• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan dibahas antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

2. Bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

3. Bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan, adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:

1) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

2) Untuk mengetahui prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

3) Untuk mengetahui implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak anak.

D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta hukum perdata mengenai pembuktian dalam permohonan itsbat nikah.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pembuktian dalam permohonan itsbat nikah.

3) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

b. Manfaat praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam membuat regulasi mengenai itsbat nikah terkhusus mengenai masalah pembuktiannya.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat, khususnya bagi para pihak yang ingin mengajukan permohonan itsbat nikah.

E. Keaslian Penelitian

Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak dalam Permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama sengaja diangkat sebagai judul skripsi karena telah diperiksa

dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang terjadi di masyarakat, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.

Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pengelompokkanjenis-jenis penelitian tergantungpada pedoman dari sudut pandang mana pengelompokkan itu ditinjau, ini berkaitan dengan sifat data dan cara atau teknik analisis data yang digunakan. Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang langsung bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang model pembuktian dan proses pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis

pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.19

a. Data Primer 3. Lokasi Penelitian

Pengadilan Agama Kelas I-A Medan sebagai Pengadilan di wilayah Kota Medan sepanjang tahun 2014 menerima 96 permohonan itsbat nikah dengan hasil penetapan hakim berupa permohonan ditolak dan dikabulkan. Banyaknya permohonan tersebut maka peneliti memilih lokasi Pengadilan Agama Kelas I-A Medan untuk dijadikan lokasi penelitian.

4. Sumber Data

Data yang diolah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Data primer adalah data yang diambil langsung dari subjek penelitian dan berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. Sumber data primer ini berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau instansi-instansi terkait dengan objek yang diteliti secara langsung, hal ini dimaksudkan untuk lebih memahami maksud, tujuan dan dan arti dari data sekunder yang ada. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara Hakim Pengadilan Agama kelas I-A Medan yang memeriksa dan memberikan penetapan atas permohonan itsbat nikah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Adapun Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan yang menjadi narasumber dalam penelitian ini yaitu :

19

Abdulkadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum,(Bandung,Citra aditya bakti,2004) h.112.

1) Drs. H. Darmansyah Hasibuan, SH, MH; 2) Drs. M. Yusuf Abdullah;

3) Drs. Abdurrakhman, SH, MH; 4) Drs. Bachtiar.

b. Data Sekunder

Data sekunder sebagai data utama dalam penelitian ini didapat melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca, mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Undang-Undang No.1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, beserta aturan pelaksananya, Undang-Undang No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jis Undang-Undang No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Hukum acara yang berlaku di pengadilan agama beserta peraturan pelaksana lainnya. Selanjutnya dibutuhkan ijtihad dan fatwa ulama mengenai perkawinan yang relevan dengan penelitian ini.

Selain itu untuk melihat model pembuktian dalam permohonan itsbat nikah, dalam penelitian ini juga dianalisis permohonan itsbat nikah oleh Hakim-Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. Permohonan yang diteliti adalah permohonan sepanjang tahun 2013 dan 2014 dan sebagai samplenya diambil 7 (tujuh) buah permohonan berupa 6 (enam) permohonan yang dikabulkan

dan 1 (satu) permohonan yang ditolak. Sedangkan jenis permohonan tersebut yaitu 6 (enam) berjenis voluntair dan 1 (satu) berjenis konstituir.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum berupa publikasi tentang hukum yang isinya menjelaskan dan menganalisis bahan hukum primer.20 Kagunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah.21

3) Bahan hukum tersier

Buku, artikel, rancangan undang-undang, jurnal, hasil penelitian terdahulu digunakan sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini.

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.22

a. Studi lapangan (field research). Studi lapangan adalah salah satu proses kegiatan observasi pengungkapan fakta –fakta dalam proses memperoleh keterangan atau data dengan cara terjun langsung ke lapangan. Studi lapangan

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

20

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta,Kencana, 2008), h.140. 21

Ibid. h.155. 22

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004), h.32.

adalah. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui wawancara.

b. Studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.23

6. Alat Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dipergunakan untuk memperolah data sekunder dalam penelitian ini.

Alat pengumpul data menentukan kualitas data dan kualitas data menentukan kualitas penelitian, karena itu, alat pengumpul data harus mendapat penggarapan yang cermat.24

Menurut Lexy J. Moleong, analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa data secara kualitatif. Data semacam ini diperoleh melalui penelitian yang

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman wawancara. 7. Analisa Data 23 StudiKepustakaan, 24

menggunakan pendekatan kualitatif, atau penilaian kualitatif. Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, atau pemaknaan peneliti terhadap teori.25

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis serta hasilnya digunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka akan dibuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang keseluruhannya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan di antara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran ini atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap itsbat nikah dan pembuktiannya di pengadilan agama.

25

Bab II tentang tinjauan umum terhadap hukum perkawinan di Indonesia. Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia, yang meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat sahnya perkawinan dan akibat hukum perkawinan baik menurut UUP 1/1974 maupun menurut KHI.

Bab III tentang ketentuan umum tentang itsbat nikah. Pada bab ini diuraikan materi tentang pencatatan perkawinan meliputi urgensi pencatatan perkawinan yang ditinjau lebih jauh dalam hal dasar hukum, prosedur, tujuan dan akibat hukum pencatatan perkawinan. Selanjutnya juga diuraikan pengertian itsbat nikah, penyebab pengajuan itsbat nikah, pihak-pihak yang dapat mengajukan beserta prosedur pengajuan itsbat nikah.

Bab IV tentang pembuktian oleh para pihak dalam permohonan itsbat nikah di pengadilan agama. Pada bab ini diuraikan analisis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, serta implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak anak dan hak ibu.

Bab V yang merupakan penutup dari penelitian.Pada bab ini memuat tentang kesimpulan terhadap keseluruhan isi dari penelitian ini. Dalam bab ini ditarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab terdahulu sehubungan tentang aspek pembuktian itsbat nikah di pengadilan agama dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting dan bermanfaat.

19

E. Pengertian Perkawinan

Membicarakan mengenai perkawinan seolah tidak ada habisnya. Perkawinan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Melalui perkawinan lahir hak dan kewajiban yang sangat beragam baik untuk ayah dan ibu sebagai orangtua, maupun bagi anak dan kelompok masyarakat lainnya. Perkawinan sebagai perbuatan hukum juga menimbulkan tanggung jawab antara suami, istri dan anak, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Dalam Al-Qur’an kurang lebih 70 (tujuh puluh) ayat yang membahas masalah keluarga dan perkawinan. Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah yang diridhoi Allah SWT.26

Perkawinan adalah sebuah ikatan yang sah dan suci antara dua insan manusia berbeda jenis untuk membentuk sebuah keluarga berlandaskan pada kasih dan sayang. Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang pada akhirnya secara luas akan membentuk sebuah negara. Keluarga dapat diibaratkan sebagai sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi

26

Khaerudin,“Itsbat Nikah dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, Tahun 2013, h.1.

sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang terbaik. Tidak ada umat tanpa keluarga, tidak tercipta masyarakat tanpa keluarga.27

Secara etimologi perkawinan berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri.

Begitu penting dan sentralnya fungsi suatu perkawinan dalam masyarakat, maka pelaksanaannya pun harus benar-benar selaras dan sejalan dengan ketertiban hukum dalam masyarakat.

28

Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.29Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan

al-dammuwa al-jam’u atau ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.30

27

Mahmud Muhammad Jauhari, akhawat al muslimat wa Bina Usrah al-Qur’anyah, Terjemahan Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayanti, Membangun Keluarga Qur’ani, Panduan untuk Wanita Muslimah, (Jakarta, Amzah, 2005), h.3.

28

W J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 453.

29

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur’an, 1973), h. 468.

30

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, h.38.

Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/akad dan bersetubuh/berkumpul.

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu ikatan dapat diidentifikasikan sebagai perkawinan apabila tujuan yang ingin dicapai adalah membentuk keluarga yang bahagia. DalamUUP 1/1974 perkawinan tidak hanya berbicara mengenai hubungan perdata suami istri, tetapi juga berbicara mengenai hubungan yang bersifat lahir dan bathin menuju kebahagiaan yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selanjutnya dalam Pasal 2 KHI juga diatur bahwa:

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaituakad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.

Menurut Sayuti Thalib :

“Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia”.31

31

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.45.

Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan :

“perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.”32

“Perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”. Selanjutnya jika merujuk pada pendapat para ahli, R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, menyatakan bahwa :

33

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Oleh karena itu yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara perempuan dan laki-laki yang didasari atas rasa cinta kasih menuju kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perkawinan lahir pula hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, hubungan hukum perkawinan harus dilindungi oleh landasan hukum yang kuat agar pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dapat berjalan dengan baik dan tertib.

Sedemikian luas pengaruh perkawinan maka ketika berbicara mengenai perkawinan setidaknya harus dilihat dari tiga segi pandangan :

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 21 yang artinya berbunyi “perkawinan adalah

32

Ibid, h.42. 33

R. Soetojo Prawirohamidjijo, h.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), h.61.

perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitssaqan ghalidzan”.34

a. cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian karena adanya:

b. cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.35

2. Perkawinan dilihat dari segi sosial.

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/tidak menikah.36

3. Pandangan perkawinan dari segi agama

Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah.37

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan Sebagaimana diuraikan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 1 yang artinya adalah :

34

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bogor, PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h.81.

35

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h.47.

36

Ibid. h.48. 37

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”38

1. Hukumnya beralih menjadi sunnah.

Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan 'illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.

Dengan 'illah seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.39

2. Hukumnya beralih menjadi wajib.

Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada perbuatan maksiat, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin.40

3. Hukumnya beralih menjadi makruh.

Dengan 'illahseseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa

38

Departemen Agama RI, Op. Cit, h.77. 39

Sayuti Thalib, Op.Cit, h.49 40

kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk kawin.41

4. Hukumnya beralih menjadi haram.

Dengan 'illahapabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-laki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 24 dan ayat 25 serta dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 231. Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayat-ayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.42

1. Asas kesukarelaan

Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita yang mengandung hubungan keperdataan. Asas-asas hukum perkawinan Islam secara umum adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya, dan monogami terbuka yang akan dijelaskan sebagai berikut :

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga

41

Ibid. 42

antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.43

2. Asas persetujuan kedua belah pihak

Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dariasas yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagaipersetujuan.

Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah RA mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Muhammad SAW, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya.44

Jika calon suami atau calon istri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka mereka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya yang dalam istilah Islam disebut akil baligh.

.Hadist nabi tersebut mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.