• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Ini Baru Permulaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Ini Baru Permulaan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Lombok-Indonesia, 6 April 2005

Bulan madu kami sangatlah indah. Setelah sempat ke Pulau Bali-Indonesia selama dua hari, kami sepenuhnya berbulan madu di Pulau Lombok-Indonesia. Walaupun pernah terjadi insiden bom di Bali tiga tahun yang lalu (tahun 2002) dan sempat membuat heboh dunia, tidak memupuskan keinginan Kee-an untuk pergi ke sana. Dia masih penasaran dengan Pulau Bali sesuai rekomendasi Ronan Keating. Untunglah tidak terjadi apa- apa dan kami sangat menikmati berada di sana, khususnya Kee- an. Dia terlihat sangat puas karena akhirnya dia sampai juga di sana. Bali sudah kembali tenang dan mendapat kepercayaan dari seluruh dunia sebagai tempat wisata yang paling diminati di Asia.

“Keav…”

“Yea?” Aku berada di pelukan Kee-an dengan kepala berada di dadanya dan dia membelai tubuhku.

“Kamu bahagia?”

Keavy “Apa harus aku jawab? Kamu tahu, aku pasti bahagia selama sama kamu,” sahutku dengan memainkan cincinku yang masih menggantung di lehernya sebagai liontin di kalungnya.

Kee-an tertawa kecil, “Iya, aku tahu. Cuma mastiin,” kemudian mengecup kepalaku.

Aku tersenyum tipis.

“Kee, kamu sudah lihat bagaimana masa depan kita?”

“Masa depan kita?”

Aku mengangguk.

“Ini masa depan kita, Keav. Kita menikah, hanya kamu dan aku.

Kita hidup bahagia untuk selamanya, dan tentunya Westlife. Tapi kalau Westlife sudah bubar aku pasti akan coba untuk solo karir, tapi itu juga kalau masih ada orang yang mau denger suaraku,”

dengan tertawa geli sendiri.

Aku ikut tertawa geli.

“Dan aku juga ingin membuka pub yang bagus di Sligo, jadi kita bisa menghabiskan waktu kita di sana, ya, khan?”

(2)

Aku mengangguk setuju.

“Kalau kamu? Kamu pasti mau nerusin sekolahmu, ya kan?”

“Belum tahu, Kee. Tapi aku pengen kembali menari, dan membuka sebuah sekolah tari. Kamu nggak keberatan kan, kalau aku kembali menari?”

Kee-an menggeleng pasti, “Nggaklah, kamu sangat mencintai tari, nggak mungkin aku melarangnya. Dan membuka sekolah tari, ide yang bagus juga. Hebat.”

“Terima kasih, Kee,” aku memeluknya erat, dan dia mengecupku.

“Terus gimana soal anak? Kamu pengen punya anak berapa?

Dua, tiga, atau mungkin, tujuh, kayak mamamu?” untuk pertama kalinya kita menyinggung soal anak.

Seketika pegangan tangannya terlepas, ”Wait, tunggu dulu, kamu bilang anak?”

“Iya, anak kita. Berapa, Kee? Tapi menurutku, tiga sud_”

“Wowow, siapa bilang kita akan punya anak?” potongnya langsung, terlihat sekali penolakannya.

Aku tercekat, mengerti maksud ucapannya.

“Kamu nggak mau punya anak, Kee? Anak kamu, anak kita?”

rasa kecewa mulai menyergapku.

“Nggak,” jawab Kee-an pasti.

“Apa?” aku tak percaya. Aku bangun dari atas dadanya. “Terus untuk apa kita menikah? Bukannya kamu memang sudah siap membina keluarga, yang berarti memiliki anak? Kamu menikahiku karena kamu memang siap membentuk keluarga denganku, kan?”

“Membentuk sebuah keluarga bukan berarti memiliki anak, ya kan? Kamu dan aku, kita menikah, sama dengan keluarga,” Kee- an bersikukuh.

“Bukan!” protesku tidak terima. “Kamu dan aku menikah sama dengan suami istri. Keluarga itu; ayah, ibu dan anak-anak, itu yang namanya keluarga, bukan cuma suami dan istri,” aku menjelaskan dengan berusaha menahan emosiku.

Kee-an terdiam sesaat,

“Aku nggak bisa,” ucapnya mengagetkanku.

“Apa maksud kamu nggak bisa?” aku tak mengerti. “Apa kamu bilang, kalau kamu nggak bisa punya anak denganku?” tebakku.

(3)

“Iya.”

“Kamu nggak bisa, atau kamu yang nggak mau?” aku masih berusaha meminta kepastian Kee-an dari ucapannya.

“Aku nggak mau.”

”Hah!?” aku terbelalak tak percaya

“Ya, aku nggak mau punya anak,” Kee-an memperjelas jawabannya.

“Astaga!” aku masih tak bisa mempercayainya.

“Keav, ini bukan karena kamu. Aku hanya nggak siap untuk punya anak. Aku nggak siap untuk itu.” sahut Kee-an cepat.

Aku terdiam dan masih tidak mengerti.

“Keavy, aku capek dengan anak kecil. Hampir seluruh hidupku dikelilingi anak kecil. Kamu tahu sendiri rumahku nggak pernah sepi dari mereka. Adik-adikku, keponakanku, sepupuku, semuanya kumpul di rumahku. Aku capek dengan suara mereka, tangisan mereka, rengekan mereka, teriakan mereka yang selalu meminta perhatian, yang juga sering mengacaukan rumah seperti kapal pecah dengan mainan mereka.”

Terbayangkan kembali suasana rumah Kee-an yang memang selalu berisik dengan suara anak kecil, khususnya Colm, adik bungsunya. “Tapi mereka anak kecil yang lucu-lucu. Makanya disebut anak kecil. Mereka selalu memberantakin rumah. Kan seru!”

“Seru?” Kee-an sedikit mengejek. “Kamu nggak pernah punya adik kecil, atau sepupu yang masih bayi,… dikelilingi anak kecil.

Kamu nggak tahu gimana rasanya, Keav!” emosi Kee-an mulai naik.

Melihat emosi Kee-an yang mulai naik, aku merasa aku yang harus menurunkan emosiku,

“Kamu bener, Kee. Aku nggak punya adik seperti kamu, aku nggak pernah dikelilingi anak-anak kecil, Karena itu aku menginginkannya. Aku pengen merasakan gimana rasanya dikeliling mereka.” sahutku lirih dan dingin.

Hatiku terasa perih, belum-belum kami sudah bertengkar di saat kami masih dalam masa bulan madu, hanya karena masalah anak.

“Keav, apa yang aku lihat di masa depan kita adalah hanya kita berdua, kamu dan aku, tanpa anak,” Kee-an melembutkan

(4)

suaranya.

“Tapi aku pengen punya anak, Kee. Aku ingin punya anak dari kamu,” sahutku lirih dan perih. “Dan kamu juga tahu, orang tuaku sangat menunggu kehadiran cucu. Mereka ingin dikelilingi cucu- cucu mereka. Gerry dan Andrea belum bisa memberikannya, jadi mereka mengharapkannya dariku. Mungkin orang tuamu tidak begitu menunggu, karena mereka sudah punya banyak, tapi tidak dengan orang tuaku,” aku menjelaskan, meminta pengertian Kee- an.

Kee-an terdiam kebingungan. Tapi hatinya masih dingin.

“Mungkin seharusnya kita sudah membicarakan ini sebelum kita menikah,” lanjutku penuh kekecewaan

Air mataku mulai menetes.

Kee-an tercekat, “Maksudmu?” suaranya berubah ketakutan.

“Kamu menyesalkan pernikahan ini, hanya karena aku nggak mau punya anak?”

“Mungkin,” jawabku lirih. “Aku bisa nunggu kamu, sampai kamu siap. Mungkin memang kita terlalu cepat menikah.”

“Nggak, kita nggak terlalu cepat. Oh, Keavy… tolong jangan menyesal. Tolong, jangan ada perasaan menyesal kamu menikah denganku,” Kee-an memohon, mengusap air mataku dengan lembut. “Jangan nangis, dong.”

Aku masih terdiam.

“Ok, maafkan aku, aku terlalu egois.”

“Ya, kamu memang egois, Kee.”

“Baiklah, kita akan punya anak. Kita akan bikin anak banyak,”

Kee-an mengalah.

“Bener?” aku tak percaya, Kee-an begitu saja mengalah. “Oh, tolong deh, Kee. Sekarang aku yang nggak bisa punya anak dari laki-laki yang nggak bener-bener mau.”

“Nggak, tentu saja nggak. Aku berubah pikiran, sekali lagi kamu bikin aku berubah pikiran. Sekarang aku ingin sekali punya anak dari kamu.”

Aku masih tak percaya, tapi Kee-an mengangguk memastikan.

“Tapi tolong, jangan sekarang, tunggu sampai tahun depan, ya?” Kee-an memohon peringanan.

(5)

Aku kembali kecewa, Kee-an memang tidak siap memiliki anak,

“Kenapa? Kamu bener-bener nggak mau punya anak, ya kan?”

“Bukan. Aku bener-bener menginginkannya, Keav, tapi lihat kamu sekarang, kuliahmu belum selesai. Begitu kita pulang dari sini, kamu pasti langsung mempersiapkan ujianmu akhirmu.

Kamu pasti disibukkan dengan belajarmu, dengan buku-bukumu.

Bagaimana kalau saat itu kamu hamil? belajarmu pasti sangat terganggu. Masa-masa hamil bukanlah hal yang mengenakkan, sementara kamu harus konsentrasi dengan ujianmu. Kamu nggak mau kan, ujianmu terganggu apalagi sampai gagal? Kalaupun, misalnya, dia lahir sebelum kamu lulus, kamu akan kerepotan dengan mengurusnya juga dengan kuliahmu, ya kan?”

“Kamu nggak mau menggantikanku menjaga dia, selama aku kuliah?”

“Ya pastilah aku mau gantiin kamu menjaganya, dia kan anakku juga, tapi bukankah lebih baik perhatian dari seorang mama yang lebih utama. Konsentrasi kamu akan terbagi dua. Kamu nggak mau kan, bayi kita kehilangan perhatian dari mamanya Karena dia sibuk dengan sekolahnya?”

Aku terdiam, mencerna ucapan Kee-an. Dia sudah memikirkannya sejauh itu? Tapi untuk kali ini, memang alasannya masuk akal. Aku membenarkan semua ucapan Kee-an.

“Jadi...?”

“Kita tunda sampai kamu lulus dulu, baru kita punya anak.”

Aku terdiam, memikirkannya.

“Gimana?”

“Tapi kamu bener kan, ingin punya anak? Kita akan memiliki anak?” aku memastikan.

Kee-an mengangguk, “Tentu kita akan punya anak, … setelah kamu lulus. Tahu depan kita akan menggendong seorang bayi yang lucu, bayi kita,” Kee-an berjanji dengan menatapku.

Aku tersenyum lebar dengan mengangguk, “Baiklah, kita akan memilikinya tahun depan. Aku selesaikan kuliahku dulu yang juga berarti memberi waktu untukumu untuk siap, iya kan?”

Kee-an mengangguk, tersenyum mengakuinya.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Itulah Kee-an.

“Deal?” Kee-an minta kepastian.

(6)

“Deal,” jawabku pasti.

Langsung kupeluk Kee-an dengan penuh bahagia, “Makasih, Kee, makasih banyak.”

Kee-an memelukku dengan erat dan mesra,

“Maafkan aku, Keav, aku sudah bikin kamu nangis… lagi, di bulan madu kita,” sesal Kee-an.

Aku tersenyum tipis, “Kamu selalu bikin aku nangis, Kee, tapi nggak pa-pa, aku suka kok.”

“Kamu suka kalau aku bikin kamu nangis?” Kee-an tak percaya.

“Sedikit…”

Kee-an tertawa seraya menarikku ke pelukannya.

“Berapa lama kita menikah, Keav?”

Aku berpikir sesaat, “6 hari, 3 jam, 30 menit, dan 15 detik.”

Kee-an tertawa mendengarnya dan mempererat pelukannya

“Maafkan aku, Keav. Maaf selalu bikin kamu nangis. Tapi kamu tahu kan, kalau aku sangat mencintai kamu?” kemudian menciumku dengan mesra.

“Oh yeah, aku sangat tahu itu,” sahutku pasti. “Dan aku juga cinta kamu. Cinta mati sama kamu.”

Kee-an mulai mencumbuiku, dan ‘pesta’ pun dimulai

………

***

Sepulangnya berbulan madu, kami langsung memberitahukan kedua orang tua kami tentang penundaan kami untuk memiliki anak, agar mereka tidak terlalu menunggu dan mengharapkannya, khususnya orang tuaku. Untunglah orang tuaku mengerti dan memang tidak ada masalah bagi orang tua Kee-an. Mama sempat kecewa, tapi papa justru mendukungku dengan rencana kami. Papa memang ingin aku konsentrasi dan menyelesaikan kuliahku dulu. Syukurlah tidak ada masalah atas rencana kami berdua dan itu cukup melegakan Kee-an.

Sekali lagi Kee-an benar. Setelah kami pulang berbulan madu, aku langsung menyusun untuk ujian akhirku nanti. Dan Karena kami masih sering berada di Dublin, aku dengan sekolahku dan Kee-an yang juga mulai disibukkan dengan bandnya yang

(7)

menyusun materi untuk album kelima mereka, membuat kami belum bisa menempati rumah baru kami yang sudah siap huni.

Kami berdua masih tinggal di apartemen Kee-an. Keadaan kembali seperti dahulu, sebelum kami menikah. Bahkan kamar tamu yang menjadi kamarku masih tidak berubah, dan kini menjadi ruang belajarku. Terkadang, jika aku sudah terlalu lelah belajar, dan tak sempat untuk pindah kamar, aku tidur di sana dan Kee-an akan menyusulku, juga tidur di sana, menemaniku.

Untunglah Kee-an sangat pengertian.

Bulan Mei

Sementara aku sibuk dengan persiapan ujianku, Kee-an pergi bersama Westlife mengadakan ‘Unbreakable: Greatest Hits Asia-Afrika Tour selama sebulan penuh. Tour Asia yang tertunda setelah Kee-an kecelakaan yang membuat jadwal tour harus dibatalkan semua dan baru dimulai lagi bulan September kemarin untuk tour Eropa, dan dilanjutkan bulan ini untuk tour Asia-Afrika.

Mereka tidak ingin mengecewakan penggemar. Yah, memang tidak enak menikah dengan seorang anggota grup vokal yang sangat terkenal karena harus ditinggal untuk acara konser mereka. Tapi tidak apa-apa, aku sudah sangat terbiasa.

Gillian and Shane memutuskan untuk melangsungkan pernikahan mereka pada tanggal 28 Agustus ini di Ballintumber Abbey. Dan akan menjadi hari penuh untuk para penggemar, karena mereka akan membebaskan para penggemar datang dan mengambil gambar pernikahan mereka. Shane telah meminta Kee-an untuk menjadi pendampingnya. Wow, suatu kehormatan untuk Kee-an. Dia tidak pernah mengharapkan untuk diminta menjadi pendamping, karena tahu, Shane masih sedikit gondok dengan sikap penentangan Kee-an atas hubungannya dengan Gillian, yang notabene sepupu tersayangnya. Kee-an belum merelakan Gillian bersama Shane sebelum Shane membuktikan dia benar-benar mencintainya. Tapi sekarang sudah tidak lagi.

Shane sudah membuktikannya, dan meyakinkan Kee-an bahwa sepupunya berada di pria yang tepat untuk hidupnya. Dan mereka akan segera menikah.

(8)

Bulan Juni

Sepulangnya dari keliling Asia-Afrika selama sebulan penuh, mereka langsung memulai lagi persiapan, pengumpulan materi untuk album kelima mereka, sebagai bukti, bahwa Westlife tidak akan berhenti sampai album Greatest Hits kemarin. Westlife akan jalan terus, menumbangkan perkiraan orang-orang tentang kebuburan mereka.

Meski Kee-an disibukkan dengan persiapan albumnya dan aku dengan ujianku, kami tidak melewatkan saat-saat penting bagi kami berdua. Bulan Juni adalah bulan istimewa kami, selain bulan April (bulan kita lahir dan kami menikah). Hari hari Kee-an melamarku, tanggal 9; hari kita ‘jadian’, tanggal 16 (bahkan kami merayakannya di Florida saat kami liburan di sana 4 hari); dan hari saat Kee-an bangun dari dua bulan komanya, tanggal 22. Ya Tuhan, sudah 2 tahun berlalu sejak Kee-an kecelakaan dan hampir merenggut nyawanya. Aku hampir kehilangan dia. Seperti baru kemarin terjadi. Untunglah dia masih bisa diselamatkan, walaupun harus menunggu dua bulan lamanya tanpa kepastian dia akan sadar dari komanya. Kalau tidak, tidak mungkin sekarang Kee-an dalam keadaan sehat, walau masih harus kontrol ke rumah sakit untuk perkembangan tulang belakangnya (pen di punggungnya belum dilepas), dan kini aku sepenuhnya memiliki Kee-an dan menjadi istrinya.

Mengingat kecelakaan itu, tentu saja tidak bisa melupakan Jessica, yang sempat masuk di kehidupan Kee-an dan hampir menikahinya. Di mana Jessica sekarang? Dia tidak menghadiri acara pernikahan kami. Tentu kami sangat ingin mengundangnya, tapi bagaimana kami menghubunginya, sementara kami tidak tahu di mana dia berada. Tapi dia mengirimkan ucapan selamat melalui selembar kartu disertai rangkaian bunga. Mungkin juga hatinya tidak berkenan menghadiri pernikahan kami. Aku tahu dia masih mencintai Kee- an.

‘Maafkan aku, Jess, jika pernikahanku ini menyakitkanmu. Tapi kamu melepaskan dia untukku, kamu kembalikan dia padaku. Dan akan kupertahankan untuk selamanya menjadi milikku.’

(9)

Tuhan, aku sangat mencintainya, jangan pisahkan kami kembali.

***

Bulan Juli

Aku berada di perpustakaan, mencari bahan untuk makalah dan presentasi ujianku, dan aku sudah berada di sini sejak tadi pagi. Tidak ada janji apa-apa dengan Kee-an, dan dia tahu aku akan menghabiskan waktu di sini, jadi tidak akan ada keributan karena aku lupa waktu, hingga melupakan janji bertemu dengan Kee-an dan membuatnya marah (ingat pertengkaran dulu?).

Buku-buku tebal tersebar di atas meja dan terkadang membuatku pusing sendiri. Mataku sering berkunang-kunang dan perutku terasa mual, karena terlalu banyak membaca (aku suka membaca tapi tidak dengan terpaksa begini, dan dikejar waktu).

Oleh karena itu aku tidak terlalu menganggap serius saat kepalaku pusing dengan perut mual nggak karuan seperti saat ini, mengingat aku sudah bergelut dengan buku-buku ini selama lebih dari 12 jam hari ini. Sampai aku harus memuntahkannya pun, aku masih tidak menganggapnya serius. Aku sering begini. Tapi aku tidak tahan lagi. Aku benar-benar tidak enak badan.

Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Mungkin aku sudah terlalu lama di sini, dan butuh istirahat. Aku perlu berbaring di tempat tidur yang nyaman, dan kalau bisa ada Kee-an di sisiku.

Kubereskan buku-bukuku dan segera pulang.

Sesampainya di apartemen, aku langsung rebahan di tempat tidur. Sumpah, badanku sakit semua, tidak seperti biasanya. Parahnya Kee-an belum pulang. Tiba-tiba ingin rasanya menangis, ‘Di mana kamu, Kee? Aku butuh kamu!’

“Cinta…, sayang, aku pulang!” suara Kee-an terdengar dari luar kamar mengagetkanku.

Aku tercekat, ‘Astaga, panjang umur!’ Dengan berbinar aku segera bangkit dari tidurku.

“Ah, ternyata kamu di sana,” Kee-an tersenyum manis di pintu kamar. Dia telah lebih dulu masuk ke kamar, sebelum aku menyambutnya keluar.

(10)

Kee-an langsung memelukku dan menciumku dengan mesra.

Pusing dan mualku sedikit terobati.

“Gimana kamu hari ini?” tanyaku manja.

“Dan gimana buku-bukumu?” balasnya nakal.

Aku hanya cemberut. Akhir-akhir ini dia memang menggodaku dengan itu, karena aku lebih sering bersama buku daripada bersamanya.

“Hey, kamu kok kelihatan pucat, kamu nggak pa-pa?” Kee-an membaca pucat di wajahku.

“Yeah, aku nggak pa-pa. Cuma sedikit pusing dan mual, tapi nggak pa-pa, sudah biasa,” elakku.

Tiba-tiba aku merasa ingin muntah lagi dan tak dapat kutahan lagi, aku langsung lari ke kamar mandi tanpa mempedulikannya.

Sekali lagi aku muntah. Ini sudah yang keempat kalinya hari ini!

“Say, kamu nggak pa-pa?” Kee-an di sampingku yang terlihat khawatir.

“Iya, aku nggak pa-pa.”

“Kamu kecapean, Keav. Ini sudah jelas, buku-bukumu itu yang bikin kamu pusing tujuh keliling. Ya sudah, pokoknya besok kamu tidak boleh ke mana-mana,” putusnya.

“Tapi Kee-an…”

“Nggak ada tapi-tapian. Aku akan nungguin kamu. Besok, nggak ada buku juga nggak diktat-diktat. Kamu harus pikirkan diri kamu sendiri. Kamu butuh istirahat dan santai sebentar, ok?” Kee- an memaksa.

Aku mengangguk mengalah, “Ok.”

“Gitu, dong. Agak mendingan?”

Aku mengangguk.

“Nah, sekarang kamu harus tidur. Jangan pikirkan bukumu, ya?”

seraya memeluk dan menggiringku ke tempat tidur dan aku hanya bisa menurutinya. Badanku lemas semua.

Malam ini aku tidur nyaman sekali, berada di pelukan Kee-an yang hangat. Itu cukup membuatku sedikit meregangkan otot-ototku yang kaku, dan kepalaku yang penuh dengan huruf- huruf perancis. Kuharap esok pagi mual dan pusingku hilang, jadi

(11)

aku bisa kembali mencari bahan untuk ujian. ‘Ups, kata Kee-an, tidak boleh ada buku sama diktat besok.’

Keesokan harinya keadaanku sudah agak lebih baik dan sesuai janji Kee-an, dia tidak pergi ke mana-mana, menemaniku, juga mengawasiku kalau-kalau aku pegang buku lagi.

Dia sangat memperhatikanku. Dia berusaha membuatku nyaman, dan santai dengan melayaniku.

Aku melihat Kee-an kebingungan setelah menerima telepon dari seseorang.

“Simon. Dia mau ketemu aku sekarang,” ucap Kee-an ragu padaku. “Tapi aku nggak akan pergi sebelum kamu baikan.”

“Kamu ngomong apa, sih, Kee? Itu Simon Cowell, produser kamu, kamu harus menemuinya. Aku nggak apa-apa. Jangan khawatirin aku. Jangan perlakukan aku kayak bayi, Kee.”

“Tapi kamu memang bayiku,” sahutnya dan menciumku.

“Aku pengen kamu menemuinya.!” perintahku. “Aaa, nggak ada tapi,” potongku cepat, melihat Kee-an mau membatah.

Akhirnya Kee-an mengalah, “Ok, aku akan pergi. Tapi aku janji, aku akan pulang sebelum jam 7.”

“Terserah. Sekarang pergi, Kee. Dia sudah menunggu kamu.”

“Ok, love you.” Kemudian segera pergi menemui panggilan produsernya.

Setelah Kee-an pergi, rasa mualku datang lagi. Aku tidak tahan lagi, dan langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya lagi. Aku semakin kesal jadinya. ‘Apa aku akan datang bulan, sampai harus repot begini?’

‘Hey tanggal berapa sekarang? Kenapa aku belum datang bulan juga. Ini sudah hampir terlambat sebulan. Tapi aku pernah seperti ini sebelumnya; pusing, mual, terlambat ‘datang’…

‘Oh no, not again!’

Dengan sedikit panik aku mencari alat pengetes kehamilan di laci toilet yang sedikit tersembunyi, yang tanpa sepengetahuan Kee- an, aku membelinya banyak untuk jaga-jaga.

Aku segera mengetes urinku (Ini bukan yang pertama kalinya).

(12)

Dengan hati-berdebar-debar dan penuh harap bahwa dugaanku salah, aku menunggu hasil tes tersebut. Ya Tuhan, mudah- mudahan bukan. Kuharap hasilnya negatif seperti yang lalu-lalu.

Kakiku langsung lemas semua, begitu melihat hasilnya.

“Ya Tuhan!” aku hampir tak mempercayainya. Tanda positif terlihat jelas dan pasti di alat tes tersebut. “Aku positif! Akhirnya kejadian juga.”

Aku meraba perutku dengan masih tak percaya. Aku tidak tahu haruskah aku bahagia atau sedih dengan kehamilanku ini. Aku terduduk lemas di lantai kamar mandi dengan kebingungan. Ini bukan berita bagus untuk Kee-an. Kita sudah sepakat untuk menundanya sampai aku lulus dulu, karena itulah kami selalu berhati-hati dan selalu memakai pelindung, tapi.

“Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku bilang padanya?”

aku benar-benar bingung. “Tentu saja aku harus mengatakannya, ini bayinya. Dia ayahnya. Tapi bagaimana kalau dia tidak menginginkannya, lalu menolaknya … dan meminta untuk aborsi?” aku semakin ketakutan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi yang pertama dia harus tahu. Kee-an harus tahu aku mengandung anaknya.

Dengan tidak sabar aku menunggu kepulangan Kee-an. Yang akhirnya setelah dia pulang, justru semakin membuatku takut.

“Ada apa sayang? Kamu masih kelihatan pucat? Kamu mau kita ke dokter?”

“Nggak, aku nggak butuh ke dokter!” tolakku langsung panik.

Kee-an terheran, “Hey, ada apa? Kamu nggak pa-pa?”

“Nggak, aku nggak baik-baik saja,” aku tidak bisa menutupi kegugupan dan ketakutanku.

“Keav…?”

“Kee… janji, kamu nggak akan marah,” pohonku dengan sangat.

Kee-an semakin terheran dan tak mengerti, tapi kemudian mengangguk berjanji.

Dengan gugup, aku menunjukkan hasil tes itu pada Kee-an.

Kee-an menerima dan melihatnya dengan seksama. Dia terlihat mengerti,

(13)

“Kamu…?” tanya Kee-an hati-hati.

Aku hanya mengangguk, dan tinggal menunggu penolakan Kee- an.

“Tapi bagaimana bisa? Kita kan, selalu pakai itu, ya kan? Kamu juga minum obatnya, kan?” Kee-an meragukanku.

“Pastilah, aku meminumnya. Tapi tetap nggak berhasil.”

Kee-an terdiam, “Kamu sudah ke dokter, untuk memastikannya?”

“Belum. Tapi hasil tes pack menunjukkan tanda positif, yang artinya_”

“Aku tahu apa artinya!” potong Kee-an cepat. “Tapi kan bisa saja salah!”

“Kamu mau aku memeriksanya lagi?”

Kee-an mengangguk pasti.

Kami langsung ke kamar mandi.

“Kamu punya banyak?” Kee-an terbelalak melihat aku menyimpan banyak alat tes di lemari.

“Yeah. Setiap bulan, kalau aku telat, aku selalu memeriksanya,”

jawabku jujur.

“Tapi kamu nggak pernah kasih tahu aku,” protes Kee-an tidak terima.

“Oh, harus? Terus bikin kamu marah kayak gini!?” balasku sengit.

Kee-an langsung terdiam.

Aku tak mempedulikannya dan mulai mengetes urinku sekali lagi.

Dengan berdebar-debar kami menunggunya. Lima menit kemudian hasil tersebut tetap menunjukkan hasil yang sama.

Tanda positif berwarna biru terlihat jelas dan pasti. Mau tidak mau Kee-an harus mempercayainya.

“Tetap positif. Aku bener-bener hamil.”

Kee-an terpekur kebingungan.

“Kita akan punya bayi, Kee. Kamu akan jadi ayah.”

“Nggak bisa!” tolak Kee-an mentah-mentah.

Aku tersinggung dengan penolakannya.

(14)

“Keav, kita kan udah sepakat, ingat?” Kee-an langsung melembutkan suaranya.

“Aku tahu! Karena itu aku panik sekali waktu tahu aku hamil.

Kamu pikir, aku nggak takut dan stres, apa, setiap aku terlambat bulan dan memeriksanya? Dua kali aku terlambat, dan negatif. Ini yang ketiga, dan aku berharap tetap negatif. Tapi ternyata tidak.

Tanda positif itu sangat jelas. Sekarang aku ketakutan setengah mati dan panik, and panik Karena aku yakin kamu akan nggak mau menerimanya, iya kan?”

“Kamu mengira aku tidak akan menerimanya?” Kee-an berbalik tanya.

Aku berkerut terheran, “Jadi…?”

“Kira-kira berapa umurnya?”

“Aku nggak tahu.”

“Apa masih sempat untuk menggugurkannya?” tanpa beban.

“Kee-an!!” aku terbelalak tak percaya.

“Hey, kita sudah sepakat,” protesnya mengingatkanku.

“Tapi ini anak kamu, Kee!”

“Aku tahu! Tapi aku tetep nggak bisa menerima bayi ini sekarang. Nggak bisa.”

Aku langsung terduduk menangis tak percaya, Kee-an memang tidak menginginkannya. “Teganya, kamu, Kee!”

“Oh, Keav, tolong dong, kamu harus mengerti aku_”

“Nggak, aku nggak bisa ngerti. Gimana aku bisa ngerti, kalau kamu menolak bayi kamu sendiri. Ya Tuhan, aku bener-bener nggak percaya!” aku penuh emosi dan langsung masuk ke ruang belajarku.

Di dalam ruang belajarku, aku menangis tak karuan.

Marah, kesal dan kecewa. Aku masih belum mempercayainya, Kee-an menolak bayinya ini dan ingin aku menggugurkannya? Bila aku menggugurkannya aku akan sangat berdosa. Tanpa alasan yang tepat dan terpaksa, menggugurkan kandungan merupakan dosa besar. Tapi aku tahu, Kee-an belum siap menerimanya, dan tidak akan menerimanya. ‘Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?’

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!.. 2) Sebelum mengerjakan latihan ini, pelajari terlebih dulu sub bab yang

Sedangkan berdasarkan periode pasang surut, diperoleh rata-rata tertinggi dari jumlah pari manta yang muncul yaitu pada saat pasang sebanyak 6,5 ekor setiap kali penyelaman.

Namun masih kurang diketahui faktor apa yang menyebabkan pengemis tersebut berhenti dari pekerjaannya, tetapi masalah pengemis di Dusun Sucen bisa menjadi gambaran bahwa

1) Keterlambatan terbitnya Rencana Kinerja Arsip Nasional Republik Indonesia yang merupakan standar/dasar formal dalam menentukan pembiayaan dan pembentukan tim kerja.

Allah*}*, maka ditakwilkan bahwa yang berada di langit itu adalah kckuasaan, kerajaan, atau perintah-Nya, karena kcmustahilan tempat dan posisi bagi. Dia, Yang Mahasuci

 Jika Opsi Use default gateway on remote network kita aktifkan maka apabila Client ini sudah terkoneksi ke VPN Server maka selanjutnya Gateway yang di gunakan bukan lagi gateway dari

Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian  pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang. ditetapkan dalam perjanjian

Dari hasil statistik interaksi kedua perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman umur 4, 5, dan 6 mst, jumlah daun umur 3 mst, tetapi tidak berpengaruh