MAKNA
SHAJARAH
DALAM ALQUR’AN QS. AL
-BAQARAH: 35 (STUDI KOMPARATIF TAFSIR AL-T{ABARI
DAN HAMKA)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Guna memperoleh gelar sarjana Strata
Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
AFIDYA RAYA FITRI
(E03212001)
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
xii ABSTRAK
Afidya Raya Fitri. MAKNA SHAJARAH DALAM QURAN QS. AL-BAQARAH: 35 (Studi Komparatif Tafsir Al-T{abari dan Hamka)
Sebab diturunkannya Nabi Adam ke bumi, dikalangan mufasir masih menjadi pertanyaan, dan diantara pertanyaan yang muncul, benarkah Adam melakukan salah? lupa? ataukah memang rencana besar Tuhan kepada Adam agar Adam menjadi manusia yang sempurna. Selain itu, yang menjadi perbincangan mufasir adalah mengenai pohon yang didekati oleh Nabi Adam. Apakah pohon tersebut hanya merupakan sifat, pohon layaknya di dunia, ataukah hanya Tuhan yang mengerti mengenai makna pohon tersebut?
Selanjutnya, skripsi ini membahas penafsiran al-T{abari dan Hamka dalam
menafsirkan shajarah QS. al-Baqarah:35, sekaligus menjelaskan metode yang
digunakan dalam menafsirkan ayat tersebut. Meski dikalangan mufasir, menyebutkan bahwa bukan merupakan hal yang penting mengetahui pohon tersebut, tetapi setidaknya akan memberikan wahana baru bagi penulis ataupun
pembaca yang dalam kaitannya dengan pemaknaan shajarah dalam QS.
al-Baqarah:35.
Kedua mufasir tersebut, mempunyai karakteristik yang berbeda, selain berbeda dalam segi corak, juga berbeda dalam produk penafsirannya, yang tentunya dipengaruhi oleh kondisi sosial saat itu, dan masalah zaman menjadi faktor utama yang menyebabkan produk tafsir tersebut berubah.
Hamka dan Al-T{abari mempunyai kesamaan dalam memberikan
penjelasan mengani ayat shajarah tersebut, yakni sama-sama tidak menganggap
penting. Hanya saja, bedanya jika Hamka sejak awal memang tidak menafsirakan shajarah tersebut, sedangkan Al-T{abari sedikit menjelaskan mengenai pohon tersebut sesuai kondisi Arab. Meski pada akhirnya tidak menganggap penting.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii
KATA PENGANTAR ... x
ABSTRAK ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Telaah Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian ... 10
xiv BAB II: AL-TABARI DAN HAMKA
A. Al-T{abari (Tafsir Jami al-Bayan An Ta'wil ayi al- Qur'an)... 15
1. Biografi al-T{abari ... 15
2. Karya al-T{abari ... 18
B. Tafsir (Jami‘ al-Bayan An Ta‘wil Ay al-Qur‘an) ... 20
1. Sejarah Penulisan ... 20
2. Bentuk atau Corak Penafsiran ... 22
3. Metode ... 22
C. Hamka (Tafsir Al-Azhar) ... 27
1. Biografi Hamka ... 27
D. Tafsir al-Azhar ... 34
1. Sejarah Penulisan ... 34
2. Corak Tafsir al-Azhar ... 38
3. Metode Tafsir al-Azhar ... 40
BAB III: SHAJARAH DALAM PANDANGAN TAFSIR AL-TABARI DAN HAMKA A. Shajarah dalam Al-Qur’an ... 44
B.Shajarah Menurut Tafsir al-T{abari ... 49
C. Shajarah Menurut Tafsir Hamka... 56
D. Persamaan dan Perbedaan... 69
1. Persamaan Dari Segi Metode ... 69
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran-Saran ... 78
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qura’an merupakan kitab sempurna yang diturunkan melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan berbagai cara. Tidak dapat
disangsikan lagi Al-Qur’an merupakan kitab panduan terbaik bagi manusia dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan. Selain itu, Al-Qur’an memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memberikan tafsir, selagi produk dari tafsir tersebut tidak
menyalahi kaidah Qur’an. Dengan kesempurnaannya, maka kemudian
Al-Qur’an membahas segala hal yang terjadi dimuka bumi ini. Seperti, rotasi bumi,
penciptaan manusia, kisah malaikat, iblis, dan lain sebagainya. Dalam rangka
menafsirkan Al-Qur’an yang menghasilkan manfaat terbaik, maka diharuskan
bagi mufassir untuk memahami aspek genetika ulumul quran, seperti yang dibahas
oleh mufasir kontemporer.1
Sebagaimana telah diketahui, kedudukan manusia di mata al-Qur’an
menempati martabat tertinggi dibanding seluruh ciptaan Allah. Baik dilihat dari
sisi akidah, pikiran, maupun kejadian terbentuknya manusia.2 Manusia adalah
makhluk yang paling sempurna apabila diukur dari makhluk lainnya. Manusia
1
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Terj. Syahiron Samsudin (Jogjakarta; Sukses Ofset), 6.
2
Abbas Mahmud Al-Aqqad, Insan Qur’an Abad Modern, Terj. Ainur Raziq AR dan Fateh Rahmat, (Yogyakarta: Titian Illahi Press, 1995), 32.
2
adalah satu-satunya makhluk yang dibekali oleh Allah kekuatan akal, yang secara
nyata dan jelas mampu membedakan dengan makhluk lainnya.
Melihat kemuliaan dan ketinggian derajatnya, maka Allah memberikan
tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana firman Allah:
dalam Qs Al-Baqarah; 30.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Sebagai khalifah di bumi ini manusia mempunyai dua kewajiban pokok
yaitu mewujudkan kemakmuran hidup bagi semua manusia dan mewujudkan
kebahagiaan hidup mereka.3 Manusia mempunyai kedudukan dan tanggung jawab
yang penting, mereka diberi kekuatan lahir sesuau dengan tugas dan
kewajibannya. Diberikan pula bimbingan, cara hidup dan bekerja, berupa agama
dan ilmu pengetahuan.4 Tuhan juga menganugerahkan kepada manusia kekuatan
yang besar berupa akal yang tajam, cita-cita yang tinggi, kemauan yang keras
serta kesanggupan luar biasa.5 Dengan itu, manusia dapat maju dan sanggup
mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi sesama.
3
Syahmina Zaini, Isi pokok Ajaran al-Qur’an (Jakarta: Kalim Mulia, 1996), 126. 4
Fachrudin HS, Pembinaan Mental Bimbingan al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 19.
5
Ibid., 20.
3
Manusia dalah makhluk yang bertanggungjawab yang diciptakan dengan
sifat-sifat ketuhanan.6 Karena itu manusia harus hidup sesuai dengan aturan dan
sifat-sifat Tuhan agar dapat dipertanggungjawabkan nanti di hadapan Tuhan.
Adapun manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Adam. Adam
diciptakan Allah sebagai penyempurna alam dan sekaligus sebagai pewaris alam
sekeliling. Allah menghendaki Adam untuk meramaikan dunia ini, oleh karena itu
Allah menciptakan Adam untuk merawat dunia.7 Karena apa yang ada di bumi
ini, semuanya diciptakan untuk kepentingan kehidupan manusia (Q.S.
Al-Baqarah/2:29).
Al-Qur’an telah menerangkan kepada kita bahwa Adam adalah makhluk
pertama dari golongan manusia yang tampak di atas permukaan bumi, maka dia
adalah bapak para manusia dan dari padanya tumbuh semua penduduk bumi.8
Dalam agama Kristen juga dinyatakan bahwa Adam adalah sebagai manusia
pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia diciptakan oleh Tuhan supaya
berkuasa atas segala sesuatu yang diciptakan lebih dahulu.9
Al-Qur’an menyatakan bahwa setelah Adam diciptakan, ia diberi tempat di
surga dan diciptakan Hawa untuk mendampingi dan menjadi teman hidupnya,
menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi kebutuhan fitrahnya untuk
6
Syahrina Zaini, Isi Pokok Ajaran Al-Qur’an..,85. 7
Muhammad Ali Ash Shabuny, Kenabian dan Para Nabi, Terj. Arifin Jami’an Ma’un.(surabaya:Bina Ilmu, 1993), 177.
8
Ash Shabuny, Kenabian dan.., 180. 9
Yune Sun Park, Tafsiran Kitab Kejadian, terj. Eunsook Ahn (Batu:Departemen Literatur YPPI,2002), 15.
4
menurunkan keturunan.10 Dalam menikmati kebahagiaan, Adam dan istrinya
diperdayakan oleh syaitan. Akhirnya terusir dari taman kesenangan itu ke suatu
tempat di bumi.11 Seperti yang tercantum dalam Qs Al-Baqarah 35;
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu
termasuk orang-orang yang zalim.12
Satu hal yang menarik untuk diperbincangkan dengan ilmiah adalah kisah
Nabi Adam yang “diusir“ oleh Allah SWT, karena telah melanggar ketentuannya,
dengan memakan Shajarah alias pohon yang memang tercipta dilarang oleh Allah
SWT. Diskursus mengenai problematika tersebut, sudah banyak dilakukan. Ada
yang menganggap hanya gambaran masadepan, dan adapula yang menafsirkan
dengan pohon sejati, yang mempunyai akar, buah, dan dedaunan. Penafsiran
mengenai Shajarah tersebut bervarian, ada yang menyebutkan pohon tersebut
merupakan lambang kehidupan dunia. Bahwa di dunia nanti, akan ada sesuatu
yang dihalalkan dan juga diharamkan.13
Ada pula yang menyebutkan bahwa pohon tersebut merupakan lambang
kebaikan dan keburukan. Artinya, pohon tersebut dinisbatkan kepada etika
luhuritas manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (YME). Pohon kebaikan
10
Munawaroh, kisah teladan 25 Nabi dan Rasul (Jakarta:Eksa Media,tt),6 11
Kamal AS Sayyid, kisah-kisah Terbaik Al-Qur’an, Terj. Selma Anis (Jakarta:Pustaka
Jahra, 2004), 6. 12Al-Qur’a>n, 2:35.
13
5
tersebut, berupa kalimat tasbih, tahlil, dan perkataan baik lainnya. Sedangkan,
kejelekan adalah perkataan yang tak pantas diucapkan kepada Tuhan. Adapun
tafsir tersebut disandarkan pada QS Ibrahim; 24-26.14
Selanjutnya, lafad Shajarah tidak hanya terdeteksi pada kitab suci
Al-Qur’an saja, melainkan dalam Al-Kitab juga disebutkan. Seperti dalam Bab ke-2
ayat 16-17 Genesis tentang Adam, surga dan pohon terlarang, dikatakan bahwa:
“Dan Tuhan Yahwe juga menetapkan perintah itu atas manusia: ”Engkau boleh
makan sepuasnya buah dari pohon yang ada di taman ini, tetapi engkau tidak
boleh makan buah dari pohon pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini.
Karena jika engkau memakannya engkau pasti akan mati.15
Dalam Al-Qur’an, lafad Shajarah disebutkan pada delapan belas tempat.
adapun yang berkaitan dengan pengusiran Nabi Adam as. dari surga hanya
didapatkan pada tiga tempat, yaitu: Surat Al-Baqarah (02):35, Surat Al-A’raf
(07):19-20, Surat Thaha (20):120. Tidak ada penamaan ataupun pensifatan yang
jelas untuk lafad Shajarah pada ayat-ayat dari tiga surat yang telah disebut di atas
kecuali pada surat Thaha (20):120
Perbedaan produk tafsir tersebut, cukup menarik jika kembali dibahas.
Khususnya, dikomparasikan. Bagaimana sesungguhnya memaknai kata Shajarah
atau pohon tersebut, agar memberikan manfaat kepada orang lain. Begitu banyak
kisah yang menceritakan Nabi Adam “diusir” dari jannah. Selain menyebutkan
Adam memakan buah dari pohon tersebut atau khuldi, dalam sejarah juga
14
Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi. Jld. 1. hal. 91(02): 35. 15
Murtadha Muttahari, Perspektif Al-Qur`an Tentang Manusia Dan Agama, bab III Kaitan Antara Sains Dan Keimanan, 71-72.
6
disebutkan bahwa syaitan masuk melewati mulut ular dan menghasut Nabi Adam
untuk memakan buah khuldi. Nah, tafsir ini jika dibenturkan dengan keesaaan
Allah sangatlah bertolak belakang, karena tidak mungkin secara logika Allah
‘kecolongan” kepada makhluknya, karena jannah atau surga, hanya dikhususkan
kepada ahlul mutohhirin (suci) saja. Sedangkan setan, termasuk makhluk Tuhan
yang takabur.
Sampai saat ini, makna Shajarah masih simpang siur. Artinya, belum ada
satu tafsir yang menjelaskan secara kompherensif mengenai keberadaan tersebut.
Misalkan, tidak perlu ditafsirkan karena belum ada rujukan yang pas (baca;
Quraish Shihab) dan ada juga yang seperti dituturkan di atas bahwa pohon yang
dilarang oleh Allah kepada Nabi Adam hanya gambaran mengenai nafsu dunia.
Adapun alasan penulis, mengkomparasikan al-T{abari dan Hamka adalah?
Pertama, al-T{abari dan Hamka dalam menafsirkan ayat shajarah Qs. Al-Baqarah
35 mempunyai perbedaan. Bentuk penafsiran, dan corak yang berbeda menjadi
salah satu alasan penulis mengkomparasikan kedua mufassir tersebut. Dan yang
kedua persoalan zaman. Tentunya, zaman yang berbeda menjadikan kedua
mufasir tersebut berbeda, baik dari tatanan sosial, budaya, dan lain sebagainya dan
pada akhinya mengasilkan output tafsir yang berbeda.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari deskripsi diatas dijelaskan bahwa lafad Shajarah dalam QS
Al-Baqarah:35 mengundang perbedaan produk tafsir. Ada yang yang menafsirkan
7
(perumpamaan). Dalam artian lain, tafsir Shajarah, sampai saat ini belum juga
memberikan tafsir yang final. Maka dari itu, penulis mengidentifikasi masalah,
diantaranya;
1. Makna lafad Shajarah dalam Surat Al-baqarah 35.
2. Perbedaan tafsir lafad Shajarah dalam Surat Al-baqarah 35.
3. Benarkah Shajarah yang dimaknai sebagai pohon khuldi menjadi penyebab
terusirnya Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga.
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang teridentifikasi serta
untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan
masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target
dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah yang dimaksud, yaitu, penulis
hanya fokus pada pemikiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut dan
metodologi apakah yang dipakai untuk menjawab permasalahan tersebut serta
kenapa produk tafsir yang bervarian itu muncul.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran al-T{abari dan Penafsiran Hamka mengenai makna
lafad Shajarah?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara penafsiran dua mufasir
8
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan penafsiran Al-Tabari dan Penafsiran Hamka
mengenai makna lafad Shajarah.
2. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan antara penafsiran dua
mufasir tersebut.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal
sebagaimana berikut:
1. Secara teoritis
Penelitian ini dapat memperkaya wawasan khazanah kajian
keilmuan tafsir hadis yang radikal, khsusnya mengenai historisitas
turunnya Nabi Adam dan Siti Hawa dari surga. Secara logika, Adam
diturunkan dari surga bukan hal yang fenomenal, sebab Adam dibawah
kendali Tuhan. Yang unik, proses Adam diturunkan dari surga disebabkan
memakan buah khuldi atau yang biasa disebut dengan Shajarah, seperti
yang dibahas dalam kajian ini.
Selain itu, penulis menawarkan ilmu baru bagi para pembaca dan
umat muslim di dunia, dengan munculnya berbagai tafsir dapat
disimpulkan bahwa Al-Qur’an kaya akan bahasa. Sehingga bebas
ditafsirkan dengan metodologi apapun asal tidak menyalahi kaidah ulumul
9
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan, serta pemahaman radikal mengenai polarisasi metodologis
ulumul Quran dalam rangka mencari makna yang ideal dan realistis.
Dalam hal ini, penulis mencoba untuk memberikan pemahaman baru
kepada masyarakat dengan menafsirkan ayat Shajarah QS Al-Baqarah: 35
dalam persepektif Al-Tabari dan Hamka. Dengan begitu, nantinya akan
jelas dan ideal, apakah Shajarah tersebut harus dimaknai secara hakiki
ataupun majazi. Jika hakiki, pohon tesebut diartikan sebagai pohon yang
terdiri dari akar, daun, ranting, dan ciri-ciri tumbuhan lainnya. Sementara,
jika ditasfisirkan secara majazi pohon tersebut diartikan sebagai gambaran
kehidupan, seperrti yang dituturkan dalam tafsir Fi-Dzilalil Quran karya
Sayyid Qutb.
F. Telaah Pustaka
Diskursus mengenai penafsiran Shajarah memang sudah banyak
dilakukan. Namun, penulis menganggap dari sekian opini yang dibangun oleh
pemikir klasik, kiranya perlu dikembangkan ulang. Tentunya dengan kaidah
ulumul quran yang sudah baku dan kemudian direlevansikan dengan kehidupan
sekarang. Ada banyak karya tulis ilmiah mengenai kajian Shajarah tersebut,
diantaranya;
1. M. Quraish Shihab, Dia dimana-mana: Tangan Tuhan dibalik Fenomena,
10
menciptakan pohon yang hijau dan mengandug air lalu dia jadikan kayu
tersebut iti kering. Dalam buku tersebut, meski tidak sepenuhnya
mengarah pada tafsir Al-Shajarah, setidaknya memberikan gambaran
bahwa Tuhan disetiap penciptaanya bisa dimanfaatkan oleh manusia.16
2. Muhammad Yusuf, Jami al bayan fi tafsir Al Quran, dalam buku Studi
Tafsir Meyuarakan Teks, dalam buku tersebut sedikit dijelaskan biografi
At-tahbari beserta pemikirannya mengenai Shajarah.
3. Ali Mukti, Skripsi, Historis Kata Asyjar dalam Al-Qur’an; Studi analisis
penafsiran at-tabari dalam tafsir al bayan fi tafsir Al Quran, 2010. Dalam
tulisan tersebut dijelaskan, bahwa al-ashjar ditafsirkan sebagai pohon
sebagaimana mestinya. Artinya pohon tersebut, memiliki ranting, daun,
dan lain sebagainya. Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan alasan
pasti mengapa cenderung menafsirkan Shajarah dengan makna hakiki.
G. Metode Penelitian
1. Model dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah
metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam dan
interpretatif.17 yang bertujuan untuk memahami (to understand) fenomena atau
gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang
fenomena yang dikaji dan memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling
16
M. Quraish Shihab, Dia dimana-mana .., 329. 17
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), 2.
11
terkait. Harapannya ialah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
fenomena untuk selanjutnya dihasilkan dari sebuah teori. Dalam kajian ini,
metode kualitatif digunakan untuk mengetahui tentang tawaran metodologis untuk
menafsirkan Al Quran, Jenis Penelitian ini adalah library research (penelitian
pustaka) karena sasaran penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan
dengan objek penelitian. Karena jenis penelitian ini merupakan library research,
maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode
dokumentasi. Artinya data-data diperoleh dari benda-benda tertulis,seperti buku,
majalah, jurnal dan lain sebagainya.18
2. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode komparasi dalam ilmu tafsir metode
komparasi adalah sejenis metode tafsir yang menggunakan cara perbandingan
yaitu mengemukakan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis
oleh sejumlah para penafsir.19 Dalam konteks ini peneliti akan membandingkan
dua mufassir yaitu antara pendapat Al-Tabari dan Hamka dalam menafsirkan
lafad Shajarah. Sehingga akan di bahas apa persamaan dan perbedaan penafsiran
mereka terhadap lafad tersebut. Adapun langkah-langkahnya untuk
membandingkan antara lain yaitu:
a. Menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi tanpa
menoleh terhadap redaksinya, mempunyai kemiripan atau tidak.
18
Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah, (tk: Alpha,1997), 44. 19
Abd. Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, ter. Surya A. Jamrah (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 29.
12
b. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut.
c. Membandingkan pendapat antara penafsiran Al-Tabari dan Hamka
untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola
berpikir dari masing-masing mufassir, serta
kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran yang mereka anut.
Dengan menerapkan metode perbandingan seperti itu maka dapat
diketahui kecenderungan dari kedua mufasir aliran apa saja yang mempengaruhi
mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an, Ahl Sunnah, Mu’tazilah, Syi’ah, Khawrij,
dan sebagainya. Begitu pula, dapat diketahui beragam keahlian yang dimiliki oleh
setiap mufassir. Singkat kata, dengan menggunakan metode ini mufassir akan
menemukan berbagai ragam penafsiran Al-Qur’an yang pernah dilakukan oleh
ulama-ulama tafsir sejak dulu sampai sekarang.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini sebenarnya akan melibatkan beberapa literatur.
Literatur-literatur yang dimaksud adalah berdasarkan kebutuhan dalam penelitian
ini setidaknya terdiri dari dua kategori , sumber data primer dan sekunder
a. Data Primer
- Al Quran
- Al-Qur’an dan terjemahan
- Abu Ja`far Muhammad bin Jarir Al-Tabari, Jami’ Al-Bayan an
Ta’wil ay Al-Qur’an
13
b. Data Sekunder
Selain data primer, ada data sekunder yang juga sangat membantu dalam
penelitian ini. Data-data sekunder tersebut antara lain sebagai berikut:
- Al-Qur’an dan Tafsirnya, Kementrian Agaman RI.
- Wawasan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.
- Imaduddin Abul Fida; Isma’il bin Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah.
- Tafsir fi Zhilalil Quran, karya Sayyid Quthb.
- Tafsir Al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa Al-Maraghiy.
- Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an
- Ath- Thabathaba’I. Al- Mizan fi Tafsiril Qur`an
- Dan referensi lainnya.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan
ini disusun atas empat bab sebagai:
Bab I, pendahuluan yang merupakan peta bagi penelitian ini. Bab ini
terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II, Dalam bab II ini akan membahas mengenai makna biografi
14
Bab III, Shajarah dalam pandangan al-T{abari dan Hamka, ayat- ayat
Shajarah dalam Al-qur’an, penafsiran ayat Shajarah, analisis perbedaan dan
persamaan makna Shajarah menurut al-T{abari, dan Hamka
15
BAB II
BIOGRAFI
Al-T{ABARI
DAN HAMKA
A. Tafsir al-T{abari (Jami‘ al-Bayan An Ta‘wil Ay al-Qur‘an) 1. Biografi al-T{abari
Sejarah kehidupan al-T{abari tidak jauh berbeda denga mufasir lainnya.
Mulai dari karir pendidikan, intelektual, pemetaan tafsir, hingga pada ranah
politik. Nama lengkap dia adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Khalid al-T{abari, ada pula yang mengatakan Abu Ja'far Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-T{abari.1 Ia dilahirkan di Amil, Ibu kota
Tabaristan 224 hijriah2. Beliau merupakan salah seorang ilmuwan yang sangat
mengagumkan dalam kemampuannya mencapai tingkat tertinggi dalam berbagai
disiplin ilmu, antara lain fiqih (hukum Islam) sehingga pendapat-pendapatnya
yang terhimpun dinamai Mazhab Al-Jaririyah3.
Hidup dilingkungan yang mendukung penuh karir intelektual al-T{abari,
tidak heran jika di waktu usia 7 tahun sudah hafal Al-Quran. Hal tersebut pernah
diungkapkan oleh al-T{abari Aku telah menghafal al-Qur‘an ketika berusia
tujuh tahun dan menjadi imam shalat ketika aku berusia delapan tahun serta
mulai menulis hadis–hadis nabi pada usia sembilan tahun.4
1
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Al-Tabari, Jami al-Bayan An Ta'wil ayi al- Qur'an,
(Kairo, Dar as-Salam, 2007), 4. 2
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, v.1, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Hadisah, 1976), 180. 3
Ibid., 181. 4
16
Abu Ja‘far al-T{abari (Sebutan Abu Ja‘far) bukanlah penisbatan,
sebagaimana budaya Arab tatkala menyebut nama seorang ayah dengan Abu
Fulan. Abu Ja‘far adalah panggilan kehormatan bagi al-T{abari karena kebesaran
dan kemuliaannya.5 al-T{abari mulai menuntut ilmu ketika ia berumur 12 tahun,
yaitu pada tahun 236 hijriah di tempat kelahirannya. Setelah al-T{abari menuntut
ilmu pengetahuan dari para ulama-ulama terkemuka di tempat kelahirannya,
seperti kebiasaan ulama-ulama lain pada waktu itu Ibnu Jarir dalam menuntut
ilmu pengetahuan mengadakan perjalanan kebeberapa daerah Islam.6
Dalam bidang sejarah dan Fiqih, al-T{abari berangkat menuju Baghdad
untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal, tetapi diketahui telah wafat sebelum
Ibnu Jarir sampai di negeri tersebut, untuk itu perjalanan dialihkan menuju ke
Kufah dan di negeri ini mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang berkenaan
dengannya. Kecerdasan dan kekuatan hafalannya telah membuat kagum ulama-
ulama di negeri itu. Kemudian al-T{abari berangkat ke Baghdad di sana
mendalami ilmu-ilmu al-Qur‘an dan fiqih Imam Syafi'i pada ulama-ulama
terkemuka di negeri tersebut, selanjutnya berangkat ke Syam untuk mengetahui
aliran-aliran fiqih dan pemikiran-pemikiran yang ada di sana7.
Kota Bagdad, menjadi domisili terakhir al-T{abari, sejumlah karya telah
berhasil ia telurkan dan akhirnya wafat pada Senin, 27 Syawwal 310 H
bertepatan dengan 17 Februari 923M. Kematiannya dishalati oleh masyarakat
5Muhammad Bakr Isma‘il,
Ibnu Jarir Wa Manhajuhu fi al-Tafsir (Kairo: Dar al- Manar, 1991), 10.
6
M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, v.1, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Hadisah, 1976), 180.
7
17
siang dan malam hari hingga beberapa waktu setelah wafatnya.8 Ia wafat pada
usia 86 tahun, yaitu pada tahun 310 Hijriah.9 Imam al-T{abari juga sangat terkenal
di Barat, biografinya pertama kali diterbitkan di Laiden pada tahun 1879-1910.
Julius Welhousen menempatkan itu ketika membicarakan zaman (660-750) dalam
buku The Arab Kingdom and its Fall.10
Yang lain, Ibn Khillikan berkata, la termasuk imam mujtahid dan tidak
bertaklid kepada siapapun. Dan sebelum sampai ke tingkat mujtahid, tampaknya
ia pengikut madzhab Syafi'i. A1-Khathib berkata, la salah seorang ilmuwan
terkemuka. Pendapatnya menjadi pendapat hukum dan menjadi rujukan karena
pengetahuan dan keutamaannya. la telah menghimpun ilmu yang tiada duanya
pada masanya.11
Karir pendidikan diawali dari kampung halamannya Amil tempat yang
cukup kondusif untuk membangun struktur fondamental awal pendidikan
al-T{abari, al-T{abari diasuh oleh ayahnya sendiri, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah,
Kufah, Siria dan Mesir dalam rangka " travelling in quest of knowledge" (ar-
Rihlah Talab A’jijm) dalam usia yang masih belia. Sehingga namanya bertambah
populer di kalangan masyarakat karena otoritas keilmuannya.
Di Rayy al-T{abari berguru kepada Ibnu Humaid, Abu Abdallah
Muhammad bin Humaid Razi, disamping ia juga menimba ilmu dari
al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili, khusus di bidang hadis. Selanjutnya ia menuju
8
Franz Rosenthal, The History of Al-Tabari , (New York : State University of New York Press, 1989), 78.
9
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur'an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 222. 10
J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern, Terjemahan, (Jakarta: Tiara Wacana, 1997), 91.
11
18
Baghdad berekpetasi untuk studi kepada Ahmad bin Hambal (164-241 H /
780-855 M), ternyata ia telah wafat, kemudian segera putar haluan menuju dua kota
besar Selatan Baghdad, yakni Basrah dan Kufah, sambil mampir ke Wasit karena
satu jalur perjalanan dalam rangka studi dan riset. Di Basrah al-T{abari berguru
kepada Muhammad bin ' Abd al-A'la al-Shan'ani (w. 245 H / 859 M), Muhammad
bin Musa al-Harasi (w. 248 H / 862 M) dan Abu al-As'as Ahnmad bin al-Miqdam
(W. 253 H/867 M), disamping kepada Abu al-Jawza' Ahmad bin Usman
(246/860). Khusus bidang tafsir al-T{abari berguru kepada seorang Basrah Humaid
bin Mas'adah dan Bisr bin Mu'az al-'Aqadi (w. akhir 245 H / 859-860 M ), meski
sebelumnya pemah banyak menyerap pengetahuan tafsir dari seorang Kufah
Hannad bin al-Sari (w. 243 H / 857 M ).12
2. Karya Al-T{abari
Dalam dunia ilmu pengetahuan, al-T{abari terkenal tekun mendalami
bidang-bidang ilmu yang dimilikinya, juga gigih dalam menambah ilmu
pengetahuan. Sehingga dengan itu, banyak bidang ilmu yang dikuasainya. Di
samping itu, al-T{abari mampu menuangkan ilmu-ilmu yang dikuasainya ke dalam
bentuk tulisan. Kitab-kitab karangannya mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti:
tafsir, hadis, fikih, tauhid, ushul fikih, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, juga ilmu
kedokteran.13
Kitab-kitab karya al-T{abari akan tetapi, tidak diperoleh informasi yang
pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya, Karena karya-karya al-T{abari
12
Rosenthal, The History of Al-Tabari, 19. 13
19
tidak semuanya sampai ke tangan kita sekarang. Diperkirakan banyak karyanya
yang berkaitan dengan hukum lenyap bersamaan dengan lenyapnya Madzhab
Jaririyah. 14
Lewat karya tulisnya yang cukup banyak dan sebagian besar dalam
bentuk kumpulan riwayat hadis dengan bahasa yang sangat indah, al-T{abari
bukan saja terkenal seorang ilmuwan yang agung melainkan juga sebagai orang
yang dikagumi berbagai pihak. Semua karya ilmiah al-T{abari yang diwariskan
kepada kita, sebagian diketemukan dan sebagian yang lain belum diketemukan.
Diantara karya-karyanya seperti;
- Adab al-Manasik,
- Tarikh al-Umam wa al-Muluk atau kitab Ikhbar ar-Rasul al-Muluk.34
- Jami‘ al-Bayan An Ta‘wil Ay al-Qur‘an atau dikenal pula dengan Ja>mi‘ al- Bayan An Tafsir Ay al-Qur‘an. Kitab ini dicetak menjadi 30 juz di
Kairo pada tahun 1312 H. oleh al-Mathba‘ah al-Maimunah, kemudian
dicetak kembali yang lebih bagus oleh al-Mathba‘ah al-Umairiyah antara
tahun 1322- 1330 H. sebagaimana yang diterbitkan oleh Dar al-Ma‘a>rif
Mesir edisi terbayang ditahqiq oleh Muhammad Mahmud Syakir
.menjadi 15 jilid/
- Ikhtilaf Ulama‘ al-Amsar fi Ahkam Syara‘i al-Islam. Manuskrip ini
ditemukan diperpustakaan Berlin. Kitab tersebut telah disebarluaskan
oleh Doktor Frederick dan dicetak oleh percetakan al-Mausu‘at di Mesir
pada tahun 1320 H / 1902 M dengan jusul Ikhtilaf Fuqaha‘. Dan
14
20
berjumlah 3000 lembar.15
- Tahdzib al-Asar wa Tafsil al-Sabit ‗an Rasulillah min al-Akba>r,
yang dinamakan oleh al-Qathi dengan Syarh al-Asar.
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak kami sebutkan
disini. Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya al-
T{abari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi,
ulama qira‘at, menyatakan, Abu Ja`far (Al-T{abari) adalah seorang ulama fiqih,
hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia
melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain.
B. Tafsir (Jami‘ al-Bayan An Ta‘wil Ay al-Qur‘an) 1. Sejarah Penulisan
Kitab tafsir karya al-T{abari adalah Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
adalah nama yang lebih masyhur, sedangkan nama yang diberikan oleh al-T{abari
adalah Jami al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, ditulis pada akhir kurun yang
ketiga dan mulai mengajarkan kitab karangannya ini kepada para muridnya dari
tahun 283 sampai tahun 290 hijriah.16
Tafsir ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid tebal dan besar,
Kitab karya al-T{abari ini kemudian dicetak untuk pertama kalinya ketika beliau
berusia 60 tahun ( 284 H/899 M ). Dengan terbitnya tafsir at- Thabari ini
terbukalah khazanah ilmu tafsir.
15
Musthafa Shawi al-Juwaini, Manahij fi al-Tafsir (Iskandariyah: Mansya‘ah al- Ma‘arif,
t.t), 312. 16
21
Disebutkan bahwa tafsir Ibnu Jarir al-T{abari ini merupakan tafsir
yang pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada abad-abad pertama,
juga sebagai tafsir pertama pada waktu itu karena merupakan kitab tafsir yang
pertama yang diketahui, sedangkan kitab-kitab tafsir yang mungkin ada
sebelumnya telah hilang ditelan peradaban waktu atau zaman.17 Syekh al-Islam
Taqi ad-Din Ahmad bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah
yang lebih dekat dengan al-Qur‘an dan As-Sunnah? Beliau menjawab bahwa di
antara semua tafsir yang ada pada kita, tafsir Muhammad bin Jarir al-T{abari lah
yang paling otentik.18
Seorang pemikir kontemporer pun dari Al-Jazair M. Arkoun dalam
buku Berbagai Pembacaan al-Qur’an mengatakan tafsir al-T{abari ini telah
mendapatkan kewenangan yang tiada tara baik di kalangan kaum muslimin
maupun di kalangan Islamolog. al-T{abari telah mengumpulkan dalam sebuah
karya monumental yang terdiri dari tiga puluh jilid, satu jumlah yang
mengesankan dari Akhbar (sekaligus berita, cerita-cerita, tradisi-tradisi dan
informasi-informasi) yang tersebar di timur tengah yang bersuasana Islam selama
tiga abad hijriyah. Dokumen yang sangat penting bagi sejarah ini belum dijadikan
obyek monografi apapun yang mengakhiri gambaran mengenai al-T{abari sebagai
mufassir yang "rakus obyektif" dengan ketidak perduliaannya akan isi berita-
berita yang diriwayatkannya.
17
Salimuddin, Tafsir al-Jami'ah, (Bandung: Pustaka, 1990), 135. 18
22
2. Bentuk/corak Penafsiran
Tafsir al-T{abari, dikenal sebagai tafsir bi al-ma‘sur, yang mendasarkan
penafsirannya pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Nabi saw. para
sahabatnya, tabi‘in, dan tabi‘ al-tabi‘in. Ibnu Jarir dalam tafsirnya telah
mengkompromikan antara riwayat dan dirayat. Dalam periwayatan ia biasanya
tidak memeriksa rantai periwayatannya, meskipun kerap memberikan kritik sanad
dengan melakukan ta‘dil dan tarjih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa
memberikan paksaan apapun kepada pembaca. Sekalipun demikian, untuk
menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah lafadz, al-T{abari juga
menggunakan ra‘yu.
3. Metode
Adapun metode yang dipakai oleh al-T{abari untuk menyusun tafsirnya
adalah dengan metode tahlili, secara runtut yang pertama-tama al-T{abari lakukan,
adalah membeberkan makna-makna kata dalam terminologi bahasa Arab disertai
struktur linguistiknya, dan (I‘rab) kalau diperlukan. Pada saat tidak menemukan
rujukan riwayat dari hadis, ia akan melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan
ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa kuno yang berfungsi sebagai
syawahid dan alat penyelidik bagi ketepatan pemahamannya.
Dengan langkah- langkah ini, proses tafsir (takwil) pun terjadi.
Berhadapan dengan ayat-ayat yang saling berhubungan (munasabah) mau tidak
mau al-T{abari harus menggunakan logika (mantiq). Metode semacam ini
23
dan bi ar-ra‘yi yang merupakan sebuah terobosan baru di bidang tafsir atas tradisi
penafsiran yang berjalan sebelumnya.
Penerapan metode secara konsisten ditetapkan dengan tahlili menurut.
Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks
al-Qur‘an dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang
didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat. Itulah sebabnya tafsir ini memiliki
karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir- tafsir lainnya. Paling tidak
analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, variasi qira‘at,
perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus- kasus hukum tanpa
harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-T{abari tidak
menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya
mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa al-T{abari termasuk mufasir
professional dan konsisten dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.
Selain itu, disamping sebagai mufasir, beliau juga pakar sejarah yang
mana dalam penafsirannya yang berkenaan dengan historis beliau jelaskan
panjang lebar dengan dukungan cerita-cerita israiliyat. Dengan pendekatan sejarah
yang beliau gunakan tampak kecenderungannya yang independen. Beliau
menyatakan bahwa ada dua konsep sejarah menurutnya: pertama, menekankan
esensi ketauhidan dari misi kenabian dan yang kedua, pentingnya
pengalaman-pengalaman dari umat dan pengalaman-pengalaman konsisten sepanjang zaman. Berikut juga
merupakan cara yang digunakan oleh al-Thabari dalam membeberkan tafsirnya. 19
a. Menempuh jalan tafsir dan atau takwil. Menurut Dzahabi, ketika
19
24
Thabari akan menafsirkan suatu ayat, al- Thabari selalu mengawali
dengan kalimat لوقلا ىف ليوأت هلوق ىلاعت. Kemudian, barulah
menafsirkan ayat tersebut.
b. Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma‘tsur). Al-Dzahabi
menyatakan bahwa al-T{abari dalam menafsirkan suatu ayat selalu
menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
c. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak
kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad
.20
d. Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makna ayat.
Al-Dzahabi berpendapat bahwa al-T{abari juga menyebutkan berbagai
macam qiraat dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qiraat
tersebut serta menjelaskan hujjah dari ulama qiraat tersebut.
e. Menggunakan cerita-cerita israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya
yang berkenaan dengan historis. Al-Dzahabi menerangkan bahwa
al-T{abari dalam penafsirannya yang berkenaan dengan sejarah
menggunakan cerita-cerita israiliyat yang diriwayatkan dari Ka‘ab al
-Ahbar, Wahab ibn Munabbih, Ibn Juraij, dan lain- lain.21
f. Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk
kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum.
Menurut penjelasan al-Dzahabi, al-T{abari selalu menjelaskan
perbedaan pendapat antar mazhab fiqih tanpa mentarjih salah satu
20
Thamem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur'an, (Jakarta: Rineka, 2000), 153. 21
25
pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.22
g. Menjelaskan perdebatan di bidang akidah, Al-Dzahabi menuturkan
bahwa dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah akidah
al-T{abari menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.
Penjelasan di atas sedikit menggambarkan, bahwa al-T{abari dipandang
sebagai tokoh penting dalam jajaran mufasir klasik setelah masa tabi‘in-tabi‘in,
karena lewat karya monumentalnya Jami‘ Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur‘An mampu
memberikan inspirasi baru bagi mufasir sesudahnya. Struktur penafsiran yang
selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad 3 Hijriyah. Kehadiran
tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam bidang tafsir. Eksplorasi dan
kekayaan sumber yang beraneka ragam terutama dalam hal makna kata dan
penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai
sumber penafsiran (ma‘tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para
sahabat, tabi-tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan. Untuk melihat
seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada
aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laun (corak) penafsiran, akurasi dan
sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis,
kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya. Tiga
ilmu yang tidak terlepas dari al-T{abari, yaitu tafsir, tarikh, dan fiqih. Ketiga ilmu
inilah yang pada dasarnya mewarnai tafsirnya. Dari sisi linguistik (lugah), Ibnu
Jarir sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan dengan
22
26
bertumpu pada syari-syair Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh
terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa nahwu), dan penggunaan bahasa
Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat23.
Sementara itu, al-T{abari sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai
sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat,
tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bi al-Ma‘sur).
Semua itu diharapkan menjadi detector bagi ketepatan pemahamannya mengenai
suatu kata atau kalimat. la juga menempuh jalan istinbat ketika menghadapi
sebagian kasus hukum dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i‘rab
-nya.24
Aspek penting lainnya di dalam kitab tersebut adalah pemaparan qira‘ah
secara variatif, dan dianalisis dengan cara dihubungkan dengan makna yang
berbeda-beda, kemudian menjatuhkan pilihan pada satu qira‘ah tertentu yang ia
anggap paling kuat dan tepat. Di sisi yang lain, al-T{abari sebagai seorang
ilmuwan, tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam mendiskusikan
persoalan-persoalan fiqih. al-T{abari selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-
ajaran Islam (kandungan al-Qur‘an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan
perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. Secara tidak langsung,
al-T{abari telah berpartisipasi dalam upaya menciptakan iklim akademika yang sehat
di tengah-tengah masyarakat di mana ia berada, dan tentu saja bagi generasi
berikutnya.25
23
Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), 29. 24
Ibid., 30. 25
27
C. Hamka (Tafsir Al-Azhar)
1. Biografi Hamka
Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah
disingkat dengan HAMKA. Beliau dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat pada
tanggal 16 Februari 190826, Hamka adalah seorang ulama terkenal, penulis
produktif, dan muballigh besar yang berpengaruh di Asia Tenggara. Ia adalah
putra Haji Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pelopor gerakan “Kaum Muda”
di Minangkabau. Kakek Hamka adalah Syaikh Amrullah, beliau adalah seorang
mursyid dari tarekat Naqsabandiyah, konon menurut cerita Syaikh Amrullah
(kakek Hamka) pernah menikah sebanyak 8 kali, dari pernikahan tersebut ia
memiliki 46 anak.27
Berbeda dengan ayah Hamka, yang pernah belajar di Makkah antar tahun
1895 sampai 1906 justru ia merupakan seorang tokoh nomor satu yang menentang
dunia ketarekatan. Hamka dilahirkan pada masa awal gerakan “Kaum Muda”.
Yang di pelopori oleh empat ulama Minang yaitu Haji Abdul Karim Amrullah
atau yang biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul (ayah Hamka), Syaikh Taher
Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad.28
Sewaktu Hamka kecil berumur empat tahun, ayah dan ibunya pindah ke
Padang. Dengan demikian, Hamka kecil ditinggal di Sungai Batang dengan
Andung dan Engkunya (nenek dan kakek dart pihak ibu). Seperti diceritakan
sendiri oleh Hamka, kedua orang tua ini sangat menyayanginya. Dari Engkunya
26
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid II, 9. 27
Ensiklopedi Nasional Indonesia, (jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), 378. 28
28
ini, Malik (panggilan akrab Hamka kecil) mengenal dan akrab dengan alam dan
budaya Minangkabau. Dalam kesempatan mengikuti Engkunya ke muara untuk
menangkap ikan, Malik banyak dapat cerita-cerita rakyat seperti Cindua Mato,
Murai Randin, Tupai Jenjang, Malin Deman dan lain-lain. Dari Engkunya juga
Malik belajar main pencak, randai dan menari. Kadang-kadang Malik juga diajari
bernyanyi dengan lirik pantun-pantun Minang seperti lagu Sirantih Teluknya
Dalam, lagu Sianok atau lagu Palembayan29.
Menarik untuk mengetahui asal penyebutan nama Hamka, nama aslinya
adalah Abdul Malik Karim Amrullah, pada tahun 1927 ia menunaikan Haji ke
Makkah sepulangnya dari Haji namanya mendapatkan tambahan “Haji” sehingga
menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian untuk memudahkan
panggilannya disingkatlah namanya menjadi Hamka. Tokoh yang dikenal dengan
kesederhanaan ini pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta, ia dikelilingi oleh istrinya
Khadijah, beberapa teman dekatnya dan putranya Afif Amrullah, Hamka
berpulang ke rahmatullah dalam usia 73 tahun.
Pendidikan formal pertama yang diikuti Malik adalah Sekolah Desa di
Guguk Melintang, Padang Panjang (1917). Perjalanan Inetelektual Hamka dimulai
dengan pendidikan membaca Al-Qur’an di kampung halaman bersama orang
tuanya, dalam waktu bersamaan ia masuk sekolah desa selama 3 tahun (pagi hari)
dan sekolah Agama Diniyyah (petang hari) yang didirikan oleh Zainuddin Labai
al-Yunusi di Padangpanjang dan Parabek (Bukit Tinggi) selama 3 tahun. Pada
29
29
malam harinya Hamka bersama teman-temannya pergi ke surau untuk mengaji.30
Begituluah putaran kegiatan Hamka sehari-hari dalam usia kanak-kanaknya.
Rutinitas kegiatan Hamka seperti itu setiap hari membutanya jenuh dan
ia merasa “terkekang” ditambah sikap ayahnya yang “otoriter”. Kondisi demikian
itu membuat prilaku Hamka menyimpang, sampai-sampai ia dikenal sebagai
seorang “anak yang nakal”.
Kondisi tersebut dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, seorang yang
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang
Muballigh31. Semenjak kecil sebenarnya meskipun ia dikenal sebagai anak nakal,
Hamka seorang yang cerdas, ia berbakat dalam bidang bahasa, tidak heran sejak
kecil ia mampu membaca berbagai literatur dalam bahasa Arab, termasuk
berbagai terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sejak masih muda Hamka dikenal
sebagai seorang pengelana, sehingga Ayahnya memberikan gelar padanya “Si
Bujang Jauh”32.
Perjalanan intelektual Hamka ketika di Jawa di mulai dari daerah
Jogjakarta, kota dimana tempat Organisasi Muhamadiyah lahir. Lewat pamannya
Ja’far Amrullah, Hamka mulai belajar keorganisasian dan mengikuti kursus
-kursus yang diadakan oleh Muhamadiyah dan Syarikat Islam.
Yogyakarta sebuah kota yang mempunyai arti penting bagi
perkembangan keilmuan dan kesadaran keagamaan Hamka, sehingga ia
30
Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 75. Bandingkan
dengan Yunan yususf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990), 34. 31
Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), selanjutnya buku tersebut diberi judul Kenang-kenangan 70 tahun, hlm. XXIII.
32
30
menyebutkan bahwa di Yogyakarta ia menemukan Islam sebagai sesuatu yang
hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.33
Perbedaan nuansa ke-agamaan yang dilihat oleh Hamka antara di
MinVangkabau tempat kelahiran Hamka dengan di Jawa nampaknya sangat jauh
berbeda. Islam di Minangkabau yang menemukan citra pembaharuan Islam dalam
bentuk pemurnian, lebih banyak beroriantasi dalam soal akidah, karena Islam di
Minangkabau lebih berhadapan (berbenturan) dengan tradisi adat daerah Minang
yang barbau jahiliyah. Sehingga orientasi yang ditampilkan oleh pembaharu lebih
bercorak puritan, yakni membersihkan akidah dan ibadah Islam dari hal-hal yang
barbau syirik dan bid’ah.
Aktivitas Hamka di Jawa tidak hanya mengenal dunia pergerakan di
lingkungan Muhamadiyah dan Syarikat Islam saja, ia pun sempat “berkenalan”
dengan faham komunis yang ada di Jawa. Dari perkenalan dengan faham
komunis tersebut ia menyimpulkan bahwa faham komunis yang ada di Jawa
ternyata berbeda dengan faham komunis yang ada di Padang Panjang yang
dikembangkan oleh H. Datuk Batuah Thawalib, faham komunis yang berkembang
di Minangkabau bukanlah faham komunis yang sebenarnya. Ia berkata:
“Rupanya komunis yang dilihatnya di Sumatera Barat itu bukanlah komunis. Kekerasan sikap serta kritik mereka terhadap pemerintahan
kolonial dengan selalu memakai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits,
itulah yang selalu didengarnya senantiasa menjadi pendirian yang terang-terangan dari Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan dalam kalangan Muhamadiyah. Jadi Komunis Sumatera Barat adalah Islam yang karena kurang pengetahuan dan penyelidikan lalu terperosok ke
33
31
dalam komunis, apa lagi pandangan umum ketika itu komunis ialah
anti Belanda”.34
Setelah malakukan perjalanan (berkelana) di jawa pada bulan Juli 1925
dalam usia 17 tahun, ia kembali ke Padangpanjang. Disana ia
mengimplementasikan ilmu-ilmu yang ia peroleh dari tanah Jawa dengan
berpidato dan bertabligh, berkat kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata
sehingga ia dikagumi oleh teman-teman sebayanya. terkadang ia menuliskan
teks-teks pidato untuk teman-temannya dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang
dipimpinnya yang diberi nama KhatibulUmmah.
Kualitas sebagai sekadar "tukang pidato" tetapi mulai muncul pengakuan
sebagai "orang alim", diperoleh Hamka kemudian setelah ia kembali dari Tanah
Suci. Dengan menyandang gelar haji, gelar yang memberikan legitimasi sebagai
ulama di dalam pandangan masyarakat Minangkabau, Hamka pun memperjelas
lagi kehadirannya di tengah dinamika perkembangan pemikiran keagamaan di
Minangkabau. Ia yang tadinya dianggap "tidak ada apa-apanya" itu, sekarang
telah menjadi "anak yang akan menggantikan ayahnya", yakni Syekh Abdul
Karim Amrullah, ulama panutan mereka.
Pada bulan Februarui 1927 ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji dan bermukim di sana selama 6 bulan, selama di Makkah ia bekerja
pada sebuah percetakan dan akhirnya pada bulan Juli ia kembali ketanah air.
Sebelum tiba di kampung halamannya, ia singgah di Medan dan sempat menjadi
34
32
guru agama pada sebuah perkebunan selamaa beberapa bulan, setelah itu ia
pulang ke tanah kelahirannya.35
Pada tahun 1928 ia mengikuti Mukhtamar Muhamadiyah di Solo,
sepulang dari solo ia memangku jabatan-jabatan penting diantaranya pernah
menjadi ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh sampai menjadi ketua
Muhamadiyah cabang Padangpanjang. Pada tahun 1930 atas prakarsa penguruas
cabang Padang Panjang ia diutus untuk mendirikan Muhamadiyah di Bangkalis.
Pada tahun 1931 ia diutus oleh oleh Pengurus Pusat Muhamadiyah ke Makasar
untuk menjadi mubaligh Muhamadiyah dalam rangka menggerakan semangat
untuk menyambut Mukhtamar Muhamadiyah ke-21 di Makasar. Sehingga setelah
pulang bertugas ia diangkat menjadi Majlis Konsul Muhamadiyah Sumatera
Tengah. Pada tanggal 22 Januari 1936 ia pindah ke Medan dan terjun dalam
gerakan Muhamadiyah Sumatera Timur dan memimpin majalah Pedoman
Masyarakat. Tahun 1942 ia tepilih penjadi pemimpin Muhamdiyah Sumatera
Timur. Tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua majelis Pimpinan Muhamadiyah
Daerah Sumatera Barat, kedudukannya ini dipegang sampai tahun 1949. Pada
Mukhtamar Muhamadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, ia terpilih menjadi
anggota pimpinan pusat Muhamadiyah dan sejak itu ia selalu terpilih dalam
mukhtamar.36
Pada tahun 1949, ia pindah ke Jakarta. Di Jakarta Hamka memulai
kariernya dengan bekerja sebagai pegawai negeri golongan F di Kementrian
Agama yang waktu itu dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasyim. Disamping
35
Ensiklopedi Islam, 76. 36
33
bekerja sebagai pegawai negeria, ia juga mengajar di perguruan tinggi Islam
diantaranya: IAIN Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan
Filsafat Muhamadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di
Makasar, Universitas Islam Sumatera Utara. Pada tahun 1950 ia mengadakan
kunjungan ke berbagai negara yang ada di Timur Tengah. Pada tahun 1952 ia juga
mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Pada tahun 1958 ia diutus untuk
mengikuti simposium Islam di Lahore kemudian menuju Mesir, dalam
kesempatan ini ia menyampaikan pidato untuk promosi mendapat gelar Doctor
Honoris Causa di Universita al-Azhar, Mesir, dengan judul pidato “Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia. 37Disamping gelar Doctor yang ia raihnya di
Mesir, ia juga mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas
Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Dalam kesempatan itu, Perdana mentri
Malaysia berkata “Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga
kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”.38
Di antara karya-karya yang telah dihasilkan oleh tangannya adalah
sebagai berikut:
- Dalam bidang tasawuf : Tasawuf modern, Tasawuf perkembangan dan
pemurniannya
- Dalam bidang sastra : Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai
Nil dan Di Tepi Sungai Dajlah, si Sabariyah, Di Bawah Lindungan
37
Untuk lebih jelas mengenai perjalanan Hamka dalam memperoleh gelar Doctor Hinoris Causa, lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Cet. I, 1966), 43-47. 38
34
Ka’bah (1938), Tenggelamnya kapal Van der Wijck (1939), Merantau
ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940).
- Dalam bidang tafsir : Tafsir al-Azhar (30 juz), Ayat-ayat Mi’raj.
- Dalam bidang sejarah : Ayahku berisi tentang biografi orang tuanya
(1949), Pembela Islam (Tarich Sayyidina Abu Bakar), Ringkasan
Tarich Umat Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam (buku ini
dilarang beredar oleh polisi), Sejarah Umat Islam.
- Dan masih banyak buku lainnya yang di tulis oleh Hamka.
D. Tafsir Al-Ahzar
1. Sejarah Tafsir Al-Ahzar
Ketentuan adat serta kebolehan berpoligami dalam Islam telah
terasimilasikan dalam alam pikiran Minangkabau. Asimilasi ini memberikan
kemungkinan yang luas bagi para ulama, sebagai orang yang terpandang di tengah
masyarakat, untuk mendapatkan pembenaran melakukan kawin-cerai secara
berganti-ganti. Dan kenyataan ini pulalah yang dijumpai Hamka terjadi pada
ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah. Akibatnya adalah kehidupan Abdul
Malik, si Hamka kecil itu, menjadi terlantar, dan pada gilirannya membuat
"kenakalan" Hamka berubah menjadi semacam "pemberontakan”39
Kemunculan tafsir ini jika dibandingkan dengan karya-karya tafsir
al-Qur’an di Indonesia yang pernah muncul sangatlah unik. Tafsir ini berbeda
dengan karya-karya tafsir sebelum maupun semasanya, terutama dari segi
39Fachri Ali, “hamka dan Masyarakat Islam di Indonesia: Catatan Pendahuluan dan
Riwayat Perjuangannya” dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta:
35
metodologi yang digunakan atau pun hasil penafsirannya. Karena alasan itulah,
maka kajian atas tafsir ini mempunyai daya tariknya tersendiri.
Hamka di Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang
mufassir salah satu karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya
manumental dari seluruh karyanya. Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan
materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka
di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun 1959. Ketika itu masjid
tersebut belum dinamakan masjid al-Azhar. Dalam waktu yang sama bulan Juli
1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad (Mentri Agama
dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat ketua
Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji Masyarakat” yang menitik beratkan
soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Agama Islam40
Tidak lama setelah itu suasana perpolitikan bangsa Indonesia tidak
menentu, suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. PKI dalam
usaha mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan
mereka bertambah meningkat. Sampai-sampai masjid al-Azhar ketika itu menjadi
sasaran. Masjid tersebut di klaim menjadi sarang “Neo Masyumi” dan
“Hamkaisme”.41
Suasana bertambah tak menentu ketika majalah ini dibredel pada
penerbitan No. 22. 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat tulisan Dr.
Muhammad Hatta yang berjudul “ Demokrasi Kita”. Tulisan ini memuat kritik
tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah Panji Masyarakat baru
40
Ensiklopedi Islam, 77. 41
36
mulai terbit kembali ketika Orde Lama tumbang pada tahun 1967, dan jabatan
pimpinan ketika itu masih dipegang oleh Hamka.42
Penerbitan ceramah-seramah Hamka terhenti dalam majalah tersebut
disebabkan pada hari senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap
oleh penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid
al-Azhar dan pada akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan,
Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, beliau isi dengan membuat
karya lanjutan dari Tafsir Al-Azhar.43
Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa
pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama
sampai juz keempat. Setelah itu diterbitkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29
dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya
juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni
Yayasan Nurul Islam, Jakarta.44
Selanjutnya, dalam kata pengantar Tafsir Al-Ahzar, Hamka menyebut
beberapa nama yang ia anggap berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan
pengembangan keilmuan keislaman yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya
itu boleh jadi merupakan orang-orang pemberi motivasi untuk segala karya cipta
dan dedikasinya terhadap pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu
keislaman, tidak terkecuali karya tafsirnya. Nama-nama tersebut selain disebut
Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai
42
Ensiklopedi Islam, 77. 43
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, 54. 44
37
guru-gurunya. Nama-nama itu antara lain, ayahnya sendiri, Doktor Syaikh
Abdulkarim Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Ahmad Rasyid
Sutan Mansur (kakak iparnya).45
Hamka menyitir beberapa patokan dan persyaratan yang mesti dimiliki
oleh seseorang yang akan memasuki gelanggang tafsir Ia menulis:
“Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja menafsirkan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh ulama-ulama itu alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala itu. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah ilmu sangat dalam benar lebih dahulu, tidaklah akan jadi ‘Tafsir’ ini dilaksanakan. Jangankan bahasa Arab
dengan segala nahwu dan sharaf-nya, sedangkan bahasa Indoensia
sendiri, tempat Al-Qur’an ini akan diterjemah dan ditafsirkan
tidaklah penulis tafsir ini termasuk ahli yang sangat terkemuka.”46
Intinya, Hamka sadar betul akan pentingnya pemenuhan syarat-syarat
tafsir bagi orang yang hendak menafsir. Hanya saja, patokan-patokan yang berat
itu tidak harus menjadi kendala dan penghalang bagi lahirnya karya-karya baru
tafsir, terutama bagi ia yang sudah memiliki standar minimal dalam pemenuhan
syarat-syarat tersebut.
Adapundengan nama Al-Azhar adalah ia ambil dari nama masjid tempat
kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh Hamka sendiri, yakni masjid
Al-Azhar, Kebayoran Baru. Nama masjid Al-Azhar sendiri adalah pemberian dari
Syaikh Mahmoud Syaltout, syaikh (rektor) Universitas Al-Azhar, yang pada bulan
45“Kata Pengantar Penulis” dalam
Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, cet. I 1982, juz`I, 1.
46
38
Desember 1960 datang ke Indonesia sebagai tamu agung dan mengadakan
lawatan ke masjid tersebut yang waktu itu namanya masih Masjid Agung
Kebayoran Baru.
Pengajian tafsir setelah shalat shubuh di masjid Al-Azhar telah terdengar
di mana-mana, terutama sejak terbitnya majalah Gema Islam. Majalah ini selalu
memuat kuliah tafsir ba’da shubuh tersebut. Hamka langsung memberi nama bagi
kajian tafsir yang dimuat di majalah itu dengan Tafsir Al-Azhar, sebab tafsir
itusebelum dimuat di majalah digelar di dalam masjid agung Al-Azhar.47
2. Corak Tafsir Al-Ahzar
Tiap-tiap tafsir Al-Qur’an memberikan corak haluan daripada peribadi
penafsirnya, demikian Hamka mengawali paparannya tentang haluan tafsir.
Dalam Tafsir Al-Azhar-nya, Hamka, seperti diakuinya, memelihara sebaik
mungkin hubungan antara naqal dan ‘aql’; antara riwâyah dan dirâyah. Hamka
menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat
yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman
pribadi. Pada saat yang sama, tidak pula melulu menuruti pertimbangan akal
seraya melalaikan apa yang dinukil dari penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang
hanya mengekor riwayat atau naqal dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu
textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri,
47Haluan Tafsir”,
Mukaddimah Tafsir Al-Azhar, h. 42. Dalam penelitian Howard M.
Federspiel, Tafsir Al-Azhar termasuk tafsir yang mewakili tafsir-tafsir generasi ketiga.
Tafsir-tafsir generasi ini bertujuan untuk memahami kandungan Al-Qur’an secara
komprehensif dan, oleh karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam
menganalisis tafsir. Tafsir-tafsir ini menekankan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan konteksnya
dalam bidang keislaman (lihat Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of
the Al-Qur’an [terj. Dr. Tajul Arifin, MA, Kajian Al-Qur’an di Indonesia], Bandung:
39
besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama
melantur ke mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari
maksud agama.48
Di sisi lain, ia juga, seperti diakuinya, banyak diwarnai (diberi corak)
oleh tafsir ‘modern’ yang telah ada sebelumnya, seperti Al-Manâr dan Fî Zhilâl
Al-Qur’ân. Selama ini, dua tafsir tersebut dikenal bercorak adabi-ijtimâ`î, dalam makna selalu mengaitkan pembahasan tafsir dengan persoalan-persoalan riil umat
Islam. Warna-warna tafsir itu mempengaruhi Tafsir Al-Azhar yang penulisnya
jelas-jelas menyatakan kekaguman dan keterpengaruhannya. Dengan begitu, dapat
dengan mudah kita katakan bahwa corak Tafsir yang sedang kita kaji ini bercorak
Adabi-Ijtimâ`î,dengan setting sosial-kemasyarakatan keindonesiaan sebagai objek
sasarannya.49
Warna ijtimâ`î tafsir Al-Azhar juga dapat dilihat ketika mufasirnya
menjadikan pengalaman pribadi dalam bermasyarakat sebagai anasir pelengkap
tafsirnya. Sekadar sampel, ketika sang mufasir membahas soal takwa ia katakan
bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa. Kesimpulan untuk
mengatakan kebudayaan Islam adalah kebudayaan takwa ini diambil dari
kesepakatan Konferensi Kebudayaan Islam di Jakarta yang diselenggarakan pada
akhir Desember 1962. Selanjutnya mufasir menegaskan bahwa dalam takwa
terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar dan lainnya. Takwa
48
Haluan Tafsir dalam Mukaddimah Tafsir Al-Azhar, 40. 49
40
lebih mengumpul akan banyak hal. Bahkan dalam takwa, lanjutnya, terdapat juga
berani.50
3. Metode Penafsiran Al-Ahzar
Semantara itu, ditinjau dari metode yang digunakan oleh Tafsir al-Azhar
sebagai karya manumental dari Hamka yang sampai saat ini tetap dipakai dan
menjadi rujukan penting dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dilihat dari
metode penafsiran yang dipakai, tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagai
pisau analisinya, terbukti ketika menafsirkan surat al-Fatihah ia membutuhkan
sekitar 24 halaman untuk mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat
tersebut. Berbagai macam kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa
kata, asbab an-nuzul ayat, munasabat ayat, berbagai macam riwayat hadits, dan
yang lainnya semua itu disajikan oleh Hamka dengan cukup apik, lengkap dan
mendetail.
Dalam menggunakan metode penafsiran, Hamka sebagaimana
diungkapkannya dalam tafsirnya ia merujuk atau “berkiblat” pada metode yang
dipakai dalam tafsir al-Manar yakni metode tahlili (analitis). Berkiblatnya Hamka
dalam menggunakan metode penafsiran terhadap ta