PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA (STUDI KASUS PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS WILAYAH DKI
JAKARTA TANGGAL 24 AGUSTUS 2009 NOMOR:
03/PTS/MPW.JKT/V/2009)
TESIS
MARIA MAGDALENA TRITUNGGA DEWI 1006738380
FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM LUAR BIASA (STUDI KASUS PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS WILAYAH DKI
JAKARTA TANGGAL 24 AGUSTUS 2009 NOMOR:
03/PTS/MPW.JKT/V/2009)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan
MARIA MAGDALENA TRITUNGGA DEWI 1006738380
FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2013
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji syukur serta terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas semua anugerah dan pertolongannNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini untuk memenuhi syarat kelulusan dari Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Penulis juga menyadari banyak kekurangan dalam penulisan Tesis ini, baik dari segi bahan materi maupun dari segi teknis karena adanya keterbatasan dari penulis.
Dalam penyusunan Tesis ini, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan doa, moril, semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Chairunnisa Said Salenggang, S.H., M.Kn. selaku pembimbing dalam pembuatan tesis ini yang telah bersedia dengan sabar untuk meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya dengan banyak memberi bantuan dalam materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis selama masa perkuliahan juga pada saat penulisan tesis ini;
2. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Pembimbing Akademis;
3. Ibu Dr. Roesnastiti Prayitno, S.H., M.A. selaku dosen serta penguji penulis dalam penulisan hukum ini;
4. Seluruh Staf Pengajar Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta staf Sekretariat Sub Program Magister Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
5. Papa dan Mama yang telah berkorban waktu dan tenaga untuk segalanya, maaf baru bisa selesai semester ini. Mbak Dewi dan Mas Agung buat dorongannya.
6. Tante len buat perhatian dan dorongannya, serta keluarga besar FX.
Mulyopranoto dan Keluarga besar Monteiro, terima kasih buat doanya.
7. Sahabat-sahabatku, Vita dan Nie, buat doa dan dorongannya.
8. Teman-teman Magister kenotariatan dari semester 1 sampai akhir (kak riama, ana, dela, yudis, najmi, bu neneng, manda,dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu) terima kasih banyak.
Jakarta, 11 Januari 2013
Penulis
ABSTRAK
Nama : Maria Magdalena Tritungga Dewi
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris dalam Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Pemegang Saham Luar Biasa (Studi Kasus Putusan Majelis Pengawas Wilayah DKI Jakarta Tanggal 24 Agustus 2009 Nomor: 03/PTS/MPW.JKT/V/2009)
Tesis ini berisi mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dalam pembuatan akta pernyataan keputusan rapat. Pelanggaran tersebut berupa pelanggaran jabatan berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, antara lain berupa tidak menjalankan kewajiban notaris untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
Selain itu juga tidak memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan menolaknya. Serta tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juda oleh penghadap, saksi, dan notaris. Selain pelanggaran terhadap jabatan notaris, terdapat juga pelanggaran terhadap kode etik notaris. Pelanggaran tersebut antara lain menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah, pelanggaran dalam hal mengirimkan minuta kepada klien yang merupakan larangan dalam kode etik notaris. Pelanggaran-pelanggaran tersebut berakibat pada akta serta pihak terkait lainnya dan juga notaris yang bersangkutan tersebut. Penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian berupa metode yuridis normatif. Hasil penelitian menyarankan agar notaris dalam membuat akta otentik berupa akta pernyataan keputusan rapat agar lebih memperhatikan ketentuan- ketentuan yang berlaku serta terkait dengan pembuatan akta tersebut.
Kata kunci:
Pelanggaran, Kode Etik, Jabatan Notaris, Akta Pernyataan Keputusan Rapat
ABSTRACT
Name : Maria Magdalena Tritungga Dewi Study Program : Master of Notary
Title : Title and Code of Conduct Violations In Making Notary Deed Extraordinary General Shareholders (Supervisory Council Decision Case Study of Jakarta Capital City Date August 24, 2009 Number: 03/PTS/MPW.JKT/V/2009)
This thesis contains the offenses committed by the notary deed in making the meeting a decision statement. Violations in the form of malfeasance by Notary Act No. 30 of 2004, which include obligations not to act honestly notary, thorough, independent, impartial, and safeguard the interests of parties involved in the legal action. It also does not provide services in accordance with the provisions of the UUJN, unless there is a reason rejected. And do not read the deed before partij the presence of at least 2 (two) witnesses and signed by then often excluded by partij, witnesses and a notary.
In addition to violations of the notary public office, there is also a violation of the code of conduct notary. These violations include running a notary office, especially in the making, reading, and signing the deed done at his office, except for valid reasons, in violation minuta send to the client which is a prohibition in the code of conduct notary. These violations resulted in deed as well as other concerned parties and the notary in question. This research is a qualitative research method to study the shape in the form of normative methods. The results suggest that the notary in the form of an authentic deed deed makes a statement-making meetings to be more attention to the provisions of the applicable and related to the deed.
Keywords: Violations, Code Ethic, Title Notary, Deed
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Orisinalitas ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademisi ... vi
Abstrak ... vii
Daftar isi ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Pokok Permasalahan ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Metode Penelitian ... 9
1.5. Sistematika Penulisan ... 10
BAB 2 PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT... 12
2.1. Tinjauan Umum mengenai Notaris ... 12
2.1.1 Notaris sebagai Pejabat Umum ... 12
2.1.2. Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan notaris ... 16
2.1.3. Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris ... 21
2.1.4. Kode Etik Notaris ... 22
2.1.5. Lembaga Pengawas Notaris ... 26
2.1.6. Ketentuan Sanksi ... 32
2.2. Akta Notaris ... 38
2.2.1. Akta Notaris sebagai Akta Otentik ... 38
2.2.2. Penggolongan Akta ... 42
2.2.3. Perbedaan antara Akta otentik dengan Akta yang dibuat dibawah tangan…...……….... 46
2.2.4. Kekuatan Pembuktian Akta ... 47
2.2.5. Minuta Akta, Salinan Akta, Kutipan Akta, dan Grosse Akta ... 52
2.2.6. Peran Notaris dalam Penyelenggaraan Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat ………... 53
2.2.7. Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris dalam Penyelenggaraan Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat ………. 54
2.3. Analisa Studi Kasus Putusan Majelis Pengawas Wilayah DKI Jakarta tanggal 24 Agustus 2009 Nomor 03/PTS/MPW.JKT/V/2009…... 56
2.3.1. Kasus Posisi ... 56
2.3.2. Analisa Kasus... 59
BAB 3 PENUTUP... 63
3.1. Kesimpulan ... 63
3.2. Saran ... 65 Daftar Pustaka ... 66 Lampiran
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kehidupan bermasyarakat tidak lepas dari perbuatan hukum di lapangan hukum keperdataan yang selalu melahirkan hak dan kewajiban, sehingga dalam penerapannya dibutuhkan suatu bentuk alat pembuktian yang dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak maupun pihak ketiga yang terkait dalam suatu hubungan keperdataan. Dalam lapangan hukum keperdataan bukti yang sempurna merupakan bukti dalam bentuk akta otentik. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyebutkan bahwa:
“suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli waris nya atau orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”
Oleh karena itu, suatu akta otentik harus memenuhi beberapa unsur agar dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Unsur-unsur tersebut seperti yang tercantum dalam pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
Sesuai dengan pengertian tersebut maka unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, seperti yang tercantum dalam pasal 38 ayat (1) Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris (UUJN), yang menyebutkan bahwa setiap akta notaris terdiri atas awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta.
2. Akta dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yaitu Notaris, hal ini sesuai dengan pasal 1 angka (1) UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang- undang ini. Kewenangan tersebut lebih dipertegas dalam pasal 15 ayat (1) UUJN, yang menyebutkan bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
3. Pejabat umum yang berwenang membuat akta tersebut harus berwenang ditempat akta tersebut dibuat. Dalam hal ini bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya didalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Sehingga akta yang dibuat diluar daerah jabatannya adalah tidak sah.1Sesuai dengan pasal 18 UUJN yang menyebutkan bahwa notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dengan wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
1Ibid., hlm. 50.
Selanjutnya, akta otentik yang dibuat notaris dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yakni2:
1. akta relaas atau akta pejabat merupakan akta yang dibuat dengan menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan, suatu keadaan yang dilihat, dan disaksikan serta dialami oleh notaris dalam menjalankan jabatannya. Dalam akta ini notaris menerangkan atau memberikan dalam jabatannya sebagai pejabat umum kesaksian dari semua apa yang dilihat, disaksikan, dan dialaminya yang dilakukan oleh pihak lain. Untuk akta relaas tidak menjadi soal apakah para pihak yang hadir itu tidak membubuhkan tanda tangannya pada akta itu. Apabila misalnya dalam pembuatan berita acara rapat umum pemegang saham dalam perseroan terbatas para pihak yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta ditandatangani, maka notaris dapat menerangkan dalam akta bahwa para pihak yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan dalam hal ini akta tersebut tetap merupakan akta otentik.
2. akta partij merupakan akta notaris yang berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu dihadapan notaris agar keterangan atau perbuatan itu dikonstantir oleh notaris didalam suatu akta otentik. Didalam akta tersebut dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari para pihak yang bertindak dalam akta tersebut, disamping relaas dari notaris itu sendiri, yang menyatakan bahwa orang-orang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam akta tersebut. Untuk akta partij, Undang-undang mengharuskan adanya
2Ibid., hlm. 51-53.
tanda tangan oleh para pihak yang bersangkutan atau setidak-tidaknya di dalam akta itu diterangkan apa yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu oleh pihak yang bersangkutan, misal salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain sebagainya keterangan yang harus dicantumkan oleh notaris dalam akta itu dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tanda tangan (surrogaat tanda tangan).
Apabila tidak dilakukan penandatanganan tersebut maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya.3
Perbedaan tersebut diatas penting dalam kaitannya dengan pemberian pembuktian sebaliknya terhadap isi akta tersebut. Dalam akta relaas kebenaran dari isi akta tidak dapat digugat kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut adalah palsu. Sedangkan dalam akta partij, dapat digugat isinya tanpa menuduh akan kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta tersebut adalah keterangan yang tidak benar. Artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya.4
Sesuai dengan hal tersebut diatas, maka yang pasti secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain, ialah:5
1. tanggal dari akta itu;
2. tandatangan-tandatangan yang ada pada akta itu;
3. identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten);
4. bahwa apa yang tercantum dalam akta adalah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris untuk dicantumkan dalam akta, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara para pihak yang bersangkutan sendiri.
3Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris pasal 44 jo pasal 84
4GHS Lumban Tobing, ibid., hlm. 53
5Ibid.,
Salah satu akta otentik yang dibuat oleh notaris adalah Akta pendirian serta perubahan Anggaran Dasar (AD) Perseroan Terbatas. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni dalam pasal 7 angka 1 yang menyatakan bahwa “Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”. Pembuatan Akta Pendirian di depan Notaris, para pendiri dapat menghadap sendiri ke Notaris atau dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa. Sedangkan mengenai perubahan Anggaran Dasar dalam Perseroan harus ditetapkan oleh RUPS dengan mencantumkan dengan jelas dalam acara ataupun agenda dalam RUPS surat pemberitahuan dan pemanggilan RUPS, yang kemudian hasil dalam pembahasan rapat tersebut dimuat dan dinyatakan dalam Akta Notaris dan dalam bahasa Indonesia. Perubahan anggaran dasar yang tidak dimuat dalam Akta Berita Acara Rapat yang dibuat oleh Notaris, harus dinyatakan dalam Akta Notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
Pernyataan dalam Akta Notaris dimaksudkan dalam bentuk Akta Pernyataan Keputusan Rapat. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi dan telah sesuai dengan syarat- syarat kelengkapannya yang telah ditentukan oleh peraturan terkait barulah kemudian dapat dimintakan pengesahan tentang persetujuan perubahan AD dari Menteri. Dalam pendirian maupun perubahan AD Perseroan sangat dibutuhkan peran seorang Notaris.6
Dalam menjalankan jabatannya tersebut, notaris berkewajiban antara lain untuk:7
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
6Yahya harahap, Hukum Perseroan Terbatas, cetakan ketiga, penerbit sinar grafika, 2011, hlm 201.
7Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris pasal 16 ayat (1) huruf (a), (d), dan (l).
c. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
Oleh karena itu dalam menjalankan jabatannya membuat akta otentik tersebut, notaris dituntut untuk melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Sehingga akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya. Notaris juga harus menghasilkan akta yang bermutu agar akta yang dibuat sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya. Serta berdampak positif yang berarti siapa pun akan mengakui bahwa akta notaris tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.8 Selain itu, dalam melaksanakan jabatan sebagai pejabat umum, notaris dituntut untuk selalu bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan serta kode etik profesinya tersebut.
Namun pada kenyataannya, beberapa notaris seringkali terlibat dalam hal-hal yang bertentangan dengan larangan-larangan dan kewajiban yang harus ditaati oleh Notaris sebagaimana diatur dalam peraturan jabatan maupun kode etik profesi notaris, serta bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut berakibat pada keotentikan dari akta yang dibuatnya maupun kedudukannya sebagai Notaris yang dihadapkan pada pertanggung-jawaban pelaksanaan jabatannya kepada masyarakat.
Pengawasan atas Notaris tersebut dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas.9Majelis Pengawas Notaris tersebut terdiri atas Majelis Pengawas Daerah, majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas Pusat.10
Salah satu contoh pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris dan kode etik Notaris terjadi pada pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat yang dibuat oleh Notaris Bonar Sihombing, SH. Dalam pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat tersebut, diketahui bahwa dalam pelaksanaan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS-LB) dilaksanakan dengan tidak memenuhi kuorum sehingga RUPS-LB
8Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, cetakan ke tiga, PT. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 2006, hlm. 94.
9Undang-undang, ibid., pasal 67.
10Ibid., pasal 68.
tersebut tidak sah. Namun, notaris tetap membuatkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat tersebut dengan alasan untuk mengakomodasi kemauan pengurus perseroan terbatas tersebut. Padahal dalam menjalankan jabatannya tersebut, seorang notaris selain memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan UUJN, diharuskan pula untuk bertindak saksama, menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum serta memperhatikan peraturan-peraturan terkait lainnya. Selain itu, akta yang dibuatnya tersebut tidak dibaca didepan penghadap namun mengirimkan minuta aktanya melalui asistennya. Berdasarkan hal-hal tersebut notaris dilaporkan oleh Drs.
R. Supriyadi, dkk, sebagai pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya Akta Pernyataan Keputusan Rapat tersebut.
Perbuatan notaris tersebut diatas merupakan suatu pelanggaran jabatan notaris terkait dengan kewajiban notaris untuk:
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum,11
b. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya,12
c. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.13
Dengan adanya pelanggaran tersebut, dapat diketahui juga bahwa notaris yang bersangkutan tidak melaksanakan kewenangannya yakni dalam hal memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Kewenangan ini seperti yang tercantum dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN.
Selain melakukan pelanggaran jabatan, perbuatan notaris tersebut juga melanggar kode etik notaris. Pada pasal 4 angka 6 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia disebutkan bahwa notaris dilarang untuk mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani. Sedangkan notaris tersebut mengirimkan minuta melalui assistennya.
11Ibid., pasal 16 ayat (1) huruf (a)
12Ibid., pasal 16 ayat (1) huruf (d)
13Ibid., pasal 16 ayat (1) huruf (l)
Dengan adanya pelanggaran tersebut dapat dilihat juga bahwa notaris tersebut juga melanggar beberapa kewajiban yang tercantum dalam pasal 3 kode etik Ikatan Notaris Indonesia, yakni antara lain bahwa notaris wajib memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik, menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan notaris, menjaga dan membela kehormatan perkumpulan. Juga bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan notaris, meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
Serta mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara dan menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.
Oleh karena itu terjadi pelanggaran kode etik dalam kasus tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk menulis penulisan hukum ini dengan judul “PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT (STUDI KASUS PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS WILAYAH DKI JAKARTA NOMOR: 03/PTS/MPW.JKT/V/2009)”.
1.2. POKOK PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka perumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimanakah peran notaris dalam penyelenggaraan pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat?
2. Bagaimanakah pelanggaran jabatan dan kode etik notaris dalam penyelenggaraan pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penulisan hukum ini tidak lepas dari tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, sesuai dengan latar belakang serta perumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penulisan hukum ini, adalah:
1. Untuk mengetahui peran notaris dalam penyelenggaraan pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Untuk mengetahui pelanggaran jabatan dan kode etik notaris dalam penyelenggaraan pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat serta sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tersebut.
1.4. METODE PENELITIAN
Penulisan hukum ini ditunjang dengan metode penelitan dengan beberapa unsur. Pertama, bentuk penelitian yang digunakan berupa yuridis-normatif yaitu penelitian terhadap norma hukum tertulis. Bentuk penelitian ini dapat disebut juga sebagai penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini mencakup:14
a. penelitian terhadap asas-asas hukum, b. penelitian terhadap sistematik hukum,
c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, d. perbandingan hukum,
e. sejarah hukum.
Kedua, tipologi penelitian yang digunakan adalah tipologi secara deskriptif (menggambarkan) dan preskriptif (memberikan solusi). Ketiga, sesuai dengan bentuk penelitian yang digunakan maka jenis data yang dipakai adalah data sekunder yang merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. 15 Keempat, jenis bahan
14 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada, 2007. Hlm. 13-14
15Ibid., hlm 12
hukum yang digunakan yaitu jenis bahan hukum primer berupa peraturan perundang- undangan serta jenis bahan hukum sekunder yaitu buku, artikel, jurnal, dan makalah.16 Kelima, alat pengumpulan data yang dipakai berupa studi dokumen.
Keenam, metode analisis data secara kualitatif yaitu analisis data dengan pemaknaan sendiri oleh penulisnya terhadap data. Ketujuh, bentuk hasil penelitian berupa penelitian yuridis normatif sehingga sesuai dengan bentuk penelitian yang digunakan.
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan hukum ini dilakukan secara sistematis untuk mempermudah orang yang akan membacanya, sistematika penulisan hukum ini di bagi menjadi (3) tiga bab, yakni:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penulisan hukum ini, pokok permasalahan, tujuan penulisan, metodologi penulisan serta sistematika penulisan hukum ini.
BAB 2 : PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS
DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan umum mengenai notaris yang berisi pengertian, kewenangan, kewajiban, larangan, kedudukan, formasi, dan wilayah jabatan notaris. Serta kode etik notaris, lembaga pengawas notaris, serta sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris. Selain itu, akan dijelaskan juga mengenai akta notaris sebagai akta otentik, penggolongan akta otentik, perbedaan akta otentik dengan akta dibawah tangan, kekuatan pembuktian akta otentik, serta pengertian-pengertian dari minuta akta, salinan akta, kutipan akta,
16Ibid., hlm 13
dan grosse akta. Selanjutnya akan diuraikan mengenai analisa kasus dari putusan majelis pengawas wilayah DKI Jakarta nomor: 03/PTS/MPW.JKT/V/2009.
BAB 3 : PENUTUP
Dalam bab ini akan menguraikan kesimpulan dan saran dari seluruh bahasan yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya
BAB 2
PELANGGARAN JABATAN DAN KODE ETIK NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT
2.1. TINJAUAN UMUM MENGENAI NOTARIS
2.1.1. Notaris sebagai Pejabat Umum
Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Peraturan tersebut berhubungan dengan ketentuan pasal 1868 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:
“akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
Dalam peraturan tersebut hanya menjelaskan apa yang dinamakan akta otentik. Namun tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum, juga tidak menjelaskan tempat dimana ia berwenang, sampai dimana batas- batas kewenangannya, dan bagaimana bentuk menurut hukum yang dimaksud.
Sehingga pembuat undang-undang masih harus membuat peraturan perundang- undangan untuk mengatur hal-hal tersebut.17Ketentuan-ketentuan dalam UUJN dapat dikatakan merupakan peraturan pelaksana dari pasal 1868 KUHPerdata tersebut. Oleh
17GHS Lumban Tobing, ibid., hlm. 34-35
karena itu notaris merupakan pejabat umum yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata.
Notaris sebagai pejabat umum berhubungan dengan definisi yang diberikan pasal 1868 KUHPerdata. Namun hal ini bukan berarti notaris adalah pegawai negeri.
Karena jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji. Notaris tidak menerima gajinya dari pemerintah, seperti pegawai negeri. Akan tetapi notaris memperoleh gaji dari mereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai pemerintah tanpa gaji dari pemerintah, serta dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat pensiun dari pemerintah.18
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris adalah19:
a. Warga Negara Indonesia
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun
d. sehat jasmani dan rohani, yang dimaksud adalah mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai notaris.
e. berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata dua Kenotariatan f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus Strata dua Kenotariatan. Yang dimaksud dengan prakarsa sendiri adalah bahwa calon notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapat rekomendasi dari organisasi notaris.
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Yang dimaksud dengan pegawai negeri dan pejabat negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
18GHS Lumban Tobing, ibid., hlm. 36
19Undang-undang, Ibid., Pasal 2 dan pasal 3 dengan penjelasan.
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Sedangkan yang dimaksud dengan advokat adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.20 Pengucapan tersebut dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris.21 Apabila lewat jangka waktu tersebut tidak dilakukan pengucapan sumpah/janji, maka keputusan pengangkatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.22
Sumpah atau janji tersebut berbunyi sebagai berikut:23
“Saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak berpihak.
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebgai notaris.
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah atau tidak akan memberikan atau menjanjikan kepada siapapun.”
Berdasarkan sumpah atau janji yang dilakukan Notaris sebelum menjalankan tugas jabatannya tersebut mengandung dua hal yang harus dipahami, yakni:24
a. Secara vertikal Notaris wajib bertanggung jawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing,
20Ibid., pasal 4
21Ibid., pasal 5
22Ibid., pasal 6
23Ibid., pasal 4 ayat (2)
24Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 63-64.
sehingga segala sesuatu yang akan dilakukan atau dikerjakan akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan
b. secara horisontal kepada negara dan masyarakat, berarti Negara telah memberi kepercayaan kepada kita untuk menjalankan sebagian tugas negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa notaris mampu memformulasikan kehendaknya kedalam bentuk akta notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu menyimpan atau merahasiakan segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan notaris.
Selain itu, menurut G. H. S. Lumban Tobing, isi sumpah atau janji Jabatan Notaris dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yakni25:
a. Bagian pertama yang disebut “belovende eed” atau “politieke eed”. Dalam bagian ini notaris bersumpah akan patuh setia kepada negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasarnya serta menghormati semua pembesar-pembesar hakim pengadilan dan pembesar-pembesar lainnya.
b. Bagian kedua yang disebut “zuiveringseed” atau “beroepseed” (sumpah jabatan. Dalam bagian ini Notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama, dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan jabatan notaris yang sendang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tersebut.
Selanjutnya, pasal 7 UUJN menyebutkan kewajiban notaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengambilan sumpah atau janji, yakni:
a. menjalankan jabatannya dengan nyata;
b. menyampaikan berita acara sumpah atau janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah, dan
25GHS Lumban Tobing, Ibid., hal. 114
c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab dibidang agraria/ pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati atau Walikota ditempat Notaris diangkat.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui bahwa Notaris yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya secara nyata.
2.1.2. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris
Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap jabatan yang bersangkutan. Sehingga setiap kewenangan memiliki batasan seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan yang diatur dalam undang-undang jabatan notaris.
Dalam pasal 16 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa:
“Kewenangan notaris membuat akta otentik adalah mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”26
Kewenangan tersebut merupakan kewenangan umum notaris dengan batasan sebagai berikut:27
a. sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang- undang.
26Undang-undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris pasal 15 ayat (1)
27Habib Adjie, ibid., hlm 78
b. sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan,
c. sepanjang mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan kewenangan yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 (dua) hal, yakni:28
a. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan atau tindakan para pihak kedalam akta otentik dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b. akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang atau pihak yang menyatakan bahwa akta itu tidak benar, maka orang atau pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.
Sehingga ketentuan pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dapat diterapkan kepada notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini sebagai perlindungan hukum terhadap notaris dalam menjalankan tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
Dalam pasal 15 ayat (2) UUJN diatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti:29
28Ibid., hlm 80
29Undang-Undang, Ibid., pasal 15 ayat (2)
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Hal ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermeterai ukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris.
b. membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus,
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g. membuat akta risalah lelang.
Selain itu, notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tercantum dalam pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.
Dalam pasal 15 ayat (3) UUJN disebutkan bahwa selain kewenangan- kewenangan yang disebut dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN, Notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Dalam penjelasannya, kewenangan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan jabatannya sebagai pejabat publik. Kewenangan ini merupakan kewenangan yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian. Berkaitan dengan hal tersebut, jika notaris melakukan tindakan diluar kewenangannya maka akta notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan, dan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris diluar kewenangan tersebut dapat menggugat secara perdata ke pengadilan negeri.
Selanjutnya dalam menjalankan jabatannya, Notaris mempunyai kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewajiban notaris merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh Notaris, dan apabila tidak dilakukan atau dilanggar maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi. Kewajiban- kewajiban tersebut antara lain tercantum dalam pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN disebutkan bahwa notaris wajib bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Selain itu, dalam huruf d juga disebutkan bahwa notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, kecuali ada alasan untuk menolaknya.
Berdasarkan hal tersebut maka pelayanan kepada masyarakat wajib diutamakan sesuai UUJN, namun dalam keadaan tertentu Notaris dapat menolak memberikan pelayanan dengan alasan tertentu (pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN).
Dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan alasan untuk menolaknya merupakan alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Dalam praktik ditemukan alasan-alasan lain, sehingga Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain:30
a. apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat akta tidak diserahkan kepada notaris
b. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan penghadap tidak dikenal oleh notaris.
c. apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang diwajibkan
d. apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum
30Habib adjie, ibid., hlm 87
e. apabila pihak-pihak yang menghendaki notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas sehingga notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf l disebutkan bahwa notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Disebutkan juga dalam penjelasannya bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta dihadapan penghadap dan saksi. Namun, dalam pasal 16 ayat (7) UUJN disebutkan bahwa pembacaan akta tersebut tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.31
Selanjutnya dalam pasal 44 UUJN, disebutkan bahwa segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya yang dinyatakan secara tegas didalam akta.
Dalam menjalankan jabatan notaris selain memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana tercantum dalam pasal 16 UUJN, notaris juga memiliki larangan- larangan yang tercantum dalam pasal 17 UUJN yang menyebutkan bahwa notaris dilarang untuk:32
a. Menjalankan jabatannya di luar wilayah jabatannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mecegah terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya.
31Undang-undang, ibid., pasal 16 ayat (8).
32Ibid., pasal 17
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah
c. Merangkap sebagai pegawai negeri
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara e. Merangkap jabatan sebagai advokat
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta,
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
h. Menjadi Notaris Pengganti. Larangan ini bagi notaris yang belum menjalankan jabatannya, notaris yang sedang menjalankan cuti, dan notaris yang dalam proses pindah wilayah jabatan; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan notaris.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap larangan-larangan tersebut, notaris akan dikenakan sanksi sebagaimana seperti yang tercantum dalam pasal 85 UUJN.
2.1.3. Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah Jabatan Notaris
Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dengan wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Notaris hanya boleh mempunyai satu kantor di tempat kedudukannya tersebut. Hal ini berarti Notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan dan bentuk lainnya. Serta tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya.
Akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan dikantor notaris kecuali pembuatan akta-akta tertentu.
Formasi adalah kebutuhan akan pengisian jabatan notaris. Hal tersebut ditentukan oleh menteri pada daerah kabupaten atau kota dengan mempertimbangkan usul dari organisasi notaris. Formasi jabatan notaris tersebut ditetapkan berdasarkan:
a. kegiatan dunia usaha, b. jumlah penduduk, dan/atau
c. rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan notaris setiap bulan.
Ketentuan mengenai Formasi Jabatan Notaris berlaku baik untuk pengangkatan pertamakali maupun pindah wilayah jabatan notaris
Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan Notaris secara tertulis kepada Menteri. Serta dalam keadaan tertentu atas permohonan Notaris yang bersangkutan, Menteri dapat memindahkan seorang notaris dari satu wilayah jabatan ke wilayah jabatan lainnya. Keadaan tertentu yang dimaksud antara lain karena bencana alam, keamanan, dan hal lainnya menurut pertimbangan kemanusiaan.
2.1.4. Kode Etik Notaris
Menurut Bertens (1995), kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya sebagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakat. Apabila satu anggota kelompok profesi berbuat menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar dimata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi tersebut harus menyelesaikannya berdasarkan kekuasaannya sendiri.33
Berdasarkan Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia disebutkan bahwa kode etik merupakan seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Kode etik notaris memuat unsur material tentang kewajiban, larangan, pengecualian, dan sanksi yang akan dijatuhkan apabila seorang terbukti seorang
33Abdulkadir Muhammad, ibid., hlm 77.
notaris melanggar kode etik. Selain itu, didalam kode etik notaris juga diatur mengenai tatacara penegakkan kode etik, serta pemecatan sementara sebagai anggota INI.
Notaris dalam melakukan tugasnya melaksanakan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan ketrampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang. Notaris dalam menjalankan jabatannya, mempunyai kewajiban antara lain sebagai berikut:34
a. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik,
b. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris c. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan
d. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris e. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan hukum dan kenotariatan
f. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara g. Hadir, mengikuti, dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan.
h. Menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah.
i. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
j. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
34Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia, pasal 3.
k. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebuat sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam UUJN, penjelasan pasal 19 ayat 2 UUJN, isi sumpah jabatan Notaris, dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Selain kewajiban-kewajiban tersebut diatas, notaris yang memangku jabatan dan menjalankan jabatannya berdasarkan kode etik notaris dilarang untuk melakukan hal-hal berikut, antara lain:35
a. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh orang lain.
b. Mengirimkan minuta akta kepada klien untuk ditandatangani
c. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun agar seseorang berpindah dari notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan mupun melalui perantaraan orang lain.
d. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
e. Melakukan usaha-usaha baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan notaris.
f. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.
g. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari notaris yang bersangkutan.
h. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas
35Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia, pasal 4.
kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
i. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instasi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi notaris lain untuk berpartisipasi.
j. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
k. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap kode etik notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUJN, penjelasan pasal 19 ayat 2 UUJN, isi sumpah jabatan notaris, dan hal-hal lain yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi INI tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Selanjutnya apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik Notaris, maka Notaris yang melanggar tersebut dapat dikenakan sanksi berupa:36
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan INI;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan INI;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan INI;
Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota INI tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut notaris diharapkan untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Hal tersebut mengandung arti bahwa:37
36Kode etik ikatan notaris Indonesia, pasal 6
37Ibid., hlm 93-94
a. notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar.
Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak yang berkepentingan terhadap akta tersebut.
b. notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.
c. berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
2.1.5. Lembaga Pengawas Notaris
Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam melaksanakan pengawasannya tersebut dibentuk Majelis Pengawas, yang terdiri dari unsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
c. Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Pengawasan yang dilakukan merupakan kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh majelis pengawas terhadap notaris. Selain itu, tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan Notaris agar sesuai dengan ketentuan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris dalam pengawasan majelis pengawas. Hal ini, menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan Majelis Pengawas memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Selanjutnya, Majelis Pengawas tersebut terdiri atas:
a. Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota;
b. Majelis Pengawas Wilayah (MPW) yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota propinsi;
c. Majelis Pengawas Pusat (MPP) yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara.
MPD memiliki wewenang dalam delapan bidang. Pertama, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelaksanaan jabatan notaris. Kedua, melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1(satu) tahun atau setiap waktu dianggap perlu. Ketiga, memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan enam bulan.
Keempat, menetapkan notaris pengganti dengan memperhatikan usul notaris yang bersangkutan. Kelima, menentukan tempat penyimpanan protokol notaris pada saat serah terima protokol notaris berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih. Keenam, menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara protokol notaris yang diangkat sebagai pejabat umum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11 ayat 4 UUJN. Ketujuh, menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan Undang-Undang jabatan Notaris.
Kedelapan, membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam UUJN.
Disamping itu, MPD mempunyai enam kewajiban. Pertama, mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam protokol notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat dibawah tangan yang disahkan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir. Kedua, membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikan kepada MPW setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, organisasi notaris, dan MPP. Ketiga, merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan. Keempat, menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya. Kelima, memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW dalam waktu 30 (tiga puluh hari) dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan yakni Notaris yang bersangkutan. Keenam, menyampaikan permohonan banding terhadap penolakan cuti.
Sedangkan wewenang MPW ada enam. Pertama, meyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui MPD. Kedua, memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan yang disampaikan melalui MPD tersebut. Ketiga, memberi izin cuti lebih dari enam bulan sampai dengan satu tahun. Keempat, memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang menolak cuti yang diajukan oleh notaris pelapor.
Kelima, memberikan sanksi berupa teguran tertulis atau teguran lisan. Keenam, mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara selama tiga sampai enam bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat.
MPW juga berkewajiban untuk menyampaikan keputusannya tersebut diatas kepada notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada MPP dan organisasi notaris atau menyampaikan pengajuan banding dari notaris kepada MPP terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
Selanjutnya MPP mempunyai empat wewenang. Pertama, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengadili keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. Kedua, memanggil notaris terlapor untukdilakukan pemeriksaan. Ketiga, menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara.
Keempat, mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri. Sidang dalam tingkat MPP ini bersifat terbuka dan notaris diberi hak membela diri.
Berdasarkan pasal 9 UUJN, Notaris diberhentikan sementara karena empat hal. Pertama, dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran hutang.
Kedua, berada dibawah pengampuan. Ketiga, melakukan perbuatan tercela. Keempat, melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan notaris.
Pasal 12 UUJN menyebutkan 4 ketentuan yang menyebabkan notaris diberhentikan dengan tidak hormat. Pertama, dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kedua, berada dibawah pengampuan secara terus menerus lebih dari tiga tahun. Ketiga melakukan perbuatan yang merendahkan jabatan notaris. Keempat, melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan Notaris.
MPP juga berkewajiban untuk menyampaikan keputusannya kepada menteri dan notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada MPW dan MPD yang bersangkutan dan organisasi notaris.
MPD berperan sebagai benteng terakhir yang memberikan atau menolak izin pemanggilan dan pemeriksaan oleh penyidik atas diri seorang notaris. MPD menjadi soko guru bagi terlaksananya proses pengawasan yang berkualitas dan proposional yang menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum, dan ketertiban hukum bagi notaris maupun masyarakat pada umumnya. MPD juga menjadi saluran satu-satunya bagi masyarakat yang ingin mengadukan praktik tidak etis atau melanggar jabatan yang dilakukan notaris tertentu. Hal ini merupakan faktor positif yang mendekatkan notaris dengan masyarakat. Dimana masyarakat dapat melaporkan atau mengadukan praktik kenotariatan yang menyimpangkepada MPD yang terdiri dari wakil akademisi, wakil organisasi profesi, atau wakil pemerintah.
Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap notaris. Namun tidak semua majelis pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yakni:38
a. MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya untuk menyelenggarakan sidang pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan dan kode etik notaris, tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun, tapi MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
(pasal 71 huruf e UUJN)
b. MPW dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis. Sanksi tersbut bersifat final. Selain itu dapat juga mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada MPP berupa pemberhentian
38Habib Adjie, ibid., hlm 192-193
sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. Sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis yang bersifat final tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sanksi tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nyata dalam untuk kemudian dijatuhi sanksi yang lain, seperti pemberhentian sementara dari jabatannya.
c. MPP dapat menjatuhkan sanksi terbatas, yakni sanksi pemberhentian sementara (pasal 77 huruf c UUJN). Sanksi seperti ini merupakan masa tunggu dalam jangka waku tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain berupa sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris.
Sebagaimana menteri mempunyai domain pengawasan untuk mengawasi notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya, INI juga mempunyai institusi yang mengemban fungsi kontrol terlaksananya kode etik di lapangan di internal perkumpulan. Institusi tersebut bernama Dewan Kehormatan. Secara formal, Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam perkumpulan yang bertugas untuk:
a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris.
d. Memberikan rekomendasi kepada pengurus INI tentang notaris yang akan duduk di majelis pengawas sebagai wakil INI.
Posisi dewan kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk memastikan para notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten, baik, dan benar. Dewan kehormatan juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi, kehormatan, dan keluhuran profesi jabatan notaris di tengah masyarakat. Apabila dewan kehormatan tidak bisa menegakkan kode etik sesuai dengan perintah yang diamanatkan organisasi maka kredibilitasnya sebagai institusi penegak kode etik akan diremehkan oleh pihak luar. Dalam kasus tertentu, integritas dan ketegasan dewan kehormatan bisa turut serta membentengi profesi notaris dari campur tangan pihak luar.
Hal tersebut sangat logis apabila para notaris telah konsisten melaksanakan kode etik sehingga kecil kemungkinan para notaris akan tersangkut kasus-kasus yang merugikan masyarakat. Sehingga jika peran dewan kehormatan telah mencapai taraf ideal maka dengan sendirinya kualitas notaris secara umum akan meningkat.
Oleh karena itu, INI membangun sistem berjenjang dalam organisasi dewan kehormatan, yakni:
a. Dewan Kehormatan Pusat yang merupakan Dewan Kehormatan pada tingkat nasional;
b. Dewan Kehormatan Wilayah yang merupakan Dewan Kehormatan pada tingkat wilayah yakni pada tingkat propinsi atau yang setingkat dengan itu;
c. Dewan Kehormatan Daerah yang merupakan Dewan Kehormatan pada tingkat daerah yakni pada tingkat Kota atau kabupaten.
Pengawasan atas pelaksanaan kode etik yang dilakukan oleh Dewan kehormatan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah,
b. pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah,
c. pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.
Dewan kehormatan daerah adalah unsur pelaksana penting karena berinteraksi langsung dengan notaris dan pihak yang mengetahui duduk perkara pelanggaran kode etik pertama kali. Dewan kehormatan daerah juga mempunyai posisi strategis dalam membawa sebuah kasus pelanggaran notaris ke ranah internal terlebih dahulu sebelum diekspos ke wilayah eksternal melalui majelis pengawas. Dewan kehormatan daerah tersebut mengemban fungsi check and balance pertama kali terhadap sebuah kasus dugaan pelanggaran kode etik. Oleh karena itu dalam tataran ideal, Dewan kehormatan daerah harusnya menjadi institusi yang pertama kali mengetahui adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang notaris.
Dewan kehormatan wilayah dapat melakukan tugas dewan kehormatan daerah jika didaerah itu jumlah notaris masih relatif kurang. Demikian juga dalam daerah dengan kondisi yang tidak memungkinkan dibentuk dewan kehormatan daerah karena berbagai pertimbangan baik yang berkaitan dengan sumber daya manusia, sistem maupun infrastruktur yang tidak mendukung.
2.1.6. Ketentuan Sanksi
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk mentaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Selain itu, sanksi juga merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan pada norma hukum administrasi. Sehingga, unsur-unsur yang terdapat pada sanksi, yakni:
a. sebagai alat kekuasaan, b. bersifat hukum publik, c. digunakan oleh penguasa,
d. sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan.
Sanksi terhadap notaris diatur dalam pasal 84 dan 85 UUJN. Dalam pasal 84 UUJN disebutkan bahwa jika Notaris melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf i dan k, pasal 41, pasal 44, pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51, dan atau pasal 52 UUJN, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat menjadi alasan bagi para pihak yang tercantum dalam akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Tuntutan para pihak tersebut berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterma notaris juka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga tersbut dapat dikategorikan sebagai sanksi perdata.
Ketentuan-ketentuan berikut merupakan ketentuan yang dilanggar notaris sehingga menyebabkan akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yaitu:
a. melanggar ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l, yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris.
b. melanggar ketentuan pasal 16 ayat (7) dan (8), yaitu jika notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui dan memahami isi akta,
c. melanggar ketentuan pasal 41, dengan menunjuk kepada pasal 39 dan pasal 40, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan:
i. pasal 39, yaitu mengenai penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum, serta penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur
18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
ii. pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang paling sedikit berumur 18 taun atau sudah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ke tiga dengan notaris atau para pihak.
d. melanggar ketentuan pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.
Sedangkan ketentuan-ketentuan berikut menyebabkan akta yang dibuat Notaris menjadi batal demi hukum, yakni:
a. melanggar kewajiban dalam pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bila nihil.
b. melanggar kewajiban dalam pasal 16 ayat (1) huruf k yakni tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya.
c. melanggar ketentuan pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta dihadapan penghadap, Notaris, dan penterjemah resmi.
d. melanggar ketentuan pasal 48 yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris, atas pengubahan atau penambahan tulisan berua penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan, dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian, atau pencoretan.
e. melanggar ketentuan pasal 49 yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak disebelah kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
f. melanggar ketentuan pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan.
g. melanggar ketentuan pasal 51 yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta. Ketentuan pasal ini diperuntukkan untuk kesalahan-kesalahan yang bukan mengenai hal-