1. BENGKULU Assessmen pelaku hanya 1 hari, pendampingan di persidangan, mediasi di proses diversi. Belum bekerja sama dengan peksos

Sudah sertifikasi dan mumpuni dalam mengasuh anak

Jumlah banyak tetapi tidak terlibat dalam proses hukum, kecuali kasus- berat. Peksos tidak dikenal hakim. Belum bersinergi dengan PK Bapas. Pendampingan hanya utk korban dan keluarga. 2. KALBAR Form sudah

baku, kasie. PK Bapas mantan peksos kanwil Depsos, jadi sdh mengerti praktek peksos.

Belum bersertifikasi

Aktif dan terlibat dalam tiap kasus ABH,

pendampingan thd pelaku &korban. Jumlah peksos minim dan tidak merata ada di semua kabupaten. 3. SULTRA Form sudah

baku. Kendala dalam diversi , ada hukum adat “peohala”

Terbatas jumlah dan belum bersertifikasi

Belum semua Polsek melibatkan Peksos walaupun sudah sosialisasi melalui surat. Peksos terlibat ketika sudah berada di kejaksaan

REKOMENDASI

1. Penambahan kuantitas dan kualitas pekerja sosial yang fokus menangani ABH.

2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi Pekerja Sosial dan aparat penegak hukum dalam implementasi UU SPPA.

3. Pembentukan LPKS dengan aspek kelembagaan dan memiliki pekerja sosial koreksional serta sarana dan prasarana yang memadai.

4. Pelayanan ABH terintegrasi Kementerian Sosial, Kementerian KUMHAM dan Kepolisian untuk efisiensi perlindungan, rehabilitasi dan pembinaan dari tingkat pusat sampai daerah

5. Diaktifkan kembali KOMITE Penanganan Rehabilitasi Sosisa ABH di tingkat provinsi, yang pernah terbentuk.

Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Tahun 2016

Peneliti: Alit Kurniasari, Badrun Susantyo, Mulia Astuti, Husmiati, Irmayani, Hari Harjanto Setiawan.

Gambar

Tabel 1: Jumlah Responden dan Informan anak
Tabel 2: Prosentase Kondisi Psikososial ABH
Tabel 3; Aspek-Aspek LPKS Pada Tiga Wilayah
Tabel 4; Praktek Pekerjaan Sosial

Referensi

Dokumen terkait

psikomotor tidak ada, (6) tidak ada interaksi antara kreativitas dengan sikap peduli lingkungan siswa terhadap prestasi belajar kognitif, afektif dan psikomotor

Ketika akurasi yang dihasilkan sudah optimal dan mendapatkan sudut yang menghasilkan akurasi cukup tinggi, tahapan selanjutnya yaitu pembuatan prototype sistem yang

bermacam -macam suku dan budaya serta adat yang berbeda-beda di setiap daerah-daerah, Adat adalah merupakan pencerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, serta

Respon dari penderita terhadap buku memiliki rata-rata 88% dengan kriteria sangat baik digunakan.Dengan demikian, buku perencanaan menu ini layak, praktis dan efektif untuk

Padahal Rhodamin B merupakan pewarna untuk kertas dan tekstil sehingga pewarna ini berbahaya bagi kesehatan (Salam, 2008). Permasalahan ini mendorong untuk

Sesuai dengan pokok masalah yang sudah dikemukakan di atas tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Proses Ziarah Sebagai Media Komunikasi

Dalam menyusun perancangan film animasi 2D sebagai media bantu pembelajaran tradisi lisan parikan Jawa ini untuk anak Sekolah Dasar dibutuhkan jalan cerita yang

Terlepas dari apakah budaya tersebut sebagai sebuah produk barang (artefak/karya seni), prilaku masyarakat (budaya itu sendiri), atau keindahan alam. Menurut Smith pariwisata dapat