• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGAPA TERORIS MUSLIM SEDIKIT? P r o j e c t. i t a i g. D k a a n. Rizal Panggabean. Edisi 012, Maret 2012 Review Buku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGAPA TERORIS MUSLIM SEDIKIT? P r o j e c t. i t a i g. D k a a n. Rizal Panggabean. Edisi 012, Maret 2012 Review Buku"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

k a a n D ig it a l

P roje ct

MENGAPA TERORIS MUSLIM SEDIKIT?

Review Buku, Edisi 012, Maret 2012

(2)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

Charles Kurzman, penulis buku yang tengah kita diskusikan ini, mengajak kita menggunakan akal sehat dan riset ketika berbicara mengenai terorisme atau bentuk kekerasan lainnya seperti perang.

Menurutnya, pendekatan yang tepat adalah:

jangan panik, jangan berdiam diri, tetapi di antara keduanya: menangani masalah terorisme sesuai dangan tingkatannya.

Hindari rasa takut yang berlebihan dan penggunaan ideologi. Salah satu contoh tulisan yang panik dan ceroboh adalah buku Bilveer Singh, The Talibanization of Southeast Asia. Losing the war on terror to Islamist extremists (2007).

ABSTRAK

Muslim Terrorists, (New York: Oxford University Press, 2011), 255 halaman.

(3)

k a a n D ig it a l

P roje

ct C

harles Kurzman, penulis buku ini, mengajak kita menggunakan akal sehat dan riset ketika berbicara mengenai terorisme atau bentuk kekerasan lainnya seperti perang.

Menurutnya, pendekatan yang tepat adalah: jangan panik, jangan berdiam diri, tetapi di antara keduanya:

menangani masalah terorisme sesuai dangan tingkatannya. Hindari rasa takut yang berlebihan dan penggunaan ideologi. Salah satu contoh tulisan yang panik dan ceroboh adalah buku Bilveer Singh, The Talibanization of Southeast Asia. Losing the war on terror to Islamist extremists (2007).

Di tengah hiruk-pikuk besarnya

perhatian terhadap terorisme, Kurzman mengingatkan bahwa dunia sebenarnya

(4)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

telah jauh lebih aman. Dalam tulisan bersama Neil Englehart yang berjudul:

“Selamat datang di perdamaian dunia”

(“Welcome to World Peace,” Social Forces, Volume 84, Number 4, June 2006), dia malah menyindir: Boleh jadi respon terbaik terhadap terorisme adalah membiarkannya!

Menurut Kurzman, serangan teroris jarang terjadi, dan korbannya tak banyak – dibandingkan dengan korban perang saudara, pembunuhan, atau kecelakaan lalu lintas. Pada tingkat dunia, terorisme hanya menimbulkan sedikit korban.

Kurzman mengutip data dari World Health Organization yang mengatakan bahwa 150,000 orang mati setiap hari.

Sementara Pusat Lawan-Terorisme Nasional Amerika Serikat mengatakan jumlah orang yang mati karena terorisme kelompok Islamis adalah kurang dari 50 nyawa per hari, dan tak sampai 10 di luar Irak, Pakistan, dan Afghanistan.

Bandingkan angka-angka di atas dengan 1,500 orang yang mati setiap hari karena kekerasan sipil, 500 karena perang, 2,000

(5)

k a a n D ig it a l

P roje ct

karena bunuh diri, dan 3,000 karena kecelakaan lalu lintas. Malahan, ada 1,300 orang per hari yang mati karena gizi buruk. Korban malaria juga banyak.

Kalau tujuannya adalah menyelamatkan nyawa manusia, lebih baik uang

digunakan untuk beli kelambu daripada perang melawan teror (Kurzman 2011, 14-15).

Selanjutnya, gangguan yang

ditimbulkan terorisme sebagian besar timbul karena pemberitaan yang berlebihan. Kelompok teroris dan media “bekerjasama” dalam hal ini.

Ketika banyak masalah lebih penting, mendesak, dan menyangkut nyawa lebih banyak manusia perlu ditangani, sementara sumberdaya sangat terbatas, kenapa terobsesi dengan terorisme?

(Englehart-Kurzman 2006, 1957;

Kurzman 2011, 15).

Mengapa Sedikit?

Di dalam buku terbarunya, The Missing

(6)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

Martyrs (2011), Kurzman membahas bukan hanya insiden dan korban aksi teror yang sedikit, tetapi juga jumlah teroris Muslim yang terlalu sedikit.

Seperti tampak dalam subjudul bukunya:

Mengapa jumlah teroris Muslim sedikit sekali?

Jika di muka bumi ini ada lebih dari satu miliar orang beragama Islam, dan banyak di antara mereka yang membenci Barat dan ingin mati syahid, mengapa kita tidak menyaksikan serangan teroris di mana- mana setiap hari? Jika mobil sangat potensial digunakan untuk serangan teror, mengapa tidak banyak serangan teror otomotif? Kalau kelompok teroris sangat paham menggunakan internet dan media untuk merekrut orang, dan orang dapat dijadikan teroris lewat internet, buku, dan media berita lain, apa yang menghalangi orang menjadi teroris?

Selain itu, para penganjur jihad sudah puluhan tahun berdakwah, menanamkan rasa bersalah dan melecehkan umat Islam yang tidak mau berjihad. Padahal,

(7)

k a a n D ig it a l

P roje ct

jihad itu adalah kewajiban individu atau fard `ayn. Anak-anak tak perlu izin orang tua untuk berjihad – misalnya untuk melakukan aksi teror bunuh diri.

Sejak Sayyid Qutb sampai sayyid-sayyid sesudahnya, jihad dan konfrontasi

ternyata masih menjadi “kewajiban yang hilang,” dan kaum radikal penganjur terorisme frustrasi karena tak banyak orang tertarik walau segala jurus ayat sudah digunakan. Mengapa provokasi yang gencar gagal menggalang formasi kafilah-kafilah teroris?

Kemungkinan Jawaban

Perhatikanlah beberapa alternatif jawaban terhadap pertanyaan inti yang diajukan Kurzman dalam bukunya.

Pertama, jumlah teroris Muslim sedikit karena dukungan terhadap gerakan radikal sebagian besar bersifat simbolik, bukan strategis. Orang mendukung Osama bin Ladin seperti mereka

mendukung Che Guevara atau Malcolm X. Jadi, jangan menganggap dukungan

(8)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

simbolis ini memiliki makna yang lebih jauh, karena ada jurang yang lebar antara dukungan simbolis dengan partisipasi dalam aksi teror.

Kedua, gerakan radikal tidak berhasil merekrut teroris dalam jumlah yang mereka inginkan karena mereka

mengalami perpecahan di antara mereka sendiri. Kurzman menyebut beberapa dimensi divisi internal ini. Salah satu di antaranya adalah persaingan antara kelompok radikal yang menekankan agenda jihad global dan yang

menekankan agenda lokal. Sebagian besar sebenarnya beroriantasi lokal (Palestina, Afghanistan, Ambon, dan seterusnya). Yang punya agenda global dan transnasional seperti Al Qaeda atau Jamaah Islamiyah kesulitan menarik gerakan-gerakan radikal yang “insuler”

ini.

Dimensi lainnya lagi adalah perbedaan paham. Taliban tidak sepaham dengan Al Qaeda, Syiah Iran atau Lebanon tidak sepaham dengan Al Qaeda.

Dan perbedaan paham ini, seperti

(9)

k a a n D ig it a l

P roje ct

ditunjukkan Kurzman, mendasar dan serius, sehingga merintangi fungsi rekrutmen gerakan radikal dengan agenda mondial.

Ketiga, sebab yang tidak kalah pentingnya, adalah “faktor islib”.

Kurzman mengambil contoh dari masa lalu dan kontemporer yang menunjukkan bahwa Islam liberal (islib) pada umumnya baik-baik saja. Konstitusionalisme,

demokrasi, majority rule, kebebasan, dan toleransi sudah diterima di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Iran dan Turki, setelah Perang Dunia I di Mesir, dan sesudah Perang Dunia II di Pakistan, Indonesia, dan lain-lain.

Memang, dunia Islam, seperti umumnya negara-negara lain yang baru merdeka, dilanda berbagai persoalan seperti monarki absolut, kediktatoran militer, dan kolusi kekuasaan politik dan agama.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, ada kudeta di Indonesia, Pakistan, dan Mesir yang memperpendek demokrasi. Selain itu, gerakan Islam liberal masih harus

(10)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

berhadapan dengan ideologi sekular seperti sosialisme dan nasionalisme, atau Islamisme yang tidak liberal.

Tetapi, ketika gerakan-gerakan radikal muncul, Islam liberal sudah lebih berpengalaman dan secara teologis lebih kukuh (hal. 102). Akibatnya, menurut Kurzman, Islam liberal (“yang menggabungkan politik demokratis dan konservatisme Islam”) sama sekali bukan saingan Al Qaeda dan yang semacamnya.

Ini persaingan yang tak seimbang. Yang penting, kalangan Islam liberal sulit sekali diajak menjadi radikal apalagi teroris.

Sebaliknya, tidak aneh apabila Islamis revolusioner berubah menjadi Muslim liberal.

Malah, kelompok radikal secara tidak sengaja memuji dan berdakwah untuk kemajuan “islib”. Menurut Kurzman, setiap kali kelompok radikal melakukan tindakan kekerasan, mengambil alih hukum, merazia kafe, dan seterusnya, mereka dengan tindakan-tindakan kekerasan seperti itu mendorong lebih banyak umat Islam berubah menjadi

(11)

k a a n D ig it a l

P roje ct

liberal! (Kurzman 2011, 126).

Pengalaman Indonesia

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Kurzman sangat menarik dan penting dikaji. Pertanyaan counterfactual serupa yang diajukan di bukunya akan memberikan temuan-temuan

berbeda, yang tidak dapat diperoleh dari pertanyaan tentang motivasi, jaringan, atau organisasi teroris – beberapa fokus utama kajian terorisme selama ini.

Buku Kurzman diperuntukkan untuk pembaca Amerika Serikat, dengan contoh-contoh yang diambil dari pengalaman dan kebijakan AS. Tetapi, beberapa argumennya relevan dengan pengalaman di Asia Tenggara dan Indonesia. Untuk memancing diskusi lebih jauh, beberapa di antaranya saya sebutkan di bawah ini:

1. Insiden teror dalam beberapa

database konflik komunal dan konflik keagamaan di Indonesia relatif rendah

(12)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

jumlahnya.

2. Korban dan kerusakan yang ditimbulkan aksi teror jauh lebih rendah dari korban yang timbul dari kekerasan separatis, komunal, pidana pembunuhan, atau kecelakaan lalu lintas.

3. Jumlah teroris lebih sedikit dari “yang seharusnya” apabila ini dipahami sebagai kaitan substantif (bukan simbolik) antara dukungan dan

persetujuan terhadap gerakan radikal di satu pihak dan partisipasi dalam aksi teror di pihak lain.

4. Agenda jihad lokal di Indonesia lebih dominan dari agenda jihad regional atau mondial; dan dominasi jihad lokal ini akan mengurangi jumlah teroris dan insiden aksi teror global.

5. Islam liberal di Indonesia lebih kuat dari Islam radikal dan revolusioner – khususnya yang menggunakan terorisme sebagai alat perjuangan.

6. Gerakan Islam yang secara politik

1

(13)

k a a n D ig it a l

P roje ct

liberal dan secara kultural

konservatif adalah gangguan dan rintangan utama keberhasilan gerakan teroris. []

(14)

P er

p us t a

D e m oc ra c y

© 2012

Review Buku ini diterbitkan oleh Democracy Project,

Yayasan Abad Demokrasi.

Jika Anda berminat mendapatkan buku (ebook) yang direview, silakan isi

form permintaan.

Kode buku: CHK001

Referensi

Dokumen terkait

Teori yang digunakan adalah teori dari ilmu sosiologi, yaitu Sosial Istitution (lebamga kemasyarakatan) dan teori Continuity and Change (kesinambungan dan

2) Penelitian ini akan ditekankan pada struktur teks kidung Rahayu; klasifikasi dan deskripsi kidung Rahayu; konsep hidup rahayu yang tercermin dari kidung

 Pada kotak „Link‟, Anda bisa memilih „Parent‟ untuk membuat sub menu pada kanal, klik „Add URL‟ untuk menghubungkan menu dengan halaman atau website tertentu.. Anda

7 bahaya kesehatan lingkungan yang teridentifikasi adalah perilaku rumah tangga yaitu perilaku tidak sehat, yang mencakup perilaku tidak cuci tangan pakai sabun (CTPS), perilaku

Penelitian ini diharapkan dapat membantu memaksimalkan kerja bakteri anaerob pada proses penanganan limbah cair kopi dengan menggunakan alat pengontrol suhu

Puji syukur kehadirat Allah Swt, karena atas rahmat dan ridho-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik terhadap

Pada ahli integrasi keislaman ini akan fokus untuk menilai isi atau konten materi yang berkaitan dengan keislaman. Pada menu materi ada tiga sub menu yaitu

Perusahaan dengan likuiditas tinggi akan memiliki risiko yang relatif kecil sehingga kreditur merasa yakin dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan dan investor akan