PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) DI JAWA TIMUR 1965-1987
(STUDI TENTANG PERANAN ORGANISASI KADER)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata (S-1)
Pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh :
AHMAD KHANIFAN
A0.22.10.010
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL SURABAYA
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur Tahun 1965-1987 (Studi Tentang Peranan Organisasi Kader)”. Fokus penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana latar belakang berdirinya Pelajar Islam Indonesia (PII)? (2) Bagaimana Pelajar Islam Indonesia (PII) sampai di Jawa Timur? (3) Bagaimana Aktivitas dan peranan Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur sebagai organisasi kader 1965-1987?
Dalam penelitian ini menggunakan metode historis atau metode sejarah. Di dalam metode sejarah ada empat langkah prosedur penulisan sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Metode sejarah dalam penelitian ini digunakan untuk mendiskripsikan sejarah berdirinya Pelajar Islam Indonesia, mulai latar belakang, proses bedirinya, perkembangan, dasar dan tujuan PII. Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi.
ix ABSTACT
This thesis titled "Indonesian Islamic Student East Java in 1965-1987 (Studies Role Kader Organisation)." The focus of the research discussed in this study were (1) What is the background the establishment of the Indonesian Muslim Students (PII)? (2) How does the Indonesian Islamic Students (PII) to East Java? (3) What is the role of student activity and Islam Indonesia East Java as a cadre organization from 1965 to 1987?
In this study using the historical method or methods of history. Inside there is a four-step method of the history of historical writing procedures are heuristic, criticism, interpretation and historiography. The historical method used in this study to describe the history of the Indonesian Islamic Student, ranging background, bedirinya process, development, basic and destination PII. While the approach in this study is the sociological approach.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... v
MOTTO ... ... vi
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR... ... x
DAFTAR ISI... ... xii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah. ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Kegunaan Penelitian... 11
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 12
F. Penelitian Terdahulu ... 15
G. Metode Penelitian... 17
H. Sistematika Bahasan... 20
BAB II: SEJARAH BERDIRINYA PELAJAR ISLAM INDONESIA A. Latar Belakang Berdirinya Pelajar Islam Indonesia... 21
B. Proses Berdirinya Pelajar Islam Indonesia ... 32
xiii
2. Struktur Organisasi Pelajar Islam Indonesia ... 40
C. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia ... 43
1. Sistem, Metode dan Materi Training PII... 58
2. Pengaruh Pola Kaderisasi Terhadap Sikap Politik PII ... 63
BAB III: PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) DI JAWA TIMUR A. Masuknya Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur ... 66
B. Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur ... 75
BAB IV: AKTIVITAS DAN PERANAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI JAWA TIMUR SEBAGAI ORGANISASI KADER TAHUN 1965-1987 A. Aktivitas PII di Jawa Timur 1965-1967 ... 79
1. Mental Training Pelajar Islam Indonesia Se-Jawa Timur di Desa Kanigoro Kec. Kras Kab. Kediri Tahun 1965 ... 79
a. Peristiwa Kanigoro ... 83
b. Dampak Peristiwa Kanigoro ... 90
2. Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) ... 94
3. Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur dan Gerakan Amal Soleh (GAS) ... 97
B. Aktivitas PII di Jawa Timur 1967-1987 ... 100
C. Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur dan Asas Tunggal Pancasila ... 103
xiv
BAB V: PENUTUP
E. Kesimpulan ... 120
F. Saran-saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki awal abad ke 20M, perkembangan-perkembangan
pokok di Indonesia pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru
mengenai organisasi.1 Ada yang bergerak dalam bidang politik, sosial
budaya, pendidikan, ekonomi yang bertujuan untuk perjuangan membela
bangsa negara. Pada saat yang bersamaan, kekuatan politik Islam mulai
merumuskan menjadi gerakan-gerakan modern, khazanah pengetahuan
Islam yang dipahami sebagai rumusan-rumusan normatif pada masa ini
berkembang menjadi ideologi.2 Pergerakan politik Islam yang pertama
yaitu Serikat Dagang Islam (1905) yang kemudian berubah menjadi
Serikat Islam (1911) dengan tujuan awal untuk menghimpun para
pedagang pribumi Muslim agar bersaing dengan pedagang-pedagang besar
asing.3 Sementara itu, kelompok Nasionalis Sekuler tampil pula dengan
Boedi Oetomo (1908), yang diawal kehadirannya hanya membatasi pada
lingkup teritorial Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Pada masa berikutnya gerakan-gerakan pemuda Islam mulai pula
tumbuh. Jong Islamieten Bond (JIB) yang lahir 1 Januari 1925
mempertegas adanya perbedaan ideologis dengan kelompok pemuda
1
M. C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2009),353.
2
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), 29.
3
Abdur Qadir Djaelani, Peta Sejarah Politik Umat Islam di Indonesia (Surabaya: Tri Bakti, 1996), 35.
2
Nasionalis Sekuler yang tampil dalam bentuk Jong Java (1915).4 Tujuan
JIB sendiri adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi
para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para
pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah.
Pada masa pemerintah kolonial Belanda, pendidikan bagi kaum
pribumi mendapat pula perhatian walaupun dalam jumlah terbatas dan
semakin masif ketika adanya kebijakan politik etis. Semua pendukung
politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia,
mereka menginginkan pendidikan yang lebih bergaya eropa dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar.5
Dilain pihak, pendidikan yang merupakan faktor penting dan
mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan
peradaban manusia. Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek
pendidikan yang dapat digolongkan dalam tiga periode; pendidikan yang
berlandaskan ajaran keagamaan, pendidikan yang berlandaskan
kepentingan penjajahan, dan pendidikan dalam rangka perjuangan
kemerdekaan.
Praktek Pendidikan yang berlandaskan dalam pendidikan
keagamaan yang menonjol di kalangan masyarakat Indonesia masa
kolonial Belanda ialah pendidikan Islam. Di Indonesia masuk dan
berkembangnya pendidikan Islam seiring dengan masuk berkembangnya
agama Islam di Indonesia. Corak pendidikan Islam Indonesia pra
4
Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984 (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), 19.
5
Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, 339.
3
kemerdekaan di perankan oleh umat Islam melalui pesantren. Awal mula
berkembangnya eksistensi kaum terpelajar sendiri jauh sebelum Indonesia
merdeka yaitu melalui peran lembaga pendidikan pesantren. Anderson
mengungkapkan bahwa pendidikan keagamaan tergambar dalam
pendidikan sistem pesantren, sebab lembaga pendidikan pesantren
merupakan lembaga yang cocok untuk mempersiapkan pemuda sebelum
mereka terjun di masyarakat. Karena di dukung oleh lingkungan serta
sistem nilai-nilai yang dibangun oleh pesantren dapat memberikan
pemahaman terhadap pemuda akan hakikat hidup.6
Setelah merdeka, pendidikan Islam memiliki harapan baru untuk
bisa berkembang lebih jelas, terbuka, dan demokratis. Umat Islam
Indonesia tak tertinggal menyambut munculnya era pendidikan baru yang
belum dirasakan sebelumnya akibat tekanan-tekanan politik penjajah.
Mereka bersemangat mendorong anak-anak usia sekolah agar menempuh
pendidikan.7
Kenyataan di lapangan, pendidikan Islam masa awal kemerdekaan
masih belum sepenuhnya memberikan kebebasan kepada umat Islam.
Semua praktek-praktek pendidikan model Islam masih terkotakkan dengan
model pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajahan seperti yang
dilakukan pemerintah era kolonial (Belanda dan Jepang). Jika dilihat
kebelakang, praktek pendidikan masa awal kemerdekaan Indonesia adalah
6
Ben Anderson, Revolusi Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), 24.
7
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga, 2006), 13.
4
warisan pendidikan yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda dan
Pemerintah penjajah Jepang, dan situasi internal bangsa Indonesia dalam
gabungan dari kedua hal tersebut.
Aqib Suminto menyimpulkan bahwa Belanda melakukan tiga jenis
kebijakan politik terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral terhadap
agama. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Inti dari politik ini
menghendaki agar di bidang kemasyarakatan bumi putera menyesuaikan
diri dengan kebudayaan Belanda. Jalan yang ditempuh adalah melalui
asosiasi dan pemanfaatan adat serta asosiasi pendidikan. Ketiga,
memberikan perhatian secara khusus dan serius pada perkembangan
paham tarekat dan Pan-Islamisme. Bagi Belanda, dua gerakan paham ini
sangat potensial untuk menimbulkan fanatisme di kalangan umat Islam.
Keseluruhan kebijakan yang ditawarkan oleh Belanda merupakan upaya
merebut kemenangan dalam persaingannya dengan Islam, demi kelestarian
penjajah itu sendiri.8
Dari beberapa kebijakan yang diterapkan oleh kolonial Belanda
tersebut berimbas bagi pendidikan di Indonesia hingga awal kemerdekaan,
yaitu terpisahnya antara peran pendidikan agama dan pendidikan sekuler,
atau biasa disebut pendidikan pesantren dan pendidikan umum. Jurang
yang memisahkan antara golongan pelajar Islam yang mendapat
pendidikan agama dan pendidikan sekuler, tampak semakin melebar
sampai pasca kemerdekaan. Realisasi jurang pemisah adalah implementasi
8
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986) , 28-29.
5
kebijakan yang tercantum pada kebijakan asosiasi Belanda, yang bertujuan
untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan negara penjajah
melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan merupakan garapan
utama.
Berangkat dari kondisi dualisme pendidikan Indonesia yaitu yang
memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama kemudian
melahirkan berdirinya Pelajar Islam Indonesia (selanjutnya disebut PII).9
Karena kondisi jurang pemisah antara pendidikan pesantren dan umum
jika dibiarkan akan menimbulkan perpecahan diantara penerus perjuangan
umat Islam. Diantara kekhawatiran yang akan ditimbulkan dari adanya
pemisah pendidikan tersebut, memberikan renungan mendalam untuk
mempersatukan pelajar islam yang mendapatkan pendidikan pesantren
maupun umum dalam wadah satu organisasi. Orang yang melakukan
perenungan mendalam dan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia
Ialah Djoesdi Ghozali, ketika sedang melakukan I’tikaf di Masjid Besar
Kauman Yogyakarta. Gagasan dari hasil renungan tersebut kemudian
disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Setyodiningrat
Yogyakarta, yang dihadiri oleh Anton Timur Djaelani, Amien Syahri, Ibrahim Zarkasji, dan Noersyaf. Dalam pertemuan tersebut tercapai kesepakatan untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.10 Untuk melanjutkan gagasan tersbut maka pada tanggal 30 April-1 Mei 1947 dalam kongres Gerakan Pemuda
9
Lahir tanggal 4 Mei 1947 dan setiap tanggal 4 Mei disebut dengan Hari Bangkit (Harba) PII biasanya dilaksanakan rangkaian-rangkaian peringatan kelahiran PII.
10
Moh. Husnie Thamrin & Ma’roov, Pilar Dasar Gerakan PII Dasawarsa Pertama Pelajar Islam Indonesia (Jakarta: Karsa Cipta Jaya, 1998), 32.
6
Islam Indonesia (GPII), disampaikan atas kesepakatan di gedung
Setyodiningrat untuk membentuk organisasi pelajar Islam. Dan hampir
keseluruhan peserta yang hadir sepakat untuk mendirikan organisasi
pelajar Islam dengan nama Pelajar Islam Indonesia. Menindak lanjuti
kesepakatan, maka pada 4 Mei 1947 dideklarasikan berdirinya Pelajar
Islam Indonesia (PII), di kantor Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII).11
Sejalan dengan berdirinya organisasi PII, perkembangan organisasi
ini menjadi organisasi resmi para santri, tak terkecuali persebaran PII
sampai di pondok-pondok pesantren di Jawa Timur. PII menyebar ke
beberapa pondok yang cukup termashur di Jawa Timur. Seperti pondok
Pesantren Darussalam Gontor, Walisongo Ngabar, Tebuireng dan Lirboyo.
Perkembangan PII di wilayah Jawa Timur menjadikan peranan penting
bagi keberlangsungan PII secara Nasional. Salah satu peranan PII di Jawa
Timur masa awal, yaitu seringnya menjadi tuan rumah acara-acara
nasional PII di beberapa daerah di Jawa Timur seperti Konferensi Besar
PII pertama di Gontor Ponorogo tahun 1947, Konferensi Besar ke lima di
Kediri tahun 1954,12 dan Muktamar Nasional XV di Surabaya tahun
1980.13 Juga terbentuknya dua Badan Otonom PII yang masih eksis
11
Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara (Studi Kasus Pelajar Islam Indonesia Tahun 1980-1997) (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006), 57-58.
12
Anton Timur Djaelani, Darma Bakti Pelajar Islam Indonesia Tafsir Asasi PII (Jakarta: Pengurus Pusat KB PII, 2001), 3.
13
M. Fathoni Mansyur Dkk, Kenang Kenangan Muktamar XV Pelajar Islam Indonesia 1 S/D 6 Januari 1980 di Surabaya (Surabaya: Seksi Humas dan Dokumentasi Panitia Muknas XV,1980), 3.
7
sampai sekarang yaitu Badan Otonom “Brigade PII” terbentuk dalam
Konferensi Besar Pertama pada tanggal 4-6 November 1947 di Gontor
Ponorogo,14 dan Badan Otonom “PII Wati” terbentuk dalam sidang
keputerian Muktamar PII X bulan Juli tahun 1964 di Malang.
PII merupakan salah satu organisasi pelajar yang dikenal sangat
konsisten mengamalkan ajaran Islam. Indikasi dalam mengamalkan ajaran
Islam ini termaktub dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangganya yaitu “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai
dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia”.15
Kesempurnaan pendidikan dimaksud yaitu upaya mengembangkan
usahanya untuk mewujudkan keseimbangan antara pendidikan agama
dengan pendidikan umum. Sedangkan orientasi dalam kebudayaan yaitu
menempatkan kesempurnaan kebudayaan tidak hanya dilihat dari
aspek-aspek material saja, tapi berupaya adanya kesinambungan antara berbagai
nilai, pemikiran, dan pranata-pranata budaya material tersebut dengan non
material (Aqidah, syariah dan akhlak).16
PII sebagai organisasi kader yang bangkit sejak tahun 1947, maka
PII melaksanakan kaderisasi yang merupakan proses pembinaan seseorang
atau sekelompok orang untuk menjadi seorang kader dalam sebuah
organisasi, wadah, lembaga atau semacamnya. Dalam rangka itu PII
menyelenggarakan kaderisasi sebagai bagian dari usaha orientasi
14
Husni Thamrin & Ma,roov, Pilar Dasar Gerakan PII, 46.
15
Lihat di Anggaran Dasar Pelajar Islam Indonesia (AD PII) tahun 1986 pasal 5 mengenai Tujuan PII.
16
PB PII, Rekonstruksi Falsafah gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) (Jakarta: PB PII Sidang Pleno Nasional, 1991), 17.
8
pendidikannya.17 Kader PII diharapkan menjadi kader yang idealis
sekaligus realis. Idealis dalam arti senantiasa berusaha untuk mengubah
yang ada ke arah kondisi yang lebih baik dan ideal, serta tidak pernah
putus asa menghadapi realita yang bagaimanapun, sedangkan realis,
mengandung arti mampu melihat realita dan berpijak diatasnya.18
Kiprah perjuangan PII tidak bisa dilepaskan sama sekali dari
pengaruh pergulatan politik dan sosial. Dari awal bangkitnya tahun 1947
sampai dekade 1980-an banyak terjadi perubahan di tubuh PII. Pada tahun
1950-an dan 1960-an nampak banyak pengaruh berbagai pemikiran dan
tindakan organisasi PII, akan tetapi mulai tahun 1970-an PII mulai
menapakkan kembali pada lahan binaan utamanya yakni pemuda dan
pelajar serta pembenahan orientasi gerakan dalam bidang kaderisasi,
pendidikan dan dakwah yang mendapat perhatian cukup menonjol.19
Pada masa runtuhnya Orde Lama dan berdirinya Orde Baru, yang
ditandai dari gagalnya kudetanya G30S/PKI. PII mempunyai peran
penting terhadap berdirinya Orde Baru. Salah satu peranan PII ialah
keikutsertaan dalam pengganyangan PKI di berbagai daerah di Indonesia,
tak terkecuali di daerah Jawa Timur.20 Peranan PII lainnya ialah
keikutsertaan dalam aksi Pemuda Pelajar Islam (KAPPI) yang dengan
komponen kelompok Pelajar Islam lainnya menuntut Tiga Tuntutan
17
GBHO, TAP/2/MUKNAS XVII/1986, 1.
18
Ibid., 3.
19
Ibid., 4.
20
Mu’adz Rodli. Peranan PII dalam proses kelahiran Orde Baru (Surabaya; Skripsi Fak.Adab UIN Sunan Ampel, 1991), 86-92.
9
Rakyat (Tritura) yang berisikan untuk menuntut pembubaran PKI beserta
antek-antekknya serta, perombakan Kabinet, dan juga turunkan harga.21
Pada masa Orde Baru, sebagai organisasi pemuda dan pelajar. PII
menghadapi tantangan perjuangan yang berbeda dari era sebelumnya.
Tantangan ini muncul paling tidak berkenaan dengan dua hal. Pertama,
berkenaan dengan fokus rezim Orde Baru pada modernisasi dan
pembangunan. Kedua, kehidupan kaum muslim berada pada masa
peralihan akibat industrialisasi yang dijalankan Orde Baru. Salah satu
akibatnya kian rasional dan praktisnya gaya hidup masyarakat.22
Salah satu kebijakan pemerintah yang menonjol dalam kurun
waktu 1970an-1980an masa Orde Baru ialah mengenai Pancasila sebagai
ideologi negara dan asas tunggal Pancasila. Pemerintahan Orde Baru lebih
memfokuskan pada pemurnian Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar
ideologis rezim. Pancasila sepenuhnya menjadi suatu pembenaran
ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan
suatu platform bersama dimana semua ideologi bisa dipertemukan. Orde
Baru mengklaim dirinya sebagai suatu orde atau tatanan pemerintahan
yang tampil sebagai kekuatan pengoreksi total terhadap rezim Orde Lama
dan hendak melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuaen.
Respon PII terhadap Rancangan UU Keormasan di mulai dari
tahun 1984 tepatnya tanggal 25 maret 1984, yang dituangkan dalam
21
Ibid., 96.
22
Hanan, Gerakan Pelajar,33.
10
sebuah pernyataan tentang pokok-pokok pikiran PB PII Tentang RUU
Keormasan yang berisi bahwa “Menolak setiap perangkat aturan atau
hukum yang secara sengaja atau tidak sengaja, akan mengeliminasi atau
mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari Anggaran Dasar atau
perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang bernafaskan
Islam”.23
PII di Jawa Timur terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila
yang termuat dalam UUK No.8 tahun 1985 tentang asas tunggal Pancasila
adalah satu suara dengan PII pusat, yakni sesuai instruksi PB PII dalam
pokok-pokok pikiran. 24 Sebagai organisasi kader, maka PII di Jawa Timur
tetap menjalankan aktivitas organisasi sebagaimana mestinya.
Berdasarkan dari pemaparan di atas, maka Penelitian ini sengaja
mencoba untuk mengetahui dan menjelaskan betapa pentingnya aktivitas
dan peranan Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur sebagai organsasi kader
yang dimulai dari tahun 1965–1987.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dibatasi
ruang lingkup penelitian ini, adapun rumusan masalah dalam skrpisi ini
yaitu:
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Pelajar Islam Indonesia?
2. Bagaimana Pelajar Islam Indonesia sampai di Jawa Timur?
23
Ibid., 135.
24
Ketetapan Muknas PII tahun 1986.
11
3. Bagaimana Peranan Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur sebagai
organisasi kader tahun 1965 – 1987 ?
C. Tujuan Penelitian
Selain apa yang telah dipaparkan didalam latar belakang di atas,
penulis juga mempunyai tujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui dan mengerti berdirinya PII di Jawa Timur.
2. Untuk mengetahui aktivitas PII di Jawa Timur dalam kurun waktu
1965-1987.
3. Untuk mengetahui peranan PII di Jawa Timur sebagai Organisasi
Kader.
D. Kegunaan Penelitian
Pada penelitian ini paling tidak memiliki beberapa kegunaan, baik
itu dalam ranah praktis dan ilmiah. Mengingat ruang lingkupnya, paling
tidak memiliki nilai dan manfaat penelitian yang terdapat didalamnya.
Penulis berharap agar dapat memberikan manfaat yang positif bagi semua
orang baik dari sisi keilmuan akademik maupun dari sisi
praktis,diantaranya sebagai berikut:
1. Sisi Keilmuan Akademik(Teoritis)
a. Berharap dapat memberikan sumbangsih secara ilmiah terhadap
suatu penelitian terhadap organisasi pelajar dan gerakan pelajar
12
b. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian yang mengkaji lebih mendalam terhadap Gerakan
Pelajar, khususnya mengenai peranan PII.
2. Sisi Praktis
a. Memberikan sudut pandang baru tentang sejarah Pelajar Islam
Indonesia Jawa Timur khususnya kepada kader/Anggota PII,
Pelajar dan masyarakat pada umumnya.
b. Memperkaya wawasan tentang arti penting nilai yang terkandung
dalam aktivitas dan Peranan Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur
1965 – 1987.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik.
Sesuai dengan judul skripsi ini “Pelajar Islam Indonesia Jawa
Timur 1965-1987”, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini adalah pendekatan historis, yaitu suatu pendekatan kesejarahan
yang memiliki ciri khas adanya model diakronis, yaitu pengungkapan
sejarah yang menawarkan bukan hanya struktur dan fungsinya yang
berdialektik dengan melihat realitas sejarah serta mengedepankan
pengungkapan peristiwa-peristiwa dari waktu ke waktu. Pendekatan
historis dijadikan peneliti untuk mengungkapkan apa yang
melatarbelakangi berdiri dan perkembangan PII sampai di Jawa Timur,
13
PII adalah salah satu organisasi Pelajar Islam yang tertua di
Indonesia, yang berdiri setelah kemerdekaan. Disamping PII sebagai
organisasi yang menghimpun pelajar Islam, PII juga selalu mengawal
jalannya pemerintahan. Begitu juga memperjuangkan bangsa Indonesia,
salah satunya ialah keikutsertaan dalam perjuangan menumpas Agresi
Militer 1 dan 2, dan Peristiwa Madiun 1948. PII berdiri karena adanya
dualisme terhadap Pendidikan, yakni pendidikan umum dan pesantren.
Maka dari itu digunakan penggambaran tentang peristiwa-peristiwa yang
terkait yang tentu didalamnya akan mengungkapkan segi-segi sosial dari
peristiwa yang dikaji. Sedang batasan temporal dalam penelitian ini
dimulai dari tahun 1965 sampai tahun 1989. Di mulai dari aktivitas PII
Jawa Timur sebagai organisasi kader dalam kegiatan Mental training
se-Jawa Timur di Kanigoro sebagai kaderisasi PII, sampai pada aktifitas dan
peranan PII Jawa Timur sebagai organisasi kader dalam penyeragaman
asas bagi setiap organisasi masyarakat yang tertuang dalan
Undang-Undang Keormasan 1985.
Sebagaimana telah menjadi karakteristik studi sejarah, bahwa di
dalam operasional studinya bercorak interdispliner. Corak studi
interdispliner sejarah, meniscayakan keterlibatan disiplin-disiplin
keilmuan yang lain untuk turut serta memberikan kerangka analisis
terhadap fenomena-fenomena sejarah yang telah dikaji. Keterlibatan
disiplin keilmuan yang lain yaitu seperti sosiologi, antropologi dan
14
peristiwa-peristiwa sejarah, sehingga peristiwa sejarah dapat dieksploitasi
secara lebih kritis, komprehensif dan mendalam.25 Maka ilmu bantu yang
relevan dengan penelitian sejarah ini ialah pendekatan sosiologi.
Adapun kerangka yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Strukturasi. Menurut Anthony Giddens26 strukturasi adalah konsep
Struktur, sistem dan dualitas struktur. Dengan teori tersebut peneliti akan
mencoba mengungkap PII yang merupakan organisasi tertua di Indonesia
semenjak kemerdekaan, berdiri atas keberadaan dualisme dikotomi
pendidikan di Indonesia yang mempersatukan pelajar Islam dalam satu
wadah organisasi dari pelajar yang mendapatkan pendidikan umum
maupun pendidikan agama. Kemudian perjalanan PII secara nasional dan
PII Jawa Timur harus berbenturan dengan Sistem pemerintahan yang ada,
yakni tekanan-tekanan dari pemerintahan, seperti saat pemerintahan Orde
Baru yang mengelurkan kebijakan penyeragaman Asas Tunggal
Pancasila dalam Undang-Undang Keormasan.
Dengan teori Strukturasi, peneliti berusaha dapat memberikan
analisis terhadap usaha PII di Jawa Timur dalam mempertahankan
peranannnya sebagai organisasi kader dalam menyikapi dualitas dan
sistem yang terjadi dalam Undang-Undang Keormasan 1985 tentang
Asas tunggal Pancasila.
25
Suhartono W. Pranoto, Teori dan metodologi sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu,2010), 20-23.
26
Anthony Giddens, The Constitution of society; Teori Strukturasi Untuk analisis Sosial (Pasuruan:Pedati, 2003), 19.
15
F. Penelitian Terdahulu
Dalam pengamatan penulis, penelitian yang membahas tentang
Pelajar Islam Indonesia sejauh pengamatan penulis telah mendapat
perhatian dan menjadi objek kajian dalam penelitian akademik,
khususnya di Fakultas Adab, di antaranya adalah
1. Peristiwa Kanigoro Kediri Tahun 1965. (Suatu analisis tentang teror
PKI terhadap PII), oleh Imam Turmudzi. Skripsi SKI Fak. Adab UIN
Sunan Ampel, Tahun 1999. Isi skripsi ini menjelaskan tentang latar
belakang peristiwa dan pengaruhnya, serta peranan umat Islam dalam
perjuangan melawan PKI.
2. Peranan Pelajar Islam Indonesia Dalam Proses Kelahiran Orde
Baru, oleh Mu’adz Rodli. Skripsi SKI Fak. Adab UIN Sunan Ampel,
Tahun 1991. Isi skripsi ini ialah tentang peran Pelajar Islam Indonesia
dalam proses kelahiran Orde Baru, penelitian ini dibatasi mulai tahun
1959 sampai dengan 1968. Dengan mengurai hubungan antara PII
dengan organisasi Islam lain dan pemerintahan Indonesia.
3. Komunikasi Organisasi Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII)
Dalam Kaderisasi, oleh Siti Latifah. Skripsi Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011. Hasil dari
penelitian skripsi ini menggambarkan bentuk pelaksanaan komunikasi
16
komunikasi vertikal, komunikasi Eksternal yang terdiri dari
komunikasi dari organisasi.
4. Peranan Organisasi Pelajar Islam Indonesia di Daerah Lumajang
Dalam Pendidikan Kebangsaan 1952-1989, oleh Yuyun Choirotul
Anis, Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Malang. Isi skripsi ini ialah tentang sejarah
berdirinya PII di Lumajang dan peranannya dalam pendidikan
kebangsaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang
memiliki kontribusi dalam mencetak generasi nasionalis Islami.
5. Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara: Studi kasus
Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997, oleh Djayadi Hanan. Tesis
Program Studi Ilmu Politik Pascasarjana Universitas Gajah Mada
tahun 1999 yang kemudian dijadikan buku. Dalam penelitian ini
penulisnya menekankan pada kronologis dalam kasus Asas Tunggal
Pancasila, bagaimana peran PII dalam merespon politik Orde Baru
pada kurun waktu 1980-an dan 1990-an.
6. Pilar Dasar Gerakan PII: Dasawarsa Pertama Pelajar Islam
Indonesia. Oleh Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov, Karsa Cipta Jaya,
1998. Membahas tentang awal berdiri PII dari kongres-kongres.
Membahas beberapa peristiwa yang terkait dengan PII, diantaranya
PII dengan PKI di kanigoro.
7. Tafsir Asasi PII; Darma Bakti Pelajar Islam Indonesia, oleh Anto
17
gerak sejarah PII sebagai organisasi pendidikan dan dakwah serta
posisi strategis PII dalam dinamika sosial yang menyertainya
Dari beberapa penelitian terdahulu di atas, peneliti tidak
menemukan tentang Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur 1965-1987
sebagai organisasi kader, maka dari itu penelitian ini lebih memfokuskan
pembahasannya pada PII di Jawa Timur, dan aktivitas serta
muatan-muatan yang ada didalamnya. Pembahasan yang akan dijabarkan dalam
penelitian nanti, antara lain seputar sejarah berdirinya dan perkembangan
PII hingga sampai di Jawa Timur, sitem kaderisasi PII sebagai organisasi
kader, dan aktivitas serta peranan PII Jawa Timur sebagai organisasi
kader.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti ialah bersifat studi
historis, yang dalam hal ini dianggap relevan untuk membahas skripsi ini
adalah metode sejarah. Sejarah merupakan rekonstruksi masa lampau yang
terkait pada prosedur penelitian Ilmiah.27 karena objek dari tujuan
penelitian ini adalah mencapai penulisan sejarah, maka upaya
merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti ini ditempuh melalui
metode sejarah. Pengumpulan data sumber sebagai langkah pertama kali
dilangsungkan dengan metode penggunaan bahan dokumen,28 yang
27
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Benteng Budaya, 1995), 18.
28
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu sosial Dalam metodologi Sejarah (Jakarta; Gramedia, 1992), 161-162.
18
bertujuan mendiskripsikan dan menganalisi peristiwa-peristiwa masa
lampau. Maka penelitian ini melalui empat tahap yaitu:
1. Heuristik atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang
dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan sumber-sumber,
data-data, atau jejak sejarah. Dalam pengumpulan sumber ini
penulis memperolehnya melalui Sumber kepustakaan, yakni data
yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan berbagai
macam literatur buku, majalah dan cetakan-cetakan yang
berhubungan dengan skripsi ini. Penulis dalam teknik ini mencari
sumber-sumber berupa data tertulis berupa dokumen, arsip serta
buku-buku yang berkaitan dengan objek yang dikaji, yang dapat
memberikan informasi terkait Pelajar Islam Indonesia maupun
peranannya di Jawa Timur yang relevan mengenai penulisan ini.
Selain itu penulis juga akan menggunakan sumber berupa
buku-buku yang diperoleh dari beberapa perpustakaan seperti
Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel serta
perpustakaan PII di sekretariat PW PII Jawa Timur di Kupang
Panjaan V/14 Surabaya yang relevan dengan permasalahan
penulisan ini.
2. Kritik sumber, adalah suatu kegiatan untuk meneliti
sumber-sumber yang diperoleh guna mengetahui kejelasan tentang
kredibilitasnya. Dalam proses ini dalm metode sejarah biasa
19
penelitian ini berharap data yang diperoleh benar valid dan
kredibel.
a. Kritik ekstren, yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk menguji
apakah isi sumber data cukup kredibel atau tidak, baik sumber
tulisan maupun lisan.
b. Kritik interen, yaitu kegiatan untuk menguji apakah sumber
data yang didapatkan benar-benar autentik atau tidak.
3. Interpretasi, adalah suatu upaya yang dilakukan oleh peneliti
untuk melihat kembali tentang sumber-symber yang didapatkan,
apakah sumber yang didapatkan dan telah diuji autentisitasnya
terdapat hubungan antara satu dengan yang lain. Berkaitan
dengan Interpretasi atau penafsiran terhadap sumber atau data
sejarah seringkali disebut dengan analisis sejarah.
4. Historiografi, merupakan tahap terakhir dalam metode sejarah,
yakni usaha untuk merekonstruksi kejadian masa lampau dengan
memaparkan secara sistematis, terperinci, utuh dan komunikatif
agar dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca. Dalam
penulisan tahap ini peneliti menghasilkan sebuah laporan
penulisan yang berjudul “Pelajar Islam Indonesia Jawa Timur
20
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, maka
sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab dan
masing-masing bab di bagi menjadi beberapa ruang lingkupnya. Adapun
sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas: Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,
Pendekatan dan Kerangka Teoritik, Penelitian Terdahulu, Metode
Penelitian, Sistematika Bahasan.
Bab kedua merupakan pembahasan mengenai: Sejarah Umum
Pelajar Islam Indonesia (PII). Bab ini berusaha menerangkan tentang latar
belakang sosial politik berdirinya PII, Proses berdirinya Pelajar Islam
Indonesia, Serta Kaderisasi yang ada di PII.
Bab ketiga pembahasan mengenai: Pelajar Islam Indonesia di Jawa
Timur. Bab ini berisi tentang masuknya PII di wilayah Jawa Timur dan PII
di Jawa Timur.
Bab keempat merupakan pembahasan mengenai: Aktivitas dan
peranan PII Jawa Timur sebagai organisasi kader tahun 1965-1987. Bab
ini berisi tentang aktivitas Pelajar Islam Indonesia di Jawa Timur tahun
1965-1967 dan 1967-1987. PII di Jawa Timur dan asas tunggal Pancasila,
serta peranan PII di Jawa Timur sebagai organisasi kader.
Bab kelima; penutup: Merupakan bab terakhir yang berisikan
21
BAB II
SEJARAH UMUM DAN PERKEMBANGAN PELAJAR ISLAM
INDONESIA
A. Latar Belakang Berdirinya Pelajar Islam Indonesia
Pelajar Islam Indonesia (PII) berdiri di Yogyakarta pada tanggal 4
Mei 1947. Latar belakang yang mendorong berdirinya organisasi PII
adalah adanya pengaruh sosial politik yang ditimbulkan oleh kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda dan Jepang serta faktor intern umat Islam di
Indonesia.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perjuangan umat Islam Indonesia sebelum kemerdekaan telah sejak
lama dilakukan. Terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari
belenggu penjajah Belanda yang bercokol sangat lama. Terdapat peranan
umat Islam yang terlihat secara menonjol dengan kekuatan Islam yang
menghiasai pemberontakan-pemberontakan terhadap Belanda di beberapa
bagian Indonesia. Pemberontakan tersebut antara lain seperti perang
Diponegoro (1825-1830), Perang Paderi (1802-1837) Pemberontakan
Banten (1888), Perang Aceh (1873-1911). 1
Pemerintah Belanda dalam menjalankan misi jajahan, sangat
khawatir dan takut terhadap kekuatan umat Islam dengan ajarannya dalam
kehidupan sosial yakni amar ma’ruf nahi munkar. Islam mengajak
1
Abdur Qadir Djaelani, Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam Di Indonesia (Surabaya: Tri Bakti, 1996), 14-24.
22
pemeluknya untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk
keburukan dan kejahatan dalam hidup. Dalam menghadapi kekuatan
Islam, maka Belanda menjalankan politik pecah belah (Adu domba) atau
yang biasa dikenal devide et impera.2 Kebijakan politik tersebut yang
berlaku tidak lain dimaksudkan untuk kepentingan kekuasaan jajahan.
Sejalan dengan usaha pelemehan potensi kekuatan umat Islam,
Belanda melakukan Kristening Politik atau politik kristenisasi yaitu
kebijakan yang menunjang kristenisasi dengan mendatangkan para
misionaris untuk beroperasi di daerah perbatasan dan penduduk yang
masih menganut kepercayaan animisme atau pengetahuan Islamnya yang
masih rendah. Salah satu misi ini diimplementasikan dengan mendirikan
rumah sakit, sekolah-sekolah dan gereja-gereja.3 Dengan sistem politik
kristenisasi ini diharapkan anak negeri yang pro-agamanya dengan
pemerintah Belanda tidak akan memusuhi Belanda. Untuk mencapai
sukses kristenisasi maka Belanda mengeluarkan kebijakan Politik
Asosiasi, yaitu bertujuan untuk mempererat hubungan antara dunia Barat
(penjajah) dan Timur melalui kebudayaan, dimana pendidikan menjadi
garapan utamanya.4
2
Devide et impera yaitu politik pecah belah. Khususnya umat Islam diadu domba agar mereka pecah. Sepihak dilawan, dan pihak lain dibantu. Bantuan Belanda tentu saja akan membawa untung Belanda sendiri, dan setelah pecah mereka mudah dikuasai. Praktik-praktik politik belanda ini banyak sekali merugikan umat Islam, M. Natsir Zubaidi & Moh Lukman Fatahullah Rais, Pak Timur Menggores Sejarah PII Menyiapkan Kader Umat dan Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), 152.
3
Djayadi Hanan, Gerakan Pelajar Islam Di Bawah Bayang-Bayang NegaraStudi Kasus Pelajar Islam Indonesia Tahun 1980-1997 (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006), 50.
4
Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986) , 39.
23
Tokoh dibalik diberlakukannya kebijakan politik asosiasi yang ada
tidak lepas dari peran seseorang dari Belanda yang mendalami Islam
Indonesia yakni Snouck Horgrounje.5 Kebijakan tersebut ditujukan
serangannya kepada segenap umat Islam di Indonesia. Karena Snouck tahu
kalau kekuatan Islam adalah salah satu penghambat bagi keberlangsungan
penjajahan. Menurutnya musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai
agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia pun membedakan
antara Islam dalam artian ibadah dan Islam sebagai kekuatan sosial politik.
Dalam kaitan ini, Snouck membagi masalah Islam atas tiga kategori yang
masing-masing mempunyai pemecahan tersendiri, tiga kategori ini ialah;
1. Bidang ibadah murni, 2. Bidang sosial kemasyarakatan, dan 2. Bidang
politik.6
Aqib Suminto menyimpulkan bahwa Belanda melakukan tiga jenis
kebijakan politik terhadap Islam. Pertama, kebijakan netral terhadap
agama. Kedua, politik asosiasi kebudayaan. Ketiga, memberikan perhatian
secara khusus dan serius pada perkembangan paham tarekat dan
pan-Islamisme. Diantara kebijakan-kebijakan kolonial tersebut mempunyai
bidang fokus masing-masing, dan yang terasa sampai pada tataran pelajar
ialah kebijakan asosiasi.7
Pelaksanaan politik asosiasi sendiri yaitu dengan mengirimkan
sebagian masyarakat pemuda untuk dididik dengan kehidupan Barat,
sehingga pola hidup mereka memakai pola kehidupan Barat. Maka
5
Ibid., 40.
6
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 12.
7
Ibid., 28-29.
24
pendidikan Barat haruslah diberikan kepada orang-orang Indonesia yang
jumlahnya semakin besar. Menurut analisa mereka bahwa pendidikan
Barat adalah alat yang paling pasti untuk mengurangi dan mengalahkan
pengaruh Islam di Indonesia.8 Melalui politik asosiasi, Belanda berusaha
menjauhkan kaum muslimin dengan ajaran Islam melalui pendidikan
Barat. Akibatnya, banyak perbedaan sikap dan pandangan antara pelajar
Islam yang berpendidikan Barat dengan pelajar yang tidak mengalami
pendidikan Barat. Dunia pelajar di Indonesia demikian juga menjadi dua
macam, yang penuh dengan didikan Barat dan yang lain penuh dengan
didikan agama.9 Pendidikan Barat waktu banyak diterima oleh kaum
priyayi dari lingkungan abangan yang pemikirian agamanya cenderung
bersifat mistik, dan relatif tidak memedulikan tuntutan
kewajiban-kewajiban agama Islam.10
Memasuki awal abad ke-20, dalam lapangan perjuangan bangsa
Indonesia, pemuda dan pelajar tidak ketinggalan dalam ikut serta
memperjuangkan tanah airnya dari tindakan kaum imperialisme dan
kapitalis Barat. Maka timbullah gerakan-gerakan pemuda, pelajar dan
kepanduan Indonesia.11 Gerakan pemuda yang terdahulu dibentuk di
Indonesia, ialah Jong Java atas dorongan Budi Utomo.12
8
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 48
9
Moh. Husni Thamrin & Ma’roov, Pilar Dasar Gerakan PII dasawarsa Pertama Pelajar Islam Indpnesia (Jakarta: Karsa Cipta Jaya,1998), 24.
10
Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, 353.
11
Thamrin & Ma’roov, Pilar Dasar Gerakan PII, 25
12
Budi Utomo didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian pada tanggal 4 Oktober 1908 mengadakan kongres yang pertama, berorientasi kepada kebanggaan kultur jawa-Hindu-Budha. Lihat Abdur Qadir Djaelani, Strategi perjuangan, 6
25
Menyadari kebijakan asosiasi yang memisahkan agama dari
sekolah-sekolah umum, justru membangkitkan kesadaran para pemuda
Islam untuk bersatu dalam satu organsisasi, seperti JIB.13 Jong Islamieten
Bond (JIB) yang lahir 1 Januari 1925 mempertegas adanya perbedaan
ideologis dengan kelompok pemuda Nasionalis Sekuler yang tampil dalam
bentuk Jong Java (1915).14 Tujuan JIB sendiri adalah untuk mengadakan
kursus-kursus agama Islam bagi para pelajar Islam dan untuk mengikat
rasa persaudaraan antara para pemuda terpelajar Islam yang berasal dari
berbagai daerah. Mulai tahun 1925 JIB dalam kongres pertamanya,
ditetapkan menjadi satu-satunya organisasi pemuda yang berhaluan Islam
sebagai jalan memupuk benih dari Sarekat Islam, sebagaimana Jong Java
dari Budi Utomo.15
Namun bersamaan dengan kedatangan tentara Jepang ke Indonesia,
organisasi-organisasi tersebut bubar. Dengan prioritas kebijakan Jepang
terhadap pengerahan pemuda Indonesia dengan cara latihan-latihan militer
yang diadakan pihak Jepang.16 Pada masa pendudukan Jepang, semua
kekuatan yang dilembagakan di dalam masyarakat umumnya
dibubarkan.17 Sehingga sekitar lima tahun lamanya terjadi kekosongan
mengenai gerakan-gerakan atau organisasi-organisasi pemuda, dari
13
Jong Islamieten Bond (JIB) didirikan oleh Haji Agus Salim pada tahun 1925. Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984 (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), 34.
14
Ibid., 19.
15
Thamrin & Ma’roov, Pilar Dasar Gerakan PII, 26-27.
16
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1993 ), 28.
17
Rusli Karim, HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi Politik Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1997), 69.
26
gerakan atau organisasi pemuda yang berpandangan sekuler maupun
Islam.18
2. Masa Pejajahan Jepang
Setelah penjajahan Belanda berakhir dengan ditandai datangnya
pasukan jepang di Indonesia tahun 1942. Dalam kurun waktu 3,5 tahun
(1942-1945) penjajahan Jepang juga mengeluarkan kebijakan terhadap
keberlangsungan kehidupan umat Islam Indonesia. Masuknya tentara
Jepang ke Indonesia pada bulan-bulan pertama, kedua dan ketiga tahun
1942 mendapat sambutan yang baik dari rakyat Indonesia. Tokoh
nasionalis Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Moh. Hatta bersedia
melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah pendudukan Jepang.
Faktor dari kerjasama itu adalah kebangkitan bangsa-bangsa Timur. 19
Pada akhir bulan Maret 1942, dari kerjasama antara Nasionalis Indonesia
dengan pihak Jepang dituangkan dalam bentuk institusional “Gerakan
Tiga A” (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon pemimpin
Asia). Tetapi Gerakan Tiga A hanya berumur beberapa bulan saja.
Pemerintah pendudukan Jepang menganggap bahwa Gerakan Tiga A tidak
begitu efektif di dalam usahanya untuk mengerahkan bangsa Indonesia.20
Dengan adanya“Gerakan Tiga A” (pemimpin Asia, pelindung
Asia, dan Cahaya Asia) bermaksud menarik simpatis terhadap rakyat
Indonesia dan meyakinkan bahwa Jepang adalah saudara seperjuangan.
Dalam perjalanan memang penerimaan semboyan jepang tersebut
18
Saidi, Pemuda Islam, 41.
19
Poesponegoro & Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, 14.
20
Ibid., 18-19.
27
membawa simpati rakyat Indonesia, tetapi selanjutnya simpati masyarakat
kepada Jepang semakin memudar hingga akhirnya berbalik menjadi
antipati.21 Dalam hal ini golongan yang utama mendapat perhatian dari
pemerintah pendudukan Jepang ialah golongan pemuda. Perhatian Jepang
dicurahkan kepada kaum muda karena mereka pada umumnya memiliki
sifat yang giat dan penuh semangat. Salah satu sarana yang dipakai pihak
Jepang untuk mempengaruhi kaum muda ialah melalui sarana pendidikan,
dengan cara latihan-latihan militer yang diadakan Jepang, kemudian mucul
Barisan Pemuda Asia Raya (BPAR). 22
Menurut Djayadi Hanan ada tiga langkah kebijakan yang dibuat
Jepang sehingga membuat rakyat menarik simpatinya. Pertama, jepang
berusaha mengubah segala corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua
sekolah harus bercorak Jepang dan yang tidak mematuhi akan dilarang
melanjutkan kegiatannya. Pemuda dan pelajar dididik secara militer.
Kemudian mereka dimobilisasi ke dalam berbagai barisan militer seperti
Seinendan (remaja), Keibodan (untuk pemuda), Fujinkai (untuk pemudi),
dan Hanco (untuk kalangan dewasa). Kedua, Jepang melaksanakan kerja
paksa (romusha) dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak
seks (jugun ianfu) bagi tentara Jepang. Di zaman Belanda, rakyat
mengenal kerja rodi yang juga merupakan kerja paksa. Para romusha
ditempatkan di berbagai pangkalan militer dan kubu-kubu pertahanan.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat, maka dibentuk Kempei Tai (Polisi
21
Hanan, Gerakan Pelajar Islam, 51.
22
Poesponegoro & Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, 14.
28
Militer) yang sangat terkenal sebagai algojo-algojo Jepang super kejam.
Ketiga, Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk
melakukan sekere yakni penyembahan Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap
pagi dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang. Secara aqidah, umat
Islam tidak dapat menerima hal itu karena sama dengan mengantarkan
orang untuk cenderung berbuat musyrik, yaitu salah satu dosa besar yang
ada dalam ajaran Islam.23
Kebijakan yang dikeluarkan Jepang punya tujuan sama seperti
kebijakan yang dilakukan oleh kolonial Belanda, yaitu untuk kepentingan
keberlangsungan jajahan. Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia
mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di
kalangan rakyat dan memobilisasi rakyat demi kemenangan Jepang.24.
3. Faktor Intern Umat Islam
Perjuangan umat Islam di Indonesia telah sejak lama dilakukan,
terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu kedua bangsa
penjajah yang bercokol sangat lama. Perjuangan umat Islam terutama
dalam kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai komunitas politik mulai
sejak awal abad ke-20 dengan munculnya berbagai organisasi. M. Rusli
Karim25 membagi perjuangan itu kedalam era sebelum dan sesudah
merdeka. Pada era sebelum merdeka terdapat dua jenis organisasi Islam
yakni;
1. Syarikat Islam.
23
Hanan, Gerakan Pelajar Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara. 51-52.
24
Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 425.
25
Karim, HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi, 53-54.
29
2. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Keberadaan organisasi ini digolongkan sebagai fase awal
perjuangan umat Islam. Selanjutnya, perjuangan umat memasuki fase
ideologis yakni, saat adanya elaborasi berbagai pandangan tentang Negara
Islam dan perjuangan ideologis pada masa pendudukan Jepang.
Fase perjuangan ideologis ini menurut M. Rusli Karim, berlanjut
hingga masa setelah Indonesia merdeka yang dapat dibagi ke dalam tahap:
1) Perjuangan tahun 1945. 2) Perjuangan pada fase demokrasi liberal. 3)
Perjuangan pada fase demokrasi terpimpin. 4).Perjuangan-perjuangan
setelah atau pasca demokrasi terpimpin.
Secara internal, di kalangan umat Islam sendiri ada berbagai
masalah serius yang harus diselesaikan. Belanda dengan strategi politiknya
berhasil memperbesar perbedaan dan perpecahan. Bahkan, memelihara
dan meningkatkan intensitasnya. Sisi lain, umat Islam yang telah
terpecah-belah kemudian berupaya untuk bersatu. Dan gagasan ini mewujud pada
tanggal 21 September 1937 dengan terbentuknya Majelis Islam A’laa
Indonesia (MIAI) di Surabaya,26 dengan tujuan sebagai forum untuk
melakukan diskusi. Akan tetapi, MIAI ini tidak berumur panjang karena
para anggotanya banyak perselisihan tentang masalah-masalah syari’at
Islam yang mendasar.27
Pasca kemerdekaan, organisasi umat Islam berupaya bersatu
kembali dalam naungan satu organisasi politik Islam yakni Majelis Syuro
26
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), 96.
27
Ricklef, Sejarah Indonenesia Modern, 414-415.
30
Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk dalam Kongres Umat Islam
Indonesia di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, tanggal 7-8
November 1945 di Yogyakarta. Dalam muktamar tersebut diputuskan
bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam Indonesia dan
Masyumilah yang akan memperjuangkan politik umat Islam Indonesia.
Dengan komponen ini, keberadaan partai politik yang lain tidak diakui.28
Selain aspirasi peranan umat Islam yang disatukan dalam partai
politik Masyumi, terdorong juga dari para pemuda dan pelajar Islam untuk
mempersatukan dalam satu organisasi Islam kalangan pemuda, yaitu
berdirinya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (Selanjutnya disingkat; GPII)
pada tanggal 2 Oktober 1945 di Jakarta dan diketuai oleh Harsono
Tjokroaminoto, terbentuknya GPII atas dasar inisiatif Mohammad Natsir,
K.H. Wahid Hasyim dan Anwar Tjokroaminoto.29 Wadah organisasi
pemuda Islam ini diharapkan dapat memenuhi zaman kemerdekaan, yaitu
dapat menciptakan kader-kader dan bibit-bibit pemimpin Islam
(khususnya di bidang politik) dan dapat mempersatukan pemuda-pemudi
yang berasal dari pesantren dengan pemuda-pemudi yang berasal dari
sekolah umum.30
Setelah itu banyak organisasi-organisasi pemuda berdiri, seperti
Persa-tuan Pemuda Kristen Indonesia (tanggal 4 november 1945),
Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI),
28
Ahmad Aziz Tabba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Pres, 1996), 159.
29
Djaelani, Peta Sejarah Perjuangan Politik, 26.
30
Ibid., 27.
31
Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI),
Pemuda Sosia-lis Indonesia (Pesindo) dan lain-lain. Dan pada tanggal
10-11 November 1945, di Yogyakarta diselenggarakan kongres Pemuda
Indonesia, dan berhasil mendirikan organisasi Koordinasi Pemuda yang
bernama Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, yang dipimpin oleh
pimpinan umum Chairul shaleh (API) dan wakil ketua umum Ahmad
Buchori (GPII).
Dari kalangan pemuda Islam yang berada di perguruan tinggi juga
mendirikan organisasi Islam yaitu organisasi Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, dengan tokoh
pendirinya ialah Lafran Pane. Lahirnya HMI sendiri merupakan salah satu
corak respon angkatan muda Islam dalam menghadapi tantangan
bangsanya yang baru saja terlepas dari belenggu penjajahan.31 Berdirinya
HMI karena adanya tiga tantangan; Pertama, situasi bangsa Indonesia
yang sedang mengalami masa revolusi untuk mempertahankan
kemerde-kaan. Kedua, situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan yang
retak (tidak bersatu) dalam memandang ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum. Ketiga, situasi umat Islam yang terpecah belah dalam
berbagai aliran keagamaan dan politik serta kemiskinan dan kebodohan.32
Dari organisasi pemuda Islam dan organisasi mahasiswa Islam
yang disebutkan diatas, GPII dan HMI menjadikan latar belakang motivasi
dasar berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk
31
Karim, HMI MPO Dalam Kemelut Modernisasi, 95-96.
32
Ibid., 98.
32
menghimpun pelajar yang berada di pendidikan umum dan pendidikan
pesantren.
B. Proses Berdirinya Pelajar Islam Indonesia
Pelajar Islam Indonesia (selanjutnya disebut PII) didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947, didirikan oleh Djoesdi Ghozali.
Seorang mahasiswa Fakultas Hukum Sekolah Tinggi Islam (STI) sekarang
Universitas Islam Indonesia (UII). Ia lahir pada tanggal 20 Oktober 1923
di Klaten. Pendidikan dasar ditempuh di Sekolah Rakyat dan lulus 1934
kemudian menyelesaikan sekolah menengahnya di Madrasah Mambaul
Ulum Solo pada tahun 1942.33
Faktor pendorong untuk membentuk organisasi PII adalah
dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang
merupakan warisan kolonial Belanda, yakni terpisahnya pondok pesantren
dan sekolah umum yang masing-masing dinilai memiliki orientasi yang
berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah
umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah
menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan, santri
pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem
pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat
para santri menjuluki pelajar sekolah umum dengan “pelajar kafir”.
33
Mengenal pribadi Joezdi Ghozali pendiri dan ketua Umum PII Pertama dalam Kenang Kenangan Muktamar XV Pelajar Islam Indonesia 1 S/D 6 Januari 1980 di Surabaya (Surabaya: Panitia Muktamar Nasional XV, 1980),39-43.
33
Sementara pelajar sekolah umum menilai pondok pesantren kolot dan
tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan “santri kolot”.34
Melihat kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika
Djoezdi Goezali sedang melakukan iktikaf di Masjid Besar Kauman
Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya untuk membentuk suatu organsasi
bagi pelajar Islam yang dapat mewadai segenap lapisan pelajar Islam.
Gagasan ini lahir dari perenungan di Masjid Kauman kemudian
disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodiningrat,
Yogyakarta. Rekan-rekan yang turut hadir dalam pertemuan tersebut,
antara lain; Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zakhasyi,
dan Noersjaf semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan
organisasi pelajar Islam.35
Hasil kesepakatan yang diamini oleh rekan-rekan Djoezdi Ghozali
kemudian disampaikan dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII), pada tanggal 30 Maret-1 April 1947 di Gedung Muallimin.
Djoez-di Gozali mengemukakan gagasan tersebut kepada peserta kongres. Dalam
hasil pertemuaan ini menghasilkan kebulatan tekad untuk membentuk
organisasi pelajar islam yang tunggal dan independen dengan nama Pelajar
Islam Indonesia (PII).36
Untuk lebih merealisasikan dari kesepakatan dalam kongres GPII
di gedung Muallimin, pada hari ahad, 4 Mei 1947 digelar pertemuan di
34
KB PII Lumajang, Kenangan Indah Pelajar Islam Indonesia (Lumajang: KB PII, 2012), 4.
35
Ibid.
36
Thamrin & Ma’roov, Pilar Dasar Gerakan PII, 40.
34
Kantor GPII Jalan Margomulyo No.8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri
oleh beberapa organisasi pelajar Islam lokal sayap pelajar yang siap untuk
dilebur ke dalam organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Di sana
juga telah hadir Djoesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan wakil-wakil
organisasi Pelajar Islam lokal yang telah ada. Mereka adalah
1. Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS),
2. Multazam dan Shawabi dari Penggabungan Kursus Islam Sekolah
Menengah (PERSIKEM) Surakarta,
3. Dida Gursida dan Supomo NA dari perhimpunan Pelajar Islam
Indonesia (PPII) Yogyakarta.37
Dalam pertemuan tersebut yang dipimpin oleh Djoesdi Ghozali
itulah diputuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).
Tepatnya pada pukul 10.00 WIB tanggal 4 Mei 1947. Dalam pertemuan,
sekaligus juga ditetapkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah
Tangga (ART) PII. Serta menyusun pengurus Besar PII periode pertama,
yang terdiri atas
Ketua Umum : Djoesdi Ghozali
Wakil I : Thoha Mashudi
Wakil II : Mansur Ali
Sekretais Jenderal : Ibrahim Zarkasyi
Bendahara : Karnoto
Bagian Pendidikan : Amin Syahri
Bagian penerangan : Anton Timur Djaelani Bagian keputrian : Tejaningsih
Maesaroh Hilal
Anggota : Mashudi
Multazam Sowabi
37
KB PII Lumajang, Kenangan Indah Pelajar Islam Indonesia, 5.
35
Yahya ubaid Suparna MA Noersjaf38
Dengan uraian yang melatarbelakangi keadaan bangsa sebelum
kemerdekaan, pendirian organisasi pelajar Islam Indonesia jelas bahwa
motivasi utama PII adalah motivasi Keislaman dan Kebangsaan. Motivasi
ke-Islam-an yang mendorong pendirian PII didasari oleh keprihatinan
terhadap keadaan pelajar Islam yang terpisah antara pendidikan umum dan
pendidikan pesantren, yang bila dibiarkan seperti saat itu akan mengalami
kebekuan. Sementara itu, motivasi ke-bangsa-an muncul dari keprihatinan
para pendiri PII terhadap nasib bangsa Indonesia yang baru saja terlepas
dari penjajahan yang sangat lama. Dalam jangka pendek dan panjang,
menurut mereka, bangsa ini pasti memerlukan wadah yang dapat menjadi
penjaga keutuhannya sekaligus penyedia kader-kader pengganti para
pimpinannya.39 Dalam kutipan Yudi Latif, menurut Djoesdi Ghozali
berdirinya PII terinspirasi oleh keberadaan Jong Islamieten Bond (JIB)
yang pernah eksis, dan PII dimaksudakan untuk menyatukan para pelajar
Muslim di sekolah-sekolah sekuler dan agama dalam rangka menciptakan
intelek-ulama dan ulama-intelek.40 Dalam hal tersebut Djoesdi Ghozali
dalam Thamrin dan Ma’rov, juga mengatakan bahwa:
“Lahirnya PII, bukanlah semata-mata atas jasa kawan-kawan tersebut di atas tetapi adalah sebagai penjelmaan, bahkan kelanjutan kehidupan benih kesadaran segenap pemuda pelajar Islam Indonesia yang
38
Hanan, Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara, 58-60.
39
Ibid., 54-57.
40
Yudi latif , Genealogi Inteligensia; Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX (Jakarta: Kencana Prenada, 2013), 387.
36
tertanam dengan sejak berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB) tanggal 31 Desember 1924, juga sebagai rangkaian sejarah Sarikat Islam 1912 dan Budi Utomo 1908.41
Sebelum berdirinya PII, organisasi pelajar di Indonesia sudah
berdiri terlebih dahulu organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (Selanjutnya
disebut IPI) pada tanggal 27 September 1945. Lahirnya IPI sebelum
berdirinya PII sudah tersebar di berbagai lapisan masyarakat pelajar di
Indonesia, organisasi IPI sendiri dari awal berdirinnya dimaksudkan
sebagai satu-satunya organisasi pelajar untuk seluruh Indonesia. Akan
tetapi dalam perkembangannya, IPI tidak mampu menghimpun pelajar dari
Sekolah Menengah Islam maupun pondok pesantren.42
IPI yang ketika berdirinya sudah melakukan Pasive Stelsel
Keang-gotaan, 43 maka berdirinya PII mendapatkan reaksi dari IPI (Ikatan Pelajar
Indone-sia), mereka menilai bahwa pendirian PII akan menimbulkan
perpe-cahan dikalangan pelajar. Oleh karena itu, diadakan pertemuan
antara Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI)
pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro,
Yogyakarta. Hasil pertemuan ini dituangkan dalam “Perjanjian
Malioboro” yang isinya antara lain tentang pengakuan hak hidup PII oleh
IPI. Perjanjian ini di tandatangani oleh Sekjen PB IPI Busono Wiwoho dan
Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasy. antara lain memuat bahwa “Berdirinya
Organisasi PII di samping IPI adalah dianggap perlu, terutama untuk
41
Thamrin dan Ma’roov, Pilar dasar gerakan PII , 32.
42
Ibid., 42.
43
Pasive Steltel Keanggotaan adalah penganggapan bahwa seluruh pelajar Indonesia pada dasarnya adalah anggota.
37
mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, sedangkan
yang berhubungan dengan soal-soal umum dikerjakan bersama-sama oleh
IPI dan PII”.44
Selanjutnya, dimana ada IPI maka di situ akan didirikan PII.
Ke-beradaan IPI ketika itu yang sudah terdapat di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di semua sekolah menengah. Anggota IPI yang beragama Islam
kemudian membantu berdirinya PII. Sebaliknya, PII juga bersedia
bekerja-sama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan secara kolektif dan
bersifat nasional. Dalam perjalanan kedua organisasi itu kemudian terlihat
perkembangan yang menunjukkan kemajuan PII lebih pesat daripada IPI.
IPI kemudian berubah nama menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar
Indone-sia) dan lebih berorientasi pada soal kepemudaan hingga belakangan mulai
terpengaruh paham komunis. Atas dasar itu, PII tidak lagi melanjutkan
kerjasama dengan IPPI, terutama sejak dipimpin oleh Suyono Atmo.45
1. Dasar, Tujuan dan Program Kerja Pelajar Islam Indonesia
Dasar organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah Islam, seperti
yang tercantum dalam Anggaran Dasarnya pada Bab II mengenai dasar
atau asas organisasi. Bentuk dan sifat PII adalah berbentuk kesatuan dan
tidak menjadi bagian dari organisasi/golongan politik manapun, juga
merupakan gerakan pendidikan dan dakwah Islam. PII mempertegas
peranan dan eksistensinya sebagai organisasi berbasis pelajar yang konsen
44
Thamrin dan Ma’roov, Pilar dasar gerakan PII ,42.
45
Hanan,.Gerakan Pelajar Islam, 61.
38
terhadap pendidikan, dakwah dan kebudayaan. Sebagai implementasinya,
PII menggariskan tujuan organisasi yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan
kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan
umat manusia”.46
Pada mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan
pengajaran bagi seluruh anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli
1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran
dan pendidikan, kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi Republik
Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan
lagi pada Kongres VIII tahun 1960 di Cirebon menjadi "Kesempurnaan
pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat
Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII
tersebut yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum
dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4.
Pada tujuan ini terdapat dua hal yang ingin dicapai oleh PII, yakni
kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan. Kedua komponen tersebut
merujuk pada Islam sebagai sumber nilai dan pandangan dunia, sedangkan
segenap pelajar dan rakyat Indonesia dan umat manusia adalah wilayah
dakwahnya. Untuk mewujudkan tujuannya, usaha yang dilakukan PII
sesuai dengan Bab V Pasal 7, adalah:
1. Mendidik anggotanya menjadi orang yang berkepribadian Muslim dan
tunduk patuh hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.
46
Anggaran Dasar PII tahun 1976 dan 1986.
39
2. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen,
kesanggupan berdiri sendiri tanpa ketergantungan kepada orang lain.
3. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas dan ketrampilan anggota
4. Mencetak kader-kader pemimpin yang berkepribadian muslim dalam
setiap bidang kehidupan.
5. Ikut berpartisipasi dalam segala kegiatan sosial untuk kepentingan
Islam dan umat manusia.
6. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan dan
kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi anggotanya.
7. Membantu memenuhi minat, kebutuhan serta mengatasi problem
pemuda, pelajar dan mahasiswa.
8. Membina dan mengembangkan apresiasi dan implementasi ajaran/
syariat Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.47
Proses mencapai tujuan dalam garapan utama terhadap pendidikan
dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam, maka PII mempunyai Tri
komitmen PII, yakni Pelajar, Islam, dan Indonesia. Ketiga kata tersebut
sebagai kesatuan yang masing-masing menempati posisi sebagai berikut:
a. Pelajar sebagai sarana dakwah. Artinya menekankan pada penanaman
nilai-nilai Islam, dan ingin berpartisipasi membangun umat, khususnya
masyarakat pelajar.
47
Anggaran Dasar PII 1986 Bab V pasal 6 tentang Usaha.
40
b. Islam sebagai sumber nilai. Yang mempunyai maksud komitmen PII
kepada Islam didorong oleh kesadaran sejarah yang menempatkan
Islam sebagai agama.
c. Indonesia sebagai wilayah dakwah. Komitmen yang didorong oleh
komitmen kepada Islam, yakni kesadaran untuk mendakwahkan Islam
kepada seluruh manusia di muka bumi, khususnya Indonesia sebagai
tempat berijak. Dalam hal ini, ada dua hal yang menjadi acuan PII,
yaitu:
- Komitmen kepada Indonesia sebagai wilayah dakwah
- Komitmen kepada rakyat Indonesia yang mayoritas adalah kaum
muslimin.48
2. Struktur Organisasi PII
Struktur kepengurusan kepemimpinan organisasi PII dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) PII,49 yaitu
sebagai berikut:
1. Pengurus Besar (PB)
Pengurus Besar adalah sruktur kepemimpinan tertinggi PII dengan
masa jabatan tiga tahun dan berkedudukan di ibukota RI. Susunan
personalia sekurang-kurangnya terdiri dari ketua umum, sekretaris,
bendahara dan beberapa departemen yang dianggap perlu. Sesorang dapat
menjabat sebagai Pengurus Besar maksimum dua periode berturut-turut.
48
PB PII, Rekonstruksi Falsasah Gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) (Jakarta: Pengurus Besar PII, 1991), 14-15.
49
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Pelajar Islam Indonesia 1986.