• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Masyarakat Tenjolaya Bogor Terhadap Pelayanan Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Masyarakat Tenjolaya Bogor Terhadap Pelayanan Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

i

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SENA SITI ARAFIAH NIM : 1110044100062

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Ciputat, 29 April 2014

(5)

v

Sena Siti Arafiah. NIM 1110044100062. RESPON MASYARAKAT TENJOLAYA BOGOR TERHADAP PELAYANAN ITSBAT NIKAH

TERPADU PENGADILAN AGAMA CIBINONG. Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. xii + 75 halaman + 13 halaman lampiran.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong di Kecamatan Tenjolaya. Itsbat Nikah Terpadu adalah sebuah program yang memberikan layanan akses identitas hukum (akta nikah dan akta lahir) bagi masyarakat kurang mampu yang tinggal jauh dari Kantor Pengadilan Agama. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu yang diadakan Pengadilan Agama Cibinong di Kecamatan Tenjolaya dan juga untuk mengidentifikasi respon masyarakat Kecamatan Tenjolaya terhadap pelayanan program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong.

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian dilapangan. Dengan metode analisis deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong yang dilaksanakan di Kecamatan Tenjolaya masih ditemukan permasalahan dalam hal sosialisasi dan biaya pendaftaran yang kurang terjangkau sehingga masih banyak masyarakat yang membutuhkan tidak bisa mengikuti program ini. Adapun untuk respon masyarakat Tenjolaya terhadap pelayanan Itsbat Nikah Terpadu sebagian besar masyarakat Tenjolaya merasa puas terhadap pelayanan program Itsbat Nikah Terpadu dari segi tempat pelaksanaan dan proseduralnya, namun dari segi biaya sebagian besar masyarakat merasa kurang puas karena mahalnya biaya pendaftaran. Kata Kunci : Respon Masyarakat, Tenjolaya, Itsbat Nikah, Terpadu,

Pengadilan Agama Cibinong

(6)

vi









Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini, Shalawat teriring salam senantiasa tercurah kepada Nabi Besar

Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia

dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H.Odiyanto Hasyim dan

Ibunda Tati Suryati yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan

doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan

kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis

temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,

serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak

langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir

skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan

(7)

vii

Sekretaris Prodi Al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. DR.H.Supriyadi Ahmad, M.A, dan Nuroohim, L.LM., dosen penguji

munaqasyah yang telah memberikan masukan dalam menyempurnakan

skripsi penulis.

5. Dr.H. Yayan Sopyan, M.Ag, S.H., dosen pembimbing akademik yang

senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

6. Dr. Hj. Mesraini, MA yang menjadi motivator dan inspirator penulis selama

menyelesaian studi di Fakultas Syariah dan Hukum.

7. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi

Al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya

kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

8. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam

(8)

viii

10. Drs. H.Yusri, Drs. Subarkah, SH. MH., dan Drs. Hasan Basri, SH. MH,

Hakim Pengadilan Agama Cibinong yang senatiasa memberikan wejangan

dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan praktik magang di

Pengadilan Agama Cibinong.

11. Drs. Agus Ridwan Camat Kecamatan Tenjolaya, Bapak Novri Kasi Program

dan Hj. Solihat yang memberikan izin dan bantuan selama penulis melakukan

penelitian di Kecamatan Tenjolaya.

12. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Abdul Hadi Mulya

Ramadhan, Rizki Monita Barkah dan Putra M. Nursalam yang senantiasa

memberikan semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

13. Terima kasih kepada Moh. Anas Maulana Ibroohim yang senantiasa setia

menemani penulis dari awal studi hingga sampai penyelesaian penulisan

skripsi ini.

14. Kak Rama Adi Putra selaku Research Associate PUSKAPA UI yang

membantu penulis dalam melengkapi data-data selama penelitian.

15. Para sahabat Yudiani O.S, Nisa Fauziah, Ka Lita, Syafa, Gita, Wardah,

Fahmi, Yudis, Muslim, Irfan, Pengurus KOHATI Cabang Ciputat, Ka

Momba, Sintia, Rana, Widya, Analia, Zakia, Adis, Fani, Sri, HMI

(9)

ix

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat

ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan

kebaikan yang berlipat ganda pula.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 29 April 2014

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ... .x

DAFTAR TABEL...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... .1

B. Pembatasan & Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Metode Penelitian... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ... 15

B. Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan ... 18

(11)

xi NIKAH TERPADU

A. Itsbat Nikah ... 31

B. Itsbat Nikah Terpadu ... 36

BAB IV ITSBAT NIKAH TERPADU PENGADILAN AGAMA CIBINONG DI KECAMATAN TENJOLAYA A. Kondisi Obyektif Masyarakat Kecamatan Tenjolaya ... 44

B. Profil Responden ... 46

C. Pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu di Kecamatan Tenjolaya...51

D. Respon Masyarakat Tenjolaya Terhadap Pelayanan Itsbat Nikah. Terpadu ... 56

E. Analisis...67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran-saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Tenjolaya Berdasarkan Mata Pencaharian...45

Tabel 4.2 Peserta Itsbat Nikah Terpadu...46

Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Responden...48

Tabel 4.4 Jenis Pekerjaan Suami...49

Tabel 4.5 Tahun Pernikahan...49

Tabel 4.6 Alasan Pernikahan Tidak Tercatat...50

Tabel 4.7 Pengetahuan Masyarakat Tentang Pencatatan Pada KUA...56

Tabel 4.8 Pengetahuan Masyarakat Tentang Itsbat Nikah...56

Tabel 4.9 Pengetahuan Masyarakat Tentang Itsbat Nikah Terpadu...57

Tabel 4.10 Sumber Informasi Adanya Itsbat Nikah Terpadu...58

Tabel 4.11 Alasan Masyarakat Mengikuti Itsbat Nikah Terpadu...59

Tabel 4.12 Respon Masyarakat Mengenai Proses Sosialisasi...60

Tabel 4.13 Respon Masyarakat Mengenai Fasilitas Program...60

Tabel 4.14 Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Hakim...61

Tabel 4.15 Respon Masyarakat Terhadap Pelayanan Para Petugas...62

Tabel 4.16 Respon Masyarakat Terhadap Tempat Pelaksanaan...62

Tabel 4.17 Kepuasan Masyarakat Terhadap Tempat Pelaksanaan...63

Tabel 4.18 Respon Masyarakat Mengenai Prosedural Program...64

Tabel 4.19 Kepuasan Masyarakat Mengenai Prosedural Program...64

Tabel 4.20 Respon Masyarakat Mengenai Biaya Pendaftaran...65

(13)
[image:13.610.137.510.180.583.2]
(14)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang paling mulia, sempurna dan

istimewa serta telah dilantik sebagai khalifah di muka bumi sejak awal kejadiannya.

Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan supaya manusia hidup

berpasang-pasangan membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu

haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mungkin putus dan

diputuskannya ikatan akad atau ijab qabul perkawinan.1

Melalui perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi

secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang bermartabat.2

Yang membedakan antara perkawinan dan perzinahan adalah dalam perkawinan ada

syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus terpenuhi. Dan bagian terpenting dari

syarat dan rukun perkawinan adalah adanya saksi dan dipublikasikan. Oleh karena

itu, dalam suatu perkawinan disyaratkan untuk dipersaksikan minimal oleh dua orang

dan diumumkan kepada khalayak umum.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan dinamika masyarakat yang

semakin kompleks, apa yang dulu tidak penting kemudian menjadi penting dimasa

sekarang ini. Zaman dahulu, pencatatan perkawinan tidak terlalu penting untuk

1

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara,1999), Cet ke-2 h. 31

2

(15)

dilakukan, karena sesuai dengan kondisi sosiologisnya saat itu yang memungkinkan,

dimana dengan adanya persaksian dua orang saksi dan diumumkan sudah dianggap

cukup. Namun melihat kondisi saat ini ketika zaman sudah berubah, adanya

pencatatan perkawinan sangat penting untuk dilakukan.3

Pencatatan perkawinan memiliki manfaat Preventif yaitu untuk

menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat

perkawinan, baik menurut hukum dan kepercayaan itu maupun menurut

Undang-undang. Dalam bentuk konkritnya penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui

prosedur yang diatur dalam PP No.9 Tahun 1975. Adapun manfaat pencatatan

perkawinan bersifat refresif adalah sebagai bukti hukum dimana suatu perkawinan

dianggap ada dan diakui keabsahannya ketika adanya tanda bukti perkawinan atau

akta nikah.4 Akta nikah ini merupakan bukti autentik yang dapat membuktikan pula

keturunan yang sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh

hak-haknya sebagai ahli waris.5

Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan ini telah diatur dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam

Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

pada pasal 2 ayat 2 mengatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

3

Yayan Sopyan, Islam dan Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), cet ke-2.h.128-129

4

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,1995) h.117

5

(16)

perundang-undangan yang berlaku“.6 Kompilasi Hukum Islam memuat masalah

pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 dan pasal 7 ayat 1.

Jadi, dengan adanya aturan dalam Undang-undang dan Kompilasi Hukum

Islam tersebut, maka pernikahan yang sah adalah pernikahan yang tercatat secara

resmi pada negara. Namun, hal ini tidak sejalan dengan realitas yang terjadi di

masyarakat dimana masih banyaknya masyarakat yang melakukan praktik

pernikahan tanpa melakukan pencatatan secara resmi pada kantor Urusan Agama

(KUA) atau lebih dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau sirih.7

Pernikahan tanpa pencatatan ini akan menimbulkan banyak dampak negatif

baik untuk istri ataupun anak sebagai pihak yang dirugikan. Hal ini dikarenakan,

pernikahan yang tidak dicatatkan, akan menyulitkan pihak istri untuk menuntut

hak-haknya. Ketika terjadi perceraian, mulai dari hak gono-gini, hak waris dan yang

paling penting adalah berdampak pada anak. Dimana ketiadaan akta nikah akan

menimbulkan kesulitan untuk membuat akta kelahiran.8

Dalam menjawab permasalahan ini, maka perlu penyelesaian yang tepat agar

tidak ada pihak yang merasa dirugikan, salah satu solusinya yaitu dengan adanya

6

Yayan Sopyan, Relasi Suami Istri dalam Islam “Pernikahan” (Jakarta: PSW UIN Jakarta,

2004), h.10

7

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:

Prenada Media, 2004), h.124

8

Yayan Sopyan, “Isbat Nikah Bagi Perkawinan yang Tidak Tercatat Setelah

Diberlakukannya UU No.1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan” Kompilasi Jurnal

(17)

itsbat nikah. Apabila pernikahan terlanjur dilaksanakan sesuai dengan hukum agama

masing-masing tanpa disertai pencatatan oleh petugas yang berwenang, Pengadilan

Agama melalui lembaga itsbat nikah memberi alternatif penyelesaian sebagaimana

yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 2 dalam hal perkawinan

tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka dapat diajukan itsbat nikahnya ke

Pengadilan Agama.9

Masyarakat yang ingin melakukan isbat nikah atau pengesahan nikah harus

mendatangi Pengadilan Agama yang pada umumnya terletak diibukota kabupaten/

kotamadya. Hal ini pun masih menimbulkan masalah, dimana bagi masyarakat

kurang mampu di daerah terpencil yang jauh dari pusat kota akan mendapat kesulitan

untuk mendapatkan pelayanan itsbat nikah, karna jarak yang jauh ke pengadilan dan

biaya transportasi yang mahal. Sehingga makin kecilnya kesempatan bagi

masyarakat kurang mampu di daerah untuk mendapatkan akses keadilan dalam

memperoleh identitas hukum (akta nikah dan akta lahir).

Untuk membantu mengatasi hal ini, Pengadilan Agama, KUA, Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil (Dinas Dukcapil) yang bekerjasama dengan

Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) dan Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak (PUSKAPA) UI menggagas sebuah program pelayanan identitas

hukum terpadu (Itsbat Nikah Terpadu). Program kerjasama ini juga melibatkan

9

(18)

berbagai Kementerian/Lembaga terkait, utamanya Mahkamah Agung, Kementerian

Dalam Negeri, dan Kementerian Agama.

Adanya pelayanan terpadu, masyarakat tidak akan banyak menghabiskan

waktu dan biaya. Pelayanan terpadu dilakukan dengan sistem sidang dan layanan

keliling. Jadi, masyarakat tidak harus mendatangi kantor Pengadilan Agama atau

Dinas Dukcapil yang berlokasi di kota kabupaten. Mereka cukup datang ke kota

kecamatan atau bahkan ke kelurahan.

Pengadilan Agama Cibinong merupakan Pengadilan Agama yang untuk

pertama kalinya mengadakan program Itsbat Nikah Terpadu yang dilaksanakan di

Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti

tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai sejauh mana pelaksanaan dari

program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong dan bagaimana respon

masyarakat Tenjolaya terhadap pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu (layanan

identitas hukum terpadu) Sehingga penulis merumuskan penelitian ini dengan judul

“RESPON MASYARAKAT TENJOLAYA BOGOR TERHADAP PELAYANAN

ITSBATNIKAH TERPADU PENGADILAN AGAMA CIBINONG.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah. 1. Batasan masalah

Itsbat nikah merupakan instrumen hukum bagi masyarakat yang menikah

tanpa melakukan pencatatan di KUA. Itsbat Nikah Terpadu merupakan

pengembangan dari itsbat nikah yang pelaksanaannya menggunakan sistem layanan

(19)

merupakan daerah dalam wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten

Bogor. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada pelaksanaan Itsbat Nikah

Terpadu Pengadilan Agama Cibinong di Kecamatan Tenjolaya

2. Rumusan masalah.

Pelayanan identitas hukum terpadu (Itsbat Nikah Terpadu) merupakan

program kerjasama PA, KUA, Dukcapil dengan Australia-Indonesia Partnership for

Justice (AIPJ) dan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) UI. Dalam

pelaksanaan sebuah program pasti terdapat tujuan dan parameter keberhasilan yang

ingin dicapai yaitu terlayaninya masyarakat dalam memperoleh identitas hukum.

Dari rumusan ini penulis merinci beberapa pertanyaan:

a. Bagaimana pelaksanaan program Isbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama

Cibinong di Kecamatan Tenjolaya Bogor?

b. Bagaimana Respon Masyarakat Tenjolaya terhadap Pelayanan Isbat Nikah

Terpadu Pengadilan Agama Cibinong?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

a. Untuk menjelaskan pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan

Agama Cibinong di Kecamatan Tenjolaya.

b. Untuk mengidentifikasi respon masyarakat Tenjolaya dalam pelayanan program

(20)

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapakan mampu

menjadi pedoman baik teoritis maupun praktis, maka sekiranya penelitian ini

bermanfaat diantaranya:

a. Bagi Akademisi, penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan

pengetahuan khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam.

b. Bagi Instansi terkait yaitu Pengadilan Agama, KUA, Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil (Disdukcapil), Australia-Indonesia Patnership for Justice (AIPJ) dan

Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) UI. Informasi mengenai respon

masyarakat mengenai pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu (pelayanan

identitas hukum terpadu) sehingga dapat memberi masukan dan evaluasi untuk

memperbaiki kinerja instansi-instansi terkait dalam melaksanakan program yang

selanjutnya.

c. Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran yang bermanfaat dalam praktik pernikahan yang terjadi di masyarakat.

D. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan bahan atau data penyusunan skripsi ini agar mengandung

suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah

sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan

(21)

penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian

yang terjadi dilapangan.10 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan

program Itsbat Nikah Terpadu di Kecamatan Tenjolaya dan respon masyarakat

Kecamatan Tenjolaya terhadap pelaksanakan program, sehingga dapat diperoleh

kejelasan mengenai keberhasilan dari tujuan pelaksanaan program Itsbat Nikah

Terpadu.

2. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode evaluasi responsif. Metode penelitian ini

digunakan untuk mengidentifikasi isu-isu dan perhatian berdasarkan kontak

langsung, tatap muka dengan orang di seluruh program, menggunakan dokumen

program untuk mengidentifikasi isu, dan pengamatan personal tentang aktivitas

program supaya meningkatkan apa yang penting bagi program dan apa yang dapat

atau harus dievaluasi.11

3. Sumber Data Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari berbagai

sumber, sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh secara langsung

dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat berupa opini subjek (orang)

10

Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja

Grafindo, 2001), h..26

11

Micheal Quinn Patton. Metode Evaluasi Kualitatif, Penerjemah Budi Puspo Priyadi

(22)

secara individu atau kelompok, hasil observasi atau kegiatan dan hasil pengujian.12

Dalam hal ini peneliti mengambil sumber hukum primer melalui wawancara dengan

pihak-pihak yang terkait pada program isbat nikah terpadu..

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan

kepustakaan.13 Bahan hukum terdiri atas buku-buku (textbooks), dokumen-dokumen

resmi mengenai isbat nikah, jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang

berkaitan dengan topik penelitian ini.14

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.15

4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah sekumpulan individu yang memiliki karakteristik khas yang

menjadi perhatian dalam suatu penelitian atau suatu keseluruhan unit dalam ruang

lingkup yang ingin diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat

Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor.

12

Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian Studi Kasus (Sidoarjo : CV Mitra Media, 2003), h.57

13

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.

94

14

Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004) , h.30

15

(23)

Sampel adalah sebagian anggota populasi yang diambil berdasarkan prosedur

tertentu sehingga dapat mewakili populasinya.16 Dalam penelitian ini sampel

penelitiannya adalah masyarakat Kecamatan Tenjolaya yang menikah bawah tangan

(tidak tercatat) yang menjadi peserta program Itsbat Nikah Terpadu.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik purposive sampling yaitu sampel yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti

berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu17.

5. Teknik Pengumpulan data

a. Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

gejala-gejala yang diteliti.18

b. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer)

untuk memperoleh informasi dari orang-orang yang menjadi sumber informasi

(narasumber).19

c. Studi dokumentasi yaitu mencari dan mengenai hal-hal atau variable yang

berupa catatan, hasil rapat, dokumen-dokumen, foto, dan bahan lainnya yang

terkait dengan penelitian ini.

16

Hadari Nawawi, Metodelogi Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta :Gajah Mada, 1997),

h.144

17

Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian (T.tp, Fakultas Syariah dan Hukum,2010), h.81

18

Usman Husain Purnomo dan Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000), h.57

19

Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitia- Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta :

(24)

d. Kuesioner yaitu daftar yang disebarkan secara langsung kepada responden.20

e. Studi Putaka digunakan penulis untuk melengkapi teori dan data yang diperoleh

dari buku dan jurnal.

6. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh melalui wawancara baik wawancara mendalam

maupun wawancara terbuka dibakukan, kemudian diproses dengan beberapa tahapan

sebagai berikut:

1. Editing yaitu memeriksa jawaban-jawaban responden untuk diteliti dan

dirumuskan pengelompokan untuk memperoleh data-data akurat.

2. Tabulating yaitu metabulasi atau memindahkan jawaban-jawaban responden ke

dalam tabel, kemudian dicari presentasenya untuk kemudian dianalisa.

3. Kesimpulan yaitu penulis memberikan kesimpulan dari hasil analisa dan

penafsiran data, semua tahapan tersebut akhirnya dijelaskan pendeskripsiannya

dalam bentuk kata-kata maupun angka sehingga menjadi bermakna.

4. Prosentase dalam hal ini penulis mengklasifikasikan data dengan menggunakan

prosentase sebagai berikut:

P = F X100%

N

20

Masri Singa Rimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta: PT Pustaka

(25)

Keterangan:

P = Besar Prosentase

F = Frekuensi (Jumlah jawaban responden)

N = Jumlah Responden

Besar presentase dari rumus tersebut akan penulis jelaskan dengan beberapa

kriteria diantaranya:

100%= Seluruhnya 82%-93%=Hampir Seluruhnya

67%-81%= Sebagian Besar 51%-66%= Lebih dari Setengah

50%= Setengahnya 34%-49%= hampir Setengah

18%-33%= Sebagian Kecil

7. Metode Analisis.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data

deskriptif yaitu berupa metode yang menggambarkan tentang objek yang diteliti

yang disajikan secara kualitatif dan kuantitaf dalam bentuk uraian naratif dan tabel.

8. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan

dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Jakarta 2012

E. Review Studi Terdahulu.

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya

(26)

1. Ratna Huzaemah, konsentrasi Peradilan Agama.2011. “Efektifitas Sidang Keliling

di Pengadilan Agama Cibinong.” Membahas tentang efektifitas sidang keliling di

Pengadilan Agama Cibinong, menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan sidang

keliling dan apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya serta respon

masyarakat terhadap sidang keliling. Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu

penelitian sebelumnya meneliti tentang sidang keliling secara umum, namun

penelitian penulis lakukan lebih spesifik pada perkara itsbat nikah pada layanan

Itsbat Nikah Terpadu.

2. Alfan Fauzi, konsentrasi Peradilan Agama. 2012. “Implementasi Pasal 7

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Itsbat Nikah”. Membahas mengenai

pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Depok dengan aturan pasal 7

Kompilasi Hukum Islam (KHI), melakukan pemetaan tentang faktor penyebab

perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Depok dan bagaimana pertimbangan

hakim dalam mengambil putusan pada perkara itsbat nikah. Perbedaan dengan

penelitian penulis yaitu pada penelitian sebelumnya membahas mengenai

pelaksanaan itsbat nikah biasa yang dilaksanakan di gedung pengadilan secara

langsung, namun pada penelitian yang penulis lakukan berbeda yaitu itsbat nikah

pada sidang keliling dan dilakukan secara massal pada program khusus yaitu pada

program Itsbat Nikah Terpadu.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi

(27)

Bab Pertama, pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,

review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, Tinjauan umum mengenai Pencatatan Perkawinan, yang meliputi

pengertian dan dasar hukum perncatatan perkawinan, pelaksanaan pencatatan

perkawinan, akta nikah, urgensi pencatatan perkawinan dan dampak bagi pernikahan

yang tidak tercatat.

Bab Ketiga, Tinjauan umum mengenai Itsbat Nikah dan Itsbat Nikah

Terpadu, yang meliputi pengertian dan dasar hukum itsbat nikah, syarat-syarat itsbat

nikah, cara mengajukan itsbat nikah, akibat hukum itsbat nikah. Tinjauan mengenai

itsbat nikah terpadu meliputi pengertian itsbat nikah terpadu, dasar hukum itsbat

nikah terpadu, urgensi itsbat nikah terpadu, tujuan itsbat nikah terpadu, ruang

lingkup itsbat nikah terpadu dan teknis pelaksanaan itsbat nikah terpadu.

Bab Keempat, Kondisi Obyektif Masyarakat Kecamatan Tenjolaya, Profil

Responden, Proses pelaksanaan pelayanan itsbat nikah terpadu Pengadilan Agama

Cibinong, Respon masyarakat terhadap program pelayanan itsbat nikah terpadu dan

Analisis.

(28)

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan.

Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat negara

terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini Pegawai Pencatatat Nikah (PPN) yang

melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan akad perkawinan antara

calon suami dan calon istri.1

Pencatatan merupakan administrasi negara dalam rangka menciptakan

ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan

perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami dan istri.

Kutipan akta nikah itu sebagai bukti autentik yang dilakukan oleh pegawai pencatat

nikah, talak dan rujuk, juga oleh pegawai perkawinan pada kantor catatan sipil

sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai

pencatatan perkawinan.2

Peraturan mengenai adanya suatu pencatatan perkawinan telah diatur dalam

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954

Tentang Pencatatan Nikah Talak, dan Rujuk yang pada mulanya hanya berlaku

untuk wilayah Jawa dan Madura kemudian pada tanggal 26 Oktober 1954

1

Muhammad Zein dan Mukhtar Al-Shadiq, Membangun Keluarga Harmonis ( Jakarta: Graha Cipta, 2006), h.36

2

Arso Sastroatmojo dan A Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Bulan

(29)

undang tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah di Indonesia.3 Dalam

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ditetapkan bahwa nikah adalah sah apabila dilakukan

menurut agama Islam yang diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang

diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.4

Pencatatan perkawinan kemudian diatur lebih lanjut pada Undang-undang

No.1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Sedangkan dalam penjelasan umum

dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

dengan pencatatan peristiwa-perisiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya

kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi

yang dimuat dalam daftar pencatatan.6

Selanjutnya dalam BAB II Pasal 2 sampai pasal 9 PP No.9 Tahun 1975

dijelaskan tentang pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut dilengkapi

dengan berbagai perundangan lainnya yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Agama.7 Dalam PP No.9 Tahun 1975 dalam pasal 2 menyebutkan

bahwa, pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama

3

Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan

Ulasan Secara Sosiologi Hukum (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000), h.70

4

Undang-undang No.22 Tahun 1946 Pasal 11 ayat (1)

5

Djaja S Mailala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Hukum Orang dan Hukum

Keluarga (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h 44-45

6

Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. h. 33

7

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Jakarta:

(30)

Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang No.32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yaitu

Kantor Urusan Agama setempat (daerah dimana perkawinan dilaksanakan) dan

selain yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di kantor

catatan sipil.8

Kompilasi Hukum Islam memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada

pasal 5 sebagai berikut:

(1) Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, perkawinan

harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada pasal 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946

Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo. Undang-undang No.32 Tahun

1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Selanjutnya pada Pasal 6 dijelaskan :

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5 setiap perkawinan harus

dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pencatatan nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum.9

8

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,1976), h.75

9

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,2007),

(31)

Pencatatan perkawinan dalam Undang-undang No 24 Tahun 2013 perubahan

atas Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan

mengatur tata cara dan tata laksana pencatatan peristiwa penting atau pencatatan sipil

yang dialami oleh setiap penduduk Republik Indonesia, dimana maksud dari

peristiwa penting menurut pasal 1 angka 17 adalah kejadian yang dialami oleh

seseorang meliputi kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,

pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status

kewarganegaraan. Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam

dalam pasal 8 Undang-undang No.23 Tahun 2006 menentukan, bahwa kewajiban

instansi Pelaksana untuk pencatat nikah, talak, cerai dan rujuk, bagi penduduk yang

beragama Islam dalam tingkatan kecamatan dilakukan oeh pegawai pencatat pada

Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.10

B. Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan.

Untuk melangsungkan perkawinan harus dilaksanakan menurut tata cara yang

ditetapan oleh peraturan yang berlaku. Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan

perkawinan sesuai aturan adalah sebagai berikut:

1. Pemberitahuan Kehendak Nikah

Bagi yang beragama Islam pemberitahuan disampaikan kepada Kantor

Urusan Agama(KUA), karena berlaku Undang-undang No.32 Tahun 1954 Tentang

10

(32)

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi yang beragama bukan Islam

pemberitahuannya dilakukan kepada kantor catatan sipil setempat.11

Pemberitahuan tersebut dalam pasal 3 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975

ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun

ada pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena suatu alasan yang

penting diberikan oleh camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.

Mengenai siapakah yang dapat memberitahukan kepada Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua ataupun wakilnya.

Sesuai pasal 4 PP ini pemberitahuan dapat secara lisan ataupun tulisan dengan

membawa surat-surat yang diperlukan sebagai berikut:12

a. Surat persetujuan calon mempelai

b. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal-usul

c. Surat keterangan tentang orang tua

d. Surat keterangan untuk nikah

e. Surat izin kawin bagi calon mempelai anggota TNI /POLRI

f. Akta cerai talak/cerai gugatan kutipan buku pendaftaran talak/cerai jika calon

janda/duda.

11

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Undang-Undang No.1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara,1996), h. 170-186

12

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha

(33)

g. Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala desa yang

mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri jika calon mempelai

seorang janda/duda karena kematian suami/istri.

h. Surat izin dispensasi bagi calon mempelai yang belum mencapai umur menurut

ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) s/d (6) dan pasal 7

ayat (2).

i. Surat dispensasi camat bagi pernikahan yang akan dilangsungkan kurang dari 10

hari kerja sejak pengumuman.

j. Surat keterangan tidak mampu dari kepala desa bagi yang tidak mampu.

Kemudian isi pemberitahuan tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh

pasal 5 yaitu bahwa pemberitahuan memuat tentang nama, umur, agama/

kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai pernah kawin disebutkan

juga nama istri atau suami terdahulu. 13

2. Penelitian dan Pemeriksaan Nikah.

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya

diadakan penelitian yang dilakukan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Sesuai pasal 6

ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 Pegawai Pencatat Nikah (PPN) meneliti apakah tidak

terdapat halangan baik menurut perundang-undangan yang berlaku, syarat-syarat

13

(34)

perkawinan mengenai persetujuan calon mempelai, izin orang tua dan seterusnya, hal

inilah yang pertama-tama diteliti oleh Pegawai Pencatat Nikah.14

Selain itu berdasarkan pasal 6 ayat (2) Pegawai Pencatat Nikah juga

diwajibkan melakukan pemeriksaan terhadap:

(a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai atau surat

keterangan asal-usul kepala desa. Penelitian yang menyangkut kelahiran

merupakan bagian yang penting untuk mengetahui umur calon mempelai dalam

hubungan dengan batas minimum umur yang ditetapkan dalam Undang-undang

perkawinan sehingga jika ada calon mempelai yang belum memenuhi usia

minimum dapat dilakukan pencegahan.15

(b) Keterangan mengenai nama, agama/ kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal

orang tua calon mempelai.

(c) Izin tertulis pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum

mencapai umur 21 tahun.

(d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 Undang-undang dalam hal calon

mempelai seorang suami yang masih mempunyai istri.

14

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang

2004), h.116-121

15

Gatot Supramono, Segi -segi hukum Hubungan Luar Nikah (Jakarta: Djambatan, 1998),

(35)

(e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat (2)

Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas

minimum usia perkawinan.

(f) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian bagi

perkawinan kedua kalinya atau lebih.

(g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HAMKAM/PANGAB

apabila salah satu calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri

karena sesuatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Hasil penelitian terhadap semua persyaratan perkawinan tersebut diatas oleh

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk

itu. Apabila dalam hasil pemeriksaan terdapat halangan perkawinan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang perkawinan atau belum dipenuhi persyaratan dalam

pasal 6 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 keadaan itu harus segera diberitahukan kepada

calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.16

3. Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu

halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pengumuman yang dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah. Berdasarkan pasal 8 PP No.9 tahun 1975 pengumuman

tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.

16

(36)

Adapun mengenai tata caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan

menurut formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada sesuatu

tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

Pengumuman tersebut bertujuan agar masyarakat umum mengetahui siapakah

orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan dengan adanya pengumuman

itu apabila ada pihak yang keberatan dengan perkawinan yang hendak dilangsungkan

maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada kantor pencatat nikah.

4. Akad Nikah dan Pencatatan.

Mengenai pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasal 10 PP No. 9 Tahun

1975. Pada peraturan ini perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat

Nikah yang berwenang dan dihadiri oleh dua saksi.

Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan selanjutnya kedua mempelai

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah

(PPN). Selain calon mempelai akta perkawinan ditandatangani pula oleh para saksi

dan pegawai pencatat nikah. Dalam pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 juga ditentukan

bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam akta perkawinan

ditandangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili. Dengan selesainya

penandatanganan akta nikah maka perkawinan telah tercatat.17

17

(37)

C. Akta Nikah

Akta nikah adalah sebuah daftar besar (Register Nikah) yang merupakan

bukti autentik bagi masing-masing yang bersangkutan, karena ia dibuat oleh pegawai

umum (openbaar ambtenaar).18 Akta Nikah memuat antara lain sebagai berikut

(Pasal 12 PP) :

1. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman suami istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau istri

terdahulu.

2. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka.

3. Izin kedua orang tua bagi yang melangsungkan perkawinan belum mencapai

umur 21 tahun, atau dari wali atau dari pengadilan sebagaimana dimaksud pasal

6 (2-5) UU No.1 Tahun 1974.

4. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditujuk oleh kedua orang tua,

bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria, dibawah

umur16 tahun bagi wanita.

5. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih

dari seorang istri.

6. Persetujuan dari kedua orang tua.

18

M Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Perdata Peradilan Agama dan

(38)

7. Izin dari pejabat yang ditunjuk mentri HANKAM atau PANGAB bagi anggota

TNI/POLRI.

8. Perjanjian perkawinan jika ada.

9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi,

dan wali nikah bagi yang beragama Islam.

10.Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan atau tempat kediaman kuasa apabila

perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.19

Akta nikah oleh Pegawai Pencatat nikah (PPN) dibuat rangkap 2, helai

pertama disimpan dikantor pencatatan (KUA), sedang helai kedua dikirim ke

pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi kantor pencatatan tersebut (Pasal 13

PP).20

Akta nikah ini dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang

merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.21

Akta nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak yang terlahir dari

pernikahan tersebut.

Kegunaan dari akta nikah adalah sebagai berikut:

1. Bukti otentik perkawinan yang sah (UU No 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1-5)

2. Adanya jaminan dan kepastian hukum (UU No 1 Tahun 1974 Bab VI)

19

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama (Bandung: Mandar maju ,2003),Cet ke-2. h.92

20

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia;Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih UU No 1/1974 Sampai KHI, h.128

21

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika.2007), cet

(39)

3. Menjamin hak-hak waris (UU No 1 Tahun 1974 Bab VII Pasal 35-37)

4. Membuat akta kelahiran/akta kenal lahir anak (UU No 1 Tahun 1974 Bab IX)

5. Menjamin hak-hak anak/keturunan (UU No 1 Tahun 1974 Bab X Pasal 45-49)

6. Pengurusan Dokumen pentingseperti: Pasport, Akta Kelahiran, Kartu Keluarga

(KK), Kependudukan, Pendidikan, Kesehatan, Ibadah Haji dan Umroh, Akta

Cerai/Talak, Akta Waris, Kepemilikan harta gono-gini (harta bersama),

Pengajuan KPR BTN, Kredit Bank/Lembaga Keuangan, Klaim Asuransi,

Pensiun, Pengajuan daftar gaji untuk mendapatkan tunjangan.

D. Urgensi Pencatatan Perkawinan

Kehidupan modern seperti saat ini menuntut adanya ketertiban dalam

berbagai hal, antara lain masalah pencatatan perkawinan. Sehingga pencatatan

perkawinan ini kemudian menjadi hal yang sangat penting. Apabila hal ini tidak

mendapat perhatian maka akan muncul kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat,

mengingat jumlah manusia yang sangat banyak dan permasalahan kehidupan yang

semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan

pasangannya mungkin akan sulit apabila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama

apabila terjadi sengketa, antara lain mengenai sah atau tidaknya anak yang

dilahirkan, hak dan kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak

tercatatnya hubungan suami-istri itu sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari

tanggung jawabnya dan menyangkal hubungan suami-istri.22

22

(40)

Pada dasarnya syariat Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan perkawinan,

namun dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan sangat diperlukan.

Karena pencatatan perkawinan dapat dijadikan alat bukti autentik agar seseorang

mendapatkan kepastian hukum.23 Hal ini sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana

firman Allah yang termaktub dalam surat Al- Baqarah ayat 282:























































































































...







Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan

ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.24

Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi dasar rujukan untuk

memahami hukum pencatatan nikah, kemudian mencari illat yang sama-sama

terkandung dalam akad nikah dan akad mu’amalah, yaitu adanya penyalahgunaan

atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis. Hal ini juga sejalan dengan

Qaidah fiqhiyah :

23

Hasan M Ali, Pedoman hidup berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Prenada

Media,2003), Cet ke-1 h. 123

24

M Atho Muzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka

(41)

“menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan.”25

Jadi qiyas disini dapat dilakukan. Untuk itulah kita dapat mengatakan bahwa

pencatatan nikah disini wajib sebagaimana diwajibkan pada akad muamalah.

Dengan adanya alat bukti ini, pasangan suami-istri dapat terhindar dari

mudharat dikemudian hari karena bukti tertulis dapat memproses secara hukum

berbagai persoalan rumah tangga, terutama sebagai alat bukti paling shahih di

Pengadilan Agama.26

Pencatatan Perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan karena

pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat sah dan tidaknya perkawinan oleh

negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.27 Dimana

fungsi dan kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum terhadap

perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan

sungguh-sunguh, berdasarkan i’tikad yang baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan

transaksi benar-benar akan menjalankan segala konsekuensinya atau akibat hukum

dari perkawinan yang dilaksanakannya itu.28

Tujuan utama pencatatan perkawinan ini adalah untuk memperoleh bukti

autentik dari suatu perkawinan yang akan melegitimasi perkawinan tersebut. Dengan

25

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah dalam perspektif Fiqih (Jakarta: Pedoman

Ilmu Jaya dengan Anglo Media,2004), Cet ke-1. h.148.

26

Happy Susanto, Nikah Sirri apa Untungnya?? (Jakarta: Visimedia,2007), h.57

27

Saidus Sahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Jakarta:

Alumni, 1981), h.108

28

(42)

adanya surat bukti tersebut maka dapatlah dibenarkan ataupun dicegah suatu

perbuatan lain. Dengan demikian pencatatan perkawinan selain berfungsi untuk

menjaga ketertiban juga untuk menjamin kepastian hukum.29 Selain itu juga

merupakan suatu upaya yang diwujudkan perundang-undangan untuk melindungi

martabat dan kesucian perkawinan, lebih khusus lagi untuk melindungi hak-hak

perempuan dalam kehidupan berumah tangga.30

Lembaga perkawinan bukan saja merupakan syarat administratif yang

subtansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban umum, namun ia juga

mempunyai cakupan manfaat yang besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu

perkawinan.31

Lebih jelasnya manfaat pencatatan perkawinan antara lain sebagai berikut:

a. Mendapat perlindungan hukum

b. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan

c. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum32

E. Dampak Perkawinan yang Tidak Tercatat

Adapun dampak dari tidak dicatatatkannya perkawinan adalah:

29

Rusdi Malik, Peranan Agama dalam Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. h 41

30

Huzaimah Tahido Yanggo, Perkawinan yang Tidak Dicatat Pemerintah (Jakarta; GTZ dan GG PAS, 2007), h.17

31

Yayan Sopyan, Islam Negara: Suatu Transformasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional. h.134

32

(43)

1. Perkawinan dianggap tidak sah.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata

negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan

Agama (KUA) atau kantor catatan sipil.

2. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu.

Anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat,

selain tidak sah juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu (pasal 42

dan pasal 43 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sedangkan

hubungan anak dengan ayahnya tidak ada.

3. Anak dan ibunya tidak berhak mendapatkan waris dan Nafkah. Akibat lebih jauh

dari perkawinan yang tidak tercatat adalah baik istri maupun anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun

warisan dari ayahnya.33

33LBH Apik,”

Dampak Perkawinan Bawah Tangan Bagi Perempuan”, diakses pada tanggal

(44)

31

1.Pengertian dan Dasar Hukum Itsbat Nikah.

Itsbat Nikah secara terminologi terdiri dari dua kata “itsbat” dan “nikah”.

Itsbat berasal dari bahasa arab yang berarti “penetapan” atau “pembuktian”.1

Sedangkan nikah adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan

perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya

hubungan seksual dengan tujuan mencapai tujuan keluarga yang sakinah, penuh

kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.2 Dan lebih lanjut Itsbat Nikah

didefinisikan sebagai suatu penetapan, penentuan, pembuktian atau pengabsahan

Pengadilan Agama terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan

tertentu.3

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa itsbat nikah adalah

penetapan perkawinan oleh Pengadilan Agama tentang keabsahan perkawinan

pasangan suami istri yang perkawinannya tidak dicatatkan dan tidak dapat

dibuktikan.

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Unit

Pengadaan Buku-Buku Keagamaan PP Al-Munawwir,1984) ,h..145

2

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional,( Jakarta: Rineka Cipta) h.62

3

Yayan Sopyan,“Isbat Nikah Bagi Perkawinan yang Tidak Tercatat Setelah

(45)

Dasar hukum itsbat nikah terdapat pada Undang-undang No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan pada pasal 64 aturan peralihan yang berbunyi: Untuk

perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang

dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.4 Dari ketentuan ini maka perkawinan

yang ada sebelum Undang-undang berlaku adalah sah. Begitu juga masalah itsbat

nikah pun tetap sah, karena itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam

himpunan penetapan dan putusan pengadilan agama tahun lima puluhan.

Lembaga itsbat nikah/pengesahan nikah yang ditampung dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang-undang No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas

pada ulasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hal

ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat (2), yaitu Bidang Perkawinan sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat 1 huruf a, ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan

Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, sedangkan dalam penjelasan

pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur

dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah “Pernyataan tentang sahnya

perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain.”

Itsbat nikah ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama Tahun 1975 yang

dalam pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika Kantor Urusan Agama tidak bisa

membuat duplikat akta nikah karena catatannya karena telah rusak atau hilang, maka

4

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

(46)

untuk menetapkan adanya nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan

Pengadilan Agama. Namun, aturan ini hanya berkaitan dengan perkawinan yang

dilangsungkan sebelum adanya Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya. Akan Tetapi, Pasal 7

Kompilasi Hukum Islam ternyata memberi Pengadilan Agama kompetensi absolut

yang sangat luas terhadap itsbat nikah.

Kompilasi Hukum Islam pasal 7 mengatur isbat nikah sebagai berikut:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai

Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal ini perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat

diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.5

2. Syarat-Syarat Itsbat Nikah

Itsbat nikah merupakan suatu permohonan untuk mensahkan perkawinan di

hadapan Pengadilan Agama. Bagi yang beragama Islam namun tak dapat

membuktikan perkawinan dengan akta nikah dapat mengajukan itsbat nikah

(penetapan atau pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama. Namun, Itsbat nikah

ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan hal-hal tertentu.6 Isbat nikah hanya

bisa dimohonkan jika perkawinan yang diajukan isbatnya memenuhi ketentuan yang

mencakup, diantaranya:7

5

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam.h.115

6

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak dicatat Menurut Hukum

(47)

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Hal ini berlaku bagi

perkawinan yang diselenggarakan sebelum tahun 1974.

b. Hilangnya akta nikah.

c. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1

Tahun 1974.

d. Adanya keraguan tentang sahnya atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974

3. Cara mengajukan Itsbat Nikah.

Adapun cara mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah sebagai

berikut:

1. Pemohon datang ke kantor Pengadilan Agama di wilayah kekuasaan relatif

Pengadilan Agama tersebut (wilayah tempat tinggalnya) dengan membawa

surat-surat yang diperlukan misalnya surat keterangan dari Rukun Tetangga

(RT) Rukun Warga (RW) Lurah/Kepala Desa setempat atau surat keterangan

kehilangan akta nikah dari kepolisian bila akta nikah hilang.

2. Mengajukan permohonan baik secara tertulis maupun secara lisan kepada ketua

Pengadilan Agama dengan menyampaikan sebab-sebab pengajuan permohonan.

3. Membayar uang muka biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang

perkara PA bisa mengajukan prodeo (pembebasan biaya)

7

Alimin dan Euis Nurlaelawati, Potret Administrasi Keperdataan Islam di Indonesia

(48)

4. Membawa saksi-saksi yang diperlukan. Yaitu orang yang bertindak sebagai awal

dalam pernikahan yang telah terjadi, petugas (orang) yang menikahkan, para

saksi perkawinan, orang-orang yang mengetahui adanya perkawinan itu.8

4. Akibat Hukum Itsbat Nikah

Dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat atau berkuatan hukum tetap maka berakibat pada sahnya suatu perkawinan

dan secara otomatis yang berkepentingan akan mendapatkan bukti autentik tentang

pernikahan mereka yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan

persoalan di Pengadilan Agama nantinya. Itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian

hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri.

Akibat dari itsbat nikah tersebut adalah:

a. Pemohon mendapatkan Akta Nikah.

Dimana dengan adanyanya akta nikah pengurusan administrasi sesuai hukum

Indonesia sampai keperluan warisan dan harta gono-gini dalam perkawinan.

b. Anak-anak yang lahir dapat dibuatkan akta kelahiran, apabila dalam perkawinan

tersebut telah dilahirkan anak-anak.

8

Yayan Sopyan,“Isbat Nikah Bagi Perkawinan yang Tidak Tercatat Setelah

Diberlakukannya UU No.1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.”, Kompilasi Jurnal Ahkam No.08/IV/2002 .h.71

(49)

B. Isbat Nikah Terpadu

1. Pengertian Isbat Nikah Terpadu

Itsbat Nikah Terpadu adalah sebuah program layanan keliling identitas

hukum yang memadukan itsbat nikah, penerbitan buku nikah, dan penerbitan akta

kelahiran dalam satu kesatuan pelayanan.9

Program Itsbat Nikah Terpadu (Layanan Hukum Terpadu) merupakan

inisiatif Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Mahkamah Agung), Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kementerian Agama), dan Direktorat Jenderal

Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Kementerian Dalam Negeri) untuk

mendekatkan pelayanan identitas hukum, terutama bagi masyarakat miskin dan

terpinggirkan.10

Pelaksanaan program ini adalah Pengadilan Agama (Mahkamah Agung),

KUA (Kementrian Agama) dan Disdukcapil atau Dinas Catatan Kependudukan dan

Catatan Sipil (Kementerian Dalam Negeri) yang bekerjasama dengan

Australia-Indonesia Patnership for Justice (AIPJ) dan Pusat Kajian Perlindungan Anak

(PUSKAPA) UI.

Pelayanan terpadu merupakan “pelayanan satu atap” namun bukan pelayanan

satu hari penerbitan dokumen. Dengan pelayanan terpadu ini akan memberikan

keuntungan pada masyarakat. Selain mendapatan penetapan itsbat nikah dari

9

Dokumen Layanan Terpadu identitas Hukum (Itsbat Nikah Terpadu) yang disusun oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak (PEKKA) UI salah satu lembaga yang terkait dalam pelaksanaan program Layanan Hukum Terpadu (Itsbat Nikah Terpadu).

10

(50)

pengadilan agama, tapi juga mendapatkan surat nikah dari Kantor Urusan Agama

(KUA) dan akta kelahiran dari Dinas Kependudukan Catatan Sipil yang dapat

dilakukan oleh masyarakat hanya satu kali kepengurusan. Karena antar 3 instansi ini

sudah ada koordinasi pelayanan satu pintu.11

Mekanisme pelaksanaan Itsbat Nikah Terpadu (layanan Terpadu) ini

merupakan gabungan dari pelaksanaan sidang keliling (Pengadilan Agama), layanan

diluar Kantor Urusan Agama (KUA), dan layanan keliling pebuatan akta lahir (Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil)

Adanya pelayanan terpadu ini masyarakat tidak akan banyak menghabiskan

waktu dan biaya. Pelayanan terpadu dilakukan dengan sistem sidang dan layanan

keliling. Jadi, masyarakat tidak harus mendatangi kantor Pengadilan Agama atau

dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) yang berlokasi di kota atau

kabupaten. Mereka tinggal datang ke kota kecamatan atau bahkan ke kelurahan.

Program layanan identitas hukum terpadu (itsbat nikah terpadu) ini akan

dilaksanakan di pengadilan-pengadilan agama di 20 kabupaten di bawah lima

provinsi, yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat,

dan Nusa Tenggara Timur. Dan ada 4 (empat) pengadilan yang akan dijadikan

percontohan yaitu Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Watampone,

Pengadilan Agama Girimenang dan Pengadilan Agama Kisaran.12

11

Wawancara pribadi dengan Wahyu Widiana (Senior Consultant Australia-Indonesia Partnership for Justice) pada tanggal 29 November 2013

.

12

(51)

2. Dasar Hukum Itsbat Nikah Terpadu (Layanan Identitas Hukum Terpadu)

Adapun dasar hukum dalam Itsbat Nikah Terpadu (Layanan Hukum Terpadu)

adalah sebagai berikut:

a. Undang-undang Peradilan Agama No.3 Tahun 2006 Jo Undang-undang No.7

Tahun 1989 pasal 57 ayat (3) yang mengatur mengenai asas peradilan yaitu

cepat, sederhana dan biaya ringan.

Makna yang lebih luas dari pasal diatas ini, dicantumkan dalam penjelasan

umum dan penjelasan pasal 4 ayat (2) itu sendiri. Sedangkan Undang-undang No.7

Tahun 1989 tidak ada lagi memberi penjelasan, yang ada hanyalah sekedar memberi

peringatan tentang makna dan tujuan atas asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya

ringan.

Hal ini bisa dilihat dari penjelasan umum pasal 5 alinea kelima yang

berbunyi:

“...setiap keputusan dimulai dengan Demi Keadilan berdasarkan Tuhan

Yang Maha Esa, peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan...”13

Makna dan tujuan asas ini bukan sekedar menitikberatkan unsur kecepatan

dan biaya ringan namun yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang

relatif tidak memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan

kesederhanaan hukum acara itu sendiri.14

13

(52)

b. Undang-undang No.24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Pasal 16.

Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan peristiwa penting

yang dialami seseorang pada instansi pelaksana yang pengangkatannya sesuai

dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 17

Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,

kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan

anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

Pasal 27

(1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana

setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan

Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta

<

Gambar

Tabel 4.22      Sikap Masyarakat Apabila Program Dilaksanakan Kembali.......66
Tabel 4.1.  Jumlah penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Tabel 4.2 Peserta Itsbat Nikah Terpadu
Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut penulis, kewenangan absolut Pengadilan Agama terhadap Itsbat Nikah adalah berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

Pembatasan dalam mengajukan Itsbat Nikah harus dilakukan, agar tidak ada peluang untuk menyalahgunakan keadaan dan perkawinan yang telah menyimpang dari hukum tidak terulang

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : Kajian Yuridis Pencabutan Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama Jember (Studi Penetapan Nomor

Singkatnya itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan atas perkawinan yang sah, tetapi tidak mempunyai akta

Itsbat nikah merupakan salah satu dari alternatif menyelaraskan antara hukum agama yang diyakini masyarakat dan keberlakuan hukum formal, walaupun hal ini bukan

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan sidang isbat terpadu yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama sampang telah diatur dengan peraturan yang berlaku

Sebagai contoh perkara dalam surat penetapan hakim pengadilan Agama No.126/ Pdt.P/ 2022/ PA.Srog, ketetapan hakim dalam mensahkan Permohonan Itsbat Nikah Pemohon I dan II sudah benar

Tabel 1.1 Perbedaan Kajian Riset Sebelumnya No Penelitian Terdahulu Perbedaan 1 Muhammad Rifki Ihsani UIN Walisongo Semarang “Penetapan Itsbat Nikah Massal Oleh Pengadilan Agama