• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Pembuktian dalam Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Kelas 1-A Medan

Pemeriksaan syarat materil dalam permohonan itsbat nikah sejatinya adalah untuk melihat apakah suatu perkawinan sah atau tidak. Indikatornya adalah bahwa perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan serta tidak memiliki halangan perkawinan. Untuk memperoleh keyakinan hakim akan kedua hal tersebut, maka diperlukan sebuah proses yang dapat memberikan kepastian telah terjadinya suatu perkawinan yang sah. Proses tersebut dinamakan dengan proses pembuktian sebagai suatu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi.

Saat suatu permohonan itsbat nikah diajukan dan diterima oleh Pengadilan Agama Kelas I-A Medan maka pertama sekali akan diperiksa syarat formil dari permohonan tersebut. Setelah syarat formil dari sebuah permohonan terpenuhi maka hakim akan menyatakan bahwa permohonan tersebut diterima dan selanjutnya akan diperiksa unsur materil dari permohonan tersebut yang akan berujung pada apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak.

Secara sederhana permohonan itsbat nikah disebut sebagai permohonan membuktikan untuk memperoleh bukti. Maksudnya, membuktikan di muka pengadilan bahwa sebuah perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan serta tidak memiliki halangan perkawinan yang tujuannya adalah untuk memperoleh bukti atas perkawinan para pihak yang telah dilakukan

sebelumnya.252 Kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan majelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu permohonan itsbat nikah atau dengan pengertian lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan peristiwa perkawinan atas permohonan itsbat nikah yang diajukan. Hal tersebut mengandung suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka harus membuktikannya.253

Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata “bukti” jika mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” maka berarti proses, perbuatan, cara membuktikan.254

1. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

Dapat disimpulkan bahwa pembuktian berarti suatu cara atau proses untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa, dalam hal permohonan itsbat nikah maka yang ingin dibuktikan adalah kebenaran telah terjadinya suatu perkawinan.

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengatakan bahwa membuktikan mengandung beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis yakni sebagai berikut :

252

Wawancara dengan Darmansyah, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015.

253

Wawancara dengan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015, melihat juga wawancara dengan Yusuf , Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg yang berbunyi “Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak atau menyebut suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.

254

2. Membuktikan dalam arti konvensional adalah memberikan kepastian nisbi atau relatif sifanya.

3. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang peristiwa yang diajukan.255

Berdasarkan doktrin ini dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam permohonan itsbat nikah dikategorikan sebagai pembuktian dalam arti yuridis. Pembuktian dalam arti yuridis pada dasarnya tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena adanya kemungkinan bahwa kesaksian dan/atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan. Namun karena permohonan itsbat nikah kebanyakan tidak memiliki bukti lawan karena berbentuk voluntair maka dituntut keaktifan hakim untuk menemukan kebenaran tidak hanya formil namun juga materil.

Tujuan dari pembuktian itu sendiri menurut A. Mukti Arto adalah untuk memperoleh keyakinan bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar-benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.256

Berbagai alat bukti dikalkulasikan sedemikian rupa hingga mencapai taraf tertentu yang dinamakan keyakinan atau mendekatikeyakinan. Ukuran keyakinan yang dirumuskan Mukti Arto dalam tujuan pembuktian ditegaskan lebih lanjut

255

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberti, 1998), h.103-104.

256

A. Mukti Arto, Praktek-Praktek pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h.140.

oleh M. Yahya Harahapbahwa dalam pembuktian senantiasa ada kemungkinan ketidakbenaran, walau itu sekecil apapun. Artinya, selalu ada kemungkinan salah. Atas dasar itu, putusan yang telah berkekuatan hukum masih terbuka untuk digugat karena tidak ada kebenaran yang mutlak. Arti lainnya, tidak ada keyakinan yang mencapai 100%.257Amir Syarifuddinmenambahkan bahwa asumsi dengan tingkat kepastian di atas 60%, dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.258

Perbedaan pembuktian itsbat nikah dengan perkara lainnya yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah bahwa permohonan itsbat nikah menghadapkan

Sedangkan dalam konteks persidangan, ukuran keyakinannya adalah meyakinkan setengah plus satu dari jumlah hakim pada satu majelis. Bahwa melalui alat bukti yang telah ditentukan, pihak yang berperkara mampu meyakinkan bahwa suatu perkawinan adalah sah. Sehingga makna terbukti di sini ialah Majelis Hakim “yakin” tentang kebenaran dalil dengan memenuhi batas minimal keyakinan yaitu sebatas 60%.

Ciri khusus hukum acara perdata bahwa yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pihak yang berperkara. Selain itu pula hakim harus bersifat pasif, yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasarkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang mereka bawa dalam sidang pengadilan. Jadi hakim tidak mencampuri hak-hak individu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan.

257

M.Yahya Harahap (Buku II), Op.Cit, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h. 496. 258

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2008), h. 171.

hakim pada para pihak yang akan membuktikan perkawinan mereka telah dilakukan secara sah.259

Menurut hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, pembagian peran aktif dan pasif dalam permohonan itsbat nikah ini adalah hakim pasif karena bersifat menunggu datangnya permohonan yang diajukan para pihak. Dalam artian ketika hakim mengetahui bahwa terdapat suatu perkawinan yang tidak Kemudian hakim menilai dan mencari kebenaran atas hal-hal yang disampaikan pemohon dan saksi, sampai benar-benar yakin bahwa perkawinan para pihak telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan serta tidak terdapat halangan perkawinan.

Kebenaran akan perkawinan tersebut sejatinya tidak boleh diragukan karena itsbat nikah pada kenyataannya memungkinkan ditemukan penyelundupan hukum yang harus digali melalui keyakinan hakim. Oleh karena itu walaupun dalam proses pembuktian dalam hukum acara perdata meletakkan hakim pada posisi yang lemah atau pasif berdasarkan sistem pembuktian adversarial namun dalam permohonan itsbat nikah kedudukan pasif dari hakim tidak seutuhnya dilaksanakan mengingat hakim harus aktif menggali dan menemukan kebenaran formil dan materil dari sebuah perkawinan yang telah dilaksanakan di masa lampau. Kedudukan aktif hakim dalam perkara perdata ini ditegaskan dalam putusan MA No 3136K/Pdt/1983 yang mengatakan tidak dilarang Pengadilan Perdata mencari dan menemukan kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil keputusan berdasarkan kebenaran formil.

259

Wawancara dengan Darmansyah dan Yusuf, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga wawancara dengan Abdurrakhman dan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

dicatatkan maka hakim tidak boleh memeriksa kesahan perkawinan itu sebelum para pihak mengajukannya ke Pengadilan Agama.260 Hal ini menggambarkan bahwa inisiatif untuk mengajukan perkara perdata selalu dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Merupakan suatu hal yang rasional karena hukum acara perdata mengatur cara mempertahankan kepentingan pihak tertentu dan hanya mereka yang mengetahui apakah mereka menghendaki agar kepentingan khusus mereka dipertahankan atau tidak. Ketika suatu permohonan itsbat nikah telah diajukan ke Pengadilan Agama, di sanalah hakim mulai memainkan peran aktifnya untuk menggali kebenaran formil dan materil serta kemashlahatan dalam suatu pemeriksaan permohonan itsbat nikah.261

Pemeriksaan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama berpedoman kepada hukum acara perdata Islam yang keseluruhannya sama dengan hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.262

Untuk mengitsbatkan suatu perkawinan tanpa pencatatan, dalam praktik tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu disebabkan, dalam kasus tertentu, selain belum adanya kesamaan persepsi, juga terdapat tarik-menarik antara asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan/kemashlahatan, mana yang harus

Selain itu sebagai pertimbangan hakim juga digunakan Al-Quran, hadist dan kaidah fiqh.

260

A.T. Hamid, Hukum Acara Perdata Serta Susunan dan Kekuasaan Pengadilan (Surabaya, Bina Ilmu, 1986), h.6.

261

Wawancara dengan Abdurrakhman, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

262

diutamakan dari ketiga hal tersebut.263

a. Mengkonstatir yakni membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pelaku perkawinan tanpa pencatatan dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah, menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam duduknya perkara dan Berita Acara Persidangan.

Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan tanpa pencatatan, majelis hakim melakukan :

b. Mengkualifisir peristiwa/fakta yang telah terbukti itu, yaitu menilai peristiwa itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatiring itu untuk kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum.

c. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya yang kemudian dituangkan dalam amar penetapan/putusan.264

Dari seluruh rangkaian hukum acara perdata yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, pokok pangkal perkara permohonan pengesahan perkawinan terletak pada proses pembuktiannya di persidangan, yaitu terbukti atau tidaknya tentang telah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam di Indonesia dan tidak ditemukannya halangan perkawinan, dengan alat bukti yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meyakinkan hakim.265

263

Wawancara dengan Darmansyah dan Yusuf, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga wawancara dengan Abdurrakhman dan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

264

Mukti Arto, Op. Cit, h. 32. 265

Wawancara dengan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

Sebelum lebih jauh membahas mengenai pembuktian, harus dipilah terlebih dahulu jenis perkawinan tanpa pencatatan. Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, perkawinan tanpa pencatatan terbagi atas perkawinan tidak dicatat dan tidak dicatatkan di mana indikator pembeda di antara keduanya terletak pada niat/unsur kesengangajaan. Unsur sengaja atau tidak, ada kaitannya dengan alasan permohonan yang pada akhirnya mempengaruhi alat pembuktian. Contohnya, alasan pengajuan karena kehilangan akta nikah, ini berarti adanya unsur ketidaksengajaan sehingga bukti pencatatan perkawinannya hilang. Maka para pihak nantinya harus dapat mengajukan alat bukti bahwa perkawinannya pernah tercatat namun akta nikahnya hilang, misal : duplikat akta nikah di KUA dan sebagainya. Lain hal bagi perkawinan yang tidak dicatatkan (secara sengaja), alasan permohonan yang selalu dipakai yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut UUP 1/1974.

Namun secara umum dalam praktek pula ditemukan, bahwa kerumitan perkara itsbat nikah terletak pada dua hal yaitu yang pertama, wali nikah yang sah. Kedua, ada atau tidaknya hubungan perkawinan lain dari suami istri tersebut.266

266

Wawancara dengan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

Kerumitan pertama biasanya dengan mudah diketahui, misalnya dari tempat dilangsungkan perkawinan yang berbeda dengan domisili orang tua atau keluarganya, keengganan atau ketiadaan orang tua atau keluarganya menjadi saksi di persidangan atau indikasi lainnya. Kerumitan kedua biasanya relatif diketahui dari usia saat perkawinan dilangsungkan dihubungkan dengan berbagai kondisi pihak saat itu. Anggapan bahwa cerai di bawah tangan adalah sah dan atau

poligami di bawah tangan adalah sah menjadi penyebab makin rumitnya hal kedua. Sedangkan untuk rukun dan syarat yang lain, relatif jarang ditemukan kendala.267

1. Surat;

Hukum acara perdata telah mengatur alat-alat bukti yang dipergunakan di persidangan. Dengan demikian hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti, sehingga dalam membuat penetapan atau putusan, hakim wajib memberikan pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Secara umum dalam praktek, alat bukti yang biasa dipergunakan untuk perkara itsbat nikah berkisar atas empat jenis yaitu :

2. Saksi;

3. Persangkaan; 4. Sumpah.268

Menurut hukum acara perdata di samping mempunyai nilai pembuktian yang berbeda, tiap-tiap alat bukti memiliki syarat formil dan materil yang berbeda pula. Berikut praktek pembuktian perkara itsbat nikah dengan mengikuti urutan alat bukti berdasarkan peraturan perundang-undangan, dengan klasifikasi secara hierarkis kekuatan pembuktiannya yang diatur oleh Pasal 284 R.Bg./164 HIR.

267

Wawancara dengan Abdurrakhman, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015, melihat juga wawancara dengan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

268

Wawancara dengan Darmansyah dan Yusuf, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga wawancara dengan Abdurrakhman dan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

1. Bukti Surat

Menurut Sudikno Merokusumo alat bukti surat disebut juga dengan alat bukti tulisan yaitu alat bukti yang mencakup sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian, terdiri atas tulisan atau surat-surat lain dan akta (akta autentik dan akta di bawah tangan).269

269

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h.70.

Untuk peristiwa perkawinan penduduk yang beragama Islam, Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama setempat adalah sebagai pejabat yang berwenang dalam pencatatannya. Jika para pihak pernah mencatatkan perkawinannya (untuk alasan Pasal 7 ayat (3) huruf b yaitu hilangnya Akta Nikah) maka dikenal bukti surat bernama Kutipan Akta Nikah, sebagai kutipan dari Akta Nikah yang tersimpan di Kantor Urusan Agama. Juga dikenal adanya Duplikat Akta Nikah bilamana Kutipan Akta Nikah hilang. Kesemuanya adalah akta autentik tentang telah terjadinya perkawinan.

Adakalanya para pihak berperkara untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah, mengajukan alat bukti, berupa surat berbentuk fotokopi Akta Nikah yang telah dilegalisasi oleh Kepala Kantor Urusan Agama terkait. Atas bukti tersebut, Majelis Hakim berpendapat untuk mempertimbangkannya dan berkesimpulan bahwa dalil-dalil Pemohon telah terbukti. Artinya, ditemukan kebenaran tentang adanya hubungan hukum perkawinan antara dua pihak sebagaimana disebutkan dalam bukti surat tersebut.

Alat bukti surat dalam permohonan itsbat nikah dapat juga berupa bukti surat yang merupakan unsur-unsur dari Pemberitahuan Kehendak Nikah sebagaimana dimaksud Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Dari bukti-bukti surat tersebut Majelis Hakim berkeyakinan bahwa para pihak telah mengurus syarat-syarat administratif untuk menikah, apalagi bila dihubungkan dengan bukti saksi semakin menyatakan benar bahwa perkawinan tersebut telah terjadi. Unsur-unsur pemberitahuan kehendak nikah yang biasa ditemukan sebagai bukti surat dalam permohonan itsbat nikah terdiri dari:

1. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/ lurah;

2. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;

3. Persetujuan kedua calon mempelai;

4. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;270

Jika dilihat dalam sampel penetapan/putusan itsbat nikah yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, bukti surat yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut :

a. Penetapan Nomor 18/Pdt.P/2014/PA.Medan dalam pembuktian, para pihak membawa bukti surat berupa Fotokopi KTP yang dikeluarkan oleh Camat Medan Labuhan atas nama Indra dan Sartika Sari Dewi.

270

Wawancara dengan Darmansyah dan Yusuf, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga wawancara dengan Abdurrakhman dan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

b. Penetapan Nomor 48/Pdt.P/2014/PA.Mdn bahwa dalam pembuktian, bukti surat yang dibawa oleh para pihak berupa Fotokopi Duplikat Akta Nikah dari KUA Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, Fotokopi KTP atas nama Muliati dan Amir Syarifuddin yang dikeluarkan Pemerintah Kota Medan serta Fotokopi Surat Keterangan Meninggal Dunia yang dikeluarkan Kepala Kampung Belang Bebangka, Kecamatan Pengasing, Kabupaten Aceh Tengah.

c. Penetapan Nomor 52/Pdt.P/2014/PA.Mdn bahwa dalam pembuktian, pihak membawa bukti surat berupa Fotokopi Surat Keterangan Kematian yang dikeluarkan oleh Kecamatan Kota Medan Selayang, Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, Fotokopi KTP atas nama Surasmi yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

d. Penetapan nomor 85/Pdt.P/2014/PA.Mdn bahwa bukti surat yang diajukan para pihak berupa Fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Medan dan Fotokopi Kartu Keluarga yang dikeluarkan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

e. Putusan Nomor 98/Pdt.G/2014/PA.Mdn bahwa untuk proses pembuktian, para penggugat tidak menghadirkan bukti surat.

f. Penetapan Nomor 1198/ Pdt.G/2014/PA.Mdn dalam pembuktian, pihak membawa bukti surat berupa Fotokopi KTP yang dikeluarkan Pemerintah Kota Medan, Fotokopi Kartu Keluarga, Fotokopi Surat Keterangan Kematian

yang dikeluarkan oleh Lurah Mangga Kecamatan Medan Tuntungan dan Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dikeluarkan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

g. Penetapan Nomor 81/Pdt.P/2013/PA.Mdn bahwa sebagai alat pembuktian di pengadilan, pemohon mengajukan bukti surat berupa Surat Keterangan N.470/243 yang dikeluarkan oleh Simalingkar-B Kecamatan Medan Tuntungan yang menerangkan bahwa Pemohon I dan Pemohon II tergolong keluarga yang kurang mampu sehingga para pihak diizinkan beracara secara cuma-cuma di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. Namun pada saat pembuktian, para pihak tidak pernah hadir sehingga dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan itsbat nikah tersebut yang menyebabkan permohonan para pihak dinyatakan tidak dapat diterima.

Maka dapat disimpulkan, dari 6 (enam) penetapan atau putusan di atas tidak menghadirkan bukti surat yang secara jelas menyatakan bahwa telah terjadi perkawinan seperti surat yang mengandung unsur pemberitahuan kehendak nikah meskipun perkawinan para pihak tersebut pernah dicatatkan. Namun satu dari tujuh penetapan tersebut yakni dalam Penetapan Nomor 48/Pdt.P/2014/PA para pihak berhasil menghadirkan bukti surat berupa Fotokopi Duplikat Akta Nikah yang secara langsung menyatakan bahwa perkawinan tersebut pernah dicatat. Oleh karena itu hakim harus lebih jauh menggali kebenaran materil tersebut melalui saksi-saksi yang dihadirkan di dalam persidangan.

2. Bukti Saksi

Ketika proses pemeriksaan itsbat nikah dilakukan di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, alat bukti yang digunakan adalah bukti mengenai adanya suatu perkawinan. Namun untuk beberapa kasus, karena bukti tertulis memang tidak ada karena perkawinan tersebut tidak memiliki bukti maka alat bukti yang paling berperan adalah keterangan saksi.271

a. dewasa;

Saksi diidentifikasi sebagai orang yang memberikan keterangan di mukasidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu tentang sesuatu peristiwa ataukeadaan yang dilihat, didengar dan dialami sendiri.

Pada dasarnya, untuk dapatbertindak sebagai saksi, seseorang diharuskan memenuhi syarat formil dan materil.Syarat formil mencakup:

b. berakal sehat;

c. tidak ada hubungan keluargasedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak (kecuali undang-undangmenentukan lain);

d. tidak adanya hubungan perkawinan dengan salah satu pihakmeskipun telah bercerai (Pasal 145 HIR/Pasal 172RBg.);

e. tidak ada hubungankerja kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 145 HIR);

f. minimal 2 (dua) orang (Pasal 169 HIR);

g. menghadap di persidangan, dan memberikan keterangan secara lisan;

271

Wawancara dengan Darmansyah dan Yusuf, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 26 Februari 2015, melihat juga wawancara dengan Abdurrakhman dan Bachtiar, Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, tanggal 16 Maret 2015.

h. Khusus mengenai keadaan status hubungan hukum seseorang adanya hubungan keluarga, semenda dan kerja tidak menghalangi seseorang untuk dapat didengar keterangannya di bawah sumpah di persidangan.

Sedangkan syarat materil saksi mencakup sebagai berikut : 1. Saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 170 HIR);

2. Keterangan yang disampaikan adalah hasil dari apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri (Pasal 171 HIR);

3. Mengetahui sebab-sebab terjadinya peristiwa yang diterangkan (Pasal 171 ayat (1) HIR);

4. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan (Pasal 171 ayat (2) HIR); 5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Selain syarat materil dan formil di atas, juga diatur secara khusus syarat-syarat saksi menurut hukum acara perdata Islam yaitu sebagai berikut :

1. Dewasa; 2. Berakal;

3. Mengetahui apa yang disaksikan; 4. Beragama Islam;

5. Adil;

6. Saksi itu harus dapat melihat; 7. Saksi itu harus dapat berbicara.272

Selain itu Nashr Farid Washil menambahkan syarat lainnya yaitu tidak adanya paksaan. Sayyid Sabiq menambahkan pula yaitu saksi tersebut harus

272

memiliki ingatan yang baik dan bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).273

1. Saksi yang merupakan wali nikah;

Hakim bebas atau tidak terikat dengan keterangan saksi, namun hakim harus memberikan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan tentang diterima atau tidaknya keterangan seorang saksi. Dalam konteksnya dengan perkara permohonan itsbat nikah, terdapat berbagai tingkatan saksi dalam hubungannya dengan pembuktian. Bila distratifikasikan bisa terlihat sebagai berikut:

2. Saksi yang menandatangani akta nikah; 3. Saksi yang menyaksikan akad nikah;