Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Hamidah Fatmawati (B03212038)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM JURUSAN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
ABSTRAK
Hamidah Fatmawati (B03212038), 2016, Family Therapy dalam Menangani
Disharmonis Keluarga Untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan
Ada dua persoalan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu: 1). Bagaimana proses family
therapy dalam menangani disharmonis keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan? 2). Bagaimana hasil proses family therapy dalam menangani disharmonis keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, peneliti menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Dalam
menganalisis family therapy dalam menangani disharmonis keluarga data yang
digunakan meliputi hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi yang disajikan pada penyajian data dan analisis data. Penulis menggunakan analisis deskripstif kualitatif dengan cara mendeskripsikan data kualitatif dengan cara menyusun dan mengelompokan data yang ada sehingga memberikan data yang nyata kepada peneliti dan pembaca.
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan family therapy dalam menangani disharmonis keluarga dilakukan hanya dengan keluarga inti antara ayah, ibu dan anak. Dan hasil akhir dari proses konseling ini dikatakan cukup berhasil, dari gejala yang sudah mulai ada perubahan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
E. Definisi Konsep ... 6
F. Metode Penelitian ... 12
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 12
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian ... 13
3. Jenis dan Sumber Data ... 14
4. Tahap-Tahap Penelitian ... 16
5. Teknik Pengumpulan Data ... 18
6. Teknik Analisis Data ... 20
7. Teknik pemeriksaan Keabsahan data ... 21
G. Sistematika Pembahasan ... 26
BAB II: Family Therapy, Disharmonis Keluarga, Sistem Keluarga A. Family Therapy ... 28
1. Pengertian Family Therapy ... 28
2. Tujuan Family Therapy ... 29
3. Peran Konselor dalam Family Therapy ... 30
4. Bentuk-bentuk Family Therapy ... 32
5. Proses dan Tahapan Family Therapy ... 33
6. Kesalahan umum dalam Family Therapy ... 35
B. Disharmonis Keluarga ... 37
1. Pengertian Disharmonis Keluarga ... 37
2. Bentuk-bentuk Disharmonis Keluarga ... 41
C. Sistem Keluarga ... 46
1. Pengertian Sistem Keluarga ... 46
2. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 49
3. Peran dan Fungsi sebagai Anggota Krluarga ... 56
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan... 59
BAB III: Family Therapy dalam Menangani Disarmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan A. Disharmonis Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan (Deskripsi Umum Obyek Penelitian) ... 62
1. Deskripsi Lokasi penelitian ... 62
2. Deskripsi Konselor ... 65
3. Deskripsi Klien / Konseli ... 66
4. Deskripsi Masalah ... 70
B. Family Therapy dengan Pendekatan Sistem Keluarga ... 72
1. Deskripsi Proses Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 72
a. Identifikasi Masalah ... 73
b. Diagnosa... 80
c. Prognosa ... 81
d. Treatment (Terapi) ... 82
e. Evaluasi (follow up) ... 90
2. Deskripsi Hasil Akhir Proses Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 91
BAB IV : ANALISIS DATA A. Analisis Proses Pelaksanaan Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk Mengembalikan Sistem Keluarga Di Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 94
BAB V: PENUTUP
A. KESIMPULAN ... 104 B. SARAN ... 105
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Teknik Pengumpulan Data ... 20
Table 1.2 Jadwal Penelitian ... 24
Table 1.3 Pedoman Wawancara ... 24
Table 1.4 Pedoman Observasi ... 25
Table 3.1 Batas Wilayah Kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan ... 63
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Sukomulyo Lamongan ... 64
Tabel 3.3 Kondisi Keluarga sebelum Dilakukan Konseling dengan family Therapy ... 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga sangat berperan penting dalam pewarisan nilai-nilai
kehidupan yang mulia kepada generasi penerusnya. Keluarga yang sehat akan
menyumbang terbinanya masyarakat yang sehat. Keluarga akan berjalan sesuai
dengan peran dan fungsinya, jika anggota keluarga didalamnya berperan
menurut fungsinya masing-masing serta mampu menyikapi problema yang
kerap kali menghampiri. Kebahagiaan di dalam keluarga tentulah menjadi salah
satu tujuan yang ingin diperoleh mereka yang mendirikannya.
Dengan terpenuhinya tujuan-tujuan tersebut maka akan terbentuklah
keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, aman (terlepas dari segala
gangguan, kesukaran dalam rumah tangga). Keluarga merupakan suatu
kelompok sosial yang bersifat langgeng berdasarkan hubungan pernikahan dan
hubungan darah.1
Tidak sulit kita menemukan di zaman sekarang ini keluarga-keluarga
yang broken home, keluarga yang sebagian besar isinya beda pendapat,
perselisihan, pertentangan, dan pertengkaran. Tidak ada keharmonisan,
ketenangan dan kebahagiaan hidup berumah tangga. Banyak tanda menunjukan
1
situasi keluarga semacam itu. Kadang terbuka lewat perkataan dan perbuatan
yang saling menyerang diantara sesama anggota keluarga, dan kadang tersirat
melalui aksi diam dan mendiamkan satu sama lain. Dalam situasi seperti itu,
tidak ada komunikasi yang efektif. Sebagian besar pesan yang disampaikan
tidak mendapat sambutan pemaknaan yang obyektif.2
Gejala-gejala perpecahan dan gejolak keluarga akhir-akhir ini makin
terasa. Berbagai indikator mudah dilihat. Misalnya perceraian, pertengkaran
suami-istri, kenakalan anak (menentang orang tua, mencuri berjudi, melanggra
aturan nilai yang berlaku) semua ini yang mengakibatkan ketidakharmonisan
keluarga.
Keluarga disharmonis sering terjadi perselisihan antara anggota
keluarga yang mana dengan tidak berjalanya fungsi sebagai anggota keluarga.
ciri dari keluarga disharmonis yang paling menonjol adalah pudarnya berbagai
fungsi keluarga dalam keluarga tersebut. Misalkan, keluarga tersebut
kehilangan fungsi sosialisasi. Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga
menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kesalah pahaman yang berujung pada
konflik. Setiap anggota keluarga akan merasa kurang dikasihi oleh anggota
keluarga lainya yang dapat mengakibatkan rusaknya hubungan kasih sayang
antar anggota keluarga.
2
Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota merasa
bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan
dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial), keluarga
disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Freud mengemukakan pendapat bahwa ketidakharmonisan keluarga
akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan
masyarakat dan aturan, sehingga menimbulkan perselisihan didalam keluarga.
Thomas (1992) mendefinisikan bahwa ketidakharmonisan sebagai proses yang
bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain menggagalkan
kepentinganya.3
Seperti halnya situasi salah satu keluarga yang bertempat tinggal di
Perumnas Sukomulyo Lamongan. Sebut saja keluarga Bapak Sabar, yang mana
keluarga ini sering terjadi perselisihan di dalam keluarganya. Meskipun hanya
perselisihan kecil dan terjadi hampir setiap hari sudah menunjukan adanya
ketidakharmonisan keluarga. Sering terdengar pertengkaran-pertengkaran yang
terjadi disetiap harinya dalam keluarga ini. Teriakan istri sebut saja ibu Imah
yang sering terdengar bahkan menurut peneliti hampir setiap waktu suara
teriakan keras dari Bu Imah terdengar, ibu Imah seorang ibu rumah tangga.
Anak Ibu Imah merasa sedih gelisa bahwa ibunya seperti itu. Bahkan suami
3
tidak pernah hentinya untuk mengingatkan istri akan keseharianya didepan
anak-anak itu harus seperti apa.
Ketidakharmonisanpun terlihat dalam keluarga ini, dari bagaimana
keseharian komunikasi terhadap anggota keluarga yang kurang efektif, kurang
adanya keterbukaan yang sering mengakibtakan perselisihan, pertengkaran, dan
salah faham dan tidak berjalanya peran sebagai anggota keluarga yang baik.
Banyak juga pengakuan dari tetangga akan keseharian keluarga ini yang sering
terjadi pertengkaran perselisihan. Rasa iri satu sama lain untuk melakukan suatu
tugas keluarga juga terjadi dalam keluarga ini.4
Melihat kejadian tersebut peneliti merasa terpanggil untuk meneliti,
mengarahkan agar menjadi keluarga harmonis. Dalam keluarga ini perlu
adanya introspeksi diri akan masing-masing diri anggota keluarga. Kesadaran
diri sangat dibutuhkan dalam membina keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Untuk mempermudah penelitian, peneliti menggunakan family therapy
untuk membantu anggota keluarga mengaktualisasikan potensinya atau
mengantisipasi masalah yang dialaminya, melalui sistem keluarga dan
mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri individu
yang akan memberikan dampak positif terhadap anggota keluarga lainya.
Ganjaran interaksi yang positif mendorong keluarga untuk menjadi lebih akrab
dengan anggota satu sama lain. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini
adalah ketika sudah terjadi komunikasi dan berjalanya peran sebagai anggota
4
keluarga yang baik antara anggota keluarga agar saling mengerti keinginan
masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang konteks penelitian di atas, maka peneliti
memfokuskan permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses family therapy dalam menangani keluarga disharmonis
untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo
Lamongan?
2. Bagaimana hasil akhir dari proses family therapy dalam menangani
keluarga disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas
Sukomulyo Lamongan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui proses konseling keluarga dengan family therapy dalam
menangani keluarga disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di
Perumnas Sukomulyo Lamongan.
2. Untuk mengetahui hasil family therapy dalam menangani keluarga
disharmoni untuk mengembalikan sistem keluarga di Perumnas Sukomulyo
D. Manfaat
Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap akan munculnya
pemanfaatan dari hasil penelitian ini secara teoritis dan praktis bagi para
pembacanya. Diantara manfaat penelitian ini baik secara teoritis dan praktis
dapat peneliti uraikan sebagai berikut:
1. Segi teoritis
a. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi peneliti lain tentang
family therapy dalam menangani keluarga disharmoni untuk
mengembalikan sistem keluarga.
b. Untuk x memperkuat teori-teori bahwa family therapy mempunyai
peranan dalam menangani masalah atau persoalan keluarga.
2. Segi praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menangani masalah
disharmonis keluarga.
b. Bagi konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
salah satu teknik pendekatan yang efektif dalam menangani masalah
disharmonis keluarga.
E. Definisi Konsep
Dalam pembahasan ini perlulah kiranya peneliti membatasi dari
sejumlah konsep yang diajukan dalam penelitian dengan judul “Family Therapy
Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan” adapun definisi konsep dari
penelitian ini sebagai berikut :
1. Family Therapy
Family Therapy adalah model terapi yang bertujuan untuk mengubah
pola interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam
keluarga. Perez (1979: 25) mengungkapkan pengertian family therapy adalah
salah satu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai
keseimbangan dimana setiap anggota keluarga merasakan kebahagiaan.5
Alfred Adler merupakan seorang psikolog pertama dari era modern
yang menggunakan family therapy melalui pendekatan sistematis. Adler
memperkenalkan kelompok-kelompok keluarga dalam klinik bimbingan
anak di Vienna. Pendekatan Adler adalah unik dalam memberikan perhatian
khusus terhadap hubungan-hubungan antara saudara kandung dan posisi
seseorang di dalam keluarga. Adler beranggapan bahwa problem seorang
pada hakekatnya adalah bersifat sosial. Karena itu diberi kepentingan yang
besar terhadap hubungan-hubungan antara manusia, yang terjadi sebagai
dinamika psikis dari individu-individu, yang biasanya merupakan kasus
dalam keluarga.6.
5
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga “suatu upaya membantu anggota keluarga memecahkan masalah komunikasi didalam sistem keluarga, (Bandung: PT. Afabeta, 2013), hal.87
6
Berdasarkan beberapa pandangan diatas, maka dapat dipahami peneliti
bahwa pendekatan tersebut dapat meningkatkan perilaku komunikasi dan
interaksi anggota-anggota keluarga sebagai suatu sistem. Sampai akhirnya
memberikan penyadaran kepada anggota keluarga dalam menjalakan peran
dan fungsi sebagai anggota keluarga untuk mengebalikan sistem keluarga
yang rusak karena akibat ketidakharmonisan keluarga.
Maka dalam penelitian ini family therapy merupakan salah satu cara
untuk memberikan arti penting menajdi keluarga harmonis dengan
memperbaiki sistem keluarga yang mana konselor memberikan arahan ke
pada anggota keluarga untuk mengubah kebiasan-kebiasaan yang bisa
mengakibatkan ketidakharmonisan keluarga. Dalam hal ini sistem keluarga
menggambarkan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan pada proses
konseling, konselor berperan untuk menekankan kepada bagaimana anggota
keluarga Pak Sabar menjalankan peran dan fungsi sebagai anggota keluarga
yang dapat membantu menjalankan kewajiban sebagai anggota keluarga.
2. Disharmonis Keluarga
Keluarga merupakan rumah tangga yang memiliki hubungan darah
atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi
instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para
anggotanya yang berada dalam suatu jaringan. Firman Allah SWT dalam
“Dan diantara tanda-tanda kuasanya ialah dia yang menciptkan untukmu istri/pasanagn dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan jadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum 30:21)”
Ayat di atas mengingatkan berpasangan (suami-istri) untuk mendapatkan rasa tenang, aman tentram dan nyaman. Manusia sebagai makhluk yang berakal akan berfikir sehat bahwa membina rumah tangga dengan semangat ibadah yaitu ciptakan keluarga sakinah, mawadah,
warahmah.7 Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota
merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi, dan sosial), keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Keluarga disharmonis adalah kondisi retaknya struktur peran sosial
dalam suatu unit keluarga yang disebabkan satu atau beberapa anggota
keluarga gagal menjalankan kewajiban peran mereka sebagaimana
mestinya.8
Freud mengemukakan pedapat bahwa ketidakharmonisan keluarga
akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan
7
Agus riyadi, Bimbingan Konseling perkawinan (dalam membentuk keluarga sakinah), (Yogyakarta: Ombak, 2003), hal.9
8
masyarakat dan aturan, sehingga menimbulakan perselisihan didalam
keluarga.
Berdasarakan beberapa pandangan diatas, bahwa disharmonis keluarga
sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain
menggagalkan atau berupaya menggagalkan kepentinganya, dan ketidak
berfungsian peran dan fungsi sebagai anggota keluarga sehingga terjadi
disharmonis keluarga.
Disharmonis pada penelitian ini, dimana dalam kehidupan keluarga
Pak Sabar sering terjadi pertengkaran, perselisihan, kurang memahami peran
dan fungsi sebagai anggota keluarga, contohnya Putri yang setiap kali
diminta untuk membantu otang tua sering menolak, dan Bu Imah kurang
sadar diri karena kurang memahami peran sebagai seorang ibu dan ibu
rumah tangga. Dari sinilah yang akan terciptanya ketidakharmonisan dalam
rumah tangga Pak Sabar, yang mana kalau terjadi setiap hari dan
terus-menerus akan mengalami kesenjangan dan keretakan dalam menjalani
kehidupan sosial.
3. Sistem Keluarga
Keluarga sebagai suatu sistem menurut Minuchin adalah
“multibodied organism” (organisme yang terdiri dari banyak badan).
Keluarga adalah satu kesatuan atau organisme. Ia bukanlah merupak
membantu dan memungkinkan kemandirian dari anggota keluarga.9 Murray
Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem, menurutnya keluarga itu
bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi. Keadaan ini terjadi karena
anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan
yang mengatur dalam hubungan mereka.
Adapun yang dikaji dalam sistem keluarga ini diantaranya adalah
bagaimana peran dan fungsi sebagai anggota keluarga dengan menjalanka
kewajiban sebagai anggota keluarga untuk mengembalikan keharmonisan
keluarga mengarahkan kepada tujuan awal untuk membangun sebuah
keluarga yang harmonis.
Secara umum kehidupan rumah tangga tidak akan pernah lepas dari
kemelut dan perselisihan, baik besar maupun kecil. Dan bentuk perselisihan
itu sangat beragam, baik dalam kedudukan, kekayaan, jabatan, dan juga
pendidikan. Keluarga akan berjalan sesuai dengan peran dan fungsinya, jika
anggota keluarga didalamnya berperan menurut fungsinya masing-masing
serta mampu menyikapi problema yang kerap kali menghampiri.
Kebahagiaan di dalam keluarga tentulah menjadi salah satu tujuan yang
ingin diperoleh dari mereka yang mendirikannya.
Dari kasus yang terjadi pada keluarga Pak Sabar bahwa sistem
keluarga merupaka kesatuan sistem yang menyatukan seluruh anggota
9
Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga “suatu upaya membantu anggota keluarga
keluarga dari peran dan fungsi sebagai anggota keluarga sampai interkasi
dan komunikasi terhadap anggota keluarga sehingga mampu memberikan
pemahaman antara satu sama lain untuk menciptakan keluarga yang
harmonis yang semulanya mengalami ketidakharmonisan keluarga.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Didalam metode penelitian ini konselor
atau peneliti melakukan pendekatan-pendekatan terhadap konseli atau objek
yang akan diteliti, yang mana pada awal onservasi konselor melakukan
pengamatan terhadap situasi kondisi lapangan, seperti pengamatan terhadap
lingkungan tempat tinggal objek, melakukan wawancara dengan keluarga dan
tetangga sekitar agar konselor dapat membandingkan antara pengamatan dan
hasil wawancara dengan informan yang dipercaya. Seperti halnya keseharian
objek yang akan diteliti yang menyangkut tingkah laku, interaksi, serta
mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
perilaku, perspesi, motivasi, tindakan, dan lain sebagainya. Secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.10 Jadi pendekatan yang penulis gunakan pada penelitian ini
digunakan untuk memahami fenomena yang dihadapi oleh konseli secara
menyeluruh yang di deskripsikan melalui kata-kata, bahasa, konsep, teori
dan definisi secara umum.
Pada jenis penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus (case
study), yaitu penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan
dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.11 Jadi
pada penelitian ini, penulis menggunakan penelitian studi kasus. Karena
peneliti ingin melakukan penelitian secara rinci dan mendalam dalam
kurun waktu tertentu untuk membantu konseli mengubah perilaku positif
serta mampu menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.
2. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini terdapat tiga subyek yang menjadi
sasaran oleh peneliti, antara lain:
a. Konseli
Konseli adalah keluarga Bapak Sabar dan Bu Ima yang
mengalami disharmonis keluarga. Yang sering terjadi perselisihan
10
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hal. 9
11
dalam keluarga akibat suatu hal yang menyebabkan timbulya sebuah
konflik.
b. Konselor
Konselor adalah Hamidah Fatmawati seorang mahasiswa
Bimbingan Konseling Islam UIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas
Dakwah dan Komunikasi.
c. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah tetangga, keluarga pak
Sabar.
Lokasi penelitian ini bertempat di Perumnas Sukomulyo
Lamongan. Alasan dipilihnya lokasi ini karena adanya permasalahan
yang dianggap perlu ditangani dan memerlukan bantuan.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data yang
bersifat non statistik, dimana data yang diperoleh nantinya dalam bentuk
kata verbal (diskripsi) bukan dalam bentuk angka. Adapun jenis data
dalam penelitian ini adalah:
1) Data primer yaitu data yang langsung diambil dari sumber pertama di
lapangan. Sumber pertama peneliti mencari tahu atau melakukan
Dalam data primer ini dapat diperoleh keterangan kegiatan
keseharian, tingkah laku, latar belakang dan masalah konseli,
pandangan konseli tentang keadaan yang telah dialami, dampak
dengan adanya masalah yang dialami konseli, proses serta hasil
dengan adanya konseling keluarga.
2) Data sekunder yaitu data yang diambil dari sumber kedua atau
berbagai sumber guna melengkapi data primer.12 Diperoleh dari
gambaran lokasi penelitian, keadaan lingkungan konseli, riwayat
pendidikan konseli, dan perilaku keseharian konseli.
b. Sumber data
Yang dimaksud sumber data adalah subyek dari mana data diperoleh.
Adapun sumber datanya :
1) Sumber Data Primer yaitu sumber data yang langsung diperoleh
penulis dilapangan yaitu informasi dari klien yang diberikan
konseling dan konselor yang memberikan konseling.
2) Sumber Data Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari orang
lain sebagai pendukung guna melengkapi data yang penulis peroleh
dari data primer.13 Sumber ini bisa diperoleh dari keluarga klien,
kerabat klien, tetangga klien, dan teman klien.
12
Burhan Bungin, metode Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001), hal. 128
13
4. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tahapan dalam
penelitian, sebagaimana yang ditulis oleh Lexy J. Moleong dalam bukunya
“Metode Penelitian Kualitatif”. Tiga tahapan tersebut antara lain:
1) Tahap Pra Lapangan
Tahapan ini digunakan untuk menyusun rancangan penelitian,
memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan
menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informasi,
menyiapkan perlengkapan dan persoalan lapangan, semua itu digunakan
peneliti untuk memperoleh deskripsi secara global tentang obyek
penelitian, yang akhirnya menghasilkan rencana penelitian bagi peneliti
selanjutnya.
Seperti halnya yang dilakukan peneliti dengan mendatangi
kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan untuk melakukan perizinan
bahwa konselor akan melakukan penelitian terhadap salah satu
penduduk Perumnas Sukomulyo Lamongan yakni tepatnya keluarga Pak
Sabar dan mencari informasi tentang lingkungan sekitar Perumnas
Sukomulyo untuk memperoleh data yang akurat yang akhirnya
menghasilkan rencana penelitian dalam kasus ini.
2) Tahap Persiapan Lapangan
Pada tahap ini peneliti memahami penelitian, persiapan diri
ada di lapangan. Di sini peneliti menindaklanjuti serta memperdalam
pokok permasalahan yang diteliti dengan cara mengumpulkan data-data
hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan.
Pada tahap selanjutnya konselor melakukan wawancara kepada
informan-informan yang deket dengan obyek yang diteliti. Informan
tersebut tidak lain adalah keluarga dan tetangga keluarga Pak Sabar.
Konselor awalnya mencari informasi atau observasi dengan mendatangi
rumah Bu Anti selaku tetangga dari Pak Sabar, dengan bertatap muka
dengan Bu Anti konselor banyak mendapatkan informasi yang siap
untuk ditindak lanjuti dalam penelitian ini. Dan yang kedua konselor
menggali informasi dari Mbah Uti selaku keluarga dari Pak Sabar, dari
hasil observasi dengan Mbah Uti Konselor mendaptkan informasi yang
tidak jauh berbeda dengan hasil observasi antara konselor dengan Bu
Anti tetangga Pak Sabar.
3) Tahap Pekerjaan Lapangan
Dalam tahap ini, peneliti menganalisa data yang telah didapatkan
dari lapangan, yakni dengan menggambarkan dan menguraikan masalah
yang ada sesuai kenyataan.14
Setelah mendapatkan informasi hasil observasi, konselor
melakukan analisa dari dengan menggabarkan dan menguraikan yang
14
terjadi dalam rumah tangga Pak Sabar dan dari hasil itu memang sering
terhadi pertengkaran kecil yang memicu terjadinya ketidakharmonisan
keluarga dari obyek yang diteliti.
5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah
sebagai berikut:
a. Observasi (pengamatan)
Observasi adalah adanya perilaku yang tampak dan adanya tujuan
yang ingin dicapai. Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang
dapat dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat dihitung, dan
dapat diukur. Pada dasarnya, tujuan dari observasi adalah untuk
mendiskripsikan lingkungan (site) yang diamati, aktifitas-aktifitas yang
berlangsung, individu-individu yang terlibat dalam lingkungan tersebut
beserta aktifitas dan perilaku yang dimunculkan, serta makna kejadian
berdasarkan perspektif individu yang terlibat tersebut.15
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
15
terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut.16
c.Dokumentasi
Dokumentasi merupakan fakta dan data yang tersimpan dalam
berbagai macam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar
data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan, peraturan,
catatatan harian, biografi, simbol, dan data lain yang tersimpan.17 Dari
data dokumentasi peneliti dapat melihat kembali sumber data yang ada
seperti catatan pribadi, hasil wawancara dan lain sebagainya.
melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang tertulis
atau dibuat langsung oleh subyek yang bersangkutan.18
Pada tabel dibawa ini peneliti memaparkan rencana yang akan
dilakukan dalam observasi dan penelitian selama dilapangan yang mana
berhubungan dengan jenis data, sumber data, dan teknik pengumpilan
data, yang akan disajikan pada tabel sebagai berikut:
16
Lexy J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 186
17
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati, Metode Penelitian.., hal. 139.
18
Tabel 1.1
Jenis Data, Sumber Data, dan Tehnik Pengumpulan Data
NO. JENIS DATA SUMBER
DATA TPD
1
a. Identitas Klien
b. Tempat tanggal lahir klien c. Usia klien
d. Pendidikan klien
e. Masalah yang dihadapi klien
Klien
W + O
2
a. Identitas Konselor b. Pendidikan konselor c. Usia konselor
d. Pengalaman dan proses konseling yang dilakukan
Konselor W+O
3
a. Kebiasaan klien
b. Kondisi keluarga dan lingkungan sekitar klien
Informan (keluarga atau
teman klien)
W+O
4 a. Luas wilayah penelitian b. Batas wilayah
Gambaran
lokasi penelitian O+W+D
Keterangan :
TPD : Teknik Pengumpulan Data
O : Observasis
W : Wawancara
6. Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di
lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data
agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi
teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbngkan menghasilkan
pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan
universal. Gambaran dan informasi tentang peristiwa atas obyek yang dikaji
[image:30.612.134.516.139.523.2]berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan
komparasi hasil temuan hasil dan pendalaman makna, maka diperoleh suatu
analisis data yang terus menerus secara simultan sepanjang proses
penelitian.19 Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukannya pola,
dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.20 Teknik analisis data ini
dilakukan setelah proses pengumpulan data yang telah diperoleh.
Penelitian ini bersifat studi kasus, untuk itu, analisis data yang
digunakan adalah deskriptif-komparatif yaitu setelah terkumpul dan diolah
maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Selanjutnya
analisa proses serta hasil pelaksanaan family therapy dalam menangani
disharmonis keluarga untuk mengembalikan sistem keluarga yang dilakukan
dengan analisis deskriptif komparatif, yakni membandingkan kondisi konseli
sebelum dan sesudah dilaksanakannya proses konseling.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar data ini benar-benar bisa dipertanggung jawabkan maka dalam
penelitian kualitatif dibutuhkan teknik pengecekan keabsahan data, sehingga
19
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), hal. 106
20
memperoleh tingkat keabsahan data. Teknik untuk memeriksa keabsahan
data antara lain:
a. Perpanjangan Keikutsertaan
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu yang singkat,
tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian.
Dengan demikian, penting sekali arti perpanjangan keikutsertaan
peneliti guna berorientasi dengan situasi, juga guna memastikan apakah
konteks itu dipahami dan dihayati.21
b. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara
lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka
kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan
sistematis. Sebagai bekal peneliti untuk meningkatkan ketekunan adalah
dengan cara membaca berbagai referensi buku maupun hasil penelitian
atau dokumentasi-dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti.
c. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
21
Dalam triangulasi data atau sumber, peneliti menggunakan
beberapa sumber untuk mengumpulakan data dengan permasalahan
yang sama. Artinya bahwa data yang ada dilapangan diambil dari
beberapa sumber penelitian yang berbeda-beda dan dapat dilakukan
dengan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang
berpendidikan dan orang berada.
Penelitian menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik
observasi, penerapan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda ini sedapat
mungkin untuk menutupi kelemahan atau kekurangan sehingga data yang
diperoleh benar-benar akurat.22
22
Dalam observasi dan kelancaran penelitian, konselor atau peneliti telah
membuat rancangan yang berupa jadwal penelitian, pedoman wawancara,
pedoman onservasi yang ditunjukan dalam masing-masing tabel dibawah ini:
Untuk penelitian dan observasi selama proses konseling peneliti atau
konselor menyiapkan jadwal yang direncanakan untuk kegiatan dilapangan
[image:34.612.142.533.241.704.2]yang mana sebagai berikut:
Tabel 1.2 Jadwal Penelitian
No. Tanggal Kegiatan Penelitian
1. 15 November 2015 Penyerahan surat izin penellitian
2. 18 Novembr 2015 Membaca fenomena yang ada dilapangan
3. 22 November 2015 Mengambil data konseli dan data lapangan
4. 25 November s/d 5
Desember 2015 Melakukan proses konseling
5. 15 Desember 2015 Evaluasi Konseling
6 17 Desember 2015 Hasil dari proses zkonseling
7. 22 Desember 2015 Laporan
Pada tabel 1.3 menyajikan tabel tentang pedoman wawancara yang
akan digunakan konselor selama penelitian dilapangan, sebagai berikut:
Tabel 1.3 Pedoman Wawancara
No Informasi Data Yang Diperoleh Pedoman Wawancara
1 Klien a. Identitas klien
b. Latar belakang
masalah yang
dihadapi klien
- Siapa nama klien?
- Tempat tanggal lahir klien? - Pendidikan klien?
- Berapa usia klien?
- Dimana tempat tinggal klien? Sejak kapan masalah itu muncul? Bagaimana masalah itu bisa terjadi?
2 Informan a. Kebiasaan klien Bagaimana keseharian klien?
b. Kondisi
lingkungan klien
keluarga klien?
- Bagaimana kondisi lingkungan klien?
c. Profil kelurahan
- Bagaimana profil kelurahan tempat tinggal?
- Apa saja kegiatan yang ada di Kelurahan Sukomulyo Lamongan?
- Bagaimana lingkungan
Kelurahan Perumnas Lamongan? 3 Konselor
a. Identitas Konselor
b. Proses konseling yang dilakukan
- Siapa nama konselor?
- Tempat tanggal lahir konselor? - Berapa usia konselor?
- Riwayat pendidikan konselor? - Bagaimana proses konseling
yang dilakukan oleh konselor?
- Bagaimana hasil proses
Konseling
Tabel 1.4 menjelaskan pedoman onservasi yang akan digunakan
konselor atau peneliti selama observasi dilapangan, sebagai berikut:
Table 1.4 Pedoman Observasi
No Obyek Data yang diperoleh Pedoman observasi
1 Konseli Data konseli
- Mengamati ruang konseling. - Mencatat apa saja yang
dikatakan oleh klien. - Mencatat semua sikap yang
ditunjukkan oleh klien.. - Mengamati mimik wajah dan
gesture klien.
2 Kelurahan
Letak geografis
Letak Demografis
- Mengamati letak kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan.
- Mengamati keadaan lingkungan di sekitar kelurahan Perumnas Sukomulyo Lamongan
[image:35.612.144.534.110.638.2]3 Klien Keadaan Lingkungan Klien
- Mengamati klien dengan
lingkungan sekitar klien. - Mengamati latar belakang
keluarga klien
- Mengamati kegiatan keseharian klien
- Mengamati hubungan anggota kelurga antara satu sama lain.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami secara utuh dan
berkesinambungan, maka perlu adanya penyusunan sistematika pembahasan,
yaitu sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yaitu: gambaran umum yang membuat pola dasar
dan kerangka pembahasan skripsi. Bab ini meliputi Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konsep, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka: merupakan kajian pustaka sebagai landasan
teori dalam penelitian dan penulisan skripsi. pada bab ini berisi pembahasan
yang berkaitan dengan menjelaskan tentang family therapy, yang terdiri dari :
pengertian family therapy, tujuan family therapy, peran konselor dalam family
therapy, proses dan tahapan family therapy, kesalahan umum pelaksanaan
family therapy. dalam bab ini juga membahas tentang, pengertian keluarga,
Pengertian disharmoni keluarga, Bentuk-bentuk perilaku yang disharmoni,
Faktor-faktor penyebab terjadinya disharmoni keluarga, Macam-macam
dengan penelitian yang hendak dilakukan. Berisi hasil penelitian terdahulu yang
didapat dari berbagai sumber, tujuannya agar didapat karakter atau ciri khas
yang membedakan antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian
sebelumnya.
BAB III Penyajian Data: Dalam bab ini berisi tentang penyajian data
yang terdiri dari Setting penelitian, yang meliputi: deskripsi lokasi penelitian,
deskripsi konselor, deskripsi konseli, deskripsi masalah dan selanjutnya yaitu
tentang deskripsi hasil penelitian yang berisi: Deskripsi data tentang
faktor-faktor yang menyebabkan Disharmoni Keluarga konseli, deskripsi proses
pelaksanaan family therapy dalam menangani disharmoni keluarga untuk
mengembalikan sistem keluarga, serta deskripsi hasil akhir yang diperoleh
dilapangan mengenai family therapy dalam menangani disharmonis keluarga
untuk mengembalikan sistem keluarga.
BAB IV Analisis Data: Menjelaskan tentang analisis proses
pelaksanaan Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga untuk
Mengembalikan Sistem Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan dan
analisis hasil akhir Family Therapy dalam Menangani Disharmonis Keluarga
untuk Mengembalikan Sistem Keluarga di Perumnas Sukomulyo Lamongan
BAB V Penutup: Bab ini berisi tentang kesimpulan dari kajian ini dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. 1. Family Therapy (Terapi Keluarga)
1. Pengertian Family Therapy
Family (keluarga) adalah satu kelompok individu yang terkait oleh
ikatan perkawinan atau darah, secara khusus mencakup seorang ayah, ibu dan
anak. Sedangkan Therapy (terapi) adalah suatu perlakuan dan pengobatan
yang ditujukan kepada penyembuhan satu kondisi patologi.23
Menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam kamus Psikologi,
family therapy (terapi keluarga) adalah suatu bentuk terapi kelompok dimana
masalah pokoknya adalah hubungan antara pasien dengan anggota-anggota
keluarganya. Oleh sebab itu seluruh anggota keluarga dilibatkan dalam usaha
penyembuhannya. Terapi ini secara khusus memfokuskan pada
masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraanya
melibatkan anggota keluarga.
Menurut D. Stanton dapat dikatakan sebagai terapi khusus karena
sebagaimana yang selalu dipandang oleh konselor, yang di dalam proses
terapi atau konseling melibatkan keluarga inti.24
23
.Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Teknik Bimbingan Praktis, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985) hal. 42-45
24
Perez (1979: 25), mengemukakan pengertian terapi famili (family
therapy), terapi famili adalah suatu proses interaktif untuk membantu
keluarga dalam mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga
merasakan kebahagiaan.25
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan
bahwa family therapy atau terapi famili merupakan suatu bentuk bantuan
untuk menangani suatu masalah dalam keluarga yang melibatkan keluarga
inti untuk mencapai keseimbangan dan merasakan kebahagian dalam
rumah tangga.
2. Tujuan Family Therapy
Tujuan family therapy oleh para ahli dirumuskan secara berbeda.
Bowen menegaskan bahwa tujuan family therapy adalah membantu klien
(anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, membuat dirinya menjadi
hal yang berbeda dari sistem keluarga.
Menurut Glick dan Kessler (Goldenberg, 1983) mengemukakan tujuan
umum konseling keluarga adalah untuk:
1. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga.
2. Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi.
25
3. Memberi pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu yang
ditunjukan kepada anggota lainnya.26
Berikut ini dikemukakan tujuan family therapy secara umum:
1. Membantu anggota-anggota keluarga belajar dan menghargai secara
emosional bahwa dinamika keluarga adalah kait-mengkait di antara
anggota keluarga.
2. Untuk membantu anggota keluarga agar menyadari tentang fakta jika satu
anggota keluarga bermasalah, maka akan mempengaruhi kepada persepsi,
ekspektasi, dan interaksi anggota-anggota lain.
3. Agar tercapai keseimbangan yang membuat pertumbuhan dan
peningkatan setiap anggota.
4. Untuk mengembangkan penghargaan penuh sebagai pengaruh dari
hubungan parental.
3. Peran Konselor dalam Family Therapy
Peran konselor dalam membantu konseli dalam family therapy dan
perkawinan dikemukakan Haley (dalam Weld dan Eriksen, 2006). Diantaranya
sebagai berikut:
a. Menciptakan kerja sama antar anggota keluarga,
b. Memberikan kepercayaan dan mendorong klien bahwa setiap orang dalam
keluarga memiliki kemampuan dan mengetahui fungsi dan peran serta dapat
melakukan yang terbaik buat dirinya dan keluarganya.
26
c. Membantu klien untuk ikut serta dalam setiap proses konseling agar setiap
anggota keluarganya dapat melaksanakan peranya.
d. Membantu keluarga agar memiliki kemampuan dalam mengolah emosi dan
mengembangkan kematangan diri setiap anggota keluarga.
e. Membantu memberikan pemahaman sebagai pribadi dan juga sebagai bagian
dari keluarga.
Konselor pada konseling keluarga diharapkan mempunyai kemampuan
profesional untuk mengantisipasi perilaku keseluruhan anggota keluarga yang
terdiri dari berbagai kualitas emosional dan kepribadian. Konselor diharapkan
mampu: mengembangkan komunikasi antara anggota keluarga yang tadinya
terhambat oleh emosi-emosi tertentu; membantu mengembangkan
penghargaan anggota keluarga terhadap potensi anggota lain sesuai dengan
realitas yang ada pada diri dan lingkungannya; membantu konseli agar
berhasil menemukan dan memahami potensi, keunggulan, kelebihan yang ada
pada dirinya dan mempunyai wawasan serta alternatif rencana untuk
pengembangannya atas bantuan semua anggota keluarga.27
27
4. Bentuk-bentuk Family Therapy
Kecenderungan pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai
berikut:
Memandang klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga.
Klien merupakan bagian dari system keluarga, sehingga masalah yang dialami
dan pemecahanya tidak dapat mengesampingkan peran keluarga.
Berfokus pada saat ini, yaitu apa yang diatasi dalam family therapy
adalah masalah-masalah yang dihadapi klien pada kehidupan saat ini, buakan
kehidupan yang masa lampaunya. Oleh karena itu, masalah yang diselesaikan
bukan pertumbuhan personal yang bersifat jangka panjang.
Dalam kaitanya dengan bentuknya, family therapy dikembangkan
dalam berbagai bentuk sebagai pengembangan dari konseling kelompok.
Bentuk terapi keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai bentuk
konvensionalnya.
Bentuk family therapy disesuaikan dengan keperluanya, namun banyak
ahli yang menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam
konseling. Perubahan pada sistem keluarga dapat dengan mudah diubah jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling. Karena mereka tidak hanya
berbicara tentang keluarganya tetapi terlibat dalam penyusunan rencana.28
28
5. Proses dan Tahapan Family Therapy
Pada mulanya seorang Konseli datang ke konselor untuk
mengkonsolidasikan masalahnya. Biasanya datang pertama kali ini lebih
bersifat “identifikasi pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan (treatment)
diperlukan kehadiran anggota keluarga yang lain. Menurut Satir, tidak
mungkin mendengarkan peran, status, nilai, dan norma keluarga atau
kelompok jika tidak ada kehadiran anggota keluarga yang lain. Jadi dalam
pandangan ini, anggota keluarga yang lain harus datang ke konselor
(Brammer dan Shortromm, 1982).
Tahapan family therapy secara garis besar proses dalam konseling
keluarga adalah:
1) Pengembangan Rapport, merupakan suasana hubungan konseling yang
akrab, jujur, saling percaya, sehingga menimbulkan keterbukaan dari
konseli. Upaya pengembangan rapport ini ditentukan oleh aspek-aspek diri
konselor yakni kontak mata; perilaku nonverbal (perilaku attending,
bersahabat atau akrab, hangat, luwes, ramah, jujur atau asli, penuh
perhatian); dan bahas lisan atau verbal yang baik.
2) Pengembangan apresiasi emosional, dimana munculnya kemampuan untuk
menghargai perasaan masing-masing anggota keluarga, dan keinginan
mereka agar masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan semakin
besar. Muncul dinamika interaksi dari semua individu yang terlibat dalam
3) Pengembangan alternatif modus perilaku. Dalam tahap ini, baik konseli
maupun anggota keluarga mengembangkan dan melatihkan
perilaku-perilaku baru yang disepakati berdasarkan hasil diskusi dalam konseling.
Pada tahap ini muncul home assignment, yaitu mempraktikan perilaku baru
selama masa 1 minggu (misalnya) di rumah, kemudian akan dilaporkan
pada sesi berikutnya untuk dibahas, dievaluasi, dan dilakukan tindakan
selanjutnya.
4) Fase membina hubungan konseling. Adanya acceptance, unconditional
positive regard, understanding, genuine, empathy. Memperlancar tidakan
positif. Terdiri dari eksplorasi, perencanaan atau mengembangkan
perencanaan bagi konseli sesuai dengan tujuan untuk memecahkan
masalah, kemudian penutup untuk mengevaluasi hasil konseling sampai
menutup hubungan konseling.29
Menurut Conjoint Family Therapy, proses konseling yang dapat
ditempuh adalah:
a. Intake interview, building working alliance. bertujuan untuk
mengeksplorasi dinamika perkembangan konseli dan anggota keluarga
lainnya (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan
dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku
penyesuaian, dan area masalahnya).
29
b. Case conceptualization and Treatment Planning, mengenal masalah
atau memperjelas masalah, kemudian fokus pada rencana intervensi apa
yang akan dilakukan untuk penanganan masalah.
c. Implementation, menerapkan intervensi yang disertai dengan
tugas-tugas yang dilakukan bersama antara konseli dan keluarga, contohnya:
free drawing art task (menggambar bebas yang mewakili keberadaan
mereka baik secara kognitif, emosi, dan peran yang mereka mainkan),
homework,
d. Evaluation termination, melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan
konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai
dengan tujuan konseling.
e. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk
memperbaiki dan meingkatkan proses konseling
6. Kesalahan umum dalam family therapy
Dalam terapi family atau famili, therapy atau konseling keluarga
banyak dijumpai kesalahan-kesalahan yang dilakukan konselor, sehingga
hasilnya tidak efetif. Crane (1995) mengemukakan sejumlah kesalahan umum
dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya sebagai berikut:
a. Tidak berjumpa dengan seluruh anggota keluarga, untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika seluruh anggota keluarga
b. Pertama kali orang tua dan anak datang kekonselor bersama-sama,
konselornya suatu saat berkata hanya orang tua dan anak tidak perlu turut
dalam proses sehingga menampakkan ketidakpedulianya terhadap apa yang
menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk
berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan
memprosesnya secara cepat.
c. Mendiskusikan masalah, atau menjelaskan pandangan kepada orang tua
dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang dihadapi dalam
situasi kehidupan yang nyata.
d. Melihat untuk menjelaskan perilaku anak dan orang tua, bukan
mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang terjadi. jadi
penekanannya adalah mengubah sistem interaksi dengan jalan mengubah
perilaku orang tua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah
perilaku anak-anak mereka.
e. Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu
otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orang tua
perlu belajar cara membiarkan dorongan dan afeksi kepada anak meraka,
bukan mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu mengajarkan anak
dengan penuh afeksi pula.
Kesalahan-kesalahan dalam konseling keluarga semacam diatas
tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus-menerus terhadap apa
yang dilakukan dan bagaimana hasil yang dicapai dari usahanya.30
2. Disharmonnnis Keluarga
a. Disharmonis Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan “keluarga”
yaitu meliputi: ibu, Bapak, dan anak-anaknya. Satuan kekerabatan yang sangat
mendasar di masyarakat31. Menurut Ainur Rahim, keluarga adalah unit
terkecil masyarakat yang anggotanya terdiri dari seorang laki-laki yang
berstatus sebagai suami dan seorang perempuan yang berstatus sebagai istri
dan ditambah dengan anak-anak32.
Firman allah SWT dalam Surah Ar-Rum ayat 21, sebagai berikut :
Artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah dia yang menciptakan
untukmu isteri atau pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadnya, dan dijadikannya diantaramu
30
. Latipun, Psikologi konseling, (Malang: UMM PRESS 2013), hal 157-158 31
. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Kedua (Jakarta : Balai Pustaka, 1991) hal. 471.
32
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Qs. Ar-Rum, 30:21).
Ayat diatas mengingatkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia
berpasangan (suami-istri) untuk mendapatkan rasa tenang, aman, tentram dan
nyaman. Manusia sebagai makhluk yang berakal dan berfikir sehat bahwa
membina rumah tangga dengan ibadah yaitu menciptakan keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah. Keluarga harmonis bisa disebut juga keluarga sakinah
yang mana dalam keluarga itu terciptanya keluarga yang tenang atau keluarga
yang tentram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir batin, hidup
cinta-mencintai dan kasih-mengasihi, dimana suami bisa membahagiakan istri dan
begitu sebaliknya istri bisa membahagiakan suami, dan keduanya mampu
mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, yaitu
anak-anak yang berbakti kepada orang tua, agama, masyarakat dan bangsa.
Selain itu keluarga harmonis atau sakinah juga mampu menjalin persaudaraan
yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dan bertetangga,
bermasyarakat dan bernegara.33
Untuk membahas pengertian disharmoni keluarga, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa disharmoni adalah kejanggalan dan
ketidakjelasan.34
33
. Prof. Dr. Dadang Hawari, Psikiater, penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga, (Jakarta: UI Fakultas kedokteran, 2009), hal. 15
34
Keluarga disharmonis sering terjadi perselisihan antara anggota
keluarga yang mana dengan tidak berjalanya fungsi sebagai anggota keluarga.
ciri dari keluarga disharmonis yang paling menonjol adalah pudarnya berbagai
fungsi keluarga dalam keluarga tersebut. Misalkan, keluarga tersebut
kehilangan fungsi sosialisasi. Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga
menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada
konflik. Apabila keluarga kehilangan fungsi, setiap anggota keluarga akan
merasa kurang dikasihi oleh anggota keluarga lainya yang dapat
mengakibatkan rusaknya hubungan kasih antar anggota keluarga.
Menurut Minuchin (1980) keluarga adalah satu kesatuan suatu sistem
atau suatu organisme. Apabila ada satu kesatuan komponen keluarga
terganggu atau tak berfungsi, maka sistem keluarga akan terganggu pula.
Sebab jika kehidupan keluarga diwarnai dengan emosional akan terjadi
disharmonis.35
Adapun yang menjadi penyebab ketidakharmonisan keluarga
timbulnya suatu konflik yang ada dalam keluarga tersebut. Dalam prespektif
materialisme terdapat kekuatan dari perkembangan individu dan sosial yang
dapat mendorong terjadinya konflik dalam proses kehidupan.
35
Freud mengemukakan pendapat bahwa ketidakharmonisan keluarga
akibat karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan serta
aturan, sehingga menimbulakan perselisihan didalam keluarga. Thomas
(1992) mendefinisikan bahwa ketidakharmonisan sebagai proses yang
bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain berupaya menggagalkan
kepentinganya.36
Menurut B. Simanjuntak dalam bukunya yang berjudul “Beberapa
Aspek Patologi Sosial”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keretakan
keluarga (family disorganization) adalah situasi yang dapat mempengaruhi
kelancaran fungsi keluarga (hubungan suami istri sebagai ayah, ibu, dan
anak), yang akibatnya menyimpang dari norma yang berlaku serta
menimbulkan reaksi dalam masyarakat.37
Dengan kata lain disharmonis keluarga adalah suatu kondisi yang
sangat labil di keluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi
demokratis sudah tidak ada.38
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
disharmonis keluarga merupakan suatu kondisi yang rusak yang
mempengaruhi fungsi sebagai anggota keluarga yang berhubungan dengan
36
Sri Lestari, Psikologi keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta): 2012, hal.99
37
. Simanjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial (Bandung : Alumni, 1981), Hal. 10. 38
hubungan antara anggota keluarga inti sebagai penyebab timbul konflik dan
menjadi keluarga yang tidak harmonis.
Ketidakharmonisanpun terlihat dalam keluarga klien, dari bagaimana
keseharian komunikasi terhadap anggota keluarga yang kurang efektif, kurang
adanya keterbukaan yang sering mengakibatkan perselisihan, pertengkaran,
dan salah faham dan tidak berjalanya peran sebagai anggota keluarga yang
baik. Banyak juga pengakuan dari tetangga akan keseharian keluarga ini yang
sering terjadi pertengkaran perselisihan. Rasa iri satu sama lain untuk
melakukan suatu tugas keluarga juga terjadi dalam keluarga klien.
b. Bentuk –bentuk Disharmonis Keluarga
Menurut William J. Goode dalam bukunya “Sosiologi Keluarga”
menerangkan bahwa bentuk-bentuk disharmoni keluarga itu sebagai berikut:
1) Ketidaksahan (kegagalan peran)
Merupakan unit keluarga yang tak lengkap. Dapat dianggap sama
dengan kegagalan peran lainnya dalam keluarga karena sang ayah atau
suami tidak ada dan karena tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang
ditentukan oleh masyarakat atau sang ibu. Tambahan pula setidak-tidaknya
ada satu sumber keluarga baik ibu maupun bapak untuk menjalankan
2) Pembekalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan
Terputusnya keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua
pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan dan dengan demikian
berhenti melaksanakan kewajiban perannya.
3) Keluarga selaput kosong
Disini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama, tetapi tidak
saling menyapa atau bekerja sama satu dengan yang lain dan terutama
gagal memberikan dukungan emosional satu kepada yang lain.
4) Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan
Beberapa keluarga terpecah karena sang suami atau istri telah
meninggal, dipenjarakan atau terpisah dari keluarga karena peperangan,
depresi atau malapetaka yang lain.
5) Kegagalan peran penting yang tidak diinginkan
Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental,
emosional, mungkin juga penyebab kegagalan dalam menjalankan peran
utama.39
c. Faktor-Faktor penyebab Disharmonis Keluarga
Salah satu penyebab konflik adalah karena kedekatan, baik kedekatan
fisik maupun jiwa atau emosional. Dalam hal ini konflik sebagai sesuatu yang
39. Faizatur Rofi’ah, “BKI dalam Mengatasi diharmonis keluarga di D
tidak bisa dihindarkan, mulai dari rasa keangkuhan, atau merasa kuat dan
gengsi hingga didukung oleh faktor-faktor pendukung lainya.
Tujuan utama dalam menguraikan berbagai sebab-sebab
ketidakharmonisan dalam rumah tangga adalah agar suami istri menghormati
dan menyayangi pasangannya, mengetahui peran setiap anggota keluarga dan
dapat mengambil hikmah dari semua cobaan yang terjadi dan senantiasa
menjaga agar jangan sampai masalah itu terjadi lagi, serta selalu bersabar
dalam menghadapi berbagai problem dalam keluarga.
Adapun faktor penyebab terjadinya disharmonis keluarga antara lain :
1. Faktor Internal
Yang dimaksud faktor internal adalah sebab-sebab yang timbul dari
dalam diri masing-masing pasangan hidup dan anggota keluarga. Antara
lain faktor internal :
a. Krisis Ruhiyah, bagi seorang muslim krisis ruhiyah adalah penyebab utama
lemahnya semangat keagamaan. Imanlah yang senantiasa mendorongnya
untuk melakukan amal-amal kebijakan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Iman yang kuat akan mengantarkan kepuncak kebijakan, sebaliknya
imanya yang lemah akan mengahambat pemiliknya dari melakukan
amal-amal saleh. Sembilan puluh persen krisis rumah tangga muslim bermula
dari krisis ruhiyah, awalnya hanya salah satu pasangan atau bisa juga
b. Minimnya Pengetahuan kerumahtanggan, Kematangan naluri seksual
sering kali tidak diimbangi dengan kematangan pengetahuan keislaman,
khususnya mengenai kerumahtanggaan. Masalah yang kerap datang
menjadi tidak terantisipasi dan tidak tahu juga bagaimana cara
mengatasinya. Tak ayal lagi perselisihan keluarga menyeruak menjadi
menu harian. Sementara itu, psikologi masing-masing juga labil. Akibatnya
pertengkaran yang terjadi dan berujung pada hilangnya keharmonisan
rumah tangga.40
c. Sikap egosentrisme, masing-masing suami istri merupakan penyebab pula
terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran terus
menerus. Egoisme adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan
dirinya sendiri.
2. Faktor Eksternal
Penyebab keretakan rumah tangga terkadang muncul dari luar anggota
keluarga. Meskipun mereka sehat secara fisik atau mental, dari rumah
tangga itu bisa muncul dari aspek eksternal. Faktor ini meliputi :
a. Masalah ekonomi, Dalam hal ini ada dua jenis penyebab krisis keluarga
yaitu, kemiskinan dan gaya hidup. Dalam hal ini ekonomi bisa menjadi
penyebab ketidakharmonisan keluarga. Jika kehidupan emosional suami
40
istri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran. Sebab istri banyak
menuntut sedangkan suami berpenghasilan tidak seberapa.
b. Masalah kesibukan, kesibukan adalah salah satu kata yang telah melekat
pada masyarakat modern kota-kota besar. Kesibukan terfokus pada
pencarian sumber materi yaitu harta dan uang. Kesibukan orang tua
khususnya yang mengakibatkan kurangnya perhatian untuk anak. Yang
mana bisa menjadikan anak merasa haus kasih sayang dan sering
melakukan hal-hal negatif.
c. Masalah pendidikan, masalah pendidikan sering merupakan penyebab
terjadinya disharmonis keluarga. Jika pendidikan agak lumayan pada
suami istri, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami
oleh mereka. Sebaliknya jika pada suami istri yang pendidikanya agak
lumayan rendah sering tidak dapat memahami liku-liku keluarga.41
3. Faktor Umum atau global
Adapun faktor umum dan secara global antara lain sebagai berikut :
a. Suami istri dan anggota keluarga tidak pernah atau jarang duduk
bersama membahas keberlangsungan rumah tangga.
b. Urusan agama serta hak dan kewajiban setiap anggota keluarga jarang
dimusyawarahkan.42
41
Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, konseling Keluarga (Family counseling), (Bandung : Alfabeta 2013), hal. 15-18
42
c. Tidak adanya rasa tanggung jawab dari masing-masing anggota
keluarga dan tidak saling terbuka atau tidak jujur.
d. Adanya campur tangan dari pihak luar anggota keluarga dan pilih kasih
terhadap anak.43
Untuk menghindari adanya suatu ketidakharmonisan dalam keluarga
sebagai pasangan suami istri mempunyai kewajiban yang harus dijalankan.
Keharmonisan dan cinta kasih suami-istri dalam hidup berumah tangga
merupakan tujuan setiap pasangan suami istri. hal ini akan terwujud apabila
suami istri saling pengertian dengan landasan iman dan takwa, untuk
bersama-sama memenuhi hak dan kewajiban masing-masing, baik berupa cinta kasih
sayang, nafkah lahir batin maupun hak yang berupa kebendaan atau sandang
pangan.
3. Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem.
Menurutnya keluarga itu bermaslah jika keluarga itu tidak berfungsi
(disfinctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat
membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan
mereka.
43
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat
membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat
anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu
yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika
hendak menghindar dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus
memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat
pilihan berdasarakan rasionalitasnya bukan emosionalnya.44
Kerr dan Bowen (1988) menjelaskan tentang berbagai evaluasi dalam
teori sistem keluarga, ia mendiskripsikan dua tujuan utama tipe intervensi ini,
yaitu:
a. Mengurangi tingkat kecemasan keluarga secara keseluruhan, sehingga
memungkinkan anggota-anggotanya untuk berfungsi secara independen dan
mengubah perilaku-perilaku bermasalahnya.
b. Meningkatkan tingkat difrensiasi dasar masing-masing anggota dari
kebersamaan emosional keluarga. Proses yang memungkinkan
anggota-anggotanya untuk memberikan respon terhadap berbagai situasi emosional
secara lebih efektif.45
Inti dari sistem keluarga ini adala