S I A R A N P E R S No. : 210/II/PIK-1/2003
I. HASIL AKHIR PENILAIAN KELANGSUNGAN USAHA PERUSAHAAN HUTAN TANAMAN
INDUSTRI (HTI) PATUNGAN
A. Latar Belakang
Pada awalnya program pembangunan HTI dirancang dengan tujuan pokok untuk meningkatkan produktivitas hutan alam dalam rangka mendukung kelanjutan pemenuhan bahan baku industri hasil hutan, sekaligus untuk rehabilitasi hutan dan perbaikan kualitas lingkungan alam serta membuka lapangan kerja. Saat itu jarang investor yang berminat dalam pembangunan HTI karena dianggap tidak bankable mengingat tidak sepadannya tingkat pengembalian usaha ( Rate of Return ) dibandingkan dengan biaya modal (Cost of Capital ) serta resiko ketidakpastian yang cukup tinggi.
Untuk mempercepat pembangunan HTI pemerintah menggandeng perusahaan swasta membentuk perusahaan patungan untuk melaksanakan pembangunan HTI. Dalam mendukung pembiayaannya, pemerintah langsung terlibat dengan skema Penyertaan Modal Pemerintah melalui BUMN Kehutanan dan fasilitas pinjaman dengan tingkat bunga 0%, dengan sumber dana berasal dari Dana Reboisasi (DR). Fasilitasi pembiayaan pemerintah dengan skema pinjaman 0 % pada saat itu dimaksudkan untuk memperkecil biaya modal sehingga program HTI dapat layak ekonomis. Dengan demikian sumber pembiayaan pembangunan HTI terdiri dari Penyertaan Modal Pemerintah ( PMP ), Penyertaan Modal Swasta ( PMS ) dan Pinjaman DR 0 %. Disamping itu pemerintah juga menfasilitasi skema semacam terhadap BUMN untuk melaksanakan HTI.
Semangat membangun HTI pada waktu itu ternyata tidak didukung dengan prinsip prudential ( prinsip kehati-hatian ) yang berlaku didunia perbankan, sehingga pengucuran pinjaman pada PHTI tidak sepenuhnya melalui prosedur kelayakan kredit yang ketat. Demikian pula skema penyertaan modal pemerintah juga tidak sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip investasi.
Sementara itu dengan adanya upaya melanjutkan kembali pembangunan hutan tanaman dan rehabilitasi sebagai salah satu dari 5 kebijakan prioritas, Departemen Kehutanan suka atau tidak suka harus mulai dengan pembenahan HTI patungan dengan kondisi yang sarat permasalahan. Dalam kaitan itulah dilakukan kebijakan restrukturisasi HTI.
B.
Pendanaan Pembangunan HTISelama ini peran terbesar pelaksanaan pembangunan HTI adalah oleh perusahaan patungan, yakni perusahaan patungan antara BUMN Kehutanan dengan perusahaan swasta. Dari sekitar 178 unit perusahaan HTI ternyata lebih dari 60% adalah perusahaan patungan yakni sebanyak 92 unit. Selebihnya merupakan perusahaan swasta murni sebanyak 80 unit, 1 (satu) PT. PIR Inti Indo Rayon dan swakelola baik oleh BUMN sebanyak 5 (lima) unit maupun oleh Dinas Kehutanan.
Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 375/Kpts-II/96 tanggal 19 Juli 1996 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Reboisasi Dalam Rangka Penyertaan Modal Negara RI dan Pinjaman Untuk Pembangunan Hutan Tanaman Industri oleh Perusahaan Patungan, skema pendanaan atau permodalan HTI oleh perusahaan patungan adalah 14% merupakan penyertaan modal pemerintah (PMP) yang disalurkan melalui BUMN, 21% merupakan penyertaan modal swasta (PMS). Sedangkan 65% merupakan dana pinjaman dari DR yang terbagi atas pinjaman tanpa bunga (bunga 0%) sebesar 32,5% dan pinjaman komersial juga sebesar 32,5%.
Sampai dengan tahun 1998/1999, dana DR yang telah disalurkan untuk pembangunan HTI lebih kurang sebesar Rp.2.417 milyar, yang terdiri dari PMP lebih kurang sebesar Rp.960 milyar, pinjaman dengan bunga 0% sebesar Rp.1.139 milyar dan pinjaman dengan bunga komersial sebesar Rp.318 milyar. Adapun luas areal HTI yang dilaksanakan oleh perusahaan patungan meliputi ± 1.250.000 ha.
Pada tahun 1997, DR yang semula dikelola oleh Departemen Kehutanan dengan kategori dana non budgeter telah dirubah menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditetapkan dengan UU No. 20 tahun 1997 dan dimasukan di dalam skema APBN. Kemudian Departemen Kehutanan menghentikan penyaluran DR untuk pembangunan HTI dengan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan No. 549/II-Keu/2000 tanggal 20 April 2000. Kebijakan tersebut selaras dengan PP Nomor 35 Tahun 2002, bahwa DR tidak dapat dijadikan PMP, akan tetapi hanya dapat digunakan sebagai dana pinjaman dengan tingkat suku bunga yang akan diatur kemudian.
Dari lebih kurang 2,7 juta hektar areal definitif pembangunan HTI perusahaan patungan dan BUMN (termasuk untuk infrastruktur dan areal konservasi di dalam areal HTI), realisasi fisiknya baru mencapai 34,5% atau sekitar 1,2 juta hektar.
Program pembangunan HTI memiliki arti strategis, untuk itu investasi yang telah ditanamkan oleh investor swasta dan terlebih lagi dana pemerintah harus diselamatkan. Dari aspek manajemen hutan terhentinya poses kelanjutan pembangunan fisik tanaman sangat mengganggu pengaturan kelestarian produksi akibat tidak adanya kontinuitas strata kelas umur tanaman.
Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan mengambil langkah-langkah kebijakan dengan melaksanakan restrukturisasi PHTI dalam rangka kelangsungan usaha HTI.
D.
Penanganan Perusahaan HTI PatunganMelihat berbagai permasalahan pembangunan HTI maka tujuan utama restrukturisasi ini adalah:
1.
Tujuan pembangunan HTI dapat tercapai;2.
Keuangan negara dapat diselamatkan;3.
Kelanjutan usaha terjamin.Kerangka pendekatan utama penanganan HTI Patungan diawali dengan telahaan komprehensif terhadap kondisi perusahaan patungan HTI. Telahaan ini dilakukan berdasarkan kriteria dan indikator yang sangat jelas, baik berdasarkan aspek teknis, finansial, hukum dan sosial.
Telaahan komprehensif dilakukan secara bertahap guna memberikan penilaian terhadap kelayakan keberlanjutan pembangunan HTI. Dari segi kelayakan perusahaan HTI sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4895/Kpts-II/2002 jo 8678/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Penilaian Kelangsungan Usaha Perusahaan HTI Patungan dan HTI BUMN ditetapkan klasifikasi perusahaan HTI secara berjenjang yaitu layak dan tidak layak. Pola penanganan PHTI selanjutnya ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4896/Kpts-II/2002 jo 8679/Kpts-II/2002 tentang Penanganan Perusahaan HTI Patungan dan HTI BUMN.
Bagi perusahaan yang termasuk kategori tidak layak teknis dan layak finansial, tidak layak teknis dan tidak layak finansial, serta layak teknis dan tidak layak finansial, Keputusan Menteri Kehutanan tentang HTI-nya dicabut, pinjaman DR ditagih dan dikembalikan ke Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perusahaan HTI Patungan yang layak teknis dan layak finansial dilaksanakan fasilitasi dan insentif yang mendukung kelanjutan pembangunan HTI yaitu:
4.
Dalam hal PMP telah disalurkan kepada perusahaan HTI Patungan dan masih mengendap di BUMN, maka dana PMP tersebut harus dikembalikan ke Pemerintah dan disalurkan sesuai dengan PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi;5.
Peluang penjadwalan ulang/rescheduling terhadap HTI patungan dan HTI BUMNyang saat jatuh tempo mengalami kesulitan cashflow dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
E.
Kelompok Kerja Restrukturisasi HTIdan Fasilitasi Kelangsungan usaha BUMN Kehutanan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 602/Kpts-II/2002 tanggal 28 Februari 2002 jo No. 8825/Kpts-II/2003 dan No. 26/Kpts-II/2003 tanggal 3 Pebruari 2003. Tugas kelompok kerja dalam penilaian kelangsungan usaha pembangunan HTI terdiri dari 3 (tiga) tahap, yakni :
1.
Mengumpulkan dan mengidentifikasi data dan informasi yang berkaitan dengan Perusahaan HTI;2.
Melakukan interprestasi dan analisis terhadap pelaksanaan kebijakan kehutanan pada Perusahaan HTI;3.
Memberikan rekomendasi terhadap keberlanjutan usaha pada Perusahaan HTI;F.
Hasil Evaluasi Kelompok Kerja Restrukurisasi HTIBerdasarkan hasil evaluasi terhadap 92 Unit PHTI maka diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Dari 92 unit Perusahaan HTI yang dievaluasi terdapat 3 unit Perusahaan HTI yang
telah dicabut dengan SK Menteri Kehutanan sebelum dimulainya POKJA
Restrukturisasi PHTI yaitu PT. Taman Hutan Asri, PT. Dirga Rimba dan PT. Eritani Lestari.
2. Selanjutnya penilaian dilakukan terhadap 89 unit Perusahaan HTI dengan perincian sebagai berikut :
a. Perusahaan HTI yang memperoleh klasifikasi penilaian layak teknis dan layak finansial sebanyak 31 unit Perusahaan HTI yang memperoleh nilai baik dengan penjelasan sebagai berikut:
No Nama PHTI
1 PT. Sumatera Slyva
2 PT. Tanjung Redeb
3 PT. Riau Abadi Lestari
4 PT. Rimba Berlian Hijau
5 PT. Purwa Permai
6 PT. Nusa Wana Raya
7 PT. Kirana Cakrawala
8 PT. Meranti Sembada
9 PT. Rimba Swasembada Semesta
10 PT. Musi Hutan Persada
11 PT. Finnantara Intiga
12 PT. Rimba Elok
13 PT. Parwata Rimba
14 PT. Kalpika Wanatama
No Nama PHTI
16 PT. Kusuma Puspawana
17 PT. Bhineka Wana
18 PT. Wana Teladan
19 PT. Pundiwana Semesta
20 PT. Lahan Cakrawala
21 PT. Belantara Pusaka
22 PT. Wana Perintis
23 PT. Wanakasita Nusantara
24 PT. Rimba Lazuardi
25 PT. Rimba Peranap
26 PT. Belantara Subur
27 PT. Sinar Belantara Indah
28 PT. Hutan Sembada
29 PT. Jenggala Semesta
30 PT. Wanamukti Wisesa
31 PT. Perintis Adiwana
Untuk kelangsungan usaha HTInya dipersyaratkan sebagai berikut :
1. Membuat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi kewajiban berupa pengembalian dana reboisasi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan disertai dengan akta penyerahan jaminan dalam sebuah akta Notaris;
2. Apabila sampai dengan jangka waktu yang ditentukan kewajiban tidak dipenuhi maka jaminan menjadi hak Dephut;
3. Sesuai dengan ketentuan pasal 81 PP No. 34 Tahun 2002 maka PHTI akan dinilai secara komprehensif oleh Lembaga Penilai Independent (LPI) dalam rangka keberhasilan pelaksanaan Hutan Lestari;
4. Membuat pernyataan didepan Notaris bahwa dalam rangka kelangsungan usaha pembangunan HTI akan dilakukan pemasukan dana talangan dari pihak swasta serta memberikan jaminan/agunan atas kesanggupan tersebut;
5. Membayar pengembalian pinjaman DR sesuai jadwal waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kredit (PK);
b. Perusahaan HTI yang memperoleh klasifikasi penilaian layak teknis dan tidak layak finansial dengan nilai buruk sebanyak 5 unit perusahaan HTI, maka kelangsungan usaha HTInya akan dicabut dengan melalui tahapan peringatan sebanyak 3 kali. Proses perkembangan peringatan sebagai berikut :
No Peringatan I Peringatan II Proses
Peringatan I
Proses Peringatan II
1 PT. Kirana Chatulistiwa PT. Taman Daulat W PT. Lahan Sukses
PT. Hutan Mahligai
2 - PT. Sam Hutani - -
c.
d. Perusahaan HTI yang memperoleh klasifikasi penilaian tidak layak teknis dan tidak layak finansial dinilai buruk sebanyak 51 unit perusahaan HTI, maka kelangsungan usaha HTInya akan dicabut dengan melalui tahapan peringatan sebanyak 3 kali. Proses perkembangan restrukturisasi sebagai berikut :
No Pencabutan
SKHPHTI
Peringatan I Peringatan II Proses
Peringatan I
Proses Peringatan
II
1 PT. Hutan Barumun PT. Rimba R H PT. Sumalindo H PT. Wana D PT.
Gunung M R
2 PT. Aceh Nusa I PT. Meranti Lestari PT. Pola I Rimba PT. Arangan H L PT. Kirana R
3 PT. Kiani H Lestari PT. Meranti L PT. ITCI H M PT. Dharma H L PT. Lahan M
4 PT. Tusam H Lestari PT. Lembah J M PT. Belantara P PT. Lingga T W -
5 PT. Silva I Lampung PT. Kelawit H L PT. Aceh SWNP PT. Puspawarna C
-
6 PT. Adindo H Lestari PT. Hutan Kusuma PT. Mayang A PT. Rimba D -
7 PT. Wanatani L PT. Jati Cakrawala PT. Dyera H L PT. Hutani T K -
8 PT. Intraca H Lestari - - PT. Tunas B -
9 PT. Surya H Jaya - - PT. Rimba S U -
11 PT. Rimba W Permai - - PT. Intan H L -
12 PT. Rimba T S - - PT. Wai Hijau H -
13 PT. Rimba E Permai - - PT. Dwima I -
14 PT. Anangga P - - PT. Berkat H P -
15 - - - PT. Rimba A -
16 - - - PT. Estetika R -
17 - - - PT. Meranti D -
18 - - - PT. Indadi S -
19 - - - PT. Fendi H L -
20 - - - PT. Lahan
Megah
-
e. Keterangan :
1. Terhadap 14 unit PHTI yang melalui presentasi dan mendapatkan pencabutan SKHPHTInya telah mengajukan gugatan Tata Usaha Negara sebanyak 10 Unit PHTI yaitu: PT. Hutan Barumun, PT. Intraca H Lestari, PT. Aceh Nusa I, PT. Adindo H Lestari, PT. Rimba Wawasan P, PT. Rimba Equtor P, PT. Rimba Timur S, PT. Anangga Pundi N, PT. Silva Inhutani L dan PT. Tusam H Lestari dan saat ini masih dalam proses; 2. Terhadap 1 unit PHTI yaitu PT. Menara Hutan Buana yang dinilai tanpa presentasi
diputuskan untuk dicabut SK HPHTI-nya karena melanggar ketentuan yang berlaku juga mengajukan gugatan Tata Usaha Negara dan masih dalam proses.
f. Perusahaan HTI yang dinilai khusus sebanyak 2 unit, dengan penjelasan:
1. PT. PIR Inti Indo Rayon Utama dinilai secara khusus karena PT. PIR Inti Indo Rayon Utama merupakan project pembangunan HTI Pola Plasma Inti Rakyat dengan menggunakan areal/lahan masyarakat yang mendapatkan persetujuan Presiden melalui Surat Menteri Sekretaris Negara RI No. 446/M.Sesneg/8//1991 tanggal 26 Agustus 1999. Untuk itu kelangsungan PT. PIR Inti Indo Rayon Utama ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. PT. Menara Hutan Buana dinilai tidak melalui presentasi dan diputuskan untuk dicabut SK HPHTI-nya karena melanggar ketentuan yang berlaku;
G. Tindak Lanjut Dari Pencabutan SK HPHTI.
Kawasan hutan produksi yang digunakan untuk HTI adalah kawasan hutan negara yang dikuasai oleh negara oleh karena itu, terhadap areal yang dicabut ijinnya Gubernur Provinsi yang bersangkutan ditugaskan untuk :
1. Mengawasi dan mengamankan pelaksanaan pencabutan HPHTI;
2. Mengawasi dan mengamankan kegiatan areal eks HPHTI dalam bentuk apapun sampai ada penetapan lebih lanjut;
3. Melakukan inventarisasi terhadap barang-barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang berada di areal eks HPHTI;
Terhadap areal HPHTI yang dicabut maka penanganan kegiatan pengelolaan hutan dengan mempedomani 4 (empat) kategori tentang kawasan sebagai berikut :
5. Kawasan hutan Produksi dengan kondisi tegakan yang baik dan tidak mendapat tekanan dari penduduk (tidak terdapat masyarakat di dalam dan sekitar areal hutan ---> dilelang.
6. Kawasan hutan Produksi dengan kondisi tegakan yang rusak dan tidak mendapat tekanan dari penduduk ---> rehabilitasi.
7. Kawasan hutan produksi dengan kondisi tegakan yang baik dan mendapat tekanan dari keberadaan penduduk yang cukup padat berada di dalam dan sekitar areal, mengindikasikan bahwa tegakan di areal tersebut masih prospektif untuk diusahakan, namun dengan adanya penduduk yang cukup padat kurang menjamin tidak terjadinya konflik untuk jangka panjang ---> Social forestry.
8. Kawasan hutan produksi dengan kondisi tegakan yang rusak dengan jumlah penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar areal hutan yang padat, perlu dilakukan pola pengelolaan hutan produksi dengan menerapkan pola-pola social forestry dengan titik berat kegiatan berupa rehabilitasi hutan ---> social forestry.
Perusahaan HTI yang dicabut harus mengembalikan pinjaman DR kepada pemerintah dengan pengambilan sumber pendanaan dari :
9. Dari Aktiva Lancar. 10. Penjualan Aktiva Tetap.
11. Penjualan hasil produksi tanaman. 12. Penjualan Asset Tegakan Tanaman. 13. Tanggung jawab dari pemegang swasta.
14. Penyerahan penyelesaian kepada Badan Utang Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
II.HASIL PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI SECARA LESTARI
OLEH LEMBAGA PENILAI INDEPENDEN (LPI)
A.Latar Belakang
1.Sumberdaya hutan perlu dikelola dan dimanfaatkan secara optimum sebagai satu-kesatuan ekosistem yang terintegrasi dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan berdasarkan prinsip sustainable forest management .
2.Pengelolaan hutan alam produksi secara lestari (PHAPL) merupakan serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial dari hutan produksi.
3.Untuk mengetahui kinerja pelaksanaan pemanfaatan hutan secara lestari, Departemen Kehutanan sedang melakukan penilaian/pengkajian secara holistik terhadap perusahaan pemegang HPH/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan alam, terutama dalam kemampuan perusahaan dan kelayakan sumberdaya hutan itu sendiri untuk dikelola secara lestari.
4.Untuk transparansi dan independensi proses penilaian, maka pengkajian
kemampuan perusahaan dalam mengelola hutan alam dan kelayakan sumberdaya hutan untuk dikelola secara lestari, dilaksanakan oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) yang diakui oleh Departemen Kehutanan. Saat ini, sesuai Kepmenhut No. 7659/Kpts-VI/2002 tanggal 21 Agustus 2002, telah ditetapkan 12 LPI mampu. 5.Dalam Pasal 15 PP No. 34 tahun 2002 disebutkan bahwa :
a.Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimum bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan.
b.Pemanfaatan hutan secara lestari wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari.
6.Saat ini Dephut telah menerbitkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan secara lestari sebagai derivasi Pasal 15 PP 34/2002, yaitu :
a.Kepmenhut No. 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan.
c.Kepmenhut No. 8171/Kpts-II/2002 tentang Kriteria Potensi Hutan Alam Pada Hutan Produksi Yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaanatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Pada Hutan Alam.
d.Kepmenhut No. 6420/Kpts-II/2002 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penilaian Lembaga Penilai Independen.
e.Keputusan Dirjen BPK No. 34/Kpts/VI-Set/2002 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pemanfaatan Hutan Produksi Lestari pada Unit Manajemen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam.
7.Kebijaksanaan tersebut di atas merupakan komitmen Departemen Kehutanan dalam mencapai pengelolaan hutan secara lestari, dengan mewujudkan kelestarian fungsi hutan, fungsi lingkungan, fungsi ekonomi, dan sosial masyarakarat sekitar hutan.
B.Tujuan Dan Sifat Penilaian Kinerja PHAPL
1.Penilaian kinerja PHAPL bertujuan untuk mengetahui kinerja perusahaan melalui penilaian kemampuan perusahaan dalam mengelola hutan secara lestari. Penilaian tersebut sepenuhnya dan kelayakan sumberdaya hutan untuk dikelola secara lestari, yang dilaksanakan oleh LPI yang diakui Departemen Kehutanan. Hasil dari penilaian ini akan merupakan bahan pertimbangan untuk menentukan status badan usaha atau unit manajemen untuk dilanjutkan atau dicabut.
2.Penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) akan dilakukan secara periodic setiap 3 tahun. Departemen Kehutanan akan mendanai seluruh biaya penilaian kemampuan perusahaan dan kelayakan sumberdaya hutan untuk tiga tahun pertama. Untuk selanjutnya biaya penilaian dibebankan pada unit manajemen yang dinilai.
C.Prosedur Singkat Penilaian Kinerja PHAPL oleh LPI 1.Prosedur Pengakuan LPI
a.Pengumunan di media masa cetak baik lokal dan Nasional
b.Seleksi calon LPI yang mendaftar, dilakukan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Departemen Kehutanan
c.Ditetapkan sebanyak 12 LPI Mampu berdasarkan Kepmenhut 7659/Kpts-II/2002
2.Prosedur Penilaian Kinerja Unit Manajemen (UM)
a.Penentuan jumlah UM yang dinilai berdasarkan kemampuan LPI b.Penentuan penilaian UM oleh LPI berdasarkan undian dilakukan secara
terbuka, antara lain dihadiri oleh wartawan.
c.Hasil undian penetapan UM yang dinilai oleh LPI ditetapkan Menteri kehutanan.
d.Pelaksanaan penilaian lapangan oleh Tim Penilai Lapangan
e.Hasil Penilaian Tim Lapangan dikoreksi oleh Panitia Teknis atau Panel Pakar
f.LPI membuat laporan akhir dari Kinerja PHAPL dari UM oleh LPI g.Laporan akhir Kinerja PHAPL UM disampaikan ke Dephut melalui Tim
Evaluasi (TE) untuk dievaluasi
h.Hasil Evaluasi TE atas laporan Kinerja PHAPL disampaikan ke Menhut. D.Rencana Penilaian Kinerja PHAPL Tahun 2002/2003
Total unit manajemen atau badan usaha yang akan dinilai untuk periode Oktober 2002 s/d Desember 2003 berjumlah 415 unit manajemen (UM) atau badan usaha, yang terdiri dari :
1.116 unit perusahaan pemohon perpanjangan izin atau permohonan baru (SP1 dan SP2), yang telah memenuhi segenap persyaratan administratif dan teknis sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
2.299 unit manajemen/badan usaha yang aktif/sedang berjalan. E.Realisasi Penilaian Kinerja PHAPL Tahun 2002
1.Untuk periode November 2002 s/d Desember 2002 telah dinilai oleh 12 LPI
sebanyak 27 unit manajemen/badan usaha. Hasil dari penilaian tersebut adalah : a.Sebanyak 12 (dua belas) UM mempunyai predikat sedang dan baik, serta
mempunyai potensi tegakan (standing stocks) di atas kriteria potensi standard minimal (sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 8171/Kpts-II/2002), sehingga dapat diproses lebih lanjut.
b.Sebanyak 10 (sepuluh) UM mempunyai predikat buruk, dan mempunyai potensi tegakan di bawah kriteria potensi standard minimal, sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut (ditolak).
d.Sebanyak 2 (dua) UM perlu diklarifikasi lebih lanjut hasil penilaiannya. 2.Penilaian kinerja PHAPL untuk sisa unit manajemen sejumlah 388 unit akan
diselesaikan sampai dengan Desember 2003. Penilaian tersebut akan dimulai pada bulan Maret 2003, yang dibagi dalam 3 periode penilaian, yaitu periode ke-1
sebanyak 130 UM, periode ke-2 sebanyak 130 UM, dan periode 3 sebanyak 128 UM.
III.RESTRUKTURISASI INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU (IPHHK)
A.Dasar Hukum
1.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6884/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Tata Cara Evaluasi Terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu ;
2.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6887/Kpts-II/2002 tanggal 12 Juli 2002 Jo. No. 10031/Kpts-II/2002 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif atas Pelanggaran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin Pemungutan Hasil Hutan dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan;
3.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor Nomor 10189/Kpts-VI/2002 tanggal 20 Nopember 2002 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Restrukturisasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHKK).
B.Kelompok Kerja Restrukturisasi Industri
Kelompok Kerja Restrukturisasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHKK), sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10189/Kpts-VI/2002 tanggal 20 Nopember 2002 dengan mempunyai tugas sebagai berikut :
1.Menginventarisasi dan mengidentifikasi kondisi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) meliputi Perizinan, Sistem Pengelolaan, Sumber Bahan Baku, Keadaan Mesin, Tenaga Kerja, Produksi dan Pemasaran serta Hutang Piutang;
2.Melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan kehutanan pada IPHHK; 3.Menyusun Pola Restrukturisasi IPHHK;
4.Memberikan rekomendasi keberlanjutan usaha IPHHK; 5.Tugas-tugas lain yang disepakati Kelompok Kerja. C.Strategi Restrukturisasi Industri Kehutanan
1.Menyeimbangkan supply dan demand pasokan bahan baku a.Pendekatan dari sisi supply :
i.Pembangunan Hutan Tanaman yang sesuai dengan kapasitas terpasang industri;
ii.Mendorong pemanfaatan kayu Hutan Rakyat untuk pasokan bahan baku industri;
iii.Upaya pemanfaatan kayu dari hasil perkebunan; iv.Import dari negara lain.
b.Pendekatan dari sisi demand :
i.Pengendalian pasokan bahan baku; ii.Pembaharuan mesin industri; iii.Peningkatan Recovery Factor; iv.Diversifikasi produk.
2.Penutupan, Penurunan Kapasitas, dan Holding Company D.Hasil Penilaian Restrukturisasi Industri Kehutanan :
Pada tahun 2002 telah dilaksanakan Evaluasi dan Pemeriksaan terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) yaitu :
a. PT. Wana Rimba Kencana di Propinsi Kalimantan Timur, dengan hasil :
Menadah, menampung atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sah (illegal). Saat ini penanganan kasusnya telah dilimpahkan kepada telah dilimpahkan kepada Jaksa Agung untuk proses
penyidikan. Selama menunggu Keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, telah diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang pembekuan sementara kegiatan IPHHK PT. Wana Rimba Kencana.
b. PT. Benua Indah di Propinsi Kalimantan Barat, dengan hasil :
Terdapat perluasan kapasitas produksi yang menyimpang dari izin yang ada. Saat ini penanganan kasusnya telah dilimpahkan kepada Kapolri untuk proses
penyelidikan dan penyidikan.
Demikian siaran pers disampaikan agar dapat diketahui oleh segenap pihak-pihak terkait.
Jakarta, 24 Pebruari 2003 Kepala Pusat Informasi Kehutanan ttd
MINISTRY OF FORESTRY SECRETARIAT GENERAL FORESTRY INFORMATION CENTER
___________________________________________________________
P R E S S R E L E A S E No.: 210/II/PIK-1/2003
RESULT OF APPRAISAL OF HTI JOINT VENTURE, SUSTAINABLE PRODUCTION FOREST MANAGEMENT,
AND THE RESTRUCTURING OF FORESTRY INDUSTRIAL
I. HTI JOINT VENTURE
A. Background
In the beginning, HTI development had the basic purpose of increasing the productivity of natural forest. The program would support the continued supply of raw material for forest product industry. It would also rehabilitate the forest, improve the quality of the environment and open up opportunities for employment. At that time few investors were interested in HTI development because they were considered not bankable due to the imbalance between the Rate of Return and the Cost of Capital as well as the quite high risk of uncertainty.
To accelerate the HTI development, the government went hand in hand with a private company to form a joint venture for carrying out the HTI development. In support of the financing, the government directly gets involved in the Government Capital Participation scheme through Forestry SOEs and loan facility at 0% interest, with the financial source from Reforestation Fund (DR). The government-financing facility with the 0% loan scheme at that time was intended to reduce the capital cost for an economically feasible HTI. Thus, the source of HTI development financing would comprise the Government Capital Participation (PMP), Private Capital Participation (PMS) and a 0% DR Loan. Besides, the government also facilitated a similar scheme for SOEs to carry out the HTI.
The spirit of HTI development at that time was not supported by the principle of prudence prevailing in the world of banking, and as a result the outlay of loan on PHTI did not fully go through a strict credit feasibility procedure. Likewise, the government capital participation scheme did not fully follow the principles of investment.
In the meantime, with the effort to continue the development of planted forest and rehabilitation as one of the 5 priority policies, the Ministry of Forestry, like it or not, must begin correcting the HTI joint venture in its condition laden with problems. In that connection HTI restructuring policy should work.
B. The Funding of HTI Development
Up to now the joint venture comprising State Owned Forestry Enterprise and the private company have played the biggest part in the HTI development. It turned out that more than 60% of 178 HTI company units were joint ventures, i.e. 92 units. The rest comprise pure private companies of 80 units, 1 (one) being PT. PIR Inti Indo Rayon and 5 (five) self-managed by State Owned Enterprise and Forestry Service.
According to Decree of the Minister of Forestry Number 375/Kpts-II/96 dated 19 July 1996 on the Procedure for Channeling the Reforestation Fund in the Scheme of RI State Capital Participation and Loan for Joint Ventures to Develop Industrial Planted Forest, the HTI funding scheme or capitalization by the joint venture comprises government capital participation (PMP) of 14% channeled through State Owned Enterprises and and private capital participation (PMS) of 21%. Up to 65% of it is a loan from Reforestation Fund comprising interest free loan (0% interest) of 32.5% and commercial loan of 32.5% as well. Up to 1998/1999 Reforestation Fund already channeled to the HTI development amounted to approximately Rp. 2,417 billion comprising approximately Rp. 960 billion of PMP, Rp. 1,139 billion of interest free loan and Rp. 318 billion loan at commercial interest. The area of HTI carried out by joint ventures covers approximately 1,250,000 hectares.
In 1997 the Reforestation Fund, formerly managed by the Ministry of Forestry under non-budgetary fund category was changed into Non-Tax State Revenue (PNBP) stipulated in Law Number 20 Year 1997, and included in the National Budget scheme. Later on, the Ministry of Forestry, by a Circular of Secretary General of the Ministry of Forestry Number 549/II-Keu/2000 dated 20 April 2000, stopped channeling the Reforestation Fund to the HTI development. The Policy was in accordance with the Government Regulation Number 35 Year 2002 stating that Reforestation Fund must not be used as PMP and that it could only be used as a loan at an interest rate to be stipulated later.
Out of about 2.7 million hectares of definite area of HTI development by the joint venture and State Owned Enterprise (including the infrastructure and the conserved area in HTI area), the physical realization has only reached 34.5% or about 1.2 million hectares.
The HTI development program has a strategic value, thus the fund already invested by the private investor and especially the government fund must be saved. From the aspect of forestry management the discontinued process of the physical development of plantation would seriously impede the sustainable production arrangement due to the absence of continual strata of the plant age classes.
Therefore, the government, in this case the Ministry of Forestry has taken policy steps on restructuring HTI companies in order to maintain the continuity of HTI business.
D. Handling the HTI Joint Venture
Considering the various HTI development issues, the main objectives of the restructuring are :
1. To achieve the objective of HTI development; 2. To rescue the state’s fund;
3. To guarantee the sustainable business.
The main approach framework of handling the Joint Venture HTI begins with comprehensive studies of the condition of the joint venture HTI. This studies are based on a very clear Criteria and Indicators from the technical, financial, legal and social aspects.
To evaluate the feasibility of the HTI development, the comprehensive studies proceed gradually. In terms of the feasibility of the HTI development, Decree of the Minister of Forestry Number 4895/Kpts-II/2002 jo 8678/Kpts-II/2002 on the Criteria and Indicators of Feasibility of the Joint Venture HTI and State Owned HTI Businesses classifies the HTI companies in layers into feasible and unfeasible. Decree of the Minister of Forestry Number 4896/Kpts-II/2002 jo 8679/Kpts-II/2002 on the Handling of Joint Venture HTI and State Owned HTI stipulates further the pattern of handling HTI companies.
The Ministry of Forestry shall revoke the Decree on the HTI of the companies categorized as technically unfeasible and financially feasible, technically and financially unfeasible or technically feasible and financially unfeasible. Also, the Reforestation Fund loan shall be collected and returned to the Government in compliance with the prevailing legislation. The government shall facilitate and give incentive to the technically and financially feasible Joint Venture HTI companies in support of the sustainable HTI development:
4. In the event that PMP has been channeled to a Joint venture HTI and the fund still remains in a State Owned Enterprise, it should be returned to the Government and used in accordance with the Government Regulation Number 35 year 2002 on the Reforestation Fund;
5. The government will give an opportunity to reschedule a loan to Joint Venture HTI and State Owned HTI that have a difficult cash flow situation when their loans fall due for acceptable reasons.
E. HTI Restructuring Working Group
8825/Kpts-II/2003 and Number 26/Kpts-II/2003 dated 3 February 2003 has set up a Joint Venture HTI Restructuring Working Group and provided Facilitation for Sustainable Business of the State Owned Forestry Enterprise. The working group’s task of appraising the feasibility of the HTI development comprises 3 (three) phases:
1. Collecting and identifying data and information related to the HTI companies; 2. Interpreting and analyzing the implementation of forestry policy in the HTI
companies;
3. Providing recommendations on sustainable business of the HTI companies; F. Result of Evaluation by HTI Restructuring Working Group
The result of evaluation of 92 HTI company units shows the following:
1. Out of 92 HTI company units evaluated, there are 3 HTI company units whose rights have been revoked by Decree of the Minister of Forestry before the establishment of PHTI Restructuring Working Group. They were PT. Taman Hutan Asri, PT. Dirga Rimba and PT. Eritani Lestari.
2. 89 HTI Company units have gone through appraisal as specified below:
a. 31 HTI Company units classified as technically and financially feasible have been graded as good with the following explanation:
No Name of HTI Company No Name of HTI Company
1 PT. Sumatera Sylva 16 PT. Kusuma Puspawana 2 PT. Tanjung Redeb 17 PT. Bhineka Wana 3 PT. Riau Abadi Lestari 18 PT. Wana Teladan 4 PT. Rimba Berlian Hijau 19 PT. Pundiwana Semesta 5 PT. Purwa Permai 20 PT. Lahan Cakrawala 6 PT. Nusa Wana Raya 21 PT. Belantara Pusaka 7 PT. Kirana Cakrawala 22 PT. Wana Perintis 8 PT. Meranti Sembada 23 PT. Wanakasita
Nusantara 9 PT. Rimba Swasembada
Semesta 24 PT. Rimba Lazuardi
10 PT. Musi Hutan Persada 25 PT. Rimba Peranap 11 PT. Finnantara Intiga 26 PT. Belantara Subur 12 PT. Rimba Elok 27 PT. Sinar Belantara
Indah
13 PT. Parwata Rimba 28 PT. Hutan Sembada 14 PT. Kalpika Wanatama 29 PT. Jenggala Semesta 15 PT. Kusuma Perkasawana 30 PT. Wanamukti Wisesa
31 PT. Perintis Adiwana
b. The conditions for continuing their HTI business comprise:
1. Making a statement of capability to fulfill the obligation of returning the reforestation fund within the stipulated time. This shall be accompanied by a deed of guarantee submission in the form of Notarial deed;
2. If within the stipulated time the company fails to fulfill its obligation, the Ministry of Forestry shall take possession of the guarantee; 3. Pursuant to the provision in section 81 of the Government
Regulation No. 34 Year 2002 an Independent Appraisal Agency will comprehensively appraise HTI companies in order to achieve the Conserved Forest;
4. Making a statement before a Notary public that in order to
guarantee the sustainable HTI development the private parties shall deposit an advance fund and give a guarantee/collateral for one’s capability;
In that regard, out of the 31 technically and financially feasible HTI Company units, a Reforestation Fund of ± Rp. 803.6 billion is rescuable, which comprises PMP of Rp. 214.3 billion, a 0% interest DR loan of Rp. 423.6 billion and a commercial Reforestation Fund loan of Rp 165.7 billion. c. There are 5 HTI Company units classified as technically feasible but not
feasible financially and graded bad. Consequently, their HTI business shall be closed down after 3 warnings. The warning developments are as follows :
d. 51 HTI Company units classified as technically and financially unfeasible have been graded bad. Consequently, their HTI business shall be closed down after 3 warnings. The restructuring developments are as follows :
e. Remarks :
1. Out of 14 units of HTI units with presentation and having the revocation of their HPHTI Decree, 10 PHTI Units have sued the State Administration Court i.e. PT Hutan Barumun, PT Intraca Lestari, PT Aceh Nusa I, PT Adindo H Lestari, PT Rimba Wawasan P, PT Rimba Equtor P, PT Rimba Timur S, PT Anangga Pundi N, PT Silva Inhutani L and PT Tusam H Lestari and are still in process. 2. 1 PHTI unit, i.e. PT Menara Hutan Buana appraised as lacking
presentation has received decision on revocation of its HPHTI Decree for its violation of the prevailing provision, and it has also sued the State Administration, which is still in process.
f. 2 units of HTI companies had to be appraised in a particular manner for the following reasons :
1. PT PIR Inti Indo Rayon Utama was a development project of Pola Plasma Inti Rakyat HTI using a public area/land with approval of the President of RI through Decree of the RI Secretary of State No. 446/M.Sesneg/8/1991 dated August 26, 1999. A follow-up measure will determine the existence of PT PIR Inti Indo Rayon Utama based on the prevailing provision;
2. Appraised as lacking presentation, PT Menara Hutan Buana received a decision on revocation of its HPHTI Decree for violating the prevailing provision;
G. Follow-Up to Revocation of HPHTI Decree
The State controls the area of production forest used for HTI, and therefore, as regards the areas whose permit has been revoked, the Governor of the Province concerned is assigned to :
1. Supervise and secure the process of HPHTI revocation;
2. Supervise and ensure that there will be no activities at the ex HPHTI areas at all until further notice;
3. Carry out inventory of both movable and immovable goods at the ex HPHTI areas; 4. Handle the handover of the said movable and immovable goods by drawing up a
Handover Official Report.
As regards the HPHTI areas whose permits have been revoked, the activities of forest management should be based on four categories of region as follows:
5. Production forest area with good stands and without community pressure (no community inside and around the forest). ---> sell at auction.
6. Production forest area with damaged stands and without community pressure. ---> rehabilitation
7. Production forest area with good stands and with pressure from the presence of quite a dense population inside and around the areas, indicating that the stands in the area still have prospect of undertaking, but with quite a dense population, there is no guarantee for preventing conflicts in the long term. ---> social forestry. 8. Production forest area with damaged stands and quite a dense population inside
and around the forest areas requires a production forest development pattern based on social forestry patterns with emphasis on forest rehabilitation. ---> social forestry. The HTI company whose permit has been revoked must return the Forest Reforestation loan to the government with the following funding sources:
12. Sale of Assets of Plant Stands 13. Responsibility of private holders
14. Submission of settlement to the State Agency for Payable/Receivable Settlement and Auction (BUPLN).
II. RESULT OF APPRAISAL OF PERFORMANCE OF SUSTAINABLE PRODUCTION FOREST
MANAGEMENT BY INDEPENDENT APPRAISAL INSTITUTION
A. Background
1. Forest resources should be optimally managed and utilized as one ecosystem unity integrated into economic, social and environmental interests based on the principle of sustainable forest management.
2. The Sustainable Production Forest Management is a series of strategies and activities ensuring the continued production, ecological and social functions of production forest.
3. To find out about the performance of sustainable forest utilization, the Ministry of Forestry is carrying out a holistic appraisal/study of the companies that hold a Forest Utilization Right (HPH)/ Timber Forest Crops Utilization License in natural forests, particularly in regard to the company’s capacity and the feasibility of the forest itself to be managed in a sustainable manner.
4. To keep the appraisal process transparent and independent, an Independent Appraisal Institution (LPI) recognized by the Ministry of Forestry has studied the company’s capacity for managing natural forests and the feasibility of forest
resources to be managed in a sustainable manner. Currently, pursuant to Decree of the Minister of Forestry Number 7659/Kpts-VI/2002 dated 21 August 2002, 12 competent LPIs have been appointed.
5. Section 15 of the Government Regulation No. 34 Year 2002 states that :
a. Forest utilization should aim at an optimal welfare of the entire community in a fair manner while maintaining the forest conservation.
b. Sustainable forest utilization must comply with the criteria and indicators of sustainable forest management.
6. Currently, the Ministry of Forestry has issued provisions related to the sustainable forest management being a derivation of Section 15 of the Government Regulation 34/2002 comprising :
a. Decree of the Minister of Forestry No. 4795/Kpts-II/2002 on Criteria and Indicators of Sustainable Production Forest Management in the
Management Unit.
b. Decree of the Minister of Forestry No. 4796/Kpts-II/2002 on Procedure for Appraisal of Sustainable Production Forest Management in the
Management Unit.
c. Decree of the Minister of Forestry No. 8171/Kpts-II/2002 on Criteria of the Natural Forest’s Potential in the Production Forests Eligible For Wood Forest Product Utilization License (IUPHHK) in Natural Forests.
d. Decree of the Minister of Forestry No. 6420/Kpts-II/2002 on Conditions and Procedure for Appraisal by the Independent Appraisal Institution.
e. Decree of the Directorate General of BPK No. 34/Kpts/VI-Set/2002 on Technical Guidelines on Appraisal of the Performance of Sustainable Production Forest Utilization in the Management Unit of Wood Forest Product Utilization License (IUPHHK) in Natural Forests.
7. The policy mentioned above is the Ministry of Forestry’s commitment to achieve sustainable forest management by conserving the forest, environmental, economic and social functions of the people around the forest.
B. The Objective and Nature of Performance Appraisal of Sustainable Management of Production Natural Forest (PHAPL)
1. The appraisal of PHAPL performance aims at finding out the company’s
sustainable manner. An LPI recognized by the Ministry of Forestry will carry out the entire appraisal as well as the study of feasibility of the forest resources to be managed in a sustainable manner. The result of this appraisal would serve as material for consideration to determine whether to renew or revoke the status of the business concern or Management Unit.
2. The sustainable management of production natural forest (PHAPL) will take place periodically once every 3 years. The Ministry of Forestry will fully finance the first three years’ appraisal of the company’s performance and feasibility of the forest resources. Thereafter the appraised Management Unit shall bear the cost of the appraisal.
C. A Concise Procedure for PHAPL Performance Appraisal by LPI 1. The Accreditation Procedure for LPI
a. Announcement in local and National print media.
b. Selection of potential LPIs from those that have registered shall proceed according to the provision set up by the Ministry of Forestry.
c. To appoint 12 competent LPIs pursuant to Decree of the Minister of Forestry No. 7659/Kpts-II/2002.
2. The procedure for Performance Appraisal of the Management Unit (UM)
a. To determine the number of UMs to be appraised based on LPI’s capacity b. To determine the UMs to be appraised by LPI through an open lottery, in the
presence of the press.
c. The Minister of Forestry will endorse the lottery result of UM determination. d. A Field Appraisal Team will carry out field appraisal.
e. A Technical Committee or Expert Panel will correct the result of field appraisal.
f. LPI will make a final report on the PHAPL performance of the UM.
g. An Evaluation Team will evaluate the final report before presenting it to the Ministry of Forestry.
h. The Evaluation Team will present the result of its evaluation on the PHAPL Performance to the Ministry of Forestry.
D. 2002/2003 PHAPL Performance Appraisal Plan
The total of Management Units or business concerns to be appraised for the period of October 2002 to December 2003 is 415 comprising :
1. 116 units of company applying for license renewal or new license (SP1 and SP2) that have met all the administrative and technical requirements in accordance with the prevailing legislation;
2. 299 active /running management units/ business concerns. E. Realization of 2002 PHAPL Performance Appraisal
1. 12 (twelve) LPIs appraised 27 management units/business concerns from November 2002 to December 2002. The result of the appraisal is :
a. 12 (twelve) Management Units are graded moderate and good, and have standing stocks above the minimum standard of potential criteria (pursuant to Decree of the Minister of Forestry No. 8171/Kpts-II/2002), thus it may proceed further into the next stage.
b. 10 (ten) Management Units are graded bad and have standing stocks below the minimum standard of potential criteria, thus it may not be processed any further (rejected).
d. The result of appraisal of 2 (two) Management Units needs further clarification.
2. The appraisal of PHAPL performance of the remaining 388 units shall be completed in December 2003. The appraisal shall start in March 2003, divided into 3 periods of appraisal comprising 130 Management Units in the 1st period, 130 Management Units in the 2nd period, and 128 Management Units in the 3rd period.
III. RESTRUCTURING THE WOOD FOREST PRODUCT PRIMARY INDUSTRIES (IPHHK) A. Legal Basis
1. Decree of the Minister of Forestry Number 6884/Kpts-II/2002 on the Criteria and Procedure for Evaluation of the Wood Forest Product Primary Industry;
2. Decree of the Minister of Forestry Number 6887/Kpts-II/2002 dated 12 July 2002 Jo. Number 10031/Kpts-II/2002 on the Procedure for Imposing Administrative Sanctions Against Misuse of License for Forest Product Utilization and License for Forest Product Harvesting and Business License for Forest Product Primary Industry; 3. Decree of the Minister of Forestry Number 10189/Kpts-VI/2002 dated 20 November
2002 on Establishment of Working Group for Restructuring Wood Forest Product Primary Industry (IPHKK).
B. The Working Group for Industrial Restructuring
The Working Group for Restructuring Wood Forest Product Primary Industry (IPHKK) pursuant to Decree of the Minister of Forestry Number 10189/Kpts-VI/2002 dated 20 November 2002 has the following tasks :
1. To inventory and identify the condition of Wood Forest Product Primary Industry (IPHHK). This includes the Licensing, Management System, Source of Raw Material, Condition of Machine, Manpower, Production and Marketing as well as Payables/Receivables;
2. To evaluate the implementation of forestry policy in IPHHK; 3. To prepare a Pattern of IPHHK Restructuring;
4. To give a recommendation on IPHHK’s sustainable business; 5. Other tasks agreed on by the Working Group.
C. Strategy for Forestry Industry Restructuring
1. A balance between supply and demand of the raw material supply a. An approach from the aspect of supply:
1. To Develop Planted Forests that meet the industrial built in capacity; 2. To encourage the utilization of wood from the Private (Social) Forest
for the supply of industrial raw material;
3. To make an effort to utilize the timber from the estate crops; 4. To import from another country.
b. An approach from the aspect of demand: 1. To control the supply of raw material; 2. To renew the industrial machines; 3. To increase the Recovery Factor; 4. To diversify products.
2. Closing down, Decreased Capacity, and Holding Company D. Result of Appraising the Restructuring of Forestry Industrial :
a. PT. Wana Rimba Kencana in East Kalimanatan Province with the result :
Alleged buying, storing or processing of raw material of forest product from illegal source. Currently, the case has been submitted to the General Attorney for
investigation process. While waiting for the Court Ruling with permanent legal force, the Minister of Forestry has issued a Decree on freezing the IPHHK activity of PT. Wana Rimba Kencana temporary.
b. PT. Benua Indah in West Kalimantan Province with the result :
There was expansion of production capacity that deviates from the existing license. Currently, the case has been submitted to Head of the RI Police for examination and investigation process.
There is a plan to Evaluate and Examine 44 IPHHK units in 2003. Currently, the appraisal of 5 IPHHK units is in progress.
This press release is conveyed to all stakeholders. Thank you.
Jakarta, 24 February 2003 Head of Forestry Information Center, TACHRIR FATHONI
______________________________________________________________________________________ _________
TRANSLATOR’S STATEMENT
The translation is done accurately and consistently from Indonesian into English. Jakarta, March 20, 2003
Pahala Tamba - Sworn Translator
