• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM BACAAN SALAT (Studi Perbandingan antara Empat Mazhab) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM BACAAN SALAT (Studi Perbandingan antara Empat Mazhab) SKRIPSI"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PETA PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA DALAM BACAAN SALAT

(Studi Perbandingan antara Empat Mazhab)

SKRIPSI

Diajukan Oleh :

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH 2019 M/1440 H

SIGIT TATAHARJA NIM. 140103011

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

(Studi Perbandingan antara EmpatMazhab) TanggalSidang : 23 Januari 2019 M/17 Jumadil Awal 1440 H Pembimbing I : Dr. Analiansyah, M.Ag.

Pembimbing II : Israr Hidayadi, Lc, MA.

Kata Kunci : Empat Mazhab dan Bacaan Salat

Salat adalah semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam. Dalam salat terdapat beberapa bacaan, mulai dari takbir hingga bacaan salam. Terdapat beberapa bacaan dalam salat menurut ulama mazhab. Sebagaimana pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah hal-hal apa sajakah yang disepakati dan yang tidak dispakati ulama mazhab dalam bacaan salat, bagaimana istinbat ulama mazhab dalam menentukan bacaan salat, dan sebab-sebab perbedaan pendapat dalam bacaan salat. Untuk mendapatkan jawaban tersebut, penulis menggunakan data perimer, skunder, dan tersier. Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif komparatif yaitu penelitian dengan cara menganalisis dan membandingkan pendapat-pendapat, alasan-alasan dan penafsiran terhadap dalil-dalil yang digunakan sebagai sandaran mazhab tersebut. Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian perpustakaan (Library Research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap bacaan-bacaan dalam salat ulama mazhab ada yang disepakati dalam suatu bacaan tertentu yaitu, lafal niat itu tempatnya di hati dan disunahkan untuk melafalkannya, membaca takbiratul ihram, membaca surah setelah fatihah, membaca takbir ketika rukuk, sujud, bangkit dan berdiri, membaca tahiat awal, membaca salawat atas Nabi dalam tahiat akhir. Yang tidak disepakati dalam bacaan-bacaan yang lainnya seperti, niat dalam menentukan fardu salat, menggantikannya redaksi takbiratul ihram dengan kalimat lain, membaca doa iftitah dan redaksinya, membaca taawud, membaca basmalah sebelum membaca fatihah dan surat Alquran, membaca fatihah dalam setiap salat, membaca surah setelah fatihah, membaca tasmik dan tahmid, membaca doa antara dua sujud, redaksi dalam tasyahud awal dan akhir, membaca salawat atas Nabi dan keluarganya, dan berdoa setelah membaca salawat Saw. Silang perbedaan di atas karena berbedanya dalam memahami nas syarak, berbeda dalam periwayatan (otentisitas nas),berbeda dalam menjamak dan mentarjih nas,dan berbeda dalam metode istinbat yang mereka gunakan.

Nama : Sigit Tataharja

NIM : 140103011

Fakultas/Prodi : Syari’ah dan Hukum / Perbandingan Mazhab dan Hukum Judul : Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat

(6)

vi

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang melimpah, yang baik dan yang di dalamnya penuh barakah, selaras dengan keangungan-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya. Salawat dan salamat kita sampaikan kepada Muhammad, Nabi dan rasul yang paling mulia, yang diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai rahmat bagi semesta alam.

Alhamdulillah, skripsi ini telah disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan perkuliahannya di Fakultas Syari’ah dan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Ada pun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Peta perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (studi perbandingan antara empat mazhab)”.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Analiansyah, S.Ag., M.Ag sebagai pembimbing I penulis dan kepada Bapak Israr Hidayadi, Lc., MA sebagai pembimbing II penulis, yang telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya masing-masing untuk memberi bimbingan

(7)

vii

dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan rasa terimakasih juga kepada Ibu Mahdalena Nasrun, S.Ag., MHI, sebagai Penasehat Akademik. Ucapan rasa terimakasih juga kepada Bapak Dr. Ali Abu Bakar, M.Ag sebagai Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah memberikan bimbingan selama studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum. Semoga Allah memberkahi ilmu beliau dan senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua.

Ucapan rasa terimakasih yang setulusnya dan tak terhingga kepada ayahanda Asep Muliana, Ibunda Salbiah, kepada adek-adek saya, kepada kelurga besar yang ada di Subulussalam, kepada keluarga besar Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum khususnya angkatan 2014, kepada Fathia Az-zahra yang sudah memberikan semangat, Muklis, Randi Al-Bar, M. Reza Fahlevi, Jul, Habibi, Roji yang sudah memberi semangat dan bantuan, kepada kawan-kawan Inspirasi Kopi Lamyong yang sudah memberi izin kepada saya untuk libur beberapa hari dalam proses pembuatan skripsi ini, anggota KPM Reguler Gampong Gunong Mantok Kecamatan Panga Aceh Jaya, tahun 2018 dan semua pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Hanya Allah yang dapat membalas segala jasa baik kalian dan semoga Allah senantiasa menaungi kehidupan kita bersama.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

(8)

viii

pengetahuan penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Wallahua’lam bi shshawab.

Banda Aceh, 17 Januari 2019 Penulis,

(9)

ix

TRANSLITERASI

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543b/U/1987 1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan transliterasinya dengan huruf Latin.

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

Alīf tidak di-lambang -kan tidak dilam-bangkan

ط

ṭā’ ṭ te (dengan titik di bawah)

ب

Bā’ b Be

ظ

ẓa ẓ zet (dengan titik di bawah)

ت

Tā’ t Te

ع

‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

ث

Ṡa’ ṡ es (dengan

titik di atas)

غ

Gain g ge

ج

Jīm j Je

ف

Fā’ f ef

ح

Ḥā’ h ha (dengan ti-tik di bawah

ق

Qāf q ki

خ

Khā’ kh ka dan ha

ك

Kāf k ka

د

Dāl d De

ل

Lām l el

ذ

Żāl ż zet (dengan titik di atas)

م

Mīm m em

ر

Rā’ r Er

ن

Nūn n en

ز

Zai z Zet

و

Wau w we

س

Sīn s Es

ه

Hā’ h ha

ش

Syīn Sy es dan ye

ء

Hamzah ‘ apostrof

ص

Ṣād ṣ es (dengan

ti-tik di bawah)

ي

Yā’ y ye

ض

Ḍād ḍ de (dengan

(10)

x

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

1) Vokal Tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ـَــ

Fatah A a

ـِــ

Kasrah I i

ـُــ

ḍammah U u

2) Vokal rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan.huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama huruf Gabungan huruf Nama

ْيَ...

Fatḥah dan yā’ Ai a dan i

ْوَ...

Fatḥah dan wāu au a dan u

Contoh:

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harakat dan huruf Nama Huruf dan Tanda Nama

َ...

ا

َ...

ى

fatḥahdan alīf atau yā’ ā a dan garis di atas

ِ...

ْي

kasrah dan yā’ ī i dan garis di atas

ُ...

ْو

ammah dan wāu ū u dan garis di atas

َبَتَك -kataba َلَعَف -fa’ala َرِكُذ -żukira ُبَهْذَي -yażhabu َلِئُس -su’ila َفْيَك -kaifa َلْوَه -haula

(11)

xi Contoh: َلاَق -qāla ىَمَر -rāma َلْيِق -qῑla ُلْوُقَي -yaqūlu 4. Tā’marbūṭah

Transliterasi untuk tā’marbūṭah ada dua, yaitu tā’marbūṭahhidup dan tā’marbūṭahmati, berikut penjelasannya:

1. Tā’marbūṭahhidup

Tā’marbūṭahyang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah dan ḍammah, trasnliterasinya adalah ‘t’.

2. Tā’marbūṭahmati

Tā’marbūṭahyang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah ‘h’.

3. Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’marbūṭahdiikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah maka tā’marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh: ُةَضْوَر ِلاَفْطَأْلا -Rauḍah al-aṭfāl/rauḍatul atfāl ُةَنْيِدَملا ُةَرَّوَنُمْلا -Al-Madīnah al-Munawwarah -Al-madīnatul Munawwarah ُةَحْلَط -ṭalhah 5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydīd, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

(12)

xii اَنَّبَر - rabbanā َلَّزَن - nazzala ُّرِبْلا - al-birr ُّجَحْلا - al-ḥajj َمِّعُن - nu’’ima 6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ( لا ), namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah.

1) Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah, ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

2) Kata sandang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Baik dikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang. Contoh: ُلُجَّرْلا - ar-rajulu ُةَدِّيَسلا - as-sayyidatu ُسْمَشلا - as-syamsu ُمَلَقلا - al-qalamu ُعْيِدَبلا - al-badῑ’u ُلَلاَجلا - al-jalālu 7. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak ditengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alīf.

(13)

xiii Contoh: َت َنْوُذُخْأ -ta’khużūna ُءْوَّنلا -an-nau’ ٌءْيَش -syai’un َّنِإ -inna ُتْرِمُأ -umirtu َلَكَأ -akala 8. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fail, isim maupun harf ditulis terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harkat yang dihilangkan maka transliterasi ini, penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.

Contoh:

َنْيِقِزاَّرلا ُرْيَخ َوُهَل َللها َّنِإَو -Wa inna Allāh lahuwa khair ar-rāziqῑn

-Wa innallāha lahuwa khairurrāziqin

َناَزْيِمْلاَو َلْيَكلا اْوُفْوَأَف -Fa auf al-kaila wa al-mῑzān -Fa auful –kaila wal-mῑzān ُلْيِلَخْلا ُمْيِهاَرْبِإ -Ibrāhῑm al-Khalῑl

-Ibrāhῑm al-Khalῑl َهاَرْجَم ِللها ِمْسِب

اَهاَسْرُمَو ا -Bismillāhi majrahā wa mursāh ِتْيَبْلا ُّجِح ِساَّنلا ىَلَع ِهلِلَو

اًلْيِبَس ِهْيَلِإ َعاَطَتْسا ِنَم

-Wa lillāhi’ala an-nāsi ḥijju al-baiti man istaṭā’a ilaihi sabῑla. -Walillāhi’alan-nāsi ḥijjul-baiti manistaṭā’a ilaihi sabῑla.

(14)

xiv

transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya: Huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Bilamana nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:

ٌلْوُسَر اَّلِإ ٌدَّمَحُم اَمَو -Wa mā Muhammadun illā rasul ِساَّنلِل َعِضَو ٍتْيَب َلَّوَأ َّنِإ

ًةَكَراَبُم ُةَّكَبِب ْيِذَّلَل

-Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsi lallażῑ bibakkata mubārakan َلِزْنُأ ىِذَّلا َناَضَمَر ُرْهَش

َنآْرُقْلا ِهْيِف

-Syahru Ramaḍān al-lāżῑ unzila fihil Qur’ānu

َنْيِبُمْلا ِقُفُأْلاِب ُهآَر ْدَقَلَو -Wa laqad ra’āhu bi ufuqi al-mubῑn

-Wa laqad ra’āhu bil-ufuqil-mubῑni َنْيِمَلاَعْلا ِّبَر ِلله ُدْمَحْلا -Alhamdu lillāhi rabbi al-‘ālamῑn

- Alhamdu lillāhi rabbil ‘ālamῑn

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harkat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan.

Contoh:

ٌحْتَفَو ِللها َنِم ٌرْصَن ٌبْيِرَق

- Nasrun minallāhi wa fatḥun qarῑb

اًعْيِمَج ُرْمَأْلا ِلله - Lillāhi al-amru jamῑ’an - Lillāhil-amru jamῑ’an

ٌمْيِلَع ٍءْيَش ِّلُكِب ُللهاَو - Wallāha bikulli syai’in ‘alῑm

10. Tajwid

Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Ilmu Tajwid.

(15)

xv

Karena itu peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.

Catatan:

Modifikasi

1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi, seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah penerjemahan. Contoh: Ṣamad ibn Sulaimān.

2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir, bukan Miṣr; Beirut, bukan Bayrūt; dan sebagainya. 3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalamKamus Besar Bahasa

(16)

xvi

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup

(18)

xiii

DAFTAR ISI LEMBARAN JUDUL

PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN SIDANG

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR ISI ... xviii

BAB SATU PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat ... 6

D. Penjelasan Istilah ... 6

E. Kajian Terdahulu ... 8

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB DUA SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT DIKALANGAN ULAMA MAZHAB ... 14

A. Perbedaan dalam Makna Kata-Kata Bahsa Arab ... 15

B. Perbedaan Periwayatan ... 25

C. Perbedaan Sumber ... 28

D. Perbedaan Kaidah-Kaidah Ushul ... 33

E. Ijtihad dengan Qiyas ... 35

F. Dikarenakan Urfi (Kebiasaaan Masyarakat Setempat) ... 38

G. Pertentangan dan Tarjih di antara Dalil-Dalil ... 40

BAB TIGA BACAAN DALAM SALAT MENURUT EMPAT MAZHAB ... 43

A. Bacaan Niat ... 43

B. Bacaan Takbiratul Ihram ... 47

C. Doa Iftitah (pembuka) ... 51

D. Membaca Taawud atau Isti’aadzah Sebelum Membaca Surah ... 58

E. Membaca Bismilah dalam Surah Fatihah ... 60

F. Membaca Fatihah ... 63

(19)

xiv

H. Membaca Takbir ketika Rukuk, Sujud, Bangkit,

dan Berdiri ... 69

I. Membaca Tasmik dan Tahmid ... 71

J. Membaca Doa antara Dua Sujud ... 73

K. Membaca Tahiat Awal ... 74

L. Membaca Fatihah pada Rakaat Ketiga dan Keempat padaSalat Fardhu ... 76

M. Membaca Tahiat Akhir ... 78

N. Membaca Salawat atas Nabi Saw ... 82

O. Berdoa setelah Membaca Salawat Nabi Saw ... 84

P. Mengucapkan Salam ... 86

Q. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat ... 88

R. Peta Perbedaan Pendapat Empat Mazhab dalam Bacaan Salat ... 91

BAB EMPAT PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97 RIWAYAT PENULIS

(20)

1 BAB SATU PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salat merupakan salah satu rukun Islam yang kedua, yang diwajibkan bagi segenap umat Islam. Salat juga merupakan salah satu dari perkara terbesar yang dijelaskan oleh Nabi Saw, pada manusia baik melalui perkataan beliau mapun prakteknya.

Salat secara bahasa berarti adalah doa atau meminta kebaikan. Allah Swt., berfirman

,

1



Dan berdoalah (wa shalli) untuk mereka. Sesungguhnya doamu (shalaataka) itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. (at-Taubah ayat 103).

Maksud dari kata ash-shalaah disini adalah berdoa. Adapun menurut syarak salat artinya semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.

Seorang muslim tidak mungkin menunaikan salat dengan sempurna kecuali jika ia mengetahui tata cara salat Nabi secara terperinci, baik itu yang

1

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Jilid I, (terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk) (Damaskus: Darul Fikr, 1428 H / 2007 M), hlm. 541.

(21)

2 merupakan hal-hal yang wajib, adab-adabnya, posisi badan, doa-doa dan zikir-zikirnya.

Dalam salat terdapat beberapa bacaan, mulai dari takbir hingga bacaan salam. Salat memiliki beberapa kesunahan yang sebaiknya dipelihara dan diperhatikan pelaku salat agar salatnya menjadi lebih sempurna dan berbuah pahala.2 Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam masalah bacaan salat, baik itu dari bacaan niat hingga salam. Sebagaiman halnya bacaan taawud sebelum membaca surah.

Dalam masalah ini para ulama mazhab berbeda pendapat dalam bacaan taawud sesudah membaca doa iftitah dan sebelum membaca Fatihah.3 Hal ini dijelaskan pada firman Allah Swt, terdapat dalam Alquran (an-Nahl : 98)



Apabila kamu membaca Alquranhendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.4

Dalam hal ini perbedaan pendapat ulama mazhab dalam membaca taawud bervariasi sebagaimana berikut ini.5

2

Abdul Aziz Muhamad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Ibadah,cet. 1. (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 199.

3

An Bin Ahmad Bin Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah (Al-Wajiz fi Fiqh

As-Sunnah). (Jakarta: Beirut Publishing, 2016), hlm. 131. 4

Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Empat Mahab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 235.

5

(22)

Menurut mazhab Maliki berkata “Membaca taawud dan basmalah sebelum surah Fatihah hukumnya makruh. Karena, hadis riwayat Anas yaitu6:

Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar memulai bacaan salat langsung dengan surah Fatihah.7

Makruh hukumnya membaca taawud pada salat wajib, dan boleh dibaca pada salat sunah tetapi dengan bacaan yang pelan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis dari Aisyah dalam hadis tersebut,

RasulullahSaw memulai salat dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin.8

Berbeda dengan mazhab Hanafi berpendapat, “Sunah hukumnya membaca taawud hanya pada rakaat pertama”. Sementara mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, “Disunahkan membaca taawud dengan suara pelan padarakaat pertama sebelum membaca surah”.Misalnya dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”.

6

Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram (terj. A.Hassan) (Bandung: CV Penerbit Diponogoro, 2001), hlm. 143.

7

Ibid,...., hlm. 143. 8

(23)

4 Misalnya dengan mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar dan maha mengetahui dari gangguan Setan yang terkutuk”. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, ia berkata,9

Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui dari gangguan setan yang terkutuk.10

Kemudian setelah taawud membaca basmalah dengan suara pelan menurut Hanafi dan Hambali, dan membacanya dengan suara keras menurut Syafi’i sebagaimana telah kami jelaskan di atas dalil mereka mengenai sunahnya membaca taawud adalah firman Allah yang berbunyi,



Apabila kamu membaca Alquran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (an-Nahl : 98).11 Ibnu Mundzir menjelaskan bahwa telah diriwayatkan, “Nabi membaca

(Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari gangguan setan yang terkutuk, dari kegilaannya,

9

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, Jilid I, (terj. Khairul Amru Harahap, dkk) (Jakarta: Cakrawala Punlishing, 2008), hlm.252.

10Faishal bin ‘Abdil ‘Ajij Ali Mubarak, Nailul Authar, vol. 1, (terj. Mu’ammal Hamidy,

dkk) (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1978), hlm. 196.

11

(24)

kesombongannya, dan kesi-siannya yang tercela).(HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).12

Tampak disini bahwa dalam masalah bacaan taawud saja sudah berkembang menjadi berbagai bentuk perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan pemikiran dan polaistinbat hukum yang digunakan terhadap suatu dalil.

Penelitian ini penting dilakukan untuk menghilangkan rasa fanatik dalam masyarakat mengenai bacaan salat. Sehingga masyarakat dapat menjalankan ibadah salat tanpa ada keraguan. Dari permasalahan diatas penulis tertarik untuk meneliti “Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (Studi Perbandingan antaraEmpat Mazhab)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalahdi atas, maka rumusan masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Hal–hal apa saja yang disepakati ulama mazhab dalam bacaansalat dan hal–hal apa saja yangdiperselisihkan ulama mazhab dalam bacaan salat?

2. Bagaimana istinbat ulama mazhab dalam menentukan bacaan salat ?

12

Muhmmad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 306.

(25)

6 3. Apasaja sebab-sebab perbedaan pendapat ulama mazhab dalam bacaan

salat ?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Untuk mengetahui hal–hal apa saja yang disepakati ulama mazhab dalam bacaan salat danhal-hal yang tidak disepakati oleh ulama mazhabdalam bacaan salat.

2. Untuk mengetahui bagaimana istinbat ulama mazhab dalam menentukan bacaan salat

3. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat ulama mazhab dalam bacaan salat

D. Penjelasan Istilah 1. Peta

Secara umum peta adalah gambaran sebagian atau seluruh permukaan bumi pada bidang datar diperkecil dengan ukuran skala tertentu. Tetapi dalam tulisan ini peta dapat diartikan sebagiandalam satu literatur yang mudah dipahami tabelgambaranatau seluruh perbedaan pendapat ulama dalam masalah bacaan salat.

(26)

2. Perbedaan pendapat ulama

Kata perbedaan berasal dari kata “beda” yang berarti perpecahan terjadi karena paham.13 perbedaan juga bisa diartikan suatu kesimpulan yang sudah dipertimbangkan dan diteliti. Sedangkan kata “ulama” berasal dari bahasa arab yang merupakan jamak dari kata ‘alim” yang berarti “tahu” atau “yang mempunyai pengetahuan tentang kealiman, ilmu umum, dan ilmu agama, yang mana pengetahuan yang dimilikinya itu dapat menghantarkannya pada (yakin, takut serta tunduk ) kepada Allah Swt”.14

Jadi, perbedaan pendapat ulamaadalah perbedaan pemikiran atau paham para ulamatentang bacan-bacaan dalam salat yang dirumuskan dengan cara penelitian dan mengkaji dari dalil–dalil (Alqurandan Sunah) tentang bacaan salat dengan menggunakan metode-metode tertentu.

3. Mazhab

Kata mazhab menurut arti bahasa adalah tempat untuk pergi ataupun jalan. Dari istilah mazhab berarti hukum-hukum yang terdiri atas kumpulan permasalahan.

Dengan pengertian ini, persamaan makna antara bahasa dan istilah adalah jalan yang menyampaikan seseorang kepada satu tujuan tertentu

13

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Ke

Empat, (Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama,2008), hlm. 155. 14

Harmen Nuriqmar, Keramat Ulama Aceh, (Banda Aceh: Badan pembinaan Pengembangan Pendidikan Dayah Aceh, 2010), hlm. 1

(27)

8 dikehidupan dunia ini, sedangkan hukum-hukum juga dapat menyampaikan seseorang kepada satu tujuan di akhirat.15

E. Kajian Terdahulu

Tentang kajian dan pembahasan tentang gerakan salat sebenarnya banyak dibahas dalam kajian–kajian sebelumnya oleh ulama ataupun intelektual berbentuk buku maupun kitab fiqih. Akan tetapi dalam penulisan skripsi ini secara khusus menulis “Peta Perbedaan Pendapat Ulama Mazhab dalam Bacaan Salat (studi perbandingan antaraempatmazhab)“.

Menurut penelusuran yang telah peneliti lakukan, belum ada kajian yang membahas secara mendetail dan lebih spesifik yang mengarah kepada Peta Perbedan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat. Namun ada beberapa tulisan yang berkaitan dengan perbedan pendapat ulama dalam bacaan salat.

Tulisan pertama merupakan skripsi yang ditulis oleh Safrina, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang berjudul Hukum Bacaan Basmalah pada Surat Fatihah dalam Salat (studi perbandingan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama) Tahun 2015. Dalam skripsi ini Safrina membahas tentang pandangan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama mengenai cara membaca basmalah apakah secara jahr atau secara sirr, serta menjelaskan metode istinbat yang digunakan oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.

15

(28)

Tulisan kedua yang berkaitan dengan penelitian ini adalah skripsi yang dibuat oleh Nurmujahidah, mahasiswa fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang berjudul Pertentangan Dalil Pada Kasus Bacaan Fatihah dalam Salat (Analisis Hanafiyah dan Syafi’iyah) Tahun 2017. Dalam skripsi ini Nurmujahidah membahas tentang cara yang diggunakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam menyelesaikan kasus bacaan Fatihah dalam salat.

Tulisan ketiga yang berkaitan dengan buku ini adalah buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, yang berjudul Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab Tahun 2016. Dalam buku ini Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi membahas tentang salat yang terdiri dari bab thaharah dan bab salat, dimana dalam bab salat berisi tentang salat fardhu, adzan, iqamah, salat, salat sunah dan lain sebagainya. Terdapat beberapa pendapat ulama didalamnya, namun tidak mencangkup kedalam semua aspek; misalnya seperti bacaan takbir, di dalam buku ini hanya menjelaskan perbedaan pendapat ulama mengenai apakah takbir itu syarat atau rukun, tetapi tidak membahas tentang perbedaan bacaan takbirnya.

Letak perbedaan ketiga kajian tersebut dengan kajian ini adalah, bahwa kajian tersebut membahas mengenai beberapa hal yaitu yang pertama,Hukum Bacaan Basmalah pada Surat Fatihah dalam Salat (Studi Perbandingan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), kedua tentang Pertentangan Dalil pada

(29)

10 Kasus Bacaan Fatihahdalam Salat (Analisis Hanafiyah dan Syafi’iyah). Ketiga tentang Panduan Lengkap Salat Menurut Empat Mazhab. Sementara kajian yang ingin penulis teliti ini lebih menekankan kepada Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (Kajian Empat Mazhab).

F. Metode Penelitian

Pada prinsipnya, setiap karya ilmiyah selalu memerlukan data yang lengkap dan obejektif. Dalam penulisan ini penulis menggunakan motode kualitatif sehingga isi skripsi ini merupakan hasil penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka dari itu langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian ini, penulis menggunakan penelitian hukum normatif atau disebut juga penelitian keperpustakaan (Library research). Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, sekunder dan tersier. Dalam hal ini penulis akan mengkaji kitab-kitab dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan diatas.

2. Sumber Data

Sumber data berupa literatur yang meliputi bacaan tentang teori-teori penelitian dan berbagai jenis dokumen dalam penelitian ini, yaitu:

(30)

a) Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan langsung dari pada subyek sebagai informasi yang dicari. Data langsung diperoleh dari kitab al-Fiqhul Akbar karangan Imam Abu Hanifah, Al-Muathatha’ Imam Malik karangan Imam Malik bin Anas, Kitab al-Umm karangan Imam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, kitab Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah (terj. Masturi Irham & M. Abidun Zuhri), Fiqih Islam wa Adilatuhu, Pandungan Salat Lengkap Menurut Empat Mazhab, dan Fiqih Empat Mazhab. b) Sumber data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas sumber data primer berupa data kepustakaan yang berkolerasi kerap dengan pembahasan obyek penelitian, data tersebut berasal dari karya tulis, kitab atau buku-buku karangan para ulama yang berkaitan dengan perbandingan dalam bacaan salat.

(31)

12 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data yang berhubungan dengan objek kajian, baik itu data primer maupun data sekunder, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah Studi Kepustakaan.

Adapun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah untuk meneliti bagaimana pendapat dari masing-masing imam mazhab dalam bacaan salat.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah metode yang digunakan untuk mengolah data menjadi informasi yang mudah dipahami dan bermanfaat sebagai solusi permasalahan yang kita hadapi dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a) Teknik Analisis Data Kualitatif

Data kualitatif adalah data yang tidak dapat diangkakan atau bersifat non numerik. Teknik analisis data kualitatif pada umumnya merupakan bahasan konseptual suatu permasalahan seperti merujuk pada buku Fiqih Islam wa Adillatuhu, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, Syarah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, dan lain sebagainya.16

16

Neong Muhardjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hlm. 88.

(32)

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan pembahasan karya ilmiah ini, penulis membagikan isi pembahasan ini kepada empat bab, dan setiap bab dibagi dalam sub bab dengan perincian sebagai berikut:

BAB SATU, merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB DUA, merupakan bab yang memaparkan tentangsebab-sebab perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab meliputi dari segi perbedaan makna dalam kata-kata bahasa Arab hingga pertentangan dan tarjih di antara dalil-dalil.

BAB TIGA, merupakan pembahasan pokok yang menjelaskan tentang Peta Perbedaan Pendapat Ulama dalam Bacaan Salat (studi perbandingan anatar empat mazhab), meliputi bentuk bacaan salat dalam Islam, batang tubuh salat, hal-hal yang disepakati, dan hal-hal yang tidak disepakati.

BAB EMPAT, merupakan bab penutup yang didalamnya berisikan kesimpulan dan saran-saranyang didapatkan dari penelitian yang telah penulis lakukan.

(33)

14 BAB DUA

SEBAB-SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA MAZHAB

Perbedaan pendapat dalam agama Islam selalu muncul, hal ini juga merupakaan sebuah keberagaman dalam menjalankan syariat, penyebab timbulnya perbedaan pendapat ialah karena adanya tingkat perbedaan pikiran dan akal manusia dalam memahami nas, cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syarak kemampuan mengetahui rahasia-rahasia dibalik aturan syarak dan juga dalam mengetahui ‘illat hukum syarak.

Semua itu tidak menafikan samanya sumber syarak yang dijadikan dasar. Ia tidak menunjukkan pertentangan dalam syarakitu sendiri. Adapun dalil-dalil yang qathi’ yang menunjukkan pada hukum syarak yang jelas dan pasti seperti perkara qathi’ dalam Alquran dam sunah mutawatir, dan sunah masyhurah, maka ahli-ahli fiqih tidak boleh berbeda pendapat sama sekali pada hukum-hukum yang bersumber darinya. Perbedaan itu terjadi karena kelemahan manusia sendiri. Namun demikian, salah satu dari pendapat yang berbeda itu boleh diamalkan, supaya manusia tidak merasa kesulitan.1 Karena mereka tidak mempunyai jalan lain setelah wahyu terputus, kecuali mengikuti apa yang dianggap betul oleh mujtahid, hasil dari pemahamannya atas dalil-dalil zhanni. Dan perkara yang zhanni mempunyai potensi bagi munculnya perbedaan pemahaman. Rasulullah Saw bersabda, hadis dari Amr ibnu Ash.

1

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu,Jilid 1 (terj. Abdul Hayyie, dkk) (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 73.

(34)

Apabila seseorang hakim berijtihad dan ijtihadnya itu betul, maka dia memperoleh dua pahala. Tetapi jika ijtihadnya salah, maka dia memperoleh satu pahala.2

Di antara sebab-sebab utama terjadinya perbedaan pendapat ahli-ahli fiqih dalam menyimpulkan hukum syarak (istinbat) dari dalil-dalil zhanni ialah perbedaan makna dalam kata-kata bahasa Arab, perbedaan periwayatan, perbedaan sumber, perbedaaan kaidah-kaidah ushul, ijtihad dengan qiyas, dikarenakan urfi (kebiasaan masyarakat setempat)3 dan pertentangan dan tarjih di antara dalil-dalil.4

A. Perbedaan Makna dalam Kata-kata Bahasa Arab

Dalam bahasa Arab dikenal adanya perbedaan makna pada kata-kata bahasa Arab, keadaan ini terjadi ada kalanya karena lafal itu mujmal (tidak detail) atau musytarak (mempunyai makna yang lebih dari satu) atau mempunyai dua maksud, yaitu umum dan khusus atau makna yang hakiki dan majazi, dan perbedaan itu terjadi karena lafal tertentu kadang-kadang disebut

2Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu wa Al-Marjan, cet. 1 (terj. Abdul Rasyad

Shiddiq) (Jakarta : Akabar Media Eka Sarjana, 2011), hlm. 478.

3Abdussami’ Ahmad Imam, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, (terj. Yasir

Maqosid) (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm. 78.

4

Ibnu Rusyd, Syarah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid I. (terj. Abdul Rasyid Shiddiq) (Jakarta : Akbarmedia, 1434 H / 2013 M), hlm. 5.

(35)

16

secara mutlak (tidak dibataskan) dan kadang-kadang disebut secara muqayyad, atau perbedaan itu terjadi disebabkan oleh perbedaan i’rab.5

a. Lafal memiliki banyak makna secara bahasa.

Hal ini disebut sebagai isytirak al-lafzhi (lafal yang bermakna ganda). Misalnya adalah lafal al-Qar’u dan al-Qur’u. Lafal tersebut secara bahasa terkadang bermakna haidh dan terkadang bermakna suci. Juga bermakna berpindah dari satu kepada yang lain. Oleh karena itu, muncul perbedaan pendapat di antara ulama mazhab tentang iddah perempuan yang ditalak dalam keadaan tidak hamil dan perempuan itu memiliki hitungan masa haid.6Perbedaan itu didasarkan mengenai maksud dari Alquran dalam firman Allah Swt,



Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al-Baqarah ayat 228).

Apakah yang dimaksud dengan Alquran adalah masa suci ataukah masa haid, sedangkan para ulama sepakat bahwa yang dimaksud adalah salah satu di antara kedua makna itu.Letak perbedaannya adalah menentukan salah satu dari kedua makna tersebut. Sebagian golongan dari mazhab Hambali berpendapat bahwa makna dari Alquran adalah masa haidh, sebab yang lebih banyak dipakai dalam syariat adalah makna ini. Hal

5Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jilid 1,..., hlm. 74.

6Abdussami’ Ahmad Imam, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, cet. 1,..., hlm.

(36)

ini sebagaimana ini sebagaimana Rasulullah Saw., “Tinggalkanlah salat pada hari-hari quru’ mu”.7 Maksudnya adalah hari-hari ketika engkau sedang haidh. Dengan dasar hadis ini, maka mereka menghukumi bahwa perempuan yang ditalak dan memiliki masa haidh, iddahnya adalah tiga masa haidh.

Sedangkan mayoritas ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa maksud dari Alquran adalah masa suci atau perpindahan dari masa suci ke masa haidh. Mereka bersandar pada hadis Nabi Saw, yang melarang talak pada masa haidh sesuai dengan firman Allah Swt,



Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.(At-Thalaq ayat 1).

Dari ayat ini dipahami bahwa talak hanya diperbolehkan pada waktu ketika seorang istri sah untuk ber-iddah. Manakala talak tidak boleh dijatuhkan kecuali ketika wanita dalam keadaan suci, maka masa suci adalah masa ketika seorang wanita ber-iddah. Dengan demikian, para ulama menghukumi bahwasanya perempuan yang ditalak apabila memiliki masa suci ‘iddahnya adalah tiga masa suci.8

7Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Lu’lu wa Al-Marjan, cet. 1,..., hlm. 96.

(37)

18

b. Lafal tersebut memiliki makna hakiki secara bahasa sedangkan makna lainnya adalah hakiki menurut umumnya syariat.Artinya, syariat menukil tersebut dari makna secara bahasa kemudian dipergunakan dalam hakiki syariat. Sebagai contoh adalah lafal nikah. Menurut bahasa nikah adalah al-wath’i (hubungan badan), akan tetapi syariat mempergunakannya untuk menunjukkan makna akad. Dengan demikian, lafal nikah ketika diucapkan secara mutlak akan memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, makna secara bahasa yaitu al-wath’i dan makna yang lain secara syariat yaitu akad.9 Hal ini menyebabkan para ulama berbeda pendapat ketika lafal nikah diucapkan secara mutlak tanpa adanya sesuatu yang menunjukkan pada makna yang dimaksud, yaitu apakah makna secara bahasa karena melihat dari asalnya ataukah secara syariat karena melihat penggunaannya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai firman Allah Swt,



Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.(An-Nisaa’ ayat 22).

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa maksud lafal nikah dalam ayat tersebut adalah al-wath’i. Dengan demikian, mereka menghukumi bahwa perempuan yang pernah berhubungan badan secara mutlak meskipun dengan jalan zina dengan seorang laki-laki maka perempuan itu haram

(38)

dinikahi oleh anak dari laki-laki itu atau ayah dari laki-laki itu. Sebab lafal nikah disebutkan secara mutlak tanpa ada qarinah sehingga harus diarahkan kepada hakikatnya yaitu bermakna al-wath’i.

Sedangkan imam-imam lainnya dari tiga mazhab berpendapat bahwa makna nikah dalam ayat tersebut bermakna akad nikah sehingga mereka menghukumi bahwa seseorang perempuan tidak haram dinikahi oleh anak laki-laki yang berzina dengan perempuan itu. Sebab lafal nikah sudah menjadi makna hakiki dalam akad nikah sehingga apabila dikatakan nikah secara mutlak menurut syariat maka wajib diarahkan kepada akad. Hal ini disebabkan kakikat syariat lebih mulia dibandingkan secara bahasa ketika lafal itu dimutlakkan menurut bahasa syariat.

c. Lafal yang makna hakikinya diperselisihkan para ulama ketika penyebutan lafal itu secara mutlak10

Contohnya adalah lafal yang berbentuk perintah, apakah ia bermakan wajib atau sunah saja. Demikian juga dengan lafal yang berbentuk larangan, apakah bermakna haram atau makruh saja.11 Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat dari al-amr ataupun an-nahi ketika disebutkan secara mutlak. Sebagian ulama mengatakan bahwa al-amr secara hakikat digunakan untuk menunjukkan makna wajib, sedangkan an-nahi secara hakikat digunakan untuk menunjukkan makna haram. Ketika

10Abdussami’ Ahmad Imam, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, cet. 1...., hlm. 37. 11

(39)

20

keduanya diucapkan secara mutlak tanpa qarinah maka al-amr harus diarahkan pada makna wajib, sedangkan an-nahi harus diarahkan pada makna haram. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa al-amr secara hakikat menunjukkan makna sunah, sedangkan an-nahi menunjukkan pada maksud makna makruh. Adapun jika ada qarinah yang menunjukkan pada maksud dari kedua makna itu, atau pada salah satunya makna yang dimaksud adalah makna yang ditunjukkan oleh qarinah tersebut.12

Contohnya, ulama berbeda pendapat dalam menentukan fi’il dari kata kerja yash’adu, apakah al-kalim atau al-‘amal. Ataupun perbedaan makna ayat terjadi akibat pertimbangan keadaan yang meliputi nas. Contohnya adalah firman Allah Swt,





Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(Al-Baqarah ayat 282).

Begitu juga Allah Swt, berfirman dalam ayat yang sama,



Dan janganlah penulis yudhaarr (disusahkan/menyusahkan) dan begitu juga saksi.(Al-Baqarah ayat 282).

(40)

Sebagian ulama bependapat bahwa kedua perintah tersebut menunjukkan pada makna wajib sehingga mereka menghukumi bahwa menuliskan utang-piutang hukumnya adalah wajib, sedangkan berteransaksi dalam hal jual beli hukumnya juga wajib. Dengan demikian, orang yang tidak menulis utang-piutangnya atau tidak mempersaksikan jual belinya maka orang itu mendapat dosa. Inilah pendapat dari mazhab Zahiriyyah dan ulama yang sepakat dengan mereka. Mereka mengatakan al-amr pada makna wajib disebabkan tidak ada qarinah yang memalingkan pada makna yang lain, sehingga inilah hakikat yang sebenarnya menurut mayoritas ulama. Sedangkan dari mayoritas ulama berpendapat bahwa al-amr menunjukkan pada sunah dan petunjuk semata. Mereka mencari pada qarinah yang memalingkan makna tersebut dari makna wajib.13

Contoh lainya adalah Allah Swt berfirman, “Para ibu menyusui anak-anaknya” para ulama berbeda pendapt dalam makna lafal yurdhi’na “menyusui”. Sebab, bentuknya adalah fi’il mudhari’ tetapi yang dikehendaki adalah perintah untuk menyusui. Sedangkan penyandaran lafal tersebut kepada nun niswah (nun yang menunjukkan makna jama’ bagi perempuan) menjadikan menyusui sebagai kewajiban bagi mareka, yaitu memaknai perintah menurut hakikatnya sebagai kewajiban. Ini adalah mazhab Maliki. Sedangkan mazhab yang lain berpendapat bahwa perintah

(41)

22

dalam hal ini bersifat sunah, oleh karena itu mereka mencari qarinah yang dapat memalingkan dari makna wajib, yaitu firman Allah Swt,



Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.(Al-Baqarah ayat 233)

Mereka mengatakan, sesungguhnya menyusui mendapat imbalan rezeki menunjukkan bahwa menyusui bukan sesuatu yang wajib. Adapun orang yang mengatakan bahwa perintah secara hakikatnya untuk menunjukkan makna sunah maka tidak butuh lagi terhadap qarinah. Kecuali bagi mereka yang mengatakan bahwa menyusui anak kecil merupakan kewajiban bagi seorang ibu.14

d. Lafal bermakna hakikatnya yang sudah maklum.

Lafal bermakna hakikatnya yang sudah maklum, kemudian terdapat dalam bahasa pembuat syariat sehingga ada kemungkinan lafal tersebut yang dikehendaki adalah makna hakikatnya atau terkadang makna majazinya karena adanya sesuatu qarinah yang menjadikan perbedaan pendapat di antara mazhab. Contohnya adalah lafal bermakna khusus yang ketika diucapkan dalam bahasa pembuat syariat maka ada kemungkinan yang dikehendaki adalah makna umum, atau lafal yang bermakna umum ketika dalam bahasa pembuat syariat ada kemungkinan yang dikehendaki

14

(42)

adalah makna khusus, karena keduanya menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.

Sebagai contohnya adalah sesuatu yang umum yang kemungkinan dikehendaki khusus, sebagaimana firman Allah Swt,



Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.(Al-Maidah ayat 3).

Para ulama sepakat atas keharaman babi darat, kemudian mereka berbeda pendapat mengenai babi laut.

Mazhab Hanafi berpendapat mengenai keharaman babi laut karena mengharamkan lafal umum terhadap keumumanya, sedangkan ulama lainya berpendapat bahwa babi laut tidak haram karena firman Allah Swt,



Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (Al-Ma’idah : 96)

Begitu pula Rasulullah Saw ketika ditanya mengenai air laut, “Itu adalah suci airnya dan halal bangkainya”. Ayat di atas memberi pringatan bahwa seluruh buruan laut hukumnya adalah halal, termasuk didalamnya babi laut. Begitu pula hadis di atas memberi pengertian bahwa bangkai binatang laut adalah halal baik babi laut ataupun yang lain. Sementara itu,

(43)

24

bangkai hewan darat tidak halal sehingga ini merupakan isyarat untuk merajihkan pendapat dari mayoritas ulama.

d. Mufart (bentuk tunggal)

Dari suatu lafal yang secara zhahirnya menunjukkan makna hakikat, akan tetapi ketika disusun maka ada kemungkinan tidak menunjukkan makna hakiki. Sebagaimana dalam firman Allah Swt,







Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An-Nuur ayat 4-5)

Ayat yang pertama mencakup tiga hukum yang wajib diberlakukan bagi qadzif (orang yang menuduh), yaitu didera sebanyak delapan puluh kali, persaksiannya ditolak dan dihukumi sebagai orang fasik. Kemudian ayat yang kedua mengecualikan tentang orang-orang yang bertaubat. Di sini para ulama berbeda pendapat mengenai pengecualian tersebut, apakah merujuk kepada tiga hukum yang diterangkan sebelumnya? Dengan demikian bagi orang yang sudah bertaubat sebelum ia dikenai hukuman

(44)

maka ia tidak wajib dihukum, tidak ditolak persaksiannya dan tidak dinamakan sebagai orang fasik. Pada kondisi seperti ini berarti orang itu sudah tidak dihukum dan dianggap sebagai orang adil yang bisa diterima persaksiannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Asy-Sya’bi karena mendasarkan bahwa pengecualian dalam ayat tersebut merujuk kepada hukum-hukum yang terkandung pada ayat sebelumnya. Sedangkan mayoritas mazhab empat dan lainya mengatakan bahwa pengecualian tersebut tidak merujuk kepada hukuman, karena hukuman adalah kewajiban seorang hamba yang tidak bisa gugur dengan adanya taubat, akan tetapi bisa gugur dengan cara diampuni atau melaksanakan ketentuan yang ada.15 B. Perbedaan Periwayatan

Riwayat adalah jalan yang menyambung suatu nas kepada Rasulullah Saw, atau riwayat adalah orang-orang yang meriwayatkan dari satu orang kepada orang lain sehingga orang terakhir di antara mereka adalah orang yang meriwayatkan dari Rasulullah Saw.16

Perbedaan periwayatn terjadi karena beberapa sebab, misalnya adalah sebuah hadis sampai kepada seseorang, tetapi tidak sampai kepada yang lainnya. Sebuah hadis sampai melalui jalur sanad dhaif yang tidak boleh digunakan sebagai hujjah, sedangkan ia sampai kepada orang lain melalui jalur sanad yang shahih. Hadis sampai melalui satu jalur, dan salah seorang perawinya dihukum

15

Ibid,...., hlm. 46-47. 16

(45)

26

dhaif, sedangkan orang lain tidak menghukumnya sebagai dhaif atau dia berpendapat tidak ada sesuatu yang menghalangi untuk menerima riwayat itu. Perkara ini bergantung kepada perbedaan pendapat dalam masalah ta’dil dan tarjih. Ataupun sebuah hadis sampai kepada dua orang (mujtahid) dengan cara yang disepakati. Tetapi, salah seorang dari kedua mujtahid itu menetapkan beberapa syarat untuk beramal dengannya, sedangkan yang seorang lain tidak meletakkan syarat apa-apa.17

Terkadang yang meriwayatkan sesuatu nas adalah beberapa perawi yang jumlahnya banyak sehingga secara adatnya tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbohong. Selanjutnya generasi ini menukil kepada generasi lainnya dalam seluruh silsilah perawinya dan seterusnya. Inilah yang dinamakan dengan at-tawatur, sedangkan nas yang seperti ini dinamakan sebagai mutawatir. Bentuknya adalah para perawi nash tersebut adalah sejumlah perawi yang sangat banyak sehingga tidak bisa dihitung, atau bisa dihitung akan tetapi ditempat berbeda ditempat yang berbeda-beda dan berjauhan yang secara umumnya manusia tidak mungkin bisa saling bertemu dan tidak akan bersepakat untuk berbohong.18

Riwayat hidup para mujtahid membuktikan, tidak seorang pun di antara mereka yang tidak mengamalkan hadis sahih yang qat’i akan tetapi dalam

17

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jilid 2. ..., hlm. 75.

(46)

menentukan kriteria sahih dan qat’i itu mereka berbeda pendapat sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

a. Perbedaan mengenai Kehujahan Hadis Mursal

Dalam istilah syarak, hadis mursal ialah hadis yang diriwayatkan oleh sesudah sahabat (Tabi’in) dan Nabi. Dalam masalah ini al-Sarakhsy menguraikan, hadis mursal pada kurun pertama dan kedua adalah hujah dalam mazhab Hanafi, sedangkan menurut Syafi’i hadis tersebut tidak boleh menjadi dalil kecuali bila hadis mursal tersebut dari Sa’id bin al-Musayyib. b. Perbedaan mengenai keingkaran perawi terhadap hadis yang dirawinya

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, kemudian ia lupa, ataupun mengingkarinya. Abu Hanafah dan Abu Yusuf menganggapnya tidak dijadikan pegangan, sedangkan Syafi’i dan Muhammad (murid Abu Hanifah) berpendapat hadis tersebut adalah dalil syarak yang sah untuk diamalkan19.

c. Perbedaan penilaian terhadap Hadis Mastur

Al-Mastuur menuruti ilmu mushtalah hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang. Namun tidak seorang pun diantaranya mereka yang pernah diteliti akan sifatnya.

Sebagian ulama menganggap perawi yang masuk ke dalam kategori hadis mastur itu ‘adil’ kalau mereka hidup dalam kurun waktu tiga abad

19

Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut: Dar al-Kutub al-I’lmiya, cet, V, 1997), hlm. 471.

(47)

28

pertama hijrah, maka hadisnya dapat diterima, karena pada dasarnya, orang Islam itu baik dan dapat dipercaya. Sementara sebagian ulama lain, menganggap orang mastur itu fasik, sehingga riwayatnya tidak dapat diterima, demi kehati-hatian dalam masalah agama.20 Al-Sarakhsy mengatakan “Abu Hanifah mengganggap adil” sesuai dengan hadis yang artinya : “Orang Islam itu adil, sebagian mereka atas sebagian yang lain”.21

Al-Sarakhsy lebih lanjut mengatakan, di zaman sekarang ini banyak orang yang tidak dipercaya, maka lebih baik hadis mastur itu ditolak.

Hadis yang tidak mutawatir maka menurut mayoritas ulama dinamakan dengan hadis ahad, baik perwinya sedikit atau banyak yang tidak sampai pada derajat mutawatir. Adapun hukum hadis ahad menurut ulama adalah memberi pengertian terhadap persangkaan kuat yang mewajibkan untuk mengamalkan. Hadis ahad juga mentakhsis keumuman dalam Alquran dan mengkaidkan yang mutlak.22

C. Perbedaan Sumber

Ada beberapa sumber yang diperselisihkan oleh ulama, sejauh manakah ia dapat dijadikan sumber hukum. Contohnya adalah istihsan, masalih murasalah, qaul shahabi, istishhab adz-dzara’i, al-bara’ah al-ashliyyah atau ibahah, dan sebagainya.

20

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi M. Yunus & Mizaj Iskandar Usman, Pengantar Fiqh

Muqaranah, Cet-1..., hlm. 22-23. 21

Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, tahkik Muhammad Abdul Qadir al-A’ta, hadis nomor : 20619, jilid X, (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1994), hlm. 197.

(48)

a. Metode Imam Abu Hanifah

Metode ijtihad yang digunakan oleh Abu Hanifah sebagai pioner dari mazhab Hanafi terdiri dari : Alquran, hadis sahih, statement para sahabat, dan ketika tiga sumber primer tadi bisa memberikan jawaban terhadap solusi yang dihadapi, maka Abu Hanifah akan beralih kepada ijtihad dengan menggunakan daya nalarnya sebagai seorang mujtahid. Hal ini seperti terlihat di dalam ucapannya : “Sesungguhnya aku mencari hukum di dalam Kitabullah, bila tidak aku dapati aku mencarinya di dalam hadis yang sahih, yang berasal dari orang atau perawi-perawi yang tsiqat (terpercaya). 23

Kalau aku tidak memperolehnya, aku berpegang pada perkataan sahabat, siapa saja di antaranya yang aku pilih, dan bila belum kudapati juga, meskipun telah sampai kajianku pada perkataan Ibrahim Nakh’i, Sya’bi dan Ibnu Musayyab, maka aku pun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.24 Peinsip-perinsip Abu Hanifah dalam metode ijtihadnya ialah : bahwa lafal ‘am dalalahnya adalah qat’i (pasti/tegas maknanya), ucapan sahabat dapat mentakhshish lafal ‘am bila terjadi pertentangan antara keduannya, banyaknya perawi tidak menjadi jaminan bagi kesahihan sebuah hadis, tidak menerima hadis ahad (hadis yang tidak mencapai mutawatir), amar (imperatif) sudah pasti menunjukkan wajib selama tidak ada

23

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jilid 1. ..., hlm. 73.

24

(49)

30

penyanggahan, bila bertentangan riwayat dan perbuatan seorang perawi, maka yang dipegang adalah perbuatannya, berpegang pada isitsan, meninggalkan qiyas (analogi hukum) kalau diperlukan dan lain sebagainya.25

b. Metode Imam Malik

Imam Malik selalu berpegang pada nas baik Alquran dan sunah. Kemudian pada keumuman Alquran dan sunah, kemudian pada mafhummukhalafah keduanya, lalu kepada mafhun al-aula keduanya, lalu baru beliau berpegang pada indikasi ‘illat (rasio legis/kausa efektif) dari keduanya. Artinya dari Alquran dan sunah melahirkan sepuluh sumber hukum atau dalil. Lima dari Alquran dan lima dari sunah. Kemudian baru beralih kepada ijmak (konsensus), qiyas (analogi hukum), amal ahl Madinah (perbuatan penduduk Madinah), qiyas (analogi hukum), istishan, sad az-zara’i, mashalih murasalah, qaul ash-shahabi (perkataan sahabat), mura’ah al-khilaf, istishshab dan terakhir pada syar’u man qablana.26

c. Metode Imam Syafi’i

Sebagaimana disebutkan dalam kitab usul fikihnya (Ar-Risalah) metode imam Syafi’i dalam menentukan hukum adalah : Alquran dan sunah, kemudian qiyas berdasarkan keduanya. Bila hadis sahih dan sanadnya (mata rantai periwayatn) bersambung, maka Syafi’i akan

25

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi M. Yunus & Mizaj Iskandar Usman, Pengantar

Fiqh,..., hlm. 52. 26

(50)

menjadikannya sebagai hujjah. Ijmak lebih utama dari hadis ahad.Zahir hadis yang zanni (teks hadis yang maknanya masih abstrak) lebih patut untuk dipergunakan dari yang lainnya. Apabila hadis satu dengan yang lainya selaras maknanya, maka yang dipergunakan ialah yang paling sahih sannadnya. Hadis munqati’ tidak dapat dipegang, kecuali riwayat Ibn Musayyab, karena walaupun hadis riwayat Ibn Musayyab munqati’ tetapi setelah diteliti lebih lanjut, ternyata kebanyakan dari hadis munqati’ yang diriwayatkan oleh Ibn Musayyab bersambung mata rantainya hingga sampai kepada Rasulullah. Teks asal yang menjadikan landasan diberlakukannya qiyas tidak boleh diqiyaskan pada teks asal yang lain. Teks ashal qiyastidak boleh ditanya mengapa dan bagaimana? Kalau far’nya (yang dihasilkan dari kausasi hukum) boleh ditanya, mengapa atau kenapa?.27

Imam Syafi’i, tidak berpegang pada hadis mursal. Pada umumnya beliau tidak mensyaratkan hadis masyhur dalam berhujah, seperti Abu Hanifah. Tidak juga mensyaratkan bertentangan hadis dengan perbuatan penduduk Madina, seperti yang dilakukan Imam Malik. Beliau tidak berpegang pada mashalih mursalah, pada qiyas yang ‘illatnya tidak tetap dan tidak pasti, pada perbuatan penduduk Madinah dan beliau tidak

27

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi M. Yunus & Mizaj Iskandar Usman, Pengantar

(51)

32

membatasi diri hanya pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang Hijaz.28

d. Metode Imam Ahmad bin Hanbal

Secara umum, imam Ahmad berpegang pada nas Alquran dan sunah. Beliau mendahulukan hadis sahih yang marfuk dari perbutan Madinah, qiyas, perkataan sahabat atau ijmak asal tidak diketahui ada pendapat yang berbeda.

Bila beliau tidak menemukan hukum yang dicari di dalam nas, beliau mancarinya pada perkataan sahabat, bila sahabat pun berbeda pendapat, maka beliau pilih pendapat yang paling berkait dengan Alquran dan sunah, dan bila beliau tidak temukan, beliau berijtihad atas dasar Alquran dan sunah.

Beliau berpegang pada hadis murasal dan hadis daif jika tidak bertentangan dengan perkataan sahabat atau ijmak yang bertentangan dengan hadis itu, dan beliau mendahulukan hadis tersebut dari qiyas. Beliau berpegang pada qiyas di waktu darurat saja dan sudah tidak ada dalil yang lain. Dan jika tidak juga ada pada itu maka beliau menggunakan sadd az-zara’i.29

28Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, cet. V, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 47. 29

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi M. Yunus & Mizaj Iskandar Usman, Pengantar

(52)

D. Perbedaan Kaidah-kaidah Ushul

Perbedaan kaidah-kaidah ushul memamng banyak terjadi perbedaan. Contohnya seperti kaidah ‘am yang dikhususkan (al-‘am al-makhshush) tidak menjadi hujjah, mafhun tidak dapat menjadi hujjah, penambahan kepada ketetapan nash Alquran apakah merupakan nasakh atau tidak dan sebagainya. Di antaranya perbedaan itu sebagi berikut :

a. Perbedaan pendapat fukaha mengenai kehujahan ijmak penduduk Madinah. Mazhab Maliki menyakini bahwa ijmak penduduk Madinah adalah hujah yang memiliki legitimasi kuat dalam menginduksi hukum syara’. Sementara itu Jumhur Ulama, termasuk Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perbuatan penduduk itu bukan hujah, kecuali kalau sudah menjadi ijma’ ummat.30

b. Perbedaan pendapat ulama mengenai kehujahan mafhum mukhalafah. Mayoritas ulama atau mujtahid memakainya,31 mereka berpendapat bahwa mafhum mukhalafah bisa menjadi dalil syara’ dengan beberapa syarat, sedangkan fukaha mazhab Ahnaf berpendapat bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan dalil.32

c. Perbedaan pendapat ulama dalam menghadapi pertentangan dalil ‘am dan dalil khas.

30

Ibid,..., hlm. 31-32. 31

Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, Cet-1 (Malang: UIN-Malang Pers, 2008), hlm. 179.

32

Muslim Ibrahim, Fakhrurrazi M. Yunus & Mizaj Iskandar Usman, Pengantar..., hlm. 34.

(53)

34

Para fukaha berbeda pendapat mengenai kebolehan membawa makna ‘am (umum) kepada khas (kusus) bila antara keduannya terdapat pertentangan. Mayoritas fukaha berpendapat bahwa seluruh dalil yang bersifat ‘am statusnya adalah z}anni (kuat dugaan). Maka perlu dialihkan maknanya kepada yang bersifat khas yang statusnya qat’i (pasti) selama hal itu dimungkinkan, lalu yang makna khas itulah yang diamalkan. Berbeda dengan fukaha Annaf yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang bersifat ‘am itu statusnya qat’i, maka demikian dapat langsung diamalkan tanpa harus dialihkan maknanya kepada yang khas terlebih dahulu, baik bila terdapat pertentangan ataupun tidak.33

d. Perbedaan pendapat ulama dalam menghadapi pertentangan antara dalil yang mutlaq dengan yang muqayyad

Mayoritas fukaha berpendapat bahwa bila bertentangan antara nash mutlaq dengan muqayyad, maka sebelum diamalkan, nash mutlaq tersebut harus dibatasi kepada makna yang me-muqayyad-kannya terlebih dahulu, bila memenuhi syarat. Sementara Abu Hanifah berpendapat sebaliknya, maka mutlaq dapat langsung diamalkan tanpa harus dicari makna yang dapat me-muqayyad-kannya.34

e. Perbedaan pendapat ulama mengenai perbuatan perawi yang berlawanan dari apa yang diriwayatkan.

33

Ibid,...., hlm. 36. 34

Referensi

Dokumen terkait

Hasil simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa proses pengecoran untuk pembuatan poros berulir ( screw ) dengan variasi suhu pemanasan cetakan 200 o C; dan

Deskripsi Ditampilkan sesuai dengan bentuk, warna dan ukuran obyeknya sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran maupun pengertian peserta didik (misalnya perbandingan

PERTUNJUKAN TARI GENDING SRIWIJAYA BAGI MASYARAKAT PERANTAU ASAL PALEMBANG DI JAWA BARAT.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Vous pouvez soit faire appelle à une société événementielle qui se chargera alors de vous fournir les tables professionnelles de chaque jeux ainsi que leur croupiers ( ou

Nama Perusahaan Nilai Penawaran Hasil Koreksi Aritmatika (Rp) Evaluasi Hasil. Evaluasi

Langkah pertama yang dilakukan untuk mengimplementasikan metode ini adalah dengan menentukan matakuliah pendukung peminatan pada masing masing program studi sebagai

Berdasarkan penelitian dan wawancara yang penulis lakukan bahwa upaya meningkatkan kualitas kesehatan karyawan yang dilakukan Hotel Crystal Lotus sudah baik

Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa semua butir pernyataan yang digunakan sudah reliabel sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ukur yang digunakan untuk mengukur