TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERSIDANGAN ISBAT
NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO
SKRIPSI
OLEH:
M. NURHADI ZAKARIYAH NIM: C01209046
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam
Jurusan Ahwalus Syakhsiyah
SURABAYA
2016
ABSTRAK
Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Itsbat Nikah, UU No 1 Tahun 1974. Itsbat Nikah adalah sebuah proses penetapan Pernikahan dua orang Suami istri yang sebelumnya telah melakukan nikah secara Sirri. Tujuan dari itsbat nikahadalah untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti sahnya perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, misalkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) Pasal 2 ayat (2).
Pada Dasarnya Pelaksanaan Itsbat diperuntukkan pada hal tertentu saja seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Kompilasi Hukum Islam. Dalam penelitian ini penulis akan membahas permasalahan: 1) Bagaimana prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?, 2) Bagaimana kesesuaian prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama SidoarjoPenelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan yuridis empiris, spesifikasi penelitiannya deskriptif kualitatif, kemudian tekhnik pengumpulan data dengan carawawancara dan studi dokumen atau bahan pustaka.
Hasil penelitian yaitu prosedur Pengajuan Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama Sidoarjo setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi: dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu mendaftar ke Kantor Pengadilan Agama Sidoarjo, membayar panjar biaya perkara, menunggu panggilan sidang dari pengadilan, menghadiri persidangan dan putusan pengadilan.
Akibat hukum terhadap adanya Penetapan Itsbat Nikah adalah sahnya pernikahan secara hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban antara suami, istri dan anak yang lahir dari perkawinannya menjadi anak yang sah dan timbulnya hubungan saling mewarisi jika terjadi kematian salah satu pihak, baik suami atau isteri dan anak. Anak juga memiliki hak memperoleh pelayanan administrasi kependudukan, berupa akta kelahiran, selain itu tentu saja hak hukumnya sebagaiahli waris dari orang tuanya juga terjaminSedangkan pada perkara yang ditolak selain perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum, dampak negatif yang ditimbulkan bagi sang anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut adalah, dimata hukum si anak dianggap sebagai anak tidak sah dan tidak akan bisa mendapat bukti berupa akta kelahiran dari Negara .
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ………..I
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 15
BAB II KEABSAHAN PERKAWINAN DAN ITSBAT NIKAH DALAM HUKUM ISLAM INDONESIA A. Pengertian, Syarat, danRukunPerkawinan ... 16
1. Pengertian Perkawinan ... 16
2. Rukun Perkawinan ... 17
3. Syarat Perkawinan ... 21
B. Urgensi Pencatatan Nikah ... 22
1. Legalitas Perkawinan ... 26
2. Akibat Hukum Pencatatan ... 26
1. Pengertian Itsba tNikah ... 27
2. Dasar Hukum Itsbat Nikah ... 28
3. Syarat-syarat Itsba tNikah ... 29
D. Akibat Hukum Itsbat Nikah ... 39
1. Anak ... 39
2. Harta Warisan ... 43
3. Suami dan Istri ... 45
BAB III PERSIDANGAN ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO ... 46
A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama (PA)Sidoarjo ... 46
1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Sidoarjo ... 46
2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 47
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 47
4. Yurisdiksi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 48
B. Prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo .. 49
1. Dasar Hakim dalam Mengabulkan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo ... 49
2. Tujuan Itsbat Nikah ... 53
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO ... 55
A. Analisis Prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo... 55
B. Analisis kesesuaian Itsbat Nikah Massal di pengadilan Agama (PA) Sidoarjo... 59
BAB V PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.1 Tujuan perkawinan dalam Undang-undang adalah membentuk keluarga
bahagia yang kekal. Perkawinan dalam hukum perdata di Indonesia diartikan
sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang berlaku untuk waktu yang lama.2
Tujuan perkawinan, yakni mencapai keluarga bahagia yang sejahtera
spiritual dan material. Tujuan-tujuan tersebut terdapat dalam azas equilibrium
antara temporal dan kerohanian. Pengertian rumah tangga Islam dalam arti
sakinah, mawaddah, warohmah, yakni rumah tangga bahagia rukun dan sejahtera
dunia dan akhirat.
Tujuan perkawinan akan tercapai apabila perkawinan itu memenuhi
beberapa syarat yang harus dipenuhi, baik syarat yang telah diatur dalam
hukum Islam (syarat materiil) maupun syarat formil yang berlaku di Indonesia.
Hukum positif yang ada dan berlaku sekarang ini adalah Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum Islam, untuk dapat melakukan
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,Pasal 1.
Perkawinan secara sah, tentu saja perlu adanya kesesuaian antara rukun
dengan syarat perkawinan yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri. Tanpa
terpenuhinya rukun dan syarat tersebut, maka perkawinan dikatakan batal.3
Perkawinan bagi orang Islam di Indonesia diatur dalam UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) disebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut merupakan upaya
baru yang dilakukan Pemerintah untuk menertibkan perkawinan, selain juga untuk
melindungi hak-hak suami-isteri jika terjadi persengketaan. Perkembangan antara
tuntutan idealitas dan realitas selalu tidak beriringan. Masih banyak perkawinan
yang tidak dicatatkan, yang dalam istilahnya disebut dengan nikah bawah tangan.
Perkawinan bawah tangan oleh Undang-undang dianggap melanggar tertib
administrasi dan hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan bawah tangan
dapat diitsbatkan ke Pengadilan Agama, yaitu penetapan sah secara hukum melalui
putusan.4
3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi’I, Hanaf, Maliki dan Hambali (Jakarta: Hida Karya Agung, 1991), 1.
“Nikah bawah tangan” adalah nikah tanpa adanya suatu pencatatan pada
instansi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Nikah dibawah
tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tahun 1975.
Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak ada motif “sirri”, tentunya
juga telah memenuhi ketentuan syari’ah yang benar.
Pengadilan Agama. Perkawinan hanya sah menurut hukum materi’il
tetapi belum sah menurut hukum formil jika tidak dicatatkan. Itsbat nikah
merupakan salah satu sengketa perkawinan yang merupakan kewenangan
Pengadilan Agama.
Dalam program yang bertajuk Itsbat Nikah dan nikah
massal gratis tersebut, sejumlah warga yang belum mempunyai Surat nikah masih
diharuskan membayar sekitar Rp 250.000. Dana tersebut lebih ringan 50 persen
dibandingkan dengan mengurus sendiri sesuai ketetapan Pengadilan Agama.5 Salah
satu pasangan, Notowiyono (75) dan Tumikem (70), mengaku meski dianggap
berat, dia terpaksa harus membayar sekitar Rp 250.000 untuk mengikuti sidang
isbat kolektif tersebut. Hal ini ditempuh karena terdesak oleh kebutuhan kedua
anaknya yang akan melangsungkan pernikahan, yang salah satu syaratnya harus
menyertakan akta nikah orang tuanya.
Waktu itu, saya menyetor sekitar dua ratus ribuan lebih karena lebih
murah daripada mengurus sendiri di Pengadilan Agama biayanya mahal," kata
Notowiyono, yang sudah puluhan tahun menikah tanpa akta nikah ini. Di sela-sela
kegiatan tersebut,
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 disebutkan,
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan
bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
Dari ketentuan diatas, jelas bahwa sebuah perkawinan akan sah di mata
hukum, artinya jika telah dicatat oleh petugas yang berwenang. Untuk mereka yang
beragama Islam, perkawinan yang belum dicatatkan, artinya tidak dilakukan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak punya bukti Akta Nikah, dianggap
tidak mempunyai kekuatan hukum.6
Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak
mempunyai buku nikah karena perkawinannya tidak tercatat, untuk mendapatkan
dokumentasi pribadi yang dibutuhkan. Solusi yang dapat ditempuh oleh mereka
adalah mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama. Penetapan
itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu sendiri, kemudian
digunakan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada pegawai pencatatan
nikah kantor urusan agama, dan selanjutnya kantor urusan agama akan
menerbitkan buku nikah atau kutipan akta nikah.
Melihat permasalahan di atas, penyusun bermaksud meneliti lebih
dalam dan memberikan analisis terhadap alasan dan dasar hukum hakim atas
penetapan Itsbat nikah dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo.”
Subyek dari penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo,
karena adanya perkara Itsbat nikah yang didaftarkan secara massal bagi
perkawinan pasca Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Penyusun tertarik melakukan penelitian ini dikarenakan itsbat nikah massal di
Pengadilan agama hanya ada di Kabupaten sidoarjo, meskipun di Provinsi lain
masih terdapat itsbat nikah massal.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas terdapat beberapa masalah yang
sangat pokok, yang akan dikemas dalam identifikasi masalah sebagai berikut:
a. Tinjauan hukum Islam terhadap Persidangan itsbat nikah massal
dipengadilan agama (PA) sidoarjo.
b. Kesesuain hukum terhadap persidangan itsbat nikah massal dipengadilan
agama (PA) sidoarjo.
2. Batasan Masalah
Dalam penelitihan ini perlu dilakukan batasan agar pembahasanya
disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan penelitihan. Oleh
sebab itu maka penulis membatasi masalah dengan membahas tentang
tinjauan hukum islam terhadap persidangan itsbat nikah massal di
pengadilan (PA) sidoarjo.
C. Rumusan Masalah
Dalam penelitihan ini penulis ingin mengetengahkan suatu yang telah ada
dalam masyarakat ini, yaitu suatu yang sudah sering terjadi pernikahan massal di
pengadilan agama (PA) sidoarjo, propinsi jawa timur. Sehingga hal ini dipandang
perlu adanya ketegasan mengenai status hukumnya dalam konteks islam.
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas , maka penulis
merumuskan sebagai berikut
1. Bagaimana prosedur itsbat nikah secara massal di pengadilan agama (PA)
sidoarjo?
2. Bagaimana kesesuaian prosedur itsbat nikah secara massal di pengadilan
agama (PA) sidoarjo dengan hukum islam?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian/penelitian yang sudah pernah
dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian
yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari
yang akan dilakukan harus dijelaskan.7Berdasarkan penelusuran terhadap karya
ilmiah yang penyusun lakukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas
masalah Itsbat nikah.
1. Pertama, skripsi berjudul “Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah
di Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara
No.190/Pdt.G/2004/PA/Smn)”yang ditulis oleh Muhammad Dahlan. Hakim
dalam menetapkan perkara Itsbat Nikah harus memperhatikan dengan suatu hal
dengan objektif, yakni mempertimbangkan dengan seksama mana yang
harus didahulukan antara mengabulkan atau menolak.
Dengan mempertimbangkan syarat-syarat poligami yang tidak
terpenuhi, seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Pasal 57 KHI. Dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Pasal 58 ayat (1) KHI, beserta surat pernyataan yang
membuat isteri dizalimi dikarenakan paksaaan suami untuk
berpoligami, maka Itsbat nikah pada perkara tersebut ditolak.8
Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Dahlan jelas berbeda dengan
yang penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan
pun berbeda. Muhammad dahlan membahas masalah itsbat nikah poligami,
sedangkan yang penyusun bahas masalah itsbat nikah massal.
7 Fakultas syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Edisi Januari 2014), 8.
8 Muhammad Dahlan, Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah Poligai di
Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara No. 190/Pdt.G/2004/PA/Smn), skirpsi strata 1
2. Skripsi dengan judul, “Itsbat Nikah Studi Kasus terhadap Keputusan
Pengadilan Agama Sleman Tahun 2000-2002” yang ditulis oleh
Muhammad Najib. Skripsi tersebut menganalisis putusan permohonan Itsbat
nikah yang lebih cenderung pembahasan Itsbat nikah poligami, dan bagaimana
pembuktian yang dilakukan oleh Majelis Hakim.
Apakah sesuai dengan prosedur hukum acara Peradilan Agama. Hasil
penelitian hampir sama dengan skripsi sebelumnya, yakni bahwa pembuktian
dalam perkara poligami tersebut majelis Hakim mempertimbangkan
dengan seksama mana yang harus didahulukan antara mengabulkan atau
menolak permohonan Itsbat nikah yang diajukan kepadanya. Perkara
pengajuan Itsbat nikah poligami, dalam pembuktiannya dan juga
mengenai syarat-syarat poligami apakah sudah terpenuhi dan sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
Pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut
berdasarkan pada keadilan moral serta demi kemaslahatan (pemohon
isteri-isterinya dan anak-anaknya) dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.9
Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Najib jelas berbeda dengan
yang penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan.
Muhammad Najib membahas masalah itsbat nikah poligami mengenai
syarat-syarat dan pembuktiannya, sedangkan yang penyusun bahas masalah
9 Muhammad Najib, “Itsbat Nikah Studi Kasus terhadap Keputusan Pengadilan Agama Sleman,
itsbat nikah massal mengenai alasan dan dasar hukum hakim.
3. Skripsi yang berjudul, “Itsbat Nikah dan Peluang Terjadinya Nikah Sirri
(Studi Analisis Terhadap Putusan PA Bantul)” ditulis oleh Harizan.
Pembuktian Hakim dalam penetapan Itsbat nikah di Pengadilan Agama
Bantul, dan motif menjadikan lembaga Itsbat nikah sebagai peluang
melakukan nikah sirri.10
Skripsi yang ditulis oleh Harizan jelas berbeda dengan yang
penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan. Muhammad
dahlan membahas masalah peluang nikah sirri sebab adanya itsbat nikah,
sedangkan yang penyusun bahas masalah itsbat nikah massal mengenai
alasan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan permohonan itsbat nikah
yang didaftarkan secara massal.
4. Skripsi yang berjudul, “Sikap Hakim Pengadilan Agama terhadap
Permohonan Itsbat Nikah bagi Perkawinanpasca Undang-undang No. 1 tahun
1974 (Studi di Pengadilan Agama Bantul)” yang ditulis oleh Siwi
Pamungkas. Menjelaskan bahwa pembuktian yang dilakukan Hakim di
lingkungan Pengadilan Agama Bantul sudah sesuai dengan
prosedur, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu penggunaan
Pasal 164 HIR / Pasal 284 Rbg.11 Skripsi yang ditulis oleh Siwi
10 Harizan, “Itsbat Nikah dan Peluang Terjadinya Nikah Sirri (Studi Analisis Terhadap Putusan
PA Bantul),” skirpsi strata 1 Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (2004).
11 Siwi Pamungkas, “Sikap Hakim Pengadilan Agama terhadap Permohonan Itsbat Nikah bagi
Pamungkas jelas berbeda dengan yang penyusun tulis, mulai dari masalah
judul sampai pembahasan pun juga berbeda. Siwi Pamungkas membahas
masalah itsbat nikah pasca Undang- undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan mengenai sikap hakim, sedangkan yang penyusun membahas
masalah itsbat nikah massal mengenai alasan dan dasar hukum hakim
dalam menetapkan permohonan itsbat nikah yang didaftarkan secara
massal.
Berdasarkan telaah terhadap keempat karya tulis di atas, maka
penelitian yang penyusun lakukan dengan judul Itsbat Nikah Massal Tahun
2011 di Pengadilan Agama Wonosari (Studi terhadap Alasan Hakim atas
Penetapan Itsbat Nikah), jelas berbeda dengan karya tulis yang sudah ada baik dari
tempat penelitian maupun objek yang dikaji. Penyusun akan meneliti
prosedur itsbat nikah Pengadilan Agama sekaligus meneliti kesesuain
prosedur itsbat nikah dengan hukum islam.
E. Tujuan Penelitian
Mengacu rumusan pertanyaan penelitian di atas , pada prinsipnya penelian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktek pernikahan secara massal di
pengadilan agama (PA) sidoarjo dalam kehidupan dimasyarakat. Dalam penelian
ini ada beberapa tujuan dan kegunaan yang ingin di capai oleh peneliti yaitu
1. Bagaimana prosedur itsbat nikah massal di pengadilan agama (PA)
2. Bagaimana kesesuaian prosedur itsbat nikah secara massal di
pengadilan agama (PA) sidoarjo .
F. Kegunaan Hasil Penelitihan
Keguanaan hasil penelitihan diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan dalm kajian-kajian ilmiah khususnya bagi sosial keagamaan. semoga
berguna bagi masyarakat dan khususnya bagi umat islam selurunya.
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas isi pembahasan dan untuk menghindari kesalah
pahaman dalam memahami judul ini, maka penulis merasa perlu untuk
menyajikan definisi operasional. Pada bagian ini penulis akan memaparkan
beberapa istilah yang dianggap penting dalam memahami judul, “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Persidangan Itsbat Nikah Massal Di Pengadilan Agama
(Pa) Sidoarjo”.
Penjelasan sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah pendapat ulama fiqih tentang itsbat nikah termasuk di
kibab KHI untuk di-nyatakan sah-nya perkawinan tersebut.12
2. Itsbat Nikah Massal, ialah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke
pengadilan untuk di-nyatakan sah-nya perkawinan dan memiliki kekuatan
hukum, permohonan ini dilakukan secara bersama dengan pemohon lainnya.
H. Metode Penelitian
Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian
yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan
penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa
sampai menyusun laporan.
Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk
mencari, merumuskan dan menganalis sampai menyusun laporan guna mencapai
satu tujuan.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai gejala
lainya yang ada di lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada
obyek yang diteliti.13
Berdasarkan pengalaman praktek kami dan prosedur di pengadilan
agama (PA) sidoarjo kami sampaikan bahwa syarat-syarat yang harus
dipenuhi seseorang yang melakukan itsbat nikah adalah sebagai berikut:
a. Menyerahkan surat permohonan itsbat kepada pengadilan agama
(PA) setempat.
b. Surat keterangan dari kantor urusan agama (KUA) setempat yang
menyatakan bahwa pernikahan tersebut belom dicatat.
c. Surat keterangan dari kepala desa yang menerangkan pemohon telah
menikah.
d. Foto copy KTP pemohon itsbat nikah.
e. Membayar biaya perkara.
2. Sumber data
a. Hakim
b. Pemohon /warga yang melakukan itsbat nikah massal
c. Panitra
d. Dokumentasi terhadap perkara itsbat nikah massal di pengadilan agama
(PA) sidoarjo.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data menggunakan cara membaca atau
mepelajari buku peraturan undang-undang dan sumber kepustakaan yang
berhubungan dengan objek penelitihan.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang mengenai
permasalahan yang ada referensinya dengan objek yang diteliti.
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam
percakapan untuk memperoleh informasi. Disini penulis mengumpulkan
responden dan informan yang banyak mengetahui tentang masalah yang
diteliti. Wawancara dilakukan dengan hakim, pemohon/warga, panitra. 14
b. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
permasalahan itsbat nikah massal, kesesuaian prosedur itsbat nikah massal,
perkara, putusan hakim di pengadilan agama sidoarjo.
4. Tehnik pengolahan Data
Penelitihan ini menggunakan literatur, maka dalam penelitihan ini, penulis
menggunakan metode pengumpulan data melalui Telaah buku dan naskah
dokumen peraturan undang-undang, yaitu
a. Mengumpulkan data
b. Memeriksa data yang diperoleh dapat memberikan informasi atau
keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti yang berhubungan dengan
pembahasan tentang tinjauan hukum islam terhadap persidangan itsbat
nikah massal di pengadilan agama (PA) Sidoarjo.
c. Menganalisis data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan
menganalisis secara diskriptif, dianalisis dengan pola pikir induktif
terhadap persidangan itsbat nikah massal di pengadilan agama (PA)
Sidoarjo.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan penulisan dan pemahaman skripsi ini, maka perlu
dibuat sistematika pembahasan sebagai gambaran umum mengenai isi skripsi
ini. Penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab yaitu:
Bab pertama Pendahuluan. Dalam bab ini menggambarkan
keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian (meliputi
data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisis data), dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah pembahasan tentang tinjauan umum seputar
perkawinan dan Itsbat nikah. pertama menggambarkan tentang pengertian,
syarat, dan rukun. bab kedua, yakni tentang pengertian, dan dasar hukum
Itsbat nikah.
bab ketiga, yakni tentang urgensi pencatatan nikah. Bab dua ini
berfungsi sebagai teori dasar sebelum masuk ke bab selanjutnya.
Bab ketiga, pembahasan tentang Itsbat nikah massal di
Pengadilan Agama Sidoarjo menjelaskan gambaran umum Pengadilan
Agama Sidoarjo,
selanjutnya menjelaskan prosedur itsbat nikah massal di sidoarjo
bab tersebut menjelaskan alasan dan dasar hukum itsbat nikah, serta tujuannya
Bab keempat, adalah analisis terhadap penetapan itsbat nikah massal di
Pengadilan Agama sidoarjo. Pada bab ini penyusun menjelaskan
eksistensi itsbat nikah massal di Pengadilan Agama Sidoarjo dan
relevansinya baik menurut hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan.
Bab kelima penyusun mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Diponegoro, 2007.
Burhanuddin, “Permasalahan Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah,”.
Dahlan, Muhammad, Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah Poligami di Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara No. 190/Pdt.G/2004/PA/Smn), skripsi ini tidak dipublikasikan. Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2007.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut: Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, cet. ke-2, Bandung: Mandar Maju, 2003. Hanan, Damsyi, Permasalahan Itsbat Nikah, Pasal 2.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 7 KHI), Mimbar Hukum, No. 31 tahun VIII, Maret-April 1997.
UU no 1 tahun 1974 KHI , nuansa aulia , bandung 2012 Petunjuk Penulisan
Skripsi, (surabaya januari 2014),
http://regional.kompas.com, 12 Mei 2012.
Hasan Basri,( Peradilan Agama di Indonesia.) 2012,3.
19
BAB II
PERKAWINAN DAN USIA MENIKAH MENURUT
UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Ulama’ empat mazhab mendefinisikan perkawinan dengan pengertian
yang berbeda-beda. Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh
berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (ﺘﺎ ) dan zawa>j
(ﺗﺒوز).16 Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab
dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis| Nabi. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat
3 :17
ِﺐﺴو
ْنِﺈﺴ
ﺴﺤﺴُﺜﺴو
ﺴﺖ ُﺴو
ﺴﲎْـﺴ
ِءﺎﺴ ِّﺒ
ﺴ ِ
ْ ُ ﺴ
ﺴبﺎﺴ
ﺎﺴ
ﺒﻮُ ِ ْﺎﺴ
ﻰﺴﺎﺴﺴـْﺒ
ِﰲ
ﺒﻮُ ِ ُْـ
ﺴأ
ُْْ ِﺧ
ْن
ًةﺴﺪِ ﺒﺴﻮﺴـ
ﺒﻮُِﺪْﺴـ
ﺴأ
ُْْ ِﺧ
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”18
16 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),1461.
17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia :Antara Fiqh Munakat dan
Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana, 2009), 35-36.
20
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” ( ﻀ ﺒ), “hubungan kelamin “
(ءﺢو) dan juga berarti “akad”.19 Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata
nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut.
Kata nikah yang terdapat surat al-Baqarah ayat 230:
ْﺴـ
ْ ِ
ُﺴ
ِﺴﲢ
ﺴ
ﺎﺴﻬﺴ ﺴ
ْنِﺈﺴ
ُﺴﺮْـﺴﻏ
ﺎًﺟْوﺴز
ﺴ ِ ْﺴـ
ﱴﺴ
ُﺪ
Artinya : “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami
yang lain”.20 mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar
akad nikah karena ada petunjuk dari hadis| Nabi bahwa setelah akad nikah
dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan
suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan
kelamin dengan perempuan tersebut.
Dalam al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti
tersebut dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat 22:
ﺴ ﺴﺴ
ْﺪﺴ
ﺎﺴ
ِﺐ
ِءﺎﺴ ِّﺒ
ﺴ ِ
ْ ُُؤﺴآ
ﺴ ﺴ ﺴ
ﺎﺴ
ﺒﻮُ ِ ْﺴـ
ﺴو
21
Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.”21
Ayat tersebut di atas mengandung arti bahwa perempuan yang
dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah
melangsungkan akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun di antara
keduanya berlangsung hubungan kelamin.22
Meskipun ada dua kemungkinan arti dari kata nakaha itu, namun
mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung arti sebenarnya
terdapat perbedaaan pendapat di antara ulama. Golongan ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya
(hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti tidak
sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu
memerlukan penjelasan di luar dari arti kata itu sendiri.
Golongan H}ana>fiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapat
memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang dengan pasangannya.
Golongan Sya>fi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum bolehnya wat}i’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz} nika>h atau tazwij> serta lafaz} yang semakna dengan keduanya.
Golongan Ma>likiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wat}i’ (bersenggama),
22
bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang
boleh dikawininya. Golongan H}ana>bilah mendefinisikan kawin adalah
akad dengan menggunakan lafaz} nika>h atau tazwi>j guna untuk
memperoleh kesenangan dengan seorang wanita.23
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, perkawinan menurut syara‘ adalah akad
yang ditetapkan syara‘ untuk membolehkan laki-laki bersenang-senang
dengan wanita dan halalnya wanita bersenang-senang dengan laki-laki.24
Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, nikah berdasarkan istilah syara‘
adalah akad yang mengandung ketentuan hukum bolehnya hubungan seksual
menggunakan lafaz| nikah atau yang semakna dengannya.25
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mis|a>qan ghali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.26 Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
23 Abd al-Rahman al-Jaziri>, al-Fiqh a’la> Maz|ahib al-Arba’ah, (Bairut: Da>r Kutub al-Ilmiah,2003),707 .
23
membentuk keluarga atau (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.27
Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yaitu
akad yang memberikan faidah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dengan memberikan batas hak
bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing. Dari
pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan
perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung
adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.28
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Tujuan perkawinan dalam Islam itu diantaranya sebagai berikut:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
Naluri manusia itu mempunyai kecenderungan untuk mempunyai
keturunan. Agama Islam memberi jalan hidup manusia agar hidup
27Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Wacana Intelektual,2007),22.
24
bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai
dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga
dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain
ditentukan oleh kehadiran anak-anak, karena mempunyai anak
merupakan salah satu tujuan terpenting pernikahan. Dan karena
kokohnya ummat tergantung banyaknya generasi yang berkualitas maka
Islam memerintahkan umatnya agar memiliki anak serta menghasilkan
keturunan saleh yang akan menjadi bagian dari ummat terbaik.
Sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya surat Ali ‘Imran ayat 110:29
ﺴنﻮُِْﺆُـﺴو
ِﺮﺴ ُْْﺒ
ِ ﺴ
ﺴنْﻮﺴﻬْـﺴـﺴو
ِفوُﺮْﺴِْ
ﺴنوُﺮُْﺴ
ِسﺎ ِ
ْ ﺴﺟِﺮْﺧُأ
ﺳﺔ ُأ
ﺴﺮْـﺴﺧ
ُْْـُ
(
ﺔ ﺒ
)...
ِﻪِ
Artinya :” Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.30
b. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung
jawab.
Sudah menjadi kodrat ira>dah Allah SAW, manusia diciptakan
berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan
25
untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah
SWT pada surat Ali ‘Imran ayat 14:
ِةﺴﺮﺴ ْﺴُْﺒ
ِﲑِ ﺎﺴﺴْﺒﺴو
ﺴﲔِﺴْﺒﺴو
ِءﺎﺴ ِّﺒ
ﺴ ِ
ِتﺒﺴﻮﺴﻬﺸﺒ
ُ
ِسﺎ ِ
ﺴُِّز
Artinya :” Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak”.31Oleh al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan
pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut
pada surat al-Baqarah ayat 187 yang dinyatakan:
ُْْـﺴأﺴو
ْ ُ ﺴ
ٌسﺎﺴِ
ُ
ْ ُ ِﺋﺎﺴ ِ
ﺴﱃِﺐ
ُ ﺴﺮ ﺒ
ِمﺎﺴِّﺼﺒ
ﺴﺔﺴْـﺴ
ْ ُ ﺴ
ُِأ
...
ُﺴﳍ
ٌسﺎﺴِ
Artinya :” Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa
bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,
dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”32
Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga
untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang antara pria dan wanita secara
harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang
yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan
tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak
terikat oleh satu norma.
26
c. Memelihara dari dari kerusakan.
Sesuai dengan surat al-Rum ayat 21 yang berbunyi :
ﺴْﲪﺴﺜﺴو
ًةﺚﺴﻮﺴ
ْ ُ ﺴْـﺴـ
ﺴ ﺴ ﺴﺟﺴو
ﺎﺴﻬْـﺴِﺐ
ﺒﻮُُ ْ ﺴِ
ﺎًﺟﺒﺴوْزﺴأ
ْ ُ ِ ُْـﺴأ
ْ ِ
ْ ُ ﺴ
ﺴ ﺴﺴﺧ
ْنﺴأ
ِِ ﺴآ
ْ ِﺴو
نِﺐ
ًﺔ
ﺴنوُﺮ ﺴﺴـﺴـ
ﺳمْﻮﺴِ
ﺳتﺴ
ﺴ ِﺴﺛ
ِﰲ
:
موﺮ ﺒ
)
٢١
(
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir 33
ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat
ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan
penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan
dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan pada dirinya sendiri,
ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai
nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan
yang tidak baik.
B. Dispensasi Usia Nikah Menurut Undang-undang di Indonesia
1. Dispensasi Usia Nikah Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
27
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pada pasal 2 ayat (1) dan (2) sudah dijelaskan di antaranya :34
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menunurut perundang-undangan yang
berlaku.
Tentang batas umur perkawinan di Indonesia, jelas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 7
dengan rumusan sebagai berikut :
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
maksud pasal 2 diatas adalah apabila terjadi pernikahan
dibawah umur (apabila calon suami kurang dari 19 tahun atau calon
isteri kurang dari 16 tahun) maka harus meminta dispensasi usia
menikah di pengadilan agama
28
Kompilasi Hukum Islam juga mempertegas persyaratan yang terdapat
dalam UU Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut :
Untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.35
Ketentuan batas umur ini juga seperti yang disebutkan dalam
PERMENAG RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah dalam pasal
8 yang menyebutkan :“Apabila seorang calon suami belum mencapai umur
19 tahun dan seorang isteri belum mencapai umur 18 tahun, harus mendapat
dispensasi dari Pengadilan.”36
Adapun syarat-syarat yang lebih dititik beratkan pada orangnya yang
diatur dalam pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai
berikut : 37
a) Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
35Kompilasi Hukum Islam, 133.
29
c) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meniggal dunia atau
dalam keadaan tak mempu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia, atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang/ lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebutdapat memberikan izin setelah lebih
dahulumendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal
ini.
f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Hal-hal yang disebutkan di atas memberi isyarat bahwa perkawinan
30
batas dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat pula
berbeda karena perbedaan lingkungan, budaya, dan tingat kecerdasan suatu
komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya.38
Jadi, ukuran kedewasaan dalam perkawinan berhubungan erat
dengan kematangan akal, dan kemampuan jasmani dan rohani. Baik bagi
pria maupun wanita yang akan melaksanakan perkawinan.
2. Dispensasi Usia Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam dengan jelas menyebutkan batasan umur
yang bisa menjadi syarat dalam perkawinan, yaitu:
Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 ayat (1) :
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
Kompilasi Hukum Islam secara tegas menentukan umur kecakapan
seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan pada usia 19 tahun dan 16
tahun. Dalam masalah batas usia, Kompilasi Hukum Islam merujuk pada
ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan
ini berbeda dengan pendapat ulama fiqh dalam kitab-kitab fiqh yang secara
38 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
31
langsung tidak menentukan usia yang menjadi ukuran kecukupan
seseoranguntuk bisa menikah, akan tetapi kebanyakan ulama berpendapat,
mumayiz yang menjadi ukuran seseorang bisa menikah.
C. Hirarki Perundang-Undangan
1. Pengertian Hirarki
Hirarki adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi.
berikut adalah herarki perundang-undangan di indonesia menurut UU No. 12
Tahun 2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan :
a. Undang- Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat,
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi, dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
32
a. Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar
tertulis negara republik indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum
dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui
dekrit presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku
kembali sampai sekarang.39
b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI)
Merupakan putusan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
pengemban kedaulatan rayat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
c. Undang-Undang
Yang dibentuk oleg Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden. Perlu dietahui bahwa undang-undang merupakan
produk bersama dari Presiden dan DPR (Produk Legislatif), dalam
pembentukan undang-undang ini bisa saja Presiden yang mengajukan
RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya,
dan begitu pula sebaliknya.
d. Peraturan Pemeritah
33
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat),
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut
2) DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan
perubahan
3) jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.40
e. Peraturan Presiden
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden
adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden
untuk menjalankan perintah peratutan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f. Peraturan Daerah Propinsi
Peraturan Perundang-undangan yang di bentuk Oleh Dewan
Perwakilan Rakyat daerah propinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur.41
40 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta Prestasi Pustaka, 2010), 56.
34
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah negara indonesia
adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah
Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi.
daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingat I dan daerah tingkat II.
Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat
menetapkan peraturan daerah. peraturan daerah ini tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
g. Peraturan Daerah kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten atau kota dengan persetujuan bersama
Bupati atau Wali Kota.42
D. Usia Dewasa Menurut Undang-Undang di Indonesia
Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi
lazimnya merujuk pada manusia; orang yang bukan lagi anak – anak dan telah
menjadi pria atau wanita dewasa. Saat ini dewasa dapat didefenisikan dari aspek
biologi yaitu sudah akil baligh, atau sudah berusia 16 tahun keatas atau sudah
35
menikah, menurut undang – undang perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria dan
16 tahun untuk wanita, dan menurut karakter pribadi yaitu kematangan dan
tanggung jawab. Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dengan
kodratif. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki karakteristik
perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah
umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap
dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang
mencerminkan karakter dewasa.43
Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula
pada akhir usia belasa tahun atau awal usia dua puluh tahun (20 tahun). Ini
adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa
perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar
hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga dan mengasuh anak.
Dewasa berarti tidak dianggap cocok untuk anak – anak, terutama yang
berkaitan dengan perilaku seksual, seperti hiburan dewasa, video dewasa,
majalah dewasa serta tokoh buku dewasa. Tetapi pendidikan orang dewasa
hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa, dan bukan spesifik pendidikan
seks.44 berikut ini adalah usia dewasa menurut hukum positif di indonesia:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
43 id.m.wikipedia.org/wiki/Dewasa( 7 Januari 2014)
36
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada pasal 330 yang
berbunyi: Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.45
2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pada pasal 1 angka 26 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun, jadi usia dibawah 18 tahun menurut UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan belum dewasa 46
3. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan,
Anak didik pemasyarakatan adalah:
a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun;
b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
45 Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, cetakan ke 31 ( Pradnya Paramita: Jakarta, 2001),90.
37
c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.47
4. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Di atur dalam pasal 1UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.48
5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5 dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.49
6. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.50
47 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan., 2.
48 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak., 1.
49 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia., 2.
38
7. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pasal 1 ayat (4)UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornograf , Anak
adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.51
8. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 4 huruf h UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, Warga Negara Indonesia adalah: anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh
seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakuka\n sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin.52
9. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Pasal 1 angka 5UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.53
51 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi., 2.
52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia., 3.
39
10.SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No.
Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977
Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut
Pemilu
b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat
melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang
baru
b. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu
menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.54
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman
mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua
puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada
yang 17 (tujuh belas) tahun.
54 SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/777 (13 Juli
40
41
BAB III
PENETAPAN DISPENSASI USIA NIKAH MENURUT
PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007
TENTANG PENCATATAN NIKAH
A. Sekilas Tentang Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah
1. Lahirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
pencatatan nikah merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan, PMA ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007. Lahirnya PMA ini adalah
untuk memenuhi tuntutan perkembangan tata pemerintahan dan peningkatan
pelayanan kepada masyarakat guna meninjau kembali Keputusan Menteri
Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang perihal yang sama. Lahirnya
peraturan ini berlandaskan atas beberapa peraturan perundang-undangan
diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan nikah, talak,
42
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh
Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694)
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3019)
d. Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4611)
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonrsia Nomor 4548)
f. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
43
Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3250)
g. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar’iyah
dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
h. Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Depertemen
Agama.
i. Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga
atasPeraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan,
Tugas,Fungsi, Susunan Organinsasi dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia.
j. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Keenam
Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi
dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia.
k. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Luar Negeri Nomor
589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar
44
l. Keputusan Meteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan
Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan
m. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003
n. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan
tata Kerja Departemen Agama.
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
pencatatan nikah adalah peraturan perudangan yang disusun secara
sistematis. Isi dari PMA 11/2007 ini terdiri dari beberapa bab dan pasal,
dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I berisi tentang Ketentuan Umum terdiri dari 1 Pasal
Bab II berisi tentang Pegawai Pencatat Nikah terdiri dari 3 Pasal
Bab III berisi tentang Pemberitahuan Kehendak Menikah terdiri dari 1
Pasal
Bab IV berisi tentang Persetujuan dan Dispensasi Usia Nikah terdiri dari
3 Pasal
Bab V berisi tentang Pemeriksaan Nikah terdiri dari 3 Pasal
Bab VI berisi tentang Penolakan Kehendak Nikah terdiri dari 1 Pasal
45
Bab VIII berisi tentang Pencegahan Pernikahan terdiri dari 1 Pasal
Bab IX berisi tentang Akad Nikah terdiri dari 10 Pasal
Bab X berisi tentang Pencatatan Nikah terdiri dari 2 Pasal
Bab XI berisi tentang Pencatatan Nikah Warga Negara Indonesia diluar
Negeri terdiri dari 1 Pasal
Bab XII berisi tentang Pencatatan Rujuk terdiri dari 2 Pasal
Bab XIII berisi tentang Pendaftaran Cerai Talak dan Cerai Gugat terdiri
dari 1 Pasal
Bab XIV berisi tentang Sarana terdiri dari 1 Pasal
Bab XV berisi tentang Tatacara Penulisan terdiri dari 2 Pasal
Bab XVI berisi tentang Penerbitan Duplikat terdiri dari 1 Pasal
Bab XVII berisi tentang Pencatatan Perubahan Status terdiri dari 2 Pasal
Bab XVIII berisi tentang Pengamanan Dokumen terdiri dari 1 Pasal
Bab XIX berisi tentang Pengawasan terdiri dari 1 Pasal
Bab XX berisi tentang Sanksi terdiri dari 1 Pasal Bab XXI berisi tentang
Ketentuan Penutup terdiri dari 2 Pasal
Jadi secara keseluruhan PMA 11/2007 ini terdapat 21 Bab yang terdiri
dari 42 Pasal.
46
Dalam sistem hukum di Indonesia, jenis dan tata urutan (hirarki) peraturan
perundang-undangan telah diatur dalam No. 12 Tahun 2011 (yang menggantikan
UU No. 10/2004) tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam
pasal 7 menyebutkan :
a. Undang- Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat,
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Propinsi, dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada pasal 8 ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang undangan yang
lebih tinggi salah satunya adalah Peraturan Menteri.53
,
Terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,
yang sering menjadi pertanyaan adalah kedudukan jenis peraturan
perundang-
47
undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Jenis peraturan
perundang-undangan lain termasuk Peraturan Menteri tersebut akan
ditempatkan di mana, apakah kedudukannya di bawah Perda ataukah di atas
Perda.
Sebenarnya, kedudukan Peraturan Menteri bukan tidak diatur sama
sekali dalam Undang-Undang nomor momor 12 tahun 2011. Dalam Pasal 8
ayat (2) ditegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan, selain yang
terdapat di dalam hierarki tetap diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Menteri serta peraturan lain
yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara lain, termasuk dalam
kategori ini.
Keputusan Menteri itu harusnya di bawah Keputusan Presiden
karena menteri bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tidak
dicantumkannya Peraturan Menteri atau jenis-jenis peraturan
perundang-undangan lainnya di dalam hierarki, tidak dapat kemudian ditafsirkan
kedudukannya berada di bawah Perda. Tetapi, penafsiran seperti itu bisa
menjadi pegangan oleh banyak orang karena memang terdapat ketidak jelasan
48
menghambat upaya untuk mewujudkan tatanan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang tertib di masa yang akan datang.54
Ada dua alasan mengapa Peraturan Menteri disebutkan letaknya
berada di antara Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
Pertama, jika Peraturan Menteri ditempatkan di bawah Peraturan
Daerah akan bertentangan dengan asas hierarki. Yang dimaksud dengan
"hirarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang undangan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Kedua, akan bertentangan dengan wilayah berlakunya peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang
berlaku secara Nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan
perundang-undangan tingkat daerah yang lingkup berlakunya hanya bersifat
lokal.
Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi
muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan di atasnya. Dalam membentuk Peraturan Menteri perlu
54 http://www.scribd.com/doc/43631939/peraturan-menteri-menurut-undang-10-tahun-2004 (13
49
diperhatikan landasan yuridis yang jelas. Peraturan Menteri yang dibentuk
harus dapat menunjukkan dasar hukum yang dijadikan landasan
pembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang undangan terkait
dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat
dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah
tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri sebagai salah satu instrumen hukum masih
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Keberadaan
Peraturan Menteri diperlukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan
perundang- undangan di atasnya yang secara tegas memerintahkan atau
mendelegasikan. Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan
bahwa Menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tersebut
tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, Menteri dapat menetapkan peraturan
yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di
atasnya. Peraturan menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri,
termasuk dalam peraturan kebijakan.
Kemandirian me