KEBUTUHAN PENDIDIKAN SEKSUAL PADA REMAJA:
BERDASARKAN SURVEI PERSEPSI PENDIDIKAN SEKSUAL UNTUK REMAJA
Ipah Saripah1, Nadia Aulia Nadhirah 2, Pepi Nuroniah3, Rina Nurhudi Ramdhani4, Lucky
Angkawidjaja Roring5
1,2,3,4Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia 5Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi, Universitas Pendidikan Indonesia Email: [email protected], [email protected]2, [email protected]3,
[email protected], [email protected]5
ABSTRAK
Pendidikan seksual masih dianggap tabu oleh masyarakat, yang berdampak pada remaja memiliki pengetahuan tentang pendidikan seksual yang kurang. Akibatnya, remaja melakukan pencarian tentang “seks” dari sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pendidikan seksual remaja berdasarkan hasil survei persepsi pendidikan seksual remaja. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX SMA dan SMK di Bandung. Sampel penelitian diambil menggunakan sampel non-probabilitas dengan teknik random sampling, sehingga didapatkan 618 responden. Pengumpulan data didapatkan dari penyebaran instrumen persepsi pendidikan seksual pada remaja dan Focus Group Discussion (FGD) bersama guru-guru pada sekolah yang dijadikan responden. Analisis pengolahan data dilakukan dengan penentuan kelompok siswa dengan kategori dimulai dengan konversi skor mentah menjadi skor matang dan menggunakan batas ideal yang ditentukan serta berdasarkan hasil Focus
Group Discussion (FGD). Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
remaja SMA dan SMK di kota Bandung telah memiliki persepsi pendidikan seksual pada kategori sehat. Artinya, remaja memiliki persepsi yang positif terhadap pendidikan seksual. Sehingga remaja seyogyanya orang yang dianggap lebih dewasa mampu memberikan pendidikan seksual yang tepat guna memfasilitasi peningkatan dorongan atau hasrat seksual untuk disalurkan pada kegiatan yang lebih positif dalam pengembangan diri remaja. Pendidikan seksual sehat harus berjalan beriringan dengan pertumbuhan, perkembangan remaja, nilai dan norama yang berlaku di masyarakat atau pendidikan sexsual secara konprehensif.
Kata Kunci: Remaja, Pendidikan Seksual Komprehensif, Persepsi
Pendidikan Seksual, Rasch Model
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa eksplorasi seksual sebagai identitas seorang individu. Perkembangan hasrat seksual yang dialami remaja, menjadi sebuah kekhawatiran bagi remaja tentang daya tarik mereka terhadap lawan jenis (Papathanasiou & Lahana, 2007). Seksualitas merupakan komponen perkembangan fisik yang alami dari sifat manusia dan merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari setiap individu. Perilaku seksual menggerakan diri individu untuk
membuat hubungan yang memberikan rasa aman dalam emosional, kehangatan dan kebahagiaan. Hal itu menjadi kekuatan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, kepekaan pilihan, kesehatan fisik dan spiritual individu.
Faktanya, remaja masih belum memahami tentang pendidikan seks, terutama perilaku seksual sehat pada aspek kesehatan reproduksi. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKRRI) (dalam Badan Pusat Statistik (BPS) et al., 2013) menjabarkan bahwa remaja usia 15-24 tahun yang belum menikah dan pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 0.9% pada wanita usia 15-19 tahun dan 2,6% pada wanita usia 20-14 tahun. Sementara sebanyak 3,6% pada laki-laki usia 15-19 tahun dan 14,5% pada laki-laki usia 20-24 tahun. Hasil penelitian Ipah & Nadia tahun 2020 dari 1423 responden di Jawa Barat 11.4% atau sebanyak 162 responden memiliki perilaku seksual yang tidak sehat (Saripah & Nadhirah, 2020). Berdasarkan fakta tersebut penting bagi bimbingan dan konseling memberikan pendidikan seks pada remaja. National Child Traumatic
Stress Network (NCTSN) (2009) memaparkan hanya karena suatu perilaku dianggap tabu, bukan
berarti perilaku tersebut harus diabaikan. Hal yang perlu diajarkan pada remaja ialah pengetahuan terutama mengingatkan batasan yang harus diperhatikan. Misalnya, orang tua dapat mengajarkan remaja bahwa tidak apa-apa untuk penasaran dengan tubuh orang lain, tetapi ada bagian pribadi yang harus dijaga kerahasiaannya. Remaja yang memiliki pengetahuan tentang pendidikan seks yang kurang, memiliki kemungkinan resiko sebanyak 15,103 kali untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah yang beresiko dibandingkan dengan remaja yang memiliki pengetahuan tentang pendidikan seks yang tepat (Fadhilah, 2013).
Remaja sangat mudah mendapatkan informasi yang berkaitan dengan seks, terutama media. Penelitian Lestari et al. (2015) menjelaskan intensitas dalam mengakses situs porno memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku seksual tidak sehat pada remaja. Kemudahan akses media cenderung diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari yang berpengaruh pada perilaku seksual yang ditampilkan (Sarwono, 2011). Dampak yang terjadi akibat melakukan hubungan seksual diluar nikah diantaranya menurunnya semangat belajar remaja, diejek oleh teman-temannya, hamil diluar nikah, putus sekolah, merasa bersalah pada diri sendiri dan keluarga, merasa bersalah yang cenderung akan membuat depresi, menikah muda, harus menafkahi anak di usia muda, kecenderungan untuk mengalami penyakit kelamin menular, serta sanksi moral dan sosial di masyarakat yang tidak mudah (Kustanti, 2013).
Peningkatan dorongan atau hasrat seksual membutuhkan cara atau sarana untuk disalurkan dan penyaluran hasrat seksual memberi kenikmatan bagi individu yang melakukannya, baik dilakukan dengan orang lain atau dengan diri sendiri. Dilihat dari perspektif psikologi, pendidikan, serta bimbingan dan konseling, perilaku seksual menurut para ahli merupakan kebutuhan dasar setiap individu dan dalam kehidupannya mereka berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Secara empirik sejalan dengan hasil kajian Glasser (Corey, 2009) mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan bertahan hidup (survival), mencintai dan dicintai (love and belonging), kekuasaan atau prestasi (power or achievement), kebebasan atau kemerdekaan (freedom or independence), dan kesenangan (fun).
Berdasarkan pemaparan tersebut, perlu adanya penelitian mengenai kebutuhan remaja dalam pengembangan perilaku seksual sehat. Layanan bimbingan dan konseling memiliki peran yang penting dalam mengentaskan masalah perilaku seksual siswa. Oleh karena itu, perlu ada inovasi dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling untuk memberikan pemahaman mengenai masalah-masalah perilaku seksual yang benar kepada siswa, baik di sekolah maupun di keluarga sebagai wahana awal pendidikan seks bagi remaja. Hal ini dimaksudkan agar remaja tidak mencari informasi tentang perilaku seksual dari orang yang tidak bertanggung jawab atau sumber-sumber yang diragukan keberannya atau bahkan keliru.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai metode utama dan pendekatan kualitatif sebagai pendukung. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode statistika deskriptif dengan desain survey melului penyebaran kuisioner mengenai persepsi pendidikan seksual pada remaja yang populasinya terdiri dari siswa kelas IX SMA dan SMK di Bandung. Pengambilan sampel penelitian menggunakan non probability sample. Teknik sampling yang digunakan yaitu
random sampling dengan strategi homogeneous sampling (Creswell, 2012). Maka didapatkan
sampel penelitian sebanyak 618 responden dengan rincian 92 siswa SMA Darul Hikam Bandung, 251 siswa SMAN 2 Bandung, dan 275 siswa SMKN 11 Bandung. Alasan pemilihan sampel karena SMA dan SMK remaja dianggap sudah cukup matang secara perkembangan seksual. Selain itu perbedaan karakteristik siswa SMA/SMK negeri dan swasta yang dapat menjadi pertimbangan dalam memberikan layanan dan hasil setelah dilaksanakan intervensi. Kuisioner terdiri dari 5 aspek, 24 indikator, dan 52 item dengan menggunakan skala Guttman. Gothwal, dkk mengatakan skala Guttman memiliki kelebihan yaitu hanya melihat satu respons dapat digunakan untuk memprediksi respons terhadap seluruh pernyataan pada skala serta membuat kuesioner yang singkat dengan kemampuan diskriminasi yang baik (Yulianto, 2020).
Untuk analisis data statistika deskriptif menggunakan Rasch Model melalui aplikasi Winstep. Statistika deskriptif yang diukur mencakup validitas, reabilitas, rata-rata, standar deviasi, dan tingkat pencapaian. Hasil analisis data dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu sehat, waspada, dan tidak sehat. Kategori sehat menunjukkan remaja memiliki persepsi pendidikan seksual yang baik, kategori waspada menunjukkan remaja memiliki persepsi pendidikan yang kurang baik, dan kategori tidak sehat menunjukkan remaja memiliki persepsi pendidikan seksual yang tidak baik.
Sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis rancangan deskriptif melalui teknik Foccus Group Discussion (FGD). Focus Group Discussion (FGD) adalah bentuk diskusi yang didesain untuk memunculkan informasi mengenai keinginan, kebutuhan, sudut pandang, kepercayaan dan pengalaman yang dikehendaki peserta (Paramita & Kristiana, 2013). Dalam Foccus Group Discussion (FGD) menggunakan pertanyaan terbuka (open ended) dengan tema “Pengembangan Model Pendidikan Seksual Komprehensif Untuk Remaja”. Sehingga memungkinkan peserta untuk memberikan jawaban yang disertai dengan penjelasan-penjelasan mengenai tema tersebut. Dimana forum diskusi tersebut membahas mengenai mengembangkan potensi siswa dalam menghadapi kebutuhan seksualitas yang juga diirngi dengan nilai nilai keluarga, agama, sosial, dan lainnya. Peserta diskusi terdiri dari guru guru dari SMA Darul Hikam Bandung, SMAN 2 Bandung, dan SMKN 11 Bandung. Pertimbangan yang digunakan dalam memilih peserta Foccus Group Discussion ini adalah peserta dari masing masing sekolah SMA Negeri, SMA Swasta, dan SMK harus terdiri dari guru BK, guru Olahraga, guru Biologi, guru PKN/IPS, dan guru Agama. Sehingga sumber data dalam penelitian ini terdiri dari berbagai sudut pandang para pengajar berdasarkan mata pelajaran tersebut.
HASIL
Berdasarkan uji validitas dan reabilitas saat uji coba dengan 36 responden, maka terdapat 1 item tidak valid sehingga tersisa 51 item yang dapat digunakan dan nilai rebilitas instrumen yaitu 0,51. Selanjutnya, hasil analisis data menggunakan rasch model pada aplikasi Winstep, maka nilai rata-rata, standar deviasi, dan tingkat pencapaian persepsi pendidikan seksual remaja adalah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif Persepsi Pendidikan Seksual Remaja
Hasil analisis deskriptif persepsi pendidikan seksual remaja, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Deskriptif Persepsi Pendidikan Seksual Remaja Persepsi Pendidikan Seksual Remaja
Rata-Rata 37,964
STDEV 4,090
Tingkat Pencapaian 74, 44 %
Berdasarkan hasil tabulasi data dengan 618 responden dari SMA dan SMK di Bandung yang menjadi sampel dari penelitian ini, diperoleh informasi bahwa persepsi pendidikan seksual remaja berada pada kategori sehat. Hal tersebut ditunjukkan dengan pencapaian skor rata-rata dengan nilai 37,964, standar deviasi dengan nilai 4,090, dan tingkat pencapaian sebesar 74,4 %. Berdasarkan hasil analisis deskriptif tersebut, memberikan indikasi bahwa remaja telah memiliki persepsi pendidikan seksual yang baik.
2. Analisis Deskriptif Aspek-Aspek Persepsi Pendidikan Seksual Remaja
Hasil analisis deskriptif aspek-aspek persepsi pendidikan seksual remaja, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Deskriptif Aspek Persepsi Pendidikan Seksual Remaja
Aspek Pribadi dan
Keluarga Pertemanan, cinta dan hubungan romantis Toleransi, Inklusi dan Rasa Hormat Komite Jangka Panjang Nilai, Budaya, dan Perilaku Seksual Sehat Rata-Rata 11,843 6,866 2,793 9,256 7,207 STDEV 2,206 1,370 0,496 1,751 1,228 Tingkat Pencapaian 65,794 % 76, 289 % 93,1 % 77,133 % 80,078 %
Berdasarkan hasil tabulasi data dengan seluruh responden yang menjadi sampel dari penelitian ini, diperoleh informasi bahwa aspek pribadi dan keluarga berada pada kategori waspada yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata 11,843, standar deviasi dengan nilai 2,206, dan tingkat pencapaian sebesar 65,794 %. Sedangkan 4 aspek lainnya berada pada kategori sehat. Maka, tidak ada aspek yang berada pada kategori tidak sehat. Jika diurutkan, aspek dengan tingkat pencapaian tertinggi yaitu toleransi, 1) toleransi, inklusi, dan rasa hormat, (93,1 %) 2) nilai budaya dan perilaku seksual sehat (80,078 %), 3) komitmen jangka panjang (77,133 %), 4) pertemanan, cinta, dan hubungan romantis (76,289 %), 5) pribadi dan keluarga (65,794 %). Berdasarkan hasil analisis deskriptif tersebut, memberikan indikasi bahwa remaja memiliki persepsi pendidikan seksual yang baik pada keempat aspek. Sedangkan, pada aspek pribadi dan keluarga remaja memiliki persepi pendidikan seksual yang kurang baik.
Selanjutnya, Dari Foccus Group Discussions (FGD) yang telah dilakukan, mayoritas guru masih menganggap tabu memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi. Faktanya di lapangan guru lebih sering membahas mengenai dampak pergaulan bebas seperti hamil diluar nikah, penyakit menulat seksual dan putus sekolah. Hal tersebut dapat telihat dari penyataan “belum pernah membahas tetang kesehatan reproduksi”. Guru cenderung membahas etika bergaul dengan lawan jenis atau tentang kesadaran gender yang menjelaskan peran pria dan wanita di lingkungan masyarakat. Sedangkan, perihal membersihkan organ reproduksi masih dianggap tabu dan dianggap telah diberikan oleh orang tua di rumah. Oleh karena itu dianggap penting adanya parenting class dalam implementasi model pendidikan seksual komperhensif ini.
Parenting class merupakan langkah awal untuk menyamakan persepsi mengenai pendidikan
seksual pada peserta didik. Yang menjadi tantangannya bagaimana mengemas kegiatan
parenting class agar tidak tekesan vulgar dan dianggap melanggar privasi.
Konformitas pada remaja menjadi sebuah tantangan untuk dimanfaatkan dengan tepat. Pada perilaku seksual tidak sehat, remaja cenderung melakukan hubungan seksual dengan lawan
jenis dikarenakan dua alasan, yang pertama terlanjur takut kehilangan pasangan sehingga memberikan segala hal yang diminta oleh pasangan dan karena tuntutan ekonomi. Ditemukan sudah banyak siswa yang melakukan hubungan seks diluar pernikahan. Mereka melakukan hubungan sex karena tuntutan ekonomi dan atas dasar suka sama suka dengan pasangannya. Bahkan para guru sering menemukan siswa/siswi yang ketauan pacaran dilingkungan sekolah.
Selain itu pendidikan seksual komprehensif sudah mulai diterapkan di sekolah-sekolah tersebut, namun dalam pelaksanaannya ada beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Seperti halnya di sekolah SMK 11 Bandung, yakni mereka sudah memberikan materi mengenai dampak penyakit menular seksual tetapi belum spesifik kepada kesehatan reproduksinya. Pemberian pemahaman kepada siswa mengenai pendidikan seksual hanya diberikan pada jam mata pelajaran olahraga dan biologi saja. Di SMA Darul Hikam, sudah menerapkan implikasi dari kedekatan antara laki-laki dan perempuan yakni adanya pembatasan dan pembedaan setiap ruang baik pembelajaran, kelas, maupun asrama. Di sekolah ini memang tidak ada jam dan materi khusus mengenai pendidikan seksual namun terdapat agenda dimana walikelas bertemu dengan murid-muridnya lalu disampaikan materi mengenai pembatasan pergaulan baik dari jarak maupun konten pembicaraan murid di sekolah. Selain itu terdapat juga program yang memfasilitasi untuk pendidik mengajarkan pengetahuan mengenai pendidikan seksual yakni pada jam kesiswaan atau lebih dikenal dengan program keputrian atau keputraan. Yang terakhir di hambatan pendidikan seksual di sekolah SMAN 2 Bandung, disekolah tersebut sudah dilakukan dan diberikan materi mengenai pendidikan seksual, kesadaran gender, bahkan sampai layanan kesiapan menikah tetapi belum spesifik dan terpadu dalam pengimplementasiannya.
Persepsi pendidikan seksual di ketiga sekolah tersebut sangatlah beragam, dan jika di generalkan menghasilkan para guru setuju untuk memasukan materi mengenai aktivitas seksual tetapi jangan sampai berbenturan dengan aspek agama, sosial dan hukum.
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, secara keseluruhan remaja telah memiliki persepsi pendidikan seksual yang baik, ditunjukkan dengan nilai rata-rata 37,964 dan tingkat pencapaian sebesar 74,4 % yang berada pada kategori sehat. Rafidah mengatakan bahwa perbedaan persepsi seseorang terhadap suatu rangsangan disebabkan oleh perbedaan sosio kultural dan pengalaman belajar individu yang bersangkutan (Taufik et al., 2018). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa remaja SMA dan SMK di kota Bandung telah memiliki pengalaman belajar yang baik mengenai pendidikan seksual yang didapat melalui berbagai sumber informasi. Penelitian lain yang menyatakan hal serupa salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wirda Faswita dan Leny Suarni (2018) yang menyatakan bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan seks yang baik sebanyak 113 orang (88,3%), sedangkan yang memiliki pendidikan seks yang kurang sejumlah 15 orang (11,7%), 127 orang (99,2%), dimana pengetahuan yang diperoleh remaja tersebut bersumber dari orang tua, guru, internet, teman sebaya dan membaca buku (Wirda Faswita dan Leny Suarni, 2018).
Dalam penelitian ini, sampel berasal dari sekolah yang berada di perkotaan, tepatnya di Kota Bandung, Jawa Barat. Sosio kultural remaja berpengaruh terhadap pengetahuan pendidikan seksual. Hasil penelitian Pratiwi & Basuki (2012) menyatakan, remaja yang bertempat tinggal di kota lebih banyak yang mengetahui pengetahuan HIVAIDS dibandingkan remaja yang tinggal di desa, karena aksesibilitas terhadap informasi remaja kota lebih mudah dibandingkan remaja desa. Sedangkan, remaja yang berdomisili di desa mengalami literasi teknologi yang rendah. Tryas berpendapat bahwa rendahnya literasi TIK masyarakat pedesaan yang menjadikannya sulit untuk bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi (Mauludiyah I, 2018).
Berdasarkan analisis per aspek, dapat kita lihat bahwa aspek yang memiiliki tingkat pencapaian tertinggi yaitu 1) toleransi, inklusi, dan rasa hormat, (93,1 %) 2) nilai budaya dan perilaku seksual sehat (80,078 %), 3) komitmen jangka panjang (77,133 %), 4) pertemanan, cinta, dan hubungan romantis (76,289 %), 5) pribadi dan keluarga (65,794 %). Aspek pribadi dan keluarga berada pada kategori waspada (65,794 %) yang menunjukkan remaja memiliki persepsi pendidikan seksual yang kurang baik. Secara khusus, kebutuhan pendidikan seksual remaja berdasarkan aspek ini yaitu pada kesehatan fisik, kesehatan reproduksi, dan dukungan kegiatan diluar pelajaran. Hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru pun menyatakan bahwa perihal membersihkan organ reproduksi masih dianggap tabu dan dianggap telah diberikan oleh orang tua di rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasution bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan cara-cara melindungi dirinya terhadap resiko kesehatan masih sangat rendah dan menjadi perhatian kita semua (Yarza et al., 2019). Sangat perlu untuk memahami kesehatan reproduksi sebagai salah satu cara untuk mencegah perilaku seksual tidak sehat. Remaja merupakan masa eksplorasi dimana banyak sekali kegiatan yang dapat diikuti di waktu senggang. Melaksanakan kegiatan yang bersifat positif menjadi tanda bahwa remaja telah mampu memiliki tanggungjawab yang tinggi pada perkembangan organ reproduksinya (Hasanah, 2017). Peran orang tua penting dalam hal pengawasan pemilihan kegiatan di waktu senggang supaya remaja dapat memilih kegiatan yang positif.
Pendidikan seksual dimulai sejak dini melalui orang tua dirumah. Di perkotaan, orang tua mengaku kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap pergerakan anaknya dan keberadaan mereka (Ram & Mohammadenzhad, 2020). Kesibukan para orang tua terhadap pekerjaan membuat orang tua memiliki waktu yang kurang untuk berkomunikasi dengan anak. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya tentang masalah seksualitas, mereka cenderung memiliki sikap permisif terhadap hubungan seksual (Ririn et al., 2019). Dalam komunikasi yang tidak efektif biasanya terdapat sikap superioritas, kontrol yang berlebihan (over control), penilaian dogmatis dan menyalahkan (Windijarti, 2011). Selanjutnya, reaksi yang diberikan oleh anak terhadap komunikasi yang tidak efektif berupa ekspresi yang negatif atau respons melawan. Maka dari itu, peran orang tua dan sekolah sangatlah besar untuk membentengi remaja dengan rasa tanggung jawab terhadap nilai, moral, dan agama sebagai pendukung pendidikan seksual untuk mencegah perilaku seksual tidak sehat pada remaja. Maka, sesuai dengan hasil Forum Group Discussion (FGD) bahwa pelaksanaan
parenting class sangat penting.
Samkange Zeeb, Spallek, dan Zeeb (dalam Seiler-Ramadas et al., 2019) mengatakan bahwa sekolah dapat membekali kaum muda dengan keterampilan, dukungan dan informasi yang mereka butuhkan untuk pencegahan, sambil membantu membentuk norma sosial, nilai budaya dan kepercayaan. Sekolah sebagai sebuah lembaga yang bertugas mendewasakan remaja semestinya tidak hanya memberikan pembelajaran yang sekedar transfer of knowledge (sains), akan tetapi harus mampu trasfer of values (agama) secara terpadu (Fathujana, 2019). Pengetahuan dan agama harus berjalan berdampingan dalam pendidikan seksual. Oleh karena itu, guru memiliki peran kunci dalam pelaksanaan pendidikan seks di sekolah (Pound et al., 2017). Pendidikan seksual harus menjadi bagian integral dari proses pembelajaran yang dilaksanakan secara berkesinambungan mulai dari kanak-kanak hingga dewasa (Kumar et al., 2017)
Teori sturktural fungsional melihat bahwa pendidikan seks yang ada di sekolah merupakan sebuah sistem yang bekerjasama dengan sistem yang lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi suatu perilaku seseorang (Ishak, & Torro, 2016). Pendidikan seksual di sekolah, sejak dulu sudah diterapkan secara tidak langsung melalui mata pelajaran biologi, agama, dan penjaskes. Namun, perlu pengembangan secara lebih eksplisit untuk memberikan
pendidikan seksual dengan melibatkan guru Bimbingan dan Konseling. Guru Bimbingan dan Konseling dapat melakukan bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, layanan informasi, dan teknik lainnya untuk penerapan pendidikan seksual di sekolah. Salah satunya, konselor atau guru Bimbingan dan Konseling dapat mengadakan bimbingan kelompok kecil bagi siswa yang ingin pertanya seputar pendidikan seks (Wahyuningsih, 2017). Penelitian Dewi pada tahun 2015 juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pendidikan seks yang dimiliki oleh siswa setelah diberikan layanan informasi (treatment) sebanyak delapan kali menunjukkan adanya peningkatan (Dewi, 2015).
Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menerapkan pendidikan seksual komprehensif. Pendidikan seksualitas yang komprehensif meningkatkan pengetahuan tentang berbagai aspek seksualitas, perilaku seksual dan risiko kehamilan, HIV dan infeksi seksual menular (UNESCO, 2019). Pendidikan seksual komprehensif harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah formal, disampaikan oleh terlatih dan guru yang didukung (UNESCO, 2009a). Program pendidikan seksualitas komprehensif memiliki beberapa,tujuan yang saling memperkuat: 1) untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, untuk menjelaskan dan mengklarifikasi perasaan, nilai dan sikap, 2) untuk mengembangkan atau memperkuat keterampilan; dan 3) untuk mempromosikan dan mempertahankan perilaku pengurangan risiko (UNESCO, 2009b). Dengan demikian, pendidikan seksual komprehensif seharusnya dapat dikembangkan di sekolah berjalan beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja. Hasil penelitian persepsi pendidikan seksual remaja juga, dapat digunakan sebagai rekomendasi model pendidikan seksual komprehensif remaja yang dapat digunakan oleh praktisi pendidikan guna menciptakan perilaku seksual sehat pada remaja.
PENUTUP
Penelitian menghasilkan temuan bahwa remaja kelas IX SMA dan SMK di kota Bandung memiliki persepsi pendidikan seksual yang baik (74,44 %). Jika diurutkan, aspek yang memiiliki tingkat pencapaian tertinggi yaitu 1) toleransi, inklusi, dan rasa hormat, (93,1 %) 2) nilai budaya dan perilaku seksual sehat (80,078 %), 3) komitmen jangka panjang (77,133 %), 4) pertemanan, cinta, dan hubungan romantis (76,289 %), 5) pribadi dan keluarga (65,794 %). Dalam aspek pribadi dan keluarga, masih terdapat beberapa indikator yang membutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam pendidikan seksual. Pendidikan seksual harus mencakup sains dan agama dan berjalan beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja. Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan memilik perencanaan layanan bimbingan yang komprehensif sesuai UNESCO dalam mengaplikasikan pendidikan seksual. Hasil penelitian ini, sebagai rekomendasi model pendidikan seksual komperhensif remaja yang dapat digunakan oleh praktisi pendidikan guna menciptakan perilaku seksual sehat pada remaja.
Dengan menggunakan instrumen persepsi pendidikan seksual remaja ini maka dapat diketahui kebutuhan pendidikan seksual remaja. Hasil penelitian ini sebagai rekomendasi model pendidikan seksual remaja yang dapat digunakan oleh praktisi pendidikan untuk menciptakan perilaku seksual yang sehat pada remaja.
DAFTAR RUJUKAN
Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencanna Nasional (BKKBN), Kementrian Kesehatan, & International, I. (2013). Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012 Kesehatan Reproduksi Remaja.
https://doi.org/10.32763/juke.v10i1.15
Creswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (4th Editio). Pearson.
Dewi, D. M. (2015). Meningkatkan Pengetahuan Pendidikan Seks Melalui Layanan Informasi
Pada Siswa Kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sumurrejo Kota Semarang Tahun Ajaran 2015/2016. Universitas Negeri Semarang.
Fadhilah, N. (2013). Terbatasnya Pengetahuan Tentang Seksualitas Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Smu. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 2(4), 1–8. https://doi.org/10.35952/jik.v2i4.59
Fathujana, A. (2019). Reorientasi Pendidikan Seks Terhadap Anak Usia Remaja Di Sekolah (Memadukan Sains dan Agama dalam Pembelajaran). Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar
Ahmad Dahlan, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hasanah, H. (2017). Pemahaman Kesehatan Reproduksi Bagi Perempuan: Sebuah Strategi Mencegah Berbagai Resiko Masalah Reproduksi Remaja. Sawwa: Jurnal Studi Gender,
11(2), 229. https://doi.org/10.21580/sa.v11i2.1456
Ishak, & Torro, S. (2016). Persepsi Siswa Terhadap Pendidikan Seks Di SMA Negeri 1 Bajeng Kabupaten Gowa. Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM, 3(2), 136–142. http://ojs.unm.ac.id/sosialisasi/article/view/2376
Kumar, R., Goyal, A., Singh, P., Bhardwaj, A., Mittal, A., & Yadav, S. S. (2017). Knowledge Attitude And Perception Of Sex Education Among School Going Adolescents In Ambala District, Haryana, India: A Cross-Sectional Study. Journal of Clinical and Diagnostic
Research, 11(3), LC01–LC04. https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/19290.9338
Kustanti. (2013). Intensi Melakukan Seks Pranikah pada Mahasiswa Ditinjau dari Efektivitas Komunikasi Interpersonal Orangtua-Anak. Prosiding Seminar Nasional Parenting, 334– 343. http://hdl.handle.net/11617/3965
Lestari, A. Y., Suherni, & Kusmiyati, Y. (2015). Hubungan Intensitas Mengakses Situs Porno dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja. Kesehatan Ibu Dan Anak, 7(1), 5–9. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39734/Chapter
II.pdf;jsessionid=655CBB117010720521E3692ABA9AF7D7?sequence=4
Mauludiyah I, P. A. Z. (2018). Karakteristik dan PerilakuSeksual Remaja di Kota Bontang Kalimantan Timur Indonesia. Kendedes Midwifery Journal, 2(2).
Papathanasiou, I., & Lahana, E. (2007). Adolescence, sexuality and sexual education. Healt
Science Journal, 1(1), 1–8.
https://www.researchgate.net/publication/215477795%0AAdolescence,
Paramita, A., & Kristiana, L. (2013). Teknik Focus Group Discussion dalam Penelitian Kualitatif. Teknik Focus Group Discussion Dalam Penelitian Kualitatif, 16(2), 117–127. https://doi.org/10.22435/bpsk.v16i2
Pound, P., Denford, S., Shucksmith, J., Tanton, C., Johnson, A. M., Owen, J., Hutten, R., Mohan, L., Bonell, C., Abraham, C., & Campbell, R. (2017). What Is Best Practice In Sex And Relationship Education? A Synthesis Of Evidence, Including Stakeholders’ Views. BMJ Open, 7(5), 1–11. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2016-014791
Pratiwi, N., & Basuki, H. (2012). Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko Penularan Hiv-Aids Dan Perilaku Seks Tidak Aman Diindonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan,
14(4 Okt). https://doi.org/10.22435/bpsk.v14i4
Ram, S., & Mohammadenzhad, M. (2020). Sexual And Reproductive Health In Schools In Fiji: A Qualitative Study Of Teachers’ Perceptions. Health Education, 120(1), 57–71. https://doi.org/10.1108/HE-02-2019-0005
Ririn, M., Wulandari, S., & Kusuma, A. A. N. N. (2019). Peran Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Remaja Laki - Laki Dan Remaja Perempuan : Studi Komparatif Roles Of Peers Toward Sexual Behavior Of Male And Female Adolescents : Comparative
Study. Jurnal Riset Kesehatan Nasional, 3(1).
https://doi.org/10.22435/bpk.v44i2.5457.139-146
Saripah, I., & Nadhirah, N. A. (2020). Guidance and Counseling to Improve Healthy Sexual Behavior of Adolescents in West Java. Proceedings of the International Conference on
Educational Psychology and Pedagogy - “Diversity in Education” (ICEPP 2019), 399(Icepp 2019), 121–125. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200130.095
Sarwono, S. W. (2011). Piskologi Remaja (Revisi). PT. Raja Grafindo Persada.
Seiler-Ramadas, R., Mosor, E., Omara, M., Grabovac, I., Schindler, K., Niederkrotenthaler, T., & Dorner, T. E. (2019). ‘We’re Going Around The Subject’ Improving Sex Education And Adolescents’ Awareness Of Sexually Transmitted Infections: A Qualitative Study.
Sex Education, 00(00), 1–14. https://doi.org/10.1080/14681811.2019.1668761
Taufik, M., Sutiani, H., & Hernawan, A. D. (2018). Pengetahuan, Peran Orang Tua Dan Persepsi Remaja Terhadap Preferensi Usia Ideal Menikah. Jurnal Vokasi Kesehatan, 1. http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/JVK
UNESCO. (2009a). International Technical Guidance. In Section on HIV and AIDS Division for
the Coordination of UN Priorities in Education Education Sector UNESCO: Vol. I.
UNESCO.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tAvsWiwUYvMJ:unesdoc.unesc o.org/images/0018/001832/183281e.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
UNESCO. (2009b). The Rationale For Sexuality Education: International Technical Guidance
On Sexuality Education. I, 1–123. www.unesco.org/aids (accessed:9 April 2017).
UNESCO. (2019). Policy Paper: (Facing the facts: the case for comprehensive sexuality
Wahyuningsih, D. D. (2017). Pendidikan Seksualitas Pada Remaja Melalui Media Pembelajaran.
Prosiding SNBK (Seminar Nasional Bimbingan Dan Konseling) Vol. 1 No.1, 1(1), 46–51.
Windijarti, I. (2011). Komunikasi Interpersonal Orang Tua dan Anak dalam Pendidikan Seksual.
Jurnal Ilmu Komunikasi Terakreditasi, 9(3), 274–292.
Wirda Faswita dan Leny Suarni. (2018). Hubungan Pendidikan Seks Dengan Perilaku Seksual pada Remaja Putri di SMA Negeri 4 Binjai Tahun 2017. Jumantik, 3(2), 28–45. http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/kesmas/article/view/1864
Yarza, H. N., Maesaroh, & Kartikawati, E. (2019). Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja
Dalam Mencegah Penyimpangan Seksual. Sarwahita, 16(01), 75–79.
https://doi.org/10.21009/sarwahita.161.08
Yulianto, A. (2020). Pengujian Psikometri Skala Guttman Untuk Mengukur Perilaku Seksual Pada Remaja Berpacaran. Jurnal Psikologi: Media Ilmiah Psikologi, 18(1), 38–48. https://jpsikologi.esaunggul.ac.id/index.php/JPSI/article/view/80