• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Lingkungan Desa Jambangan

Desa Jambangan merupakan salah satu desa yang berhasil menciptakan kebersihan lingkungan Kota Surabaya dengan berbagai kegiatan. Adapun kegiatan yang telah dilakukan adalah program sanitasi, penghijauan, pemilahan sampah, dan kaderisasi yang telah berlangsung selama enam tahun dimulai tahun 2001 sampai sekarang yang didukung oleh Pemkot Surabaya, LSM Tunas Hijau, dan PT Unilever yang sering disebut dengan program peduli lingkungan (Green and Clean).

Sebelum adanya program ini Desa Jambangan terlihat kurang baik dari segi kebersihan yang rendah, sanitasi yang rendah, polusi meningkat, pencemaran meningkat, gersang/kurang tersedianya RTH, dan pola kehidupan yang rendah (membuang sampah tidak pada tempatnya, menggunakan barang yang tidak ramah lingkungan).

Program ini berjalan dengan baik dilihat dari kemampuan masyarakat dalam menciptakan kualitas lingkungan yang bersih seiring dengan kesehatan dan pola hidup masyarakat yang kian baik. Kemampuan desa ini untuk maju terutama menjaga lingkungan agar tetap sehat sangatlah jelas terlihat terutama pada hal pengolahan sampah rumah tangga, penghijauan/ketersedian Ruang Terbuka Hijau yang cukup, pencemaran terhadap air berkurang, udara lebih terasa segar.

4.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat yang berjalan diantaranya melakukan pemilahan sampah disetiap rumah yang tergolong dua bagian yaitu organik dan anorganik.

Sejalan dengan gerakan 3R, kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat sudah dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mau mengurangi sampahnya, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan mendaur ulang sampahnya. Sampah basah (organik) bisa dimanfaatkan untuk dijadikan kompos, sedangkan sampah kering (anorganik) dapat berupa kertas, plastik, logam, kaca, dan sebagainya dapat dijadikan bahan baku industri daur ulang.

(2)

Bentuk peranserta masyarakat yang sudah berjalan adalah memilah sampah yang dihasilkan menjadi dua bagian yaitu organik dan anorganik. Sampah anorganik dibagi dalam beberapa kelompok yaitu sampah yang dapat dijual, digunakan kembali, dan sampah yang dapat didaur ulang. Biasanya sampah yang laku dijual dapat menghasilkan Rp. 30.000 – Rp. 50.000 per bulan yang berasal dari sampah berbahan plastik, kardus, botol kaca/plastik, gelas aqua, duplek, kaca, kertas, dan sebagainya. Sampah yang dapat digunakan kembali berasal dari gelas aqua, kayu-kayu triplek/duplek, sedotan, balok-balok kayu, dan sebagainya. Ikut serta dalam penyuluhan, rapat-rapat/pertemuan-pertemuan mengenai pengelolaan lingkungan, pengkaderan lingkungan, kemudian juga berusaha menyediakan ruang- ruang hijau yang bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan.

Kesadaran masyarakat ini juga terlihat dalam hal meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Pembentukkan kader-kader lingkungan yang dapat memberi arahan kepada masyarakat sekitar juga dilakukan oleh PT Unilever agar terciptanya lingkungan yang asri. Pengkaderan ini disponsori oleh seorang penyelamat lingkungan yang sampai saat ini telah menghasilkan 57 kader lingkungan yang terdiri dari 10 laki-laki dan 47 perempuan, ini dikarenakan banyak ibu rumah tangga yang berkecimpung langsung dalam program pengelolaan lingkungan. Arahan dan berbagai program telah dilaksanakan dalam pembentukkan kader ini terutama untuk menggunakan konsep 3R, penghijauan, pengomposan, dan kekeluargaan antar warga.

Hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan komponen faktor tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan chi square menghasilkan hubungan yang nyata dan tidak nyata (Tabel 1). Pada karakteristik jenis kelamin perempuan lebih mendominasi (71,8%) dibandingkan laki-laki (12,5%) ini dikarenakan perempuan lebih banyak berada di lingkungan rumah sehingga lebih sering melakukan kegiatan di dalam masyarakat. Segi umur, yang berumur antara 35-45 tahun lebih banyak (37,5%) mengikuti kegiatan dibandingkan dengan umur kurang dari 35 th (18,7%) dan lebih dari 45 thn (28,1%). Tingkat pendidikan yang ada di Desa Jambangan sangatlah bervariasi dan pendidikan SMA-D3 lebih mendominasi (43,7%)

(3)

keikutsertaan dalam mengelola lingkungan sedangkan pendidikan SD-SMP berkategori sedang (37,5%) dan rendah Sarjana/Pascasarjana.

Status masyarakat yang telah menikah lebih tinggi (75%) dibandingkan yang belum menikah (0%) ataupun janda/duda (9,4%). Berdasarkana anggota keluarga yng ada partisipasi masyarakat lebih mengarah baik pada keluarga yang mempunyai sedikit anggota keluarga atau < dari 5 jiwa (56,3%) dibanding dengan yang 5 jiwa (12,5%) atau > dari 5 jiwa (15,6%) ini dikarenakan informasi yang diterima dan dilakukan oleh anggota keluarga lebih baik bagi keluarga kecil agar tetap fokus pada konsep ecoliving dapat berjalan dengan baik. Partisipasi ini juga dipengaruhi oleh status kepemilikan rumah yang apabila milik sendiri lebih sering diperhatikan (59,4%) dibandingkan sewa/kontrak (9,4%) ataupun rumah orang tua (15,6 %).

Luas halaman terhitung lebih banyak yang < dari 5m2 ini karena rumah yang ada berkisar dari 120m2 – 240m2 dimana kebutuhan akan RTH cukup terdapat 1 pohon pelindung, perdu, semak hias, serta penutup tanah/rumput dengan jumlah yang cukup, sedangkan yang 5-10m2 (21,8%) dan >10m2 (6,3%) hanya sedikit dari pemukiman tersebut. Dalam hal pekerjaan, ibu rumah tangga (56,3%) terlihat lebih aktif dalam berpartisipasi dibandingkan dengan pensiunan (6,3%), bekerja (21,8%) ini dikarenakan kegiatan mereka lebih sering berada di sekitar perumahan.

Pendapatan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat untuk berpatisipasi dalam pengelolaan lingkungan ini, pendapatan < Rp. 500.000,- (37,5%) lebih besar dibandingkan responden yang berpenghasilan Rp. 500.000,- - Rp.1.000.000,- (28,1%) dan > Rp. 1.000.000,- (18,7%) ini dikarenakan banyak masyarakat yang hanya berpendidikan rendah tetapi tidak menutup kemungkinan menghasilkan yang lebih dengan dilihat selang antara ketiga pendapatan tersebut tidak terlalu jauh, ini mencerminkan bahwa perekonomian masyarakat tersebut baik.

(4)

Tabel 1 Hubungan Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Faktor Pendukung Tingkat Partisipasi Masyarakat

No. Variabel Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan

Perencanaan dan pengembilan

keputusan

Pengembangan

SDM Pengembangan kegiatan

1 Jenis Kelamin √ X √

2 Umur √ X √

3 Pendidikan X

4 Marital √ X X

5 Jumlah Jiwa dalam

Keluarga √ X X

6 Status Kepemilikan Rumah

7 Luas Halaman √ X √

8 Pekerjaan

9 Pendapatan X X X X

Keterangan :

√ : ada hubungan X : tidak ada

hubungan

4.2.1. Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan 1. Perencanaan dan pengambilan keputusan

Sebanyak 77% responden sering ikut serta dalam pertemuan- pertemuan yag diadakan, 7% responden jarang menghadiri pertemuan, dan 16% tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan. Ini terlihat bahwa keinginan masyarakat dalam merencanakan dan memberi keputusan tentang hal pengelolaan lingkungan sangat tinggi tetapi tetap harus ada dukungan dari Pemerintah. Keterlibatan dan peran aktif secara langsung merupakan cara partisipasi tertinggi dan bisa dianggap mengarah ke tingkat yang baik (Moningka, 2000).

(5)

Gambar 8 Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

2. Pelaksanaan

Sebagian besar (44%) responden melakukan pengelolaan sampah dengan satu program yaitu salah satu dari teknik pemilahan sampah menjadi organik dan anorganik, mengolah sampah mejadi kompos, membuat kerjainan tangan dari sampah, membuat barang lain dari sampah, menjual ke pemulung, menanam tanaman di rumah. Sebanyak 22% reponden melakukan dua program sedangkan sebanyak 34% responden mengelola sampah yang ada memilih menerapkan lebih dari tiga program. Ini menyatakan bahwa responden cenderung melakukan satu program hanya untuk melaksanakan partisipasi tidak langsung, sedangkan responden yang memilih lebih dari dua program dipengaruhi oleh faktor ekonomi dimana barang yang dapat digunakan lagi akan menghasilkan nilai ekonomi yang dapat membantu kehidupan responden. Secara umum pelaksanaan pengelolaan sampah sudah berjalan dengan baik dan terlihat keberlanjutan dalam pelaksanaannya.

Tidak Pernah 16%Jarang

7%

Sering 77%

(6)

Gambar 9 Partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan

3. Pengembangan Sumberdaya Manusia

Sebagian besar responden bersedia mengembangkan dirinya menjadi kader (81%) karena mereka mendapat keuntungan yang tidak mereka dapatkan dibangku sekolah seperti layaknya berorganisasi. Lebih percaya diri, lebih pandai mengenai pengeolaan lingkungan, lebih luwes bergaul, pengembangan sikap sebagai warga yang disiplin adalah beberapa keuntungan yang didapat dari responden akibat keikutsertaan dalam kader lingkungan.

Gambar 10 Partisipasi dalam pengembangan SDM

1 program 44%

2 program 22%

> 2 program 34%

Tidak Bersedia

19%

Bersedia 81%

(7)

4. Pengembangan Kegiatan

Partisipasi reponden terhadap pengembangan kegiatan yang berupa penyuluhan/pelatihan msaih banyak yang tidak pernah hadir (44%), jarang datang (19%), dan sering datang (37%). Terlihat bahwa responden masih dalam taraf menerima tetapi belum berani untuk terjun langsung dalam pengetahuan pengelolaan lingkungan. Responden yang sering mengikuti penyuluhan juga tidak sedikit karena yang telah mengikuti penyuluhan akan mendapatkan manfaat dalam pengetahuan pengelolaan sampah, pelestarian lingkungan, berkebun.

Gambar 11 Partisipasi dalam pengembangan kegiatan

5. Tingkat Partisipasi Masyarakat

Perhitungan menggunakan chi-square menghasilkan tingkat partisipasi masyarakat yang baik dengan persentasi 59% , sedang 38%, dan buruk 3 % dengan komponen faktor (1) jenis pelaksanaan pengelolaan sampah (berapa program yang dilaksanakan oleh masyarakat), (2) perencanaan dan pengambilan keputusan (menghadiri pertemuan), (3) kesediaan menjadi kader, (4) keikutsertaan dalam penyuluhan atau pelatihan. ini dikarenakan kesadaran responden terhadap pentingnya lingkungan sehat yang dilakukan oleh masyarakat melalui keterlibatan langsung dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, pelaksanaan pengelolaan

Tidak Pernah 44%

Jarang 19%

Sering 37%

(8)

lingkungan, pengembangan SDM, dan pengembangan kegiatan yang berhubungan dengan usaha memperbaiki kehidupan responden (Canter dan kawan-kawan 1988;

Cohen dan Unhoff 1977).

Gambar 12 Tingkat partisipasi masyarakat

(a) (b)

Gambar 13 Penyuluhan yang diberikan oleh PEMDA LH mengenai pengelolaan sampah (a), penyuluhan oleh PEMDA mengenai riang terbuka hijau (b)

Buruk 3%

Sedang 38%

Baik 59%

(9)

(a) (b)

Gambar 14 Diskusi dengan para kader (a), pertemuan warga mengenai pengelolaan lingkungan (b)

4.3. Pengelolaan Sampah Domestik

Pengelolaan sampah domestik/limbah rumah tangga yang ada di Desa Jambangan sebagian besar dilakukan secara mandiri walaupun masih terdapat beberapa limbah yang dibuang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang kemudian akan dibawa ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Sampah yang dihasilkan sangat bervariasi mencangkup kertas, plastik, kaca, kain, makanan sehari- hari, dan lainnya.

Azwar (1990) mengatakan bahwa sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, umumnya berasal dari kegiatan manusia dan bersifat padat. Definisi lain dikemukakan oleh Hadiwijoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan baik telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak ada harganya serta dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian alam.

Sampah yang dihasilkan dipisahkan terlebih dahulu di rumah-rumah guna mempermudah dalam pemprosesan daur ulang. Sampah ini dihasilkan rumah tangga berupa sampah organik dan anorganik. Sampah organik dan anorganik tidak langsung dibuang ke TPS melainkan diproses terlebih dahulu oleh masing-masing rumah tangga. Sampah organik akan diproses untuk pembuatan kompos baik skala

(10)

harian maupun rumah tangga demikian juga dengan sampah anorganik yang diolah menggunakan konsep 3R (reuse, reduce, recylce). Sampah yang dihasilkan rumah tangga setiap harinya lebih banyak berbahan anorganik yang susah untuk dihancurkan, kurang lebih 70% berbahan anorganik dan 30% organik. Akibat dari banyaknya sampah anorganik yang dihasilkan maka diperlukan suatu pengolahan sampah yang optimal yaitu menggunakan konsep reuse, reduce, recycle (3R), dan pengomposan untuk sampah yang berbahan organik secara anaerobik.

Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah ang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak menimbulkan kebakaran (Azwar, 1990).

Pengelolaan sampah domestik/limbah rumah tangga yang ada di Desa Jambangan sebagian besar dilakukan secara mandiri walaupun masih terdapat beberapa limbah yang dibuang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang kemudian akan dibawa ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Jenis sampah yang ada sangat bervariasi mencangkup kertas, plastik, kaca, kain, makanan sehari-hari dan lainnya.

Sampah terlebih dahulu dipisahkan di rumah-rumah guna mempermudah dalam proses daur ulang. Sampah ini dihasilkan rumah tangga berupa sampah organik dan anorganik. Sampah organik dan anorganik tidak langsung dibuang ke TPS melainkan diproses terlebih dahulu oleh masing-masing rumah tangga. Sampah organik akan diproses untuk pembuatan kompos baik skala harian maupun rumah tangga demikian juga dengan sampah anorganik yang diolah menggunakan konsep reuse, reduce, recylce (3R). Hasil sampah anorganik sangatlah besar jumlahnya (56.19%) dibandingkan dengan sampah organik (44.81%) ini dikarenakan konsumsi masyarakat terhadap barang sehari-hari yang terbuat dari plastik, kaleng, kertas, dan sebagainya masih tinggi (Tauleka, 2003).

(11)

Gambar 15 Tingkat pengelolaan sampah

4.3.1. Penggunaan Konsep Reuse, Reduce, Recylce (3R)

Konsep pengelolaan yang diterapkan di Desa Jambangan sangat berjalan dengan baik yaitu menggunakan konsep 3R. Sampah hasil rumah tangga dipilah menjadi dua bagian yaitu sampah organik (kompos) dengan jumlah >0,5kg (34,4%), 1kg (31,3%) dan > 1kg (34,4%) serta anorganik (bahan 3R) dengan jumlah kurang dari 5 kg (96,9%) dan 10 kg (3,1%) per hari telah dilakukan oleh warga di rumah masing-masing sebelum dikumpulkan disuatu ”pool”. Hasil sampah anorganik sangatlah besar jumlahnya dibandingkan dengan sampah organik ini dikarenakan konsumsi masyarakat terhadap barang sehari-hari yang terbuat dari plastik, kaleng, kertas, dan sebagainya masih tinggi. Pemilahan sampah anorganik yang dilakukan yaitu dengan memilah sampah menjadi tiga bagian, yang masih dapat digunakan kembali (reuse), di daur ulang (recycle), dilakukan pengurangan (reduce). Tindakan reuse (65,7%) dapat diindikasikan dengan menggunakan barang yang sudah terpakai digunakan kembali sebagai contoh menggunakan botol bekas untuk minum, kresek bekas untuk belanja, botol bekas untuk bumbu dapur, reduce (68,8%) dapat diindikasikan dengan melakukan fotocopy bolak-balik, beli produk refill, membawa minum/makanan dari rumah, penggunaan tas, sedangkan recycle (56,3%) dapat dilakukan dengan membuat taplak meja dari sedotan bekas, bubur kertas, hiasan/kreasi. Pengolahan sampah yang terjadi berada pada tingkat yang baik karena sesuai dengan hirarki pengolahan sampah bahwa sampah yang dihasilkan dan

Buruk

0% Sedang

22%

Baik 78%

(12)

kemudian dilakukan pengolahan dimulai dari pengurangan energi, recycling, reuse, reduce, usaha dalam pencegahan.

Sampah domestik ini biasa dipilah oleh ibu (12,5%), anak (3,1%) dan siapa saja yang ada dirumah baik ayah, ibu, anak, dan lainnya (84,4%). Ini mencerminkan bahwa pemilahan sampah domestik secara otomatis telah berjalan dengan baik tidak harus terpaku pada satu orang saja yang melakukannya agar sampah dapat di pisahkan sesuai dengan fungsi dan kategorinya. Sampah yang dapat di daur ulang adalah berasal dari kaleng berbahan aluminium, baja, kaleng makanan dan aerosol, botol plastik, botol kaca, toples, bahan kardus, koran, majalah, tripleks, paralon;

reuse dapat berasal dari papan dupleks, botol kaca, botol plastic, kain bekas, plastiik bekas; reduce dapat berasal dari tidak menggunakan makana/minuman yang mengandung pengawet, pemakaian air dan listrik secukupnya, dan sebagainya.

Pengolahan sampah berkonsep 3R ini dapat juga memberikan penghasilan tambahan bagi warga selain berpengaruh terhadap sosial dan ekologi. Sampah yang telah dipisah akan dikumpulkan terlebih dahulu di tempat-tempat yang strategis (Tabel 2) di setiap RW untuk dijual.

Tabel 2 Tempat Penampungan Sampah Sebelum Dijual Rukun

Warga

Rukun Tetangga Keterangan

1 1, 2, 3 Lokasi di rumah Ketua RW/Balai RT 2 4, 5, 6, 7 ,8 ,9 ,10 Lokasi di rumah Ketua RW/Balai RT 3 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 Lokasi di rumah Ketua RW/Balai RT 4 18, 19, 20 Lokasi di rumah Ketua RW/Balai RT 5 21, 22, 23 Lokasi di rumah Ketua RW/Balai RT

(13)

(a) (b)

Gambar 16 Sampah kertas dan kardus (a), sampah plastik (b)

Pengambilan atau pengumpulan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan menggunakan gerobak setiap RT menuju penampungan yang kemudian apabila sampah tersebut tidak layak jual maka akan diteruskan ke TPS dan dilanjutkan ke TPA oleh Dinas Kebersihan menggunakan konteiner setiap seminggu sekali (50%) setiap hari (28,1%) dan 2 hari sekali (21,9%), ini mencerminkan bahwa pelaksanaan pengambilan atau pengumpulan sampah terlalu sedikit yang dapat diambil karena banyak sampah yang dapat digunakan sesuai dengan konsep 3R, dimana kalau tidak ada proses 3R frekuensi pengumpulan terbaik minimum tiap hari berdasarkan pertimbangan sanitasi tetapi untuk pertimbangan ekonomi 2 hari sekali (Depkes, 1995). Petugas yang ada sebanyak 23 orang dengan satu gerobak dimana warga akan membayar biaya kebersihan yang akan menggaji pertugas kebersihan setiap bulannya dengan gaji sebesar Rp. 250.000,- . Sampah yang telah dikumpulkan di tempat penggumpulan akan diambil oleh pengumpul ke tempat penjualan nantinya dua minggu sekali (43,8%) agar sampah yang layak dijual terkumpul lebih banyak dengan tetap memperhitungkan sanitasi lingkungan yang ada. Penjualan sampah ini ditentukan dengan menggunakan harga yang standar yang dikeluarkan oleh suatu LSM Bangun Pertiwi yang mampu membeli jenis sampah baik organik dan anorganik (Tabel 3). Sampah yang sering dijual oleh masyarakat adalah plastik putih, kresek, duplek, bak , kaleng, botol aqua, sepatu, koran , beling, seng, plastik campur. Biasanya penjualan dilakukan apabila sudah terkumpul lebih dari 1kg karena LSM tersebut hanya menerima kiloan. Tidak semua RW menghasilkan jumlah sampah yang sama tergantung dengan sampah anorganik yang dihasil dalam dua minggu dan hasil yang didapat digunakan untuk perbaikan lingkungan (78,1%). Selain

(14)

styrofoam, plastik campur, botol aqua, gelas aqua, berupa taplak meja, tas, kalung, anting- anting, tudung saji, tempat tissue, pot plastik, tempat tanaman, hiasan meja, tempat pinsil, tempat map, tempat kertas, tempat foto, jas hujan.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f) (g)

Gambar 17 Produk hasil penerapan 3R berasal dari gelas aqua (a), sedotan aqua (b), plastik kresek (c), minuman kaleng (d), minuman plastik (e), bungkus detergen (f) dan (g)

(15)

Tabel 3 Harga Standar Per Kilo Beberapa Jenis Sampah Kering dan Basah

No Jenis Barang Harga (Rp.)

1 Kardus baik dan jelek (warna coklat) 400-800

2 Putihan / kertas putih (hvs, fotocopy, buku tulis dll) 1000-1200

3 Majalah, tabloid, buku telepon 300-900

4 Koran Baik 1000

5 Koran Jelek 200

6 Bak (semua plastik tebal, tutup galon, botol shampoo dll) 1200-1500

7 Aqua gelas bersih dan kotor 4000 dan 5000

8 Botol aqua bersih dan kotor 1200 dan 1500

9 Aluminium (kaleng sprite dkk, panci dll) 7000-9000 10 Besi (kawat, onderdil sepeda, motor, mobil dll) 1000-1500

11 Tembaga / kuningan 25000-30000

12 Kaleng seng, tempat susu, biskuit, sarden dll 400-700

13 Pecahan beling apa saja (botol kecil2) 100

14 Botol beling kecap dan bir 200-500

15 Plastik putih polos (bungkus gula yang punya sifat putih) 500-1000 16 Plastik Campur (ciki, marimas, supermi, permen) 150-200

17 Kertas campur 200-250

18 Duplek/kardus (kotak nasi, kotak roti, bungkus rokok dll) 200-300

19 Kresek, tas,karpet talang, ban 150-200

20 Sandal, sepatu yang sifatnya lentur 100-200

Analisis pertama adalah aspek jumlah sampah per hari berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) umur, (2) pendidikan, (3) jumlah jiwa dalam keluarga, (4) pendapatan. Ini dapat terlihat bahwa keempat faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku menghasilkan sampah dan yang terlihat signifikan apabila umur meningkat , pendidikan meningkat, banyaj jumlah anggota yang tinggal dalam suatu rumah dan pendapatan yang tinggi cenderung mengkonsumsi barang lebih banyak.

(16)

dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) pendidikan, (4) Marital, (5) jumlah jiwa dalam keluarga, (6) pekerjaan, (7) pendapatan, (8) luas halaman.

Dalam hal ini faktor yang mempengaruhi siapa yang menangani sampah sebelum dibuang terdapat delapan faktor dimana terlihat jenis kelamin terutama ibu lebih sering melakukan pemilahan sampah, umur manjadikan patokan makin mengetahui pentingnya pemilahan dalam sampah, makin tinggi pendidikan dapat diartikan bahwa makin tinggi juga kesadaran terhadap lingkungan, marital/pernikahan menjadi indikator bahwa dengan adanya hubungan kelurga yang erat dengan informasi yang baik penerapan 3R dalam lingkungan dapat tersalurkan secara cepat begitu juga dengan banyaknya jiwa dalam keluarga cenderung mempunyai informasi tentang pemilahan sampah yang sama dan mengarah lebih baik, pekerjaan, pendapatan meningkat akan membutuhkan suasana lingkungan yang aman, nyaman, dan bersih oleh sebab itu pemilahan sampah dapat dilakukan optimal, dengan adanya halaman yang luas atau memadai masyarakat cenderung untuk menjaga lingkungan agar tidak ada penyakit, kebisingan dan sebagainya.

Analisis ketiga adalah aspek pengetahuan tentang 3R berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) Jenis kelamin, (2) pendidikan, (3) Marital, (4) jumlah jiwa dalam keluarga, (5) status kepemilikan rumah, (6) pekerjaan, (7) pendapatan , dan (8) luas halaman.

Analisis keempat adalah pemilahan sampah berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) Marital, (4) pendidikan, (5) jumlah jiwa dalam keluarga, (6) status kepemilikan rumah, (7) pekerjaan, (8) pendapatan , dan 9) luas halaman.

Analisis kelima adalah pelaksanaan reduce berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) umur, (2) pendidikan, (3) Marital, (4) Pendidikan, (5) jumlah jiwa dalam keluarga, (6) status kepemilikan rumah, (7) pekerjaan, (8) pendapatan , dan (9) luas halaman.

Analisis keenam adalah pelaksanaan reuse berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) pendidikan, (4) Marital, (5) jumlah jiwa dalam keluarga, (6) pekerjaan, (7) pendapatan , dan (8) luas halaman.

Analisis ketujuh adalah pelaksanaan recycle dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) pendidikan, (2) jumlah jiwa dalam keluarga (3) Status kepemilikan rumah, (4) Pekerjaan, (5) Pendapatan, dan (6) Luas halaman.

(17)

Analisis kedelapan adalah Pembuatan kompos berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) Marital, (4) jumlah jiwa dalam keluarga, (5) status kepemilikan rumah (6) pekerjaan, (7) pendapatan.

Analisis kesembilan adalah jumlah kompos yang dihasilkan berhubungan dengan karakteristik rumah tangga adalah (1) Jenis Kelamin (2) umur, (3) Pendidikan, (4) Marital, (5) jumlah jiwa dalam keluarga, (6) pekerjaan, (7) pendapatan, dan (8) Luas halaman.

Secara keseluruhan hubungan karateristik rumah tangga dengan faktor pendukung tingkat pengolahan sampah dapat disimpulkan bahwa kecenderungan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah dengan menerapkan konsep 3R masuk dalam kategori baik dengan persentasi 69%.

Gambar 18 Tingkat pengelolaan sampah dengan 3R

Keterhubungan antara karateristik rumah tangga dengan tingkat pengelolaan sampah lebih dipengaruhi oleh perempuan (62,5%) yang mencerminkan bahwa banyak perempuan sebagai ibu rumah tangga (50%) dapat berpartisipasi lebih tinggi dibandingkan kaum laki- laki (9,4%) ini karena ibu merupakan sosok yang paling berperan dalam mengelola sampah rumah tangga sesui dengan tanggungjawabnya atas pengelolaan sampah demi kebersihan di dalam dan di sekitar rumah (Bulle, 1990). Iyer (2001) menyebutkan pada proyek partisipasi masyarakat pada pengelolaan persempahan di Bangalore India, wanita mempunyai peranan yang besar mulai dari pengumpulan sampah. Para wanita ikut dalam komite persempahan kota, berperanserta dalam pertemuan dan penyluhan dan berperan dalam memberikan motivasi kepada anggota masyarakat liannya. Jumlah wanita yang berperan dalam partisipasi

Buruk

0% Sedang

31%

Baik 69%

(18)

bekerjasama dengan organisasi wanita. Kisaran umur masyarakat dalam mengelola sampah dari umur 36 tahun sampai dengan 45 tahun (37,5%) dengan status menikah (65,6%) dan status pendidikan antara SMA-D3 (37,5%) .

Tabel 4 Hubungan karateristik rumah tangga dengan indikator pengelolaan sampah 3R

No. Variabel Jumlah sampah per hari

Pemilah sampah sebelum dibuang

Pengetahuan

3R Pemilahan reduce reuse recycle

1 Gender X √ X

2 Umur √ X √ √ X

3 Pendidikan

4 Marital X √ X

5

Jumlah Jiwa dalam

Keluarga

6 Status Kepemilikan

Rumah X X √ √ X √

7 Pekerjaan X

8 Pendapatan

9 Luas

Halaman X

Keterangan :

√ : Ada hubungan X: tidak ada

hubungan

(19)

Gambar 19 Diagram alir pengolahan sampah di Desa Jambangan Produksi Sampah Domestik

Proses pemilahan oleh masyarakat dalam rumah

tangga

Sampah organik

Diangkut oleh petugas kebersihan ke ”pool”

Komposting

Sampah Anorganik

Reuse 1. botol bekas

untuk minum 2. kresek bekas

untuk belanja 3. botol bekas

untuk bumbu dapur

Recycle 1. taplak meja

dari sedotan bekas 2. bubur kertas 3. hiasan/kreasi

Reduce 1. fotocopy

bolak-balik 2. beli produk

refill 3. membawa

minum/makan an dari rumah Takakura

1. sampah sayur baru/basi 2. nasi sisa 3. sisa makanan

pagi,siang, malam 4. sampah buah 5. sampah

ikan,daging

Anaerob 1. daun dari

halaman 2. sampah

berdaun pisang 3. kupasan

sayuran 4.buah-buahan

Dijual bebas Dijual ke

LSM

Dibuang ke TPA Penerapan

3R

Tambahan Income Program

penghijauan

(20)

bagian yaitu organik dan anorganik. Setelah dibagi dalam dua bagian sampah organik dijadikan kompos dengan dua cara yaitu dengan teknologi takakura dan anaerob skala rumah tangga yang digunakan untuk program penghijauan sedangkan sampah anorganik di pilah manjadi tiga bagian yaitu sampah yang bersifat reuse, reduce, dan recycle. Kemudian sampah anorganik dikumpulkan di tempat penampungan untuk diproses (1) penerapan 3R, (2) penjualan ke LSM, (3) penjualan secara langsung/bebas, dan (4) dibuang ke TPS. Hasil dalam pengelolaan sampah ini dapat menghasilkan penambahan pendapatan/income.

4.3.2. Kompos

Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria (1996).

Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba. Poses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai. Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan didalamnya.

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak.

Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut:

1. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22°C;

2. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenous) di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;

3. Pada kenaikan temperatur diatas 40°C, aktivitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini,

(21)

amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa;

4. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60°C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes termofilik sampai batas temperatur + 86°C.

5. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya terbentuklah kompos yang siap digunakan.

Beberapa faktor, baik biotik maupun abiotik yang mempengaruhi proses pengomposan, antara lain:

1. Pemisahan bahan. Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar didegradasi harus dipisahkan. Bahan-bahan tersebut dapat berupa logam, batu, plastik dan sebagainya.

Bahkan bahan-bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, antara lain residu pestisida, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan baku kompos.

2. Bentuk bahan. Lebih kecil dan homogen bentuk bahan, maka proses pengomposan akan berjalan lebih cepat dan baik. Karena lebih kecil dan homogen bahan baku kompos, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktifitas mikroba. Juga pengaruhnya terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan.

3. Nutrien. Aktifitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien karbohidrat, antara 20% - 40% karbohidrat yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO2

4. Kadar air bahan. Kadar air bahan bergantung pada bentuk dan jenis bahan, namun optimum pada kisaran 50% hingga 70%, terutama selama proses fase pertama.

5. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misal pada jerami.

6. Pengelolaan sampah organik yang sudah berjalan dengan baik (91%) terdiri dari 3 (tiga) model pertama yaitu menggunakan komposter takakura yang dapat digunakan sehari-hari mengolah sampah makanan (sampah sayur baru, sampah sayur basi, nasi,

(22)

menggunakan keranjang yang diberi kompos jadi dan ditutup dengan gabah yang diberi kantong untuk menyerap kelembaban yang disebabkan oleh proses pengomposan. Hasil dari kompos ini didapat sekitar 0.5 kg kompos baru dalam waktu satu bulan. Model kedua yaitu menggunakan komposter skala rumah tangga dimana bahan yang dimasukkan ke dalam tong berupa bahan organik yang tidak perlu ditambahkan apa-apa yang berisi daun dari halaman, sampah berdaun pisang, kupasan sayuran, buah-buahan dan dapat dipanen 8 bulan sampai dengan 1 tahun sebanyak 5 kg. Model yang kedua diberikan ke TPS secara komunal dirajang dan diperlakukan pembakaran agar menghasilkan kompos yang kering selama 3 bulan untuk memanen kompos yang ada.

Gambar 20 Pengelolaan sampah dengan kompos

(a) (b)

Gambar 21 Komposter TAKAKURA (a) , AEROB skala rumah tangga (b)

Buruk 0%

Sedang 9%

Baik 91%

(23)

4.4. Ketersedian Ruang Terbuka Hijau (RTH) 4.4.1. Fungsi RTH

Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi yang bervariasi yaitu

1. Ameliorasi iklim, artinya dapat mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro

2. Membantu penanggulangan intrusi air laut.

3. Sebagai sarana rekreasi dan olahraga

4. Tempat hidup dan berlindung bagi hewan dan pakan mikroorganisme.

5. Sebagai tempat konservasi satwa dan tanaman lain 6. Sarana penelitian dan pendidikan

7. Sebagai pelembut, pengikat, dan pemersatu bangunan.

8. Meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila jenis tanaman yang ditanam bernilai ekonomi.

9. Sarana bersosialisasi antar warga masyarakat.

10. Sebagai media pengaman anatar jalur jalan.

11. Pengaman dan pembatas anatara jalur lintasan kereta api dengan pemukiman penduduk.

12. Memberikan perlindungan terhadap penduduk di sekitar GITET (Gardu Induk Tegangan Tinggi).

Ruang terbuka hijau ( RTH ) yang ada di kota Surabaya merupakan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau pemakaman, kawasan hijau pertanian, 67 kawasan jalur hijau dan kawasan hijaun pekarangan yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman secara alamiah maupun budidaya tanaman. Selama periode 2002 - 2004, pemerintah telah melakukan penghijauan kota dalam bentuk penanaman pohon. Pada tahun 2002 telah dilakukan penanaman pohon sebanyak 34.497 pohon yang terdiri dari 33.097 pohon produktif/pelindung dan 1.400 pohon semak/palem. Tahun 2003 mengalami peningkatan menjadi sebanyak 43.766 pohon yang terdiri dari 29.270 pohon produktif/pelindung dan 14.496 pohon palem/semak, sedangkan pada tahun 2004 sampai dengan bulan September jumlah pohon yang ditanam telah mencapai sebanyak 33.311 pohon yang terdiri dari 28.718 pohon produktif/pelindung dan 4.593 pohon palem/semak.

(24)

111.574 pohon di Kota Surabaya. Sementara itu untuk RTH, Luas yang ideal adalah sebesar 20% 32.637,75 ha (6.527,55 ha). Kondisi eksisting pada tahun 2002, lahan terbuka hijau yang tersedia adalah 225,58 ha. Pada tahun 2003 meningkat menjadi seluas 252,79 ha dan pada tahun 2004 sampai dengan bulan September telah menjadi seluas 260,43 ha. Perluasan lahan terbuka hijau tersebut diantaranya adalah median jalan dan taman. Khusus untuk areal pemakaman di Kota Surabaya terdiri dari kawasan pemakaman umum dan Taman Makam Pahlawan. Pada tahun 2003 telah di bangun areal pemakaman umum di Keputih dengan luas 5 ha, areal tersebut diharapkan dapat menampung 11.182 makam. Secara keseluruhan luas kawasan makam yang dikelola Pemerintah Kota seluas 154 ha.

Kemampuan responden dalam hal menciptakan ketersediaan RTH dapat dilihat dari salah satu fungsi RTH yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan peraturan yang berlaku.

Apabila responden telah menyediakan RTH dengan fungsi yang lebih dari satu dapat dinilai bahwa responden telah melakukan dengan baik dalam menyediakan RTH terhadap lingkungannya seperti yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Fungsi RTH berdasarkan tingkat ruang terbuka hijau

Tingkat Ruang Terbuka Hijau

Fungsi RTH Buruk Sedang Baik Total

n % n % n % n %

1 fungsi 20 56 24 50 12 27 56 44

2 fungsi 4 11 0 4 9 8 6

> 2 fungsi 12 33 24 50 28 64 64 50

Total 36 100 48 100 44 100 128 100

Nilai p chi kuadrat 0.12 (nyata pada p > 0.05)

Fungsi RTH dikelompokkan menjadi tiga, yakni 1 fungsi, 2 fungsi dan > 2 fungsi.

Sebaran tidak merata dimana yang menggunakan satu fungsi mempunyai persentase 44%, 2 fungsi 6%, dan >2 fungsi 50%. Responden satu fungsi terlihat berada pada klasifikasi kurang dan sedang dengan persentase berturut-turut 56% dan 50%. Klasifikasi > 2 fungsi berada pada tingkat sedang (50%) dan baik (64%) yang menyatakan bahwa responden yang menyediakan RTH dengan memperhitungkan fungsi RTH lebih banyak akan mengarah ke lingkungan yang baik juga, oleh sebab itu diarahkan kepada penyediaan RTH yang mempunyai fungsi lebih dari dua agar terciptanya kualitas lingkungan meningkat.

(25)

4.4.2. Luas Area

Ketersediaan RTH sangat membutuhkan luasan area yang cukup. Luas RTH ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota dari sudut kesehatan seorang penduduk kota maksimal

memerlukan ruang terbuka seluas 15m2, ke butuhan normal 7m2, dan minimal harus tersedia 3m2 (Bianpoen, 1989). Direktorat Jenderal

Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8m2. Oleh sebab itu presentase ruang terbuka harus dapat memadai dengan kebutuhan seseorang dan harus ada walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot.

Luas RTH yang ada di Desa Jambangan diklasifikasikan ke dalam tiga, yakni < 5m2, 5m2 – 10m2, > 5m2. Sebaran responden yang mempunyai luas area RTH cukup merata tetapi terlihat dominasi luas area yang < 5m2 (66%). Ini disebabkan karena ketersediaan area di lingkungan rumah cenderung sempit tetapi tetap terdiri dari pohon besar dan tanaman dalam pot. Responeden yang melakukan ketersediaan RTH kurang, sedang, dan baik termasuk dalam luas area kurang dari 5m2 (Tabel 6).

Tabel 6 Luas area berdasarkan tingkat ruang terbuka hijau

Tingkat Ruang Terbuka Hijau

Luas Area Buruk Sedang Baik Total

n % n % n % n %

< 5 m2 32 89 28 58 24 55 84 66

5 m2s/d 10m2 4 11 12 25 8 18 24 19

> 10m2 0 0 8 17 12 27 20 16

Total 36 100 48 100 44 100 128 100

Nilai p chi kuadrat 0.03 (tidak nyata pada p > 0.05)

Hasil analisis chi kuadrat menunjukkan tidak adanya hubungan nyata (p>0,05) antara luas area dengan tingkat RTH responden dalam penyediaan RTH. Dengan demikian, secara statistik perbedaan luas area tidak menimbulkan adanya variasi dalam keterlibatan responden dalam penyediaan RTH. Luas area yang ada masih memadai dan sesuai dengan Dierjen PU dan RTH ini dapat dibilang ruang terbuka mikro yaitu mencakup taman bermain dan taman lingkungan.

(26)

Ruang terbuka hijau adalah suatu ruang yang didominasi oleh tanamn, terdapat sedikit bangunan yang berupa lingkungan alami (vegetasi dan air) atau binaan ( produksi budidaya, pemakaman, pertamanan kota, tempat satwa, rekreasi ruang luar, berbagai upaya pelestarian lingkungan) yang sifatnya berfungsi untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Jumlah dan jenis tanaman mempengaruhi ketersediaan RTH karena dengan memperhatikan jumlah dan jenis tanaman maka fungsi dari RTH yang ada akan seimbang.

Tanaman yang biasanya ditanam berfungsi sebagai penjerap debu, penjerap partikel timbal (Pb), penyerap CO2 dan penghasil O2, penyerap dan penepis bau, pencegah intrusi air laut, mengurangi genangan.

Dalam hal ini jumlah dan jenis tanaman Desa Jambangan dibagi tiga, yakni < 5jenis, 5 jenis, > 5jenis. Sebagain besar responden memiliki jumlah dan jenis tanaman lebih dari 5 jenis (59%), sedangkan responden yang memiliki jumlah jenis tanaman 5 jenis dan kurang dari 5 jenis masing-masing adalah 10% dan 31%.

Responden dengan tingkat ketersediaan RTH kurang termasuk dalam jumlah jenis tanaman <5 jenis (45%), ketersediaan RTH sedang dan baik termasuk dalam jumlah jenis tanaman yang > 5jenis (50% dan 82%) (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah jenis tanaman berdasarkan tingkat ruang terbuka hijau

Tingkat Ruang Terbuka Hijau

Buruk Sedang Baik Total Jumlah Jenis

Tanaman n % n % n % n %

< 5 jenis 16 45 16 33 8 18 40 31

5 jenis 4 11 8 17 0 0 12 10

> 5 jenis 16 44 24 50 36 82 76 59

Total 36 100 48 100 44 100 128 100

Nilai p chi kuadrat 0.02 (tidak nyata pada p > 0.05)

Hasil chi kuadrat menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah jenis tanaman dan tingkat ketersediaan RTH. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mengakibatkan variasi keterlibatan responden dalam penyediaan RTH.

Jenis tanaman yang ada di Desa Jambangan yaitu 1. tanaman pelindung, seperti : Trembesi, Flamboyan, Glodogan, Dadap merah, Mahoni, 2. tanaman produktif, seperti : Mangga, Belimbing buah, Jambu air, Sawo kecik, Nangka, 3. tanaman perdu , seperti :

(27)

kembang sepatu, bougenville, soka, anak nakal, 4. tanaman hias, seperti : anggrek, aglonema, 5. tanaman obat, seperti : sere, kunyit, sambiloto,

4.4.4. Prioritas RTH

Prioritas RTH adalah kepentingan RTH di lingkungan masyarakat yang menciptakan kehidupan sehat dan alami. Kebutuhan ini dipengaruhi oleh keinginan responden terhadap pentingnya RTH bagi lingkungan di sekitar mereka.

Sebagian besar responden menyetujui dengan kepentingan RTH di lingkungan sekitar mereka (75%) dimana termasuk ke dalam klasifikasi buruk (78%), sedang (75%), dan baik (73%) (Tabel 8.) Ini menyatakan bahwa pada tingkat yang berbeda keinginan responden tetap tinggi karena responden merasakan dampak dengan adanya RTH lingkungan dapat menjadi asri, nyaman, sejuk, segar.

Tabel 8 Prioritas RTH berdasarkan tingkat ruang terbuka hijau

Tingkat Ruang Terbuka Hijau

Prioritas RTH Buruk Sedang Baik Total

n % n % n % n %

Tidak 8 22 12 25 12 27 32 25

Ya 28 78 36 75 32 73 96 75

Total 36 100 48 100 44 100 128 100

Nilai p chi kuadrat 8.74 ( nyata pada p > 0.05)

Hubungan antar prioritas RTH dengan Tingkat RTH sangat nyata ini karena responden sangat membutuhkan RTH di lingkungan sekitar yang mempengaruhi kehidupan mereka.

4.4.5. Penerapan TOGA

Tanaman obat keluarga (TOGA) merupakan salah satu cara untuk menyediakan RTH karena selain berfungsi sebagai obat tradisional berfungsi juga seperti fungsi RTH pada umumnya hanya saja fungsi utama adalah oabat-obatan. Sebagian besar responden menyetujui dengan penerapan TOGA di lingkungan sekitar mereka (97%) dimana termasuk ke dalam klasifikasi buruk (100%), sedang (92%), dan baik (100%) (Tabel 9).

Hasil analisis chi kuadrat menyatakan bahwa terdapat hubunga yang nyata antara penerapan TOGA dengan Tingkat RTH maka terdapat kepentingan responden untuk hidup sehat secara alami dan terlihat ketrelibatan responden untuk meningkatkan kesehatan dalan kehidupan sehari-hari.

(28)

Tingkat Ruang Terbuka Hijau Penerapan

TOGA Buruk Sedang Baik Total

n % n % n % n %

Tidak Jawab 0 0 4 8 0 0 4 3

Ya 36 100 44 92 44 100 124 97

Total 36 100 48 100 44 100 128 100

Nilai p chi kuadrat 0.32 ( nyata pada p > 0.05)

4.4.6. Tingkat Ketersediaan dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau

Perhitungan menggunakan chi-square menghasilkan tingkat partisipasi masyarakat yang baik 71% , sedang 13%, dan buruk 16 % dengan komponen faktor (1) terdapatnya RTH dengan fungsi yang beragam, (2) mempunyai luas area RTH minimum 1,8m2 per individu, (3) terdapatnya jumlah jenis tanaman yang cukup atau lebih dari satu , (4) prioritas RTH yang tinggi, (5) penerapan TOGA dengan beragam tanaman obat sehingga terciptanya obat tradisional yang dapat mendukung kehidupan yang sehat.

Gambar 22 Tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau

4.5. Tingkat Ecoliving

Penilaian terhadap tiga faktor pendukung kehidupan berwawasan lingkungan terlihat baik (53%) ini dikarenakan keinginan masyarakat dalam memperbaiki lingkungan yang dipengaruhi oleh ketersediaannya program Green and Clean serta dukungan Pemkot dan LSM Tunas Hijau untuk menciptakan kehidupan yang berwawasan lingkungan.

Buruk 28%

Sedang 38%

Baik 34%

(29)

Gambar 23 Tingkat Ecoliving 4.6. Analisis Komponen Utama

Hasil analisis komponen utama menjelaskan faktor-faktor karakteristik rumah tangga yang mempengaruhi tingkat pengelolaan sampah dengan konsep 3R, tingkat partisipasi masyarakat, dan tingkat ketersediaan RTH. Hasil menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dan pengelolaan sampah dengan 3R adalah secara positif adalah jumlah keluarga tinggi (>5jiwa), tua (> 45tahun) berpendidikan rendah (<SMA), berpendapatan rendah (< Rp. 500.000,-), mempunyai rumah sendiri dan milik orangtua, secara negatif adalah berpendidikan tinggi (> SMA), jumlah keluarga sedang (5 jiwa), dan tidak bekerja.

Faktor yang mempengaruhi ketersediaan RTH secara positif adalah responden yang bekerja dan ibu rumah tangga, remaja (<35 tahun) dan dewasa (35-45 tahun), berpendapatan tinggi (> Rp. 1.000.000,-) dan berpendapatan sedang (Rp. 500.000,- -Rp. 1.000.000,-), berstatus menikah, perempuan, berpendidikan sedang (SMA-D3), mempunyai keluarga lebih dari 5 jiwa, status rumah sewa/kontrak, secara negatif faktor yang mempengaruhi adalah responden yang belum menikah, pensiunan, dan laki-laki.

Faktor yang mempengaruhi secara positif lebih mengarah ke karakter pedesaan (rural characteristic)sedangkan faktor yang mempengaruhi secara negatif lebih mengarah ke karakter perkotaan (urban characteristic).

Buruk 6%

Sedang 41%

Baik 53%

(30)

Gambar 24 Hasil Analisis Komponen Utama

Masyarakat yang telah melakukan pengolahan sampah dengan konsep 3R dan kompos secara langsung telah berpartisipasi terhadap pengelolaan lingkungannya tetapi masih kurang dalam penerapan RTH ini dikarenakan masyarakat belum mementingkan ketersediaan RTH dibandingkan dengan pengelolaan sampah yang sudah terlihat mengganggu lingkungan hidup. Hal ini berarti bahwa semakin tua responden, semakin rendah penghasilan per kapita, semakin banyak jumlah dalam keluarga semakin tinggi tingkat pengelolaan lingkungannya berbasis ecoliving dengan kata lain responden yang berpendapatan tinggi, pendidikan tinggi dan tidak bekerja, laki-laki, janda/duda dan pensiunan semakin jarang terlibat dalam pengelolaan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Semakin banyak responden yang melakukan konsep 3R maka semakin banyak juga masyarakat yang berpartisipasi dalam mengelola lingkungan.

Responden yang bekerja, ibu rumah tangga, remaja dan dewasa, berpendidikan sedang sangat mempengaruhi RTH maka diperlukannya usaha untuk meningkatkan kebutuhan RTH agar dapat diterapkan pada semua responden sehingga terciptanya lingkungan yang sehat dan nyaman. Peningkatan yang dilakukan harus dapat dukungan

Partisipasi Masyarakat

Kualitas RTH Penerapan 3R

sewa/kontrak milik sendiri milik orang tua

5 jiwa

>5jiwa

<5 jiwa menikah janda/duda belum menikah

tidak bekerja

pensiunan

ibu rumah tangga bekerja

tinggi

sedang rendah

pendidikan tinggi

pendidikan sedang pendidikan rendah

perempuan laki-laki

tua

remaja dewasa

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

(31)

penuh oleh pemerintah agar pengertian RTH tidak rancu lagi dan sesuai dengan ketentuan Perda No. 7 Tahun 2002.

Wadah kelembagaan yang dapat digunakan untuk mendorong keberlanjutan pengelolaan lingkungan diantaranya adalah perkumpulan-perkumpulan atau organisasi- organisasi baik formal maupun nonformal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, diantaranya, melalui pengajian-pengajian, sekolah-sekolah, karang taruna, LSM, dan organisasi masyarakat lainnya. Pemberian penyuluhan secara intensif dan berkesinambungan pada lembaga-lembaga yang ada dengan dukungan pemerintah, LSM, dan PT Unilever sepanjang masyarakat membutuhkan sampai tercapainya kemandirian dalam pemukiman yang ada

Partisipasi masyarakat terlihat hanya satu komponen faktor yang menunjukkan korelasi positif yang terdiri perlunya penyuluhan, kaderisasi, kesediaan menghadiri rapat, dan pengembangan program. Ketiga variabel pertma berkorelasi positif nyata <0.05 sedangkan yang keempat juga berkorelasi positif tetapi tidak nyata >0.05 (0.498), maka dapat diinterpretasikan semakin masyarakat berusaha untuk meningkatkan kebutuhannya akan penyuluhan, kaderisasi, kesediaan menghadiri rapat dalam organisasi baik formal mapun informal maka semakin tinggi terciptanya lingkungan sehat karena partisipasi masyarakat adalah sebagai penggerak.

Pengelolaan sampah terlihat 3 (tiga) komponen faktor yang terbentuk yaitu faktor pertama terdiri atas variabel pelaksanaan reduce, pelaksanaan reuse dan pelaksanaan recycle dengan interpretasi bahwa dilihat dari korelasinya yang bersifat positif, maka semakin responden dapat melakukan pelaksanaan reduce, pelaksanaan reuse dan pelaksanaan recycle dengan baik dan berkelanjutan maka semakin baiknya pengolahan sampah yang terjadi.

Faktor kedua terdiri atas variabel jumlah kompos per hari dan pengetahuan 3R dengan interpretasi bahwa terdapat korelasi yang positif maka semakin masyarakat mengetahui teori dalam mengelola lingkungan akan semakin baik terciptanya lingkungan yang sehat. Faktor ketiga terdiri atas variabel pemilah sampah sebelum dibuang dan jumlah sampah per hari dengan interpretasi bahwa terdapat korelasi yang positif maka semakin masyarakat dapat memilah sampah yang ada semakin kurang jumlah sampah yang akan dibuang karena sampah yang ada dapat di daur terlebih dahulu.

(32)

faktor pertama terdiri dari luas area, jumlah dan jenis tanaman, prioritas RTH yang dapat diinterpretasikan bahwa ketersediaan RTH akan dipengaruhi oleh luasan area dan jumlah dan jenis tanaman yang berkorelasi positif sedangkan prioritas RTH bekorelasi negatif oleh sebab itu masih kurangnya pengertian tentang RTH di dalam masyarakat. Faktor kedua terdiri dari penerapan TOGA dan fungsi RTH yang berkorelasi positif dan dapat diinterpretasikan bahwa secara langsung masyarakat menerapkan ketersediaan RTH tanpa ada pedoman yang standar dikarenakan kurangnya pengertian RTH secara keseluruhan. Semakin masyarakat mengetahui fungsi RTH maka semakin banyak ruang yang tersedia.

Hasil analisis data yang didapat menyatakan bahwa Desa Jambangan telah melakukan pengelolaan lingkungan secara baik dengan memperhatikan tiga aspek pendukung lingkungan sehat yaitu adanya partisipasi masyarakat, pengelolaan sampah, dan ketersediaan RTH. Ketiga aspek tersebut mendukung terciptanya permukiman berkelanjutan yang menciptakan iklim kehidupan yang sehat baik secara lingkungan, ekonomi, sosio-budaya, ekologi yang dapat menjamin berlanjutnya peningkatan kualitas kehidupan bagi semua orang. Peningkatan ini juga dapat menjadikan hidup lebih sejahtera, saling menghormati, mempunyai akses terhadap prasarana dasar dan pelayanan permukiman yang sesuai dan layak, dan mampu memelihara serta meningkatkan kualitas lingkungannya.

Gambar

Tabel 1   Hubungan Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Faktor Pendukung  Tingkat Partisipasi Masyarakat
Gambar 8  Partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
Gambar 9  Partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
Gambar 11  Partisipasi dalam pengembangan kegiatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini yaitu; (1) menghasilkan komik yang memiliki karakteristik berbasis desain grafis, dan berisi materi Besaran dan Satuan SMP kelas VII SMP, dan

manta sendiri dipilih karena ikan ini jarang sekali dipakai untuk dijadikan sebuah motif dalam dunia tekstil. Ikan pari manta memiliki keunikan fisik yang berbeda dengan ikan

 Donor haemovigilance, including recognition and clinical management of adverse events associated with donation, and their monitoring, reporting, investigation and analysis;. 

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) upaya layanan bimbingan konseling Islam yang dilakukan guru konselor untuk menyadarkan perilaku merokok pada siswa di SMP Negeri 5

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan