• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Akibat Hukum Perkawinan

2. Prosedur pencatatan perkawinan

Berbicara mengenai prosedur pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam aturan pelaksana UUP 1/1974 yaitu pada Pasal 2 hingga Pasal 11 PP 9/1975. Pencatatan perkawinan dalam hukum perkawinan Indonesia berkedudukan sebagai syarat formil yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Rangkaian prosedur pencatatan perkawinan dimulai dengan prosedur pemberitahuan, penelitian, pengumuman, pelaksanaan perkawinan hingga penandatanganan akta nikah dan dapat disimpulkan bahwa keseluruhan rangkaian pencatatan perkawinan tersebut dilakukan untuk menjaga martabat dan keluhuran sebuah perkawinan sehingga perkawinan yang dilaksanakan nantinya berlaku sebagai ikatan yang kuat dan mengandung kemaslahatan.

Prosedur pencatatan perkawinan juga harus dilaksanakan secara hati-hati agar pelaksanaan perkawinan tidak merugikan hak-hak dan kepentingan orang lain. Bahkan prosedur pencatatan tersebut jauh lebih lama waktunya dibandingkan dengan pelaksanaan akad nikah itu sendiri yang dimulai dengan adanya kehendak melangsungkan perkawinan ditandai dengan dilakukannya pemberitahuan ke PPN hingga pada pelaksanaan perkawinan disertai dengan rangkaian prosedur yang teliti. Dapat dibayangkan apabila perkawinan dilakukan tanpa melalui prosedur pencatatan, maka pelaksanaan perkawinan akan terlepas dari proses yang mengandung nilai kemaslahatan tersebut.

Perkawinan yang dilakukan menurut ajaran agama Islam, pencatatannya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan umumnya dilaksanakan bersamaan dengan upacara akad nikah dan dihadiri langsung oleh PPN dari KUA.

Kehadiran PPN ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (3) PP 9/1975 yang menyebutkan mengenai keterlibatan pencatat dalam suatu perkawinan.Kapasitas PPN adalah sebagai pegawai atau pejabat yang diangkat pemerintah dengan tugas untuk mengawasi terjadinya perkawinan dan mencatatnya. Bahkan dalam Pasal 6 ayat (2) KHI lebih menegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN tidak memiliki kekuatan hukum. Makna tidak mempunyai kekuatan hukum diterjemahkan dengan tidak dapat dibuktikandimata hukum.163

3. Tujuan pencatatan perkawinan

Karena sejatinya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN.

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.164 Berlandaskan pada tujuan ketertiban tersebut yang kemudian menjadi alasan diterapkannya pencatatan perkawinan di Indonesia. Sebagai suatu bentuk pembaharuan hukum keluarga Islam yang tidak hanya bersifat administrasi, pencatatan perkawinan juga menjadi jaminan terpenuhinya hak-hak sipil masyarakat di mata hukum.165

Menurut UUP 1/1974, setidaknya ada dua tujuan dari pencatatan perkawinan, pertama untuk tegaknya hukum perkawinan. Dengan demikian akan diketahui apakah perkawinan yang akan dilangsungkan tersebut sesuai dengan

163

Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-undangan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta, Leiden:INIS, 2002), h.124.

164

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung, Alumni, 2006), h.3.

165

Banyak Sebab Perkawinan Tidak Dicatatkan, www.hukumonline.com.htm, (diakses 24 Januari 2015 pukul 06.53 WIB).

ketentuan atau sebaliknya. Walaupun di dalam UUP 1/1974, masalah pencatatan perkawinan ini hanya diatur oleh satu ayat, namun masalah ini bersifat penentu dan sangat dominan. Hal ini tampak jelas dalam tata cara perkawinan yang semuanya berhubungan dengan pencatatan dan berfungsinya seluruh aturan UUP 1/1974 hanya bisa dilakukan apabila suatu perkawinan dicatatkan. Kedua, untuk tertib administrasi, jika perkawinan yang akan dilangsungkan tersebut sesuai dengan ketentuan atau hukum yang berlaku maka pegawai pencatat akan mencatatnya sebagai bukti autentik telah terjadi. Sebaliknya, jika perkawinan yang hendak dilangsungkan tersebut tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, maka pegawai pencatat tidak akan mencatatkannya.166

Berkaitan dengan tujuan pencatatan perkawinan untuk memperoleh bukti autentik fungsinya adalah membuktikan bahwa diri seseorang dan pasangannya benar-benar telah melakukan perkawinan. Pencatatan perkawinan adalah suatu upaya hukum yang dilakukan agar peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun masyarakat secara keseluruhan karena perkawinan tercatat dalam surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar khusus dan memang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bila perlu terutama sebagai alat bukti tertulis.167Sebab bukti yang dianggap sah dalam tataran administrasi adalah dokumen tertulis resmi yang dikeluarkan oleh negara.

166

Yusna Zaidah, Itsbat Nikah dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam Hubungannya dengan Kewenangan Peradilan Agama,

167

Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat bukti). Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h.148.

Selain itu, dengan adanya akta nikah suami atau istri akan sangat sulit mengingkari perkawinan di kemudian hari karena akta nikah sebagai akta autentik dari sudut pandang hukum pembuktian dinilai sebagai alat bukti sempurna (volledig bewijskracht).168

a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitendige bewijskracht), yaitu akta yang terlihat secara lahiriah sebagai akta autentik harus diberlakukan sebagai akta autentik pula sampai ditemukan bukti sebaliknya, sesuai asas acta publica probant sese ipsa (akta yang terlihat sebagai akta autentik harus diberlakukan sebagai akta autentik sampai ditemukan bukti sebaliknya). Akta nikah yang dibuat oleh PPN akan memiliki pembuktian lahiriah.

Alat bukti sempurna dapat diartikan bahwa untuk menyatakan kebenaran suatu akta autentik tidak perlu disertakan alat bukti lain.Kesempurnaan akta nikah sebagai alat bukti disebabkan oleh ketiga kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh akta nikah yang tidak dimiliki oleh alat bukti lain, yaitu:

169

168

Hendra Umar, “Akta Nikah Sebagai Alat Bukti Peristiwa Nikah(Tinjauan Hukum Pembuktian)”, Artike

Dengan hanya memperlihatkan akta tersebut kepada orang lain, pejabat umum lainnya atau hakim harus menerima akta tersebut adalah akta nikah sebagai tulisan yang membuktikan adanya pernikahan yang tidak memerlukan pembuktian tambahan untuk menyatakan kebenarannya sebagai akta autentik, sampai ditemukan bukti bahwa akta tersebut bukan akta nikah, misalnya terdapat indikasi yang kuat dipalsukan oleh pemegangnya atau orang lain.

169

Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung, Mandar Maju, 2005), h.54.

b. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), yaitu sepanjang keterangan yang ada dalam akta tersebut telah dinyatakan oleh pejabat umum yang membuatnya adalah benar dilakukan atas nama jabatannya. Dalam arti formal, khususnya akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri atas nama jabatannya, baik menyangkut perbuatan hukum yang diterangkan di dalam akta tersebut, orang-orangnya dan identitasnya, hari dan tanggal kejadiannya.170Akta nikah sebagai akta autentik memiliki pembuktian formal karena secara formal PPN sebagai pejabat umum telah memposisikan dirinya atas nama jabatannya bahwa orang-orang dengan biodata yang diterangkan di dalam akta nikah adalah benar suami, istri, dan wali nikah yang telah melangsungkan pernikahan pada hari, tanggal dan jam yang diterangkannya dalam akta nikah tersebut.

c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht), yaitu kepastian bahwa isi yang diterangkan dalam akta autentik tersebut adalah benar secara material atau benar-benar terjadi, kecuali ada pembuktian sebaliknya(tegenbewijs).171 170 Ibid. 171 Ibid.

Akta nikah sebagai alat bukti autentik memiliki pembuktian material sehingga isinya harus dipandang benar bahwa seorang laki-laki dengan biodatanya yang disebut suami dan seorang perempuan dengan biodatanya yang disebut istri serta seorang laki-laki dengan biodatanya yang disebut wali nikah masing-masing benar-benar adalah suami, istri dan wali nikah yang telah melaksanakan akad nikah pada hari,

tanggal dan jam yang diterangkan dalam akad nikah tersebut. Isi dari akta nikah ini tidak boleh diragukan kecuali ditemukan bukti-bukti sebaliknya. Berdasarkan ketiga jenis kekuatan pembuktian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembuktian terkuat untuk menyatakan sebuah perkawinan hanya dapat diperoleh melalui akta nikah. Dengan akta nikah sebuah perkawinan diakui oleh negara dan karenanya perkawinan tersebut berhak atas segala perlindungan hukum dan pelayanan hukum yang dilakukan oleh negara. Selain tujuan penacatatan perkawinan yang telah disebutkan di atas, pencatatan perkawinan dan akta nikahjuga memiliki dua manfaat yaitu:

a. Manfaat yang bersifat preventif

Pencatatan perkawinan memiliki manfaat preventif artinya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atas penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaan, maupun menurut perundang-udangan. Dalam bentuk kongkretnya, penyimpangan perkawinan yang terjadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.172

b. Manfaat yang bersifat represif

Pencatatan perkawinan memiliki manfaat respresif artinya bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, KHImembuka kesempatan untuk mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.173

172

Nunung Rodliyah, Pencatatan Pernikahan dan Akta Nikah Sebagai Legalitas Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum Islam, (Bandar Lampung, Pranata Hukum, 2013), h.3.

173

Pernyataan tersebut didukung oleh Ahmad Rofiq yang menyatakan bahwa jika suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, maka mereka harus mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Inilah yang dimaksud manfaat represif agar masyarakat tidak saja berorientasi pada fiqh semata, tetapi juga mempertimbangan aspek-aspek lain seperti aspek ketertiban dan keadilan.174

4. Akibat pencatatan perkawinan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa apabila telah dicatatkan, perkawinan dapat diakui sebagai suatu perbuatan hukum. Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan tercatat tentu saja memiliki akibat hukum. Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.175

Pada bab sebelumnya juga telah dikatakan bahwa perkawinan sebagai perbuatan hukum memiliki akibat hukum berupa timbulnya hak dan kewajiban suami istri, kepengurusan terhadap harta kekayaan dan hubungan orang tua terhadap anak. Dengan tercatatnya perkawinan, keseluruhan akibat perkawinan tersebut menjadi diakui dan dilindungi oleh hukum. Namun untuk melihat sejauh mana urgensi dari pencatatan perkawinan, hendaklah dibandingkan akibat hukum

174

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 114

175

yang akan terjadi apabila suatu perkawinan dilakukan tanpa pencatatan. Akibat hukum dari suatu perkawinan yang tanpa pencatatan adalah sebagai berikut :

a. Perkawinan dianggap tidak ada

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi sebelum dicatat oleh Kantor Urusan Agama.176

Menurut Pasal 1 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 1954 jo. Pasal 1 ayat (2) UUP 1/1974 jo. Pasal 2 ayat (1) PP 9/1975 jo. Pasal 5 KHI ditegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka apabila tidak

Selain itu, perkawinan tanpa pencatatan tidak memiliki perlindungan hukum karena bagi negara dipandang tidak terjadi perkawinan (meskipun ada namun dipandang secara yuridis tidak ada/tidak terjadi).Hal ini sesuai denganYurisprudensi Mahkamah AgungNomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 1991dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Perkawinan” menurut UUP 1/1974 dan PP 9/1975, adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan KUA oleh petugas KUA yang berwenang serta perkawinan tersebut didaftarkan menurut tatacara perundang-undangan yang berlaku, karena itu perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut dianggap tidak ada perkawinan, sehingga tidak dapat dipidanakan sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana (kurungan penjara 5 tahun).

176

Wahyu Ernaningsih, Pentingnya Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

melakukan pencatatan perkawinan akibatnya perkawinan dianggap tidak ada sehingga :

1. Tidak mendapat perlindungan hukum, sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1948/K/Pid/1991 tanggal 18 Desember 1991; 2. Ditolak berperkara tentang masalah nikah, talak, rujuk, hadhanah, iddah,

harta gono gini dan harta waris di Pengadilan Agama karena perkawinan tidak dapat dibuktikan;

3. Seorang istri waktu dapat diceraikan suami dan suami sewaktu-waktu dapat berpoligami, bahkan dapat mengingkari perkawinan dan anak- anak hasil perkawinan tersebut, sedangkan istri tidak memiliki kekuatan hukum untuk melakukan perlawanan hukum di Pengadilan Agama;

4. Mendapat kesulitan melakukan pengurusan administrasi kependudukan dan kesulitan mencari pekerjaan;

5. Tidak mendapat berbagai hak sebagai PNS seperti tunjangan istri dan anak bagi PNS atau tunjangan kesehatan dan uang makan bagi karyawan swasta; 6. Sewaktu-waktu dapat dituduh sebagai pasangan mesum karena tidak dapat

membuktikan sahnyasuatu perkawinan.177

b. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu Tujuan perkawinan secara umum adalah untuk melanjutkan keturunan dan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Agar sempurnanya tujuan tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting jika hak-hak anak sebagai keturunan

177

Mengapa Perkawinan Harus Dicatat,

terpenuhi. Namun anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan perkawinan tanpa pencatatan, selain dianggap sebagai anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu.178Sedang hubungan perdata sang anak dengan ayahnya tidak ada.179

Adalah faktual dan bukan persangkaanmasih banyak anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga, termasuk hak-hak anak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu berlawanan (vis a vis) dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).Padahal, anak yang dilahirkan membawa hak-hak anak (rights of the child) yang pada prinsipnya tidak boleh diperlakukan berbeda atau diskriminasi. Anak hasil perkawinan bagaimanapun (dicatatkanatau tidak dicatatkan, ataupun anak yang lahir tidak dalam hubungan perkawinan sah

Namun ketentuan ini diperluas dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan pertimbangan bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari persoalan prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkanpadahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahiran merupakan hal yang terjadi di luar kehendaknya. 178 Pasal 43 UUP 1/1974. 179 Ibid.

ataunon-marital child), tetap berstatus sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak anak yang serata (equality on therights of the child).180

c. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan tanpa pencatatan adalah baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.181

Pencatatan perkawinan memang bukan syarat syar’i, sehingga jika tidak dipenuhi maka perkawinan tetap sah menurut pandangan syar’i. Dari sudut pandang maslahat, pencatatan adalah bagian dari syarat tawsiqy. Syarat

tawsiqydijelaskan maksudnya oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili (Guru Besar Hukum Islam Universitas al-Azhar, Kairo) dan Satria Effendi M. Zein adalah suatu syarat yang dirumuskan dalam akta nikahuntuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan di kemudian hari untuk menertibkan suatu perbuatan. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan adalah adalah alat bukti Hal ini dikarenakan tidak ada alat bukti sah untuk menegaskan perkawinan danasal-usul anak.

Jika dilihat dalam konteks Indonesia, begitu besar pengaruh pencatatan perkawinan sehingga jika suatu perkawinan tidak dicatatkan maka dianggap tidak ada suatu perkawinan meskipun telah dilaksanakan sesuai agama dan kepercayaan. Pencatatan perkawinan mengandung suatu maslahat, yaitu adanya kebaikan atau manfaat yang bersifat umum dan menyeluruh bagi umat Islam yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan.

180

Perkawinan Tidak Dicatatkan dan Dampaknya Bagi Anak

(diakses 2

Maret 2015 pukul 15.09 WIB). 181

autentik dan diterima di hadapan hukum bahwa telah terjadi perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sehingga salah satu atau keduanya tidak akan mengingkari perkawinan tersebut jika muncul permasalahan di kemudian hari, misalnya dalam masalah anak, waris, dan nafkah.

D. Itsbat Nikah

1. Pengertian Itsbat Nikah

Negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.182

Jaminan kepastian hukum sebagai wujud persamaan dan perlindungan hukum dari sebuah perkawinan ditandai dengan adanya akta nikah.Pencatatan perkawinan sebagai sebuah proses yang harus dilalui untuk memperoleh akta nikah merupakan sebuah persyaratan administratif yang harus dilakukan. Meskipun, peraturan perundang-undangan sudah mengharuskan adanya akta

Untuk mewujudkan persamaan dan perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum melalui proses hukum yang dijalankan oleh penegak hukum, khususnya pelaku kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, salah satu tugas utama lembaga-lembaga yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman adalah memperluas dan mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh keadilan (access to justice) sebagai bentuk persamaan di hadapan hukum dan untuk memperoleh perlindungan hukum.

182

nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang ditemui suami istri yang telah menikah tidak mempunyai kutipan akta nikah.

Untuk itulah negara membentuk suatu lembaga hukum dengan tujuan memberikan kesempatan bagi para pihak yang belum memiliki akta nikah untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinannya, lembaga tersebut dikenal dengan nama itsbat nikah. Itsbat nikah hadir disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan perihal tidak tercatatnya suatu perkawinan. Islam mengajarkan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih yang berbunyi “kemudharatan harus dihilangkan”. Demikianlah itsbat nikah diadakan untuk menghindari kemudharatan dalam perkawinan tanpa pencatatan.

Itsbat nikah berasal dari Bahasa Arab yang terdiri atas kataitsbat dan nikah. Itsbat berasal dari kata atsbatayang berarti penetapan, pengukuhan,pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesiadengan sedikit revisi sehingga disebut dengan istilah itsbat nikah.

Secara sederhana, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan itsbat nikah adalah penetapan mengenai kebenaran atau keabsahan nikah.183

183

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h.600.

Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang, ada juga yang mengartikan Itsbat nikah sebagai penetapan atas perkawinan yang dilakukan oleh suami istri, dimana perkawinan

yang dilakukan oleh para pihak telah memenuhi syarat dan rukun nikah namun belum tercatat di KUA.184

(1)Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Didalam ketentuan perundang-undangan tentang itsbat nikah tidak terdapat definisi yang jelas karena tidak disebutkan pengertiannya, bahkan di dalam UUP 1/1974 tidak diatur mengenai itsbat nikah. Namun dapat ditelaah dari ketentuan Pasal 7 KHI tentang pencatatan perkawinan, yang menjelaskan bahwa :

(2)Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3)Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya akta nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP 1/1974;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UUP 1/1974;

(4)Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa ketika suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, maka dapat menempuh upaya itsbat nikah untuk mengesahkan perkawinan sehingga diperoleh alat bukti atas perkawinan mereka. Pengesahan perkawinan diperoleh dengan terlebih dahulu membuktikan di muka pengadilan bahwa perkawinan diantara para pihak tersebut telah terlaksana dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan Islam.

184

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), h. 29.

Sedangkan dalam Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan disebutkan bahwa :

”Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang.”

Jika merujuk pada pendapat ahli, Peter Salim mengatakan bahwa :

itsbat nikah memiliki pengertian yaitu penetapan tentang kebenaran nikah”.185

Itsbat nikah dilakukan berkaitan dengan unsur keperdataan yaitu adanya bukti autentik tentang perkawinan yang telah dilakukan. Hal ini karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dari berbagai pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa itsbat nikah adalah permohonan pengesahan nikah (penetapan nikah) sehingga perkawinan yang sebelumnya tidak diakui di mata hukum atau tidak memiliki bukti yang sah menjadi mempunyai kekuatan hukum yang sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.

186

185

Masrum M. Noor, Penetapan Pengesahan Perkawinan,

Dengan adanya akta nikah ini para pihak yang terlibat dalam perkawinan akan terlindungi oleh hukum karena telah melakukan tindakan hukum dan mendapat pengakuan hukum. Akta nikah juga akan bermanfaat dan menjaga

186

kemaslahatan keluarga terutama untuk menghindari kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinan yang telah terjadi.

Kewenangan memutuskan perkara itsbat nikah di Indonesia diberikan