• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI TENTANG TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERSIDANGAN ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SKRIPSI TENTANG TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERSIDANGAN ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERSIDANGAN ISBAT

NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO

SKRIPSI

OLEH:

M. NURHADI ZAKARIYAH NIM: C01209046

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam

Jurusan Ahwalus Syakhsiyah

SURABAYA

2016 

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Itsbat Nikah, UU No 1 Tahun 1974. Itsbat Nikah adalah sebuah proses penetapan Pernikahan dua orang Suami istri yang sebelumnya telah melakukan nikah secara Sirri. Tujuan dari itsbat nikahadalah untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti sahnya perkawinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, misalkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) Pasal 2 ayat (2).

Pada Dasarnya Pelaksanaan Itsbat diperuntukkan pada hal tertentu saja seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Kompilasi Hukum Islam. Dalam penelitian ini penulis akan membahas permasalahan: 1) Bagaimana prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?, 2) Bagaimana kesesuaian prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama SidoarjoPenelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan yuridis empiris, spesifikasi penelitiannya deskriptif kualitatif, kemudian tekhnik pengumpulan data dengan carawawancara dan studi dokumen atau bahan pustaka.

Hasil penelitian yaitu prosedur Pengajuan Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama Sidoarjo setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi: dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu mendaftar ke Kantor Pengadilan Agama Sidoarjo, membayar panjar biaya perkara, menunggu panggilan sidang dari pengadilan, menghadiri persidangan dan putusan pengadilan.

Akibat hukum terhadap adanya Penetapan Itsbat Nikah adalah sahnya pernikahan secara hukum dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban antara suami, istri dan anak yang lahir dari perkawinannya menjadi anak yang sah dan timbulnya hubungan saling mewarisi jika terjadi kematian salah satu pihak, baik suami atau isteri dan anak. Anak juga memiliki hak memperoleh pelayanan administrasi kependudukan, berupa akta kelahiran, selain itu tentu saja hak hukumnya sebagaiahli waris dari orang tuanya juga terjaminSedangkan pada perkara yang ditolak selain perkawinannya dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum, dampak negatif yang ditimbulkan bagi sang anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut adalah, dimata hukum si anak dianggap sebagai anak tidak sah dan tidak akan bisa mendapat bukti berupa akta kelahiran dari Negara .

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ………..I

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II KEABSAHAN PERKAWINAN DAN ITSBAT NIKAH DALAM HUKUM ISLAM INDONESIA A. Pengertian, Syarat, danRukunPerkawinan ... 16

1. Pengertian Perkawinan ... 16

2. Rukun Perkawinan ... 17

3. Syarat Perkawinan ... 21

B. Urgensi Pencatatan Nikah ... 22

1. Legalitas Perkawinan ... 26

2. Akibat Hukum Pencatatan ... 26

(8)

1. Pengertian Itsba tNikah ... 27

2. Dasar Hukum Itsbat Nikah ... 28

3. Syarat-syarat Itsba tNikah ... 29

D. Akibat Hukum Itsbat Nikah ... 39

1. Anak ... 39

2. Harta Warisan ... 43

3. Suami dan Istri ... 45

BAB III PERSIDANGAN ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO ... 46

A. Gambaran Umum di Pengadilan Agama (PA)Sidoarjo ... 46

1. Dasar Hukum Berdirinya Pengadilan Agama Sidoarjo ... 46

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 47

3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 47

4. Yurisdiksi Pengadilan Agama Sidoarjo ... 48

B. Prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo .. 49

1. Dasar Hakim dalam Mengabulkan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo ... 49

2. Tujuan Itsbat Nikah ... 53

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ITSBAT NIKAH MASSAL DI PENGADILAN AGAMA (PA) SIDOARJO ... 55

A. Analisis Prosedur Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo... 55

B. Analisis kesesuaian Itsbat Nikah Massal di pengadilan Agama (PA) Sidoarjo... 59

BAB V PENUTUP ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

(9)

 

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami-isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.1 Tujuan perkawinan dalam Undang-undang adalah membentuk keluarga

bahagia yang kekal. Perkawinan dalam hukum perdata di Indonesia diartikan

sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan yang berlaku untuk waktu yang lama.2

Tujuan perkawinan, yakni mencapai keluarga bahagia yang sejahtera

spiritual dan material. Tujuan-tujuan tersebut terdapat dalam azas equilibrium

antara temporal dan kerohanian. Pengertian rumah tangga Islam dalam arti

sakinah, mawaddah, warohmah, yakni rumah tangga bahagia rukun dan sejahtera

dunia dan akhirat.

Tujuan perkawinan akan tercapai apabila perkawinan itu memenuhi

beberapa syarat yang harus dipenuhi, baik syarat yang telah diatur dalam

hukum Islam (syarat materiil) maupun syarat formil yang berlaku di Indonesia.

Hukum positif yang ada dan berlaku sekarang ini adalah Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum Islam, untuk dapat melakukan

      

1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,Pasal 1.

(10)

 

Perkawinan secara sah, tentu saja perlu adanya kesesuaian antara rukun

dengan syarat perkawinan yang diatur oleh hukum Islam itu sendiri. Tanpa

terpenuhinya rukun dan syarat tersebut, maka perkawinan dikatakan batal.3

Perkawinan bagi orang Islam di Indonesia diatur dalam UU No.1 tahun

1974 tentang Perkawinan. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974

tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) disebutkan, bahwa tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) tersebut merupakan upaya

baru yang dilakukan Pemerintah untuk menertibkan perkawinan, selain juga untuk

melindungi hak-hak suami-isteri jika terjadi persengketaan. Perkembangan antara

tuntutan idealitas dan realitas selalu tidak beriringan. Masih banyak perkawinan

yang tidak dicatatkan, yang dalam istilahnya disebut dengan nikah bawah tangan.

Perkawinan bawah tangan oleh Undang-undang dianggap melanggar tertib

administrasi dan hukum perkawinan di Indonesia. Perkawinan bawah tangan

dapat diitsbatkan ke Pengadilan Agama, yaitu penetapan sah secara hukum melalui

putusan.4

      

3 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi’I, Hanaf, Maliki dan Hambali (Jakarta: Hida Karya Agung, 1991), 1.

(11)

 

“Nikah bawah tangan” adalah nikah tanpa adanya suatu pencatatan pada

instansi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Nikah dibawah

tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tahun 1975.

Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak ada motif “sirri”, tentunya

juga telah memenuhi ketentuan syari’ah yang benar.

Pengadilan Agama. Perkawinan hanya sah menurut hukum materi’il

tetapi belum sah menurut hukum formil jika tidak dicatatkan. Itsbat nikah

merupakan salah satu sengketa perkawinan yang merupakan kewenangan

Pengadilan Agama.

Dalam program yang bertajuk Itsbat Nikah dan nikah

massal gratis tersebut, sejumlah warga yang belum mempunyai Surat nikah masih

diharuskan membayar sekitar Rp 250.000. Dana tersebut lebih ringan 50 persen

dibandingkan dengan mengurus sendiri sesuai ketetapan Pengadilan Agama.5 Salah

satu pasangan, Notowiyono (75) dan Tumikem (70), mengaku meski dianggap

berat, dia terpaksa harus membayar sekitar Rp 250.000 untuk mengikuti sidang

isbat kolektif tersebut. Hal ini ditempuh karena terdesak oleh kebutuhan kedua

anaknya yang akan melangsungkan pernikahan, yang salah satu syaratnya harus

menyertakan akta nikah orang tuanya.

Waktu itu, saya menyetor sekitar dua ratus ribuan lebih karena lebih

murah daripada mengurus sendiri di Pengadilan Agama biayanya mahal," kata

Notowiyono, yang sudah puluhan tahun menikah tanpa akta nikah ini. Di sela-sela

kegiatan tersebut,

(12)

 

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 disebutkan,

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan

bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap

perkawinan harus dicatat.

Dari ketentuan diatas, jelas bahwa sebuah perkawinan akan sah di mata

hukum, artinya jika telah dicatat oleh petugas yang berwenang. Untuk mereka yang

beragama Islam, perkawinan yang belum dicatatkan, artinya tidak dilakukan di

hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak punya bukti Akta Nikah, dianggap

tidak mempunyai kekuatan hukum.6

Dari kenyataan tersebut, jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak

mempunyai buku nikah karena perkawinannya tidak tercatat, untuk mendapatkan

dokumentasi pribadi yang dibutuhkan. Solusi yang dapat ditempuh oleh mereka

adalah mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama. Penetapan

itsbat nikah yang dikeluarkan oleh pengadilan agama itu sendiri, kemudian

digunakan dasar untuk mencatatkan perkawinan mereka pada pegawai pencatatan

nikah kantor urusan agama, dan selanjutnya kantor urusan agama akan

menerbitkan buku nikah atau kutipan akta nikah.

      

(13)

 

Melihat permasalahan di atas, penyusun bermaksud meneliti lebih

dalam dan memberikan analisis terhadap alasan dan dasar hukum hakim atas

penetapan Itsbat nikah dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam

Terhadap Itsbat Nikah Massal di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo.”

Subyek dari penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo,

karena adanya perkara Itsbat nikah yang didaftarkan secara massal bagi

perkawinan pasca Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penyusun tertarik melakukan penelitian ini dikarenakan itsbat nikah massal di

Pengadilan agama hanya ada di Kabupaten sidoarjo, meskipun di Provinsi lain

masih terdapat itsbat nikah massal.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas terdapat beberapa masalah yang

sangat pokok, yang akan dikemas dalam identifikasi masalah sebagai berikut:

a. Tinjauan hukum Islam terhadap Persidangan itsbat nikah massal

dipengadilan agama (PA) sidoarjo.

b. Kesesuain hukum terhadap persidangan itsbat nikah massal dipengadilan

agama (PA) sidoarjo.

2. Batasan Masalah

Dalam penelitihan ini perlu dilakukan batasan agar pembahasanya

(14)

 

disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan penelitihan. Oleh

sebab itu maka penulis membatasi masalah dengan membahas tentang

tinjauan hukum islam terhadap persidangan itsbat nikah massal di

pengadilan (PA) sidoarjo.

C. Rumusan Masalah

Dalam penelitihan ini penulis ingin mengetengahkan suatu yang telah ada

dalam masyarakat ini, yaitu suatu yang sudah sering terjadi pernikahan massal di

pengadilan agama (PA) sidoarjo, propinsi jawa timur. Sehingga hal ini dipandang

perlu adanya ketegasan mengenai status hukumnya dalam konteks islam.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas , maka penulis

merumuskan sebagai berikut

1. Bagaimana prosedur itsbat nikah secara massal di pengadilan agama (PA)

sidoarjo?

2. Bagaimana kesesuaian prosedur itsbat nikah secara massal di pengadilan

agama (PA) sidoarjo dengan hukum islam?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian/penelitian yang sudah pernah

dilakukan seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian

yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari

(15)

 

yang akan dilakukan harus dijelaskan.7Berdasarkan penelusuran terhadap karya

ilmiah yang penyusun lakukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas

masalah Itsbat nikah.

1. Pertama, skripsi berjudul “Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah

di Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara

No.190/Pdt.G/2004/PA/Smn)”yang ditulis oleh Muhammad Dahlan. Hakim

dalam menetapkan perkara Itsbat Nikah harus memperhatikan dengan suatu hal

dengan objektif, yakni mempertimbangkan dengan seksama mana yang

harus didahulukan antara mengabulkan atau menolak.

Dengan mempertimbangkan syarat-syarat poligami yang tidak

terpenuhi, seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Pasal 57 KHI. Dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 1

Tahun 1974 Pasal 58 ayat (1) KHI, beserta surat pernyataan yang

membuat isteri dizalimi dikarenakan paksaaan suami untuk

berpoligami, maka Itsbat nikah pada perkara tersebut ditolak.8

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Dahlan jelas berbeda dengan

yang penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan

pun berbeda. Muhammad dahlan membahas masalah itsbat nikah poligami,

sedangkan yang penyusun bahas masalah itsbat nikah massal.

      

7 Fakultas syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, (Edisi Januari 2014), 8.

8 Muhammad Dahlan, Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah Poligai di

Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara No. 190/Pdt.G/2004/PA/Smn), skirpsi strata 1

(16)

 

2. Skripsi dengan judul, “Itsbat Nikah Studi Kasus terhadap Keputusan

Pengadilan Agama Sleman Tahun 2000-2002” yang ditulis oleh

Muhammad Najib. Skripsi tersebut menganalisis putusan permohonan Itsbat

nikah yang lebih cenderung pembahasan Itsbat nikah poligami, dan bagaimana

pembuktian yang dilakukan oleh Majelis Hakim.

Apakah sesuai dengan prosedur hukum acara Peradilan Agama. Hasil

penelitian hampir sama dengan skripsi sebelumnya, yakni bahwa pembuktian

dalam perkara poligami tersebut majelis Hakim mempertimbangkan

dengan seksama mana yang harus didahulukan antara mengabulkan atau

menolak permohonan Itsbat nikah yang diajukan kepadanya. Perkara

pengajuan Itsbat nikah poligami, dalam pembuktiannya dan juga

mengenai syarat-syarat poligami apakah sudah terpenuhi dan sesuai dengan

Undang-undang yang berlaku.

Pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut

berdasarkan pada keadilan moral serta demi kemaslahatan (pemohon

isteri-isterinya dan anak-anaknya) dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.9

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Najib jelas berbeda dengan

yang penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan.

Muhammad Najib membahas masalah itsbat nikah poligami mengenai

syarat-syarat dan pembuktiannya, sedangkan yang penyusun bahas masalah       

9 Muhammad Najib, “Itsbat Nikah Studi Kasus terhadap Keputusan Pengadilan Agama Sleman,

(17)

 

itsbat nikah massal mengenai alasan dan dasar hukum hakim.

3. Skripsi yang berjudul, “Itsbat Nikah dan Peluang Terjadinya Nikah Sirri

(Studi Analisis Terhadap Putusan PA Bantul)” ditulis oleh Harizan.

Pembuktian Hakim dalam penetapan Itsbat nikah di Pengadilan Agama

Bantul, dan motif menjadikan lembaga Itsbat nikah sebagai peluang

melakukan nikah sirri.10

Skripsi yang ditulis oleh Harizan jelas berbeda dengan yang

penyusun tulis, mulai dari masalah judul sampai pembahasan. Muhammad

dahlan membahas masalah peluang nikah sirri sebab adanya itsbat nikah,

sedangkan yang penyusun bahas masalah itsbat nikah massal mengenai

alasan dan dasar hukum hakim dalam menetapkan permohonan itsbat nikah

yang didaftarkan secara massal.

4. Skripsi yang berjudul, “Sikap Hakim Pengadilan Agama terhadap

Permohonan Itsbat Nikah bagi Perkawinanpasca Undang-undang No. 1 tahun

1974 (Studi di Pengadilan Agama Bantul)” yang ditulis oleh Siwi

Pamungkas. Menjelaskan bahwa pembuktian yang dilakukan Hakim di

lingkungan Pengadilan Agama Bantul sudah sesuai dengan

prosedur, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu penggunaan

Pasal 164 HIR / Pasal 284 Rbg.11 Skripsi yang ditulis oleh Siwi

      

10 Harizan, “Itsbat Nikah dan Peluang Terjadinya Nikah Sirri (Studi Analisis Terhadap Putusan

PA Bantul),” skirpsi strata 1 Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (2004).

11 Siwi Pamungkas, “Sikap Hakim Pengadilan Agama terhadap Permohonan Itsbat Nikah bagi

(18)

 

Pamungkas jelas berbeda dengan yang penyusun tulis, mulai dari masalah

judul sampai pembahasan pun juga berbeda. Siwi Pamungkas membahas

masalah itsbat nikah pasca Undang- undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai sikap hakim, sedangkan yang penyusun membahas

masalah itsbat nikah massal mengenai alasan dan dasar hukum hakim

dalam menetapkan permohonan itsbat nikah yang didaftarkan secara

massal.

Berdasarkan telaah terhadap keempat karya tulis di atas, maka

penelitian yang penyusun lakukan dengan judul Itsbat Nikah Massal Tahun

2011 di Pengadilan Agama Wonosari (Studi terhadap Alasan Hakim atas

Penetapan Itsbat Nikah), jelas berbeda dengan karya tulis yang sudah ada baik dari

tempat penelitian maupun objek yang dikaji. Penyusun akan meneliti

prosedur itsbat nikah Pengadilan Agama sekaligus meneliti kesesuain

prosedur itsbat nikah dengan hukum islam.

E. Tujuan Penelitian

Mengacu rumusan pertanyaan penelitian di atas , pada prinsipnya penelian

ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktek pernikahan secara massal di

pengadilan agama (PA) sidoarjo dalam kehidupan dimasyarakat. Dalam penelian

ini ada beberapa tujuan dan kegunaan yang ingin di capai oleh peneliti yaitu

1. Bagaimana prosedur itsbat nikah massal di pengadilan agama (PA)

(19)

 

2. Bagaimana kesesuaian prosedur itsbat nikah secara massal di

pengadilan agama (PA) sidoarjo .

F. Kegunaan Hasil Penelitihan

Keguanaan hasil penelitihan diharapkan dapat menambah khazanah ilmu

pengetahuan dalm kajian-kajian ilmiah khususnya bagi sosial keagamaan. semoga

berguna bagi masyarakat dan khususnya bagi umat islam selurunya.

G. Definisi Operasional

Untuk memperjelas isi pembahasan dan untuk menghindari kesalah

pahaman dalam memahami judul ini, maka penulis merasa perlu untuk

menyajikan definisi operasional. Pada bagian ini penulis akan memaparkan

beberapa istilah yang dianggap penting dalam memahami judul, “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Persidangan Itsbat Nikah Massal Di Pengadilan Agama

(Pa) Sidoarjo”.

Penjelasan sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah pendapat ulama fiqih tentang itsbat nikah termasuk di

kibab KHI untuk di-nyatakan sah-nya perkawinan tersebut.12

2. Itsbat Nikah Massal, ialah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke

pengadilan untuk di-nyatakan sah-nya perkawinan dan memiliki kekuatan

hukum, permohonan ini dilakukan secara bersama dengan pemohon lainnya.

      

(20)

 

H. Metode Penelitian

Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang

berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian

yang disebut metodologi penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan

penelitian adalah suatu kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa

sampai menyusun laporan.

Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk

mencari, merumuskan dan menganalis sampai menyusun laporan guna mencapai

satu tujuan.

Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian penulis

menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperoleh langsung dari lapangan oleh sebagai gejala

lainya yang ada di lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada

obyek yang diteliti.13

Berdasarkan pengalaman praktek kami dan prosedur di pengadilan

agama (PA) sidoarjo kami sampaikan bahwa syarat-syarat yang harus

dipenuhi seseorang yang melakukan itsbat nikah adalah sebagai berikut:

a. Menyerahkan surat permohonan itsbat kepada pengadilan agama

(PA) setempat.

      

(21)

 

b. Surat keterangan dari kantor urusan agama (KUA) setempat yang

menyatakan bahwa pernikahan tersebut belom dicatat.

c. Surat keterangan dari kepala desa yang menerangkan pemohon telah

menikah.

d. Foto copy KTP pemohon itsbat nikah.

e. Membayar biaya perkara.

2. Sumber data

a. Hakim

b. Pemohon /warga yang melakukan itsbat nikah massal

c. Panitra

d. Dokumentasi terhadap perkara itsbat nikah massal di pengadilan agama

(PA) sidoarjo.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data menggunakan cara membaca atau

mepelajari buku peraturan undang-undang dan sumber kepustakaan yang

berhubungan dengan objek penelitihan.

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang mengenai

permasalahan yang ada referensinya dengan objek yang diteliti.

a. Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam

percakapan untuk memperoleh informasi. Disini penulis mengumpulkan

(22)

 

responden dan informan yang banyak mengetahui tentang masalah yang

diteliti. Wawancara dilakukan dengan hakim, pemohon/warga, panitra. 14

b. Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai

permasalahan itsbat nikah massal, kesesuaian prosedur itsbat nikah massal,

perkara, putusan hakim di pengadilan agama sidoarjo.

4. Tehnik pengolahan Data

Penelitihan ini menggunakan literatur, maka dalam penelitihan ini, penulis

menggunakan metode pengumpulan data melalui Telaah buku dan naskah

dokumen peraturan undang-undang, yaitu

a. Mengumpulkan data

b. Memeriksa data yang diperoleh dapat memberikan informasi atau

keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti yang berhubungan dengan

pembahasan tentang tinjauan hukum islam terhadap persidangan itsbat

nikah massal di pengadilan agama (PA) Sidoarjo.

c. Menganalisis data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, maka penulis akan

menganalisis secara diskriptif, dianalisis dengan pola pikir induktif

terhadap persidangan itsbat nikah massal di pengadilan agama (PA)

Sidoarjo.

      

(23)

 

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan penulisan dan pemahaman skripsi ini, maka perlu

dibuat sistematika pembahasan sebagai gambaran umum mengenai isi skripsi

ini. Penulisan skripsi ini terbagi menjadi lima bab yaitu:

Bab pertama Pendahuluan. Dalam bab ini menggambarkan

keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian (meliputi

data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik

analisis data), dan sistematika pembahasan.

Bab kedua adalah pembahasan tentang tinjauan umum seputar

perkawinan dan Itsbat nikah. pertama menggambarkan tentang pengertian,

syarat, dan rukun. bab kedua, yakni tentang pengertian, dan dasar hukum

Itsbat nikah.

bab ketiga, yakni tentang urgensi pencatatan nikah. Bab dua ini

berfungsi sebagai teori dasar sebelum masuk ke bab selanjutnya.

Bab ketiga, pembahasan tentang Itsbat nikah massal di

Pengadilan Agama Sidoarjo menjelaskan gambaran umum Pengadilan

Agama Sidoarjo,

selanjutnya menjelaskan prosedur itsbat nikah massal di sidoarjo

bab tersebut menjelaskan alasan dan dasar hukum itsbat nikah, serta tujuannya

(24)

 

Bab keempat, adalah analisis terhadap penetapan itsbat nikah massal di

Pengadilan Agama sidoarjo. Pada bab ini penyusun menjelaskan

eksistensi itsbat nikah massal di Pengadilan Agama Sidoarjo dan

relevansinya baik menurut hukum Islam maupun peraturan

perundang-undangan.

Bab kelima penyusun mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian

(25)

 

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV Diponegoro, 2007.

Burhanuddin, “Permasalahan Kumulasi Permohonan Itsbat Nikah,”.

Dahlan, Muhammad, Pertimbangan Hakim dalam Perkara Itsbat Nikah Poligami di Pengadilan Agama Sleman (Studi terhadap Perkara No. 190/Pdt.G/2004/PA/Smn), skripsi ini tidak dipublikasikan. Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2007.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut: Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama, cet. ke-2, Bandung: Mandar Maju, 2003. Hanan, Damsyi, Permasalahan Itsbat Nikah, Pasal 2.

Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 7 KHI), Mimbar Hukum, No. 31 tahun VIII, Maret-April 1997.

UU no 1 tahun 1974 KHI , nuansa aulia , bandung 2012 Petunjuk Penulisan

Skripsi, (surabaya januari 2014),

http://regional.kompas.com, 12 Mei 2012.

Hasan Basri,( Peradilan Agama di Indonesia.) 2012,3.

(26)

 

19

 

BAB II

PERKAWINAN DAN USIA MENIKAH MENURUT

UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Ulama’ empat mazhab mendefinisikan perkawinan dengan pengertian

yang berbeda-beda. Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh

berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (ﺘﺎ ) dan zawa>j

(ﺗﺒوز).16 Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab

dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis| Nabi. Kata na-ka-ha banyak

terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat

3 :17

ِﺐﺴو

ْنِﺈﺴ

ﺴﺤﺴُﺜﺴو

ﺴﺖ ُﺴو

ﺴﲎْـﺴ

ِءﺎﺴ ِّﺒ

ﺴ ِ

ْ ُ ﺴ

ﺴبﺎﺴ

ﺎﺴ

ﺒﻮُ ِ ْﺎﺴ

ﻰﺴﺎﺴﺴـْﺒ

ِﰲ

ﺒﻮُ ِ ُْـ

ﺴأ

ُْْ ِﺧ

ْن

ًةﺴﺪِ ﺒﺴﻮﺴـ

ﺒﻮُِﺪْﺴـ

ﺴأ

ُْْ ِﺧ

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”18

      

16 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),1461.

17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia :Antara Fiqh Munakat dan

Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana, 2009), 35-36.

(27)

 

20

 

Secara arti kata nikah berarti “bergabung” ( ﻀ ﺒ), “hubungan kelamin “

(ءﺢو) dan juga berarti “akad”.19 Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata

nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut.

Kata nikah yang terdapat surat al-Baqarah ayat 230:

ْﺴـ

ْ ِ

ُﺴ

ِﺴﲢ

ﺎﺴﻬﺴ ﺴ

ْنِﺈﺴ

ُﺴﺮْـﺴﻏ

ﺎًﺟْوﺴز

ﺴ ِ ْﺴـ

ﱴﺴ

ُﺪ

Artinya : “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua),

maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami

yang lain”.20 mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar

akad nikah karena ada petunjuk dari hadis| Nabi bahwa setelah akad nikah

dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan

suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan

kelamin dengan perempuan tersebut.

Dalam al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti

tersebut dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat 22:

ﺴ ﺴﺴ

ْﺪﺴ

ﺎﺴ

ِﺐ

ِءﺎﺴ ِّﺒ

ﺴ ِ

ْ ُُؤﺴآ

ﺴ ﺴ ﺴ

ﺎﺴ

ﺒﻮُ ِ ْﺴـ

ﺴو

      

(28)

 

21

 

Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini

oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.”21

Ayat tersebut di atas mengandung arti bahwa perempuan yang

dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah

melangsungkan akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun di antara

keduanya berlangsung hubungan kelamin.22

Meskipun ada dua kemungkinan arti dari kata nakaha itu, namun

mana di antara dua kemungkinan tersebut yang mengandung arti sebenarnya

terdapat perbedaaan pendapat di antara ulama. Golongan ulama Syafi’iyah

berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya

(hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam arti tidak

sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu

memerlukan penjelasan di luar dari arti kata itu sendiri.

Golongan H}ana>fiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapat

memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang dengan pasangannya.

Golongan Sya>fi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung

ketentuan hukum bolehnya wat}i’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz} nika>h atau tazwij> serta lafaz} yang semakna dengan keduanya.

Golongan Ma>likiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung

ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wat}i’ (bersenggama),

      

(29)

 

22

 

bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang

boleh dikawininya. Golongan H}ana>bilah mendefinisikan kawin adalah

akad dengan menggunakan lafaz} nika>h atau tazwi>j guna untuk

memperoleh kesenangan dengan seorang wanita.23

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, perkawinan menurut syara‘ adalah akad

yang ditetapkan syara‘ untuk membolehkan laki-laki bersenang-senang

dengan wanita dan halalnya wanita bersenang-senang dengan laki-laki.24

Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, nikah berdasarkan istilah syara‘

adalah akad yang mengandung ketentuan hukum bolehnya hubungan seksual

menggunakan lafaz| nikah atau yang semakna dengannya.25

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mis|a>qan ghali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.26 Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

      

23 Abd al-Rahman al-Jaziri>, al-Fiqh a’la> Maz|ahib al-Arba’ah, (Bairut: Da>r Kutub al-Ilmiah,2003),707 .

(30)

 

23

 

membentuk keluarga atau (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.27

Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yaitu

akad yang memberikan faidah hukum kebolehan mengadakan hubungan

keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dengan memberikan batas hak

bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing. Dari

pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan

perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan

mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena

perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung

adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.28

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera

dan bahagia. Tujuan perkawinan dalam Islam itu diantaranya sebagai berikut:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

Naluri manusia itu mempunyai kecenderungan untuk mempunyai

keturunan. Agama Islam memberi jalan hidup manusia agar hidup       

27Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Wacana Intelektual,2007),22.

(31)

 

24

 

bahagia di dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia dan akhirat dicapai

dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga

dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain

ditentukan oleh kehadiran anak-anak, karena mempunyai anak

merupakan salah satu tujuan terpenting pernikahan. Dan karena

kokohnya ummat tergantung banyaknya generasi yang berkualitas maka

Islam memerintahkan umatnya agar memiliki anak serta menghasilkan

keturunan saleh yang akan menjadi bagian dari ummat terbaik.

Sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya surat Ali ‘Imran ayat 110:29

ﺴنﻮُِْﺆُـﺴو

ِﺮﺴ ُْْﺒ

ِ ﺴ

ﺴنْﻮﺴﻬْـﺴـﺴو

ِفوُﺮْﺴِْ

ﺴنوُﺮُْﺴ

ِسﺎ ِ

ْ ﺴﺟِﺮْﺧُأ

ﺳﺔ ُأ

ﺴﺮْـﺴﺧ

ُْْـُ

(

ﺔ ﺒ

)...

ِﻪِ

Artinya :” Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.30

b. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung

jawab.

Sudah menjadi kodrat ira>dah Allah SAW, manusia diciptakan

berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan       

(32)

 

25

 

untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah

SWT pada surat Ali ‘Imran ayat 14:

ِةﺴﺮﺴ ْﺴُْﺒ

ِﲑِ ﺎﺴﺴْﺒﺴو

ﺴﲔِﺴْﺒﺴو

ِءﺎﺴ ِّﺒ

ﺴ ِ

ِتﺒﺴﻮﺴﻬﺸﺒ

ُ

ِسﺎ ِ

ﺴُِّز

Artinya :” Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada

apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang

banyak”.31Oleh al-Qur’an dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan

pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut

pada surat al-Baqarah ayat 187 yang dinyatakan:

ُْْـﺴأﺴو

ْ ُ ﺴ

ٌسﺎﺴِ

ُ

ْ ُ ِﺋﺎﺴ ِ

ﺴﱃِﺐ

ُ ﺴﺮ ﺒ

ِمﺎﺴِّﺼﺒ

ﺴﺔﺴْـﺴ

ْ ُ ﺴ

ُِأ

...

ُﺴﳍ

ٌسﺎﺴِ

Artinya :” Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa

bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu,

dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”32

Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga

untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang antara pria dan wanita secara

harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang

yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan

tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak

terikat oleh satu norma.

      

(33)

 

26

 

c. Memelihara dari dari kerusakan.

Sesuai dengan surat al-Rum ayat 21 yang berbunyi :

ﺴْﲪﺴﺜﺴو

ًةﺚﺴﻮﺴ

ْ ُ ﺴْـﺴـ

ﺴ ﺴ ﺴﺟﺴو

ﺎﺴﻬْـﺴِﺐ

ﺒﻮُُ ْ ﺴِ

ﺎًﺟﺒﺴوْزﺴأ

ْ ُ ِ ُْـﺴأ

ْ ِ

ْ ُ ﺴ

ﺴ ﺴﺴﺧ

ْنﺴأ

ِِ ﺴآ

ْ ِﺴو

نِﺐ

ًﺔ

ﺴنوُﺮ ﺴﺴـﺴـ

ﺳمْﻮﺴِ

ﺳتﺴ

ﺴ ِﺴﺛ

ِﰲ

:

موﺮ ﺒ

)

٢١

(

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir 33

ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat

ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan

penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan

dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan pada dirinya sendiri,

ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai

nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan

yang tidak baik.

B. Dispensasi Usia Nikah Menurut Undang-undang di Indonesia

1. Dispensasi Usia Nikah Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

      

(34)

 

27

 

Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pada pasal 2 ayat (1) dan (2) sudah dijelaskan di antaranya :34

a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.

b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menunurut perundang-undangan yang

berlaku.

Tentang batas umur perkawinan di Indonesia, jelas diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 7

dengan rumusan sebagai berikut :

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun.

2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

maksud pasal 2 diatas adalah apabila terjadi pernikahan

dibawah umur (apabila calon suami kurang dari 19 tahun atau calon

isteri kurang dari 16 tahun) maka harus meminta dispensasi usia

menikah di pengadilan agama

      

(35)

 

28

 

Kompilasi Hukum Islam juga mempertegas persyaratan yang terdapat

dalam UU Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut :

Untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami

sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya

berumur 16 tahun.35

Ketentuan batas umur ini juga seperti yang disebutkan dalam

PERMENAG RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah dalam pasal

8 yang menyebutkan :“Apabila seorang calon suami belum mencapai umur

19 tahun dan seorang isteri belum mencapai umur 18 tahun, harus mendapat

dispensasi dari Pengadilan.”36

Adapun syarat-syarat yang lebih dititik beratkan pada orangnya yang

diatur dalam pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai

berikut : 37

a) Pekawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.

      

35Kompilasi Hukum Islam, 133.

(36)

 

29

 

c) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meniggal dunia atau

dalam keadaan tak mempu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud

ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari

orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia, atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang/ lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebutdapat memberikan izin setelah lebih

dahulumendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal

ini.

f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Hal-hal yang disebutkan di atas memberi isyarat bahwa perkawinan

(37)

 

30

 

batas dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat pula

berbeda karena perbedaan lingkungan, budaya, dan tingat kecerdasan suatu

komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya.38

Jadi, ukuran kedewasaan dalam perkawinan berhubungan erat

dengan kematangan akal, dan kemampuan jasmani dan rohani. Baik bagi

pria maupun wanita yang akan melaksanakan perkawinan.

2. Dispensasi Usia Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam dengan jelas menyebutkan batasan umur

yang bisa menjadi syarat dalam perkawinan, yaitu:

Bagian Kedua Calon Mempelai Pasal 15 ayat (1) :

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.

Kompilasi Hukum Islam secara tegas menentukan umur kecakapan

seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan pada usia 19 tahun dan 16

tahun. Dalam masalah batas usia, Kompilasi Hukum Islam merujuk pada

ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Ketentuan

ini berbeda dengan pendapat ulama fiqh dalam kitab-kitab fiqh yang secara

      

38 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan

(38)

 

31

 

langsung tidak menentukan usia yang menjadi ukuran kecukupan

seseoranguntuk bisa menikah, akan tetapi kebanyakan ulama berpendapat,

mumayiz yang menjadi ukuran seseorang bisa menikah.

C. Hirarki Perundang-Undangan

1. Pengertian Hirarki

Hirarki adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan prundang-undangan yang lebih tinggi.

berikut adalah herarki perundang-undangan di indonesia menurut UU No. 12

Tahun 2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan :

a. Undang- Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat,

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Propinsi, dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

(39)

 

32

 

a. Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar

tertulis negara republik indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum

dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 tidak berlaku, namun melalui

dekrit presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku

kembali sampai sekarang.39

b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI)

Merupakan putusan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai

pengemban kedaulatan rayat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.

c. Undang-Undang

Yang dibentuk oleg Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan

bersama Presiden. Perlu dietahui bahwa undang-undang merupakan

produk bersama dari Presiden dan DPR (Produk Legislatif), dalam

pembentukan undang-undang ini bisa saja Presiden yang mengajukan

RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya,

dan begitu pula sebaliknya.

d. Peraturan Pemeritah

      

(40)

 

33

 

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam

hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat),

dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut

2) DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan

perubahan

3) jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.40

e. Peraturan Presiden

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden

adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden

untuk menjalankan perintah peratutan perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

f. Peraturan Daerah Propinsi

Peraturan Perundang-undangan yang di bentuk Oleh Dewan

Perwakilan Rakyat daerah propinsi dengan persetujuan bersama

Gubernur.41

      

40 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta Prestasi Pustaka, 2010), 56.

(41)

 

34

 

Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah negara indonesia

adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah

Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi.

daerah otonom ini dibagi menjadi daerah tingat I dan daerah tingkat II.

Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat

menetapkan peraturan daerah. peraturan daerah ini tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.

g. Peraturan Daerah kabupaten/Kota

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan

perwakilan rakyat daerah kabupaten atau kota dengan persetujuan bersama

Bupati atau Wali Kota.42

D. Usia Dewasa Menurut Undang-Undang di Indonesia

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi

lazimnya merujuk pada manusia; orang yang bukan lagi anak – anak dan telah

menjadi pria atau wanita dewasa. Saat ini dewasa dapat didefenisikan dari aspek

biologi yaitu sudah akil baligh, atau sudah berusia 16 tahun keatas atau sudah

      

(42)

 

35

 

menikah, menurut undang – undang perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria dan

16 tahun untuk wanita, dan menurut karakter pribadi yaitu kematangan dan

tanggung jawab. Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dengan

kodratif. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki karakteristik

perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah

umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap

dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang

mencerminkan karakter dewasa.43

Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula

pada akhir usia belasa tahun atau awal usia dua puluh tahun (20 tahun). Ini

adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa

perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar

hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga dan mengasuh anak.

Dewasa berarti tidak dianggap cocok untuk anak – anak, terutama yang

berkaitan dengan perilaku seksual, seperti hiburan dewasa, video dewasa,

majalah dewasa serta tokoh buku dewasa. Tetapi pendidikan orang dewasa

hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa, dan bukan spesifik pendidikan

seks.44 berikut ini adalah usia dewasa menurut hukum positif di indonesia:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

      

43 id.m.wikipedia.org/wiki/Dewasa( 7 Januari 2014)

(43)

 

36

 

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada pasal 330 yang

berbunyi: Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur

genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.45

2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pada pasal 1 angka 26 UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18

(delapan belas) tahun, jadi usia dibawah 18 tahun menurut UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan belum dewasa 46

3. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan,

Anak didik pemasyarakatan adalah:

a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)

tahun;

b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama

sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

      

45 Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, cetakan ke 31 ( Pradnya Paramita: Jakarta, 2001),90. 

(44)

 

37

 

c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling

lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.47

4. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Di atur dalam pasal 1UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin.48

5. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 1 angka 5 dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan

belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.49

6. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.50

      

47 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan., 2. 

48 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak., 1. 

49 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia., 2. 

(45)

 

38

 

7. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pasal 1 ayat (4)UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornograf , Anak

adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.51

8. UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Pasal 4 huruf h UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia, Warga Negara Indonesia adalah: anak yang lahir di luar

perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh

seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu

dilakuka\n sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau

belum kawin.52

9. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang

Pasal 1 angka 5UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.53

      

51 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi., 2. 

52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia., 3. 

(46)

 

39

 

10.SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No.

Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977

Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:

a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut

Pemilu

b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat

melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang

baru

b. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu

menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.54

Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan tersebut di atas memang masih tidak ditemui keseragaman

mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan 21 (dua

puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada

yang 17 (tujuh belas) tahun.

      

54 SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt.7/539/777 (13 Juli

(47)

 

40

(48)

41

 

BAB III

PENETAPAN DISPENSASI USIA NIKAH MENURUT

PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007

TENTANG PENCATATAN NIKAH

A. Sekilas Tentang Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah

1. Lahirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang

Pencatatan Nikah

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

pencatatan nikah merupakan salah satu bentuk peraturan

perundang-undangan, PMA ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia

Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007. Lahirnya PMA ini adalah

untuk memenuhi tuntutan perkembangan tata pemerintahan dan peningkatan

pelayanan kepada masyarakat guna meninjau kembali Keputusan Menteri

Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang perihal yang sama. Lahirnya

peraturan ini berlandaskan atas beberapa peraturan perundang-undangan

diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan nikah, talak,

(49)

42

 

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya

Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor

22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh

Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor

98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694)

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3019)

d. Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4611)

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonrsia Nomor 4548)

f. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

(50)

43

 

Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3250)

g. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar’iyah

dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

h. Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002 tentang Perubahan atas

Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Depertemen

Agama.

i. Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga

atasPeraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan,

Tugas,Fungsi, Susunan Organinsasi dan Tata Kerja Kementerian Negara

Republik Indonesia.

j. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Keenam

Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi

dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia.

k. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Luar Negeri Nomor

589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar

(51)

44

 

l. Keputusan Meteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan

Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan

m. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor

Departemen Agama Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah dengan

Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003

n. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan

tata Kerja Departemen Agama.

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

pencatatan nikah adalah peraturan perudangan yang disusun secara

sistematis. Isi dari PMA 11/2007 ini terdiri dari beberapa bab dan pasal,

dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I berisi tentang Ketentuan Umum terdiri dari 1 Pasal

Bab II berisi tentang Pegawai Pencatat Nikah terdiri dari 3 Pasal

Bab III berisi tentang Pemberitahuan Kehendak Menikah terdiri dari 1

Pasal

Bab IV berisi tentang Persetujuan dan Dispensasi Usia Nikah terdiri dari

3 Pasal

Bab V berisi tentang Pemeriksaan Nikah terdiri dari 3 Pasal

Bab VI berisi tentang Penolakan Kehendak Nikah terdiri dari 1 Pasal

(52)

45

 

Bab VIII berisi tentang Pencegahan Pernikahan terdiri dari 1 Pasal

Bab IX berisi tentang Akad Nikah terdiri dari 10 Pasal

Bab X berisi tentang Pencatatan Nikah terdiri dari 2 Pasal

Bab XI berisi tentang Pencatatan Nikah Warga Negara Indonesia diluar

Negeri terdiri dari 1 Pasal

Bab XII berisi tentang Pencatatan Rujuk terdiri dari 2 Pasal

Bab XIII berisi tentang Pendaftaran Cerai Talak dan Cerai Gugat terdiri

dari 1 Pasal

Bab XIV berisi tentang Sarana terdiri dari 1 Pasal

Bab XV berisi tentang Tatacara Penulisan terdiri dari 2 Pasal

Bab XVI berisi tentang Penerbitan Duplikat terdiri dari 1 Pasal

Bab XVII berisi tentang Pencatatan Perubahan Status terdiri dari 2 Pasal

Bab XVIII berisi tentang Pengamanan Dokumen terdiri dari 1 Pasal

Bab XIX berisi tentang Pengawasan terdiri dari 1 Pasal

Bab XX berisi tentang Sanksi terdiri dari 1 Pasal Bab XXI berisi tentang

Ketentuan Penutup terdiri dari 2 Pasal

Jadi secara keseluruhan PMA 11/2007 ini terdapat 21 Bab yang terdiri

dari 42 Pasal.

(53)

46

 

Dalam sistem hukum di Indonesia, jenis dan tata urutan (hirarki) peraturan

perundang-undangan telah diatur dalam No. 12 Tahun 2011 (yang menggantikan

UU No. 10/2004) tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam

pasal 7 menyebutkan :

a. Undang- Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat,

c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Propinsi, dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

pada pasal 8 ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang undangan yang

lebih tinggi salah satunya adalah Peraturan Menteri.53

,

Terkait dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan,

yang sering menjadi pertanyaan adalah kedudukan jenis peraturan

perundang-      

(54)

47

 

undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Jenis peraturan

perundang-undangan lain termasuk Peraturan Menteri tersebut akan

ditempatkan di mana, apakah kedudukannya di bawah Perda ataukah di atas

Perda.

Sebenarnya, kedudukan Peraturan Menteri bukan tidak diatur sama

sekali dalam Undang-Undang nomor momor 12 tahun 2011. Dalam Pasal 8

ayat (2) ditegaskan bahwa jenis peraturan perundang-undangan, selain yang

terdapat di dalam hierarki tetap diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Menteri serta peraturan lain

yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara lain, termasuk dalam

kategori ini.

Keputusan Menteri itu harusnya di bawah Keputusan Presiden

karena menteri bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tidak

dicantumkannya Peraturan Menteri atau jenis-jenis peraturan

perundang-undangan lainnya di dalam hierarki, tidak dapat kemudian ditafsirkan

kedudukannya berada di bawah Perda. Tetapi, penafsiran seperti itu bisa

menjadi pegangan oleh banyak orang karena memang terdapat ketidak jelasan

(55)

48

 

menghambat upaya untuk mewujudkan tatanan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang tertib di masa yang akan datang.54

Ada dua alasan mengapa Peraturan Menteri disebutkan letaknya

berada di antara Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.

Pertama, jika Peraturan Menteri ditempatkan di bawah Peraturan

Daerah akan bertentangan dengan asas hierarki. Yang dimaksud dengan

"hirarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang undangan

yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Kedua, akan bertentangan dengan wilayah berlakunya peraturan

perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang

berlaku secara Nasional di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan

perundang-undangan tingkat daerah yang lingkup berlakunya hanya bersifat

lokal.

Setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi

muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan

perundang-undangan di atasnya. Dalam membentuk Peraturan Menteri perlu

      

54 http://www.scribd.com/doc/43631939/peraturan-menteri-menurut-undang-10-tahun-2004 (13

(56)

49

 

diperhatikan landasan yuridis yang jelas. Peraturan Menteri yang dibentuk

harus dapat menunjukkan dasar hukum yang dijadikan landasan

pembentukannya. Makna tata urutan peraturan perundang undangan terkait

dengan dasar yuridis pembentukan Peraturan Menteri dalam arti bahwa hanya

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang sederajat dapat

dijadikan landasan atau dasar yuridisnya. Dengan demikian, Peraturan Daerah

tidak dapat dijadikan dasar pembentukan Peraturan Menteri.

Peraturan Menteri sebagai salah satu instrumen hukum masih

diperlukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Keberadaan

Peraturan Menteri diperlukan untuk melaksanakan ketentuan peraturan

perundang- undangan di atasnya yang secara tegas memerintahkan atau

mendelegasikan. Namun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan

bahwa Menteri dapat membuat peraturan walaupun pendelegasian tersebut

tidak secara tegas atau tidak diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, Menteri dapat menetapkan peraturan

yang tidak merupakan delegasi peraturan perundang-undangan yang di

atasnya. Peraturan menteri ini biasa disebut peraturan menteri mandiri,

termasuk dalam peraturan kebijakan.

Kemandirian me

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan pada tabel 4.9 dituangkan kedalam bentuk grafik gaya redaman fungsi kecepatan, untuk mengetahui distribusi linier dari koefisien redaman HMRSA

Struktur dua tinggal dua tamu memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain dengan cara. Kelompok mencocokkan dan membahas

Berdasarkan hasil analisis pada uji T didapatkan hasil bahwa Persepsi Kemudahan memiliki pengaruh signi fi kan terhadap Keputusan, hal ini dapat dilihat dari nilai signi fi

KONTRIBUSI DAN RELEVANSI TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI Dusun Pait Desa Pandansari Kecamatan Ngantang adalah salah satu wilayah yang terkena dampak erupsi gunung kelud terparah

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh Kompetensi, etika auditor, risiko kesalahan, akuntanbilitas, independensi dan due professional care terhadap kualitas

Tujuan dari penggunaan tehnik wawancara semi-terstruktur pada penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang cara guru berkomunikasi secara ekspresif dan reseptifnya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengobatan antihipertensi pada pasien hipertensi dengan GGK beserta kerasionalan terapi di RSUD Pandan

Proporsi antara pendapatansebagai nelayan dengan pendapatan sampingan, pada responden diperoleh hasil bahwa proporsi pendapatan utama sebagai nelayan masih