PROVINSI DAN KABUPATEN / KOTA SE-ACEH
www.bp2t.acehprov.go.id
P R O F I L P E N Y E L E N G G A R A
PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
PEMERINTAH ACEHBADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU Jln. T. Nyak Arief, No. 219, Banda Aceh (23114)
i
KATA PENGANTAR
Pelayanan perizinan terpadu adalah satu upaya pemerintah dalam kerangka tata pemerintahan yang baik (good governance). Dengan menggunakan model segitiga sektor swasta, pemerintah dan masyarakat, perizinan terpadu diharapkan dapat menguatkan kapasitas sektor swasta yang berdampak pada peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat. Bagi pemerintah, hal ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dari hasil pajak dan retribusi.
Sesuai dengan azas dekonsentrasi, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Aceh mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada PTSP Kabupaten/Kota. Untuk melaksanakan tugas tersebut dibentuklah tim untuk melakukan pembinaan dan monitoring terhadap PTSP Kabupaten/Kota, dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan sumber daya pengelola PTSP.
Perbaikan pelayanan dipersepsikan sebagai jalan masuk reformasi birokrasi secara menyeluruh. Perizinan terpadu mensyaratkan pelaksanaan nilai-nilai seperti transparansi, efektifitas dan efiensi. Ketiga hal tersebut diaplikasikan menjadi kepastian syarat, biaya, waktu, penyederhanaan proses dan ketaatan prosedur. Secara nyata hal-hal tersebut bisa diukur. Misalnya transparansi dapat dilihat dengan adanya informasi biaya retribusi, serta penggunaan kartu pengendali. Dengan tugas yang jelas serta dikawal dengan prosedur yang baku, dan kedisiplinan yang diatas rata-rata, maka wajar lembaga perizinan terpadu menjadi contoh perbaikan di berbagai daerah. Aplikasi nilai-nilai tadi bersifat umum dan cara kerjanya dapat diadopsi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain.
Kedua, perizinan terpadu yang dikelola dengan baik akan memicu perekonomian di Provinsi Aceh untuk berlari kencang, bersaing dengan daerah lain. Momentum
ii
pasca berakhirnya konflik dan pembangunan setelah tsunami memerlukan percepatan demi kemajuan di masa mendatang.
Upaya reformasi birokrasi melalui perizinan terpadu ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak demi menjamin keberlanjutannya. Salah satu upaya tersebut ialah dengan dihadirkannya buku ini, kami berharap seluruh PTSP dapat menerapkan semua instrumen seperti yang diamanahkan oleh regulasi yang ada, dan buku ini kirannya dapat menjadi salah satu referensi bagi penerapan dan pengembangan lembaga perizinan terpadu lebih lanjut.
Akhirnya kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam menyusun buku ini ini saya ucapkan terima kasih, dan hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.
Banda Aceh, 14 Desember 2014 KEPALA BADAN
PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
JALALUDDIN, S.E.Ak., M.B.A PEMBINA UTAMA MUDA Nip. 19640607 199002 1 001
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB - I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Lahirnya Pelayanan Perizinan Terpadu ... 1
B. Pengertian Pelayanan Perizinan Terpadu ... 3
C. Tujuan Pelayanan Perizinan Terpadu ... 4
BAB - II RUANG LINGKUP PEMBINAAN PTSP ... 11
BAB - III HASIL MONITORING TERHADAP PENYELENGGARAAN PTSP ... 15
BAB - IV PERMASALAHAN DAN LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH ... 27
A. Permasalahan ... 27
1 BAB - I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
Semenjak Otonomi daerah diterapkan, belum pernah tercapai satu sistempun yang berhasil dengan baik dilaksanakan oleh daerah terkait dengan model pelaksanaan otonomi daerah yang efektif dan efisien. Hal ini terlihat jelas dari keputusan pemerintah untuk merevisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi lebih sempurna, dengan mengubahnya menjadi Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, karena dalam regulasi sebelumnya dianggap mengancam harmonisasi pelaksanaan kebijakan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Walaupun telah dilakukan revisi, tetap saja masih terdapat banyak pemikiran dan penafsiran pakar ekonomi dan pemerintah daerah yang belum terakomodasi. Misalnya dalam bidang investasi, pelaksanaan otonomi daerah malah mengakibatkan timbulnya permasalahan-permasalahan yang membuat investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Pelaksanaan otonomi yang terkesan prematur saat itu, menciptakan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi bahkan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 secara tidak langsung telah ikut memperburuk iklim investasi di Indonesia.
Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi masalah panjangnya jalur birokrasi investasi ini. Pada tanggal 12
2
April tahun 2004, Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal (PMDN/PMA) Melalui Pelayanan Satu Atap (one roof service). Konsekuensi dari Keppres ini, maka penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilakukan oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Hal ini berarti Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya baru dapat menyelenggarakan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal setelah adanya pelimpahan dari BKPM sebagaimana dimaksud dalam keputusan Kepala BKPM. Tetapi belum tiga tahun peraturan ini berjalan, pemerintah kembali mengeluarkan keputusan baru.
Pada tanggal 6 Juli 2006, Menteri Dalam Negeri, H. Mohammad Ma’ruf, S.E.
mengeluarkan Permendagri Nomor 24 tahun 2006 mengenai Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu. Pembinaan sistem ini dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Sejak digulirkannya kebijakan paket investasi, semua daerah dengan sistem otonomi berlomba-lomba bersiap diri untuk menjadi tujuan investasi yang baik bagi investor. Untuk menarik minat investor di era globalisasi dan perdagangan
3
bebas, pemerintah telah membangun sistem perizinan untuk meningkatkan daya saing dengan negara lainnya. Hal ini juga dilakukan dalam rangka menunjang pelaksanaan otonomi daerah yang merupakan salah satu dimensi terpenting yang tak dapat dipisahkan. Mengingat, investor dalam menanamkan modalnya selalu mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, misalnya faktor tenaga kerja, kemampuan pasar, persaingan, situasi politik, kepastian hukum dan faktor perizinan, disamping itu juga tetap memperhatikan faktor modal dan teknologi. Kesemuanya itu merupakan penentu efektivitas, produktivitas dan efisiensi dalam berusaha. Untuk mengantisipasi dan merealisasikan pelayanan yang menggairahkan bagi investor, Pemerintah Daerah harus mampu menciptakan suasana yang kondusif dan kemudahan dalam bidang perizinan dan nonperizinan.
B. PENGERTIAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
Penyelenggaraan pelayanan perizinan terpadu adalah kegiatan
penyelenggaraan perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu pintu dan satu tempat. Satu pintu artinya proses permohonan, verifikasi (pemeriksaan administratif), validasi persyaratan, tanda tangan dan penerbitan dokumen izin dilakukan di satu tempat.
Perizinan merupakan salah satu kewenangan administratif yang dimiliki negara. Di dalamnya terkandung fungsi pengendalian oleh negara, yang memberi putusan mana kegiatan yang dilarang. Selain itu terkandung pula fungsi pelayanan publik. Pelayanan perizinan sebagaimana pelayanan administrasi lainnya seperti Kartu Tanda Penduduk, memiliki manfaat langsung dalam bentuk legalitas atau keabsahan. Dengan adanya keabsahan itu, maka warga
4
negara dapat mengakses berbagai fasilitas yang bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam konteks pelayanan administrasi dasar, fasilitas dimaksud berupa jaminan sosial dan asuransi kesehatan. Dalam konteks perizinan usaha, fasilitas dimaksud dapat digunakan untuk mengakses modal berupa pinjaman dari lembaga keuangan.
C. TUJUAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
Pelayanan perizinan terpadu secara umum bertujuan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Masyarakat memperoleh banyak manfaat dari perizinan terpadu. Di antaranya ialah perlindungan hukum atas kegiatan usaha yang dilakukan dan akses terhadap bantuan keuangan. Akses ini punya efek ganda yaitu meningkatkan kapasitas usaha dan lapangan kerja, yang turut mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, tujuan umum selanjutnya dari perizinan terpadu ialah mendorong bergulirnya roda perekonomian.
Sedangkan secara khusus, tujuan pelayanan perizinan terpadu ialah:
1. Mempercepat waktu pelayanan dengan mengurangi tahapan-tahapan dalam pelayanan yang kurang penting (misalnya waktu yang dihabiskan oleh pemohon izin untuk mendatangi berbagai instansi). Koordinasi yang lebih baik antar instansi yang terkait dengan perizinan juga sangat berpengaruh terhadap percepatan pelayanan perizinan.
2. Menekan biaya pelayanan. Selain dengan cara pengurangan tahapan, biaya pelayanan juga dapat ditekan dengan membuat prosedur pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan.
3. Menyederhanakan persyaratan, dengan cara mengembangkan sistem pelayanan paralel akan ditemukan syarat-syarat yang tumpang tindih,
5
sehingga dapat dilakukan penyederhanaan pesyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap pengurangan biaya dan waktu.
Selain itu PTSP dalam mengelola administrasi perizinan dan non perizinan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan kearnanan berkas. Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat berarti sebagai satu instansi pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memproses pelbagai perizinan (licenses, permits, approvals dan clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut didelegasikan, instansi pemerintah tidak akan mampu mengatur pelbagai proses perizinan kepada masyarakat, karena untuk menyediakan semua bentuk perizinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi tersebut, masih harus bergantung pada otoritas lain.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa peranan sistem pelayanan terpadu (One-Stop Service) dalam pembentukan kebijakan investasi pemerintah pasca desentralisasi adalah bagian dari prioritas paket kebijakan yang harus dipersiapkan daerah dalam rangka mendorong perbaikan iklim investasi. Agar investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya, pemerintah daerah mengetahui perihal apa saja yang perlu dibenahi oleh daerah, dikarenakan banyaknya prioritas-prioritas yang harus dipersiapkan, salah satunya adalah penguatan institusi dan kelembagaan serta kepastian hukum. Pembentukan sistem pelayanan terpadu satu pintu (one stop service) merupakan program yang termasuk di dalamnya untuk dibenahi.
Menyahuti apa yang diamanahkan oleh Permendagri tersebut, maka Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota sejak tahun 2006 s.d tahun 2013 telah membentuk
6
Institusi Perizinan Terpadu Satu Pintu, yang berbentuk Kantor ataupun Badan, seperti termuat dalam tabel I.
Tabel-I:
Dasar hukum Pembentukan Kelembagaan
No Provinsi dan Kabupaten/Kota
Peraturan Yang Mengatur Tentang Pembentukan Lembaga Tanggal Pembentukan Bentuk Kelembagaan 1. Aceh
Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja BP2T Nanggroe Aceh Darussalam
30 Juni 2008 Badan
2. Banda Aceh
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 378 Tahun 2006 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Banda Aceh saat ini telah di revisi dengan Qanun
30 Oktober 2008 Kantor
3. Aceh Besar
Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas/Kantor dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Besar
Januari 2008 Kantor
4. Sabang
Qanun Kota Sabang Nomor 5
Tahun 2008 tentang
Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Sabang
18 Juli 2008 Kantor
5. Pidie
Qanun Kabupaten Pidie Nomor 5 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Pidie
12 Juli 2008 Kantor
6. Pidie Jaya
Qanun Kabupaten Pidie Jaya Nomor 2 Tahun 2011 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pidie Jaya
7 7. Bireuen
Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Bireuen, telah diubah dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2010
19 September
2008 Kantor
8. Lhokseumawe
Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 13 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Kecamatan/ Kota Lhokseumawe
26 Maret 2007 Kantor
9. Aceh Utara
Qanun No. 3 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Qanun Nomor 3 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Utara
01 April 2008 Kantor
10. Aceh Timur
Qanun Daerah Kabupaten Aceh Timur Nomor 04 Tahun 2010 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Kabupaten Aceh Timur
01 Juni 2010 Kantor
11. Langsa
Qanun Kota Langsa Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah Kecamatan dan Kota Langsa
15 Agustus 2007 Kantor
12. Aceh Tamiang
Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Kabupaten Aceh Tamiang
24 Desember
2008 Kantor
13. Aceh Tenggara
Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Tenggara
30 Oktober 2008 Kantor
14. Gayo Lues
Perturan Bupati Gayo Lues Nomor 05 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi KP2TSP Kabupaten Gayo Lues
25 November
2009 Kantor
15. Aceh Tengah
Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Tengah
8 16. Bener Meriah
Qanun Kab. Bener Meriah Nomor 03 Tahun 2009 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bener Meriah
27 Juli 2009 Kantor
17. Aceh Singkil
Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KP2TSP) Kabupaten Aceh Singkil dan telah direvisi dengan Qanun Nomor 03 Tahun 2012 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Kantor P2TSP Kabupaten Aceh Singkil
19 Januari 2008 Kantor
18. Subulussalam
Qanun Kota Subulussalam Nomor 4 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan Kecamatan di Lingkungan Pemerintah Kota Subulussalam
21 Juli 2009 Kantor
19. Aceh Selatan
Qanun Nomor 6 Tahun 2008 Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Selatan
05 Januari 2009 Kantor
20. Aceh Barat Daya
Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Aceh Barat Daya
11 Juni 2008 Kantor
21. Nagan Raya
Qanun Kabupaten Kab. Nagan Raya Nomor 6 Tahun 2013 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
01 Januari 2013 Badan
22. Aceh Barat
Qanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 4 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Barat, yang telah di revisi dengan Qanun Nomor 11 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Aceh Barat
9 23. Aceh Jaya
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 11 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Jaya
Pebruari 2009 Kantor
24. Simeulu
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Simeulue
03 Oktober 2008 Kantor
Bentuk pelayanan terpadu ini diatur dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah yang menegaskan bahwa Unit Pelayanan Perizinan
Terpadu dapat berbentuk kantor, dinas, ataupun badan. Dalam
penyelenggaraannya, gubernur dan bupati/walikota wajib melakukan penyederhanaan layanan, meliputi:
1. pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh PTSP;
2. percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
3. kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
4. kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
5. mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan;
10
6. pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
7. pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan lingkup tugas PTSP meliputi pemberian pelayanan atas semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.
Peranan sistem pelayanan terpadu (One-Stop Service) dalam pembentukan kebijakan investasi pemerintah pasca desentralisasi adalah bagian dari prioritas paket kebijakan investasi yang harus dipersiapkan dengan baik agar investor tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, pemerintah daerah mengetahui perihal apa saja yang perlu dibenahi oleh daerah, dikarenakan banyaknya prioritas-prioritas yang harus dipersiapkan, salah satunya adalah penguatan institusi dan kelembagaan melalui kepedulian pemerintah daerah dan stakeholder terhadap keberlangsungan dan peningkatan kinerja pelayanan termasuk di dalamnya menyangkut pelimpahan kewenangan semua perizinan dan non perizinan kepada PTSP serta adanya kepastian hukum yang tertuang dalam standar operasional prosedur (SOP). Disamping itu yang tak kalah penting adalah pembentukan sistem pelayanan terpadu satu pintu (one stop
11 BAB-II
RUANG LINGKUP PEMBINAAN PTSP
Dalam rangka mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik yang berisi kriteria-kriteria pelayanan prima yaitu
kesederhanaan, kejelasan dan kepastian pelayanan, keamanan, keterbukaan, efesiensi, ekonomis, keadilan yang merata dan ketetapan waktu.
Dalam organisasi pemerintah, pelayanan kepada masyarakat adalah tujuan utama yang tidak mungkin dapat dihindari karena sudah kewajiban menyelenggarakan pelayanan dengan menciptakan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Disebabkan telah menjadi sebuah kejadian maka sepatutnya pemerintah mencari solusi terbaik terhadap masalah-masalah yang sering dihadapi, termasuk kendala intern yaitu kendala yang bersumber dari dalam instansi itu sendiri, maupun kendala ekstern yakni kendala yang datangnya dari masyarakat pengguna jasa dalam kaitannya dengan pelayanan publik yang ditanganinya.
Dengan adanya kualitas pelayanan yang baik maka dapat menimbulkan rasa puas dan sikap positif dari masyarakat. Hal ini dikarenakan kepuasan merupakan perasaan senang atau kekecewaan seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja seseorang dengan harapannya. Kurang optimalnya pelayanan kepada masyarakat pengguna layanan dari Institusi PTSP merupakan fenomena yang banyak terjadi pada sektor pemerintah, padahal seharusnya fungsi pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa pandang bulu atau diskriminasi dan sesuai dengan Keputusan Menpan Nomor 63
12
Tahun 2003, untuk itu perlu upaya pengawasan dan pembinaan dari pihak-pihak tertentu, agar hal ini tidak terulang dan terjadi lagi sehingga dengan adanya pengawasan dan pembinaan yang berkesinambungan diharapkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik.
Sesuai dengan Azas Dekonsentrasi seperti yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang antara lain menyebutkan bahwa pemerintah Provinsi adalah wakil pemerintah dan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, sehingga posisi pemerintah Provinsi adalah melaksanakan tugas sebagai fasilitator, dinamisator serta pembinaan dan pengawasan pembangunan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
Azas Dekosentrasi dimaksudkan agar pemerintah provinsi dalam hal ini BP2T Aceh untuk melaksanakan perpanjangan tugas dan fungsi pemerintah pusat di daerah yang terkait dengan perizinan, diharapkan untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Meningkatkan peran provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan PTSP Kabupaten/ Kota; b. Memfasilitasi pembentukan kelembagaan PTSP Kabupaten/ Kota;
c. Melakukan pembinaan kelembagaan PTSP Kabupaten/ Kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan;
d. Membangun Forum penyelenggaraan PTSP di Provinsi;
e. Monitoring dan Evaluasi penyelenggaraan PTSP Kabupaten/Kota;
f. Koordinasi dan konsultasi dalam penyelenggaraan PTSP Kabupaten/ Kota.
Berdasarkan kewenangan seperti tersebut di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan kelembagaan PTSP, maka BP2T Aceh melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan PTSP Kabupaten/Kota.
13
Monitoring tersebut bertujuan untuk melihat sejauhmana penerapan instrumen-instrumen yang mendukung peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta penguatan kelembagaan PTSP yang telah dilaksanakan oleh PTSP selama kurun waktu lebih kurang 5 (lima) tahun setelah terbentuknya PTSP. Instrumen tersebut terdiri dari:
1. Dasar Hukum Pembentukan Kelembagaan PTSP dan tanggal mulai beroperasinya PTSP;
2. Visi, misi, motto dan janji layanan;
3. Aturan tentang Pelimpahan kewenangan perizinan dan nonperizinan; 4. Aturan tentang Tim Teknis;
5. Jumlah Izin dan Non Izin yang telah dilimpahkan; 6. Kewenagan penanda tanganan izin dan non izin;
7. Telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan (SP) serta aturan yang mengatur tentang SOP dan SP;
8. Jumlah izin dan non izin yang telah diterbitkan sejak tahun 2012 s.d 2013; 9. SOP tentang Pemberian Informasi dan Penanganan Pengaduan;
10. Survey Indeks Kepuasan Masyarakat sejak tahun 2012 s.d 2013;
11. Data jumlah pegawai negeri sipil dan pegawai kontrak serta jenjang pendidikannya;
12. Penerapan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elekronik (SPIPISE).
Disamping itu, kegiatan tersebut juga bertujuan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh PTSP dan upaya-upaya pemecahan yang telah dilakukan. Pengukuran terhadap instrumen-instrumen
14
tersebut dilakukan melalui metode wawancara, observasi dan pengisian Data Kuisioner.
15 BAB-III
HASIL MONITORING TERHADAP PENYELENGGARAAN PTSP
Sejauh ini, kinerja pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah, di mata masyarakat masih dipandang kurang memadai. Padahal di era otonomi daerah sekarang ini, setiap daerah dituntut untuk dapat mandiri, lebih dekat dan memahami kebutuhan masyarakat serta lebih bersifat melayani. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru dan sikap mental yang berorientasi melayani, bukan dilayani. Selain itu, diperlukan pula pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam melaksanakan pelayanan itu sendiri.
Mengingat fungsi utama Pemerintah adalah melayani masyarakat, maka Pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan publik. Dengan ditetapkannya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik, diharapkan memberikan dampak nyata yang luas terhadap peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat di Aceh.
Untuk itu kehadiran PTSP merupakan salah satu solusi yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dan pelaku usaha. Untuk mengukur apakah PTSP telah berjalan sesuai aturan, maka BP2T Aceh melakukan monitoring terhadap beberapa instrumen yang harus dimiliki oleh PTSP, seperti yang termuat dalam tabel II.
16
Tabel II:
Visi, Misi, Motto dan Janji Layanan
No Provinsi dan Kabupaten/Kota
Visi, Misi, Motto
dan Janji Layanan Dasar Hukum
1. Aceh Ada Keputusan Kepala BP2T Aceh
2. Banda Aceh Ada Keputusan Kepala KPTSP Kota Banda Aceh
3. Aceh Besar Ada Keputusan Kepala KPTSP Kab. Aceh Besar
4. Sabang Ada Keputusan Kepala KP2TSP Kota Sabang
5. Pidie Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Pidie
6. Pidie Jaya Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Pidie Jaya
7. Bireuen Ada Keputusan Kepala Kantor P2TSP Kab. Bireuen
8. Lhokseumawe Ada Keputusan Kepala KP2TSP Kota Lhoksemawe
9. Aceh Utara Ada Keputusan Kepala Kantor KP2T Kab. Aceh Utara
10. Aceh Timur Ada Keputusan Kepala Kantor KPTSP Kab. Aceh Timur
11. Langsa Ada Keputusan Kepala KP2T Kota Langsa
12. Aceh Tamiang Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Aceh Tamiang
13. Aceh Tenggara Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Aceh Tenggara
14. Gayo Lues Ada Keputusan Kepala KP2TSP Kab. Gayo Lues
15. Aceh Tengah Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Aceh Tengah
16. Bener Meriah Ada Qanun Kab. Bener Meriah
17. Aceh Singkil Ada Keputusan Kepala KP2t Kab, Aceh Singkil
18. Subulussalam Ada Dokumen Renstra KP2T Kota Subulussalam
19. Aceh Selatan Ada Keputusan Kepala KPTSP Kab. Aceh Selatan
17
21. Nagan Raya Ada Keputusan Kepala BPPT-PM Kab. Nagan Raya
22. Aceh Barat Ada Keputusan Bupati Aceh Barat
23. Aceh Jaya Ada Keputusan Kepala KP2T Kab. Aceh Jaya
24. Simeulu Ada Keputusan Kepala Kantor PTSP Kab. Simeulu
Salah satu aspek yang menentukan dalam penyelenggaraan PTSP adalah adanya Visi, Misi, Motto dan Janji Layanan, hal ini terkait dengan harapan yang ingin dicapai oleh PTSP dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan pelaku usaha. Berdasarkan Tabel II dapat dilihat bahwa semua PTSP baik provinsi maupun kabupaten/kota telah memiliki Visi, Misi, Motto dan Janji Layanan. Harapan kita dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan kepada masyarakat atau pelaku usaha Visi, Misi, Motto dan Janji Layanan yang telah ditetapkan, dapat dilaksanakan dengan baik.
Tabel III:
Pelimpahan Kewenangan dan Tim Teknis
No Provinsi dan Kabupaten/Kota
Peraturan yang Mengatur tentang Pelimpahan
Kewenangan
Peraturan Tentang Tim Teknis
1. Aceh Pergub Nomor 58 Tahun 2009 Kepgub Nomor 522.51/036/2010
2. Banda Aceh Kepwal Nomor 107/2012 Kepwal Nomor 98/2014
3. Aceh Besar Kepbup Nomor 205/2007 Kepbup Nomor 11 Tahun 2014
4. Sabang Kepwal Nomor 383/2008 Kepwal Nomor 568/2011
5. Pidie Kepbup Nomor 557/2012 Kepbup Nomor 215/2009
6. Pidie Jaya Perbup Nomor 14/2011 Kepbup Nomor 90/2014
7. Bireuen Kepbup Nomor 61/2010 Kepbup Nomor 149/2013
8. Lhokseumawe Kepwal Nomor 143/2011 Kepwal Nomor 89/2012
9. Aceh Utara Perbup Nomor 23/2010 Kepbup Nomor 1.20.09/126/2010
10. Aceh Timur Perbup Nomor 4/2013 Qanun Nomor 04/2010
18
12. Aceh Tamiang Perbup Nomor 15 Tahun 2009 Kepbup Nomor 250/2013
13. Aceh Tenggara Perbup No. 180/06/HK/2008 Qanun Nomor 01 Tahun 2008
14. Gayo Lues Kepbup Nomor 517/2012 Kepbup Nomor 517/2012
15. Aceh Tengah Perbup Nomor 21 Tahun 2009 Kepbup Nomor 188.4.45/123/ KP2TSP/2014
16. Bener Meriah Perbup Nomor 3 Tahun 2009 Kepbup Nomor 188.45/492/SK/2012
17. Aceh Singkil Perbup Nomor 1 Tahun 2013 Kepbup Nomor 251/2011
18. Subulussalam Kepwal Nomor 188.45/107/2012 Kepwal Nomor 188.45/68/2013
19. Aceh Selatan Perbup Nomor 14/2012 Kepbup Nomor 240/2008
20. Aceh Barat Daya Perbup Nomor Perbup Nomor 5 Tahun 2009
21. Nagan Raya Perbup Nomor 11/2013 Kepbup Nomor 503/281/SK/2013
22. Aceh Barat Kepbup Nomor 2b/2010 Kepbup Nomor 374/2013
23. Aceh Jaya Kepbup Nomor 7a/2009 Kepbup Nomor 8d/2009
24. Simeulu Perbup Nomor Kepbup Nomor 503/193/2014
Berdasarkan monitoring yang dilaksanakan diperoleh informasi bahwa sampai saat ini belum diketahui berapa jumlah izin dan non izin yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, sehingga kepastian terhadap berapa sebenarnya jumlah izin dan non izin yang harus dilimpahkan kepada PTSP menjadi tidak jelas. Untuk mengantisipasi hal tersebut, langkah yang dapat diambil jika belum semua izin dapat dilimpahkan kewenangannya, maka terlebih dahulu diprioritaskan oleh PTSP adalah untuk izin-izin yang frekuensi pelayanannya tinggi.
Sejumlah izin lainnya dapat dilimpahkan kewenangannya pada tahun berikutnya secara bertahap setelah terdata berapa jumlah izin/ jenis izin apa saja yang menjadi kewenangan pemerintah kab/kota dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
19
2. Kesiapan staf di SKPD Teknis yang selama ini memproses perizinan, karena dengan adanya pelimpahan kewenangan diberikan kepada PTSP, sebaiknya juga beserta dengan stafnya;
3. Hambatan struktural maupun psikologis pada SKPD teknis yang selama ini memproses perizinan;
Tabel IV:
Tentang Jumlah Izin dan Non Izin Serta Realisasi Izin Tahun 2012 dan 2013
No Provinsi dan Kabupaten/Kota
Jumlah Izin dan Non Izin
Realisasi Izin dan Non Izin
Tahun 2012 Tahun 2013 1. Aceh 157 5883 4171 2. Banda Aceh 55 14382 12381 3. Aceh Besar 45 4041 3117 4. Sabang 15 521 631 5. Pidie 44 3783 3689 6. Pidie Jaya 73 1010 839 7. Bireuen 71 3782 3055 8. Lhokseumawe 44 1976 2145 9. Aceh Utara 19 3809 3912 10. Aceh Timur 68 2067 1826 11. Langsa 55 2831 2472 12. Aceh Tamiang 22 1564 1445 13. Aceh Tenggara 34 908 1746 14. Gayo Lues 36 316 372 15. Aceh Tengah 19 2902 3004 16. Bener Meriah 42 604 662 17. Aceh Singkil 51 858 1262 18. Subulussalam 36 - 436 19. Aceh Selatan 60 1717 1387
20. Aceh Barat Daya 64 2763 2902
21. Nagan Raya 63 2357 3025
22. Aceh Barat 20 2935 3743
23. Aceh Jaya 24 1471 1538
20
Berdasarkan data rekapitulasi izin dan non izin sesuai Tabel IV, diketahui bahwa pada tahun 2012 dan 2013 jumlah realisasi izin paling tinggi untuk Provinsi Aceh ada pada KPPTSP Kota Banda Aceh, sementara kota Subulussalam pada tahun 2012 belum ada izin yang direalisir, hal ini disebabkan pelimpahan kewenangan perizinan baru dilimpahkan kepada KPPTSP Subulussalam pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2013, realisasi perizinan paling rendah berada pada KPPTSP Kabupaten Gayo Lues, yaitu 372 (tiga ratus tujuh puluh dua) izin.
Tabel-V:
Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan (SP)
No Provinsi dan
Kabupaten/Kota S O P SP Keterangan
1. Aceh Kepgub Nomor 065/979/2013
Kep Ka BP2T Nomor 067/029/2013
2. Banda Aceh Perwal Nomor 22 Tahun
2013 -
3. Aceh Besar Perbup Nomor 7 Tahun 2012
Kep Ka PTSP Nomor 11/2012
4. Sabang Kepwal Nomor 383/2008
Kepwal Nomor 385/2008
5. Pidie Perbup Nomor 22
Tahun 2012 -
6. Pidie Jaya Perbup Nomor 22
Tahun 2013 -
7. Bireuen Perbup Nomor -
8. Lhokseumawe - - Belum Ada
9. Aceh Utara Perbup. Nomor 16 Tahun 2010
10. Aceh Timur - - Dalam Proses
11. Langsa Perwal Perbup Nomor
13 Tahun 2010 -
12. Aceh Tamiang Perbup Perbup Nomor
470/2010 -
13. Aceh Tenggara Perbup Nomor
180/06/HK/2008 -
14. Gayo Lues Perbup Nomor 5 Tahun
21 15. Aceh Tengah Perbup Nomor 11
Tahun 2011 -
16. Bener Meriah Perbup Nomor 5 Tahun
2009 -
17. Aceh Singkil Perbup Nomor 1 Tahun 2013
18. Subulussalam Kep Ka PTSP Nomor 503/007/75.2008.3/2013 -
19. Aceh Selatan Perbup Nomor 6 2013 -
20. Aceh Barat Daya Perbup No. 5 Tahun 2009
21. Nagan Raya - - SOP Dalam proses penyusunan
22. Aceh Barat Kepbup Nomor 4a Tahun 2010
Kepbup Nomor 4a Tahun 2010
23. Aceh Jaya Kepbup Nomor 7a/2009 -
24. Simeulu Perbup Nomor 2 Tahun
2011 -
Standar Operasional Prosedur adalah serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan, dimana dan oleh siapa dilakukan. Penetapan SOP bagi PTSP yang merupakan salah satu lembaga pelayanan publik wajib dilakukan, karena SOP ini mempunyai manfaat yaitu :
1. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan aparatur dalam menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya;
2. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan oleh seorang aparatur atau pelaksana dalam melaksanakan tugas;
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab individual aparatur dan organisasi secara keseluruhan;
4. Membantu aparatur menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung pada intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses sehari-hari;
22
5. Meningkatkan akuntabilitas pelaksanaan tugas;
6. Menciptakan ukuran standar kinerja yang akan memberikan aparatur cara konkrit untuk memperbaiki kinerja serta membantu mengevaluasi usaha yang telah dilakukan;
7. Memastikan pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung dalam berbagai situasi;
Perlu diingat bahwa untuk menyesuaikan dengan regulasi yang berkembang begitu cepat maka minimal setiap dua tahun sekali SOP perlu di evaluasi, sehingga SOP yang digunakan sebagai pedoman internal dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan tidak bertentangan dengan regulasi yang ada.
Tabel VI:
Tentang Sumber Daya Manusia
No Provinsi dan Kabupaten/Kota Jumlah PNS Tingkat Pendidikan PNS Honorer S 2 S 1 D-III / D- IV SMA SMP 1. Aceh 41 5 28 4 4 - 15 2. Banda Aceh 28 3 9 3 12 1 4 3. Aceh Besar 16 3 6 2 5 - 8 4. Sabang 22 - 15 2 5 - - 5. Pidie 16 - 12 - 4 - 8 6. Pidie Jaya 21 - 12 8 1 - 9 7. Bireuen 26 - 14 1 10 - 2 8. Lhokseumawe 25 - 14 3 8 - 13 9. Aceh Utara 25 - 18 4 3 - 2 10. Aceh Timur 15 1 4 1 9 - 15 11. Langsa 18 1 10 - 7 - 2 12. Aceh Tamiang 17 1 7 3 6 - 2 13. Aceh Tenggara 21 3 14 - 4 - 7 14. Gayo Lues 16 - 7 2 7 - 8 15. Aceh Tengah 26 1 14 2 9 - 3 16. Bener Meriah 13 - 8 4 1 - 18
23
17. Aceh Singkil 10 - 4 1 5 - 13
18. Subulussalam 15 - 11 4 - - 11
19. Aceh Selatan 23 - 6 2 15 - 1
20. Aceh Barat Daya 20 - 5 1 14 - 2
21. Nagan Raya 12 - 6 2 4 - 6
22. Aceh Barat 25 - 14 4 7 - 1
23. Aceh Jaya 16 - 8 3 5 - 10
24. Simeulu 7 1 6 - - - 4
Jumlah masing-masing petugas yang ada disesuaikan dengan kebutuhan, jika jumlah pegawai masih terbatas dapat dilakukan permintaan tambahan petugas/pegawai, untuk sementara bagi PTSP yang jumlah pegawainya terbatas bisa merangkap yaitu dua fungsi dikerjakan oleh satu orang.
Untuk peningkatan kapasitas bagi para staf perlu diprioritaskan pendidikan dan pelatihan sesuai tugas dan fungsinya saat ini. Peningkatan kapasitas dapat juga dilakukan dengan memberi kesempatan magang di lembaga perizinan/PTSP yang dianggap sudah baik yang ada dalam Provinsi Aceh, atau bila anggaran memungkinkan dilakukan pada PTSP yang berada di luar daerah.
Tabel VII:
Tentang Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)
No Provinsi dan Kabupaten/Kota IKM Keterangan Tahun 2012 Tahun 2013 1. Aceh 78,92 80,26 2. Banda Aceh 82,34 83,16 3. Aceh Besar 81,32 88,92
4. Sabang - 73,4 Tahun 2012 tidak dilakukan
5. Pidie 82,58 83,56
6. Pidie Jaya 71,45 72,04
7. Bireuen 82,89 84,19
8. Lhokseumawe 81,67 88,32
9. Aceh Utara - - Tidak Dilakukan
10. Aceh Timur - 77,46 Tahun 2012 tidak dilakukan
11. Langsa - 75,2 Tahun 2012 tidak dilakukan
24
13. Aceh Tenggara - - Tidak Dilakukan
14. Gayo Lues - - Tidak Dilakukan
15. Aceh Tengah 79,7 74,9
16. Bener Meriah - - Tidak Dilakukan
17. Aceh Singkil 75,31 - Tahun 2013 tidak dilakukan
18. Subulussalam - - Tidak Dilakukan
19. Aceh Selatan 80,75 83,00
20. Aceh Barat Daya 76,46 78,02
21. Nagan Raya 61,55 68,56
22. Aceh Barat 82,47 84,75
23. Aceh Jaya - - Tidak Dilakukan
24. Simeulu 78,3 - Tahun 2013 tidak dilakukan
Dalam rangka mengevaluasi kinerja pelayanan publik, Pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan langkah strategis untuk mendorong upaya perbaikan pelayanan publik melalui Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menpan Nomor KEP/25/ M.PAN/2/2004 memuat 14 unsur pelayanan yang harus diukur, yaitu :
1) Prosedur Pelayanan; 2) Persyaratan Pelayanan;
3) Kejelasan Petugas Pelayanan; 4) Kedisiplinan Petugas Pelayanan; 5) Tanggung jawab Petugas Pelayanan; 6) Kemampuan Petugas Pelayanan; 7) Kecepatan Pelayanan;
8) Keadilan Mendapatkan Pelayanan; 9) Kesopanan dan Keramahan Petugas;
25
10) Kewajaran Biaya Pelayanan; 11) Kepastian Biaya Pelayanan; 12) Kepastian Jadwal Pelayanan; 13) Kenyamanan Lingkungan; 14) Keamanan Pelayanan;
Survey IKM ini sangat penting untuk dilaksanakan, sebaiknya minimal satu kali dalam setahun dilakukan oleh PTSP, karena berdasarkan survey tersebut akan diperoleh data-data tentang kelemahan-kelemahan dari 14 item tersebut, sehingga akan mudah dilakukan perbaikan. Berdasarkan data yang tertera dalam Tabel-VII, baru 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota atau 43,60% yang melaksanakan survey IKM, diharapkan kedepan survey IKM ini dapat dilakukan oleh semua PTSP Kabupaten/Kota.
Tabel-VIII:
Pelimpahan Perizinan Penanaman Modal Dan Penerapan Sistem Pelayanan Informasi Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)
No Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pelimpahan Kewenangan
Izin Penanaman Modal Penerapan SPIPISE
Sudah Belum Sudah Belum
1. Aceh 2. Banda Aceh 3. Aceh Besar 4. Sabang 5. Pidie 6. Pidie Jaya 7. Bireuen 8. Lhokseumawe 9. Aceh Utara 10. Aceh Timur 11. Langsa 12. Aceh Tamiang 13. Aceh Tenggara 14. Gayo Lues 15. Aceh Tengah 16. Bener Meriah
26
17. Aceh Singkil
18. Subulussalam
19. Aceh Selatan
20. Aceh Barat Daya
21. Nagan Raya
22. Aceh Barat
23. Aceh Jaya
24. Simeulu
SPIPISE bertujuan untuk mewujudkan layanan perizinan dan non-perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. Begitu efektifnya tujuan yang ingin dicapai, sehingga sistem elektronik ini akan menciptakan integrasi data dan layanan (perizinan dan non-perizinan) sehingga mampu meningkatkan keselarasan kebijakan dalam layanan antar-instansi pemerintah pusat dan daerah. Dengan menggunakan SPIPISE, Komunikasi elektronik dapat dilakukan oleh penyelenggara SPIPISE melalui e-mail atau akun (yang diperoleh ketika mengajukan hak akses) penanam modal. SPIPISE juga mampu mencetak nomor perusahaan dan secara otomatis akan diberikan kepada investor. Syaratnya perusahaan/investor tersebut harus memiliki badan hukum ketika memproses perizinan dan nonperizinan penanaman modalnya. Namun kepada penanam modal yang belum memiliki badan hukum, nomor perusahaan akan diberikan kemudian pada saat memperoleh Izin Prinsip Penanaman Modal (Izin Usaha).
Mengingat manfaat dari SPIPISE ini diharapkan kepada PTSP yang sudah ada pelimpahan kewenangan perizinan penanaman modal, agar segera mengajukan permohonan hak akses ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI, sehingga dapat menerapkan SPIPISE, sementara yang belum ada pelimpahan kewenangan agar segera menyusun langkah-langkah guna terjadi percepatan pelimpahan kewenangan, baru kemudian hak akses SPIPISE dapat di ajukan.
27 BAB-IV
PERMASALAHAN DAN LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH A. PERMASALAHAN
Sistem pelayanan perizinan yang berlaku saat ini, pada kenyataannya dirasakan masyarakat masih ada hambatan birokratis. Terkesan dalam kebijakannya pemerintah sangat dilematis. Disatu sisi keberadaan investor merupakan salah satu sumber penyumbang penerimaan Pendapatan Asli Daerah, disisi yang lain investor merasa keberatan jika terlalu banyak jenis pemungutan, baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Sistem yang demikian tentunya harus segera dilakukan penyempurnaan, seperti yang terjadi saat itu yang ditandai dengan:
1. Prosedur pengurusan izin yang berbelit-belit dan terlalu banyak instansi yang terlibat;
2. Biaya yang terlalu tinggi;
3. Persyaratan yang tidak relevan;
4. Waktu penyelesaian izin yang terlalu lama; 5. Kinerja pelayanan yang sangat rendah;
6. Berapa jumlah izin dan non izin yang menjadi kewenangan kab/kota tidak diketahui.
Deregulasi dan debirokratisasi pelayanan terpadu (One Stop Service) oleh Pemerintah terkait dalam bidang perizinan maupun dalam bidang yang lain merupakan hal yang sangat mendesak dalam kaitannya mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 1 angka 11 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 menjelaskan bahwa
28
penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Sedangkan Pasal 11 angka 12 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 menjelaskan tentang perizinan pararel adalah penyelenggaraan perizinan yang diberikan kepada pelaku usaha yang dilakukan sekaligus mencakup lebih dari satu jenis izin, yang diproses secara terpadu dan bersamaan.
Dalam pasal 26 ayat (2) dan (3) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa Ayat (2) “Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan nonperizinan di provinsi atau kabupaten/kota.” Dalam Ayat (3)
disebutkan “Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan
terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.”
Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service) ini membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali dan administrasi proses perizinan dilakukan simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Provinsi dan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan
29
memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil, dan menengah. Tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan. Oleh karena itu diharapkan terwujud pelayanan perizinan yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan perizinan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembentukan kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu di Provinsi Aceh dan Kabuapten/ Kota merupakan kebijakan yang tepat dilakukan dalam rangka merubah mindset negatif masyarakat dan pelaku usaha terhadap pelayanan pemerintah terkait masalah perizinan dan non perizinan yang telah berlaku selama ini, dari hasil monitoring dan wawancara yang dilakukan pada saat kunjungan kepada PTSP ada beberapa permasalahan yang masih jadi kendala dalam rangka pengembangan dan penguatan institusi dan Sumber Daya PTSP, hal yang sangat penting dan berkesinambungan harus terus dilakukan, guna terwujudnya pelayanan prima oleh PTSP, yaitu :
1. Persamaan persepsi tentang penguatan kelembagaan PTSP terkait sarana dan prasarana atau infrastruktur serta sumber daya yang terbatas maupun instrumen hukum yang menjamin adanya kepastian hukum;
2. Komitmen Pimpinan Daerah dan SKPD terkait;
3. Dukungan stakeholder lain seperti DPRA/DPRK, Pelaku Usaha dan masyarakat;
4. Dukungan Anggaran;
B. LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
Untuk menjaga kualitas pelayanan yang diberikan, agar sesuai dengan harapan masyarakat dan amanah peraturan perundangan-undangan, maka
30
setiap tahun PTSP seharusnya melakukan Survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang melibatkan masyarakat yang telah menerima manfaat pelayanan, hal ini dilakukan guna mendapatkan informasi yang benar dari pengguna layanan dalam rangka perbaikan dan menjadikan PTSP sebagai Intitusi pelayanan publik unggulan di Kabupaten/Kota maupun Provinsi Aceh. Melalui kegiatan survey tersebut kita harapkan masyarakat dapat terlibat langsung secara maksimal, karena tanpa keterlibatan masyarakat sulit bagi kita untuk dapat mengetahui kelemahan dari layanan yang kita berikan, dengan adanya perbaikan yang kita lakukan sesuai penilaiaan masyarakat, hal ini akan semakin meningkatkan kepedulian dan dukungan masyarakat kepada PTSP.
Sejauh ini, kinerja pelayanan umum Pemerintah di mata masyarakat masih dipandang kurang memadai. Padahal di era otonomi daerah sekarang ini, setiap daerah dituntut untuk dapat mandiri, lebih dekat dan memahami kebutuhan masyarakat serta lebih bersifat melayani. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru dan sikap mental yang berorientasi melayani, bukan dilayani. Selain itu, diperlukan pula pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam melaksanakan pelayanan itu sendiri.
Perizinan dan nonperizinan yang dikelola oleh PTSP yang pemrosesannya diawali dari permohonan sampai dengan dokumen perizinan dan nonperizinan diterbitkan dilakukan dalam satu pintu, sistem ini memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada masyarakat dan pelaku usaha, harapan pemerintah dengan kemudahan ini akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru ditengah masyarakat yang berdampak pada perbaikan dan peningkatan nilai investasi, peningkatan nilai investasi ini menpunyai pengaruh signifikan pada
31
pertumbuhan ekonomi daerah, yang pada akhirnya terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjamin kepastian hukum terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan yang telah menjadi kewenangan masing-masing pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, terutama menyangkut tentang Waktu Proses, Persyaratan dan Biaya/Retribusi dari permohonan izin dan non izin yang disampaikan oleh masyarakat dan pelaku usaha, semua hal tersebut mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP). Dengan adanya instrumen tersebut maka apa yang dikuatirkan oleh masyarakat selama ini bahwa proses pelayanan perizinan berbelit-belit, tidak transparan, butuh waktu lama dan ekonomi biaya tinggi, perlahan lahan dapat dihapuskan. Walaupun demikian apabila komitmen Kepala Daerah dan Dinas atau Badan yang terkait langsung dengan proses perizinan tidak medukung proses perizinan sesuai instrumen hukum yang telah ditetapkan, maka tetap saja pelayanan perizinan yang diberikan kepada masyarakat dan pelaku usaha menjadi terkendala, sehingga perlu adanya persamaan persepsi dari semua pihak agar semua proses pelayanan perizinan dapat berjalan sesuai instrumen hukum yang telah disepakati.
Untuk membangun komitmen dan persepsi yang sama, maka PTSP harus melakukan sosialisasi dan koordinasi secara kontinyu kepada Dinas dan Badan, melalui kegiatan koordinasi dan sosialisasi yang intens dilakukan nantinya akan berbuah hasil positif, sehingga terbangun sifat koperatif dari Dinas dan Badan, sehingga apa yang menjadi tujuan agar proses pelayanan perizinan dapat dicapai sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dapat diwujudkan.
32
Disamping itu pimpinan institusi PTSP setiap ada kesempatan dengan pimpinan daerah dapat memberikan masukan terhadap mekanisme dan tata cara proses pelayanan perizinan, sehingga pemimpin daerah dapat memahami dan mendukung sepenuhnya proses pelayanan perizinan di PTSP, termasuk juga dengan dukungan anggaran.
Keterbatasan anggaran juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyelenggaraan PTSP menjadi tidak maksimal, untuk itu dalam perencanaan anggaran harus detil, termasuk dampak atau manfaat yang dihasilkan terukur dan memberi keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Disamping itu pendekatan kepada tim anggaran baik eksekutif maupun legislatif harus tetap dilakukan, sehingga pemahaman mereka tentang PTSP menjadi lebih baik, dan akhirnya mendukung sepenuhnya penguatan dan peningkatan kelembagaan PTSP.
PEMERINTAH ACEH
BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
Jln. T. Nyak Arief, No. 219, Banda Aceh (23114)