• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000 menjadi Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTNbh) berdasar UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Gadjah Mada menghadirkan konsekuensi logis pada transformasi sistem penyelenggaraan perguruan tinggi. Universitas Gadjah Mada menghadapi kompleksitas dan tantangan tersendiri dalam pengembangan sistem, struktur, dan proses manajemen di semua lini. Dalam kerangka berpikir positif, perubahan status kelembagaan universitas diharapkan akan memperkuat peran strategik UGM khususnya dalam mengembangkan dan menyelenggarakan tata kelola kelembagaan. Spirit inovasi yang dibangun oleh civitas akademika UGM pada gilirannya diarahkan untuk mencapai suatu kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan bangsa.

Salah satu tantangan terkait perubahan kelembagaan tersebut adalah dalam hal

pengelolaan keuangan yang harus mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 74

Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Dari sudut

pandang perguruan tinggi yang sebelumnya berstatus BHMN, PK-BLU terasa lebih

(2)

2 ketat dalam hal penganggaran, pelaporan dan treasury, tidak seleluasa saat masih menjadi BHMN. Hal ini terjadi karena secara keuangan, UGM berubah menjadi satuan kerja yang terintergrasi pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Achjari, 2012). Penerapan skema BLU pada gilirannya memerlukan penataan mendasar di lingkungan UGM dalam mengimplementasikan sistem dan budaya administrasi yang baru. Satu isu penting terkait perubahan organisasional yang menjadi tantangan adalah dalam pengelolaan sumber daya manusia.

Pada masa UGM ditetapkan sebagai BHMN, sebagai bagian rencana strategis

penataan sumber daya manusia diterbitkan Peraturan Rektor Nomor

203/P/SK/HT/2009 tentang Sistem Pengelolaan Sumber Daya Manusia. Peraturan

tersebut menjadi landasan dalam penataan sumber daya manusia di UGM yang

meliputi pendidik (dosen) dan tenaga kependidikan. Tenaga Kependidikan UGM

diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai

Tetap (PT), Pegawai Tidak Tetap (PTT) SK Rektor, Pegawai Tidak Tetap (PTT) SK

Dekan/Pimpinan Unit Kerja dan Pegawai Kontrak. Namun sebagai implikasi

perubahan organisasional yang terjadi di UGM, telah dilakukan perubahan terhadap

Peraturan Rektor Nomor 203/P/SK/HT/2009 dengan diterbitkannya Peraturan Rektor

Nomor 134/SK/HT/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Rektor Nomor

203/P/SK/HT/2009 tentang Sistem Pengelolaan Sumber Daya Manusia Universitas

Gadjah Mada. Dalam peraturan baru tersebut, status ketenagakerjaan universitas

terdiri atas PNS dan Pegawai Non-PNS. Selanjutnya Pegawai Non-PNS untuk

Tenaga Kependidikan terdiri atas Tenaga Kependidikan Magang, Tenaga

(3)

3 Kependidikan Tetap, dan Tenaga Kependidikan Tidak Tetap. Terkait dengan perubahan tersebut maka dilakukan penilaian terhadap Pegawai Tidak Tetap (PTT) SK Dekan/Pimpinan Unit Kerja dan Pegawai Kontrak untuk dapat diangkat sebagai Tenaga Kependidikan Tidak Tetap (Non PNS) dengan Surat Keputusan Rektor. Hal ini mengingat adanya peraturan baru di bidang keuangan bahwa gaji pegawai hanya bisa dibayarkan jika diangkat dengan Keputusan Rektor. Sehingga setiap unit kerja harus mengusulkan kepada universitas jika ingin merekrut pegawai baru.

Selain adanya perubahan pada sistem pengelolaan sumber daya manusia, perubahan organisasional yang terjadi juga berimplikasi pada restrukturisasi serta berubahnya berbagai sistem dan prosedur kerja. Perubahan sistem dan prosedur tersebut tentunya menuntut perubahan cara kerja dan penyesuaian keahlian.

Perubahan tersebut pada akhirnya juga berimbas pada kebijakan rotasi dan mutasi pegawai. Perubahan organisasional dirasakan oleh pegawai pada tiap level unit kerja.

Pencermatan terhadap lingkungan kerja di UGM mengindikasikan bahwa tidak

semua anggota organisasi memiliki preferensi yang sama dalam memaknai setiap

perubahan organisasional. Ada sebagian anggota organisasi yang memandang

perubahan yang terjadi di UGM sebagai hal yang wajar karena posisi UGM sebagai

sub-sistem dari sistem pendidikan nasional serta adanya pengaruh global yang kuat

dalam industri pendidikan tinggi. Namun, ada juga sebagian yang lain berpandangan

bahwa perubahan organisasional yang terjadi mengundang suasana ketidakpastian

bagi keberadaan diri dan lingkungannya, apalagi jika perubahan dilakukan secara

radikal. Kemapanan dan kenyamanan lingkungan kerja menjadi alasan kuat bagi

(4)

4 sebagian pihak untuk menolak perubahan organisasi (Universitas Gadjah Mada, 2013). Keengganan karyawan untuk berubah (resistance to change) sering dianggap sebagai konsekuensi standar dari proses perubahan yang diimplementasikan suatu organisasi (Kreitner & Kinicki, 2011). Keengganan untuk berubah ini pada akhirnya dapat menjadi sumber kegagalan proses perubahan. Di sisi lain, perubahan sangat diperlukan oleh organisasi dalam menghadapi isu-isu kontekstual dinamika lingkungan jika ingin bertahan dan berkembang secara berkelanjutan.

Kondisi ketidaktahuan dan ketidakpastian terhadap apa yang bakal terjadi dapat memicu munculnya fenomena yang mengejutkan dan bahkan menakutkan (surprise and fear of the unknown) bagi segenap sumber daya manusia organisasi (Greenberg,

2011). Informasi yang bersifat asimetri pada gilirannya menjadi alternatif yang menarik untuk mengisi kekosongan ruang dalam benak anggota organisasi karena kelangkaan informasi yang valid dan reliabel (Universitas Gadjah Mada, 2013).

Proses perubahan serta reaksinya perlu dipahami agar organisasi memiliki kesiapan menghadapi perubahan. Kesiapan ini tidak hanya diperlukan organisasi, tetapi juga oleh sumber daya manusianya karena sumber daya manusia merupakan aset berharga bagi suatu perguruan tinggi dan sering dianggap sebagai keunggulan kompetitif.

Untuk itu, sikap dan reaksi sumber daya manusia pada perubahan turut mempengaruhi efektivitas perubahan itu sendiri, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi organisasi.

Pada dasarnya, keengganan untuk berubah muncul sebagai respon atas suatu

kondisi ketidakpastian sebagai akibat perubahan. Semua sikap dan perilaku seseorang

(5)

5 dalam proses perubahan berakar dari proses bagaimana mempersepsikan hasil perubahan yang akan diterima dibandingkan dengan tujuan dan kebutuhan seseorang.

Cummings dan Worley (2005) menyatakan bahwa pada dasarnya keengganan untuk berubah muncul sebagai bentuk untuk mempertahankan kondisi status quo.

Perubahan akan membangkitkan kegelisahan yang sangat besar tentang meninggalkan apa yang telah mereka ketahui dan bergerak ke arah masa depan yang tidak pasti. Orang sangat mungkin menjadi tidak yakin apakah keahlian mereka dan kontribusi mereka selama ini akan bernilai di masa depan dan apakah mereka akan memperoleh manfaat dari situasi yang baru. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat ketidakpastian, semakin tidak jelas hasil perubahan yang dibayangkan, maka beragam reaksi akan muncul sebagai upaya melindungi diri dengan berbagai konsekuensi negatif yang mungkin diterima organisasi. Seseorang sebenarnya tidak semata-mata menolak perubahan, tetapi mereka menolak atas hilangnya status, manfaat, atau kenyamanan berkaitan dengan perubahan (Greenberg, 2011).

Ketakutan, harapan, dan bayangan kenyataan yang ada pada anggota organisasi

menjadi dasar sikap dan perilakunya dalam proses perubahan organisasi. Sikap

seseorang pada perubahan dan perilaku yang mengikuti sikap tersebut berasal dari

proses membandingkan hasil perubahan yang dirasa dengan nilai dan tujuan

seseorang. Tingginya ketidakpastian dalam proses perubahan dan pengharapan yang

negatif atas output perubahan dapat menyebabkan penurunan motivasi seseorang

dalam mendukung perubahan. Teori Motivasi Pengharapan Vroom atau Vroom’s

Expectancy Theory (1964) (dalam Kreitner dan Kinicki, 2011) dapat menjelaskan

(6)

6 perilaku ini. Teori pengharapan ini menyatakan bahwa motivasi merupakan fungsi kombinasi dari persepsi seseorang yang diwujudkan dalam upaya yang mengarahkan kinerjanya dan dari keinginan yang dirasa atas hasil-hasil yang diakibatkan dari kinerja. Dengan demikian jika seseorang mempersepsikan perubahan sebagai sesuatu hal yang negatif maka motivasi dan upayanya dalam implementasi perubahan pun menghasilkan kinerja yang kurang baik. Motivasi kerja yang rendah terbentuk karena pengharapan yang negatif.

Inisiatif perubahan penting bagi organisasi untuk bisa terus berkembang dan berkelanjutan di tengah dinamika lingkungan. Ironisnya, upaya perubahan sering menimbulkan tantangan yang tak terduga, dan tanggapan karyawan pada perubahan akhirnya menentukan apakah upaya perubahan berhasil atau gagal (Foster, 2010).

Memahami persepsi dan perilaku karyawan terkait reaksi pada perubahan merupakan bagian strategi organisasi dalam mengelola dan mendukung usaha karyawan pada saat menghadapi perubahan organisasional. Penelitian pengembangan dan perubahan organisasional yang berfokus pada perubahan yang terjadi pada level organisasional (makro) telah banyak diteliti. Sebagai perspektif alternatif, beberapa peneliti mulai memfokuskan penelitian pada level mikro dengan meneliti individu dalam organisasi dan faktor psikologis yang mempengaruhi upaya perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002; Judge et al. 1999; Wanberg & Bannas, 2000; dalam Cunningham, 2006). Hasil penelitian terdahulu juga menyatakan bahwa usaha dalam melakukan inisiatif perubahan organisasional dipengaruhi beberapa faktor psikologis (Herscovitch &

Meyer, 2002; Judge et al. 1999).

(7)

7 Perubahan yang terjadi dalam organisasi membutuhkan usaha adaptasi yang cukup besar dari karyawan sehingga peranan coping menjadi sangat penting untuk menghadapi proses perubahan. Coping pada perubahan terdiri dari reaksi atas perubahan dan kesediaan dalam melakukan perubahan (Judge, et al. 1999). Coping seringkali digunakan untuk menjelaskan perbedaan individual dalam merespon situasi yang dipersepsikan dapat menyebabkan stres (Judge et al. 1999). Peranan coping menjadi penting untuk menghadapi kondisi stres kerja yang diakibatkan oleh perubahan organisasional. Ketidakpastian akan kelangsungan organisasi maupun jaminan masa depan sebagai akibat perubahan status organisasi akan membuat karyawan gelisah. Situasi ini akan menimbulkan coping atau usaha-usaha untuk mereduksi kecemasan tersebut. Coping memiliki peran sentral sebagai proses penilaian kognitif individual dalam merespon upaya-upaya perubahan yang sedang berlangsung dalam konteks organisasional (Rafferty & Griffin, 2006). Organisasi diharapkan mampu mengidentifikasi reaksi dan mengelola respon karyawan sebagai bagian strategi dalam mendukung kesuksesan proses implementasi perubahan.

Beberapa studi menekankan bahwa coping pada perubahan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan fisik terhadap proses perubahan. Penelitian yang dilakukan Judge et al. (1999) menguji anteseden berupa kepribadian dan keluaran (outcome) yang terdiri dari kinerja dan kepuasan kerja terhadap coping pada perubahan.

Sedangkan Herscovitch dan Meyer (2002) menemukan bukti validitas dari tiga

komponen komitmen pada perubahan organisasional (afektif, kontinuan, dan

normatif) sebagai sebuah dukungan yang positif antara komitmen pada perubahan

(8)

8 dan beberapa perilaku yang terkait dengan dukungan perubahan. Penelitian terkait perubahan organisasional dan komitmen organisasional telah banyak dilakukan, tetapi hanya sedikit studi yang menjelaskan tentang komitmen individu pada perubahan organisasional (Foster, 2010). Penelitian ini berupaya meluaskan studi terkait coping pada perubahan dengan mempertimbangkan komitmen pada perubahan organisasional sebagai anteseden. Hal ini dilakukan karena coping pada perubahan merupakan konstruk penting yang dikaitkan dengan kesuksesan implementasi perubahan pada suatu organisasi (Judge et al., 1999). Beberapa peneliti juga mengajukan argumentasi bahwa komitmen pada perubahan merupakan faktor terpenting dalam mendukung implementasi perubahan (Armenakis & Bedeian, 1999;

Judge et al., 1999; Klein & Sorra, 1996; Kotter 1995; dalam Foster, 2010). Sehingga dapat diasumsikan bahwa bentuk coping yang digunakan karyawan dalam menghadapi perubahan organisasional akan dipengaruhi oleh profil komitmennya pada perubahan organisasional.

Studi mengenai komitmen telah banyak mengalami perkembangan. Teori

komitmen menyatakan bahwa karyawan merupakan faktor terpenting dalam

mendukung inisiatif perubahan organisasional. Herscovitch dan Meyer (2002)

mendefinisikan komitmen pada perubahan sebagai kekuatan (mindset) yang mengikat

seseorang individual pada rangkaian tindakan yang mempertimbangkan perlunya

menyukseskan implementasi dan inisiatif perubahan. Conner (1992) sebagaimana

dirujuk Jaros (2010) mengemukakan bahwa komitmen pada perubahan

mencerminkan internalisasi program perubahan, hasil akhir dari sebuah proses tiga

(9)

9 tahap yang dimulai dengan kesadaran, diikuti oleh penerimaan, dan kebutuhan akan inisiatif perubahan. Beberapa ahli berargumentasi bahwa kegagalan perubahan organisasional seringkali terjadi disebabkan oleh kesenjangan komitmen karyawan dalam mendukung perubahan. Conner dan Petterson (1982) seperti dikutip Herscovitch & Meyer (2002) berargumentasi bahwa faktor terbesar yang telah mengakibatkan proyek perubahan mengalami kegagalan adalah adanya kesenjangan komitmen individual terhadap organisasi.

Cunningham (2006) menyatakan bahwa perilaku coping pada perubahan oleh karyawan merupakan faktor yang penting ketika perubahan dilakukan. Penelitian yang dilakukan Cunningham (2006) mengenai hubungan komitmen pada perubahan dengan coping pada perubahan menemukan pengaruh komitmen pada perubahan terhadap coping pada perubahan. Penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa komitmen afektif pada perubahan berpengaruh pada coping pada perubahan. Hal senada juga ditemukan pada komitmen kontinuan pada perubahan yang juga berpengaruh pada coping pada perubahan.

Selanjutnya, Cunningham (2006) menjelaskan bahwa individu dengan komitmen afektif pada perubahan memberikan dukungan pada perubahan sebagai keinginan (desire) sehingga akan meningkatkan kemampuan coping pada perubahan.

Hal senada dikemukakan oleh Widaharthana (2012) yang melakukan penelitian

tentang pengaruh komitmen pada perubahan terhadap intensi keluar dengan coping

pada perubahan sebagai variabel pemediasi. Penelitian ini menemukan bahwa coping

(10)

10 memediasi secara penuh hubungan antara komitmen afektif pada perubahan dengan intensi keluar.

Dalam penelitian Cunningham (2006) lebih lanjut dijelaskan bahwa individu dengan komitmen kontinuan pada perubahan tidak memberikan dukungan maksimal pada perubahan karena tekanan tinggi yang dirasakan dari pilihan mengikuti perubahan atau menolak perubahan. Hal ini mengurangi kemampuan individu dalam melakukan coping pada perubahan. Namun, hal berbeda ditemukan dalam penelitian Widhahartana (2012) yang tidak menemukan pengaruh negatif yang signifikan komitmen kontinuan pada perubahan terhadap coping pada perubahan. Dalam penelitiannya, Widaharthana (2012) menduga bahwa komitmen kontinuan pada perubahan berpengaruh negatif terhadap coping pada perubahan. Namun, hipotesis tersebut tidak didukung karena hasil penelitiannya justru menemukan bahwa komitmen kontinuan pada perubahan dalam penelitiannya berpengaruh negatif tetapi secara statistik tidak signifikan terhadap coping pada perubahan.

Cunningham (2006) dalam penelitiannya tidak membangun hipotesis hubungan antara komitmen normatif dengan coping pada perubahan, tetapi langsung menghubungkan komitmen normatif pada perubahan dengan intensi keluar. Hal ini didasarkan atas pemikiran Cunningham (2006) yang mengacu pada Herscovitch &

Meyer (2002) bahwa seseorang dengan komitmen normatif pada perubahan

merasakan sense kewajiban yang melekat dalam mendukung perubahan. Individu

dengan komitmen normatif pada perubahan percaya bahwa sangat tidak

bertangungjawab jika dirinya tidak mendukung proses perubahan. Berdasar

(11)

11 konseptualisasi komitmen normatif pada perubahan tersebut, Cunningham (2006) menyatakan sangat sulit membayangkan dengan cara seperti apa komitmen normatif akan mempengaruhi perilaku coping seseorang. Namun demikian, penelitian yang dilakukan Parish et al. (2008) menemukan bahwa komitmen normatif pada perubahan berpengaruh positif pada pembelajaran individual. Ketika karyawan mempersepsikan perubahan sebagai sesuatu yang wajib dilakukan dan juga sebagai proses pembelajaran bagi individu itu sendiri maka hal ini diekspektasikan memiliki potensi hubungan positif pada persepsi individu terhadap kemampuan mereka untuk cope pada perubahan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Widaharthana (2012) yang menemukan bahwa komitmen normatif pada perubahan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan coping pada perubahan.

Mempertimbangkan hasil penelitian Parish et al. (2008) dan Widaharthana (2012) tersebut maka penelitian ini mengadaptasi model penelitian Cunningham (2006) dengan tetap menguji hubungan antara komitmen normatif pada perubahan dengan coping pada perubahan.

Berdasarkan konteks perubahan organisasional yang terjadi di UGM dan

merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Cunningham (2006), penelitian ini

bertujuan mendapatkan pemahaman mengenai pengaruh komitmen pada perubahan

organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional. Penelitian ini

diharapkan dapat membantu organisasi mengidentifikasi dan mengelola reaksi

karyawan dalam mendukung kesuksesan implementasi perubahan organisasional.

(12)

12 Fenomena lain terkait perubahan organisasional yang menarik dan layak untuk dikaji adalah perbedaan coping pada perubahan berdasar employement status (status kepegawaian). Hubungan ketenagakerjaan yang dibangun oleh suatu organisasi dapat menimbulkan persepsi positif maupun negatif dibenak pegawai, hal ini terjadi karena bentuk hubungan dan perlakuan organisasi terhadap masing-masing tipe pegawai.

Kebijakan sumber daya manusia terkait klasifikasi status kepegawaian di UGM menghadirkan fakta perbedaan besaran kompensasi, insentif maupun fasilitas yang diterima oleh pegawai.

Coping itu sendiri seringkali digunakan untuk menjelaskan perbedaan

individual dalam merespon situasi yang dipersepsikan dapat menyebabkan stres

terkait perubahan organisasional (Judge et al. 1999). Dengan demikian dapat

diasumsikan bahwa reaksi pegawai terhadap perubahan sangat dipengaruhi oleh

persepsi pegawai atas perlakuan yang mereka terima dari organisasi. Penelitian

Feldman & Brett (1983) menghasilkan bukti perbedaan coping dalam menghadapi

pekerjaan baru antara pegawai baru dengan pegawai yang beralih tugas. Merujuk

berbagai penelitian terdahulu tersebut, penelitian ini juga bertujuan mengkaji

perbedaan coping dari perspektif status kepegawaian. Dengan memahami perbedaan

tersebut maka organisasi diharapkan mampu mengidentifikasi dan mengelola reaksi

pegawai dalam menghadapi perubahan organisasional yang terjadi dalam organisasi

sehingga kesuksesan proses implementasi perubahan dapat dicapai sesuai dengan

tujuan yang diinginkan organisasi.

(13)

13 1.2. Perumusan Masalah

Perubahan organisasional yang terjadi di UGM memicu munculnya kekhawatiran bagi segenap sumber daya manusia organisasi akibat kondisi ketidaktahuan dan ketidakpastian terhadap apa yang bakal terjadi. Padahal upaya perubahan membutuhkan dukungan karyawan agar implementasi perubahan dapat berhasil dengan baik. Untuk itu, penting bagi organisasi memahami persepsi dan perilaku karyawan terkait reaksi pada perubahan organisasional. Penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai respon karyawan pada perubahan organisasional. Penelitian ini diharapkan membantu UGM dalam memahami reaksi karyawan atas perubahan sebagai bagian strategi organisasi dalam mengelola dan mendukung usaha karyawan menghadapi perubahan organisasional.

Penelitian ini merupakan adaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Cunningham (2006). Penelitian ini memfokuskan pada pengaruh komitmen pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional.

Cunningham (2006) dalam penelitiannya tidak melakukan uji hubungan antara

komitmen normatif pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan

organisasional. Namun demikian, dalam penelitian ini hubungan antara komitmen

normatif pada perubahan organisasional dengan coping pada perubahan

organisasional akan diuji. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu

yang menemukan bahwa komitmen normatif pada perubahan organisasional

(14)

14 berpengaruh positif pada pembelajaran individual dan coping pada perubahan organisasional (Parish et al. 2008; Widaharthana, 2012).

Terkait dengan fenomena perbedaan perlakuan yang diterima Tenaga Kependidikan UGM sebagai implikasi hubungan ketenagakerjaan yang dibangun oleh organisasi, maka penelitian ini juga berupaya menguji perbedaan coping pada perubahan organisasional berdasar status kepegawaian yang berbeda. Pemahaman terhadap reaksi pegawai atas perubahan organisasional pada masing-masing status diharapkan dapat membantu organisasi merumuskan strategi pengelolaan sumber daya manusia yang mampu mendukung kesuksesan implementasi perubahan organisasional.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada rumusan masalah, maka penulis mengidentifikasi pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah komitmen afektif pada perubahan organisasional berpengaruh positif terhadap coping pada perubahan organisasional?

2. Apakah komitmen kontinuan pada perubahan organisasional berpengaruh negatif terhadap coping pada perubahan organisasional?

3. Apakah komitmen normatif pada perubahan organisasional berpengaruh positif terhadap coping pada perubahan organisasional?

4. Apakah terdapat perbedaan coping pada perubahan organisasional

berdasarkan status kepegawaian karyawan organisasional?

(15)

15 1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. menguji pengaruh komitmen afektif pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional,

2. menguji pengaruh komitmen kontinuan pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional,

3. menguji pengaruh komitmen normatif pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional,

4. menguji perbedaan coping pada perubahan organisasional berdasarkan status kepegawaian.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan referensi dan masukan bagi Universitas Gadjah Mada untuk mengembangkan kebijakan terkait pengaruh komitmen pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional.

2. Memberikan kontribusi positif bagi pengembangan manajemen sumber daya manusia dalam suatu organisasi khususnya dalam menganalisis pengaruh komitmen pada perubahan organisasional terhadap coping pada perubahan organisasional.

3. Menambah referensi bagi penelitian berikutnya dan menambah khasanah

ilmu pengetahuan.

(16)

16 1.6. Sistematika penulisan

Bab I: Pendahuluan

Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis

Landasan teori dan pengembangan hipotesis berisi teori-teori yang relevan dan hasil penelitian terdahulu terkait topik penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Metode penelitian berisi penjelasan desain penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, uji instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV: Analisis Data

Analisis data berisi penjelasan hasil penelitian yang meliputi statistik deskriptif dan pengujian hipotesis

BAB V: Simpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan penelitian, saran, dan implikasi dari

penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Teknik angket digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi tentang proses belajar mengajar dengan menggunakan teknik pembelajaran guided reading dari siswa kelas

Di tulisan yang sama saya juga sudah bahas satu contoh kasus penerapan Metode Persentase Penyelesaian kontrak bertahap sesuai dengan PSAK 34—dimana pengakuan pendapatan dan

Dari data di atas maka dapat diketahui bahwa efisiensi rata-rata penggunaan bahan bakar premium yang paling maksimal adalah ketika menggunakan manifold 4 dan dengan penambahan

Panduan ini dibuat untuk dapat digunakan oleh seluruh civitas akademika Unimma terutama para dosen dalam melaksanakan kegiatan penelitian tahun akademik 2020/2021 dengan

Kajian yang bertajuk 'Amalan Kepimpinan Instruksional Pengetua di Sekolah Menengah Daerah Penampang, Sabah' merupakan satu kajian deskriptif kuantitatif untuk

Schwepker (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat pengaruh positif antara iklim etika dengan komitmen organisasi karyawan namun sebaliknya, dari hasil penelitian

Akan tetapi berhubung tidak didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup banyak dan bervariasi, maka kemudian Indonesia mengambil peranan ini untuk membuat

Selanjutnya dalam penelitian Rismawan (2014) dalam penelitiannya juga menemukan komitmen organisasional berpengaruh negatif pada turnover intention karyawan yang