• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK PEMBUKTIAN OLEH PARA PIHAK

DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dalam

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

IKA KHAIRUNNISA

NIM : 110200075

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ASPEK PEMBUKTIAN OLEH PARA PIHAK

DALAM PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dalam

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

IKA KHAIRUNNISA

NIM : 110200075

Mengetahui,

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum ( 19660303198508100)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ramlan Y. Rangkuti, MA Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum (195103171980031002) (197512102002122001)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : IKA KHAIRUNNISA

NIM : 110200075

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : ASPEK PEMBUKTIAN OLEH PARA PIHAKDALAM

PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN

AGAMA(Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota

Medan)

Dengan ini menyatakan :

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi saya tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tapa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juni 2015

(4)

i

Alhamdulillah, Segala puja dan puji hanya milik Allah SWT yang berkuasa atas segala sesuatu, kepada-Nyalah segala urusan dikembalikan dan

karena kehendak-Nyalah sehingga penulis masih diperkenankan merasakan

nikmat iman, nikmat sehat, nikmat ilmu pengetahuan dan nikmat semangat

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan

salam selalu tercurahkan kepada suri teladan hidup terbaik, Nabi Muhammad

SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya dan kepada para umatnya hingga

akhir zaman. Semoga kita dapat senantiasa menjadikan Nabi Muhammad SAW

sebagai inspirator dan panutan dalam beramal, berilmu dan berkarya. Aamiin Yaa Rabbi...

Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang

ingin menyelesaikan perkuliahanpada Strata-1. Adapun judul yang Penulis

kemukakan “ASPEK PEMBUKTIAN OLEH PARA PIHAK DALAM

PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Pada

Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)”

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka dengan kerendahan hati

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini

(5)

ii

Dalam kesempatan ini Penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan,

arahan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis ucapkan terima kasih

yang sebaik-baiknya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan IFakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Wakil Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak O.K. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas

HukumUniversitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Humselaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Syahriah S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Program

Kekhususan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Dr. Ramlan Y. Rangkuti, MA selaku Dosen Pembimbing I yang telah

membantu dan mengarahkan Penulis sehingga skripsi ini akhirnya dapat

(6)

iii

10.Bapak Alwan, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali Penulis selama Penulis

berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Staf Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Seluruh Bapak dan Ibu Dosen sebagai tenaga pendidik di Fakultas

HukumUniversitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu dan

pandanganhidup kepada Penulis selama Penulis menempuh pendidikan di

Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.

13.Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara yang telah turut

membantu dan memberi kemudahan kepada Penulis.

14.Seluruh Staf Pegawai dan Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan

yang telah memberikan izin Penulis untuk dapat melakukan penelitian dan

mengambil data sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

15.Seluruh teman sejawat stambuk 2011 terlebih kepada teman-teman Grup A

yang pertama sekali saya temui saat awal perjuangan di FH USU. Spesial

untuk Shofa, Nana, Dila Bundo, Agik, Zira, Aja, Nunu, Yogi, Stella, Nurul

dan semua teman baik yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

16.Keluarga besar BTM Aladdinsyah,SH terspesial untuk sahabat sekaligus

keluarga kecil di kampus “Kabinet Spektra” semoga ukhuwah dan kehangatan

(7)

iv

Negeri Republik Indonesia, Forum Lingkar Pena Sumatera Utara, dan

Lingkaran Penuh Berkah (Dina, Lily, Raya, Bunda Mutia) yang merupakan

wadah Penulis untuk menempa soft skill dan bertemu orang-orang yang memiliki semangat hebat dan mimpi besar.

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan dengan

segala sukadan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan

dandorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis

mengucapkan terima kasih terspesial kepada kedua orang tua Penulis tercinta

yaitu Ayahanda Arip Rahman Simanjuntak, S.E dan Ibunda Siti Nor Rahmi S,Pd,

M.M yang telah merawat, mendidik, membimbing dan memberikan segala

kebutuhan moril maupun materil bagi penulis. Terima kasih telah menjadi Ayah

dan Ibu yang selalu menginspirasi dan memotivasi anak-anaknya untuk terus

belajar dan berkarya. Semoga hidup Ayah dan Ibu senantiasa diberkahi dan

dilimpahi kebahagian oleh Allah. Saudara/i ku tercinta Doly Ahmad Tharmizi

Simanjuntak, Anggita Mawaddah Simanjuntak dan Tigor Ahmad Thabrani

Simanjuntak yang merupakan adik-adik sekaligus sahabat terbaik Penulis. Terima

kasih untuk cinta, kasih sayang dan perhatian yang telah kalian beri selama ini.

Bangga bisa menjadi kakak dari adik-adik hebat seperti kalian.

Tak lupa pula teruntuk dua motivator hidup terhebat yang telah lama

(8)

Al-v

terkhusus untuk Bou Nuraisah Simanjuntak, Amangboru Irwan Suhendri, S.Sos,

Uda Okto Wibowo Simanjuntak, Nanguda Tengku Susi, Sahal, Fauzi, Nadya,

Alya, Fathir dan Novira Suri S.I.Kom yang selalu mewarnai hari-hari penulis saat

hidup jauh dari orang tua. Juga untuk pejuang kos Senina 35A, terkhusus kak

Syarifah Lubis yang tiada lelah dan menyerah menemani penulis selama

melakukan penelitian skripsi ini.

Semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung

dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Penulis akan selalu menghargai dan mengingat segala bentuk dukungan dan

kebersamaannya.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah,

Wassalammu Alaikum Wr. Wb.

Medan, Juni 2015

Penulis

(9)

vi

Ramlan Y. Rangkuti* Yefrizawati** Ika Khairunnisa***

Permohonan itsbat nikah memiliki esensi bahwa perkawinan yang semula tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah menjadi diakui oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Pengadilan Agama Kelas I-A Medan dengan kewenangan absolutnya untuk memeriksa permohonan itsbat nikah dalam praktek menangani permohonan yang tidak dapat dikatakan sedikit. Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah dengan berbagai alasan pengajuannya sangat dipengaruhi oleh prosedur pembuktian di Pengadilan Agama.Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai apakahdasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, dan bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak.1

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi lapangan dan studi kepustakaan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.2

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa hakim memeriksa permohonan itsbat nikah berlandaskan pada dasar hukum dalam KHI yang memberikan kewenangan kepada Hakim Pengadilan Agama untuk memeriksa permohonan itsbat nikah dengan melihat alasan dan tujuan permohonan para pihak. Setelah permohonan masuk ke pengadilan selanjutnya diperiksa apakah pokok perkara dalam permohonan tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil. Prosedur pembuktian kemudian digunakan pada saat pemeriksaan syarat materil yang bertujuan untuk melihat perkawinan telah sah atau tidak dengan menggunakan alat bukti berupa surat, saksi, persangkaan dan sumpah. Pembuktian pada akhirnya akan mempengaruhi hasil penetapan/putusan hakim, di mana jika permohonan dikabulkan maka hak anak dan ibu dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Namun sebaliknya jika permohonan ditolak mengakibatkan perkawinan tidak diakui oleh negara sehingga hak anak dan ibu tidak dilindungi oleh hukum.3

Kata Kunci : Itsbat Nikah, Pembuktian, Pengadilan Agama

*

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

vii

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...9

C. Tujuan Penulisan ...10

D. Manfaat Penulisan ...10

E. Keaslian Penulisan ...11

F. Metode Penelitian ...12

G. Sistematika Penulisan ...17

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan ...19

B. Tujuan Perkawinan ...32

C. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ...37

D. Akibat Hukum Perkawinan ...51

BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG ITSBAT NIKAH A. Urgensi Pencatatan Perkawinan ...68

1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ...68

(11)

viii

1. Pengertian Itsbat Nikah...93

2. Penyebab Pengajuan Itsbat Nikah ...102

3. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Itsbat Nikah ...107

4. Prosedur Pemeriksaan Itsbat Nikah ...109

BAB IV PEMBUKTIAN OLEH PARA PIHAK DALAM

PERMOHONAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN

AGAMA

A. Kasus Posisi ...125

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memeriksa Permohonan

Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan ....133

C. Prosedur Pembuktian dalam Permohonan Itsbat Nikah di

Pengadilan Agama Kelas 1-A Medan ...155

D. Implikasi Penetapan Itsbat Nikah Terhadap Hak Anak dan Hak

Ibu ...190

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...195

B. Saran ...197

(12)

vi

Ramlan Y. Rangkuti* Yefrizawati** Ika Khairunnisa***

Permohonan itsbat nikah memiliki esensi bahwa perkawinan yang semula tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah menjadi diakui oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Pengadilan Agama Kelas I-A Medan dengan kewenangan absolutnya untuk memeriksa permohonan itsbat nikah dalam praktek menangani permohonan yang tidak dapat dikatakan sedikit. Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah dengan berbagai alasan pengajuannya sangat dipengaruhi oleh prosedur pembuktian di Pengadilan Agama.Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai apakahdasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, dan bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak.1

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi lapangan dan studi kepustakaan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.2

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa hakim memeriksa permohonan itsbat nikah berlandaskan pada dasar hukum dalam KHI yang memberikan kewenangan kepada Hakim Pengadilan Agama untuk memeriksa permohonan itsbat nikah dengan melihat alasan dan tujuan permohonan para pihak. Setelah permohonan masuk ke pengadilan selanjutnya diperiksa apakah pokok perkara dalam permohonan tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil. Prosedur pembuktian kemudian digunakan pada saat pemeriksaan syarat materil yang bertujuan untuk melihat perkawinan telah sah atau tidak dengan menggunakan alat bukti berupa surat, saksi, persangkaan dan sumpah. Pembuktian pada akhirnya akan mempengaruhi hasil penetapan/putusan hakim, di mana jika permohonan dikabulkan maka hak anak dan ibu dapat diakui dan dilindungi oleh hukum. Namun sebaliknya jika permohonan ditolak mengakibatkan perkawinan tidak diakui oleh negara sehingga hak anak dan ibu tidak dilindungi oleh hukum.3

Kata Kunci : Itsbat Nikah, Pembuktian, Pengadilan Agama

*

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(13)

1

A. Latar Belakang

Pancasila sebagai Philosophie of Grondslag menjadi pandangan dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila lahir sebagai

kristalisasi nilai-nilai luhur yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat

Indonesia, kemudian dituangkan dalam lima butir sila yang saling berkaitan satu

dengan yang lain. Ibarat bangunan maka Pancasila berbentuk piramid, sebagai

lantai dasarnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagai sila pertama mengamanatkan pengakuan bangsa Indonesia akan eksistensi

Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya. Oleh karena itu sebagai umat

yang mengakui Tuhan, warga negara Indonesia harus taat kepada perintah

Tuhan-nya. Bagi orang-orang yang dianggap mampu,5

4

Sila Pertama Pancasila Sebagai Fondamen Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Thamrin Dahlan m.kompasiana.com/post/read/467933/3/sila-pertama-pancasila-sebagai-fondamen-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara.html, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 15.43 WIB).

5

Mampu mengandung arti memiliki kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan untuk memenuhi biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini merupakan persayaratan suatu perkawinan. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2007), h.44, definisi mampu dapat dilihat juga dalam Pasal 5 UUP 1/1974 mengenai permohonan poligami bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami adalah apabila suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, juga di dalam Pasal 55 KHI beristri lebih dari seorang hanya dapat dilakukan apabila suami mampu berlaku adil.

Tuhan memerintahkan untuk

melaksanakan perkawinan sebagai upaya membentengi diri dari segala hal-hal

yang negatif dan mengundang dosa. Sebagai suatu perintah Tuhan, tentunya

perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan rohani/agama. Selain

(14)

manusiadapat memperoleh keturunan sehingga perkawinan bukan saja

mempunyai unsur rohani/agama tetapi juga memiliki unsur lahir/jasmani.6

Perkawinan juga sangat erat kaitannya dengan status manusia sebagai

makhluk sosial. “A human being is zoon politicon, in other words is social being.”7(setiap manusia adalah zoon politicon, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial).Kutipan tersebut merupakan salah satu pendapat dari seorang

filsuf Yunani,Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang

pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya. Zoon politicon merupakan panggilan dasar manusia, bahwa manusia pada hakikatnya selalu memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Lebih

lanjut lagi, seorang ahli sosiologi Indonesia Nana Supriatna mengatakan “Manusia

adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki kecenderungan menyukai

dan membutuhkan kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut

kebutuhan sosial (social needs).”8

Kecenderungan tersebut lahir karena secara kodrati manusia tidak dapat

hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan manusia lain. Untuk

itulah manusia membutuhkan lembaga perkawinan sebagai pemenuhan kebutuhan

hidup baik rohani maupun jasmani di samping juga untuk memenuhi naluri sosial

6

Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1966), h.2.

7

Lihat Aristoteles, Politics, dalam John Berseth, Dover Publication, New York : 2000. Aristoteles tidak memisahkan politik dan masyarakat. Meskipun, zoon politicon diartikan masyarakat berada diantara kedua hubungan politik dan sosial.

8

(15)

bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut telah tertuang di dalam Q.S. Ar-Ruum ayat

21 yang artinya adalah sebagai berikut :

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu

istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

bagi orang yang berfikir.”

Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan manusia harus diatur agar

tercapai ketertiban dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu sebagai suatu

organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, negara harus membuat

rangkaian peraturan yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban tersebut,

termasuk mengenai perkawinan.9 Hal ini sejalan dengan Teori Perjanjian

Masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes bahwa, “sekelompok manusia

yang tadinya hidup sendiri diadakan perjanjian untuk mengadakan suatu

organisasi yang dapat menyelenggarakan dan menertibkan kehidupan bersama

sehingga terbentuklah negara”.10

Negara Indonesia sebagai negara yang menerapkan gagasan negara

kesejahteraan (wellfare state), sebagaimana tertuang didalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada alinea ke-IV

terdapat salah satu visi negara yang mengekspresikan gagasan negara Negara hadir untuk melindungi hak asasi

manusia dan memenuhi segala kepentingan rakyatnya yang dilakukan melalui

alat-alat negara yaitu pemerintah.

Oktober 2014 pukul 15.45 WIB)

10

(16)

kesejahteraan yaitu “...untuk mewujudkan kesejahteraan umum...”.Kesejahteraan

umum tersebut didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan material,

spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi

sosialnya”.11

Bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur segala kebutuhan

rakyatnya terkhusus dalam bidang perkawinan terbukti dengan dilahirkannya

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP 1/1974) dengan segala

aturan terkait. Dengan lahirnya UUP 1/1974 maka diadakanlah suatu bentuk

unifikasi hukum perkawinan di Indonesia di mana sebelumnya masing-masing

golongan penduduk di Indonesia memiliki pengaturan tersendiri dalam

melaksanakan perkawinan.

Perkawinan sebagai suatu bentuk pemenuhan kesejahteraan spiritual

kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia yang berbunyi “setiap orang berhak membentuk

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Oleh karena

itu sudah seharusnya negara melalui pemerintah sebagai aktor utama

pengakselerasi kesejahteraan sosial, mengatur dan mengakomodir kebutuhan

perkawinan bagi warga negara Indonesia.

12

11

Artikel Dinamika Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Muhammad Tavip, hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Jurnal-Tavip.docx, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 14.09 WIB).

12

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan, Zahir Trading, 1975), h.4.(selanjutnya disebut buku I)

Salah satu semangat penting yang diusung dalam

pembentukan UUP 1/1974 adalah mengenai pencatatan perkawinan yang

(17)

penting, tetapi juga menjelaskan bagaimana suatu pencatatan perkawinan

dilaksanakan.13

Pasal 2 ayat (2) UUP 1/1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa

tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Bahkan

berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adanya

suatu perkawinanhanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah

yang dicatat dalam register. Lebih lanjut ditegaskan, akta perkawinan merupakan

satu-satunya alat bukti perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara

hukum tidak ada atau belum ada perkawinan.Pencatatan perkawinan merupakan

upaya adminisratif yang harus dilakukan agar suatu perkawinan menjadi sah di

mata hukum. Masing-masing pasangan suami istri setelah melakukan pencatatan

perkawinan akan mendapatkan buku nikah dan secara otomatis mendapatkan

legalitas, perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas perkawinan mereka

termasukterhadap akibat yang timbul kemudian, seperti hak dan kewajibanantara

suami dan istri secara timbal balik, harta bersama (gono-gini), status anak, dan

sebagainya.14

Maksud dan tujuan utama peraturan perundang-undangan mengatur

tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan ketertiban

administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum

negara yang bersifat preventifuntuk mengkoordinir masyarakat demi terwujudnya

13

Amiur Nazaruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/ 1974 sampai KHI, (Jakarta, Kencana, 2006), h.122.

14

(18)

ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah

perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik.15

Suatu kenyataan yang masih sering dijumpai dalam realita kehidupan

masyarakat adalahmasih banyak yang melangsungkan perkawinan tanpa

dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang

beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi bagi selain Islam) dengan berbagai

alasan.16

Dalam hukum perkawinan Islam, pencatatan perkawinan merupakan

suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat secara defacto atau dalam bentuk konkrit tidak tercatatnya perkawinan melahirkan dampak yang

tidak sederhana. Karena perkawinan merupakan perbuatan yang bersentuhan

secara langsung dengan aspek sosial, ekonomi, kultur dan tentu saja hukum.

Selain itu, menurut T.Jafizham dalam Islam perkawinan bukanlah suatu hubungan

yang terjadi secara diam-diam. Perkawinan menurut Islam harus diumumkan

secara terbuka, bahkan dibenarkan adanya pelaksanaan upacara perkawinan.

Beberapa alasan tersebut antara lain ketidakmampuan dalam membayar

biaya pencatatan nikah, secara sengaja melakukan penyelundupan hukum,

kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi akta nikah, sudah merasa cukup

dengan sahnya menikah secara agama, kelalaian petugas pencatat nikah, kurang

ketatnya pengaturan pencatatan nikah dan lain sebagainya.

17

15

Muchsin, “Problematika Perkawinan Tidak Tercatat Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Materi Rakernas Perdata AgamaMahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h.3.

16

Abdil Baril Basith, “Pihak-Pihak dalam Permohonan Pengesahan Nikah”, Jurnal Pengadilan Agama Muara Labuh, h.3.

17

(19)

Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

yang intinya bahwa instansi pelaksana yang melaksanakan urusan administrasi

kependudukan termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki kewenangan

dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa

penting yang dialami penduduk terkait mengenai pencatatan nikah, talak, cerai

dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah tidak

sekadar pernyataan bahwa perkawinan telah sah dimata hukum, akan tetapi

keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama

perkawinan. Bagi perkawinan yang belum dicatatkan atau belum tercatat di

Kantor Urusan Agama (KUA), berdasarkan Pasal 7 ayat (2) KHI dapat ditempuh

solusi hukum yaitu dengan mengajukan permohonan pengesahan perkawinan

(itsbat nikah) untuk menghindari dampak negatif atas perkawinan tidak tercatat

tersebut. Permohonan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana

mereka bertempat tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan

perkawinan.

Pengajuan itsbat nikah memiliki esensi bahwa pernikahan yang semula

tidak dicatatkan menjadi tercatat dan diakui oleh negara serta memiliki kekuatan

hukum.18

18

Prosedur Pengesahan Pernikahan Sirri,

Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah menjadi penentu

sebagai gerbang utama terbukanya data-data administratif lainnya seperti akta

nikah, akta kelahiran anak, hak waris dan lain sebagainya. Itsbat nikah pada

hakikatnya hanya untuk perkawinan yang diadakan sebelum lahirnya UUP

(20)

1/1974, namun pengaturan ini dikecualikan oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) di mana perkawinan sesudah lahirnya UUP dapat juga dimintakan

itsbatnya ke Pengadilan Agama.

Pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa

permohonanitsbat nikah. Hal ini tertuang dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan dalam penjelasan

Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama Kelas I-A Medan

menempati urutan ketiga terbanyak diajukan setelah cerai talak dan cerai gugat

dan kuantitas permohonan yang masuk tidaklah dapat dikatakan sedikit. Pada

tahun 2014 misalnya, jumlah permohonan yang masuk hingga penghujung tahun

mencapai 96 (sembilan puluh enam) kasus. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa di

Kota Medan masih banyak perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta

nikah dan keinginan masyarakat untuk mengesahkan perkawinan tersebut sangat

besar.

Menjadi suatu hal yang dilematis bagi pengadilan agama dalam

memeriksa permohonan ini. Di satu sisi, hakim demi melindungi hak-hak yang

tercederai sebagai akibat tidak tercatatnya suatu perkawinan harus mengabulkan

permohonan para pelaku pelanggaran administrasi yang dimungkinkan

melakukan penyelundupan hukum. Indikasi upaya penyelundupan hukum ini

memaksa hakim untuk terus berhati-hati agar jangan sampai melegalkan

perkawinan yang tidak sah secara hukum negara. Di sisi lain itsbat nikah sebagai

(21)

lebih mempermudah sebagai upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. Hal

ini dikarenakan itsbat nikah merupakan satu-satunya upaya legal untuk

mencatatkan perkawinan. Kemudahan pelayanan tersebut ditandai dengan

lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2014

Tentang Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah

Dalam Pelayanan Terpadu, yang ditujukan kepada pengadilan tingkat pertama di

lingkungan peradilan agama se-Indonesia.

Penentuan dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut sangat

ditentukan pada proses pembuktian di pengadilan agama. Ketika berbicara

mengenai itsbat nikah, hakim dihadapkan pada model pembuktian yang sama

untuk semua alasan permohonan yaitu keyakinan hakim harus bermuara pada

suatu kepastian sah atau tidaknya perkawinan yang pernah dilakukan yaitu apakah

rukun dan syarat perkawinan pada saat pelaksanaannya sudah terpenuhi atau

tidak dan meyakini bahwa perkawinan tersebut tidak memiliki halangan

perkawinan. Dengan alasan permohonan para pihak yang bermacam-macam akan

menuju suatu kesimpulan nikah tersebut sah secara agama atau tidak.

Untuk itulah, penelitian ini mencoba membahas dan membandingkan

model-model pembuktian dan cara pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah

di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan selama tahun 2014 dan 2013 dengan

berbagai alasan permohonannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat

sejauh mana peran hakim dalam memberikan pelayanan dalam permohonan itsbat

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok

yang akan dibahas antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan

itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

2. Bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

3. Bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak

anak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya,

maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan, adapun

yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:

1) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan

itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

2) Untuk mengetahui prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

3) Untuk mengetahui implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak

anak.

D. Manfaat Penelitian

(23)

a. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang bertalian

dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta hukum perdata

mengenai pembuktian dalam permohonan itsbat nikah.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang pembuktian dalam permohonan itsbat

nikah.

3) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian

sejenis untuk tahap berikutnya.

b. Manfaat praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang berkaitan

dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam

membuat regulasi mengenai itsbat nikah terkhusus mengenai masalah

pembuktiannya.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat,

khususnya bagi para pihak yang ingin mengajukan permohonan itsbat nikah.

E. Keaslian Penelitian

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak dalam Permohonan Itsbat Nikah di

(24)

dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang

terjadi di masyarakat, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut

belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.

Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.

Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pengelompokkanjenis-jenis penelitian tergantungpada pedoman dari sudut

pandang mana pengelompokkan itu ditinjau, ini berkaitan dengan sifat data dan

cara atau teknik analisis data yang digunakan. Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini

termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang langsung bertujuan untuk

memberikan data seteliti mungkin tentang model pembuktian dan proses

pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A

Medan

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan

yuridis-normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan

melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang

menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan

(25)

pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum

yang berkaitan dengan objek yang diteliti.19

a. Data Primer 3. Lokasi Penelitian

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan sebagai Pengadilan di wilayah Kota

Medan sepanjang tahun 2014 menerima 96 permohonan itsbat nikah dengan

hasil penetapan hakim berupa permohonan ditolak dan dikabulkan. Banyaknya

permohonan tersebut maka peneliti memilih lokasi Pengadilan Agama Kelas I-A

Medan untuk dijadikan lokasi penelitian.

4. Sumber Data

Data yang diolah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Data primer adalah data yang diambil langsung dari subjek penelitian dan

berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. Sumber data primer ini berupa

keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau instansi-instansi terkait

dengan objek yang diteliti secara langsung, hal ini dimaksudkan untuk lebih

memahami maksud, tujuan dan dan arti dari data sekunder yang ada. Dalam

penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara Hakim Pengadilan Agama

kelas I-A Medan yang memeriksa dan memberikan penetapan atas permohonan

itsbat nikah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.

Adapun Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan yang menjadi narasumber

dalam penelitian ini yaitu :

19

(26)

1) Drs. H. Darmansyah Hasibuan, SH, MH;

2) Drs. M. Yusuf Abdullah;

3) Drs. Abdurrakhman, SH, MH;

4) Drs. Bachtiar.

b. Data Sekunder

Data sekunder sebagai data utama dalam penelitian ini didapat melalui

penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca, mempelajari literatur-literatur,

peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Undang-Undang No.1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, beserta aturan pelaksananya, Undang-Undang

No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jis Undang-Undang

No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam,

Hukum acara yang berlaku di pengadilan agama beserta peraturan pelaksana

lainnya. Selanjutnya dibutuhkan ijtihad dan fatwa ulama mengenai

perkawinan yang relevan dengan penelitian ini.

Selain itu untuk melihat model pembuktian dalam permohonan itsbat nikah,

dalam penelitian ini juga dianalisis permohonan itsbat nikah oleh

Hakim-Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. Permohonan yang diteliti adalah

permohonan sepanjang tahun 2013 dan 2014 dan sebagai samplenya diambil

(27)

dan 1 (satu) permohonan yang ditolak. Sedangkan jenis permohonan tersebut

yaitu 6 (enam) berjenis voluntair dan 1 (satu) berjenis konstituir. 2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum berupa publikasi tentang

hukum yang isinya menjelaskan dan menganalisis bahan hukum primer.20

Kagunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti

semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah.21

3) Bahan hukum tersier

Buku, artikel,

rancangan undang-undang, jurnal, hasil penelitian terdahulu digunakan

sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini.

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder.22

a. Studi lapangan (field research). Studi lapangan adalah salah satu proses kegiatan observasi pengungkapan fakta –fakta dalam proses memperoleh

keterangan atau data dengan cara terjun langsung ke lapangan. Studi lapangan Bahan hukum tersier yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) dan Kamus Hukum.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan

untuk mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah :

20

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta,Kencana, 2008), h.140. 21

Ibid. h.155. 22

(28)

adalah. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang

dilakukan melalui wawancara.

b. Studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan

dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat

diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan

ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku

tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun

elektronik lain.23

6. Alat Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dipergunakan untuk memperolah data

sekunder dalam penelitian ini.

Alat pengumpul data menentukan kualitas data dan kualitas data

menentukan kualitas penelitian, karena itu, alat pengumpul data harus mendapat

penggarapan yang cermat.24

Menurut Lexy J. Moleong, analisa data adalah proses mengorganisasikan

dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang

disarankan oleh data. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah

analisa data secara kualitatif. Data semacam ini diperoleh melalui penelitian yang Alat pengumpul data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman

wawancara.

7. Analisa Data

23

StudiKepustakaan,

24

(29)

menggunakan pendekatan kualitatif, atau penilaian kualitatif. Keberadaan data

bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman

kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan

pertanyaan terbuka, atau pemaknaan peneliti terhadap teori.25

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian data yang berhasil

dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis serta hasilnya digunakan untuk

memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk memudahkan pembahasan

skripsi ini, maka akan dibuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang

keseluruhannya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan

di antara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran ini atau

sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan

skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga

membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang

permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk

memberikan penjelasan terhadap itsbat nikah dan pembuktiannya di pengadilan

agama.

25

(30)

Bab II tentang tinjauan umum terhadap hukum perkawinan di Indonesia.

Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia,

yang meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat sahnya

perkawinan dan akibat hukum perkawinan baik menurut UUP 1/1974 maupun

menurut KHI.

Bab III tentang ketentuan umum tentang itsbat nikah. Pada bab ini

diuraikan materi tentang pencatatan perkawinan meliputi urgensi pencatatan

perkawinan yang ditinjau lebih jauh dalam hal dasar hukum, prosedur, tujuan dan

akibat hukum pencatatan perkawinan. Selanjutnya juga diuraikan pengertian itsbat

nikah, penyebab pengajuan itsbat nikah, pihak-pihak yang dapat mengajukan

beserta prosedur pengajuan itsbat nikah.

Bab IV tentang pembuktian oleh para pihak dalam permohonan itsbat

nikah di pengadilan agama. Pada bab ini diuraikan analisis mengenai dasar

pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan

Agama Kelas I-A Medan, prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, serta implikasi penetapan itsbat nikah

terhadap hak anak dan hak ibu.

Bab V yang merupakan penutup dari penelitian.Pada bab ini memuat

tentang kesimpulan terhadap keseluruhan isi dari penelitian ini. Dalam bab ini

ditarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab terdahulu sehubungan

tentang aspek pembuktian itsbat nikah di pengadilan agama dan mencoba

(31)

19

E. Pengertian Perkawinan

Membicarakan mengenai perkawinan seolah tidak ada habisnya.

Perkawinan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Melalui

perkawinan lahir hak dan kewajiban yang sangat beragam baik untuk ayah dan ibu

sebagai orangtua, maupun bagi anak dan kelompok masyarakat lainnya.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum juga menimbulkan tanggung jawab antara

suami, istri dan anak, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang

mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Dalam Al-Qur’an

kurang lebih 70 (tujuh puluh) ayat yang membahas masalah keluarga dan

perkawinan. Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia

dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah yang diridhoi Allah SWT.26

Perkawinan adalah sebuah ikatan yang sah dan suci antara dua insan

manusia berbeda jenis untuk membentuk sebuah keluarga berlandaskan pada

kasih dan sayang. Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang pada

akhirnya secara luas akan membentuk sebuah negara. Keluarga dapat diibaratkan

sebagai sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga

baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak,

masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi

26

(32)

sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang terbaik. Tidak

ada umat tanpa keluarga, tidak tercipta masyarakat tanpa keluarga.27

Secara etimologi perkawinan berasal dari kata kawin, yang kemudian

diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata

kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi

pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara

laki-laki dan perempuan sebagai suami istri.

Begitu

penting dan sentralnya fungsi suatu perkawinan dalam masyarakat, maka

pelaksanaannya pun harus benar-benar selaras dan sejalan dengan ketertiban

hukum dalam masyarakat.

28

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.29Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan

al-dammuwa al-jam’u atau ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.30

27

Mahmud Muhammad Jauhari, akhawat al muslimat wa Bina Usrah al-Qur’anyah, Terjemahan Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayanti, Membangun Keluarga Qur’ani, Panduan untuk Wanita Muslimah, (Jakarta, Amzah, 2005), h.3.

28

W J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 453.

29

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur’an, 1973), h. 468.

30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, h.38.

Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa

Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata

(33)

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berdasarkan pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu ikatan dapat

diidentifikasikan sebagai perkawinan apabila tujuan yang ingin dicapai adalah

membentuk keluarga yang bahagia. DalamUUP 1/1974 perkawinan tidak hanya

berbicara mengenai hubungan perdata suami istri, tetapi juga berbicara mengenai

hubungan yang bersifat lahir dan bathin menuju kebahagiaan yang berlandaskan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selanjutnya dalam Pasal 2 KHI juga diatur bahwa:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaituakad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu

untuk melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,

baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.

Menurut Sayuti Thalib :

“Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk

hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih

mengasihi, tentram dan bahagia”.31

31

(34)

Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik

yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan :

“perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan

wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh

kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.”32

“Perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita

yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”. Selanjutnya jika merujuk pada pendapat para ahli, R. Soetojo

Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit

dan Melis, menyatakan bahwa :

33

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Oleh karena itu yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu hubungan

hukum antara perempuan dan laki-laki yang didasari atas rasa cinta kasih menuju

kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perkawinan lahir

pula hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, hubungan hukum

perkawinan harus dilindungi oleh landasan hukum yang kuat agar pelaksanaan

hak dan kewajiban tersebut dapat berjalan dengan baik dan tertib.

Sedemikian luas pengaruh perkawinan maka ketika berbicara mengenai

perkawinan setidaknya harus dilihat dari tiga segi pandangan :

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian.

Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 21 yang artinya berbunyi “perkawinan adalah

32

Ibid, h.42. 33

(35)

perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitssaqan ghalidzan”.34

a. cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan

akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu

merupakan suatu perjanjian karena adanya:

b. cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur

sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.35

2. Perkawinan dilihat dari segi sosial.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum

bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan

yang lebih dihargai dari mereka yang belum/tidak menikah.36

3. Pandangan perkawinan dari segi agama

Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci.

Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi

pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah.37

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan Sebagaimana diuraikan

dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 1 yang artinya adalah :

34

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bogor, PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h.81.

35

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.47.

36

Ibid. h.48. 37

(36)

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”38

1. Hukumnya beralih menjadi sunnah.

Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana

hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan 'illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.

Dengan 'illah seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka

baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.39

2. Hukumnya beralih menjadi wajib.

Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat

mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada

perbuatan maksiat, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin.40

3. Hukumnya beralih menjadi makruh.

Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan

belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa

38

Departemen Agama RI, Op. Cit, h.77. 39

Sayuti Thalib, Op.Cit, h.49 40

(37)

kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk

kawin.41

4. Hukumnya beralih menjadi haram.

Dengan 'illahapabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-laki

itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan

dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 24 dan ayat 25 serta dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 231.

Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini

seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau

memperdayainya sebagai ketentuan ayat-ayat yang bersangkutan tetapi menurut

perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat

penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.42

1. Asas kesukarelaan

Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang

pria dan seorang wanita yang mengandung hubungan keperdataan. Asas-asas

hukum perkawinan Islam secara umum adalah kesukarelaan, persetujuan kedua

belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk

selama-lamanya, dan monogami terbuka yang akan dijelaskan sebagai berikut :

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam.

Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga

41

Ibid. 42

(38)

antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi

perkawinan Islam.43

2. Asas persetujuan kedua belah pihak

Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dariasas

yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan

perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua

atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan

sebagaipersetujuan.

Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa Khansa` bintu Khidam

Al-Anshariyyah RA mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki

ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan

perkaranya kepada Nabi Muhammad SAW, hingga akhirnya beliau membatalkan

pernikahannya.44

Jika calon suami atau calon istri tidak memberikan pernyataan setujunya

untuk kawin, maka mereka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya

dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari

keadaan tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya yang dalam istilah

Islam disebut akil baligh.

.Hadist nabi tersebut mengatakan bahwa tanpa persetujuan

pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran

yang sehat dan bukan karena paksaan.

45

43

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Radja Grafindo Persada, 2004), h.139.

44

HR. Al-Bukhari No. 5138. 45

(39)

3. Asas kebebasan memilih pasangan

Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam sunnah Nabi.46

Diceritakan oleh Ibnu Majah bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama

Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh

ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan

itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan

perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya

perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan

orang lain yang disukainya.47

4. Asas kemitraan suami istri

Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih

pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.

Dalam beberapa hal kedudukan suami istri adalah sama, namun dalam

beberapa hal berbeda.48Asas kemitraan suami istri dengan tugas dan fungsi yang

berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal dan pembawaan). Suami menjadi

kepala keluarga sedangkan istri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah

tangga.49

5. Asas untuk selama-lamanya

Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan

dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih

sayang selama hidup yang terdapat dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21. Karena asas ini

pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk

46

Ibid.

47

HR. Ibnu Majah nomor 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimakumullahu dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64). Hadist ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.

48

Q.S. An-Nisaa ayat 34 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 187. 49

(40)

senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masyarakat Arab

Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi

Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-lamanya tanpa diperjanjikan

jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih

sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.50

6. Asas monogami terbuka

Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun

dalam hal-hal tertentu dibolehkan berpoligami. Terjemahan Q.S. An-Nisa’ ayat 3

mengatakan bahwa laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang istri. Syarat

utamanya adalah bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Dalam Q.S. An-Nisa’

ayat 129 Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku

adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan

darurat, agar terhindar dari dosa.51

1. Asas bahagia dan kekal

Selain asas-asas di atas juga di kenal asas-asas yang terdapat dalam UUP

1/1974 yakni sebagai berikut :

Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spritual dan material.

50

Ibid.

51

(41)

2. Asas pencatatan perkawinan

Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya,

disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan berupa suatu

akta resmi.

3. Asas monogami

Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan

agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih

dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari

seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan,

hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh pengadilan.

4. Asas kematangan jiwa raga

Undang-undang ini menganut asas bahwa calon suami istri itu harus telah

matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan

mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu,

perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan seperti batas

(42)

kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal itu, maka UUP 1/1974

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19

(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

5. Asas mempersulit perceraian

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus

dilakukan di muka sidang pengadilan.

6. Asas keseimbangan

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan

diputuskan bersama oleh suami-istri.52

Konstitusi telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. Namun

sejatinya hak yang diberikan tersebut harus diimbangi dengan pelaksanaan

perkawinan yang sah tidak hanya secara agama namun juga secara hukum. Karena

perkawinan melahirkan banyak konsekuensi yang hanya bisa terakomodir apabila

perkawinan tersebut dicatatkan sehingga memiliki kepastian hukum. Konsekuensi

perkawinan adalah sebagai berikut:

52

(43)

1. Konsekuensi yuridis

Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan ini merupakan lembaga yang harus

diakui oleh hukum sebagaimana harus pula diakui oleh masyarakat, sehingga

dijamin keutuhan dan keberlangsungannya dalam sebuah tatanan kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

2. Konsekuensi biologis

Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan memberikan kebebasan untuk

berhubungan seksual yang kemudian melahirkan pula hubungan-hubungan

lain kaitannya dengan akibat dari hubungan itu berupa anak, dan lain

sebagainya.

3. Konsekuensi sosial

Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan terbentuknya

sruktur sosial baik keluarga inti maupun keluarga samping yang melahirkan

pranata sosial di dalamnya, sebagai cikal bakal sebuah masyarakat.

4. Konsekuensi politis

Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan dapat berimplikasi pada status

kewarganegaraan, indikasi kedewasaan, status marital demografis, dan

(44)

5. Konsekuensi ekonomis

Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan adanya

pernafkahan, persatuan pendapatan/penghasilan, hubungan kewarisan dan

sebagainya.53

F. Tujuan Perkawinan

Perkawinan yang melahirkan konsekuensi sebagaimana disebutkan diatas

adalah perkawinan yang sah secara agama maupun secara hukum, dengan artian

adanya pencatatan perkawinan. Hilangnya konsekuensi ini menandakan adanya

pihak-pihak yang dirugikan yaitu perempuan/istri dan anak-anak.

Antara semua anggota keluarga satu sama lainnya memiliki hubungan

timbal balik yang tidak terpisahkan. Dalam keluarga suami dan istri merupakan

bagian inti, hubungan mereka mencerminkan bagaimana satu manusia dengan

manusia yang lainnya berbeda jenis kelamin bersatu membentuk kesatuan untuk

mempertahankan hidup dan menciptakan keturunan yang sesuai dengan perintah

agama dan cita-cita bangsa, sehingga bisa dibayangkan jika tanpa suami ataupun

istri keluarga tidak dapat terbentuk dan masyarakat pun tidak akan pernah ada

untuk membentuk kesatuan yang lebih besar yaitu suatu negara. Hal ini

memperlihatkan betapa pentingnya perkawinan dalam tatanan kehidupan manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tujuan diartikan sebagai

arah; haluan (jurusan)yang dituju; maksud; tuntutan (yang dituntut).54

53

Aam Hamidah, Menakar Yuriditas Sidang Itsbat di Luar Negeri,

Tujuan

(diakses 5 Januari 2015 pukul:10.42 WIB).

54

(45)

adalah cita-cita atau impian yang hendak diraih atas suatu perbuatan yang telah

atau akan dilakukan. Semua individu yang sudah memasuki kehidupan berumah

tangga pasti menginginkan terciptanya suatu rumah tangga yang bahagia,

sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia maupun

akhirat nantinya. Tentu saja dari keluarga yang bahagia ini akan tercipta suatu

masyarakat yang harmonis, rukun, damai, adil dan makmur.

Dalam konsep perkawinan Islam, tujuan suatu perkawinan dapat dilihat

dalam sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan hadist. Ada beberapa tujuan dari

disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, diantaranya adalah:

1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah agar dapat melanjutkan

generasi yang akan datang.Hal ini terlihat dari isyarat Q.S. An-Nisaa ayat 1

yang artinya berbunyi :

“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

menjadikanmu dari yang satu daripadanya, Allah menjadikan

istri-istri;dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak,

laki-laki dan perempuan”.55

2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan hidup

dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar-Rum

ayat 21 yang artinya berbunyi yaitu :

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan ketenangan

padanya dan menjadikan diantaramu rasa cinta dan kasih sayang.

55

(46)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir.”56

3. Untuk menenangkan pandangan mata dan menjaga kehormatan diri,

sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang

dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi:

“Dari Abdullah bin Masud, Rasullulah SAW berkata: Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandang (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya. (H.R. Bukhari dan Muslim)”.57

1. Menenteramkan jiwa.

Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:

Bila telah terjadi akad nikah, istri merasa jiwanya tenteram karena ada

yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga. Suami

pun merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga,

tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam

menghadapi berbagai persoalan.

2. Memenuhi kebutuhan biologis.

Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada

tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan

kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi

penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

56

Ibid,h.406. 57

(47)

3. Latihan memikul tanggung jawab.

Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan

tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggung

jawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk

kehidupan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama

lain.58

Maksud pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga dan

menciptakan keluarga sakinah yang ditandai dengan adanya kebaikan dalam

keluarga tersebut sebagaimana diajarkan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 19, serta

diliputi dengan suasana “sakinahmawaddah warahmah” yang ditentukan dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21.59

1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna;

Sejalan dengan itu, menurut Pasal 3 KHI perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah

dan rahmah. Artinya tujuan perkawinan itu adalah:

2. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan;

3. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara

kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri), yang

mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada

bertolong-tolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.60

Tujuan perkawinan menurut UUP 1/1974 adalah membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan

58

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003), h.13-21.

59

Sudarsono, Op.Cit, h.9. 60

(48)

demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang

ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Namun karena keluarga atau rumah tangga

itu berasal dan terbentuk dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu

itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan

perkawinan karena pada dasarnya tujuan merupakan titik tuju bersama yang akan

diusahakan untuk dicapai secara bersama-sama pula.

Kebahagiaan sebagaimana yang menjadi tujuan perkawinan menurut UUP

1/1974 itu pada dasarnya bersifat relatif dan subyektif, tetapi adanya ukuran atau

patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu

merupakan keluarga yang bahagia.61Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila

memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan yang bersifat jasmani dan

kebutuhan yang bersifat rohani. Kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti: papan,

sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan yang

bersifat rohani, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya

sendiri.62Keluarga merupakan keluarga bahagia bila dalam keluarga itu tidak

terjadi perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan

dengan baik tanpa perselisihan atau pertengkaran-pertengkaran yang berarti (free from quarelling).63

Tujuan perkawinan yang lain selain membentuk keluarga bahagia, juga

bertujuan lain yaitu bersifat kekal. Kekal dalam hal ini mengandung arti : (1)

berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan

61

Cholil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya, Usaha Nasional, 1994), h.15.

62

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.62. 63

(49)

merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri saling membantu untuk

mengembangkan diri.64

G. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan

itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali

dipisahkan karena kematian.

UUP 1/1974 dan KHI menentukan di dalam pasal-pasalnya mengenai

persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar

Referensi

Dokumen terkait

Majelis hakim dalam memenuhi suatu permohonan itsbat nikah hendaknya melakukan penelusuran yang jelas mengenai alat bukti dan saksi yang diajukan pemohon agar terhindar dari

Bagi yang beragama Islam, namun tidak dapat membuktikan terjadinya pernikahan dengan akta nikah, maka dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan

Menurut penulis, kewenangan absolut Pengadilan Agama terhadap Itsbat Nikah adalah berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Itsbat Nikah adalah sebuah proses penetapan Pernikahan dua

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada pelaksanaan program Itsbat Nikah Terpadu Pengadilan Agama Cibinong yang dilaksanakan di Kecamatan

Diharapkan pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Rengat Kabupaten Indragiri Hulu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapakn oleh Undang-Undang Perkawinan dan

Adapun terkait dengan alasan mendesak hakim Pengadilan Agama Wonosari yang mengabulkan permohonan dispensasi nikah dengan alasan bukan karena hamil di luar nikah,

Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta, Kencana, 2007), h.44, definisi mampu dapat dilihat